MUHAMMADIYAH : DALAM KHAZANAH DAKWAH DAN POLITIK MUHAMMADIYAH
YANTO SAGARINO DPP IMM
Pandangan dan Nalar Dakwah—Politik Keislaman Muhammadiyah
Persoalan bangsa dan negara yang semakin rumit menjadi tantangan berarti bagi Muhammadiyah, contohnya korupsi yang semakin menggurita. Maka oleh karena itu, kader Muhammadiyah mempunyai tanggungjawab agar turut serta mengembangkan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dengan menolak penyakit korupsi. Karena korupsi merupakan perbuatan yang dapat merugikan orang banyak. Perilaku korupsi hanya akan membawa kepada kesengsaraan dan ketidakadilan yang pada ujungnya membuka kembali strata sosial yang telah ditutup rapat. Muhammadiyah ke depan harus inklusif, liberal, berpolitik sesuai dengan khitah sosialnya. [Benni Setiawan Kembangkan Dakwah Kepemimpinan Profetik Muhammadiyah, 19 November 2008; www.muhammaduyah.or.id]
Kader Muhammadiyah harus memiliki kekayaan spiritual, pergaulan luas sesama golongan, berempati kemanusiaan disertai kesadaran kritis kepada tradisinya sendiri, selalu bersifat terbuka, dan dinamis serta mampu membangkitkan partisipasi publik. Muhammadiyah sudah saatnya memikirkan agar dapat lepas dari belenggu parpol. Hal itu dikarenakan, sangat disayangkan jika organisasi besar tersebut hanya dijadikan batu loncatan untuk kepentingan politik praktis. Meminjam istilah Mohammad Sobary, memisahkan Muhammadiyah dari kepentingan politik praktis tidak akan menjadikan Muhammadiyah kudisan. Artinya, Muhammadiyah akan tetap besar dan menjadi organisasi sosial kemasyarakat yang diperhitungkan oleh masyarakat dalam negeri maupun internasional. Hal itu sangat diperlukan karena tantangan Muhammadiyah ke depan tidak hanya berkutat kepada tahayul, bidah dan churofat (TBC), demokratisasi bangsa, moralitas, dan pentingnya dialog antaragama dan mempunyai spirit dalam usianya yang semakin senja. [Benni Setiawan Kembangkan Dakwah Kepemimpinan Profetik Muhammadiyah, 19 November 2008; www.muhammaduyah.or.id]
Kritikan sangatlah wajar, karena Muhammadiyah merupakan salah satu ormas Islam terbesar di negeri ini, yang tidak hanya memiliki puluhan juta anggota dan simpatisan, melainkan juga sumber daya organisasi yang kaya. Menariknya, eksploitasi potensi politik Muhammadiyah tidak hanya dilakukan oleh agen-agen dari luar, melainkan juga dari dalam organisasi ini sendiri. Langkah yang paling spektakuler sekaligus kontroversial barangkali keputusan Amien Rais yang kala itu adalah ketua umum PP Muhammadiyah mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) pada 1998. Meski PAN secara oganisatoris adalah partai terbuka dan tidak memiliki hubungan formal dengan Muhammadiyah, realitasnya partai ini banyak bersandar pada Muhammadiyah dalam rekrutmen kader (leadership recruitment) maupun pemilih (electoral constituents). Keputusan menarik Muhammadiyah ke lintasan politik telah menimbulkan pro dan kontra berkepanjangan. Sebagian aktivis menolak karena politisasi akan sekadar menjadikan Muhammadiyah sebagai kendaraan politik serta memasukkan benih-benih partisanisme ke dalam organisasi yang akan menghasilkan perpecahan. Namun, tidak kurang juga yang mendukung langkah itu karena meyakini bahwa misi Muhammadiyah adalah dakwah dan politik merupakan salah satu medan dakwah. Karena itu Muhammadiyah tidak perlu alergi dengan politik.Lima tahun kemudian menjelang pemilu 2009 dorongan politisasi dari dalam organisasi kembali menguat. Tahun 2007 yang lalu sejumlah kader muda mendirikan Partai Matahari Bangsa (PMB) yang tampaknya juga akan menjadikan Muhammadiyah sebagai ladang politik. Lebih seru lagi, beberapa hari belakangan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin berkali-kali muncul di media massa mengindikasikan keinginannya untuk dicalonkan di kancah pemilihan presiden. Tidak terhindarkan lagi, perkembangan ini akan memicu kembali pro-kontra lama yang belum sepenuhnya reda. Kembali ke barak Dalam perspektif yang lebih luas, pro-kontra terhadap politisasi Muhammadiyah bukan sekadar persoalan internal organisasi, melainkan persoalan fundamental yang menyangkut masa depan demokratisasi di negeri ini. Muhammadiyah merupakan sebuah organisasi masyarakat sipil (ormas) yang fungsinya adalah menyediakan ruang publik yang melindungi masyarakat dari intervensi politik negara. Malahan Muhammadiyah juga berjasa menyediakan berbagai layanan publik, seperti sekolah, panti asuhan, dan rumah sakit yang tidak terjangkau negara. [Ahmad-Norma Permata Muhammadiyah dan Godaan Politik Partisan Kamis, 13November 2008 www.muhammaduyah.or.id]
Memang bukan berarti ormas tidak memiliki peran politik. Terutama dalam masyarakat yang sedang menjalani proses demokratisasi, ormas memiliki peran politik strategis. Sebagaimana yang terjadi di banyak negara, ormas selalu memainkan peran vital dalam proses transisi politik dari authoritarian menuju demokrasi. Mereka menjadi agen utama dalam upaya meruntuhkan tembok otoritarian dan membangun fondasi demokrasi. Namun, sejatinya politik praktis bukanlah habitat ormas. Secara teori, fungsi ormas menyuarakan (representing) kepentingan masyarakat. Ormas cenderung konsisten dengan visi dan misinya, tanpa banyak terpengaruh oleh aktivitas ormas lain maupun perubahan iklim politik. Muhammadiyah, misalnya, senantiasa fokus pada kegiatan mendakwahkan Islam modernis tanpa banyak terpengaruh oleh perubahan rezim politik. Ini kontras dengan perilaku organisasi politik (orpol) yang selalu berubah orientasi seiring dengan perubahan tren dan situasi. Fungsi orpol adalah mengolah (aggregating) kepentingan. Orpol bertugas menyediakan pilihan kebijakan (policy packages) yang mampu merangkum berbagai kepentingan yang ada di masyarakat. Wajar apabila orpol meskipun memiliki bendera ideologi dan platform politik selalu mengusung diskursus yang silih berganti. Ini karena memang tuntutan kepentingan yang berubah. Seperti kata pepatah, bagi orpol tidak ada kawan atau lawan sejati karena yang sejati adalah kepentingan. Dalam konteks perkembangan lebih lanjut dari proses demokratisasi inilah menjadi sangat penting bagi Muhammadiyah untuk menjauhkan diri dari politik partisan, kembali ke barak memainkan fungsi ormas sebagai penjaga ruang publik yang kalis dari partisan politik. Konsolidasi demokrasi tidak hanya memerlukan orpol yang efektif mengagregasi dinamika kepentingan, melainkan juga ormas yang teguh menjaga nilai-nilai ideal agar tidak larut dalam pusaran kepentingan. Institusionalisasi aturan main Dengan banyaknya jajaran kader dan pimpinan yang berlompatan ke perahu politik yang lebih megah dan mewah, tidak mudah bagi Muhammadiyah untuk berteguh diri memainkan fungsi ormas. Pertama, secara doktriner banyak warga Muhammadiyah yang meyakini bahwa dakwah adalah aktivitas multidimensi, termasuk mencakup politik. Mereka ini masih percaya bahwa politik adalah medan dakwah meski kenyataan selama ini menunjukkan agama sering dimainkan sebagai komoditas politik. [Ibid Ahmad-Norma].
Kedua, secara sosial ekonomi di mana patronase politik merupakan jalan paling cepat meski mungkin tidak yang termudah untuk mendapatkan penghasilan finansial. Karena itu banyak yang tetap berpaling ke politik, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan organisasi.Sudah ada suara di kalangan Muhammadiyah untuk mencari figur pimpinan yang tahan godaan jabatan politik. Namun, dalam telaah yang lebih cermat fenomena lintas pagar dari ormas ke orpol ini bukan hanya karena faktor individual, melainkan juga karena ada insentif institusional. Di Indonesia, orang masih sangat mudah membuat partai politik. Jika cadangan dana besar, para bandar politik dengan mudah membuat parpol baru dan merekrut kader-kader politik mereka dari berbagai ormas yang ada.Galibnya hal ini bukan semata problem internal organisasi Muhammadiyah, melainkan terkait dengan sistem politik yang lebih besar, yaitu upaya institusionalisasi system politik. Dalam sistem demokrasi yang stabil, parpol adalah aktor utama permainan politik, sedangkan ormas bertugas mengawasi perilaku politik dan kebijakan pemerintah yang tidak menyuarakan kepentingan rakyat. Parpol yang mapan memiliki sistem rekrutmen dan pengaderan yang terstruktur dan berjenjang, dan bukan dengan main comot individu dari luar organisasi. Upaya untuk meningkatkan syarat pembentukan parpol, seperti menaikkan jumlah minimal cabang atau menambah electoral threshold menjadi sangat penting untuk menjadikan parpol organisasi yang stabil dengan orientasi jangka panjang. Sekaligus mencegah aktor politik dengan mudah membentuk parpol dan main comot dari ormas. [Ibid Ahmad-Norma]
Pengabdian Strategis Muhammadiyah Dalam Dakwah Politik
Barangkali bukan sekadar kebetulan kalau dalam kabinet SBY-JK, Muhammadiyah mendapat kepercayaan memimpin Departemen Pendidikan Nasional serta Departemen Kesehatan. Kepercayaan ini harus diterima sebagai amanat dan kepercayaan profesional kepada persyarikatan sebagai ormas yang memiliki komitmen di kedua bidang itu. Tetapi hanya sebagai kebetulan saja jika Universitas Muhammadiyah Mataram pada tahun akademik 2007/2008 menerima SK ijin operasional farmasi dan Kebidanan serta peresmian Gedung Rektorat Baru. Artinya ini merupakan sebuah keberhasilan yang nyata dalam melakukan dan memantapkan bargaining position dalam politik.
Keterlibatan Muhammadiyah secara praktis ke dalam ruang politikbisa di tafsirkan dalam konteks keberpihakan Muhammadiyah untuk menetralisir berbagai macam prilaku dalam politik praktis. Memang tidak bias kita hindari secara bersama vahwa berdirinya Partai Matahari Bangsa (PMB) yang didirikan oleh sebagian besar Angkatan Muda Muhammadiyah merupakan simbol dan kunci bagi tegaknya gerakan kultural Muhammadiyah secara terang-terangan dan terus-menerus. Pergeseran posisi dan peran Muhammadiyah sebagai gerakan kultural yang idealnya mengabdi untuk kepentingan bangsa dengan mengayomi semua partai politik dengan posisi yang sama selama bertujuan untuk mendorong amar makruf nahi munkar ke arah gerakan politik.
Langkah-langkah yang seharusnya di tempuh dalam politik praktis adalah tetap berpijak pada khittah Muhammadiyah yang menjunjung tinggi etika berpolitik Muhammadiyah sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh HM Junus Anis, salah satu pimpinan Muhammadiyah, Muhammadiyah tetap Muhammadiyah. Artinya, Muhammadiyah tidak akan pernah digadaikan atau terjual oleh kepentingan politik atau menjadi parpol. Ungkapan ini muncul akibat kejengkelan HM Junus Anis yang begitu mudahnya pimpinan Muhammadiyah tergoda dengan kepentingan politik. Melalui khotbah iftitah pada muktamar ke-35 dan milad setengah abad Muhammadiyah, beliau menjawab dengan ketus: ''Silakan makan, kalau memang doyan, tapi awas kalau nanti keleleden: ditelan tidak masuk, dilepeh tidak keluar. Ingat, Muhammadiyah bukan dan tidak akan menjadi partai politik. Sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah: selalu kukuh untuk melakukan dakwah amar makruf nahi munkar untuk kebaikan semua masyarakat sebagai bagian dari gerakan kultural.'' Bahkan, ketika Ahmad Syafii Maarif melanjutkan kepemimpinan Muhammadiyah sangat tampak komitmen beliau untuk meneruskan semangat dan cita-cita para pendahulu pimpinan Muhammadiyah yang ingin meletakkan Muhammadiyah untuk kepentingan bangsa. Dengan demikian, harus ada sikap yang akan selalu dipandang dan dilihat sebagai organisasi besar tempat banyak orang mengadu dan meminta petunjuk. Tentunya akan berbeda jika Muhammadiyah sudah menunjukkan keberpihakannya terhadap salah satu parpol atau masuk dalam ruang politik praktis. Hal ini tanpa kita sadari akan memperkecil keberadaan dan peran organisasi Muhammadiyah itu sendiri. Muhammadiyah bagi masyarakat tidak lagi menjadi bagian atau kepemilikan dari masyarakat secara luas, melainkan sebagai bagian atau kepemilikan dari sebagian atau sekelompok orang atau partai politik tertentu. Dengan demikian, Muhammadiyah tidak bisa menjadi tenda bangsa yang seharusnya mengayomi semua kepentingan demi menjalankan misi dakwah amar makruf nahi munkir. Apalagi, kita menyadari dunia politik (praktis) bukanlah dunia yang sesederhana sebagaimana kita memandangnya. Meminjam pendapatnya Sukardi Rinakit, misalnya, bahwa dunia politik adalah dunia yang becek dan licin. Jika tidak hati-hati dan teliti akan bisa menjemuruskan keberadaan kita sendiri. Oleh karenanya, Ahmad Syafii Maarif pernah berujar bahwa politik itu pada dasarnya menjaga jarak, sedangkan dakwah itu merangkul. Artinya, dunia politik akan bisa menjadikan orang yang satu barisan dengan kita untuk bermusuhan jika terjadi perbedaan kepentingan. Berbeda dengan jalur dakwah yang tidak akan melihat siapa kawan dan siapa lawan, semuanya bisa dirangkul demi tegaknya amar makruf nahi munkar. Deni al Asy'ari Runtuhnya Gerakan Kultural Muhammadiyah
Menyangkut hal ini, catatan sejarah akan keterlibatan Muhammadiyah dalam politik praktis rasanya cukup memberikan pelajaran yang penting bagi kita, bagaimana tergelincirnya Muhammadiyah dalam ruang politik yang akhirnya tidak membawa manfaat bagi Muhammadiyah dan bangsa ini secara luas. Mulai dari keterlibatan Muhammadiyah dalam Masyumi, Perti, dan Sekber Golkar. Untuk itu, dalam menghadapi iklim politik 2009, sebagai warga Muhammadiyah kita tentunya tetap memiliki harapan agar Muhammadiyah tetap berada di garda terdepan dalam menuntun moralitas dan perilaku politik publik agar terwujud masyarakat baldatun tayyibatun warabbun ghafur sebagaimana tujuan dari Muhammadiyah. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, setidaknya warga Muhammadiyah dalam menghadapi pemilu 2009 tidak mudah tergelincir dengan tampilan-tampilan kepentingan seseorang atau sekelompok orang yang nyata-nyatanya bisa menjemuruskan cita-cita Muhammadiyah. Ada pelajaran penting yang bisa kita petik dari pemilu tahun 2004 sebagai pelajaran bagi kita dalam menghadapi pemilu 2009. Pertama, tetap istiqamah dengan perjuangan dakwah atau gerakan kultural Muhammadiyah tanpa menunjukkan keterlibatan atau keberpihakan Muhammadiyah, terutama sekali pucuk pimpinan Muhammadiyah terhadap salah satu parpol sebagaimana arahan PP Muhammadiyah dalam menghadapi pemilu 2009. Kedua, menjauhkan warga Muhammadiyah dari berbagai rayuan politik uang maupun kepentingan politik berjangka pendek demi kepentingan satu kelompok atau parpol tertentu. Ketiga, memilih kepemimpinan nasional baik untuk legislatif maupun eksekutif yang jujur, amanah, memiliki integritas moral dan intelektual yang tinggi, adil dan memiliki keberpihakan terhadap kepentingan nasional secara luas. Keempat, menjaga aset dan segala bentuk amal usaha Muhammadiyah dari kepentingan politik praktis perseorangan maupun kelompok. Kelima, tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas, etika, kesopanan dan keadaban yang dapat menciptakan kondisi tenang, aman, dan tenteram bagi kehidupan kita berbangsa secara luas. Deni al Asy'ari Runtuhnya Gerakan Kultural Muhammadiyah.
Keinginan untuk menduetkan Ketua Umum DPP PDIP Meg dengan Ketua MPR Hidayat Nurwahid digagas oleh Direktur Pro Mega Center yakni Mochtar Muhammad, Selasa (21/10) kemarin. Rencana menduetkan dua tokoh karismatik dari kalangan nasionalis--religius ini, mendapat dukungan dari seorang ulama Muhammadiyah, yang tak lain Wakil Ketua PP Muhammadiyah, Goodwil Zubair. Zubair menyatakan bila Megawati dan Hidayat Nurwahid bisa disandingkan pada Pilpres 2009 diyakini bisa meraup suara signifikan. Zubair juga meyakini, duet Mega-Hidayat bisa menyelesaikan persoalan bangsa dan krisis berkepanjangan yang dihadapi bangsa Indonesia. Zubair kemudian menyarankan agar PDIP dan PKS segera menjalin komitmen, membicarakan untuk melakukan koalisi sejak dini. "Masyarakat di akar rumput respect terhadap keduanya. Apalagi, pak Hidayat itu orang Muhammadiyah juga. Jadi, kenapa kita tak memberikan restu. Zubair Dukung Mega Hidayat Rabu, 22Oktober 2008.
Komitmen dan Etika Gerakan Muhammadiyah) bukan hal baru bagi kita, sifatnya lebih kepada pemahaman dan penghayatan kembali tentang nilai-nilai ideologis. Dalam sa.mbutan MPK tadi dikatakan betapa pentingnya nilai-nilai/values yang mengkristal menjadi budaya bagi sebuah organisasi. Nilai dan budaya ini menjadi faktor determinan, penentu bagi perjalanan sebuah organisasi. Di awal periode kepemimpinan pasca Muktamar ke-45 Malang (2005), ada pertanyaan, tema apa yang harus kita pilih. Ada tiga opsi: pertama redireksi, mengarahkan kembali Gerakan yang berusia hampir satu abad ini. Apakah sudah mengalami kesalahan arah, sehingga perlu diarahkan/ditarik kembali ke jalur yang benar. Pilihan kedua revitalisasi, menguatkan kembali, menemukan elan vital, apa yang menjadi kekuatan dari Persyarikatan ini untuk diungkapkan kembali dalam konteks jaman baru. Pilihan ketiga, retooling, yaitu mengganti spare part, tool, alat-alat, perangkat-perangkat yang mungkin sudah rusak, sudah aus, seperti sebuah mobil yang harus di-tune up, turun mesin tetapi bodinya tidak diubah. Para pimpinan waktu itu memandang bahwa, alhamdulillah, Muhammadiyah tidak mengalami kesalahan arah sehingga tidak perlu redirection. Tetapi kalau sekedar mengganti spare part yang sudah usang sepertinya tidak cukup juga. Memarig ada yang sudah usang, ada yang harus diganti, tetapi ada keperluan untuk menemukan kembali elan vital kekuatan Muhammadiyah. Maka yang kita pilih adalah revitalisasi .. Dalam konteks revitalisasi inilah maka tidak hanya program, kepemimpinan, dan organ-organ yang menjadi bagian dari Persyarikatan ini, tetapi juga nilai-nilai, organizational values/organizational culture yang perlu direvitalisasi, karena menjadi salah satu penentu dari proses perjalanan Persyarikatan. Dalam konteks dinamika zaman yang baru, dinamika di luar kita baik dalam lingkaran umat Islam maupun dalam lingkaran negara, bangsa, apalagi lingkaran dunia, dimana yang terakhir ini bergerak sangat cepat karena proses globalisasi, modernisasi, termasuk dukungan teknolbgi informatika, sehingga peradaban manusia bergerak cepat sekali. Dalam konteks ini kita perlu mengukur diri dimana kita dan bagaimana kita. Mungkin terasa cukup aktif, dinamis, banyak kegiatan, banyak kemajuan yang kita rasakan, tetapi mungkin itu hanya perasaan kita. Kalau kita bandingkan dengan dinamika eksternal mungkin kita tertinggal. Maka muhasabah, introspeksi perlu kita lakukan. Inilah yang tidak bosan-bosannya dalam kesempatan beberapa tahun terakhir, melalui pengajian Ramadhan, juga pada Sidang Tanwir terakhir di Yogyakarta kita mengangkat tema ini sebagai upaya kita untuk bangkit kembali, apalagi menjelang abad kedua bagi Muhammadiyah. Komitmen-Komitmen Nilai Muhammadiyah Ditulis pada September 8, 2008 oleh f4ni.
Ada banyak kata kunci yaitu komitmen, etika, optimlisasi, peran keummatan kebangsaan. Yang boleh dibedakan, peran keummatan dan kebangsaan boleh dirangkaikan. Berbicara mengenai masalah bangsa saja sebenarnya kita sudah bicara tentang masalah umat Islam karena ummat Islam adalah bagian terbesar dari bangsa ini. Visi kita tentang bangsa sesungguhnya adalah visi kita tentang ummat Islam. Salah satu kekuatan. Muhammadiyah saat ini mungkin adalah satu-satunya atau salah satu organisasi yang paling siap dalam semua hal yang bersifat konsepsional. Muhammadiyah terkenal memiliki banyak jago konsep. Dalam bidang dakwah kita punya konsep dakwah jamaah, dakwah kultural. Beberapa waktu lalu ·saya mengundang PDM-PWM DKI Jakarta untuk berbicara tentang dakwah metropolitan, bagaimana berdakwah di ibukota metropoli.tan bahkan mungkin kosmopolitan. Di Muktamar Malang kita tambah satu konsep: Pernyataan Pikiran Muhammadiyah (Dzawahir al-Afkar Muhammadiyah) Menjelang satu abad.
Mungkin, persoalan kita adalah kurangnya pemahaman warga Muhammadiyah tentang dokumendokumen dasar itu. Apakah karena konsep-konsep dasar itu terlalu canggih bahkan nyaris susah dipahami, atau mungkin karena sosialisasinya yang kurang. Saya pernah mengusulkan agar dalan setiap pengajian tabligh selalu membahas masalah konsep-konsep dasar ini. Mungkin, konsep-konsep semacam ini sering terbengkalai begitu spja, nyaris seperti mahar mushaf Al-Qur’an yang tidak pernah disentuh-sentuh bahkan disimpan sebagai monumen historis. Padahal idenya itu bagus, yaitu agar sang suami membina rumah tangganya itu atas dasar-dasar Islam. Dalam soal komitmen keummatan dan kebangsaan, mungkin pertama kali bisa kita temukan bahwa Muhammadiyah menekankan pembentukan masyarakat. Dari dulu kalau kita lihat perubahan anggaran dasar tidak pernah bergeser dari konteks masyarakat, tidak berbau negara dan tidak berbau politik. Pernah ada perdebatan di kalangan pemikir politik Islam tentang konsep ummat (religious community) yang diikat oleh kesamaan keyakinan keagamaan. Pertanyaannya, apakah ummah itu sebagai sistem sosial ataukah sistem politik. Ini perdebatan yang sampai sekarang tidak selesai. Al-Ummah AHslamiyah wether it as a social religious community or political religious community. Komunitas keagamaan yang bersifat politis, berarti dalam satu sistem politik yang disebut negara, sehingga Nabi Muhammad disebut sebagai pemimpin politik/kepala negara. Tidak sedikit yang menganut paham ini. Tetapi ada juga yang memandangnya sebagai social religious community, yaitu masyarakat civil society yang tidak ada urusannya dengan negara. Kedua pandangan ini berpengaruh kepada pemahaman kita. Kalau saya boleh menyimpulkan, saya kira Muhammadiyah tetap konsisten dengan pembangunan masyarakat. Kebetulan sewaktu Muhammadiyah lahir belum ada negara yang disebut NKRI. Yang ada baru “negara I” Muhammadiyah.
Ketika ada yang namanya negara, lalu dimana kita meletakkan posisi masyarakat ini, apakah di luar negara, di dalam negara atau vis a vis berhadapan dengan negara. Atau kemudian malah kita alihkan menjadi negara. Di kalangan Muhammadiyah ada perbedaan dalam memandang masalah ini. Saya melihat langkah Ki Bagus Hadikusumo sangat cerdas, arif, bijaksana, menampilkan sikap kenegarawan ketika mengganti tujuh kata pada Piagam Jakarta dengan segala pertimbangannya. Saya memandang tokoh-tokoh Muhammadiyah masa itu seperti Ki Bagus Hadikusumo dan Jendral Sudirman yang menjadi pendiri Tentara Nasional Indonesia adalah orang-orang yang sangat memiliki jiwa nasionalisme, memiliki wawasan kebangsaan yang sangat tinggi. Kalau hal ini bisa kita simpulkan sebagai komitmen kebangsaan kita yang begitu kental, maka orangorang lain tidak perlu ragu-ragu terhadap komitmen kebangsaan Muhammadiyah yang sudah ditunjukkan oleh para pendiri Muhammadiyah. Saya melihat ada juga sebagian tokoh-tokoh Muhammadiyah yang berhimpit sebagai tokoh-tokoh Masyumi yang mengemukakan bahwa Indonesia sebagai baldatun thowibatun wa rabbun ghafur, yang ini menjadi visi Masyumi di tahun 45-50an disamping memang kalimat ini adalah bagian dari ayatAl-Quran. Komitmen kebangsaan Muhammadiyah saya pahami sesuai dengan cita-cita pengembangan masyarakat itu ada orientasi perbaikan, al-islah. Wamaa uridu illal-islah. Dalam bahasa Inggris al-Islah bisa bermakna koreksi (correction), reformasi (reformation). Sebuah perbaikan ke arah kebaikan. Ada dimensi korektif memperbaiki, ada dimensi bagaimana memperbaiki menuj u bagaimana munculnya as-sulhu al-maslahah. Istilah al-islah sekarang juga ngetop dipakai untuk mendamaikan pihak yang bertikai seperti dalam kasus-kasus pertikaian dipartai politik, dan seterusnya.
Muhammadiyah lahir sebagai gerakan Islam memiliki dimensi al-islah, gerakan islah. Memang banyak difahami gerakan al-islah ini sebagai gerakan memperbaiki aqidah Islam yang sudah banyak yang rusak dengan tahayul, bid’ah dan khurofat. Tetapi pada Muhammadiyah gerakan islah ini pemaknaannya pada gerakan tajdid dan islah. Tajdid dan islah yang dirangkaikan. Ada sebuah visi dan obsesi dalam Muhammadiyah untuk melakukan perbaikan terhadap kehidupan bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan dan pada masa setelah kemerdekaan. Konsep islah ini mungkin bisa kita kembangkan lagi dalam berbagai pilihan. Dalam perencanaan strategis ada istilah restorasi sebagaimana di Jepang ada Restorasi Meiji. Indonesia mengalami reformasi sekalipun dianggap kebablasan sehingga reformasi diplesetkan menjadi repot nasi (krisis, sulit pangan). Al-Islah bisa juga dimaknai sebagai transformasi bahkan ada juga yang mengkaitkan dengan revolusi, sebuah perubahan yang mendasar, memotong akar, perubahan secara radikal. Ada komitmen Muhammadiyah untuk melakukan Islah, sehingga muncul sebuah orientasi ideologis yang sangat kuat sebagaimana dalam pertemuanpertemuan Muhammadiyah sering dibacakan surat Ali Imran ayat 104. Saya memahami bahwa ayat ini menarik sekali. Sebuah proses islah, apapun istilahnya dalam bahasa Indonesia maupun Inggrisnya, reformasi, restorasi bahkan juga tranformasi, ini dilakukan dalam tahapan ad-dakwah ilal-khair, mengajak kepada keterbaikan. AI-khair sebagqi ism tafdhit, superlatif, bukan sekedar perbaikan tetapi keterbaikan. Tahap kemudian baru kepada amar ma’ruf nahi munkar. Menariknya ini adalah amar ma’ruf nahi munkar-kemudian dikaitkan dengan khairu ummah. Ada paralelisme amar makruf nahi munkar sebagai sebuah agenda penting yang dikaitkan dengan dakwah ital-khair. Kalau diotak-atik sedikit maka dakwah ital-khair itu harus mampu mernbawa ummat Islam, masyarakat yang kita cita-citakan itu ke arah khairu ummah, ummat yang terbaik.
Prosesnya adalah ad-dakwah ital khair untuk mewujudkan masyarakat terbaik, baru kemudian amar makruf nahi munkar. D2lam hal ini sering ada yang langsung melompat kepada amar makruf nahi mungkar tanpa melakukan ad-dakwah ital khair. Waltakun minkum (ayat 103) harus dikaitkan dengan ayat ke110, yad’una ital khair Ii ja’ii khaira ummah, untuk rnembentuk khairu ummat, ummat yang terbaik. Berhenti sampai di sini saja Muhammadiyah sudah sangat luar biasa dan jangan-jangan kita belum bisa setesai, karena memang tidak ada yang selesai. Ada juga yang lain, tanpa ad-dakwah ital khair, tanpa amar makruf, tetapi langsung kepada nahi munkar bahkan nahi munkarnya dengan cara yang tidak makruf. Padahal saya baca dibeberapa kitab termasuk Imam Al Ghazali, al-amru bit ma’ruf wa naha anit munkar harus bi thoriqotil ma’ruf, dengan cara-cara yang makruf. Komitmen kebangsaan untuk perbaikan dan kemaslahatan kemudian dimasukkan sebuah komitmen yang bersifat strategis instrumental, yaitu sebuah proses mengajakkepada keterbaikan dan khairu ummah. Di sinilah kemudian Muhammadiyah tampil dengan komitmen yang kedua yaitu Islam yang berkemajuan. Ada istilah itu dalam Muhammadiyah y,mg dimunculkan oleh Kyai Ahmad Dahlan. Tidak hanya oleh Kyai Dahlan saja, Kyai Mas Mansur juga banyak mengangkat istilah ini. Sungguh menarik di tahun 1920an sudah ada istilah Islam yang berkemajuan. Sebuah tawaran yang diberikan oleh Muhammadiyah kepada pembangunan sebuah masyarakat baru itu adalah dengan Islam yang berkemajuan. Saya menyimpulkan ini karena ada pemahaman bahwa al-Islam sebagaidinul khadharah, agama kemajuan. Inilah antara lain komitmen-komitmen nilai Muhammadiyah. Saya tidak menyampaikan sesuatu yang baru. Kita yang datang belakangan biasanya hanya menyimpul-nyimpulkan saja. Tugas kita dalam pengajian ini adalah disamping mengaji Al-Qur’an juga rnengkaji kembali dokumen-dokumen dasar Muhammadiyah untuk kita pahami kembali sesuai keinginan kita untuk revitalisasi.
Jakarta ( Berita ) : Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, warga Muhammadiyah tidak akan mendukung partai politik yang hanya mengandalkan uang dalam berpolitik untuk meraih kekuasaan. Din yang ditemui saat bersama delegasi parlemen Jepang menemui Ketua DPR Agung Laksono di Gedung DPR Jakarta, Jumat [11/07] , mengatakan warga Muhammadiyah juga tidak akan mendukung partai-partai politik yang mengabaikan nilai-nilai etika dan moralitas. Meski begitu Din menambahkan tidak akan memberikan perintah resmi untuk melarang warga Muhammadiyah memilih parpol yang mengandalkan uang. “Saya tidak akan memberi instruksi khusus pada warga Muhammadiyah untuk tidak memilih partai yang menggunakan uang sebagai alat politik dan kekuasaan,” ujarnya. Menurut Din, warga Muhammadiyah sudah cukup cerdas dalam menilai partai-partai politik yang akan mereka dukung. Saat ini, katanya, banyak parpol yang mengaku mempunyai afiliasi dengan Muhammadiyah tetapi tidak berani tampil sebagai parpol yang berpegang teguh pada nilai-nilai agama, seperti yang dianut Muhammadiyah. Saling klaim sebagai partainya Muhammadiyah tersebut, belakangan semakin gencar menjelang masa kampanye yang dimulai Sabtu (12/7) besok. Muhammadiyah merupakan salah satu ormas Islam dengan jumlah massa terbesar di Indonesia setelah Nahdlatul Ulama (NU) dan telah berkiprah di berbagai kegiatan sosial seperti pendidikan dan kesehatan. “Saya yakin warga Muhammadiyah tidak akan tertarik memilih parpol tanpa adanya bukti nyata dari parpol bersangkutan,” katanya. Warga Muhammadiyah Cukup Cerdas Dalam Memilih Partai Selasa, 2008 Oktober 07
Pengurus Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah memiliki prinsip netral terhadap semua parpol dan membuka kesempatan kepada semua parpol untuk bersilaturahmi. Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, Ijjul Muslimin kepada pers seusai menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di kantor Wapres di Jakarta, Jumat mengatakan, pihaknya memiliki hubungan dengan semua parpol dan menjaga hubungan itu. “Kami akan membuka kesempatan dengan semua parpol, PAN (Partai Amanat Nasional), PMB (Partai Matahari Bangsa) termasuk Golkar, silakan bersilaturahmi dengan keluarga besar Muhammadiyah,” katanya. Menurut dia, siapa yang bersilaturahmi dengan baik itulah yang menarik perhatian para anggota dan kader PP Muhammadiyah. ” Silaturahmi memunculkan simpati. Kita merasa dekatlah,” katanya sambil mengklaim massa Pemuda Muhammadiyah mencapai 15 juta. Soal kampanye partai politik yang bakal melibatkan para menteri di kabinet, Ijjul mengatakan, menurut Wapres, pemerintah telah menyampaikan harapan bahwa meskipun mewakili parpol ,pada prinsipnya para menteri harus tetap mengutamakan kepentingan pemerintahan. “Dalam hal ini, pemerintah tidak terlalu terganggu dengan hal itu. Yang diutamakan dalam kampanye yang panjang sebenarnya adalah kampanye melalui media, baik media massa maupun media terbuka, dalam arti tak mengganggu kinerja kabinet,” katanya. Ditanya pendapat Wapres kalla soal rencana angket yang dilakukan DPR dan bisa memanggil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun Wapres, ia mengatakan, Wapres tidak menyampaikan secara eksplisit tapi kalau melihat sikapnya Wapres melihatnya dari sisi positif. “Beliau menyampaikan dengan angket ini pemerintah bisa secara terbuka menyampaikan persoalannya. Artinya justru akan lebih baik jika bangsa ini mengetahui bagaimana sesungguhnya masalah ini,” katanya. Warga Muhammadiyah Cukup Cerdas Dalam Memilih Partai Selasa, 2008 Oktober 07 http://www.suarapembaruan.com/News/2004/02/27/index.html
Hingga kini, posisi agamawan dalam kancah politik praktis, masih menyisakan perdebatan sengit. Setidaknya, ada dua kelompok besar yang berseberangan pikiran dalam hal ini. Kelompok pertama menilai, agamawan harus terjun langsung ke dalamnya dengan mengendarai partai tertentu. Itu bukan dosa dan malah jihad mulia. Karena, kerusakan yang ada di dalam kekuasaan politik, dapat mereka benahi secara langsung. Mereka bisa yughayyir biyadih (merubah langsung dengan kekuasaan). Dan itu amar ma'ruf nahy munkar yang paling efektif bagi mereka, Dengan demikian, kelompok ini cukup optimis bahwa hanya dengan masuk ke sana, agamawan dapat berkiprah lebih banyak bagi kemaslahatan masyarakat. Ini biasanya digaungkan oleh kelompok agamin-non-sekuler. Tentu, ada kelompok lain yang tidak sependapat dengan pandangan tersebut. Kelompok ini, memandang tidak seharusnya agamawan masuk dalam gelanggang politik praktis, Ada persoalan lebih penting dan lebih besar yang harus ditangani mereka. Selain itu, tak dapat dibantah lagi, gelanggang politik hanya sarat dengan kepentingari sesaat. Padahal, agamawan tidak seharusnya memikirkan kepentingan sesaat itu. Mereka harus menomor wahidkan kepentingan abadi; kemaslahatan umat. Amar ma'ruf nahy munkar terbesar justru jihad mereka di luar sistem, bukan larut dalam politik praktis. Ini biasanya disuarakan kelompok sekuler yang memiliki doktrin pemisahan ngara dan agama atau ruang privat dan ruang social Nurul Huda Maarif Berpolitik Tanpa Partai http://www.suarapembaruan.com/News/2004/02/27/index.html
KH Idris Marzuki, Pengasuh Ponpes Lirboyo, pernah menyatakan; “Biarlah umat yang menilai semua dinamika yang berkembang. Ulama hanya berkewajiban menjaga agar umat tidak terperosok ke dalam situasi yang salah.” (Koran Tempo, 9 Maret 2004). Pernyataan ini bisa dimaknai bahwa agamawan tidak seharusnya turun langsung dalam gelanggang politik praktis. Sebab, tatkala terjadi gonjang-ganjing impeachment Gus Dur, sekelompok ulama - yang dimotori antara lain oleh KH Idris Marzuki yang kini justeru menjadi ‘seteru’ Gus Dur -, “ngotot” membelanya. Pledoi ulama ini mengindikasikan, mereka telah terjerat dalam gelanggang politik praktis, kendati secara formal (barangkali) tidak. Sebab itu, penarikan diri para ulama dari gelanggang politik ini, diduga karena faktor traumatis atas krisis Gus Dur waktu itu. Akhirnya, pesan yang tersirat dari kejadian ini, agamawan mesti netral dari virus politik praktis. Memang, sikap netral seperti inilah yang seharusnya diambil para agamawan. Ini didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, tanpa masuk ke dalam gelanggang politik praktis, tentu mereka masih bisa berpolitik kelas tinggi atau high politics. Berpolitik tidak harus masuk ke sana. Sebab, menurut pemikir dari kalangan Mazhab Maliki Abu al-Wafa’ Ibnu Aqil, politik (al-siyasah) itu berarti segala perbuatan yang akan membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan menjauhkan manusia dari kemafsadatan, kendati tidak berlandaskan syara' atau wahyu (al-siyasah ma kana fi’lan aqraba ila al-shalah wa ab’ada ‘an al-fasad wain lam yadha’hu al-rasul wa la nazala bihi wahyun). Dengan demikian, berpolitik dalam pengertian “mewujudkan kemaslahatan” dan “menghilangkan kemafsadatan” adalah wajib, yagn bisa ditempuh melalui jalur luar. Ini yang disebut politik amar ma'ruf nahy munkar yang semestinya diperjuangkan para agamawan. Nurul Huda Maarif Berpolitik Tanpa Partai http://www.suarapembaruan.com/News/2004/02/27/index.html
Kedua, para agamawan adalah pengawal moral masyarakat, hingga kapan pun, Konsekuensinya, mereka harus rnenjadi milik umum, milik siapa saja, dan bukan milik partai politik tertentu. Malah, melalui tugas mulia politik amar ma 'ruf nahy munkar, mereka juga berkewajiban mengontrol perilaku para pelaku politik praktis. Kalau para agamawan berbondong-bondong menjadi pelaku politik praktis, siapa yang mengontrol mereka? Mereka itulah seharusnya simbol kontrol yang sejati. Dan yang lebih penting lagi, netralitas posisi mereka akan terjaga, sehingga mereka dapat berinteraksi dengan semua lapisan masyarakat. Ketiga, Nabi Muhammad SAW tidak pernah mewariskan persoalan politik kepada agamawan (apalagi mewajibkan masuk gelanggang politik praktis), kendati beliau kepala negara. Karena, agamawan telah diplot untuk ngopeni persoalan masyarakat luas, tanpa mempedulikan latar belakangnya. Memang, Nabi SAW dan Khulafa al-Rasyidin rnerupakan cermin agamawan yang terjun langsung dalam wilayah politik praktis. Kenapa agamawan tidak meniru mereka saja? Ini karena latar belakang panggung politik yang berbeda. Dulu, panggung politik begitu bersih, asri, indah, dan nyaman. Sehingga, mereka akan lebih mudah melakukan amar ma'ruf nahy munkar jika langsung terjun ke sana. Tapi kini, panggung politik begitu kotor dan busuk, tidak nyaman bagi mereka. Terlalu eman bila mereka memasukinya. Perbedaan latar politik ini, juga harus diikuti oleh perubahan keputusan politik agamawan. Keempat, berdasarkan pengalaman, banyak tokoh agama yang setelah pindah ke haluan politik praktis, peran kemasyarakatannya kian sempit. Ruang geraknya kian rnemudar. Memang, mereka masih menjadi tokoh masyarakat. Tapi tak dapat dipungkiri, masyarakat yang tidak separtai, akan rnudah alergi. Setidak-tidaknya akan menjaga jarak. Ini dampak yang biasa muncul dalam dunia politik praktis. Berdasarkan argumentasi tersebut di atas, posisi yang paling strategis bagi agamawan adalah “berpolitik tanpa partai.” Artinya, melakukan politik amar ma'ruf nahy munkar di luar gelanggang politik praktis. Mereka harus menjaga moral masyarakat (termasuk para politisi) tanpa dicemari oleh embel-ernbel partai politik. Wallahu a’lam.[] Pernah dipublikasikan Koran Jawa Pos. posted by Nurul Huda Maarif @ Friday, May 05, 2006
PENGAMAT politik dari The Akbar Tandjung Institute Alfan Alfian menilai Partai Matahari Bangsa (PMB) lebih berpeluang meraih suara Muhammadiyah karena secara simbolik lebih melekat di tubuh partai itu. Menurut dia, secara politis, PMB diuntungkan karena ideologi PAN sudah berbeda dari awal berdirinya yang mengedepankan nilai kemuhammadiyahan berganti menjadi ideologi nasionalis. Sementara fungsi partai sebagai wadah aspirasi warga Muhammadiyah kini diperankan PMB. ”PMB akan lebih berpeluang ketimbang PAN. Suara untuk PAN dari Muhammadiyah akan turun dan mengalihkan dukungannya ke PMB,” kata Alfan kemarin. Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari.Dia mengatakan, partai pimpinan Soetrisno Bachir akan menghadapi rival yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi, secara terbuka,Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin sudah menyatakan dukungan pribadinya kepada partai yang berdiri pada 8 Januari 2006 itu. Menurut Qodari, PMB mendapat keuntungan secara psikologis atas deklarasi Din yang mendukung partainya. Jadi,PAN harus melirik basis massa lain dan tidak berharap banyak pada Muhammadiyah. ”Karena dukungan Din, suara untuk PAN dari Muhammadiyah akan menurun dan akan beralih mendukung PMB. Ini menjadi ancaman serius bagi PAN,” imbuh Qodari. PMB Berpeluang Curi Suara Jumat, 26 September 2008
Menurut Alfan Alfian, partai Islam dan nasionalis yang berpotensi melirik kantong suara Muhammadiyah adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS),Partai Golkar, dan Partai Bulan Bintang (PBB). ”Massa Muhammadiyah tersebar dari partai yang dianggap paling sekuler sampai partai Islam yang basis massanya kuat,”tandasnya. PKS dinilai berpotensi karena tidak sedikit petinggi partai itu adalah para aktivis Muhammadiyah. Sebut saja mantan Presiden PKS Hidayat Nur Wahid yang sekaligus menjabat sebagai Ketua MPR dan Sekjen DPP PKS Anis Matta. Keduanya adalah orang yang pernah duduk dalam kepengurusan pusat Muhammadiyah. Bahkan,Anis Matta mengklaim hingga kini masih memiliki jaringan komunikasi yang baik dengan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. ”Ormas Islam akan sulit menyatakan dukungan secara struktural. Pemilih Muhammadiyah juga akan rasional. Jadi, partai mana yang dipilih, akan bergantung pada kinerja partai,” ungkap Anis Matta. Mantan Ketua PP Muhammadiyah yang sekarang menjadi politikus Partai Golkar, Hajriyanto Y Tohari,mengatakan, di organisasi tersebut ada pembagian tugas. ”Ada yang mengurusi Muhammadiyah seperti Pak Din dan ada yang terjun ke dunia politik seperti saya ini,”katanya. Anggota Komisi I DPR ini menyatakan, tersebarnya kader Muhammadiyah di beberapa parpol merupakan sebuah keuntungan tersendiri. Sebab, nantinya organisasi tersebut bisa memanfaatkan mereka untuk kepentingan Muhammadiyah. PMB Berpeluang Curi Suara Jumat, 26 September 2008 (rd kandi/rahmat sahid/ahmad baidowi)
Surabaya - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Dr Dien Syamsuddin menyatakan kesiapannya menjadi calon presiden maupun calon wakil presiden pada Pemilu 2009 mendatang. "Saya kira sudah sering saya katakan kalau sekedar menjawab siap, maka saya sebagai pemimpin ormas besar seperti Muhammadiyah harus menyatakan siap, insyallah," ujar Dien kepada wartawan usai memberikan pengajian Ramadan yang diselenggarakan PW Muhammadiyah Jatim di Asrama Haji Sukolilo Surabaya, Sabtu. Tetapi soal bagaimana kelanjutannya apakah tampil sebagai Capres atau Cawapres, ujar Dien, pihaknya masih menunggu perkembangan dan menunggu kesepakatan warga Muhammadiyah, karena itu dirinya masih menunggu waktu. "Muhammadiyah akan memutuskan secara formal kalau sudah ada yang melamar secara resmi," katanya. Sementara itu saat tanya jawab pengajian Ramadan, sejumlah peserta juga menanyakan kesiapan Dien dalam mengikuti Pilpres 2009.
Pada kesempatan tersebut Dien mengatakan kalau hasil pooling saat menunjukkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati Soekarnoputri memperoleh dukungan terbanyak dengan perolehan pada kisaran 20 persen hingga 25 persen. "Kombinasi yang bagus itu Islam - nasionalis, nggak mungkin Islam - Islam atau nasionalis - nasionalis. Ada juga tawaran saya diduetkan dengan Pak Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU). Saya selama dimasukkan sebagai representasi kelompok Islam," katanya. Dien menegaskan pencalonan dirinya terserah kepada Muhammadiyah. "Saya terserah Muhammadiyah, kalau Muhammadiyah bilang ndak boleh ndak apa-apa. Saya terlalu meremehkan Muhammadiyah kalau dikatakan tidak siap," ujar mantan pengurus IPNU Mataram ini. Sementara itu Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim, Prof Dr Syafiq Mughni mengatakan keputusan pencalonan Dien sebagai Capres atau Cawapres masih menunggu keputusan muktamar atau tanwir Muhammadiyah. "Pada prinsipnya kami senang saja kalau ada warga Muhammadiyah yang mengabdikan diri untuk kepentingan bangsa, namun kami akan berpartisipasi pada sidang tanwir dulu, kemudia bagaiamana keputusannya tunggu perkembangan," katanya. Syafiq mengatakan pencalonan Dien masih banyak prosesnya dan belum tentu serius. "Secara organisatoris PWM Jatim juga belum memutuskan karena ini masalah besar dan strategis karena itu akan diputuskan pada tanwir tahun depan di Sumatra," katanya. Syafiq mengatakan dirinya tidak akan mempersoalkan partai manapun yang nantinya akan mencalonkan Dien. "Tidak ada masalah secara ideologis dasarnya sama yakni Pancasila, platform politik partai kurang lebih sama, jadi soal selera saja," Dien Syamsuddin Siap Jadi Capres atau Cawapres Sabtu, 13 Sept 2008 17:02:18
Dengan modal Muhammadiyah sebagai basis dukungan, Mas Amien Rais sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah waktu itu mendirikan PAN. Ijtihad politiknya: tinggalkan asas Islam , Persatuan ummat Islam untuk perjuangan politik tidak lagi relevan Selamat tinggal Masyumi dan PPP. Maka tawaran memimpin Partai Bulan Bintang yang mengaku sebagai pewaris perjuangan Masyumi pun ditolaknya. Demikian pula tawaran yang sama dari PPP yang sejarahnya merupakan fusi Partai Partai Islam yang dipaksakan rezim Orde Baru. juga ditolaknya. PAN adalah Partai Nasional yang mencerminkan kemajemukan keber-agama- an sebagai realitas kehidupan bangsa PAN sebagaimana Partai Partai lain berdasarkan Pancasila,. Yang membedakan dengan Partai lain adalah platform yang diperjuangkannya. Dalam kenyataan politiknya, PAN selama dua kali Pemilu pada era Reformasi tidak bisa menunjukkan nilai lebih apa apa dari segi pemilihnya. Pemilihnya tak lain ya warga Muhammadiyah sendiri, dikurangi mereka yang sebelum reformasi telah memilih Partai lain terutama Golkar dan PPP, kemudian PBB dan PKS bahkan ada pula yang memilih PDI. Bahkan pada Pemilu kedua prosentase pemilih PAN menurun karena lebih banyak lagi generasi mudanya yang hijrah ke PKS, Tanya kenapa ? Imam Achmadi Kandasnya Ijtihad Politik Amien Rais ?
Politisi PAN yang kemudian terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Pusat, Propinsi atau Daerah Kabupaten /kota bukan merupakan representasi dari pemilihnya. Mereka hanya mengandalkan warga Muhammadiyah yang umumnya hanya melihat PAN yang dipimpin bekas Ketua Pimpinan Pusatnya . Barangkali juga karena simbolnya yang juga matahari.. Dari PAN tak pernah ada usaha mencari anggota sebanyak-banyaknya apalagi mengadakan kaderisasi Partai. Numpang sajalah, kalau nomor urut diatas ‘kan terpilih juga. Untuk apa cari anggota, menciptakan kader ? Salah salah malah bisa menggusur mereka sendiri nanti. Maka ijtihad Mas Amien Rais pun kandaslah. PAN tidak merambah kemana mana, Kalau Pemilu datang dan mau kampanye, mudah saja, toh ada struktur dan jajaran Muhammadiyah yang bisa ditumpangi. Ada sekolah, ada universitas ada rumah sakit ada Pimpinan Daerah, Cabang dan Ranting Muhammadiyah Dimana ada Muhammadiyah disitu tentu ada pemilih PAN. Para pimpinan PAN boleh majemuk, tapi masalah konstituen ya hanya orang Muhammadiyah. Pengurus Muhammadiyah biasanya ‘kan orang-orang ikhlas, tidak macam-macam keinginannya, apalagi kedudukan di bidang politik yang banyak godaannya ( sama dengan banyak duitnya).Siapa mau, silahkan. Pimpinan Muhammadiyah tidak pernah merekomendasi siapa-siapa untuk dicalonkan PAN. Mereka yang berambisi banyak kesempatan. Entah bekal konsep pemikiran apa, apa yang harus diperjuangkan di bidang politik tak tahulah. Yang jelas kalau bisa berhasil jadi anggota Dewan. Perwakilan Rakyat di tingkat apapun, nasib pun berubahlah.Ah, masa iya ? Hal ini bukan berarti bahwa pimpinan PAN tidak berkualitas, apalagi DPP nya Mereka banyak yang berkualitas tetapi tidak punya garis ke massa. Maka tidak ada niatan ingin membesarkan Partai atau memandirikan Partai. Mereka tak mau susah susah membuka ladang sendiri,merasa cukup saja dengan Ladang Muhammadiyah. Yang tinggal memanen saja. Lalu bagaimana mewujudkan ijtihad politik Amien Rais untuk merambah ke segenap daerah, agama dan lapisan masyarakat ? Itu urusan Pak Amien sendiri saja lah. Imam Achmadi Kandasnya Ijtihad Politik Amien Rais ?
Maka ketika muncul Partai Matahari Bangsa yang diprakarsai angkatan Muda Muhammadiyah atau kongkritnya para mantan pimpinan dan aktivis organisasi otonom Muhammadiyah seperti Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ikatan Pelajar / Remaja Muhammadiyah, Nassyiatul ‘Aissyiah ( NA ) ,Tapak Suci Putra Muhammadiyah, pimpinan PAN nampak gelagapan sampai ramai ramai “mendemo” Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin. Kongkritnya, mereka meminta agar Pak Din Syamsuddin dalam setiap Da’wahnya jangan mengisyaratkan kedekatannya dengan Partai Matahari Bangsa ( PMB ). Ketua PAN Sutrisno Bachir meminta komitmen Muhammadiyah agar tidak memberi restu politik kepada PMB. Nampaknya Din Syamsuddin pasca PAN dipimpin Amien Rais, merasa kurang dekat dengan PAN. Bahkan ulang tahun PAN yang notabene lahir dari rahim PP Muhammadiyah, tetapi PP Muhammadiyah sebagai ibu yang melahirkan kok tidak diundang. Malah malah Din sering menerima keluh kesah kader kader Muhammadiyah yang di terlantarkan di PAN. Imam Achmadi Kandasnya Ijtihad Politik Amien Rais ?
Tetapi salah seorang kader Muhammadiyah di Jawa Timur yang pro dan menyambut antusias PMB berkata lantang.” Ijtihad politik Pak Amien telah kandas. Kami ingin kembali ke khittah Muhammadiyah tahun l97l yang diputuskan Mu’tamar Muhammadiyah di Ujung Pandang . Disitu dinyatakan bahwa Muhammadiyah berjuang dibidang da’wah kemasyarakatan, sedang di bidang politik perlu dibentuk satu partai politik.Dan satu partai politik itu sekarang telah terbentuk yaitu PMB, Partai Matahari Bangsa yang sepenuhnya digerakkan oleh kader-kader Muhammadiyah” “ Dengan kepribadian yang utuh 100 % Muhammadiyah kami akan bekerjasama dengan segenap anak bangsa menegakkan kebenaran keadilan dan kejujuran berkhitmad untuk Indonesia Raya . Partai bagi kami bukan biro jasa urusan karir pribadi bagi yang berambisi kekuasaan. PMB adalah Partai bermisi da;wah, amar ma’ruf nahi mungkar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara . Muhammadiyah dan PMB adalah dua sisi mata uang yang sama “ Katanya bersemangat.. Wah, Pak Sutrisno Bachir dan kawan kawan bisa tambah sewot. Tetapi apa semudah itu PMB meiwujudkan konsep dan citranya tersebut kedalam kenyataan.? Di daerah daerah banyak orang Muhammadiyah yang merasa mapan karena duduk sebagai anggota DPRD mewakili PAN. Dengan kedudukannya itu tak mungkin mereka dengan mudah menerima PMB . Begitu pula yang di PBB, PPP dan PKS. Mungkinkah PAN yang paling besar menggaet pemilih dari Muhammadiyah akan terbelah , atau malah pemilih PAN bedol desa bergabung ke PMB ?
Hasil Pemilu 2009 yang akan menjawabnya*) Mantan Sekum dan Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah periode l966-l969 dan periode 1969- 1972 Tim Ahli Majelis Kesehatan dan Kesejahteraan masyarakat Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur 2005- 2010
Kini, muncul gejala dan fakta dari akar-rumput yang mulai memprihatinkan. Masjid Muhammadiyah tidak terkelola dengan baik, cari imam dan khatib pun kesulitan. Terdapat pula masjid milik Persyarikatan yang pelaku dan isi kegiatannya justru dilakukan kalangan lain. Bahkan ada masjid Muhammadiyah yang kemudian pindah kelola ke tangan pihak lain, baik karena terlantar atau karena kelalaian. Gejala tersebut menurut sementara pendapat, menunjukan bahwa orang-orang Muhammadiyah kurang/tidak tekun, gigih, dan sungguh-sungguh mengelola masjid di lingkungannya. Berita lain tak kalah mencemaskan atau bahkan memprihatinkan. Bahwa amal usaha Muhammadiyah di tingkat bawah mulai kalah saing oleh lembaga-lembaga sejenis baru milik organisasi lain. Ironisnya, terdapat pula orang-orang Muhammadiyah termasuk pimpinan atau yang berada di amal usaha, malah ikut mendirikan dan membesarkan amal usaha milik organisasi lain. Lebih ironis lagi apa yang disampaikan oleh dua bersaudara, K.H. Muhammad Muqoddas, M.Ag. yang juga Ketua PP Muhammadiyah dan Muhammad Busyro Muqoddas, SH. yang juga Ketua Komisi Yudisial, terdapat gejala orang-orang di amal usaha yang bersikap, ”amal usaha yes, Muhammadiyah no!”, lebih khusus lagi ”maisah di amal usaha yes, membesarkan Muhammadiyah no!”. Atau sikap yang mendua lainnya, baik dalam berorganisasi maupun sikap ideologis dan keagamaannya.
Baaimana menyikapi masalah tersebut. Secara internal atau ke dalam tentu saja merupakan bahan introspeksi bagi seluruh jajaran Muhammadiyah. Dari segi ini, semua itu terjadi karena kelemahan dan kelengahan internal Muhammadiyah sendiri. Kelemahan tersebut berkisar antara lain: (1) terlambat atau tidak meningkatkan kualitas dan intensitas pengelolaan masjid dan amal usaha secara optimal dan secara lebih baik; (2) abai atau lalai dalam menjaga milik sendiri; (3) tidak selektif dalam menerima anggota atau mereka yang bekerja di amal usaha dan kurang pembinaan; (4) kurang atau tidak memiliki militansi yang tinggi, berkiprah apa adanya, dan berbuat sendiri-sendiri atau sibuk sendiri tanpa terkait dengan kepentingan Muhammadiyah; (5) lebih tertarik pada urusan politik dan hal-hal yang bersifat mobilitas diri serta tidak peduli pada kepentingan dakwah dan menggerakkan Muhammadiyah; (6) kurang solid dan konsolidasi gerakan; (7) kurang/lemah komitmen, pemahaman, dan pengkhidmatan terhadap misi serta kepentingan Persyarikatan. Karena itu diperlukan langkah-langkah peneguhan dan konsolidasi internal yang kokoh dan terprogram dari Muhammadiyah sendiri. Langkah internal tersebut antara lain: (a) menanamkan kembali kepada anggota mengenai hakikat Muhammadiyah sebagai gerakan Islam agar seluruh anggota Persyarikatan yakin dan paham betul akan kebenaran Islam yang menjadi misi utama Muhammadiyah, sehingga tidak ragu-ragu dan tidak memilih gerakan lain; (b) memahami dan menghayati secara mendalam mengenai hakikat Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang melaksanakan dakwah dan tajdid, sehingga mereka berada dalam posisi untuk menampilkan Islam yang bersifat pemurnian sekaligus pembaruann, tidak semata-mata pemurnian ala Wahabiyah atau Salafy yang rigid, juga sebaliknya tidak terjebak pada sekularisasi pemikiran Islam yang lepas dari sumbu dasar Islam; (c) Menggerakkan Muhammadiyah dalam melaksanakan dakwah dan tajdid melalui usaha-usahanya secara ikhlas, sungguh-sungguh, gigih, dan berkelanjutan; sehingga secara istiqamah dan militan menjadi kekuatan umat yang berjuang menegakan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya; (d) Menggalang ukhuwah dan soliditas internal gerakan sehingga menjadi kekuatan yang kokoh; tidak tercerai-berai, dan tidak berpaling ke gerakan lain apapun bentuknya apalagi gerakan politik kendati bersayap dakwah sebab Muhammadiyah merupakan gerakan dakwah yang sudah teruji dan tidak ada kepentingan politik kekuasaan; (e) Mengembangkan sistem gerakan melalui penguatan jama‘ah, jam‘iyah, dan imamah sehingga gerak Muhammadiyah berjalan secara terorganisasi dan kuat; memiliki disiplin organisasi yang tinggi, dan semuanya hanya bernaung dalam sistem Muhammadiyah secara utuh; (f) Menyiapkan sumberdaya manusia dan kader yang unggul, militan, cerdas, dan siap membela organisasi dengan istiqamah dan rasa memiliki dan berkomitmen yang tinggi; (g) Menata dan mengkonsolidasi kembali seluruh amal usaha sebagai alat/kepanjangan misi Persyarikatan sekaligus ajang kaderisasi Muhammadiyah, termasuk menyeleksi dan membina seluruh orang yang berkiprah di dalamnya, sehingga amal usaha itu benar-benar mengikatkan, memposisikan, dan memfungsikan diri sebagai milik Muhammadiyah, dan bukan milik mereka yang berada di amal usaha apalagi nilik organisasi lain; yang harus dikelola dengan sistem dan disiplin organisasi Muhammadiyah; (h) bersikap tegas terhadap organisasi manapun yang masuk dan dapat mengganggu tatanan serta kelangsungan Muhammadiyah, lebih-lebih terhadap partai politik apapun termasuk partai politik yang mengemban misi dakwah sebagai mereka adalah organisasi lain yang berada di luar; bahwa semuanya harus dibingkai ukhuwah tentu saja tetapi harus bersikap timbal-balik dan saling mengormati; (i) Melakukan langkah-langkah pembinaan anggota secara intensif dan sistematik dengan pendekatan-pendekatan klasik dan baru agar tumbuh sebagai anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyahh yang istiqamah dan membela sepenuh hati misi serta kepentingan Muhammadiyah, lebih-lebih di saat kritis dan harus memilih; (j) Mengembangkan usaha dan kemampuan-kemampuan kompetitif serta jaringan-jaringan kerjasama secara independen dengan pihak manapun sehingga Muhammadiyah menjadi gerakan yang unggul dan dirasakan kehadirannya sebagaimana layaknya gerakan Islam yang terbesar di negeri ini. Segenap anggota Muhammadiyah, lebih-lebih pimpinannya harus sungguh-sungguh meyakini dan memahami bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan selalu berada dalam garis atau relnya yang benar. Jika kebetulan ada anggota Muhammadiyah termasuk yang berada di amal usaha diberi kelebihan harta, pikiran, tenaga, relasi, dan anugerah lainnya, kenapa tidak disalurkan dan dimanfaatkan untuk membesarkan dan mengembangkan amal usaha dan dakwah Muhammadiyah? Sikap seperti itu sungguh mulia dan menunjukkan komitmen yang tinggi erhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah juga bekerja tiada lain lil-‘izzat al-Islam wa al-muslimin. Bukan untuk Muhammadiyah, tetapi untuk umat dan bangsa, untuk menjadi rahmat bagi semesta kehidupan.
Setiap anggota Muhammadiyah dituntut untuk berhajat dan berkiprah sepenuh hati melalui Muhammadiyah. Bahwa merawat dan sadar akan miliki sendiri, baik dari penyakit internal maupun dari luar, sesungguhnya merupakan sikap menjaga ”marwah” (kehormatan) dan ”muru‘ah” (rasa malu) sebagaimana layaknya orang yang memiliki independensi dalam berorganisasi. Menjaga ghirah gerakan. Sikap yang demikian bukanlah sikap ekstrem atau keras, apalagi mengobarkan konflik. Kalau mau dikatakan fanatik, boleh juga, karena apalah arti berorganisasi manakala tak ada fanatisme. Soal fanatisme-buta, yang salah bukan fanatiknya, tetapi buta-nya. Setiap anggota Muhammadiyah berhak membela misi dan kepentingan Muhammadiyah, sebagaimana anggota gerakan Islam lainnya membela misi dan kepentingannya. Dengan meminjam logika ”maqasid al-syari‘at” dalam tradisi Islam klasik, bahkan kita diajari untuk bersikap ”syaja‘ah” (berani karena benar) untuk melakukan proteksi diri berupa ”hifdl al-din” (memelihara agama), ”hifdl al-nafs” (memelihara jiwa), ”hifdl al-nasl” (memelihara keturunan), ”hifd al-mal” (memelihara harta), ”hifd al-‘aql” (memelihara akal pikiran), bahkan memelihara kehormatan (hifdl al-ardl). Orang Islam memang tidak boleh bersikap nekad (tahawwur, jangankan benar, salah pun berani). Namun juga dilarang bersikap ”jubun” (pengecut), jangankan salah, benar pun takut. Lalu, munculah sikap selalu mencari aman, mencari mudah, dan apapun yang terjadi dianggap baik. Bersikap tegas dianggap keras dan suka konflik, kendati untuk menjaga kehormatan dan keberadaan organisasi. Tenang-tenang saja, tapi juga tidak bertindak. Jangan gaduh dan harus cantik menyikapi, namun tidak pula muncul sikap yang tegas, sebatas retorika. Akhirnya, tidak terasa lama kelamaan Muhammadiyah melemah, amal usahanya pun satu persatu susut atau bahkan lepas.
Soal kita memiliki kelemahan? Introspeksi? Muhasabah diri. Pasti, itu memang dirasakan dan diakui, yang memerlukan perbaikan dan penyempurnaan tak kenal henti. Bahkan organisasi yang besar seperti Muhammadiyah kata Pak AR Fakhruddin (Allahu yarham), laksana gajah bengkak. Namun, sadar akan kelemahan diri kita, bukan berarti harus membutakan diri dari penyakit yang datang dari luar. Bukan berarti membiarkan pengeroposan organisasi berlangsung tanpa antisipasi dan penyikapan. Apalagi kemudian membiarkan organisasi Muhammadiyah menjadi kian rentan. Jika tahu ada kelemahan, kenapa tidak bergerak? Kenapa tidak segera berbuat? Jangan sampai, sikap mengakui kelemahan itu, pada saat yang sama karena tidak mau sungguh-sungguh berbuat memperbaikiki kelemahan sekaligus mau bersikap tegas dalam bebnetngi organisasi dari gangguan yang datang dari luar. Paling repot, sudak tidak berbuat dan bersikap, melemah-lemahkan diri sendiri sambil tidak melakukan penguatan, karena hati bimbang dan sulit bersikap tegas. Padahal, salah satu sikap kader dan pimpinan organisasi ialah bersikap tegas, dengan tetap cerdas dan arif. Mari kita jadikan semua peristiwa yang kurang bagus di tubuh Muhammadiyah itu sebagai ujian, cobaan, hikmah, dan tempaan untuk bangkit dan berbuat. Tapi, sebelum bangkit dan berbuat, mulailah dari kesadaran adanya masalah. Jangan membutakan diri dari masalah, sebab nanti lama kelamaan masalah kecil kian membesar, lalu setelah segala sesuatunya terlanjur kita tak mampu mengendalikan dan mencari pemecahan. Kata pepatah, sesal kemudian tak ada gunanya. Lagi pula, memang mana ada sesal yang datang di waktu awal, itu namanya sesal yang salah kaprah. Memecahkan masalah pun tentu tak harus ekstrem, tetapi juga harus jelas dan sistematik. Setahap demi setahap pun tak masalah, yang penting ada kesadaran, itikad, dan tindakan. Bukan helah, menghindar dari masalah. Sabda Nabi, ”khair al-’amal adwamu-ha wa in qala”. Amal yang baik ialah yang berkelanjutan, kendati sedikit. Apalagi jika amal itu besar dan sistematik, maka akan menjadi lebih baik lagi.
Dari mana memulai? Setelah sadar adanya masalah, lantas bangkitlah melakukan ikhtiar atau tindakan-tindakan tersistem secara terorganisasai, selain melalui jalur-jalur individu sebagai penguat dan pendukung. Bangkitkan etos gerakan dari dalam secara serius dan memiliki vitalitas tinggi. Gerakkan seluruh lini Persyarikatan, termasuk amal usahanya secara bersama-sama dan tersistem. Langkah organisasi, lebih-lebih yang bersifat penting dan strategis, sungguh memerlukan kesungguhan (jihad) dan sikap kolektif yang menyatu/bersinergi, tidak bercerai-berai, laksana sebuah barisan yang kokoh sebagaimana firman Allah SWT.:”Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” (QS. Ash-Shaff/61: 4). Semoga Allah melimpahkan ridla dan karunia-Nya kepada kita.
Muhammadiyah lahir dan mekar karena sebuah keyakinan, paham, dan tekad perjuangan yang fundamental dari pendirinya. Kyai Haji Ahmad Dahlan melahirkan Muhammadiyah pada tahun 1912 sebagai hasil dari suatu proses pergumulan yang penuh pertaruhan, baik dari segi pemikiran maupun perjuangannya. Jadi tidak sembarang lahir, tumbuh, dan berkembang secara kebetulan atau apa adanya. Menurut Nurcholish Madjid (1983: 310), Kyai Dahlan adalah sosok pencari kebenaran sejati, yang melahirkan pembaruan Islam, dan pembaruannya luar biasa karena tidak mengalami prakondisi sebelumnya (break-throught). Dari rahim pergumulan yang mendasar itu lahirlah gerakan Muhammadiyah yang berjuang ”menyebarluaskan” dan ”memajukan” ajaran Islam, mula-mula di wilayah residensi Yogyakarta, kemudian meluas ke seluruh Indonesia. Dengan ruh dan pemahaman Islam yang demikian, maka berdirinya Muhammadiyah memiliki konteks ketika umat dalam keadaan jumud dan terbelakang, yang memerlukan sebuah gerakan Islam, yang menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama sebagaimana dipraktikkan oleh umat Islam selama ini, yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai ”a Way of Life in all Aspects”, suatu sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya (Djarnawi Hadikusuma, t.t: 68).
Muhammadiyah juga lahir dalam bentuk sebuah gerakan Islam, bukan sekadar pemikiran atau wacana. Menurut H. Djarnawi Hadikusuma, Kyai Dahlan mendirikan Muhammadiyah karena dalam sanubarinya tertanam dorongan Al-Quran Surat Ali Imran ayat 104, yang belakangan sering disebut ”ayat Muhammadiyah”, yakni: Artinya: ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar [217]; merekalah orang-orang yang beruntung”. Ayat Al-Quran tersebut, yang sering dikaitkan dengan ayat ke-110 pada Surat yang sama, merupakan ayat pergerakan. Belakangan, ayat tersebut juga sering dipakai dan menjadi ikon bagi gerakan-gerakan Islam di dunia Muslim kontemporer. Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang ”hidup berorganisasi”. Maka tidak berlebihan jika dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, ”melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi”, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya. Dr. Haedar Nashir Membangkitkan Dinamika Internal Muhammadiyah; www.muhammadiyah.or.id
Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kyai Dahlan, secara praktis-organisatoris untuk mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911 (Adaby Darban, 2000: 13). Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan secara informal dalam memberikan pelajaran yang mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya. Di sini, organisasi pun diperlukan untuk memayungi dan mengendalikan lembaga-lembaga gerakan dalam Muhammadiyah. Lembaga-lembaga yang berada dalam Muhammadiyah pun, termasuk amal usahanya, harus menyatukan diri (berada dalam syarikat) Muhammadiyah, bukan sebagai ”kerajaan-kerajaan sendiri”.
Kyai Dahlan, dengan paham agamanya yang bersifat tajdid, juga melahirkan teologi ”praksisme” Al-Ma‘un, sebuah terobosan tipikal dan cerdas, mirip ”teologi pembebasan” dalam pemikiran dan gerakan kontemporer, yang kemudian dilembagakan menjadi PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) yang kini menjadi PKU (Pembina Kesejahteraan Umat). Kesimpulannya apa? Bahwa selain produk pemikiran, kelahiran amal usaha Muhammadiyah terikat dengan misi dan ikatan organisasi Muhammadiyah. Jadi, bukan sembarang amal usaha, dan dilepaskan tergantung siapa yang mengelolanya, tetapi milik dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari Muhammadiyah. Karena itu, mempertahankan, membesarkan, dan mengembangkan amal usaha Muhammadiyah pun harus menjadi komitmen seluruh yang ada di dalam Persyarikatan. Lebih-lebih bagi mereka yang berada dalam lingkungan amal usaha Muhammadiyah.
Kyai Dahlan, yang diikuti para murid dan pelanjutnya, juga membesarkan Muhammadiyah dengan perjuangan yang gigih. Ketika dokter dan para sahabatnya, bahkan istri tercintanya meminta beliau untuk beristirahat karena sakit, Kyai bahkan menganggap anjuran itu sebagai ”bisikan syaitan”. Ketika diancam untuk tidak hadir ke Banyuwangi dan bila tetap memaksakan diri akan dibunuh, Kyai Dahlan bahkan mendatangi kota di ujung Jawa Timur itu, yang ternyata tak apa-apa bahkan akhirnya di sana berdiri Cabang Muhammadiyah. Kyai Dahlan tidak ingin menghentikan langkahnya, karena merupakan tonggak penentu keberadaan Muhammadiyah yang akan lebih memudahkan bagi generasi pelanjutnya. Di belakang hari, para penerus Muhammadiyah pun membesarkan gerakan Islam tercinta ini dengan semangat yang ikhlas, gigih, cerdas, dan penuh pengorbanan. Hingga Muhammadiyah mampu meretas usia jelang satu abad saat ini. Dr. Haedar Nashir Membangkitkan Dinamika Internal Muhammadiyah ; www.muhammadiyah.or.id
Muhammadiyah dalam praktik gerakannya juga tumbuh dari bawah. Ranting bahkan menjadi basis gerakan Muhammadiyah. Ranting berfungsi sebagai pembina jama‘ah. Keberadaan Ranting bahkan harus mensyaratkan adanya kegiatan, seperti pengajian, dan sebagainya. Jadi mendirikan Ranting bukanlah simbolik dan formalistik, tetapi harus menjadi bagian dan memenuhi persyaratan sebagai sebuah gerakan. Karena itu, Muhammadiyah menjadi gerakan yang terus bergerak. Menurut K.H. AR. Fakhruddin, jika Muhammadiyah tidak bergerak, maka bukan Gerakan Islam. Orang Muhammadiyah harus gigih, kreatif, dinamis, tidak ”mutungan” (mudah patah arang) dan ”wegahan” (malas), dan gerakannya harus dirasakan oleh semua orang (AR Fakhruddin, dalam Sujarwanto dan Haedar Nashir, 1900: 318-319). Jadi Muhammadiyah dan seluruh anggota Persyarikatan, tidak boleh diam dan statis, tetapi harus bergerak secara dinamis. Itulah etos gerakan Muhammadiyah yang harus dibangkitkan, yakni dinamika internal atau dinamika inti gerakan Muhammadiyah.
Apresiasi sejarah terhadap Muhammadiyah sangat wajar karena Muhammadiyah telah mmberikan kontribui yang besar terhadap bangsa ini. Khususnya dalam dunia pendidikan tidaklah sedikit. Mencatat partisipasi Muhammadiyah dalam dunia pendidikan tidak bermaksud membusungkan dada dihadapan pemerintah dan penyelenggara pendidikan lainnya. Tetapi mengingatkan kembali beberapa hal yang penting pertama; sumber daya pendidikan yang dimiliki oleh Muhammadiyah saat ii bukanlah hasil kerja yang pendek selama ini. Dalam rentang waktu satu abad usianya, Muhammadiyah telah mampu menyelenggarakan program pendidikan dengan menyediakan 1132 SD, 1769 MI; 1184 SMP; 534 MTsM; 511 SMAM; 263 SMKM; 172 MAM; 67 Pondok Pesantren; 55 Akademi; 4 Politeknik; 70 Sekolah Tinggi; 36 Universitas (Lihat Propile Muhammadiyah; 2005) Kedua, dalam konteks konsolidasi internal capaian hasil dari pendidikan Muhammadiyah selama ini menghendaki untuk terus mengoreksi kelemahan sambil terus berupaya melakukan inovasi baru dalam dunia pendidikan. Ketiga, Merefleksikan kontribusi Muhammadiyah dalam dunia pendidikan selama satu abad ini untuk mendorong sikap obyektif dan fairness bagi setipa kelompok penyelenggara pendidikan di negeri ini utuk saling menghargai, tidak saling merasa hebat dan menonjolkan diri. Sikap apriori atau pesimisme terhadap kontribusi Muhammadiyah dalam bidang pendidikan muncul karena oerannya sekedar dimaknai secara kuantitatif semata. Proses penguatan karakter bangsa lewat pendidikan Muhammadiyah dapat di rekam dari beberapa indikator tersebut, pertama, meski banyak yang memahami Muhammadiyah telah berjasa dalam bidang pendidikan Muhammadiyah namun masih sedikit yang bisa menangkap bahwa paradigma pendidikan yang digagas oleh KH. Ahmad Dahlan adalah paradigma pembaharuan. [Irvan Mawardi, 2010; SM No. 05/TH. KE 95; 1-15 Maret 2010 Hal. 52] Basis teologis paradigma ini dapat di telisik dari statement KH. Ahmad Dahlan “Islam memerdekakakan akal dari setiap yang membelenggnya dan melepaskan dari segala taklid yang memperhambakannya. Dipulangkannya ia kepada kerajaannya dimana ia harus memerintah dengan pertimbangan dan kebijaksanaan; dan dalam segala hal yang di perbuatnya, ia hanya tunduk kepada Allah dan batas–batas itu ia merdeka seluas-luasnya dan tiada habis-habisnya pertimbangan yang dilakukan dibawah panji-panjinya [Wirjosukarto, 1968; Fajar, 2010, Irvan Mawardi, 2010; SM No. 05/TH. KE 95; 1-15 Maret 2010 Hal. 52]
Diantara agenda untuk membangun masa depan bangsa adalah mengubah psikologis politik pesimistik kepada psikologi politik optimistik, sebab harus diakui suramnya kondisi masa depan bangsa kita saat ini tidak terlepas dari psikologi pesismisme yang menjangkiti penduduk negeri ini. Sehingga potensi dan kekayaan alam yang begitu besar tidak mampu diapresiasikan secara positif untuk membangun masa depan bangsa yang lebih baik, visioner dan berkarakter. [Suara Muhammadiyah, No. 5/TH. Ke 94/1-15 Maret 2009. Hal 8] Maka disini tentu yang harus memiliki andil besar dalam merubah prilaku seperti adalah penguatan pada institusi pendidikan karakter dengan memaksimalisasikan pada penggalian otensi anak bangsa untuk lebih berkreatif dan inovatif. Sehingga berbagai macam persoalan bangsa saat ini dapat terselesaikan dengan baik dan penuh dengan nilai keragaman. Peran pendidikan karakter Muhammadiyah sangat di perlukan untuk membentuk pribadi muslim yang kuat dan memiliki kualitas yang dapat diandalkan dengan tujuan memperbaiki sikap hidup masyarakat sehingga terciptanya masyarakat yang cemerlang. Sekarang ini kita membangun tekad baik untuk memelihara bangsa ini dan harus menemukan sesuatu yang baru untuk mengukur kadar kualitas bangsa ini. [Rusdianto; Teologi Al Maun Upaya Mengangkat Karakter Bangsa, 2009 Hal 3] Langkah yang sangat perlu diambil adalah pertama; grand solidarity, rasa kebersamaan untuk membangun bangsa dan kedua; grand reality yaitu sebuah realitas agung untuk merekonstruksi bangsa ini menjadi besar dan mantap. Kedua kesadaran tersebut merupakan sebuah pengharapan untuk menjadikan bangsa ini merdeka dari segala hal. Sebagai generasi penerus sudah sepatutnya menananm tekad dengan kuat dan komitmen untuk memberikan pengorbanan yang sama, dalam konteks kekinian demi cita-cita yang sangat mulia tersebut yang sekarang mulai dilupakan. Maka oleh karena itu, sebaiknya kita mengapresiasikan kesadaran dalam konteks menyejahterakan rakyat dan mempertinggi tingkat kecerdasan anak bangsa, menjaga martabat bangsa, menciptakan rasa aman, dan memberikan hak rakyat berdasarkan keadilan. Untuk membangun grand reality tersebut terdapat tiga hal penting yakni pertama, kita harus mengidentifikasi dan menyeleksi nilai-nilai unggul apa saja yang bisa dikembangkan. Keua; kita harus menciptakan tradisi yang sehat dalam masyarakat yang kita alami sehingga nilai-nilai unggul itu terwujud. Ketiga, kita harus menggapi segala persoalan yang muncul secara proaktif, bukan reaktif atau refresif. Sehingga kita bisa mencegah potensi kekrasan dimulai dari diri kita sndiri demi mewujudkan kedamaian antar sesama manusia. Selain itu juga menumbuhkan potensi akan pendidikan karakter bangsa yang visioner harus memiliki sikap negarawan yang berkarakter pula. Untuk mendorong hal ini tentu harus memiliki kepemimpinan yang kuat dibekali dengan karakter dan wawasan kebangsaan yag kuat. Bentuk kepemimpinan tersebut adalah kepemimpinan yang demokratis yang mampu mengemban misi tumbuhnya nasionalisme kewarganegaraan. [Suara Muhammadiyah, No. 5/TH. Ke 94/1-15 Maret 2009. Hal 9] Setiap bangsa memiliki keuatan identitas dan budaya politiknya, identitas tersebut dibangun diatas berbagai adat, suku, kulit, ras dan lain sebagainya, ragam identitas bangsa indonesia di satukan dalam dalam semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Identitas nasional terdiri dari berbagai macam gabungan kebudayaan sehingga bangsa ni dapat dikatakan bangsa yang plural dan multikulturalisme.