Gelorakan Pemikiran

Kamis, 21 Oktober 2010

Televisi dan Komersialisasi Agama
Oleh: Fajar Riza Ul Haq

Masalahnya adalah bukan apa yang kita tonton, melainkan mengapa kita menonton televisi. Lontaran bernada pesimistik-kritis Neil Postman ini terhadap eksistensi media televisi penting mendapat elaborasi. Karena televisi terlanjur menjadi ikon dan medium transformasi budaya elektronik. Tidak bisa kita pungkiri, televisi menjadi kendaraan yang efektif dalam mensublim pertukaran dan proses transformasi budaya tanpa harus melalui konfrontasi budaya secara langsung. Tanpa sadar, dunia maya televisi mampu mengatasi kesenjangan waktu dan kepentingan sekaligus mencairkan sekat-sekat budaya, sosial,  ekonomi, politik dan agama dalam inter-koneksi kepentingan pemilik modal (iklan), televisi dan pemirsa televisi.             

Persingungan agama dengan kepentingan pemilik modal (produsen) dan televisi sulit untuk dihindari. Sebagai sistem nilai moral-kemanusiaan, persenyawaan agama dengan medium-medium kebudayaan elektronik adalah sebuah keniscayaan. Tidak terkecuali pergulatan identitas keagamaan dengan budaya media televisi. Agama membahasakan sekaligus menerjemahkan pesan-pesan moral kemanusiaan dalam relasi-relasi kesejarahannya teraksentuasi dalam ragam simbol. Oleh karena itu, kehadiran simbol-simbol merupakan upaya untuk menghadirkan pemaknaan sejati atas sebuah meta realitas. Dalam kaitan inilah simbolisasi agama berkoeksistensi dengan karakteristik budaya elektronik, khususnya media televisi. Karena muatan televisi merupakan rekayasa simbolik dalam membangun pencitraan virtual, imajinasi bahkan menjurus sebagai mesin komersialisasi. Maka dunia televisi tidak lebih dari dunia virtual yang mengandung simulacra-simulacra, sebagaimana dikatakan Jean Baudliard.     

Dalam kaitan inilah, beberapa pengamat media merasa bahwa televisi tidak dapat dilepaskan dari suatu sistem budaya komersial. Logika yang berjalan ialah dominasi muatan televisi yang bercorak hiburan menjadi karakteristik yang melekat. Oleh karena itu televisi bukan semata alat hiburan namun televisi  sudah menobatkan kepentingan hiburan sebagai format dasar dalam menggambarkan segala sesuatu. Televisi  mampu mempertemukan pemirsa dengan peristiwa-peristiwa di seluruh kawasan dunia tanpa meninggalkan wajah presenter atau pembawa acara dengan senyum yang terus mengembang. Persoalannya bukan semata-mata televisi memberi kita topik yang menghibur melainkan bahwa segala hal yang ditampilkan adalah untuk kepentingan konsumsi hiburan (Wibowo, Retorika, 2002).

Dalam perspektif kritis nilai-nilai kemanusiaan, siaran berita dan muatan tayangan televisi adalah hiburan. Itulah sebabnya dalam siaran berita meskipun menginformasikan korban peperangan dan kriminalitas namun tetap saja diakhir berita penyiar ataupun presenter  dengan senyum menawan mengatakan bahwa satu jam ke depan kita berjumpa dengan kelanjutan berita peristiwa. Kepentingan pemilik modal untuk menciptakan televisi sebagai mesin komersial menempatkan muatan televisi dalam format-format hiburan. Program komersial ini tidak hanya berdampak akan menyeret kepentingan promosi produk (iklan) ke dalam bahaya laten sebagai ekses sugesti televisi terhadap masyarakat. Justru yang lebih berbahaya ketiadaan transparansi publik dalam menyebutkan hal-hal kualitatif dari produk yang diiklankan. Iklan televisi tidak berkisah mengenai produk, melainkan mengenai bagaimana seharusnya seseorang menjalani hidup. Oleh karena itu iklan lebih mendahulukan kebutuhan psikologis para pemirsa, yaitu gaya hidup.

Fenomena Bulan Ramadan
Televisi akan mereproduksi setiap ragam peristiwa dan momentum bersejarah yang mengemuka di jagat bumi ini. Mulai dari fenomena kelaparan, kemiskinan, kebanjiran, ketegangan diplomasi politik, kerusuhan, konflik, peperangan, terorisme, sampai ritualitas-ritualitas dalam tradisi agama-agama. Seperti dikemukakan diatas, ritualitas dan fenomena keagamaan akan berkoeksistensi dengan pencitraan virtual dan imajinasi televisi. Maka bukan sesuatu yang aneh jika kemudian televisi mempunyai kepentingan untuk mengekspos dan mempublikasikan peristiwa dan fenomena keagamaan. Demi kepentingan kebutuhan pasar dan mensugesti publik pihak pemilik modal memasang beragam iklan beraroma bahkan berbaju agama namun paralel dengan kepentingan konsumtif pemirsa terhadap produk-produk pemilik modal. Pada garis inilah televisi memainkan peran sebagai lidah pemilik modal melalui penayangan iklan-iklan untuk menjerat nalar konsumtif publik. 

Memasuki bulan Ramadan, masyarakat muslim biasa disuguhi aneka acara dan iklan televisi yang mempergunakan simbol-simbol Islam. Intensitas pemakaian simbol-simbol agama dalam penyajian acara maupun iklan mengalami grafik naik ketika memasuki bulan Ramadan. Semenjak pagi dini hari, pemirsa muslim sudah dimanjakan sajian-sajian  acara keagamaan dan hiburan ramadan. Setiap stasiun televisi berlomba-lomba menawarkan racikan acara keagamaan sepanjang jam tayang. Para pemilik modalpun rama-rame memasang iklan-iklan dengan memakai simbol-simbol keagamaan. Dan ini bagian dari strategi pasar untuk mengundang hasrat konsumtif publik masyarakat muslim.

Pemirsa disuguhi imajinasi-imajinasi kesempurnan beribadah puasa. Iklan dan acara (sinetron/film) hiburan keagamaan mencoba membangun brain image apa arti kesempurnaan puasa dan beribadah. Pada tahap inilah sadar atau tidak, telah terjadi komersialisasi agama. Beberapa contoh komersialisasi agama, diantaranya iklan sarung yang mengklaim sebagai sarung yang nyaman dan pantas dipakai untuk sholat ke mesjid dan berlebaran, masakan mie instans menjadi santapan lezat dan bergigi saat berbuka puasa, cerita Pak Ustad yang selalu minum tablet mag kalau mendapat gangguan pada saat puasa, apa menu berbuka puasa yang ideal dan menyehatkan, bagaimana cara menjaga vitalitas dan kebugaran badan sampai gaya fashion yang islami, trendi dan modern ketika menyambut hari raya `idul fitri.  
           
Fenomena semarak Ramadan dalam tampilan layar televisi menyuguhkan tarik menarik antara kepentingan memuliakan bulan Ramadan dan kepentingan mengeksploitasi emosi pemirsa muslim demi kepentingan pasar. Peran media televisi sebagai ikon budaya elektronik modern menjadi kekuatan yang mampu menggugah dan membangun syiar Islam adalah bagian dari harapan ideal pemirsa muslim. Namun imajinasi televisi relatif mudah membius logika akal sehat pemirsa. Pemakaian simbol-simbol agama oleh kalangan pemilik modal menempatkan televisi sebagai mesin komersialisasi publik yang ampuh. Televisi telah memanfaatkan simbol-simbol agama dalam rangka melipat gandakan keuntungan komersial. Dengan demikian, simbol-simbol agama akan bisa kehilangan makna substansinya jika ternyata produk yang memanfaatkan simbol tersebut  menimbulkan efek samping yang berbahaya. Ketika media televisi menampilkan hiburan sebagai bagian yang dapat menarik keuntungan finansial sebesar-sebesarnya yang terjadi adalah sebuah pertentangan melawan prinsip-prinsip moral kemanusiaan dan agama. Maka tidak berlebihan, jika Postman dengan nada getir mewanti-wanti bahaya laten sajian-sajian  televisi. Termasuk sajian-sajian semarak Ramadan dalam layar televisi.

























LIBERASI ISLAM:
Dialektika Identitas Islam dengan Sejarah

Oleh : Fajar Riza Ul Haq *

“The Quran must be re-read and re-interpeted in today`s contex as the classical jurists read and interpreted it in their own context. No reformation possibel without such re-reading and re-interpreting the Quranic verses”
(Ashgar Ali Engineer, 2002).

Memasuki abad ke-20 fenomena modernitas merupakan akselerasi global. Gejala ini membawa dampak multidimensional dalam sendi-sendi kehidupan. Tidak terkecuali tradisi agama-agama. Respon yang mencuat ke permukaan, gejala modernitas dan globalisasi ini dsikapi secara ambivalen oleh kalangan agamawan. Isu demokrasi, pluralisme, toleransi beragama, penegakan HAM, egalitarianisme, perdamaian global, non-violence, emansifasi dan gender serta pemisahan otoritas agama dan kedaulatan negara menjadi bahan utama perdebatan di kalangan pemeluk agama-agama. Ambivalensi ini mengemuka seiring adanya struktur dan pola pandang yang berbeda dalam menyikapi relasi tradisi (teks/nash keagamaan) dan modernitas.1 Satu sisi ada sekelompok agamawan yang tanpa sungkan memetik dan menikmati “buah” modernitas diatas disertai proses kontektualisasi tradisi dalam masa kini, dan disisi lain muncul kelompok agamawan yang menghadirkan tradisi demi masa lalu dalam masa kini disertai resistensi terhadap segala bentuk produk modernitas Barat-sekular. Belakangan ini kelompok pertama banyak diidentifikasi sebagai gerakan modernis/liberal yang terlanjur (direkayasa) dihadapkan dengan kelompok kedua, revivalis/fundamentalis. Yang pasti, Islam tidak bisa luput dari gelombang pergumulan dengan isu-isu kontemporer tersebut.2
Dalam kerangka tantangan modernitas ini, Hasan Hanafi merintis jalan setapak oksidentalisme (al mustaghrab) sebagai counter discourse dan kritik terhadap orientalisme yang dirasa telah menghegemoni budaya dan state of mind umat Islam. Hanafi berupaya agar “the other” (Islam) berada pada posisi psikologis yang sama dengan “ego” (Barat).3

Muhammadiyah dan NU: Gerakan Pemikiran, Quo Vadis ?
Pergulatan pemikiran keislaman dalam wacana keindonesiaan sendiri memiliki irama cukup rancak. Ketegangan kreatif (creative tension) ini tidak jarang menimbulkan suhu yang memanas dalam percaturan isu-isu sosial keagamaan. Dikotomi Islam tradisionalis dan Islam modernis seperti yang disinyalir Deliar Noer (1985) merepresentasikan dua kutub pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia pada dekade 1940-an.4 Perkembangan sosio-politik dan wacana kebangsaan di tanah air, khususnya dasawarsa terakhir ini, menyeret konstruksi masyarakat muslim Indonesia diatas kedepan meja pertanggungjawaban sejarah. Karena konstruksi itu sedikit banyak berimbas pada pasang surutnya harmonisasi hubungan kedua paham keagamaan tersebut. NU yang mengidentifikasi diri sebagai cagar tradisi selalu diperhadapkan secara diametral dengan organisasi Islam modernis seperti Persis, al Irsyad dan Muhammadiyah. Namun pada aras sosio-politis nampaknya yang terakhir menjadi pasangan oposisi biner yang tepat bagi NU.5
Namun tarik ulur kedua organisasi diatas tidak banyak melahirkan dampak yang positif bagi perkembangan pemikiran dan gerakan Islam Indonesia kedepan. Bahkan pada tingkat tertentu menjadi faktor yang dapt mengikis kekebalan jaring-jaring sosio-kultural masyarakat sehingga menjadi rentan ketika dihadapkan dengan isu-isu politik daan kenegaraan. Kasus penggusuran K. H. Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan harusnya menjadi pelajaran berharga bagi kedua organisasi ini dalam menata hubungan kedepan. Refleksi kritis atas peran dan kiprah kedua organisasi Islam tersebut dalam wacana keindonesia memunculkan pandangan-pandangan rekonsiliatif, inklusiv dan akomodatif dalam menyikapi relasi tradisi dan modernitas. Perkembangan menggembirakan ini pada tingkat tertentu mulai memudarkan garis demarkasi Islam tradisionalis dan Islam modernis. Dan nampaknya dominasi isu-isu sosial keagamaan kedua gerakan Islam ini dalam pentas keislaman lndonesia (untuk sementara) tergeser oleh dua mainstream pemikiran keagamaan (baca: Islam) global; yaitu fundamentalisme Islam dan Islam liberal.6 Setidaknya pada tingkat isu-isu Islam kontemporer dalam konteks lokal maupun global.

Fundamentalisme Islam vis a vis Islam Liberal.
Gejala modernitas yang menyeret umat manusia dalam dunia impian yang hampa dan penuh disorientasi serta tumbuh suburnya “masyarakat sekular” telah merangsang lahirnya fundamentalisme keagamaan. Bagi Karen Armrstrong, fundamentalisme adalah bentuk kesalehan yang militan yang muncul di semua kepercayaan atau agama besar di abad 20. Fenomena tersebut merepsresentasikan menyebarluasnya penolakan terhadap modernitas sekuler.7 Di seluruh dunia, orang ingin melihat hukum Tuhan terefleksikan dengan jelas dalam pemerintahan atau negara. Mereka khawatir masyarakat yang yang liberal dan sekuler akan menyingkirkan agama dari kehidupan manusia. Sehingga mereka ganti “menyerang’ dan menciptakan budaya tandingan (counter cultur).
Ketidakpuasan sebagian masyarakat Muslim Indonesia terhadap pemerintah dan ormas-ormas Islam formal yang ada dalam menyikapi masalah sosial keagamaan, khususnya masalah keumatan, memunculkan fundamentalisme Islam yang mewujud dalam harakah-harakah alternatif. Seperti Laskar Jihad, Front Pembela Islam (Surakarta) dan Majelis Mujahidin Indonesia merupakan bagian dari sekian banyak gerakan Islam alternatif di Indonensia. Penegakan syariat Islam, solidaritas Muslim Internasional, memerangi segala bentuk pemurtadan dan anti Barat menjadi bagian isu-isu penting dalam perjuangannya.
Di sisi lain berbanding berbalik, muncul gerakan Islam liberal yang tanpa ragu mengambil buah modernitas Barat seperti demokrasi, HAM, egalitarianisme dan emansifasi gender . Gerakan ini meletakan Islam dalam ranah historis yang tidak lepas dari intervensi manusia. Kritik dan kontekstualisasi doktrin-doktrin agama adalah mata tombak dari gerakan ini dalam membedah otentisitas Islam. Islam liberal komitmen terhadap perjuangan Islam yang toleran, ramah, anti kekerasan, demokratis, emansipatoris, humanitarianistik, egaliter dan pluralis. Charles Kurzman memdudukan wacana Islam liberal (liberal Islam) ini dalam akar tradisi intelektual Muslim8. Sehingga Islam liberal bukan saja lahir secara sah dari rahim tradisi intelektual Muslim klasik namun juga berhak hidup dan berkembang bersama tradisi keagamaan Muslim klasik lainnya9. Dalam hal ini fundamentalisme Islam.
Dalam bingkai mutual understanding dan tasammuh adalah urgen untuk memberi ruang publik pendapat (public sphere opinion) terhadap salah satu pihak, dalam kontek ini Islam liberal, untuk membeberkan hujjah-nya sehingga menjadi accountable di hadapan masyarakat banyak.

Islam Liberal, a Contradiction in Terms ?
Istilah liberal pada mulanya dipakai dalam dunia politik. Doktrin politik liberal mengajarkan bahwa kesepakatan demi kebaikan bersama bagi kelompok bersejarah manapun bisa dicapai menggunakan wacana rasional. Liberalitas politik mengasumsikan adanya komunitas yang majemuk, keanggotaan yang tidak permanen dan kepedulian terhadap penetapan kebaikan bersama.10 Haru biru perkembangan sosial mendorong istilah liberal untuk merambah wilayah-wilayah sosial budaya, termasuk agama. Untuk memahami adjective ataupun label liberal dalam wilayah sosial keagamaan harus dipahami dalam ruang waktu dan konteknya tersendiri. Konsekwensinya, ketika kita membicarakan liberalisme pada saat ini menjadi tidak mungkin kita memakai terminologi yang berlaku pada abad ke-19 ataupun dekade 50-an. Kita juga tidak bijak untuk memahami terms tersebut menurut aliran ekonomi ala Smith dan Keynes, ataupun konsep partai liberal bahkan konsep filsafat Sartre. Justru konsep tersebut harus dipahami sebagai suatu yang lahir dari proses perjalanan sejarah yang tumbuh menjadi fenomena dalam dunia pemikiran.11
Bagi Binder, liberalisme dalam konteks Islam (Timur Tengah) identik dengan wacana rasional, keragaman pendapat, toleransi, agama sebagai pemahaman dan meyakini bahwa al Quran tidak secara langsung mengungkapkan makna pewahyuan maka diperlukan interpretasi berdasarkan kata-kata, namun yang tidak terbatasi oleh kata-kata dan mencari apa yang sesungguhnya hendak diungkapkan atau diwahyukan melalui bahasa.12 Menurut Aliya Harb, liberalisme tidak dapat dilihat sebagai kriteria dalam satu bangunan masyarakat tertentu, satu masyarakat tertentu, atau perkembangan budaya tertentu. Seperti halnya dalam masyarakat modern terdapat model struktur sebagaimana dalam masyarakat tradisional. Yang terpenting dalam liberalisme bukanlah dahsyatnya pencetusan beribu gagasan, melainkan bagaimana gagasan itu diungkapkan dengan tepat serta bagaimana ia diterapkan untuk menghasilkan sesuatu. Inilah perubahan terpenting dalam dunia pemikiran.13
Pada view point inilah penulis menarik hipotesis bahwa substansi liberasi Islam adalah liberalisasi pemikiran yang memadukan secara seimbang dimensi pemikiran dan metodologi. Dengan begitu adjective liberal dalam kata Islam bukan suatu kerancuan karena pertama, secara akademik ekspresi kebebasan memahami serta berpendapatnya ditopang oleh sebuah bangunan metodologi yang mapan. Kedua, secara sosiologis itu menjadi ekspresi natural dari pergulatan Islam dengan modernitas;isu-isu kontemporer. Sehingga liberal Islam bukan semata-mata a contradicton in terms.

Jaringan Transmisi Intelektual Islam Liberal di Indonesia
Senyatanya kita tidak bisa melahirkan sebuah pemikiran dalam ruang hampa yang imune dari segala bentuk kontaminasi dan intervensi kemanusiaan namun justru sebuah pemikiran lahir dibidani oleh intervensi kesejarahan manusia dan dibentuk oleh ragam corak kepentingan sosial kultural komunitas tertentu. Setumpuk ajektivitas Islam mulai Islam tradisional dan Islam modernis, Islam neo-revivalis dan Islam neo-modernis, Islam radikal dan Islam sekuler sampai Islam Fundamentalis dan Islam liberal merupakan rujukan faktual preposisi diatas. Hemat penulis, ajektivitas aliran pemikiran tertentu terbangun oleh dua hal, yaitu karaktristik artikulasi gerakan pemikiran tersebut dan penilaian subjektif dari komunitas masyarakat yang tidak jarang memiliki keterkaitan kepentingan dengan gerakan pemikiran diatas.
Dalam khazanah sejarah pemikiran Islam, liberasi Islam bukanlah anak haram ataupun lahir prematur dari rahim wacana pergulatan pemikiran keislaman dalam realitas kesejarahan. Sebaliknya, liberasi Islam tumbuh kembang dalam tempaan historitas yang establish. Secara historis afinitas the moral values and spirit resources14 gerakan ini dapat kita temukan benih dan akarnya dalam tradisi jurisprudensi hukum Islam.15 Penulis tidak bermaksud memaparkan sejarah dan jaringan intelektual (isnad) Islam liberal secara deskriptif, dari Timur Tengah hingga nusantara16. Namun penulis akan menekankan asfek heritage of the moral values and spirit resources dalam tradisi liberasi Islam ini.
Geneologi gerakan liberasi Islam ini dapat dilacak pada gerakan pembaharuan Islam. Mulai Rifa`ah at Tahtawi, M. Abduh, Rasyid Ridha, Ali Abd. Raziq, sampai Hasan Hanafi, M. Arkoun dan Fazlur Rahman adalah avent gard gerakan pembaharuan/liberasi Islam ini. Rahman dalam Islam: Past Influence and Present Challenge memetakan sejarah pembaharuan Islam dalam rentang dua abad mutaakhir dalam empat klasifikasi. Pertama, gerakan revivalis diakhir abad ke-18 dan awal abd ke-19 dalam representasi gerakan Sanusiyah di Afrika utara. Kedua, gerakan modernis. Di Timur Tengah gerakan ini dimotori Jalaludin Al Afghani dan M. Abduh, dan di India di motori Ahmad Khan. Ketiga, neo-revivalis, gerakan relatif modern ini diimami Maududi dengan Jama`ah Islam-nya di Pakistan. Keempat, neo-modernisme dimana Rahman dikelompokan kedalamnya. Gerakan ini membangun sintesa progresifitas modernitas dengan tradisi melalui ijtihad.
Spirit dan moral ijtihad aktivitas pembaharuan pemikiran Islam di tanah air yang mulai berdenyut pada dekade 70-an menyiratkan adanya relasi ideologis-historis dengan gerakan neo-modernisme Islam. Bahkan secara personal relasi geneologi intelektual ini diwakili oleh Nurcholish Madjid, Ahmad Syafi`i Ma`arif dan Amien Rais. Karena ketiga pemuka intelektuktal ini pernah merasakan bimbingan langsung Rahman di Chicago University. Pendekatan khas gerakan ini memadukan cita-cita liberal dan progresif dengan keimanan yang saleh. Substansi gerakan neo-modernisme Islam di Indonesia merupakan gerakan intelektual yang progresif dan pluralistik. Dengan menggunakan paradigma Fazlur Rahman, gerakan ini mempriortaskan perhatian pada pembentukan metodologi yang univesal dan permanen terhadap tafsir al Quran; tafsir rasional yang peka terhadap kontek historitas dan budaya.17
Adalah bukan suatu keraguan lagi, gerakan pemikiran ini pada akhirnya menginspirasi munculnya gerakan Islam liberal secara kolektif.18 Sehingga Islam liberal di Indoensia dewasa ini merupakan metaformosa atau transformasi dari gerakan neo-modernisme Islam.
Seperti sudah dikemukakan diatas, liberalisasi harus ditopang oleh metodologi yang mapan. Tanpa itu liberalisasi pemikiran akan dianggap sebagai racauan di siang bolong. Dalam perspektif filsafat ilmu, metodologi ataupun kerangka teoritik merupakan unsur terpenting dalam wilayah kerja keilmuan/ijtihad karena basis rasionalitas keilmuan terletak di situ. Gejala sosial kontemporer yang makin sulit diterka dan pesatnya perkembangan.social saences dan social humanities memaksa dirasah islamiyah / islamic studies untuk mengkaji ulang bangunan epistemologi keilmuannya sekaligus membangun metodologi pemikiran Islam yang integrated19. Pada tahap inilah kalangan intelektual Islam harus melakukan refleksi-kritis terhadap bangunan metodologi yang ada. Kreativitas dan kreasi para pemikir Islam kontemporer, seperti Arkoun yang menyajikan Kritik Nalar Islam, Al Jabiri yang meretas kebangkitan Islam Arab melalui Kritik Nalar Arab, Rahman dan Farid Esack yang menawarkan hermeneutika Al Quran dan Amin Abdullah yang meramu At Ta`wiil Al Ilmi sebagai paradigma baru merupakan aktualisasi jihad intelektual untuk membangun metodologi pemikiran Islam yang acceptable, compatible dan integrated.20

Islam Liberal, Ditengah Badai Kritik
Beberapa media massa melansir secara besar-besaran bahkan secara intens sebuah komunitas Islam yang mengusung wacana liberasi Islam. Mereka di tuding berusaha menghancurkan Islam dari dalam. Kampanye kelompok ini baik melalui media cetak maupun elektronik (internet) yang pada isu-isu tertentu berseberangan dengan kelompok Islam tertentu cukup membuat gerah. Akibatnya, intelektual-intelektual yang mengusung wacana liberasi Islam menjadi sasaran tembak berbagai kritik pedas dari kelompok terakhir ini. Mereka divonis sebagai dari agen-agen imperialis-zionis yang menusuk jantung umat Islam dan berkonspirasi untuk meruntuhkn aqidah Islam.
Pergumulan kedua mainstream wacana Islam diatas dalam ruang keberagamaan (baca: fastabiqul khairat/excel each other in good deeds) adalah suatu yang sah. Bahkan ini bisa menjadi modalitas sosial dalam membangun masyarakat otonom. Ini terkait dengan perbedaan mendasar dari kedua mainstream ini. Keduanya bertemu pada keyakinan akan otentisitas dan sakralitas makna pewahyuan. Faktor manusiawilah, dalam hal ini pemahaman dan interpretasi serta kondisi sosial-politik-ekonomi yang beragam, yang memaksa mereka mengambil jalan dan sikap yang berbeda. Bijak penulis disamping sense of mutual understanding dan rasa tasammuh yang harus ditanamkan dalam benak kita semua, tidak kalah penting adanya pengakuan terhadap prinsip agree in disagreement (meminjam bahasa Mukti Ali). Anak-anak sungai yang berasal dari pancaran mata air kaki gunungpun akan sampai jua bermuara di laut.

.




















DAMPAK SISTEM PERUMUSAN ANCAMAN PIDANA MATI TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI
DALAM UNDANG -UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 jo UNDANG -UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN HUKUM ISLAM

Oleh : Tinuk Dwi Cahyani

ABSTRAK
Ketentuan mengenai pidana mati dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 hanya diatur dalam satu pasal, yaitu Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi :“Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.” Dengan digunakannya batasan baru "keadaan tertentu" dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, ancaman hukuman mati pun semakin jauh dari realita. Di sisi lain, dalam khazanah pemikiran hukum Islam (fiqh) klasik, perilaku korupsi belum memperoleh porsi pembahasan yang memadai, ketika para fuqaha berbicara tentang kejahatan memakan harta benda manusia secara tidak benar (akl amwal al-nas bi al-bathil) seperti yang diharamkan dalam al-Qur'an. Di antara berbagai bentuk kejahatan ini yang nampaknya paling mirip substansinya dengan korupsi ialah ghulul yang diartikan sebagai pengkhianatan terhadap amanah dalam pengelolaan harta rampasan perang.


Kata Kunci :
Ancaman pidana mati, tindak pidana korupsi, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.


Pendahuluan
Korupsi di Indonesia ibarat virus yang menyebar ke seluruh tubuh pemerintahan. Sehingga sejak tahun 1960-an langkah-langkah pemberantasannya pun masih tersendat-sendat sampai saat ini. Ditegaskan bahwa korupsi selalu bermula dan berkembang di sektor publik dengan bukti-bukti yang nyata bahwa dengan kekuasaan itulah pejabat publik dapat menekankan atau memeras para pencari keadilan atau mereka yang memerlukan jasa pelayanan dari pemerintah.
Maraknya korupsi di Indonesia akibat dari sistem penyelenggaraan pemerintahan yang tidak tertata secara tertib dan tidak terawasi secara baik lebih-lebih landasan hukum yang dipergunakan juga mengandung banyak kelemahan-kelemahan dalam implementasinya. Didukung oleh sistem “check and balances” yang lemah di antara ketiga kekuasaan itulah maka korupsi sudah melembaga dan mendekati suatu budaya yang hampir sulit dihapuskan. Hampir seluruh anggota masyarakat tidak dapat menghindari diri dari “kewajiban” memberikan upeti manakala berhadapan dengan pejabat pemerintahan terutama di bidang pelayanan publik.
Dengan meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali ini akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Bertitiktolak dari uraian di atas jelaslah bahwa pemberantasan korupsi bukanlah perkara yang mudah dan segera dapat diatasi karena sistem penyelenggaraan pemerintah yang mentabukan transparansi dan mengedepankan kerahasiaan dan ketertutupan, dengan menipiskan akuntabilitas publik dan mengedepankan pertanggungjawaban vertikal yang dilandaskan pada primordialisme yang menggunakan sistem rekrutmen, mutasi dan promosi atas dasar koncoisme baik yang didasarkan kepada kesamaan etnis, latarbelakang politik, atau politik balas jasa.
Negara China yang angka korupsinya hampir sama dengan Indonesia, namun pemerintah China  sangat tegas dalam memberantas korupsi. Orang yang tertangkap korupsi akan mendapat hukuman yang berat diantaranya hukuman mati (baik ditembak maupun digantung) dan hukuman seumur hidup. Bahkan pada tahun 2004, lebih dari 4000 orang dihukum mati karena korupsi di China. Belum yang dihukum penjara. Sekitar 5000 orang dikabarkan melarikan diri ke luar negeri yang menyebabkan China menderita kerugian hampir 450 triluin rupiah. Saat ini, pemerintah China sedang menggalakkan hubungan luar negeri dan menangkap kembali orang yang korupsi dan kabur ke luar negeri tersebut untuk dihukum mati. Yang paling menarik adalah apa yang dikatakan oleh Perdana Menteri China. “Siapkan 1000 Peti mati untuk para koruptor, dan gunakan 999 peti, sisakan 1 peti untuk saya bila saya korupsi.”Hal ini menunjukkan suatu keseriusan dan komitmen pemerintah China dalam memberantas Korupsi. Pemerintah China sangat tegas dalam memberantas korupsi. Meskipun demikian, para koruptor tidak pernah jera di China. Masih banyak kasus Korupsi yang terjadi. Namun, usaha pemerintah China dalam menuntaskan kasus korupsi patut diacungi jempol. (Metro Higlights, Perang Melawan Korupsi : http ://www.welcome to sugi world.com, diakses tanggal 5 November 2006)
Dalam pandangan syari’ah (hukum Islam) korupsi dapat dimasukkan suatu jenis penjambretan dan perampasan, karena pada mulanya si pelaku berbuat secara sembunyi-sembunyi. Korupsi bukan pencurian, karena itu syari’at tidak menetapkan hukuman potong tangan bagi pelakunya.
Secara historis diriwayatkan, bahwa khalifah Umar Ibnu Khatab r.a, apabila ia meragukan kekayaan seorang penguasa atau pejabat, ia tidak segan-segan menyita jumlah kelebihan dari yang telah ditentukan sebagai penghasilannya yang sah. Kadang-kadang jumlah kelebihan itu dibagi dua, separoh untuk yang bersangkutan dan yang separoh lainnya diserahkan kepada Baitul mal.
Tulisan ini bermaksud mengulas tentang Dampak Sistem Perumusan Ancaman Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dan Hukum Islam.


Pembahasan
Kata sistem berasal bahasa yunani “Systema” , yang berarti sesuatu yang terorganisir, suatu keseluruhan yang kompleks. Sedangkan sub sistem adalah bagian dari sistem. Jadi sistem berarti terhimpunnya bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan suatu rangkaian keseluruhan. (Martiman Prodjohadimidjoyo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam delik Korupsi (bandung: Mandar Maju, 2001, 2001), hal. 98.
Dalam menetapkan jumlah atau lamanya ancaman pidana, pembuat Konsep pertama-tama dihadapkan pada dua alternatif sistem, yaitu : Pertama, Sistem atau pendekatan Absolut. Yang dimaksud di sini ialah, untuk setiap tindak pidana ditetapkan ”bobot/kualitas”-nya sendiri-sendiri, yaitu dengan menetapkan ancaman pidana maksimum (dapat juga ancaman minimumnya) untuk setiap tindak pidana.
Penetapan maksimum pidana untuk tiap tindak pidana ini dikenal pula dengan sebutan ”sistem indefinite” atau ”sistem maksimum”. (Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cet. I (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996) hal. 130-131. Dapat juga disebut dengan sistem atau pendekatan tradisional, karena selama ini memang biasa digunakan dalam perumusan KUHP berbagai negara termasuk dalam praktek legislatif di Indonesia.
Kedua, Sistem atau pendekatan Relatif. Yang dimaksud ialah, bahwa untuk tiap tindak pidana tidak ditetapkan bobot/kualitas (maksimum pidana)nya sendiri-sendiri, tetapi bobotnya di-”relatif”-kan, yaitu dengan melakukan penggolongan tindak pidana dalam beberapa tingkatan dan sekaligus menetapkan maksimum pidana untuk tiap kelompok tindak pidana itu.
Pola perumusan jenis dan lamanya pidana yang akan digunakan dalam konsep sebagai berikut : Pertama, Jenis pidana yang diancamkan dalam perumusan delik terutama hanya pidana penjara dan pidana denda. Pidana mati hanya diancamkan untuk delik-delik tertentu dan selalu dialternatifkan dengan pidana penjara seumur hidup. Kedua, Jenis pidana pokok yang diancamkan terutama akan dirumuskan secara tunggal atau secara alternatif, sebagai suatu perkecualian dalam hal-hal tertentu dimungkinkan perumusan alternatif-kumulatif. Ketiga, Jumlah atau lamanya pidana yang akan dicantumkan, terutama jumlah maksimum khususnya, namun demikian untuk delik-delik tertentu akan dicantumkan minimum khususnya.
Secara singkat, sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai sistem pemberian atau penjatuhan pidana. Sistem pemberian atau penjatuhan pidana (sistem pemidanaan) itu dapat dilihat dari dua sudut, yaitu: Pertama, dari sudut fungsional (dari sudut bekerjanya/berfungsinya/ prosesnya), sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsional/operasional/ konkretisasi pidana atau keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) ynag mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana.
Dengan pengertian demikian, maka sistem pemidanaan identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari subsistem hukum pidana materiil/substantif, subsistem hukum pidana formal, dan subsistem hukum pelaksanaan pidana. Ketiga subsistem itu merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan karena tidak mungkin hukum pidana dioperasionalkan /ditegakkan secara konkret hanya dengan salah satu subsistem itu. Pengertian sistem pemidanaan yang demikian itu dapat disebut dengan “sistem pemidanaan fungsional atau sistem pemidanaan dalam arti luas”.
Kedua, dari sudut norma substantif (hanya dilihat dari noorma-norma hukum pidana substantif), sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai: keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiil untuk pemidanaan, atau keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiil untuk pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana.
Dengan pengertian demikian, maka keseluruhan peraturan perundang-undangan (statuory rules) yang ada di dalam KUHP maupun undang-undang khusus di luar KUHP, pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, yang terdiri dari “aturan umum” (general rules) dan aturan khusus (special rules). (Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H, Pembaharuan Hukum Pidana : Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Cet. I (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005) hal. 261-263.
Kata hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam al-Qur’an dan literatur hukum dalam Islam. Yang ada dalam al-Qur’an adalah kata syari’ah, fiqh, hukum Allah dan yang seakar dengannya. Kata-kata hukum Islam merupakan terjemahan dari term ”Islamic Law” dari literatur Barat.
Adapun hukum Islam yang dimaksud dalam tulisan ini adalah fiqih jinayah. Istilah tersebut terdiri dari dua kata, yaitu fiqih dan jinayah. Pengertian fiqih secara bahasa berasal dari kata ”faqiha, yafqahu, faqhan”, yang berarti mengerti, paham. Pengertian fikih secara istilah menurut abdul Wahhab Khallaf adalah, "Ilmu tentang hukum-hukum syara’ praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci, atau himpunan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil terperinci. (Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Cet. VIII (Kairo: Ad-Dar al-Kuwaitiyyah, 1968), hal. 11.
Jinayah artinya perbuatan dosa, perbuatan salah atau jahat. Jinayah adalah masdar (kata asal) dari kata kerja (fi’il madhi) janaa yang mengandung arti suatu kerja yang diperuntukkan bagi satuan laki-laki yang telah berbuat dosa atau salah. Pelaku kejahatan itu sendiri disebut dengan jaani yang merupakan bentuk singular bagi satuan laki-laki atau bentuk mufrad mudzakkarara sebagai pembuat kejahatan atau isim fa’il. Adapun sebutan pelaku kejahatan wanita adalah jaaniah, yang artinya dia (wanita) yang telah berbuat dosa. Orang yang menjadi sasaran atau objek perbuatan si jaani atau si jaaniah atau mereka yang terkena dampak dari perbuatan si pelaku dinamai mujnaa alaih atau korban. (Drs. H. Rahmat Hakim, “Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah)”, Cet. I, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal. 12.
Jadi, pengertian jinayah adalah semua perbuatan yang diharamkan. Perbuatan yang diharamkan adalah tindakan yang dilarang atau dicegah oleh Syara’ Hukum Islam. Apabila dilakukan perbuatan tersebut mempunyai konsekuensi membahayakan agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta benda.
Unsur-unsur Jarimah Drs. H. Rahmat Hakim, “Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah)”, Cetakan ke-1, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal.52.: Pertama, unsur formal atau rukun syar’i Yang dimaksud dengan unsur formal atau rukun syar’i adalah adanya ketentuan syara atau nash yang menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang oleh hukum dinyatakan sebagai sesuatu yang dapat dihukum atau adanya nash (ayat) yang mengancam hukuman terhadap perbuatan yang dimaksud. Ketentuan tersebut harus datang (sudah ada) sebelum perbuatan dilakukan dan bukan sebaliknya. Seandainya aturan tersebut datang setelah perbuatan terjadi, ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan. Kedua, unsur materiil atau rukun maddi. Yang dimaksud dengan unsur materiil adalah adanya perilaku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan ataupun tidak berbuat atau adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum.
Ketiga, Unsur Moril atau Rukun Adaby Unsur ini juga disebut dengan al-mas ‘uliyyah al jiniyah atau pertanggungjawaban pidana. Maksudnya adalah pembuat jarimah atau pembuat tindak pidana atau delik haruslah orang yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Oleh karena itu, pembuat jarimah (tindak pidana, delik) haruslah orang yang dapat memahami hukum, mengerti isi beban, dan sanggup menerima beban tersebut.
Dalam hukum pidana Islam mengenal 3 macam hukum hukuman, yaitu: Pertama, Hudud. Jarimah hudud ini di berikan ancaman hadd. Hudud adalah kata jamak dari hadd yang bararti pencegahan, pengekangan atau larangan. Hudud merupakan perbuatan kejahatan yang melanggar hak Allah atau kepentingan umum (publik). Kedua, Qishas Diyat. Menurut bahasa Qishas berarti “al-musawah watta’addul” yang artinya persamaan dan seimbang dengan kejahatan yang dilakukan pelaku tindak pidana. Sedangkan menurut istilah qishas berarti hukuman bagi orang-orang yang melakukan kejahatan, dalam hal ini perbuatan-perbuatan kejahatan yang menyangkut hak-hak manusia. Ketiga, Ta’zir berasal dari kata azzara yang berarti mencela sedangkan menurut istilah berarti peraturan larangan yang perbuatan-perbuatan pidananya dan ancaman hukumannya tidak secara tegas di sebutkan dalam Al-qur’an tetapi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (qadhi). Ta’zir adalah tindakan peringatan terhadap pelaku perbuatan dosa yang tidak ada sanksi hadd dan kifarahnya.
Pidana Mati Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Kata mati artinya sudah hilang nyawanya (W.J.S. poerwadarmita, 1989:638). Dengan demikian pengertian pidana mati yaitu pidana yang dijatuhkan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana dengan cara menghilangkan nyawanya dan dipidana sesuai dengan peraturan yang ada.
Ada 2 aliran dalam merumuskan pidana mati : Pertama, aliran retensionis merumuskan pidana mati bersifat transcendental, dibangun dari suatu pandangan yang mencoba melihat pidana mati hanya dari segi teori absolut, dengan aspek pembalasannya dan unsur membinasakan. Dalam pandangan penganut aliran ini, pidana mati bukanlah pembalasan melainkan refleksi dan manifestasi sikap muak masyarakat terhadap penjahat dan kejahatan, oleh karena itu hukuman yang sangat berat berupa hukuman mati harus dilakukan untuk menjaga tertib hukum. Slogan yang paling terkenal adalah ucapannya Kant, “andaikata besok dunia akan kiamat, penjahat yang terakhirpun tetap dipidana mati pada hari ini.” Jadi, dalam hukuman itu yang berlaku tindakan pembinasaan (the vindictive theory of punishment), tidak perlu lagi digunakan teori relative yang bertujuan memberi efek jera.
Kedua, aliran abolisionis melihat apa yang dilakukan aliran retensionis tidak mempunyai pengaruh kuat dan efektif untuk menekan angka kriminalitas. Aliran ini melihat pidana mati dari segi “conceptual concritization” yakni pidana mati harus disesuaikan dengan perubahan zaman dan kondisi strukturasi sosial kehidupan masyarakat. Untuk itu, dalam melihat kejahatan, selalu dikaitkan dengan pengaruh faktor-faktor perkembangan psikologis, sosiologis, ekonomi, politik, dan nilai nilai budaya yang tetap hidup dalam masyarakat. Pengikut aliran ini selalu terjebak pada aliran positivisme legis, yang berasal dari aliran pemikiran hukum murni dan menafikan masalah-masalah yang berkaitan dengan filsafat moral, etika, hak asasi manusia apalagi berbicara sosiologi hukum.
Di dalam KUHP, ketentuan umum tentang pidana mati diatur dalam dua pasal yaitu pasal 10 dan pasal 11 KUHP. Pidana mati diadakan dengan maksud antara lain sebagai sarana untuk melindungi kepentingan umum yang bersifat kemasyarakatan yang dibahayakan oleh kejahatan dan penjahat yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi.
Perumusan ancaman pidana mati dalam praktek sering menimbulkan perdebatan diantara yang setuju dan tidak setuju. Bagaimanapun pendapat yang tidak setuju adanya pidana mati, namun kenyataan yuridis formal pidana mati memang dibenarkan dan masih diperlukan. Hal ini dapat kita lihat dibeberapa pasal di dalam KUHP yang berisi ancaman pidana mati, seperti makar pembunuhan terhadap Presiden (Pasal 104), pembunuhan berencana (Pasal 340).
Ketentuan mengenai pidana mati dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 hanya diatur dalam satu pasal, yaitu Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi :“Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”
Selanjutnya, dalam “Penjelasan Pasal 2 ayat (2)” dinyatakan: “Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan, sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.”
Dari perumusan di atas terlihat bahwa pidana mati merupakan pemberatan pidana apabila tindak pidana korupsi dilakukan “dalam keadaan tertentu”. Batasan keadaan tertentu UU No 31/1999 pun diubah dengan UU No 20/2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Batasan keadaan tertentu merupakan salah satu bagian yang mengalami perubahan.
Secara yuridis formal pidana mati dibenarkan. Pidana mati tetap diperlukan dengan melihat adanya kejahatan-kejahatan manusia yang tidak dapat ditolerir lagi. Sebab bagaimanapun juga penegakkan suatu keadilan (secara hukum) akan mengurangi hak asasi manusia.

Menurut Fiqh Jinayah
Secara historis, tentang pidana mati adalah berawal dari qishas yang sebenarnya merupakan bentuk punishment yang hanya diterima Islam dari tradisi sebelumnya, sebagaimana yang diinformasikannya. Dengan kata lain, Islam bukanlah teologi pertama yang mengakui dan menerima hukuman mati dalam sistem hukum yang dibangunnya. Karena dalam pandangan Islam konsep qishas justru berasal dari ajaran yang dibawa oleh Musa (QS: 5 ; 32 dan 45), yang kemudian diterima dan disempurnakan dalam sistem hukum Islam. Dari sinilah dimulainya justifikasi teologis penerapan hukuman mati. Mengakhiri kehidupan seseorang atas nama Tuhan atau demi kebajikan yang meniscayakannya.
Sebenarnya konsep qishas dalam Islam lebih merupakan pemberian hukuman setimpal (maxim) bagi setiap kejahatan yang berhubungan dengan pelukaan fisik manusia, terutama yang berkaitan dengan pembunuhan (QS: 178). Konsep qishas yang demikian dapat dibaca sebagai dasar pokok pijakan legal-teologis HAM yang dibangun dalam Islam. Yaitu penghargaan total bagi manusia, tanpa mempermasalahkan perbedaan-perbedaan yang menjadi kelaziman dalam berkehidupan.
Sampai saat ini qishas tetap dipertahankan dalam sistem hukum Islam lebih karena faktor-faktor teologis dibandingkan karena keefektivitasannya sebagai sebuah prevensi (pencegahan), pengajaran dan pendidikan. Meskipun demikian bukan berarti ia terlepas sama sekali dari nilai-nilai kemanusiaannya. Karena inti dasar Syariah (hukum Islam) adalah mewujudkan kemaslahatan bagi manusia di dalam kehidupannya di dunia.
Dengan demikian, segala bentuk perbuatan yang menafikan dan mengabaikan kemaslahatan manusia dengan dalil atau argumentasi apapun dapat dipandang bertentangan dengan Syariah, termasuk terorisme yang dibungkus dengan baju agama.
Dengan konsep qishas yang lebih sebagai penghukuman setimpal, tidak dapat dipandang bahwa ia hanya untuk melahirkan perasaan puas. Karena justru QS: 2; 179 menyatakan bahwa ada kehidupan yang ingin dipelihara melalui konsep qishas. Pesan ini agak sulit ditangkap kecuali melalui proses pemahaman yang komprehensip dalam memamandang konsep qishas itu sendiri.
Hukuman mati atau qishas dalam sistem pemidanaan hukum Islam bukanlah merupakan sanksi hukum yang final, yang meniscayakan pemberlakuannya secara total. Karena konsep qishas akan berubah menjadi sanksi hukuman yang lebih ringan (diyat) atau bahkan menjadi gugur sama sekali apabila ada pemaafan atau pengampunan dari korban atau pihak keluarganya.
Yang menarik dan penting diperhatikan berkaitan dengan hal ini adalah bahwa pemaafan dalam Islam dipandang sebagai perbuatan yang sangat terpuji. Bahkan diklaim sebagai keringanan dan kasih sayang yang diberikan Tuhan kepada terpidana (QS: 2; 178). Anjuran untuk memberi maaf ini memperlihatkan bahwa Islam ingin menegaskan perasaan empati dan simpati tidak hanya dirindukan terpidana mati tapi sekaligus didambakan oleh mereka yang menerima akibat perbuatan kejahatannya. Bukan sekedar ungkapan turut berduka cita yang hampa.
Dengan demikian, menurut saya, semangat yang dibawa Islam berkaitan dengan vonis hukuman mati, adalah upaya meminimalisir pelaksanaannya dengan memberikan alternatif sanksi hukuman lain yang lebih ringan melalui pemaafan oleh korban atau keluarganya.
Tanpa mengabaikan motivasi di balik perbuatan kejahatan, pemaafan bagaikan oase dalam gersangnya tekstualitas bahasa hukum yang tidak mampu menyentuhnya. Karena kekhilafan tidak mungkin terlepas sama sekali dari nilai-nilai kemanusiaan kita.
Dalam bahasa yang berbeda, pemberian grasi oleh Presiden, tampaknya, mempunyai semangat yang sama dengan pemberian maaf dalam Islam sebagaimana di atas. Sehingga mestinya, motivasi-motivasi di balik setiap perbuatan kejahatan yang tidak dapat terungkap oleh dangkalnya tekstualitas bahasa hukum menjadi pertimbangan tersendiri bagi seorang Presiden untuk memberi “maaf” (grasi). Bukan malah larut dalam bahasa hukum yang kaku.
Namun begitu, bukan berarti hukuman mati dalam Islam tidak dimungkinkan dalam kasus-kasus kejahatan yang lain. Mengingat tujuan Syariah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, maka setiap perbuatan yang bertentangan dengannya dalam kualitas tertentu, menurut kebijaksanaan dan aturan-aturan (ta’zir) yang disepakati umat Islam, dapat melahirkan sanksi hukuman mati.
Maka wajar misalnya, apabila fatwa ulama NU menyatakan bahwa koruptor, karena perbuatannya yang dapat menyengsarakan kehidupan masyarakat banyak, dapat diancam dengan hukuman mati. Di sinilah gagasan hukuman mati bagi para koruptor menemukan relevansinya. Terlepas sama sekali dari faktor politis di belakangnya.( Teguh Prawiro, Hukuman Mati Dalam Perspektif Islam, 28 Maret 2007, Center For islamic Studies And research Laboratories)
Jelas Allah akan melaknat orang yang menyuap dan orang yang menerima suap serta perantara keduanya. (HR Ahmad bin Hanbal). Sedangkan sanksi hukum duniawi yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi diberikan dalam bentuk ta'zir yang secara harafiyah berarti mendidik.
Sungguhnya merupakan bentuk hukuman yang sangat responsif terhadap berbagai situasi dan perkembangan zaman. Pakar hukum pidana Islam Abdul Qadir Awadah dengan rinci menjelaskan macam sanksi hukuman ta'zir di antaranya hukuman mati.

Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 bahwa yang dimaksud korupsi adalah perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pasal 3 Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa korupsi adalah : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.(Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)
Yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi adalah Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (sesuai Pasal 2 ayat (1) dan 3 UU No. 31 tahun 1999).
Memperhatikan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, maka tindak pidana korupsi itu dapat dilihat dari 2 segi, yaitu: Pertama, korupsi aktif. Adapun yang dimaksud dengan korupsi aktif adalah sebagai berikut :(Darwan Prinst, S.H., ”Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002, hal. 1) Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999). Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999). Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999). Memberi atau memperjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara denngan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf a Pasal 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001). Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubung dengan sesuatu yang beretntangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001). Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
Kedua, korupsi pasif adalah sebagai berikut : Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001). Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001). Orang yang menerima penyerahan bahan atau keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (Paasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Menurut Fiqh Jinayah
Dari literatur ke-Islaman korupsi dari kata bahasa Arab ghalla-yaghullu yang artinya berkhianat, menggelapkan. Sedangkan ghulul merupakan masdar dari ghalla-yaghullu jadi ghulul artinya adalah khianat, maksud khianat di sini adalah mengambil sesuatu yang bukan haknya dengan cara sembunyi-sembunyi. Khianat juga bisa di artikan menyalahgunakan wewenang untuk mendapatkan sesuatu yang di inginkan.
Selain al-ghulul di kenal dengan khianat terhadap harta rampasan juga di kenal dengan khianat terhadap tugas (jabatan) yang di embankan. Yaitu, apabila mengambil sesuatu di luar haknya (upah, gaji) yang sudah di tentukan. Rasulullah selalu mengingatkan orang-orang yang di beri jabatan untuk memperhatikan apa yang menjadi kewajibannya dan apa yang seharusnya di terima sebagai imbalan atas tugasnya dan menjadi haknya. Jadi perbuatan-perbuatan yang di kategorikan al-ghulul adalah: pertama, melakukan penggelapan; kedua, menerima sesuatu (hadiah) karena memegang jabatan; ketiga, mengambil sesuatu di luar gaji resmi.
Definisi korupsi adalah suatu tindakan mengambil hak orang lain secara terencana ataupun tidak, di bawah kekuasaannya, untuk memperkaya diri sendiri, orang lain dan lembaga yang berakibat pada kerusakan dan kerugian bagi pihak lain.
Salah satu perbuatan yang diharamkan Islam adalah korupsi yang pada masa Nabi diistilahkan ghulul dan risywah, artinya penggelapan atau pemberian dan penerimaan hadiah serta penyuapan karena tugas yang diemban khususnya para pejabat/pemimpin rakyat.
Bentuk perhatian Islam terhadap perilaku curang yang berakibat kerugian orang lain yaitu hukuman yang adil. Pertama, siksaan yang setimpal, di akhirat ada yang dikalungi lehernya dengan benda hasil korupsinya. Tak berupa duit, tapi berubah bara api neraka.
Alquran berbunyi:
             

Artinya : Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula (Al-Zalzalah : 7-8)

                       

Artinya : ''Tidaklah pantas seorang Nabi untuk melakukan ghulul dan barang siapa yang melakukan ghulul dan barang siapa yang ghulul maka dia akan membawa yang dia ghulul itu pada hari kiamat. Lalu setiap jiwa diwafatkan sesuai dengan yang diusahakannya kala ia hidup. Dan mereka tidak akan dikurangi amalannya''. (surat Ali Imran: 161).

Korupsi merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dan/atau bersama-sama beberapa orang secara profesional yang berkaitan dengan kewenangan atau jabatan dalam suatu birokrasi pemerintahan dan dapat merugikan departemen atau instansi terkait. Lain halnya perbuatan mencuri yang adakalanya dilakukan langsung dalam bentuk harta dan adakalanya pula adalam bentuk administrasi. Oleh karena itu, seseorang yang melakukan pelanggaran bidang administrasi seperti memberikan laporan melebihi kenyataan dana yang dikeluarkan merupakan jenis perilaku yang merugikan pihak yang berkaitan dengan laporan yang dibuatnya. Perbuatan semacam ini jika berkaitan dengan jabatan atau profesi dalam birokrasi jelas merugikan departemen atau instansi terkait. Perbuatan dimaksud, disebut korupsi dan pelaku akan dikenai hukuman pidana korupsi.
Dalam hukum Islam klasik belum dikemukakan oleh para fuqaha tentang pidana korupsi. Hal ini, didasari oleh situasi dan kondisi pda waktu itu karena sistem administrasi belum dikembangkan. Dilihat dari asas pidana bahwa korupsi dan pencurian mempunyai kesamaan, yaitu sama-sama merugikan sepihak. Perbedaan antara keduanya hanya dari teknis bukan prinsip. Atas dasar itu korupsi merupakan delik pidana ekonomi yang sanksi hukumnya dapat disamakan dengan pidana pencurian baik mengenai yang dikorupsi maupun sanks yang diberlakukan terhadap pelakunya begitu pula persyaratannya. (Prof. D. H. Zainuddin Ali, M.A., Hukum Pidana Islam, Cetakan ke-1, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2007), hal. 71.
Dalam hukum Islam, korupsi dapat dikategorikan sebagai perilaku hirabah. Hirabah adalah aksi seseorang atau sekelompok orang dalam negara untuk melakukan kekacauan, pembunuhan, perampasan harta, yang secara terang-terangan mengganggu dan menentang peraturan yang berlaku, perikemanusiaan, dan agama. Hirabah merupakan salah satu bentuk jarimah hudud, yaitu tindak pidana yang jenis, jumlah dan hukumannya ditentukan oleh syariat. Hirabah disebut juga oleh ahli fikih sebagai qath'u at-thariq (menyamun) atau as-sariqah al-kubra (pencurian besar). Ulama fikih menyebut hirabah sebagai as-sariqah al-kubra, karena hirabah itu merupakah upaya mendapatkan harta dalam jumlah besar dengan akibat yang dapat menyebabkan kematian atau kerganggunya keamanan dan ketertiban. Para ulama memang mempersyaratkan hirabah dengan tindakan-tindakan kekerasan untuk merampas harta, mengganggu keamanan dan mengancam nyawa manusia akan tetapi kekerasan dan gangguan keamanan yang dimaksud tidak dijelaskan lebih detail. Korupsi seperti hirabah karena ia dapat merusak seperti hirabah, mengganggu stabilitas negara dan mengancam hidup orang banyak akibat kekayaan negara yang digerogotinya. (Drs Akbarizan MA MPd, Hukum Mati Koruptor (Perspektif Syariah), Riau Pos : Jumat, 17 Pebruari 2006).
Harta Ghulul adalah harta yang diperoleh oleh pejabat (pemerintah atau swasta) melalui kecurangan atau tidak syar’i, baik yang diambil harta negara maupun masyarakat. Barangsiapa yang berbuat curang, pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya (Ali-Imran 161).
Harta ghulul terdiri dari 4 macam. Pertama, suap (risywah) : Setiap harta yang diberikan kepada pejabat atas suatu kepentingan, padahal semestinya urusan tersebut tanpa pembayaran. Kedua, hadiah (hibah) : Hadiah yang diberikan kepada pejabat (mirip suap) agar memperoleh penghargaan, penilaian istimewa atau keuntungan dikemudian hari.
Rasulullah mengangkat Ibnu Utabiyah untuk menarik zakat Bani Sulaim. Setelah kembali dan menghadap Rasulullah, Ibnu Utabiyah berkata: Ini untuk engkau dan ini adalah hadiah yang diberikan orang kepada saya, lalu Rasulullah bersabda : Ini adalah (harta) untuk anda, dan ini (harta yang) dihadiahkan kepadaku. (Jika memang benar itu hadiah) apakah tidak sebaiknya ia duduk saja dirumah bapak atau ibunya, lalu (lihat) apakah hadiah itu akan diberikan kepadanya atau tidak?. Demi zat yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, tidak akan ia membawa sesuatu melainkan dihari Kiamat nanti ia akan memikul (kesalahannya) diatas pundaknya (HR Bukhari No. 1922).
Ketiga, komisi (‘amulah) : Harta yang diperoleh hasil balas jasa transaksi antara pejabat dengan supplier pemerintah. Keempat, korupsi : Mengambil harta negara yang bukan haknya atau melakukan mark-up suatu project pemerintah.
Semua harta ini (4 jenis diatas) haram diambil dan harus dikembalikan kepada pemiliknya, penyuap, penerima suap dan perantaranya harus dihukum. Rasulullah saw melaknat penyuap, penerima suap dan orang yang menyaksikan penyuapan (HR Imam Ahmad).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa jika seseorang untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan telah dibayar maka apapun selain itu bukan menjadi haknya dan haram mengambilnya. Begitu juga, jika dia memanfaatkan harta perusahaan atau negara untuk kepentingan pribadinya, dalam hal ini ia telah mengambil sesuatu yang bukan haknya secara bathil dan haram hukumnya. Misal, seorang karyawan menerima souvenir sebuah pulpen, parcel diakhir tahun, amplop yang berisi uang atau uang komisi yang biasanya langsung ditransfer, mengambil harta perusahaan/negara, melakukan mark-up suatu transaksi, dan lain-lain. Siapa saja yang kami beri tugas melakukan sesuatu pekerjaan dan kepadanya telah kami berikan rizki (gaji) maka yang diambil olehnya selain itu adalah kecurangan (HR Abu Dawud).

Dampak Sistem Perumusan Ancaman Pidana Mati
Jenis pidana yang dijatuhkan hakim dalam kasus tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001:

No.
Kasus
Pengadilan Yang Memutus
Pidana yang Dijatuhkan
1.
HGB Hotel Hilton yang berada di kawasan Gelora Senayan Jakarta Pusat yang dikuasai oleh Sekretaris Negara, melalui prosedur yang tidak sah sehingga berpotensi merugikan negara hingga Rp1,936 triliun.
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat
Pidana penjara 6 tahun, denda Rp300 juta
2.
Mantan Gubernur Sulteng, Aminuddin Ponulele dari tuntutan kasus dugaan korupsi dana pemulangan pengungsi Poso dari Morowali ke Poso sebesar Rp 1,2 M tahun anggaran 2001,
Pengadilan Negeri Palu
Bebas
3.
Kasus korupsi yang dilakukan bekas Wakil Gubernur Jawa Barat, Ukman Sutaryan, Ukman terbukti bersalah karena menganjurkan saksi, Ragam Santika menyetujui pemberian dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jawa Barat dan anggaran rutin untuk pembangunan Rumah Sakit Islam Al-Ihsan Bandung sebesar Rp 16 miliar.
Mahkamah Agung (perkara kasasi Ukman)
Menghukum terdakwa dua tahun enam bulan penjara, denda Rp 15 juta, dan uang pengganti sebesar Rp 5.087.870.820.
4.
17 mantan dan anggota DPRD Depok, terdakwa kasus korupsi APBD Depok tahun 2002 senilai Rp7,35 miliar.
Pengadilan Negeri Cibinong
Hukum kurung selama dua tahun potong masa tahanan dan denda Rp50 juta subsidair tiga bulan kurungan.
5.
17 mantan dan anggota DPRD Depok, terdakwa kasus korupsi APBD Depok tahun 2002 senilai Rp7,35 miliar.
Pengadilan Tinggi Jawa barat (Banding)
Memvonis 17 mantan dan anggota DPRD Depok masing-masing hukum kurung satu tahun potong masa tahanan dan denda Rp50 juta subsidair tiga bulan kurungan.
6.
Omay K Wiraatmadja dalam kasus korupsi pemberian kredit dari Bank Mandiri kepada PT CGN sebesar Rp 160 miliar.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Vonis bebas
7.
40 mantan anggota DPRD Kota Padang yang tersangkut kasus korupsi dana APBD senilai Rp 10,4 miliar.
Pengadilan Negeri Padang
Vonis Pengadilan Negeri masing-masing 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan. Selain itu, masing-masing diwajibkan membayar uang pengganti bervariasi antara Rp 204 juta hingga Rp 274 juta.
Sumber : www.google.com diakses tanggal 09 Februari 2008 pukul 13.00
Berdasarkan tabel di atas, jelas bahwa hakim dalam memutuskan perkara menggunakan sistem perumusan kumulatif, terbukti dengan pidana yang dijatuhkan yaitu berupa pidana penjara dan denda.
Namun, dalam beberapa kasus tindak pidana korupsi (dalam tabel) di atas, tidak ada satu pun kasus korupsi yang dijatuhi hukuman pidana mati, tetapi yang lebih ironis lagi ada yang di vonis bebas padahal rumusan unsur-unsur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 maupun penjelasan dalam Pasal 2 ayat (1) dalam undang-undang ini telah ditegaskan bahwa tindak pidana korupsi adalah delik formil yang mengandung makna unsur 'dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara', bersifat fakultatif, artinya tidak harus dipenuhi. Apabila pelaku terbukti sudah melakukan perbuatan melawan hukum (yang berkaitan dengan keuangan/aset negara) dan sudah ada pihak yang diuntungkan (diri sendiri, orang lain atau korporasi), tindak pidana korupsi sudah terjadi (voltooid).
Dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 31/1999 yang membuka peluang dijatuhkannya pidana mati dalam ‘keadaan tertentu’ terhadap seorang terdakwa korupsi. Berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU No. 31/1999, pengulangan tindak pidana korupsi juga dapat dikategorikan sebagai ‘keadaan tertentu’ untuk menjatuhkan pidana mati. Pasal 2 Ayat (2) : Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Analisa Sistem Perumusan Ancaman Pidana Mati
Dengan meng-qiyas-kan atau menganalogikan korupsi dengan hirabah maka hukuman bagi pelaku korupsi dapat pula diklasifikasikan menjadi tiga. Pertama, hukuman mati atau tembak mati, apabila korupsi ini dilakukan dalam jumlah yang besar (as-sariqah al-kubra) yang dapat mengakibatkan terganggunya stabilitas negara dan citra bangsa serta hilangnya kesempatan hidup bagi sebagian rakyat, seperti korupsi dana dalam jumlah puluhan milyar rupiah dan seterusnya. Kedua, hukuman potong tangan dan kaki secara silang, apabila korupsi dilakukan dalam jumlah sedikit yang hanya mengakibatkan kerugian material keuangan negara, seperti korupsi dalam jumlah ratusan juta rupiah. Ketiga, dipenjarakan sampai ia tobat, apabila korupsi dilakukan dalam jumlah yang sangat sedikit, seperti dalam jumlah jutaan atau puluhan juta. Korupsi untuk hukuman yang paling ringan ini hanya ditoleransi karena kebutuhan hidup. Walaupun begitu, hukuman penjaranya bisa saja seumur hidup bila hakim melihat bahwa sepantasnya pelaku korupsi dalam jumlah kecil ini diganjar seperti itu. (Drs Akbarizan MA MPd, “Hukum Mati Koruptor (Perspektif Syariah)”, Riau Pos : 17 Pebruari 2006).

Pelaku hirabah dituntut hukuman yang sangat berat dalam Islam, karena ia adalah salah satu bentuk pidana hudud yang langsung ditentukan oleh nash al-Qur’an. Apabila tindak pidana ini telah terbukti secara meyakinkan di sidang pengadilan, maka hakim dapat mengeksekusi hukuman yang telah ditentukan Allah SWT tersebut tanpa boleh diubah, ditambah, maupun dikurangi, karena ini adalah hak Allah SWT.
Ayat Alquran yang menunjukkan hukuman bagi pelaku hirabah tersebut adalah firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 33 :
                                    

Artinya : Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.

Ayat dalam Surat al-Maidah ini menyebutkan empat hukuman bagi pelaku hirabah, yaitu dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki, dan dibuang dari tempat kediamannya.

Kesimpulan
Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang pemberantasan tindak Pidana Korupsi yaitu hakim dalam memutuskan perkara menggunakan sistem perumusan kumulatif, terbukti dengan pidana yang dijatuhkan yaitu berupa pidana penjara dan denda, namun tidak ada satu pun kasus korupsi yang dijatuhi hukuman pidana mati. Hal ini akan berdampak yaitu dapat menimbulkan rasa ketidakadilan dalam masyarakat. Padahal dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 membuka peluang dijatuhkannya pidana mati dalam ‘keadaan tertentu’ terhadap seorang terdakwa korupsi. Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Dalam fiqih jinayah apabila dilihat dari unsur formil (hukum syar’i) dan asas legalitas pemidanaan mati harus didasarkan hukum Allah SWT (ketentuan Allah SWT) hukum obyektif qur’ani dan sunnah rasulullah SAW yang shahih dan penegakkan hukumnya akan efekif karena secara i’tiqadi para penegak hukum melakukan ibadah ketika menerapkan hukum (Islam). Dalam masa keemasan Islam, bahkan kesadaran penegakan hukum bukan hanya disadari oleh pelaku penegak hukum, namun terpidana hukum pun dengan dorongan keimanan, rela diterapkan hukuman atas dirinya, karena itu merupakan penebus (jawabir), agar dia tidak dihukum lagi di akhirat dengan hukuman yang lebih berat dan pedih. Menganalogikan korupsi dengan hirabah maka hukuman bagi pelaku korupsi dapat pula diberikan sanksi berupa hukuman mati atau tembak mati, apabila korupsi ini dilakukan dalam jumlah yang besar (as-sariqah al-kubra) yang dapat mengakibatkan terganggunya stabilitas negara dan citra bangsa serta hilangnya kesempatan hidup bagi sebagian rakyat, seperti korupsi dana dalam jumlah puluhan milyar rupiah dan seterusnya. Maka hal ini akan mampu memberikan dampak keadilan dalam masyarakat.

Daftar Pustaka
Abdurrahman Al Baghdady, “Serial Hukum Islam : Penyewaan tanah lahan, kekayaan gelap, ukuran panjang, luas, takaran dan timbangan,” Penerbit : PT. Al-Ma’arif, Bandung : 1987
Amien Faishol Fath, “Harta Yang Halal”, PKPU Online : Maret 2005
Abdul Halim Barkatullah, S.Ag., SH., MH., CD., dan Dr. Teguh Prasetyo, SH., M.Si, Hukum Islam : Menjawab Tantangan Zaman Yang Terus Berkembanag,, Cet.I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
Amien Rahayu, “Membedah Akar Permasalahan Korupsi Di Indonesia”, Amanah Online : Mei 2007
Antonius Sujata, “Ombudsman Dan Gerakan Anti Korupsi”, Komisi Ombudsman Nasional : April 2007
A. Fuad, SH., M.Si, Moh.Najih, SH., M. Hum, Tongat, SH., M. Hum, “Pengantar Hukum Pidana”, Penerbit: UMM Press, Malang 2004
Drs Akbarizan MA MPd, “Hukum Mati Koruptor (Perspektif Syariah)”, Riau Pos : 17 Pebruari 2006.
A. hanafi M.A, ”Asas-Asas Hukum Pidana Islam”, Penerbit : Bulan Bintang, Jakarta, 1976
A.Umar Said, “Pemberontakan Terhadap Korupsi Perlu Terus Dikorbankan”, Personal Website : A.Umar Said, September 2001
Buletin Al-Islam Edisi 359, Korupsi Hanya Bisa Diatasi Oleh Syariah Islam, Juni 2007
Erina Cahyaningsih, “Menginisiasi Partisipasi Masyarakat Dalam Kegiatan Pemantauan Peradilan”, Indonesian Court Monitoring : Mei 2007
DR.H.Fathurrahman Djamil, MA, ”Filsafat Hukum Islam”, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, Pebruari 1997.
Hassan Hanafi, Agama, Kekerasan, dan Islam Kontemporer Penerbit: Jendela, Yoyjakarta 2001
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Cet. V Penerbit: UI Press, Jakarta 1985
K. Wantjik Saleh, Tindak pidana Korupsi dan Suap, Cet. V, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983
Luthfi J. Kurniawan. dkk, Menyingkap Korupsi di Daerah, Malang: In-Trans, 2003
Drs. Makhrus Munajat, M.Hum, ”Kajian Hukum Islam : Dekonstruksi Hukum Pidana Islam”, Jogjakarta : Logung Pustaka, Cet. Pertama, Juli 2004
Martiman Prodjohadimidjoyo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam delik Korupsi, Bandung: Mandar Maju, 2001
M. Dawan Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an Jakarta : Paramadina
Mun’in DZ, “Membangkitkan Moral Bangsa”, NU Online : Februari 2007 Mujiono Abdullah, Dialektika Hukum Islam dan Perubahan Sosial Penerbit
Moertono S.H, “Filsafat Hukum”, Penerbit: Yayasan Badan Penerbit Gadjah mada, Yogyakarta,1965
Moh. Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cet IV Penerbit: Rajawali Press, Jakarta, 1998: UMS Press, Solo, 2003
Masruchin Ruba’I, S.H., M.S, Mengenal Pidana dan Pemidanaan di Indonesia”, Malang: IKIP, 1997
Prof.Dr.Mohammad Saleh,Drs.Mpd, ”Menjadi Koruptor Karena hatinya Kotor”, Sufinews.com: Mei 2005
Metro Higlights, Perang Melawan Korupsi : http ://www.welcome to sugi world.com, diakses tanggal 5 November 2006
Nurul Huda Maarif, Korupsi Dan Problem Kesadaran Beragama”, Sidogiri : Juli 2005
Prof. Oemar Seno Adji S.H, “Hukum Pidana Pengembangan”, Penerbit: Erlangga, Surabaya, 1985
Prof. DR. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M “Sekitar Masalah Korupsi : Aspek Nasional dan Aspek Internasional” Penerbit : CV. Mandar Maju, Cet. I, Bandung : 2004
Drs. H. Rahmat Hakim, “Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah)”, Cet. I, Bandung: Pustaka Setia, 2000
Soerjono Soekanto dan Sri mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tujuan Singkat, Penerbit : Raja Grafindo Persada., Cet. V, Jakarta, 2001
Tongat, SH., M.Hum, leporan penelitian : Dampak Sistem Perumusan Ancaman Pidana Dalam Undang -Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang -Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Disparitas Pidana, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, Januari 2008
Prof. D. H. Zainuddin Ali, M.A., Hukum Pidana Islam, Cet.I, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2007
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Penjelasannya, Cet. I, Bandung: Fokusmedia, Mei 2005



Email: tinuk_cahyani@yahoo.com