Gelorakan Pemikiran

Kamis, 28 April 2011

Perkembangan Pemikiran HAM di Indonesia

Pemahaman HAM di Indonesia sebagai tatanan nilai, norma dan konsep yang hidup di masyarakat dan acuan bertindak pada dasarnya sudah berkembang cukup lama secara garis besar Prof. Bagir Manan dalam bukunya Perkembangan dan Pengaturan HAM di Indonesia (2001) membagi perkembangan pemikiran HAM d di Indonesia dalam dua periode yaitu periode sebelum kemerdekaan (1908-1945) dan periode setelah kemerdekaan (1998 - sekarang). Pemikiran HAM dalam periode sebelum kemerdekaan dapat dijumpai dalam organisasi seperti dalam gerakan Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia, Sarekat Islam, Partai Komunis Indonesia, Indische Partij, Partai Nasional Indonesia dan perdebatan dalam BPUPKI. Sedangkan pemikiran HAM dalam periode setelah kemerdekaan dibagi dalam periode 1945-1950, periode 1950-1959, periode 1959-1966, periode 1966-1998 dan periode 1998 - sekarang. Pada periode sebelum kemerdekaan (1908-1945) sebagai organisasi pergerakan, Boedi Oetomo telah menaruh perhatian terhadap HAM. Dalam kontekss pemikiran HAM, para pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial maupun tulisan-tulisan yang dimuat dalam surat kabar Goeroe Desa. Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat. Selanjutnya, pemikiran HAM pada Perhimpunan Indonesia banyak dipengaruhi oleh tokoh organisasi seperti Mohammad Hatta, Nazir Pamontjak, Ahmad Soebarjo, A. A. Maramis, dan sebagainya. Pemikiran HAM para tokoh tersebut lebih menitikberatkan kepada hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination). Salah satu pemikiran dari perhimpunan Indonesia seperti dalam pidato Mohammad Hatta “Semenjak pasifik menunjukan perkembangan ekonominya, sejak itu masuk pada pusat politik dunia. Pertentangan kekuasaan sudah mulai, yang akan berkembang jadi drama-drama dunia yang hebat, yang dimasa sekarang kita belum dapat menggambarkannya. Karena peperangan pasifik berdarah antara timur dan barat, tetapi juga akan menyudahi kekuasaan bangsa-bangsa kulit berwarna. Dunia akan memperoleh wajah baru yang lebih baik kalau dari pertempuran itu kalau bangsa kulit berwarna mendapat kemenangan. Karena kelembutan dan perasaan damainya bangsa kulit berwarna akan menjadi tanggungan bagi dunia, dengan sendirinya perhubungan dengan kolonial akan diganti oleh masyarakat dunia yang didalamnya hidup bangsa-bangsa yang merdeka yang berkedudukan yang sama”. Selanjutnya serikat Islam organisasi kaum santri yang dimotori oleh Agus Salim dan Abdul Muis menekankan pada usaha-usaha untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial. Sedangkan pemikiran HAM dalam partai komunis Indonesia sebagai partai yang berpaham Marxisme.
Sedangkan pada priode setelah kemerdekaan (1945 - sekarang) bahwa pemikiran awal HAM pada masa ini adalah tentang hak kemerdekaan (self determionation), hak untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat ligetimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk ke dalam hukum dasar Negara (konstitusi) yaitu UUD 1945. Perjalanan HAM pada masa ini dikenal sangat identik dengan priode demokrasi parlementer. Pemikiran HAM pada zaman ini mengalami momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan menjadi semangat demokrasi liberal yang dipraktekkan oleh elit-elit bangsa ini saat itu. Lahirnya banyak partai dan kebebasan pers adalah satu ciri dari pengakuan atas HAM yang menonjol. Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi Sukarno terhadap sistem demokrasi parlementer. Pada sistem ini (demokrasi terpimpin), kekuasaan terpusat dan berada di tangan Presiden. Akibatnya dari sistem demokrasi terpimpin presiden melakukan tindakan ingkonstitusional baik pada tataran insfrastruktur maupun suprastruktur politik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan Hak Asasi Masyarakat yaitu hak sipil dan hak politik seperti hak untuk berserikat, bekumpul dan mengeluarkan pikiran dengan tulisan. Setalah terjadi peralihan pemerintahan dari Sukarno ke Suharto, ada semangat untuk menegakkan HAM. Pada masa awal priode ini telah diadakan beberapa seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlu dibentuknya pengadilan HAM, pembentukan komisi dan pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada tahun 1968 diadakan Seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji matril untuk dilakukan guna melindungi HAM. Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai priode 1980-an persoalan HAM di Indonesia mengalami kemunduran karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemikiran elit penguasa pada masa ini sangat diwarnai dengan penolakan terhadap HAM sebagai produk Barat dan individualis serta bertentangan dengan paham kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia. Pemerintahan pada priode ini bersipat defensive dan refresif yang dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM.
Meskipun di pihak pemerintah mengalami kemandekan bahkan kemunduran, pemikiran HAM terus ada pada masa ini terutama dari kalangan kampus dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang cukup fokus mengenai masalah HAM. Di awal dekade 1990-an pemerintah mulai mengakomodasi gerakan HAM dengan membuat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993. Pada priode 1998 – sekarang pergantian rezim pemerintah pada tahun 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada kemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang berlawanan dengan kemajuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia. Demikian juga dengan kajian dan ratifikasi terhadap instrument HAM internasional semakin ditingkatkan.
Hanya saja, dalam redaksional dan jangkauan lingkup HAM yang dimuat dalam hasil perubahan Kedua UUD 1945 masih terbilang sangat sederhana, bahkan tidak menggambarkan sebuah sebuah komitmen atas penegakan hukum dan HAM. Hal ini bisa dilihat dari adanya pasal-pasal yang saling tumpang tindih, sehingga tidak diperoleh kejelasan tentang rangkaian profil generasi HAM yang telah berkembang selama ini. Selain itu, juga tidak ditemukan daya desak penegakan hukum dan HAM oleh negara dalam bentuk kewajiban-kewajiban konkret secara eksplisit. Ketidakjelasan makna penegakan HAM terlihaht dari Bab Pasal 27 Ayat (3) dengan Bab XII Pasal 30 Ayat (1) tentang hak atas pembelaan negara. Hal yang sama juga terjadi pada Bab XA Pasal 28D dengan Bab X Pasal 27 Ayat (1) tentang hak atas equality before the law (persamaan dihadapan hukum). Begitu juga pada Bab XA Pasal 28F dengan Pasal 28 tentang hak berserikat dan berkumpul. Ketidakjelasan ini memberikan pengaruh dalam penegakan HAM dalam muatan-muatan HAM yang diatur tersebut. Ketidakjelasan lainnya juga terlihat dari penekanan muatan HAM yang tidak jelas sebagai akibat dari penggabungan muatan HAM dengan muatan HAM lainnya yang sebenarnya tidak sejalan a tau tidak sinkron, seperti pada Bab XA Pasal 28C yang menggabungkan hak atas kebuTuhan dasariah dengan hak mendapatkan pendidikan dan seni budaya. Begitu juga halnya pada Bab XA Pasal 28E yang menggabungkan hak beragama denganhak mendapatkan pekerjaan dan hak atas kewarganegaraan.
Mengenai perkembangan generasi HAM, kelihatan dengan terang bahwa muatan HAM yang diatur dalam perubahan kedua UUD 1945 tidak memiliki kejelasan. Menurut Sadli Isra, materi muatan HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945 tidak konsisten dalam merumuskan kategorisasi hak-hak asasi, apakah pembagiannya menurut kategori hak sipil dan hak ekonomi, sosial dan budaya, ataukah mendefinisikan dengan menggunakan pembagian atas derogable rights dan nonderogable rights, ataukah merumuskannya sengan cara memuat hak-hak individual, komunal, dan vulnerable rights. Ketidakjelasan ini keudian semakin ketika pasal-pasal HAM tersebut tidak memberikan penegasan tentang penegakan HAM itu sendiri. Dengan kata lain, meminjam istilah Saldi Isra, tidak ditemukan pasal-pasal enforcement dalam penegakan HAM secara konkret. Yang ditemukan hanyalah pengaturan lebih lanjut tentang HAM diatur dalam peraturan perundang-undangan.
HAM yang diatur dalam Perubahan UUD 1945 masih terbilang konvensional karena apa yang ditegaskan adalah hak klasik setiap manusia pun mengerti dan memahaminya sebagai hak universal, seperti hak hidup, hak tumbuh dan berkembang, hak atas perlakuan adil dan persamaan dihadapan hukum, hak memperoleh pendidikan dan pengajaran, hak atas pengajaran dankehidupan yang layak secara manusiawi. Jauh lebih penting disamping pengaturan tentang muatan HAM yang sesuai dengan perkembangan kehidupan nasional dan global dalam perkembangan generasi HAM keempat yang bertujuan tercapainya keadilan sosial yang berkeadilan, juga tentang pengaturan tentang daya desak dalam bentuk kewajiban-kewajiban asasi negara, pemerintah, masyarakat, dan pribadi dalam mewujudkan penegakan hak-hak asasi itu dalam kehidupan, baik sebagai pribadi, keluarga, masyarakat, dan bernegara dan berbangsa. Jika diamati dengan seksama materi muatan HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945, kelihtan sangat jauh dari sempurna. Secara redaksional, Satya Arinantomengatakan bahwa materi uatan HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945 sebagian besar merupakan pasal-pasal yang berasal atau setidak-tidaknya memliliki kesamaan dengan pasal HAM sebagaimana diatur dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dari Tabel 5.7 terlihat jelas bahwa materi muatan HAM dalam perubahan Kedua UUD 1945 tidaklah berdiri sendiri. Setidaknya, inspirasi dalam bentuk redaksinal sebagaimana telah diatur sebelumnya dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang hak asasi manusia dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, memberikan pengaruh yang besar dalam rumusan materi muatan HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945. Namun demikian, harus diakui bahwa pengaturan materi muatan HAM dalam UUD 1945, khususnya setelah berlakunya PPErubahan keempat UUD 1945 adal;ah sebuah keberhasilan sekaligus sebagai the starting point dalam upaya penegakan hukum dan HAM di Indonesia. Perubahan ke dua UUD 1945, khususnya pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia memberikan landasan gerak yang signifikan bagi jaminan konstitusi atas HAM Indonesia.