Gelorakan Pemikiran

Minggu, 10 Oktober 2010

MUHAMMADIYAH : DALAM KHAZANAH DAKWAH DAN POLITIK MUHAMMADIYAH

YANTO SAGARINO DPP IMM

Pandangan dan Nalar Dakwah—Politik Keislaman Muhammadiyah
Persoalan bangsa dan negara yang semakin rumit menjadi tantangan berarti bagi Muhammadiyah, contohnya korupsi yang semakin menggurita. Maka oleh karena itu, kader Muhammadiyah mempunyai tanggungjawab agar turut serta mengembangkan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dengan menolak penyakit korupsi. Karena korupsi merupakan perbuatan yang dapat merugikan orang banyak. Perilaku korupsi hanya akan membawa kepada kesengsaraan dan ketidakadilan yang pada ujungnya membuka kembali strata sosial yang telah ditutup rapat. Muhammadiyah ke depan harus inklusif, liberal, berpolitik sesuai dengan khitah sosialnya. [Benni Setiawan Kembangkan Dakwah Kepemimpinan Profetik Muhammadiyah, 19 November 2008; www.muhammaduyah.or.id]
Kader Muhammadiyah harus memiliki kekayaan spiritual, pergaulan luas sesama golongan, berempati kemanusiaan disertai kesadaran kritis kepada tradisinya sendiri, selalu bersifat terbuka, dan dinamis serta mampu membangkitkan partisipasi publik. Muhammadiyah sudah saatnya memikirkan agar dapat lepas dari belenggu parpol. Hal itu dikarenakan, sangat disayangkan jika organisasi besar tersebut hanya dijadikan batu loncatan untuk kepentingan politik praktis. Meminjam istilah Mohammad Sobary, memisahkan Muhammadiyah dari kepentingan politik praktis tidak akan menjadikan Muhammadiyah kudisan. Artinya, Muhammadiyah akan tetap besar dan menjadi organisasi sosial kemasyarakat yang diperhitungkan oleh masyarakat dalam negeri maupun internasional. Hal itu sangat diperlukan karena tantangan Muhammadiyah ke depan tidak hanya berkutat kepada tahayul, bidah dan churofat (TBC), demokratisasi bangsa, moralitas, dan pentingnya dialog antaragama dan mempunyai spirit dalam usianya yang semakin senja. [Benni Setiawan Kembangkan Dakwah Kepemimpinan Profetik Muhammadiyah, 19 November 2008; www.muhammaduyah.or.id]
Kritikan sangatlah wajar, karena Muhammadiyah merupakan salah satu ormas Islam terbesar di negeri ini, yang tidak hanya memiliki puluhan juta anggota dan simpatisan, melainkan juga sumber daya organisasi yang kaya. Menariknya, eksploitasi potensi politik Muhammadiyah tidak hanya dilakukan oleh agen-agen dari luar, melainkan juga dari dalam organisasi ini sendiri. Langkah yang paling spektakuler sekaligus kontroversial barangkali keputusan Amien Rais yang kala itu adalah ketua umum PP Muhammadiyah mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) pada 1998. Meski PAN secara oganisatoris adalah partai terbuka dan tidak memiliki hubungan formal dengan Muhammadiyah, realitasnya partai ini banyak bersandar pada Muhammadiyah dalam rekrutmen kader (leadership recruitment) maupun pemilih (electoral constituents). Keputusan menarik Muhammadiyah ke lintasan politik telah menimbulkan pro dan kontra berkepanjangan. Sebagian aktivis menolak karena politisasi akan sekadar menjadikan Muhammadiyah sebagai kendaraan politik serta memasukkan benih-benih partisanisme ke dalam organisasi yang akan menghasilkan perpecahan. Namun, tidak kurang juga yang mendukung langkah itu karena meyakini bahwa misi Muhammadiyah adalah dakwah dan politik merupakan salah satu medan dakwah. Karena itu Muhammadiyah tidak perlu alergi dengan politik.Lima tahun kemudian menjelang pemilu 2009 dorongan politisasi dari dalam organisasi kembali menguat. Tahun 2007 yang lalu sejumlah kader muda mendirikan Partai Matahari Bangsa (PMB) yang tampaknya juga akan menjadikan Muhammadiyah sebagai ladang politik. Lebih seru lagi, beberapa hari belakangan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin berkali-kali muncul di media massa mengindikasikan keinginannya untuk dicalonkan di kancah pemilihan presiden. Tidak terhindarkan lagi, perkembangan ini akan memicu kembali pro-kontra lama yang belum sepenuhnya reda. Kembali ke barak Dalam perspektif yang lebih luas, pro-kontra terhadap politisasi Muhammadiyah bukan sekadar persoalan internal organisasi, melainkan persoalan fundamental yang menyangkut masa depan demokratisasi di negeri ini. Muhammadiyah merupakan sebuah organisasi masyarakat sipil (ormas) yang fungsinya adalah menyediakan ruang publik yang melindungi masyarakat dari intervensi politik negara. Malahan Muhammadiyah juga berjasa menyediakan berbagai layanan publik, seperti sekolah, panti asuhan, dan rumah sakit yang tidak terjangkau negara. [Ahmad-Norma Permata Muhammadiyah dan Godaan Politik Partisan Kamis, 13November 2008 www.muhammaduyah.or.id]
Memang bukan berarti ormas tidak memiliki peran politik. Terutama dalam masyarakat yang sedang menjalani proses demokratisasi, ormas memiliki peran politik strategis. Sebagaimana yang terjadi di banyak negara, ormas selalu memainkan peran vital dalam proses transisi politik dari authoritarian menuju demokrasi. Mereka menjadi agen utama dalam upaya meruntuhkan tembok otoritarian dan membangun fondasi demokrasi. Namun, sejatinya politik praktis bukanlah habitat ormas. Secara teori, fungsi ormas menyuarakan (representing) kepentingan masyarakat. Ormas cenderung konsisten dengan visi dan misinya, tanpa banyak terpengaruh oleh aktivitas ormas lain maupun perubahan iklim politik. Muhammadiyah, misalnya, senantiasa fokus pada kegiatan mendakwahkan Islam modernis tanpa banyak terpengaruh oleh perubahan rezim politik. Ini kontras dengan perilaku organisasi politik (orpol) yang selalu berubah orientasi seiring dengan perubahan tren dan situasi. Fungsi orpol adalah mengolah (aggregating) kepentingan. Orpol bertugas menyediakan pilihan kebijakan (policy packages) yang mampu merangkum berbagai kepentingan yang ada di masyarakat. Wajar apabila orpol meskipun memiliki bendera ideologi dan platform politik selalu mengusung diskursus yang silih berganti. Ini karena memang tuntutan kepentingan yang berubah. Seperti kata pepatah, bagi orpol tidak ada kawan atau lawan sejati karena yang sejati adalah kepentingan. Dalam konteks perkembangan lebih lanjut dari proses demokratisasi inilah menjadi sangat penting bagi Muhammadiyah untuk menjauhkan diri dari politik partisan, kembali ke barak memainkan fungsi ormas sebagai penjaga ruang publik yang kalis dari partisan politik. Konsolidasi demokrasi tidak hanya memerlukan orpol yang efektif mengagregasi dinamika kepentingan, melainkan juga ormas yang teguh menjaga nilai-nilai ideal agar tidak larut dalam pusaran kepentingan. Institusionalisasi aturan main Dengan banyaknya jajaran kader dan pimpinan yang berlompatan ke perahu politik yang lebih megah dan mewah, tidak mudah bagi Muhammadiyah untuk berteguh diri memainkan fungsi ormas. Pertama, secara doktriner banyak warga Muhammadiyah yang meyakini bahwa dakwah adalah aktivitas multidimensi, termasuk mencakup politik. Mereka ini masih percaya bahwa politik adalah medan dakwah meski kenyataan selama ini menunjukkan agama sering dimainkan sebagai komoditas politik. [Ibid Ahmad-Norma].
Kedua, secara sosial ekonomi di mana patronase politik merupakan jalan paling cepat meski mungkin tidak yang termudah untuk mendapatkan penghasilan finansial. Karena itu banyak yang tetap berpaling ke politik, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan organisasi.Sudah ada suara di kalangan Muhammadiyah untuk mencari figur pimpinan yang tahan godaan jabatan politik. Namun, dalam telaah yang lebih cermat fenomena lintas pagar dari ormas ke orpol ini bukan hanya karena faktor individual, melainkan juga karena ada insentif institusional. Di Indonesia, orang masih sangat mudah membuat partai politik. Jika cadangan dana besar, para bandar politik dengan mudah membuat parpol baru dan merekrut kader-kader politik mereka dari berbagai ormas yang ada.Galibnya hal ini bukan semata problem internal organisasi Muhammadiyah, melainkan terkait dengan sistem politik yang lebih besar, yaitu upaya institusionalisasi system politik. Dalam sistem demokrasi yang stabil, parpol adalah aktor utama permainan politik, sedangkan ormas bertugas mengawasi perilaku politik dan kebijakan pemerintah yang tidak menyuarakan kepentingan rakyat. Parpol yang mapan memiliki sistem rekrutmen dan pengaderan yang terstruktur dan berjenjang, dan bukan dengan main comot individu dari luar organisasi. Upaya untuk meningkatkan syarat pembentukan parpol, seperti menaikkan jumlah minimal cabang atau menambah electoral threshold menjadi sangat penting untuk menjadikan parpol organisasi yang stabil dengan orientasi jangka panjang. Sekaligus mencegah aktor politik dengan mudah membentuk parpol dan main comot dari ormas. [Ibid Ahmad-Norma]

Pengabdian Strategis Muhammadiyah Dalam Dakwah Politik
Barangkali bukan sekadar kebetulan kalau dalam kabinet SBY-JK, Muhammadiyah mendapat kepercayaan memimpin Departemen Pendidikan Nasional serta Departemen Kesehatan. Kepercayaan ini harus diterima sebagai amanat dan kepercayaan profesional kepada persyarikatan sebagai ormas yang memiliki komitmen di kedua bidang itu. Tetapi hanya sebagai kebetulan saja jika Universitas Muhammadiyah Mataram pada tahun akademik 2007/2008 menerima SK ijin operasional farmasi dan Kebidanan serta peresmian Gedung Rektorat Baru. Artinya ini merupakan sebuah keberhasilan yang nyata dalam melakukan dan memantapkan bargaining position dalam politik.
Keterlibatan Muhammadiyah secara praktis ke dalam ruang politikbisa di tafsirkan dalam konteks keberpihakan Muhammadiyah untuk menetralisir berbagai macam prilaku dalam politik praktis. Memang tidak bias kita hindari secara bersama vahwa berdirinya Partai Matahari Bangsa (PMB) yang didirikan oleh sebagian besar Angkatan Muda Muhammadiyah merupakan simbol dan kunci bagi tegaknya gerakan kultural Muhammadiyah secara terang-terangan dan terus-menerus. Pergeseran posisi dan peran Muhammadiyah sebagai gerakan kultural yang idealnya mengabdi untuk kepentingan bangsa dengan mengayomi semua partai politik dengan posisi yang sama selama bertujuan untuk mendorong amar makruf nahi munkar ke arah gerakan politik.
Langkah-langkah yang seharusnya di tempuh dalam politik praktis adalah tetap berpijak pada khittah Muhammadiyah yang menjunjung tinggi etika berpolitik Muhammadiyah sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh HM Junus Anis, salah satu pimpinan Muhammadiyah, Muhammadiyah tetap Muhammadiyah. Artinya, Muhammadiyah tidak akan pernah digadaikan atau terjual oleh kepentingan politik atau menjadi parpol. Ungkapan ini muncul akibat kejengkelan HM Junus Anis yang begitu mudahnya pimpinan Muhammadiyah tergoda dengan kepentingan politik. Melalui khotbah iftitah pada muktamar ke-35 dan milad setengah abad Muhammadiyah, beliau menjawab dengan ketus: ''Silakan makan, kalau memang doyan, tapi awas kalau nanti keleleden: ditelan tidak masuk, dilepeh tidak keluar. Ingat, Muhammadiyah bukan dan tidak akan menjadi partai politik. Sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah: selalu kukuh untuk melakukan dakwah amar makruf nahi munkar untuk kebaikan semua masyarakat sebagai bagian dari gerakan kultural.'' Bahkan, ketika Ahmad Syafii Maarif melanjutkan kepemimpinan Muhammadiyah sangat tampak komitmen beliau untuk meneruskan semangat dan cita-cita para pendahulu pimpinan Muhammadiyah yang ingin meletakkan Muhammadiyah untuk kepentingan bangsa. Dengan demikian, harus ada sikap yang akan selalu dipandang dan dilihat sebagai organisasi besar tempat banyak orang mengadu dan meminta petunjuk. Tentunya akan berbeda jika Muhammadiyah sudah menunjukkan keberpihakannya terhadap salah satu parpol atau masuk dalam ruang politik praktis. Hal ini tanpa kita sadari akan memperkecil keberadaan dan peran organisasi Muhammadiyah itu sendiri. Muhammadiyah bagi masyarakat tidak lagi menjadi bagian atau kepemilikan dari masyarakat secara luas, melainkan sebagai bagian atau kepemilikan dari sebagian atau sekelompok orang atau partai politik tertentu. Dengan demikian, Muhammadiyah tidak bisa menjadi tenda bangsa yang seharusnya mengayomi semua kepentingan demi menjalankan misi dakwah amar makruf nahi munkir. Apalagi, kita menyadari dunia politik (praktis) bukanlah dunia yang sesederhana sebagaimana kita memandangnya. Meminjam pendapatnya Sukardi Rinakit, misalnya, bahwa dunia politik adalah dunia yang becek dan licin. Jika tidak hati-hati dan teliti akan bisa menjemuruskan keberadaan kita sendiri. Oleh karenanya, Ahmad Syafii Maarif pernah berujar bahwa politik itu pada dasarnya menjaga jarak, sedangkan dakwah itu merangkul. Artinya, dunia politik akan bisa menjadikan orang yang satu barisan dengan kita untuk bermusuhan jika terjadi perbedaan kepentingan. Berbeda dengan jalur dakwah yang tidak akan melihat siapa kawan dan siapa lawan, semuanya bisa dirangkul demi tegaknya amar makruf nahi munkar. Deni al Asy'ari Runtuhnya Gerakan Kultural Muhammadiyah
Menyangkut hal ini, catatan sejarah akan keterlibatan Muhammadiyah dalam politik praktis rasanya cukup memberikan pelajaran yang penting bagi kita, bagaimana tergelincirnya Muhammadiyah dalam ruang politik yang akhirnya tidak membawa manfaat bagi Muhammadiyah dan bangsa ini secara luas. Mulai dari keterlibatan Muhammadiyah dalam Masyumi, Perti, dan Sekber Golkar. Untuk itu, dalam menghadapi iklim politik 2009, sebagai warga Muhammadiyah kita tentunya tetap memiliki harapan agar Muhammadiyah tetap berada di garda terdepan dalam menuntun moralitas dan perilaku politik publik agar terwujud masyarakat baldatun tayyibatun warabbun ghafur sebagaimana tujuan dari Muhammadiyah. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, setidaknya warga Muhammadiyah dalam menghadapi pemilu 2009 tidak mudah tergelincir dengan tampilan-tampilan kepentingan seseorang atau sekelompok orang yang nyata-nyatanya bisa menjemuruskan cita-cita Muhammadiyah. Ada pelajaran penting yang bisa kita petik dari pemilu tahun 2004 sebagai pelajaran bagi kita dalam menghadapi pemilu 2009. Pertama, tetap istiqamah dengan perjuangan dakwah atau gerakan kultural Muhammadiyah tanpa menunjukkan keterlibatan atau keberpihakan Muhammadiyah, terutama sekali pucuk pimpinan Muhammadiyah terhadap salah satu parpol sebagaimana arahan PP Muhammadiyah dalam menghadapi pemilu 2009. Kedua, menjauhkan warga Muhammadiyah dari berbagai rayuan politik uang maupun kepentingan politik berjangka pendek demi kepentingan satu kelompok atau parpol tertentu. Ketiga, memilih kepemimpinan nasional baik untuk legislatif maupun eksekutif yang jujur, amanah, memiliki integritas moral dan intelektual yang tinggi, adil dan memiliki keberpihakan terhadap kepentingan nasional secara luas. Keempat, menjaga aset dan segala bentuk amal usaha Muhammadiyah dari kepentingan politik praktis perseorangan maupun kelompok. Kelima, tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas, etika, kesopanan dan keadaban yang dapat menciptakan kondisi tenang, aman, dan tenteram bagi kehidupan kita berbangsa secara luas. Deni al Asy'ari Runtuhnya Gerakan Kultural Muhammadiyah.
Keinginan untuk menduetkan Ketua Umum DPP PDIP Meg dengan Ketua MPR Hidayat Nurwahid digagas oleh Direktur Pro Mega Center yakni Mochtar Muhammad, Selasa (21/10) kemarin. Rencana menduetkan dua tokoh karismatik dari kalangan nasionalis--religius ini, mendapat dukungan dari seorang ulama Muhammadiyah, yang tak lain Wakil Ketua PP Muhammadiyah, Goodwil Zubair. Zubair menyatakan bila Megawati dan Hidayat Nurwahid bisa disandingkan pada Pilpres 2009 diyakini bisa meraup suara signifikan. Zubair juga meyakini, duet Mega-Hidayat bisa menyelesaikan persoalan bangsa dan krisis berkepanjangan yang dihadapi bangsa Indonesia. Zubair kemudian menyarankan agar PDIP dan PKS segera menjalin komitmen, membicarakan untuk melakukan koalisi sejak dini. "Masyarakat di akar rumput respect terhadap keduanya. Apalagi, pak Hidayat itu orang Muhammadiyah juga. Jadi, kenapa kita tak memberikan restu. Zubair Dukung Mega Hidayat Rabu, 22Oktober 2008.
Komitmen dan Etika Gerakan Muhammadiyah) bukan hal baru bagi kita, sifatnya lebih kepada pemahaman dan penghayatan kembali tentang nilai-nilai ideologis. Dalam sa.mbutan MPK tadi dikatakan betapa pentingnya nilai-nilai/values yang mengkristal menjadi budaya bagi sebuah organisasi. Nilai dan budaya ini menjadi faktor determinan, penentu bagi perjalanan sebuah organisasi. Di awal periode kepemimpinan pasca Muktamar ke-45 Malang (2005), ada pertanyaan, tema apa yang harus kita pilih. Ada tiga opsi: pertama redireksi, mengarahkan kembali Gerakan yang berusia hampir satu abad ini. Apakah sudah mengalami kesalahan arah, sehingga perlu diarahkan/ditarik kembali ke jalur yang benar. Pilihan kedua revitalisasi, menguatkan kembali, menemukan elan vital, apa yang menjadi kekuatan dari Persyarikatan ini untuk diungkapkan kembali dalam konteks jaman baru. Pilihan ketiga, retooling, yaitu mengganti spare part, tool, alat-alat, perangkat-perangkat yang mungkin sudah rusak, sudah aus, seperti sebuah mobil yang harus di-tune up, turun mesin tetapi bodinya tidak diubah. Para pimpinan waktu itu memandang bahwa, alhamdulillah, Muhammadiyah tidak mengalami kesalahan arah sehingga tidak perlu redirection. Tetapi kalau sekedar mengganti spare part yang sudah usang sepertinya tidak cukup juga. Memarig ada yang sudah usang, ada yang harus diganti, tetapi ada keperluan untuk menemukan kembali elan vital kekuatan Muhammadiyah. Maka yang kita pilih adalah revitalisasi .. Dalam konteks revitalisasi inilah maka tidak hanya program, kepemimpinan, dan organ-organ yang menjadi bagian dari Persyarikatan ini, tetapi juga nilai-nilai, organizational values/organizational culture yang perlu direvitalisasi, karena menjadi salah satu penentu dari proses perjalanan Persyarikatan. Dalam konteks dinamika zaman yang baru, dinamika di luar kita baik dalam lingkaran umat Islam maupun dalam lingkaran negara, bangsa, apalagi lingkaran dunia, dimana yang terakhir ini bergerak sangat cepat karena proses globalisasi, modernisasi, termasuk dukungan teknolbgi informatika, sehingga peradaban manusia bergerak cepat sekali. Dalam konteks ini kita perlu mengukur diri dimana kita dan bagaimana kita. Mungkin terasa cukup aktif, dinamis, banyak kegiatan, banyak kemajuan yang kita rasakan, tetapi mungkin itu hanya perasaan kita. Kalau kita bandingkan dengan dinamika eksternal mungkin kita tertinggal. Maka muhasabah, introspeksi perlu kita lakukan. Inilah yang tidak bosan-bosannya dalam kesempatan beberapa tahun terakhir, melalui pengajian Ramadhan, juga pada Sidang Tanwir terakhir di Yogyakarta kita mengangkat tema ini sebagai upaya kita untuk bangkit kembali, apalagi menjelang abad kedua bagi Muhammadiyah. Komitmen-Komitmen Nilai Muhammadiyah Ditulis pada September 8, 2008 oleh f4ni.
Ada banyak kata kunci yaitu komitmen, etika, optimlisasi, peran keummatan kebangsaan. Yang boleh dibedakan, peran keummatan dan kebangsaan boleh dirangkaikan. Berbicara mengenai masalah bangsa saja sebenarnya kita sudah bicara tentang masalah umat Islam karena ummat Islam adalah bagian terbesar dari bangsa ini. Visi kita tentang bangsa sesungguhnya adalah visi kita tentang ummat Islam. Salah satu kekuatan. Muhammadiyah saat ini mungkin adalah satu-satunya atau salah satu organisasi yang paling siap dalam semua hal yang bersifat konsepsional. Muhammadiyah terkenal memiliki banyak jago konsep. Dalam bidang dakwah kita punya konsep dakwah jamaah, dakwah kultural. Beberapa waktu lalu ·saya mengundang PDM-PWM DKI Jakarta untuk berbicara tentang dakwah metropolitan, bagaimana berdakwah di ibukota metropoli.tan bahkan mungkin kosmopolitan. Di Muktamar Malang kita tambah satu konsep: Pernyataan Pikiran Muhammadiyah (Dzawahir al-Afkar Muhammadiyah) Menjelang satu abad.
Mungkin, persoalan kita adalah kurangnya pemahaman warga Muhammadiyah tentang dokumen­dokumen dasar itu. Apakah karena konsep-konsep dasar itu terlalu canggih bahkan nyaris susah dipahami, atau mungkin karena sosialisasinya yang kurang. Saya pernah mengusulkan agar dalan setiap pengajian tabligh selalu membahas masalah konsep-konsep dasar ini. Mungkin, konsep-konsep semacam ini sering terbengkalai begitu spja, nyaris seperti mahar mushaf Al-Qur’an yang tidak pernah disentuh-sentuh bahkan disimpan sebagai monumen historis. Padahal idenya itu bagus, yaitu agar sang suami membina rumah tangganya itu atas dasar-dasar Islam. Dalam soal komitmen keummatan dan kebangsaan, mungkin pertama kali bisa kita temukan bahwa Muhammadiyah menekankan pembentukan masyarakat. Dari dulu kalau kita lihat perubahan anggaran dasar tidak pernah bergeser dari konteks masyarakat, tidak berbau negara dan tidak berbau politik. Pernah ada perdebatan di kalangan pemikir politik Islam tentang konsep ummat (religious community) yang diikat oleh kesamaan keyakinan keagamaan. Pertanyaannya, apakah ummah itu sebagai sistem sosial ataukah sistem politik. Ini perdebatan yang sampai sekarang tidak selesai. Al-Ummah AHslamiyah wether it as a social religious community or political religious community. Komunitas keagamaan yang bersifat politis, berarti dalam satu sistem politik yang disebut negara, sehingga Nabi Muhammad disebut sebagai pemimpin politik/kepala negara. Tidak sedikit yang menganut paham ini. Tetapi ada juga yang memandangnya sebagai social religious community, yaitu masyarakat civil society yang tidak ada urusannya dengan negara. Kedua pandangan ini berpengaruh kepada pemahaman kita. Kalau saya boleh menyimpulkan, saya kira Muhammadiyah tetap konsisten dengan pembangunan masyarakat. Kebetulan sewaktu Muhammadiyah lahir belum ada negara yang disebut NKRI. Yang ada baru “negara I” Muhammadiyah.
Ketika ada yang namanya negara, lalu dimana kita meletakkan posisi masyarakat ini, apakah di luar negara, di dalam negara atau vis a vis berhadapan dengan negara. Atau kemudian malah kita alihkan menjadi negara. Di kalangan Muhammadiyah ada perbedaan dalam memandang masalah ini. Saya melihat langkah Ki Bagus Hadikusumo sangat cerdas, arif, bijaksana, menampilkan sikap kenegarawan ketika mengganti tujuh kata pada Piagam Jakarta dengan segala pertimbangannya. Saya memandang tokoh-tokoh Muhammadiyah masa itu seperti Ki Bagus Hadikusumo dan Jendral Sudirman yang menjadi pendiri Tentara Nasional Indonesia adalah orang-orang yang sangat memiliki jiwa nasionalisme, memiliki wawasan kebangsaan yang sangat tinggi. Kalau hal ini bisa kita simpulkan sebagai komitmen kebangsaan kita yang begitu kental, maka orang­orang lain tidak perlu ragu-ragu terhadap komitmen kebangsaan Muhammadiyah yang sudah ditunjukkan oleh para pendiri Muhammadiyah. Saya melihat ada juga sebagian tokoh-tokoh Muhammadiyah yang berhimpit sebagai tokoh-tokoh Masyumi yang mengemukakan bahwa Indonesia sebagai baldatun thowibatun wa rabbun ghafur, yang ini menjadi visi Masyumi di tahun 45-50an disamping memang kalimat ini adalah bagian dari ayatAl-Quran. Komitmen kebangsaan Muhammadiyah saya pahami sesuai dengan cita-cita pengembangan masyarakat itu ada orientasi perbaikan, al-islah. Wamaa uridu illal-islah. Dalam bahasa Inggris al-Islah bisa bermakna koreksi (correction), reformasi (reformation). Sebuah perbaikan ke arah kebaikan. Ada dimensi korektif memperbaiki, ada dimensi bagaimana memperbaiki menuj u bagaimana munculnya as-sulhu al-maslahah. Istilah al-islah sekarang juga ngetop dipakai untuk mendamaikan pihak yang bertikai seperti dalam kasus-kasus pertikaian dipartai politik, dan seterusnya.
Muhammadiyah lahir sebagai gerakan Islam memiliki dimensi al-islah, gerakan islah. Memang banyak difahami gerakan al-islah ini sebagai gerakan memperbaiki aqidah Islam yang sudah banyak yang rusak dengan tahayul, bid’ah dan khurofat. Tetapi pada Muhammadiyah gerakan islah ini pemaknaannya pada gerakan tajdid dan islah. Tajdid dan islah yang dirangkaikan. Ada sebuah visi dan obsesi dalam Muhammadiyah untuk melakukan perbaikan terhadap kehidupan bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan dan pada masa setelah kemerdekaan. Konsep islah ini mungkin bisa kita kembangkan lagi dalam berbagai pilihan. Dalam perencanaan strategis ada istilah restorasi sebagaimana di Jepang ada Restorasi Meiji. Indonesia mengalami reformasi sekalipun dianggap kebablasan sehingga reformasi diplesetkan menjadi repot nasi (krisis, sulit pangan). Al-Islah bisa juga dimaknai sebagai transformasi bahkan ada juga yang mengkaitkan dengan revolusi, sebuah perubahan yang mendasar, memotong akar, perubahan secara radikal. Ada komitmen Muhammadiyah untuk melakukan Islah, sehingga muncul sebuah orientasi ideologis yang sangat kuat sebagaimana dalam pertemuan­pertemuan Muhammadiyah sering dibacakan surat Ali Imran ayat 104. Saya memahami bahwa ayat ini menarik sekali. Sebuah proses islah, apapun istilahnya dalam bahasa Indonesia maupun Inggrisnya, reformasi, restorasi bahkan juga tranformasi, ini dilakukan dalam tahapan ad-dakwah ilal-khair, mengajak kepada keterbaikan. AI-khair sebagqi ism tafdhit, superlatif, bukan sekedar perbaikan tetapi keterbaikan. Tahap kemudian baru kepada amar ma’ruf nahi munkar. Menariknya ini adalah amar ma’ruf nahi munkar-kemudian dikaitkan dengan khairu ummah. Ada paralelisme amar makruf nahi munkar sebagai sebuah agenda penting yang dikaitkan dengan dakwah ital-khair. Kalau diotak-atik sedikit maka dakwah ital-khair itu harus mampu mernbawa ummat Islam, masyarakat yang kita cita-citakan itu ke arah khairu ummah, ummat yang terbaik.
Prosesnya adalah ad-dakwah ital khair untuk mewujudkan masyarakat terbaik, baru kemudian amar makruf nahi munkar. D2lam hal ini sering ada yang langsung melompat kepada amar makruf nahi mungkar tanpa melakukan ad-dakwah ital khair. Waltakun minkum (ayat 103) harus dikaitkan dengan ayat ke­110, yad’una ital khair Ii ja’ii khaira ummah, untuk rnembentuk khairu ummat, ummat yang terbaik. Berhenti sampai di sini saja Muhammadiyah sudah sangat luar biasa dan jangan-jangan kita belum bisa setesai, karena memang tidak ada yang selesai. Ada juga yang lain, tanpa ad-dakwah ital khair, tanpa amar makruf, tetapi langsung kepada nahi munkar bahkan nahi munkarnya dengan cara yang tidak makruf. Padahal saya baca dibeberapa kitab termasuk Imam Al Ghazali, al-amru bit ma’ruf wa naha anit munkar harus bi thoriqotil ma’ruf, dengan cara-cara yang makruf. Komitmen kebangsaan untuk perbaikan dan kemaslahatan kemudian dimasukkan sebuah komitmen yang bersifat strategis instrumental, yaitu sebuah proses mengajakkepada keterbaikan dan khairu ummah. Di sinilah kemudian Muhammadiyah tampil dengan komitmen yang kedua yaitu Islam yang berkemajuan. Ada istilah itu dalam Muhammadiyah y,mg dimunculkan oleh Kyai Ahmad Dahlan. Tidak hanya oleh Kyai Dahlan saja, Kyai Mas Mansur juga banyak mengangkat istilah ini. Sungguh menarik di tahun 1920an sudah ada istilah Islam yang berkemajuan. Sebuah tawaran yang diberikan oleh Muhammadiyah kepada pembangunan sebuah masyarakat baru itu adalah dengan Islam yang berkemajuan. Saya menyimpulkan ini karena ada pemahaman bahwa al-Islam sebagaidinul khadharah, agama kemajuan. Inilah antara lain komitmen-komitmen nilai Muhammadiyah. Saya tidak menyampaikan sesuatu yang baru. Kita yang datang belakangan biasanya hanya menyimpul-nyimpulkan saja. Tugas kita dalam pengajian ini adalah disamping mengaji Al-Qur’an juga rnengkaji kembali dokumen-dokumen dasar Muhammadiyah untuk kita pahami kembali sesuai keinginan kita untuk revitalisasi.
Jakarta ( Berita ) : Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, warga Muhammadiyah tidak akan mendukung partai politik yang hanya mengandalkan uang dalam berpolitik untuk meraih kekuasaan. Din yang ditemui saat bersama delegasi parlemen Jepang menemui Ketua DPR Agung Laksono di Gedung DPR Jakarta, Jumat [11/07] , mengatakan warga Muhammadiyah juga tidak akan mendukung partai-partai politik yang mengabaikan nilai-nilai etika dan moralitas. Meski begitu Din menambahkan tidak akan memberikan perintah resmi untuk melarang warga Muhammadiyah memilih parpol yang mengandalkan uang. “Saya tidak akan memberi instruksi khusus pada warga Muhammadiyah untuk tidak memilih partai yang menggunakan uang sebagai alat politik dan kekuasaan,” ujarnya. Menurut Din, warga Muhammadiyah sudah cukup cerdas dalam menilai partai-partai politik yang akan mereka dukung. Saat ini, katanya, banyak parpol yang mengaku mempunyai afiliasi dengan Muhammadiyah tetapi tidak berani tampil sebagai parpol yang berpegang teguh pada nilai-nilai agama, seperti yang dianut Muhammadiyah. Saling klaim sebagai partainya Muhammadiyah tersebut, belakangan semakin gencar menjelang masa kampanye yang dimulai Sabtu (12/7) besok. Muhammadiyah merupakan salah satu ormas Islam dengan jumlah massa terbesar di Indonesia setelah Nahdlatul Ulama (NU) dan telah berkiprah di berbagai kegiatan sosial seperti pendidikan dan kesehatan. “Saya yakin warga Muhammadiyah tidak akan tertarik memilih parpol tanpa adanya bukti nyata dari parpol bersangkutan,” katanya. Warga Muhammadiyah Cukup Cerdas Dalam Memilih Partai Selasa, 2008 Oktober 07
Pengurus Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah memiliki prinsip netral terhadap semua parpol dan membuka kesempatan kepada semua parpol untuk bersilaturahmi. Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, Ijjul Muslimin kepada pers seusai menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di kantor Wapres di Jakarta, Jumat mengatakan, pihaknya memiliki hubungan dengan semua parpol dan menjaga hubungan itu. “Kami akan membuka kesempatan dengan semua parpol, PAN (Partai Amanat Nasional), PMB (Partai Matahari Bangsa) termasuk Golkar, silakan bersilaturahmi dengan keluarga besar Muhammadiyah,” katanya. Menurut dia, siapa yang bersilaturahmi dengan baik itulah yang menarik perhatian para anggota dan kader PP Muhammadiyah. ” Silaturahmi memunculkan simpati. Kita merasa dekatlah,” katanya sambil mengklaim massa Pemuda Muhammadiyah mencapai 15 juta. Soal kampanye partai politik yang bakal melibatkan para menteri di kabinet, Ijjul mengatakan, menurut Wapres, pemerintah telah menyampaikan harapan bahwa meskipun mewakili parpol ,pada prinsipnya para menteri harus tetap mengutamakan kepentingan pemerintahan. “Dalam hal ini, pemerintah tidak terlalu terganggu dengan hal itu. Yang diutamakan dalam kampanye yang panjang sebenarnya adalah kampanye melalui media, baik media massa maupun media terbuka, dalam arti tak mengganggu kinerja kabinet,” katanya. Ditanya pendapat Wapres kalla soal rencana angket yang dilakukan DPR dan bisa memanggil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun Wapres, ia mengatakan, Wapres tidak menyampaikan secara eksplisit tapi kalau melihat sikapnya Wapres melihatnya dari sisi positif. “Beliau menyampaikan dengan angket ini pemerintah bisa secara terbuka menyampaikan persoalannya. Artinya justru akan lebih baik jika bangsa ini mengetahui bagaimana sesungguhnya masalah ini,” katanya. Warga Muhammadiyah Cukup Cerdas Dalam Memilih Partai Selasa, 2008 Oktober 07 http://www.suarapembaruan.com/News/2004/02/27/index.html
Hingga kini, posisi agamawan dalam kancah politik praktis, masih menyisakan perdebatan sengit. Setidaknya, ada dua kelompok besar yang berseberangan pikiran dalam hal ini. Kelompok pertama menilai, agamawan harus terjun langsung ke dalamnya dengan mengendarai partai tertentu. Itu bukan dosa dan malah jihad mulia. Karena, kerusakan yang ada di dalam kekuasaan politik, dapat mereka benahi secara langsung. Mereka bisa yughayyir biyadih (merubah langsung dengan kekuasaan). Dan itu amar ma'ruf nahy munkar yang paling efektif bagi mereka, Dengan demikian, kelompok ini cukup optimis bahwa hanya dengan masuk ke sana, agamawan dapat berkiprah lebih banyak bagi kemaslahatan masyarakat. Ini biasanya digaungkan oleh kelompok agamin-non-sekuler. Tentu, ada kelompok lain yang tidak sependapat dengan pandangan tersebut. Kelompok ini, memandang tidak seharusnya agamawan masuk dalam gelanggang politik praktis, Ada persoalan lebih penting dan lebih besar yang harus ditangani mereka. Selain itu, tak dapat dibantah lagi, gelanggang politik hanya sarat dengan kepentingari sesaat. Padahal, agamawan tidak seharusnya memikirkan kepentingan sesaat itu. Mereka harus menomor wahidkan kepentingan abadi; kemaslahatan umat. Amar ma'ruf nahy munkar terbesar justru jihad mereka di luar sistem, bukan larut dalam politik praktis. Ini biasanya disuarakan kelompok sekuler yang memiliki doktrin pemisahan ngara dan agama atau ruang privat dan ruang social Nurul Huda Maarif Berpolitik Tanpa Partai http://www.suarapembaruan.com/News/2004/02/27/index.html
KH Idris Marzuki, Pengasuh Ponpes Lirboyo, pernah menyatakan; “Biarlah umat yang menilai semua dinamika yang berkembang. Ulama hanya berkewajiban menjaga agar umat tidak terperosok ke dalam situasi yang salah.” (Koran Tempo, 9 Maret 2004). Pernyataan ini bisa dimaknai bahwa agamawan tidak seharusnya turun langsung dalam gelanggang politik praktis. Sebab, tatkala terjadi gonjang-ganjing impeachment Gus Dur, sekelompok ulama - yang dimotori antara lain oleh KH Idris Marzuki yang kini justeru menjadi ‘seteru’ Gus Dur -, “ngotot” membelanya. Pledoi ulama ini mengindikasikan, mereka telah terjerat dalam gelanggang politik praktis, kendati secara formal (barangkali) tidak. Sebab itu, penarikan diri para ulama dari gelanggang politik ini, diduga karena faktor traumatis atas krisis Gus Dur waktu itu. Akhirnya, pesan yang tersirat dari kejadian ini, agamawan mesti netral dari virus politik praktis. Memang, sikap netral seperti inilah yang seharusnya diambil para agamawan. Ini didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, tanpa masuk ke dalam gelanggang politik praktis, tentu mereka masih bisa berpolitik kelas tinggi atau high politics. Berpolitik tidak harus masuk ke sana. Sebab, menurut pemikir dari kalangan Mazhab Maliki Abu al-Wafa’ Ibnu Aqil, politik (al-siyasah) itu berarti segala perbuatan yang akan membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan menjauhkan manusia dari kemafsadatan, kendati tidak berlandaskan syara' atau wahyu (al-siyasah ma kana fi’lan aqraba ila al-shalah wa ab’ada ‘an al-fasad wain lam yadha’hu al-rasul wa la nazala bihi wahyun). Dengan demikian, berpolitik dalam pengertian “mewujudkan kemaslahatan” dan “menghilangkan kemafsadatan” adalah wajib, yagn bisa ditempuh melalui jalur luar. Ini yang disebut politik amar ma'ruf nahy munkar yang semestinya diperjuangkan para agamawan. Nurul Huda Maarif Berpolitik Tanpa Partai http://www.suarapembaruan.com/News/2004/02/27/index.html
Kedua, para agamawan adalah pengawal moral masyarakat, hingga kapan pun, Konsekuensinya, mereka harus rnenjadi milik umum, milik siapa saja, dan bukan milik partai politik tertentu. Malah, melalui tugas mulia politik amar ma 'ruf nahy munkar, mereka juga berkewajiban mengontrol perilaku para pelaku politik praktis. Kalau para agamawan berbondong-bondong menjadi pelaku politik praktis, siapa yang mengontrol mereka? Mereka itulah seharusnya simbol kontrol yang sejati. Dan yang lebih penting lagi, netralitas posisi mereka akan terjaga, sehingga mereka dapat berinteraksi dengan semua lapisan masyarakat. Ketiga, Nabi Muhammad SAW tidak pernah mewariskan persoalan politik kepada agamawan (apalagi mewajibkan masuk gelanggang politik praktis), kendati beliau kepala negara. Karena, agamawan telah diplot untuk ngopeni persoalan masyarakat luas, tanpa mempedulikan latar belakangnya. Memang, Nabi SAW dan Khulafa al-Rasyidin rnerupakan cermin agamawan yang terjun langsung dalam wilayah politik praktis. Kenapa agamawan tidak meniru mereka saja? Ini karena latar belakang panggung politik yang berbeda. Dulu, panggung politik begitu bersih, asri, indah, dan nyaman. Sehingga, mereka akan lebih mudah melakukan amar ma'ruf nahy munkar jika langsung terjun ke sana. Tapi kini, panggung politik begitu kotor dan busuk, tidak nyaman bagi mereka. Terlalu eman bila mereka memasukinya. Perbedaan latar politik ini, juga harus diikuti oleh perubahan keputusan politik agamawan. Keempat, berdasarkan pengalaman, banyak tokoh agama yang setelah pindah ke haluan politik praktis, peran kemasyarakatannya kian sempit. Ruang geraknya kian rnemudar. Memang, mereka masih menjadi tokoh masyarakat. Tapi tak dapat dipungkiri, masyarakat yang tidak separtai, akan rnudah alergi. Setidak-tidaknya akan menjaga jarak. Ini dampak yang biasa muncul dalam dunia politik praktis. Berdasarkan argumentasi tersebut di atas, posisi yang paling strategis bagi agamawan adalah “berpolitik tanpa partai.” Artinya, melakukan politik amar ma'ruf nahy munkar di luar gelanggang politik praktis. Mereka harus menjaga moral masyarakat (termasuk para politisi) tanpa dicemari oleh embel-ernbel partai politik. Wallahu a’lam.[] Pernah dipublikasikan Koran Jawa Pos. posted by Nurul Huda Maarif @ Friday, May 05, 2006
PENGAMAT politik dari The Akbar Tandjung Institute Alfan Alfian menilai Partai Matahari Bangsa (PMB) lebih berpeluang meraih suara Muhammadiyah karena secara simbolik lebih melekat di tubuh partai itu. Menurut dia, secara politis, PMB diuntungkan karena ideologi PAN sudah berbeda dari awal berdirinya yang mengedepankan nilai kemuhammadiyahan berganti menjadi ideologi nasionalis. Sementara fungsi partai sebagai wadah aspirasi warga Muhammadiyah kini diperankan PMB. ”PMB akan lebih berpeluang ketimbang PAN. Suara untuk PAN dari Muhammadiyah akan turun dan mengalihkan dukungannya ke PMB,” kata Alfan kemarin. Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari.Dia mengatakan, partai pimpinan Soetrisno Bachir akan menghadapi rival yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi, secara terbuka,Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin sudah menyatakan dukungan pribadinya kepada partai yang berdiri pada 8 Januari 2006 itu. Menurut Qodari, PMB mendapat keuntungan secara psikologis atas deklarasi Din yang mendukung partainya. Jadi,PAN harus melirik basis massa lain dan tidak berharap banyak pada Muhammadiyah. ”Karena dukungan Din, suara untuk PAN dari Muhammadiyah akan menurun dan akan beralih mendukung PMB. Ini menjadi ancaman serius bagi PAN,” imbuh Qodari. PMB Berpeluang Curi Suara Jumat, 26 September 2008
Menurut Alfan Alfian, partai Islam dan nasionalis yang berpotensi melirik kantong suara Muhammadiyah adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS),Partai Golkar, dan Partai Bulan Bintang (PBB). ”Massa Muhammadiyah tersebar dari partai yang dianggap paling sekuler sampai partai Islam yang basis massanya kuat,”tandasnya. PKS dinilai berpotensi karena tidak sedikit petinggi partai itu adalah para aktivis Muhammadiyah. Sebut saja mantan Presiden PKS Hidayat Nur Wahid yang sekaligus menjabat sebagai Ketua MPR dan Sekjen DPP PKS Anis Matta. Keduanya adalah orang yang pernah duduk dalam kepengurusan pusat Muhammadiyah. Bahkan,Anis Matta mengklaim hingga kini masih memiliki jaringan komunikasi yang baik dengan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. ”Ormas Islam akan sulit menyatakan dukungan secara struktural. Pemilih Muhammadiyah juga akan rasional. Jadi, partai mana yang dipilih, akan bergantung pada kinerja partai,” ungkap Anis Matta. Mantan Ketua PP Muhammadiyah yang sekarang menjadi politikus Partai Golkar, Hajriyanto Y Tohari,mengatakan, di organisasi tersebut ada pembagian tugas. ”Ada yang mengurusi Muhammadiyah seperti Pak Din dan ada yang terjun ke dunia politik seperti saya ini,”katanya. Anggota Komisi I DPR ini menyatakan, tersebarnya kader Muhammadiyah di beberapa parpol merupakan sebuah keuntungan tersendiri. Sebab, nantinya organisasi tersebut bisa memanfaatkan mereka untuk kepentingan Muhammadiyah. PMB Berpeluang Curi Suara Jumat, 26 September 2008 (rd kandi/rahmat sahid/ahmad baidowi)
Surabaya - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Dr Dien Syamsuddin menyatakan kesiapannya menjadi calon presiden maupun calon wakil presiden pada Pemilu 2009 mendatang. "Saya kira sudah sering saya katakan kalau sekedar menjawab siap, maka saya sebagai pemimpin ormas besar seperti Muhammadiyah harus menyatakan siap, insyallah," ujar Dien kepada wartawan usai memberikan pengajian Ramadan yang diselenggarakan PW Muhammadiyah Jatim di Asrama Haji Sukolilo Surabaya, Sabtu. Tetapi soal bagaimana kelanjutannya apakah tampil sebagai Capres atau Cawapres, ujar Dien, pihaknya masih menunggu perkembangan dan menunggu kesepakatan warga Muhammadiyah, karena itu dirinya masih menunggu waktu. "Muhammadiyah akan memutuskan secara formal kalau sudah ada yang melamar secara resmi," katanya. Sementara itu saat tanya jawab pengajian Ramadan, sejumlah peserta juga menanyakan kesiapan Dien dalam mengikuti Pilpres 2009.
Pada kesempatan tersebut Dien mengatakan kalau hasil pooling saat menunjukkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati Soekarnoputri memperoleh dukungan terbanyak dengan perolehan pada kisaran 20 persen hingga 25 persen. "Kombinasi yang bagus itu Islam - nasionalis, nggak mungkin Islam - Islam atau nasionalis - nasionalis. Ada juga tawaran saya diduetkan dengan Pak Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU). Saya selama dimasukkan sebagai representasi kelompok Islam," katanya. Dien menegaskan pencalonan dirinya terserah kepada Muhammadiyah. "Saya terserah Muhammadiyah, kalau Muhammadiyah bilang ndak boleh ndak apa-apa. Saya terlalu meremehkan Muhammadiyah kalau dikatakan tidak siap," ujar mantan pengurus IPNU Mataram ini. Sementara itu Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim, Prof Dr Syafiq Mughni mengatakan keputusan pencalonan Dien sebagai Capres atau Cawapres masih menunggu keputusan muktamar atau tanwir Muhammadiyah. "Pada prinsipnya kami senang saja kalau ada warga Muhammadiyah yang mengabdikan diri untuk kepentingan bangsa, namun kami akan berpartisipasi pada sidang tanwir dulu, kemudia bagaiamana keputusannya tunggu perkembangan," katanya. Syafiq mengatakan pencalonan Dien masih banyak prosesnya dan belum tentu serius. "Secara organisatoris PWM Jatim juga belum memutuskan karena ini masalah besar dan strategis karena itu akan diputuskan pada tanwir tahun depan di Sumatra," katanya. Syafiq mengatakan dirinya tidak akan mempersoalkan partai manapun yang nantinya akan mencalonkan Dien. "Tidak ada masalah secara ideologis dasarnya sama yakni Pancasila, platform politik partai kurang lebih sama, jadi soal selera saja," Dien Syamsuddin Siap Jadi Capres atau Cawapres Sabtu, 13 Sept 2008 17:02:18
Dengan modal Muhammadiyah sebagai basis dukungan, Mas Amien Rais sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah waktu itu mendirikan PAN. Ijtihad politiknya: tinggalkan asas Islam , Persatuan ummat Islam untuk perjuangan politik tidak lagi relevan Selamat tinggal Masyumi dan PPP. Maka tawaran memimpin Partai Bulan Bintang yang mengaku sebagai pewaris perjuangan Masyumi pun ditolaknya. Demikian pula tawaran yang sama dari PPP yang sejarahnya merupakan fusi Partai Partai Islam yang dipaksakan rezim Orde Baru. juga ditolaknya. PAN adalah Partai Nasional yang mencerminkan kemajemukan keber-agama- an sebagai realitas kehidupan bangsa PAN sebagaimana Partai Partai lain berdasarkan Pancasila,. Yang membedakan dengan Partai lain adalah platform yang diperjuangkannya. Dalam kenyataan politiknya, PAN selama dua kali Pemilu pada era Reformasi tidak bisa menunjukkan nilai lebih apa apa dari segi pemilihnya. Pemilihnya tak lain ya warga Muhammadiyah sendiri, dikurangi mereka yang sebelum reformasi telah memilih Partai lain terutama Golkar dan PPP, kemudian PBB dan PKS bahkan ada pula yang memilih PDI. Bahkan pada Pemilu kedua prosentase pemilih PAN menurun karena lebih banyak lagi generasi mudanya yang hijrah ke PKS, Tanya kenapa ? Imam Achmadi Kandasnya Ijtihad Politik Amien Rais ?
Politisi PAN yang kemudian terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Pusat, Propinsi atau Daerah Kabupaten /kota bukan merupakan representasi dari pemilihnya. Mereka hanya mengandalkan warga Muhammadiyah yang umumnya hanya melihat PAN yang dipimpin bekas Ketua Pimpinan Pusatnya . Barangkali juga karena simbolnya yang juga matahari.. Dari PAN tak pernah ada usaha mencari anggota sebanyak-banyaknya apalagi mengadakan kaderisasi Partai. Numpang sajalah, kalau nomor urut diatas ‘kan terpilih juga. Untuk apa cari anggota, menciptakan kader ? Salah salah malah bisa menggusur mereka sendiri nanti. Maka ijtihad Mas Amien Rais pun kandaslah. PAN tidak merambah kemana mana, Kalau Pemilu datang dan mau kampanye, mudah saja, toh ada struktur dan jajaran Muhammadiyah yang bisa ditumpangi. Ada sekolah, ada universitas ada rumah sakit ada Pimpinan Daerah, Cabang dan Ranting Muhammadiyah Dimana ada Muhammadiyah disitu tentu ada pemilih PAN. Para pimpinan PAN boleh majemuk, tapi masalah konstituen ya hanya orang Muhammadiyah. Pengurus Muhammadiyah biasanya ‘kan orang-orang ikhlas, tidak macam-macam keinginannya, apalagi kedudukan di bidang politik yang banyak godaannya ( sama dengan banyak duitnya).Siapa mau, silahkan. Pimpinan Muhammadiyah tidak pernah merekomendasi siapa-siapa untuk dicalonkan PAN. Mereka yang berambisi banyak kesempatan. Entah bekal konsep pemikiran apa, apa yang harus diperjuangkan di bidang politik tak tahulah. Yang jelas kalau bisa berhasil jadi anggota Dewan. Perwakilan Rakyat di tingkat apapun, nasib pun berubahlah.Ah, masa iya ? Hal ini bukan berarti bahwa pimpinan PAN tidak berkualitas, apalagi DPP nya Mereka banyak yang berkualitas tetapi tidak punya garis ke massa. Maka tidak ada niatan ingin membesarkan Partai atau memandirikan Partai. Mereka tak mau susah susah membuka ladang sendiri,merasa cukup saja dengan Ladang Muhammadiyah. Yang tinggal memanen saja. Lalu bagaimana mewujudkan ijtihad politik Amien Rais untuk merambah ke segenap daerah, agama dan lapisan masyarakat ? Itu urusan Pak Amien sendiri saja lah. Imam Achmadi Kandasnya Ijtihad Politik Amien Rais ?
Maka ketika muncul Partai Matahari Bangsa yang diprakarsai angkatan Muda Muhammadiyah atau kongkritnya para mantan pimpinan dan aktivis organisasi otonom Muhammadiyah seperti Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ikatan Pelajar / Remaja Muhammadiyah, Nassyiatul ‘Aissyiah ( NA ) ,Tapak Suci Putra Muhammadiyah, pimpinan PAN nampak gelagapan sampai ramai ramai “mendemo” Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin. Kongkritnya, mereka meminta agar Pak Din Syamsuddin dalam setiap Da’wahnya jangan mengisyaratkan kedekatannya dengan Partai Matahari Bangsa ( PMB ). Ketua PAN Sutrisno Bachir meminta komitmen Muhammadiyah agar tidak memberi restu politik kepada PMB. Nampaknya Din Syamsuddin pasca PAN dipimpin Amien Rais, merasa kurang dekat dengan PAN. Bahkan ulang tahun PAN yang notabene lahir dari rahim PP Muhammadiyah, tetapi PP Muhammadiyah sebagai ibu yang melahirkan kok tidak diundang. Malah malah Din sering menerima keluh kesah kader kader Muhammadiyah yang di terlantarkan di PAN. Imam Achmadi Kandasnya Ijtihad Politik Amien Rais ?
Tetapi salah seorang kader Muhammadiyah di Jawa Timur yang pro dan menyambut antusias PMB berkata lantang.” Ijtihad politik Pak Amien telah kandas. Kami ingin kembali ke khittah Muhammadiyah tahun l97l yang diputuskan Mu’tamar Muhammadiyah di Ujung Pandang . Disitu dinyatakan bahwa Muhammadiyah berjuang dibidang da’wah kemasyarakatan, sedang di bidang politik perlu dibentuk satu partai politik.Dan satu partai politik itu sekarang telah terbentuk yaitu PMB, Partai Matahari Bangsa yang sepenuhnya digerakkan oleh kader-kader Muhammadiyah” “ Dengan kepribadian yang utuh 100 % Muhammadiyah kami akan bekerjasama dengan segenap anak bangsa menegakkan kebenaran keadilan dan kejujuran berkhitmad untuk Indonesia Raya . Partai bagi kami bukan biro jasa urusan karir pribadi bagi yang berambisi kekuasaan. PMB adalah Partai bermisi da;wah, amar ma’ruf nahi mungkar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara . Muhammadiyah dan PMB adalah dua sisi mata uang yang sama “ Katanya bersemangat.. Wah, Pak Sutrisno Bachir dan kawan kawan bisa tambah sewot. Tetapi apa semudah itu PMB meiwujudkan konsep dan citranya tersebut kedalam kenyataan.? Di daerah daerah banyak orang Muhammadiyah yang merasa mapan karena duduk sebagai anggota DPRD mewakili PAN. Dengan kedudukannya itu tak mungkin mereka dengan mudah menerima PMB . Begitu pula yang di PBB, PPP dan PKS. Mungkinkah PAN yang paling besar menggaet pemilih dari Muhammadiyah akan terbelah , atau malah pemilih PAN bedol desa bergabung ke PMB ?
Hasil Pemilu 2009 yang akan menjawabnya*) Mantan Sekum dan Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah periode l966-l969 dan periode 1969- 1972 Tim Ahli Majelis Kesehatan dan Kesejahteraan masyarakat Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur 2005- 2010
Kini, muncul gejala dan fakta dari akar-rumput yang mulai memprihatinkan. Masjid Muhammadiyah tidak terkelola dengan baik, cari imam dan khatib pun kesulitan. Terdapat pula masjid milik Persyarikatan yang pelaku dan isi kegiatannya justru dilakukan kalangan lain. Bahkan ada masjid Muhammadiyah yang kemudian pindah kelola ke tangan pihak lain, baik karena terlantar atau karena kelalaian. Gejala tersebut menurut sementara pendapat, menunjukan bahwa orang-orang Muhammadiyah kurang/tidak tekun, gigih, dan sungguh-sungguh mengelola masjid di lingkungannya. Berita lain tak kalah mencemaskan atau bahkan memprihatinkan. Bahwa amal usaha Muhammadiyah di tingkat bawah mulai kalah saing oleh lembaga-lembaga sejenis baru milik organisasi lain. Ironisnya, terdapat pula orang-orang Muhammadiyah termasuk pimpinan atau yang berada di amal usaha, malah ikut mendirikan dan membesarkan amal usaha milik organisasi lain. Lebih ironis lagi apa yang disampaikan oleh dua bersaudara, K.H. Muhammad Muqoddas, M.Ag. yang juga Ketua PP Muhammadiyah dan Muhammad Busyro Muqoddas, SH. yang juga Ketua Komisi Yudisial, terdapat gejala orang-orang di amal usaha yang bersikap, ”amal usaha yes, Muhammadiyah no!”, lebih khusus lagi ”maisah di amal usaha yes, membesarkan Muhammadiyah no!”. Atau sikap yang mendua lainnya, baik dalam berorganisasi maupun sikap ideologis dan keagamaannya.
Baaimana menyikapi masalah tersebut. Secara internal atau ke dalam tentu saja merupakan bahan introspeksi bagi seluruh jajaran Muhammadiyah. Dari segi ini, semua itu terjadi karena kelemahan dan kelengahan internal Muhammadiyah sendiri. Kelemahan tersebut berkisar antara lain: (1) terlambat atau tidak meningkatkan kualitas dan intensitas pengelolaan masjid dan amal usaha secara optimal dan secara lebih baik; (2) abai atau lalai dalam menjaga milik sendiri; (3) tidak selektif dalam menerima anggota atau mereka yang bekerja di amal usaha dan kurang pembinaan; (4) kurang atau tidak memiliki militansi yang tinggi, berkiprah apa adanya, dan berbuat sendiri-sendiri atau sibuk sendiri tanpa terkait dengan kepentingan Muhammadiyah; (5) lebih tertarik pada urusan politik dan hal-hal yang bersifat mobilitas diri serta tidak peduli pada kepentingan dakwah dan menggerakkan Muhammadiyah; (6) kurang solid dan konsolidasi gerakan; (7) kurang/lemah komitmen, pemahaman, dan pengkhidmatan terhadap misi serta kepentingan Persyarikatan. Karena itu diperlukan langkah-langkah peneguhan dan konsolidasi internal yang kokoh dan terprogram dari Muhammadiyah sendiri. Langkah internal tersebut antara lain: (a) menanamkan kembali kepada anggota mengenai hakikat Muhammadiyah sebagai gerakan Islam agar seluruh anggota Persyarikatan yakin dan paham betul akan kebenaran Islam yang menjadi misi utama Muhammadiyah, sehingga tidak ragu-ragu dan tidak memilih gerakan lain; (b) memahami dan menghayati secara mendalam mengenai hakikat Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang melaksanakan dakwah dan tajdid, sehingga mereka berada dalam posisi untuk menampilkan Islam yang bersifat pemurnian sekaligus pembaruann, tidak semata-mata pemurnian ala Wahabiyah atau Salafy yang rigid, juga sebaliknya tidak terjebak pada sekularisasi pemikiran Islam yang lepas dari sumbu dasar Islam; (c) Menggerakkan Muhammadiyah dalam melaksanakan dakwah dan tajdid melalui usaha-usahanya secara ikhlas, sungguh-sungguh, gigih, dan berkelanjutan; sehingga secara istiqamah dan militan menjadi kekuatan umat yang berjuang menegakan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya; (d) Menggalang ukhuwah dan soliditas internal gerakan sehingga menjadi kekuatan yang kokoh; tidak tercerai-berai, dan tidak berpaling ke gerakan lain apapun bentuknya apalagi gerakan politik kendati bersayap dakwah sebab Muhammadiyah merupakan gerakan dakwah yang sudah teruji dan tidak ada kepentingan politik kekuasaan; (e) Mengembangkan sistem gerakan melalui penguatan jama‘ah, jam‘iyah, dan imamah sehingga gerak Muhammadiyah berjalan secara terorganisasi dan kuat; memiliki disiplin organisasi yang tinggi, dan semuanya hanya bernaung dalam sistem Muhammadiyah secara utuh; (f) Menyiapkan sumberdaya manusia dan kader yang unggul, militan, cerdas, dan siap membela organisasi dengan istiqamah dan rasa memiliki dan berkomitmen yang tinggi; (g) Menata dan mengkonsolidasi kembali seluruh amal usaha sebagai alat/kepanjangan misi Persyarikatan sekaligus ajang kaderisasi Muhammadiyah, termasuk menyeleksi dan membina seluruh orang yang berkiprah di dalamnya, sehingga amal usaha itu benar-benar mengikatkan, memposisikan, dan memfungsikan diri sebagai milik Muhammadiyah, dan bukan milik mereka yang berada di amal usaha apalagi nilik organisasi lain; yang harus dikelola dengan sistem dan disiplin organisasi Muhammadiyah; (h) bersikap tegas terhadap organisasi manapun yang masuk dan dapat mengganggu tatanan serta kelangsungan Muhammadiyah, lebih-lebih terhadap partai politik apapun termasuk partai politik yang mengemban misi dakwah sebagai mereka adalah organisasi lain yang berada di luar; bahwa semuanya harus dibingkai ukhuwah tentu saja tetapi harus bersikap timbal-balik dan saling mengormati; (i) Melakukan langkah-langkah pembinaan anggota secara intensif dan sistematik dengan pendekatan-pendekatan klasik dan baru agar tumbuh sebagai anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyahh yang istiqamah dan membela sepenuh hati misi serta kepentingan Muhammadiyah, lebih-lebih di saat kritis dan harus memilih; (j) Mengembangkan usaha dan kemampuan-kemampuan kompetitif serta jaringan-jaringan kerjasama secara independen dengan pihak manapun sehingga Muhammadiyah menjadi gerakan yang unggul dan dirasakan kehadirannya sebagaimana layaknya gerakan Islam yang terbesar di negeri ini. Segenap anggota Muhammadiyah, lebih-lebih pimpinannya harus sungguh-sungguh meyakini dan memahami bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan selalu berada dalam garis atau relnya yang benar. Jika kebetulan ada anggota Muhammadiyah termasuk yang berada di amal usaha diberi kelebihan harta, pikiran, tenaga, relasi, dan anugerah lainnya, kenapa tidak disalurkan dan dimanfaatkan untuk membesarkan dan mengembangkan amal usaha dan dakwah Muhammadiyah? Sikap seperti itu sungguh mulia dan menunjukkan komitmen yang tinggi erhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah juga bekerja tiada lain lil-‘izzat al-Islam wa al-muslimin. Bukan untuk Muhammadiyah, tetapi untuk umat dan bangsa, untuk menjadi rahmat bagi semesta kehidupan.
Setiap anggota Muhammadiyah dituntut untuk berhajat dan berkiprah sepenuh hati melalui Muhammadiyah. Bahwa merawat dan sadar akan miliki sendiri, baik dari penyakit internal maupun dari luar, sesungguhnya merupakan sikap menjaga ”marwah” (kehormatan) dan ”muru‘ah” (rasa malu) sebagaimana layaknya orang yang memiliki independensi dalam berorganisasi. Menjaga ghirah gerakan. Sikap yang demikian bukanlah sikap ekstrem atau keras, apalagi mengobarkan konflik. Kalau mau dikatakan fanatik, boleh juga, karena apalah arti berorganisasi manakala tak ada fanatisme. Soal fanatisme-buta, yang salah bukan fanatiknya, tetapi buta-nya. Setiap anggota Muhammadiyah berhak membela misi dan kepentingan Muhammadiyah, sebagaimana anggota gerakan Islam lainnya membela misi dan kepentingannya. Dengan meminjam logika ”maqasid al-syari‘at” dalam tradisi Islam klasik, bahkan kita diajari untuk bersikap ”syaja‘ah” (berani karena benar) untuk melakukan proteksi diri berupa ”hifdl al-din” (memelihara agama), ”hifdl al-nafs” (memelihara jiwa), ”hifdl al-nasl” (memelihara keturunan), ”hifd al-mal” (memelihara harta), ”hifd al-‘aql” (memelihara akal pikiran), bahkan memelihara kehormatan (hifdl al-ardl). Orang Islam memang tidak boleh bersikap nekad (tahawwur, jangankan benar, salah pun berani). Namun juga dilarang bersikap ”jubun” (pengecut), jangankan salah, benar pun takut. Lalu, munculah sikap selalu mencari aman, mencari mudah, dan apapun yang terjadi dianggap baik. Bersikap tegas dianggap keras dan suka konflik, kendati untuk menjaga kehormatan dan keberadaan organisasi. Tenang-tenang saja, tapi juga tidak bertindak. Jangan gaduh dan harus cantik menyikapi, namun tidak pula muncul sikap yang tegas, sebatas retorika. Akhirnya, tidak terasa lama kelamaan Muhammadiyah melemah, amal usahanya pun satu persatu susut atau bahkan lepas.
Soal kita memiliki kelemahan? Introspeksi? Muhasabah diri. Pasti, itu memang dirasakan dan diakui, yang memerlukan perbaikan dan penyempurnaan tak kenal henti. Bahkan organisasi yang besar seperti Muhammadiyah kata Pak AR Fakhruddin (Allahu yarham), laksana gajah bengkak. Namun, sadar akan kelemahan diri kita, bukan berarti harus membutakan diri dari penyakit yang datang dari luar. Bukan berarti membiarkan pengeroposan organisasi berlangsung tanpa antisipasi dan penyikapan. Apalagi kemudian membiarkan organisasi Muhammadiyah menjadi kian rentan. Jika tahu ada kelemahan, kenapa tidak bergerak? Kenapa tidak segera berbuat? Jangan sampai, sikap mengakui kelemahan itu, pada saat yang sama karena tidak mau sungguh-sungguh berbuat memperbaikiki kelemahan sekaligus mau bersikap tegas dalam bebnetngi organisasi dari gangguan yang datang dari luar. Paling repot, sudak tidak berbuat dan bersikap, melemah-lemahkan diri sendiri sambil tidak melakukan penguatan, karena hati bimbang dan sulit bersikap tegas. Padahal, salah satu sikap kader dan pimpinan organisasi ialah bersikap tegas, dengan tetap cerdas dan arif. Mari kita jadikan semua peristiwa yang kurang bagus di tubuh Muhammadiyah itu sebagai ujian, cobaan, hikmah, dan tempaan untuk bangkit dan berbuat. Tapi, sebelum bangkit dan berbuat, mulailah dari kesadaran adanya masalah. Jangan membutakan diri dari masalah, sebab nanti lama kelamaan masalah kecil kian membesar, lalu setelah segala sesuatunya terlanjur kita tak mampu mengendalikan dan mencari pemecahan. Kata pepatah, sesal kemudian tak ada gunanya. Lagi pula, memang mana ada sesal yang datang di waktu awal, itu namanya sesal yang salah kaprah. Memecahkan masalah pun tentu tak harus ekstrem, tetapi juga harus jelas dan sistematik. Setahap demi setahap pun tak masalah, yang penting ada kesadaran, itikad, dan tindakan. Bukan helah, menghindar dari masalah. Sabda Nabi, ”khair al-’amal adwamu-ha wa in qala”. Amal yang baik ialah yang berkelanjutan, kendati sedikit. Apalagi jika amal itu besar dan sistematik, maka akan menjadi lebih baik lagi.
Dari mana memulai? Setelah sadar adanya masalah, lantas bangkitlah melakukan ikhtiar atau tindakan-tindakan tersistem secara terorganisasai, selain melalui jalur-jalur individu sebagai penguat dan pendukung. Bangkitkan etos gerakan dari dalam secara serius dan memiliki vitalitas tinggi. Gerakkan seluruh lini Persyarikatan, termasuk amal usahanya secara bersama-sama dan tersistem. Langkah organisasi, lebih-lebih yang bersifat penting dan strategis, sungguh memerlukan kesungguhan (jihad) dan sikap kolektif yang menyatu/bersinergi, tidak bercerai-berai, laksana sebuah barisan yang kokoh sebagaimana firman Allah SWT.:”Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” (QS. Ash-Shaff/61: 4). Semoga Allah melimpahkan ridla dan karunia-Nya kepada kita.
Muhammadiyah lahir dan mekar karena sebuah keyakinan, paham, dan tekad perjuangan yang fundamental dari pendirinya. Kyai Haji Ahmad Dahlan melahirkan Muhammadiyah pada tahun 1912 sebagai hasil dari suatu proses pergumulan yang penuh pertaruhan, baik dari segi pemikiran maupun perjuangannya. Jadi tidak sembarang lahir, tumbuh, dan berkembang secara kebetulan atau apa adanya. Menurut Nurcholish Madjid (1983: 310), Kyai Dahlan adalah sosok pencari kebenaran sejati, yang melahirkan pembaruan Islam, dan pembaruannya luar biasa karena tidak mengalami prakondisi sebelumnya (break-throught). Dari rahim pergumulan yang mendasar itu lahirlah gerakan Muhammadiyah yang berjuang ”menyebarluaskan” dan ”memajukan” ajaran Islam, mula-mula di wilayah residensi Yogyakarta, kemudian meluas ke seluruh Indonesia. Dengan ruh dan pemahaman Islam yang demikian, maka berdirinya Muhammadiyah memiliki konteks ketika umat dalam keadaan jumud dan terbelakang, yang memerlukan sebuah gerakan Islam, yang menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama sebagaimana dipraktikkan oleh umat Islam selama ini, yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai ”a Way of Life in all Aspects”, suatu sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya (Djarnawi Hadikusuma, t.t: 68).
Muhammadiyah juga lahir dalam bentuk sebuah gerakan Islam, bukan sekadar pemikiran atau wacana. Menurut H. Djarnawi Hadikusuma, Kyai Dahlan mendirikan Muhammadiyah karena dalam sanubarinya tertanam dorongan Al-Quran Surat Ali Imran ayat 104, yang belakangan sering disebut ”ayat Muhammadiyah”, yakni: Artinya: ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar [217]; merekalah orang-orang yang beruntung”. Ayat Al-Quran tersebut, yang sering dikaitkan dengan ayat ke-110 pada Surat yang sama, merupakan ayat pergerakan. Belakangan, ayat tersebut juga sering dipakai dan menjadi ikon bagi gerakan-gerakan Islam di dunia Muslim kontemporer. Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang ”hidup berorganisasi”. Maka tidak berlebihan jika dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, ”melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi”, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya. Dr. Haedar Nashir Membangkitkan Dinamika Internal Muhammadiyah; www.muhammadiyah.or.id
Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kyai Dahlan, secara praktis-organisatoris untuk mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911 (Adaby Darban, 2000: 13). Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan secara informal dalam memberikan pelajaran yang mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya. Di sini, organisasi pun diperlukan untuk memayungi dan mengendalikan lembaga-lembaga gerakan dalam Muhammadiyah. Lembaga-lembaga yang berada dalam Muhammadiyah pun, termasuk amal usahanya, harus menyatukan diri (berada dalam syarikat) Muhammadiyah, bukan sebagai ”kerajaan-kerajaan sendiri”.
Kyai Dahlan, dengan paham agamanya yang bersifat tajdid, juga melahirkan teologi ”praksisme” Al-Ma‘un, sebuah terobosan tipikal dan cerdas, mirip ”teologi pembebasan” dalam pemikiran dan gerakan kontemporer, yang kemudian dilembagakan menjadi PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) yang kini menjadi PKU (Pembina Kesejahteraan Umat). Kesimpulannya apa? Bahwa selain produk pemikiran, kelahiran amal usaha Muhammadiyah terikat dengan misi dan ikatan organisasi Muhammadiyah. Jadi, bukan sembarang amal usaha, dan dilepaskan tergantung siapa yang mengelolanya, tetapi milik dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari Muhammadiyah. Karena itu, mempertahankan, membesarkan, dan mengembangkan amal usaha Muhammadiyah pun harus menjadi komitmen seluruh yang ada di dalam Persyarikatan. Lebih-lebih bagi mereka yang berada dalam lingkungan amal usaha Muhammadiyah.
Kyai Dahlan, yang diikuti para murid dan pelanjutnya, juga membesarkan Muhammadiyah dengan perjuangan yang gigih. Ketika dokter dan para sahabatnya, bahkan istri tercintanya meminta beliau untuk beristirahat karena sakit, Kyai bahkan menganggap anjuran itu sebagai ”bisikan syaitan”. Ketika diancam untuk tidak hadir ke Banyuwangi dan bila tetap memaksakan diri akan dibunuh, Kyai Dahlan bahkan mendatangi kota di ujung Jawa Timur itu, yang ternyata tak apa-apa bahkan akhirnya di sana berdiri Cabang Muhammadiyah. Kyai Dahlan tidak ingin menghentikan langkahnya, karena merupakan tonggak penentu keberadaan Muhammadiyah yang akan lebih memudahkan bagi generasi pelanjutnya. Di belakang hari, para penerus Muhammadiyah pun membesarkan gerakan Islam tercinta ini dengan semangat yang ikhlas, gigih, cerdas, dan penuh pengorbanan. Hingga Muhammadiyah mampu meretas usia jelang satu abad saat ini. Dr. Haedar Nashir Membangkitkan Dinamika Internal Muhammadiyah ; www.muhammadiyah.or.id
Muhammadiyah dalam praktik gerakannya juga tumbuh dari bawah. Ranting bahkan menjadi basis gerakan Muhammadiyah. Ranting berfungsi sebagai pembina jama‘ah. Keberadaan Ranting bahkan harus mensyaratkan adanya kegiatan, seperti pengajian, dan sebagainya. Jadi mendirikan Ranting bukanlah simbolik dan formalistik, tetapi harus menjadi bagian dan memenuhi persyaratan sebagai sebuah gerakan. Karena itu, Muhammadiyah menjadi gerakan yang terus bergerak. Menurut K.H. AR. Fakhruddin, jika Muhammadiyah tidak bergerak, maka bukan Gerakan Islam. Orang Muhammadiyah harus gigih, kreatif, dinamis, tidak ”mutungan” (mudah patah arang) dan ”wegahan” (malas), dan gerakannya harus dirasakan oleh semua orang (AR Fakhruddin, dalam Sujarwanto dan Haedar Nashir, 1900: 318-319). Jadi Muhammadiyah dan seluruh anggota Persyarikatan, tidak boleh diam dan statis, tetapi harus bergerak secara dinamis. Itulah etos gerakan Muhammadiyah yang harus dibangkitkan, yakni dinamika internal atau dinamika inti gerakan Muhammadiyah.
Apresiasi sejarah terhadap Muhammadiyah sangat wajar karena Muhammadiyah telah mmberikan kontribui yang besar terhadap bangsa ini. Khususnya dalam dunia pendidikan tidaklah sedikit. Mencatat partisipasi Muhammadiyah dalam dunia pendidikan tidak bermaksud membusungkan dada dihadapan pemerintah dan penyelenggara pendidikan lainnya. Tetapi mengingatkan kembali beberapa hal yang penting pertama; sumber daya pendidikan yang dimiliki oleh Muhammadiyah saat ii bukanlah hasil kerja yang pendek selama ini. Dalam rentang waktu satu abad usianya, Muhammadiyah telah mampu menyelenggarakan program pendidikan dengan menyediakan 1132 SD, 1769 MI; 1184 SMP; 534 MTsM; 511 SMAM; 263 SMKM; 172 MAM; 67 Pondok Pesantren; 55 Akademi; 4 Politeknik; 70 Sekolah Tinggi; 36 Universitas (Lihat Propile Muhammadiyah; 2005) Kedua, dalam konteks konsolidasi internal capaian hasil dari pendidikan Muhammadiyah selama ini menghendaki untuk terus mengoreksi kelemahan sambil terus berupaya melakukan inovasi baru dalam dunia pendidikan. Ketiga, Merefleksikan kontribusi Muhammadiyah dalam dunia pendidikan selama satu abad ini untuk mendorong sikap obyektif dan fairness bagi setipa kelompok penyelenggara pendidikan di negeri ini utuk saling menghargai, tidak saling merasa hebat dan menonjolkan diri. Sikap apriori atau pesimisme terhadap kontribusi Muhammadiyah dalam bidang pendidikan muncul karena oerannya sekedar dimaknai secara kuantitatif semata. Proses penguatan karakter bangsa lewat pendidikan Muhammadiyah dapat di rekam dari beberapa indikator tersebut, pertama, meski banyak yang memahami Muhammadiyah telah berjasa dalam bidang pendidikan Muhammadiyah namun masih sedikit yang bisa menangkap bahwa paradigma pendidikan yang digagas oleh KH. Ahmad Dahlan adalah paradigma pembaharuan. [Irvan Mawardi, 2010; SM No. 05/TH. KE 95; 1-15 Maret 2010 Hal. 52] Basis teologis paradigma ini dapat di telisik dari statement KH. Ahmad Dahlan “Islam memerdekakakan akal dari setiap yang membelenggnya dan melepaskan dari segala taklid yang memperhambakannya. Dipulangkannya ia kepada kerajaannya dimana ia harus memerintah dengan pertimbangan dan kebijaksanaan; dan dalam segala hal yang di perbuatnya, ia hanya tunduk kepada Allah dan batas–batas itu ia merdeka seluas-luasnya dan tiada habis-habisnya pertimbangan yang dilakukan dibawah panji-panjinya [Wirjosukarto, 1968; Fajar, 2010, Irvan Mawardi, 2010; SM No. 05/TH. KE 95; 1-15 Maret 2010 Hal. 52]
Diantara agenda untuk membangun masa depan bangsa adalah mengubah psikologis politik pesimistik kepada psikologi politik optimistik, sebab harus diakui suramnya kondisi masa depan bangsa kita saat ini tidak terlepas dari psikologi pesismisme yang menjangkiti penduduk negeri ini. Sehingga potensi dan kekayaan alam yang begitu besar tidak mampu diapresiasikan secara positif untuk membangun masa depan bangsa yang lebih baik, visioner dan berkarakter. [Suara Muhammadiyah, No. 5/TH. Ke 94/1-15 Maret 2009. Hal 8] Maka disini tentu yang harus memiliki andil besar dalam merubah prilaku seperti adalah penguatan pada institusi pendidikan karakter dengan memaksimalisasikan pada penggalian otensi anak bangsa untuk lebih berkreatif dan inovatif. Sehingga berbagai macam persoalan bangsa saat ini dapat terselesaikan dengan baik dan penuh dengan nilai keragaman. Peran pendidikan karakter Muhammadiyah sangat di perlukan untuk membentuk pribadi muslim yang kuat dan memiliki kualitas yang dapat diandalkan dengan tujuan memperbaiki sikap hidup masyarakat sehingga terciptanya masyarakat yang cemerlang. Sekarang ini kita membangun tekad baik untuk memelihara bangsa ini dan harus menemukan sesuatu yang baru untuk mengukur kadar kualitas bangsa ini. [Rusdianto; Teologi Al Maun Upaya Mengangkat Karakter Bangsa, 2009 Hal 3] Langkah yang sangat perlu diambil adalah pertama; grand solidarity, rasa kebersamaan untuk membangun bangsa dan kedua; grand reality yaitu sebuah realitas agung untuk merekonstruksi bangsa ini menjadi besar dan mantap. Kedua kesadaran tersebut merupakan sebuah pengharapan untuk menjadikan bangsa ini merdeka dari segala hal. Sebagai generasi penerus sudah sepatutnya menananm tekad dengan kuat dan komitmen untuk memberikan pengorbanan yang sama, dalam konteks kekinian demi cita-cita yang sangat mulia tersebut yang sekarang mulai dilupakan. Maka oleh karena itu, sebaiknya kita mengapresiasikan kesadaran dalam konteks menyejahterakan rakyat dan mempertinggi tingkat kecerdasan anak bangsa, menjaga martabat bangsa, menciptakan rasa aman, dan memberikan hak rakyat berdasarkan keadilan. Untuk membangun grand reality tersebut terdapat tiga hal penting yakni pertama, kita harus mengidentifikasi dan menyeleksi nilai-nilai unggul apa saja yang bisa dikembangkan. Keua; kita harus menciptakan tradisi yang sehat dalam masyarakat yang kita alami sehingga nilai-nilai unggul itu terwujud. Ketiga, kita harus menggapi segala persoalan yang muncul secara proaktif, bukan reaktif atau refresif. Sehingga kita bisa mencegah potensi kekrasan dimulai dari diri kita sndiri demi mewujudkan kedamaian antar sesama manusia. Selain itu juga menumbuhkan potensi akan pendidikan karakter bangsa yang visioner harus memiliki sikap negarawan yang berkarakter pula. Untuk mendorong hal ini tentu harus memiliki kepemimpinan yang kuat dibekali dengan karakter dan wawasan kebangsaan yag kuat. Bentuk kepemimpinan tersebut adalah kepemimpinan yang demokratis yang mampu mengemban misi tumbuhnya nasionalisme kewarganegaraan. [Suara Muhammadiyah, No. 5/TH. Ke 94/1-15 Maret 2009. Hal 9] Setiap bangsa memiliki keuatan identitas dan budaya politiknya, identitas tersebut dibangun diatas berbagai adat, suku, kulit, ras dan lain sebagainya, ragam identitas bangsa indonesia di satukan dalam dalam semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Identitas nasional terdiri dari berbagai macam gabungan kebudayaan sehingga bangsa ni dapat dikatakan bangsa yang plural dan multikulturalisme.
CATATAN UNTUK TESIS AHMAD NUR ALAM
DIMENSI, STRATEGI, DAN KONSEP NEGARA ISLAM
DALAM KHASANAH DEMOKRASI DAN WELFARE STATE.

OLEH : RUSDIANTO,. SIP\

Ada satu hal yangmenarik untuk di kaji ketika ahmad nur alam sh,. mh, menyampaikan sebuah tesisnya dalam forum ma’had Angkatan Muda Muhammadiyah NTB. penyampaian materi itu sudah dilakukan yang pertama kali dan saya memang tidak hadir dalam diskusi pertama tersebut. ahmad nur alam dengan judul tesisnya perbandingan piagam madinah dan ham dalam persfektif uud 1945. dari judul tesis ini memang memiliki kerancuan, dalam judulnya saja sudah ada semacam kontradiksi, antara paham teologis yang tercantum dalam piagama madinah dengan konsepsi ham khasanah berdemokrasi serta mengalami kebuntuan ketika prinsip uud 1945 di letakkan pada posisi inkonstitusionalisasi dalam sistem baik sistem negara sekarang ini maupun sistem islam statenya. saya mengikuti diskusi tersebut pada pertemuan malam minggu keduanya, dalam pembahasan tesisnya tersebut ahmad nur alam lebih membicarakan tentang historitas yang di pasung pada wilayah yang sangat sempit dalam mengambil dan mengkonstruksikan tentang sejarah islam yang bervarian. di satu sisi juga alam tidak memiliki argumentasi yang kuat atas tesisnya, oleh karena orientasi penjelasannya justru menghadirkan islam pada posisi doktrinal yang fatal atas berbagai dimensi dan gejala sosial yang berkembang masa komtemporer sekarang ini, terutama problem umat Islam yang tak kunjung meningkat kualitasnya. Tesis Ahmad Nur Alam mencoba menjelaskan secara paksa mendekonstruksi ulang apa yang di sebut oleh “otoritas state”. Menghadirkan sistem Negara dalam konsep otoritas state sangatlah tidak mungkin, oleh karena sejak awal Islam telah mengakui keberadaan dan pengakuan akan sejarah kenabian dalam meletakkan sistem kenegaraan. Yang paling penting untuk mengingat dalam tesisnya dan membuat rancu dalam penyampaian, oleh karena Ahmad Nur Alam merekonstruksikan secara idiologis fundamental--radikal, akan tetapi disisi lain dalam tesisnya menghendaki adanya nilai independensi pemahaman dalam khasanah sistem kenegaraan Islam. Saya tidak tau korelasi berfikir Ahmad Nur Alam antara konstruksi Negara Islam dengan indefendensi keberpihakan. Kalau pada posisi fundamental radikalnya, justru memposisikan kekhasan Islam dalam persfektif Negara dihadirkan dalam bentuk yang beringas dan tidak toleran, oleh karena akan menjadi system yang menindas serta memaksa kehendak orang lain. Terbukti dalam tesisnya menghakimi barat dalam konteks keilmuannya baik dalam sistem epistemologisnya maupun system kenegaraannya, sementara kita tidak bias berbohong dan menafikan bahwa proses berdemokrasi yang teori ini justru berasal dari barat kita memakainya dan sama sekali tidak menolak. Kalau menurut saya yang harus dilakukan oleh Islam dan segala aktivitas umatnya sekarang ini harus memberikan kontribusi secara politik dalam konteks harmonisasi nilai, bukanlah menggunakan politik Islam untuk membuat suatu stigma perbedaan yang mencolok. Kurang lebih apa yang dikatakan oleh Alam begini :
Salah satu perbedaan dua kutub pemahaman yang dominan antara Barat dan Timur adalah pemahaman tentang hubungan antara agama dan negara. Demokrasi menganggap hubungan antara agama dan negara sebagai bentuk independensi yang dilakukan oleh rakyat dalam menentukan model dalam kehidupan bermasyarakat dan agama pada sisi lain, yang tidak boleh masuk dalam ruang publik. Hal itu beriringan dengan pengalaman pahit yang dialami Barat dalam masa renaisance, terlebih lagi dengan adanya doktrin dalam agama Kristen yang diyakini datang langsung dari Yesus yang mengatakan, “Serahkan hak kaisar pada kaisar dan hak Tuhan pada Tuhan”.1 Bercermin dari pengalaman pahit ketika agama (gereja) memberikan legitimasi penuh untuk raja sebagai Wakil Tuhan dalam menerapkan hukum, sehingga terjadilah masa traumatik yang menyebabkan mereka melakukan dekonstruksi doktrinal antara agama, kekuasaan (raja sebagai institusi), dan rakyat. Dalam perkembangan selanjutnya, rakyat yang terus menjadi korban dari hubungan yang tidak seimbang, melakukan penuntutan hak mereka, sehingga meletuslah beberapa gerakan rakyat, misalnya Revolusi Prancis dan penuntutan hak kemerdekaan di beberapa tempat.
Penjelasan diatas sudah tentunya memposisikan pada wajah yang sangat buram dan sempit dalam memahami makna histories agama-agama dan masa depan Islam itu sendiri. Sebenarnya kalau tesis Alam di tekankan pada harmonisasi nilai dan berusaha mencari fakta histories yang sebelumnya telah dilahirkan dengan gagasan yang cerdas maka tentu tesis tersebut akan berguna bagi kalangan aktivis muda Islam. Seharusnya juga tesis itu yang seyogyanya menghadirkan Islam di tengah stigma histories yang elok dan cantik dan perlu di ketahui bahwa kita harus berani menelanjangi sejarah Islam yang memburamkan mata rantai rahmatan lil alamin dalam Islam, oleh karena sekarang banyak pemikir muslim yang membanggakan sejarah Islam baik itu salah maupun tidak valid dalam konstruksi atau bangunan dasar kajiannya. Maka oleh karena itu, tesis Ahmad Nur Alam akan menjadi bagian terpenting ketika mencoba menelanjangi konsep yang tidak relevan dengan misi kemanusiaan dan dimensi keillahiannya. Saya Islam ini agama kemanusia yang tidak ada siapaun yang meragukannya, namun sekarang yang sangat perlu di cari dalam tesis Alam sebenarnya bagaimana menghadirkan Islam dalam konteks system kenegaraan yang menghargai nilai pluralitas dan keberagaman serta kebebasan berfikir maupun berserikat itu sendiri.
Memang dalam khasanah kekhasan berdemokrasi kita tidak bias memastikan apakah prinsip – prinsip yang coba kita terapkan memiliki korelasi antara antara nilai kemanusiaan dengan system yang di jelaskan oleh Tuhan melalui teologinya yakni Al Qur’an. Kita mengakui posisi demokrasi dalam perkembangannya adalah hasil renaissance dari komonitas yunani yang telah di suguhkan dalam khsanah filsafat Plato, Aristoteles dan lain-lain. Sekarang ini kita tidak melihat sisi negative dari perkembangan demokrasi, namun kita harus mencari fakta akan praktek yang sesungguhnya, oleh karena masa sekarang dalam berbagai kekuasaan dan sistem tersebut sangat berbeda dan beragam bentuknya. Kalau Ahmad Nur Alam mengakui akan pluralitas dan multikultur yang mempunyai persfektif kebebasan, maka kita akan menemukan sebuah pola yang sangat dominan dalam perubahan social yang berdasarkan dimensi ruang dan waktunya.2Dan saya paling tidak sepakat kalau demokrasi itu dipasung karena akan melahirkan berbagai bentuk penindasan nilai kemanusiaannya dan melanggar khittah ketuhanan. Begitu juga apa yang dikatakan oleh Ahmad Nur Alam bahwa doktrin prinsipil dari demokrasi tentang pembagian kekuasaan, pemilihan wakil rakyat (parlemen), kesamaann di depan hukum, kekuasaan eksekutif, telah mengalami perkembangan seiring dengan praktek demokrasi dan perbaikan yang mengarah pada kesempurnaan dari prinsip demokrasi. Dalam hal ini menghadirkan Islam dalam khasanah demokrasi tentu memiliki persefektif yang berbeda dan sangat beragam dalam segala implementasinya baik dalam membangun kekuatan politik bersama untuk keadilan dan kesejahteraan, apalagi sekarang ini kita melihat berbagai problem yang terjadi, justru melahirkan stigma yang sangat luar biasa antara penguasa dan rakyat yang sering menganggap legitimasi kekuasaan dari rakyat menjadi bagian terpenting, nah ketika legitimasi tersebut di interfretasi dalam wilayah tersebut maka tentu akan menguranggi nilai-nilai kemanusiaan oleh karena kegitimasi tersebut digunakan secara berlebihan dengan system yang rapuh dan KKN,
Ahmad Nur Alam juga dalam diskusinya menyebutkan bahwa teori kontrak sosial yang di gagas oleh John Rosseau merupakan sebuah cerminan untuk melakukan kontekstualisasi kesejahteraan, namun Alam tidak memberikan argumentasi yang kuat mengenai hubungan Negara dan masyarakat maupun hubungan Negara dengan individu. Terkadang Alam menghakimi kebebasan sementara manusia memiliki hak untuk mempasilitasi dirinya untuk mendapat sebuah kesejahteraan dan keadilan. Dalam konteks sejarah juga, Alam menghadirkan tesisnya pada wajah yang setengah matang atau sama sekali tidak memiliki relevansi hubungannya dengan berbagai komponen hubungan masyarakat luas. Kalau saya boleh bertanya ? apa yang paling esensi dalam sejarah perkembangan Islam untuk menghadirkan komponen masyarakat ummatan wasatan dalam konteks sekarang ini ?. Sementara Ahmad Nur Alam mencoba membuktikan sejarahnya, namun itu tidak bisa, saya tidak dalam kajiannya yang sangat terbalik, justru segarusnya Ahmad Nur Alam menghadirkan Islam dalam konteks rahmatan lil alamin tanpa ada penindasan dan paksaan dalam sejarah bangsa dan Negara dalam dimensi Islam. Yang sangat perlu di rekonstruksi dalam dimensi tersebut adalah harus adanya factor kebebasan dan mengakui system yang multicultural, oleh karena, apa bila Islam mengklaim dirinya paling hebat dalam system Negara toh kita semua juga gagal dalam membangun kwalitas umat, dan begitu juga yang sangat mempengaruhi dalam hal ini adalah adanya dominasi berfikir para tokoh muslim yang bersifat tekstual dan ortodoks sehingga konsep Negara Islam juga di hadirkan dalam konteks eksklusif itu. Keterbatasan kajian Ahmad Nur Alam ditunjukkan dalam tesisnya, sekarang ini coba kita mengutifnya bahwa “sejarah menunjukkan bahwa kesepakatan yang ada dalam suatu komunitas masyarakat yang mengatur hubungan, hak, dan kewajiban juga pernah dipraktekkan oleh dan tercatat dalam sejarah perkembangan peradaban Islam”. Kalau pendapat ini dimaksudkan dalam konteks piagam madinah, maka justru Ahmad Nur Alam tidak memiliki relevansi penjelasan tesisnya dalam perkembangan masa sekarang ini, kita tidak bisa bercermin secara total kepada piagam madinah oleh karena piagam madinah hanya berlaku pada saat itu saja. Akan tetapi kalau kita masih berkutat pada pasal demi pasal atau secara khusus maupun umum dalam piagam madinah maka kita berada dalam kubangan ijtihad yang tidak berkualitas sama sekali. Seharusnya kita mulai mengkonversikan dan rekonstruksi kembali baik berdasarkan dimensi historis maupun masa sekarang ini, oleh karena bukan piagam madinah yang di butuhkan oleh manusia akan tetapi persoalan hak kemanusiaan yang pluralitas, merdeka dan kebebasan untuk menyatakan pendapat dalam suatui majelis. Saya sangat khawatir dalam pemikiran keislaman, boleh saja sekarang ini kita berbicara segala bentuk rekonstruksi keislaman baik dalam persfektif teori negara maupun ritualisme umat Islam itu sendiri, akan tetapi yang perlu diantisipasi adalah pluralitas berfikir dalam satu majelis yang tidak adanya titik temu, naka tentu itu bukanlah keputusan atau kebijakan yang valid, namun kebijakan yang inkonsistensi. Kalau Ahmad Nur Alam sekarang ini ingin menghadirkan tesisnya sebagai bentuk reformasi epistemologis, maka Ahmad nur Alam bisa memberikan bagaimana seharusnya sistem pemerintahan Islam baik dalam hal syariah administratif maupun Islam low birokratisme dan dimensi keadilan dalam pelaksanaan pelayanan. Dan saya belum mengerti dengan apa yang di utarakan oleh Ahmad Nur Alam dalam tesisnya itu, nah sekarang ini saya ingin mengklarifikasi semua apa yang saya katakan sebelumnya dengan bebrapa pertanyaan, sekarang ini coba Ahmad Nur Alam hadirkan Islam Yang Rahmatan lil Alamin dalam korelasi antara negara, HAM, Piagam Madinah dan kontrak sosial yang selama ini anda dengungkan ?.
Kemudian saya ingin memberikan argumentasi bahwa memang Ahmad Nur Alam tidak konsisten dalam diskusi di Ma’haj AMM Muhammadiyah tersebut, sesekali menghakimi kebebasan, disisi lain berpandangan subyektif dan obyektif dan selalu bersifat mempertahankan argumentasi yang salah. Selain itu juga, Ahmad Nur Alam terkadang berbicara dengan mengagalkan sisi demokrasi, sementara dia sendiri di KPU Lobar NTB, banyak hal yang tidak ada konsistensi juga dari pembicaraanya. Ketidakonsistenan Ahmad Nur Alam dalam argumentasinya membuat semua orang juga bertanya tentang sebuah konsepsi intelektualnya. Kita buktikan dalam tesisnya dia dengan mengatakan bahwa :
”Nabi Muhammad memandang dan menganggap bahwa dalam kehidupan yang sangat beragam haruslah ada suatu aturan pokok tata kehidupan bersama yang menjamin keselarasan dan keharmonisan seluruh penghuni lembah tersebut (Madinah)”. Kesepakatan tertulis yang ada memuat dasar-dasar rumusan kebebasan beragama, hubungan antarkelompok, kewajiban mempertahankan kesatuan hidup, dan lain-lain. Para ahli banyak menyebutkan kesepakatan tersebut sebagai salah satu bentuk konstitusi tertulis pertama yang mengangkat masalah perjanjian kehidupan bersama. Analisis yang dapat ditarik, bahwa Nabi Muhammad telah meletakkan dasar ketatanegaraan yang sangat mengagumkan yang dibuat 14 abad yang lalu. Dapat disimpulkan, masyarakat muslim pada awal pemerintahan Muhammad selain menegaskan tentang keharusan beragama (menyeru kebaikan), juga telah meletakkan konsep pemerintahan yang itu tidak bisa lepas dari agama, karena Islam menganggap tidak ada garis yang dapat ditarik sebagai pemisah antara kehidupan beragama dengan kehidupan kenegaraan. Banyak ahli yang memberi nama pada kesepakatan tertulis Madinah sebagai Piagam (selanjutnya penulis mengunakan kata piagam), tapi banyak juga yang menggunakan Charter, Agreement, dan Treaty. Perjuangan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia pada masa penjajahan Belanda maupun Jepang untuk membebaskan dan keiginan untuk mengatur hidupnya sendiri, tidak lepas dari peran menonjol umat Islam. Hal ini juga dibuktikan oleh para pejuang diseluruh Nusantara yang mengobarkan spirit Jihad. Proses transisi menuju kemerdekaan telah menetapkan pemuka golongan serta tokoh-tokoh Islam dalam peran yang sangat siknipikan dalam menentukan arah dan landasan sebuah negara misalnya dalam PPKI yang menghasilkan UUD 1945. Konstitusi negara Indonesia yang telah terbentuk dalam isinya ternyata memuat spirit keyakinan kepada Tuhan sama dengan isi dari Piagam Madinah, walaupun dalam Piagam Madinah, Spirit (semangat) KeTauhidan sangat menonjol. Serta proses dan latar belakang terbentuknya dokumen politik (Piagam Madinah dan UUD 1945) berawal dari kontrak sosial antargolongan yang ada (Teori Perjanjian). Sehinga sangat menarik kalau kita memperbandingkan kedua dokumen tersebut apalagi masih ada umat Islam mempermasalahkan kembalinya Piagam Jakarta dalam UUD 1945 melalui proses amandemen yang baru saja terjadi. (Ahmad Nur Alam, Tesis Hal 3).
Dalam statemen itu juga Ahmad Nur Alam mengkonstruksikan sejarah pada versi tesisnya sendiri, tidak mengkaji sejarah secara kompatibel sehingga ada keterbatasan dalam penjelasannya. Terbukti dalam tesisnya mengutif Ahmad Sukarja yang mengartikan karya seorang Muhammad Jamal Al-Din Surur, Qiam Al-Dawlah Al Arabiyah fi Hayaali Muhammad, hlm 95, kita mengetahui dari beberapa buku Muhammad Jamal ini memberikan argumentasi yang tidak jelas juga dalam konstruksi sejarah piagam madinah oleh karena Muhammad Jamal berlatar belakang konservativ. Nah sekarang ini apakah posisi tesisnya diarahkan pada prinsip – prinsip konservativ atau bagaimana, kalau konservatif sebagai pilihan sistem maka akan menjadi bagian yang sangat tidak masuk akal dan pasti akan melupakan nilai kemanusiaan, sehingga Islam yang dikatak oleh Alam Rahmatan lil Alamin akan tidak terwujud sama sekali justru membawa musibah besar dalam setiap penetapan regulasi negara.
Selain itu juga Ahmad Nur Alam membahas tentang berbagai teori dalam proses pembentukan negara dan modelnya juga baik Islam maupun Barat. Adanya beberapa teori yang dikemukkan dalam tesisnya yaitu
Teori spekulatif, yang dapat digolongkan dalam teori ini ialah ; teori perjanjian, teori teokrasi, teori kekuatan, teori daluarsa, teori organis, teori alami dan teori idealistis. teori historis, dinamakan teori historis dikarenakan teori tersebut dalam membicarakan perkembangan negara mengunakan alur berpikir kronologis sejarah timbulnya negara, sehingga dapat juga disebutkan sebagai teori evolusi. Teori Al-Maslahah Al-Mursalah. Dalam sejarah hukum Islam Al-Maslahat Al-Mursalah dikenal sebagai salah satu dari hasil ijtihad melalui al ra’yu (akal) manusia. Teori ini dikemukakan oleh Imam Malik atau Malik bin Anas (meninggal 759 M) dapat diterjemahkan ”untuk kepentingan umum”. Menurut imam Malik kepentingan atau kemaslahatan umum adalah salah satu dari sumber-sumber syari’ah, dengan tiga syarat yaitu; (1) kepentingan umum atau kemaslahatan umum itu bukan hal-hal yang berkenaan dengan ibadat. (2) kepentingan atau kemaslahatan umum harus selaras (in harmony with) dengan jiwa syari’ah dan tidak boleh bertentangan dengan salah satu sumber syari’ah itu sendiri dan (3) kepentingan atau kemaslahatan umum itu haruslah merupakan sesuatu yang esensial (diperlukan) dan bukan hal yang bersipat kemewahan. Hal-hal yang diperlukan atau dibutuhkan itu merupakan upaya yang berkaitan dengan lima tujuan hukum Islam sebagaimana yang dirumuskan oleh Al-Syatibi. (Subhi Mahmassaani, The Philoshopy of Jurisprudence in Islam, Translated by Farhat J. Ziadeh, Lieden,1961, hlm 89-90. Imam Malik Mempunyai nama lengkap Malik bin Anas bin Amir. Kakeknya Abu Amir ialah satu-satunya sahabat Rasullulah yang pernah mengikuti pertempuran sabilillah selain pertempuran Badar. Dia dilahirkan di Madinah pada tahun 93 Hijriah. Dia adalah sa;lah satu dari pendiri Mazhab Maliki diantara 4 Mazhab yang ada sejarah umat Islam( Lihat H.M.K Bakry,Sejarah Hukum dalam Islam,Wijaya, Jakarta1954, hlm151). Yaitu untuk melindungi agama, kehidupan, akal keturunan dan harta benda. S. Mahmassani mengungkapkan tiga contoh dari Al-Maslahah yaitu; (1) kewajiban membayar pajak bagi golongan hartawan untuk anggaran belanja negara (2) penyitaan barang-barang hasil curian atau hasil tindakan pidana dari seorang terhukum, dan (3) melenyapkan tawanan pihak Islam apabila mereka digunakan sebagai ”perisai” oleh pihak musuh yang non-Islam. Teori Al-Madinah Al-Fadilah yang dikemukakan oleh Al Farabi (870 M - 950 M) seorang filosop Islam yang hidup pada zaman Abbasiyah berkuasa yang juga mendapat gelar sebagai ”guru kedua” (Aristoteles mendapat gelar guru pertama). ”Kota utama adalah kota yang melalui perkumpulan yang ada di dalamnya bertujuan untuk bekerjasama dalam mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya". (Ralph Lerner & Muhsin Mahdi, The Political Regime,I Medieval political Philosophy, Cornell University Press, Itchaca NEw York, 1989, Hlm 32. Al Farabi mempunyai nama lengkap Abu Nashr Muhammad ibn Muhamad ibn Tarhan ibn Al-Uzalah Al-Farabi lahir di Wasij di Distrik Farab di Transoxiana sekitar 870M dan wafat di Damaskus pada tahun 950M. selain filosof dia juga merupakan seorang ahli musik yang menulis eklopedia musik (Al-Musika Al-Kabir). Perna menjadi hakim dalam masa Dinasti (Syi’ah) Hamdaniyah). Al-Farabi juga menguraikan bahwa manusia tidak akan meraih kesempurnaan itu, kecuali melakukan asosiasi dalam banyak orang, yang bekerjasama, berkumpul bersama, masing-masing memasok orang-orang lain dengan kebutuhan tertentu, sehingga, sebagai sumbangan seluruh komonitas. (Yamani, Filsafat Politik Islam, Antara Al-Farabi dan Khomeini, Mizan, Jakarta 2002, hlm 60). Pengertian dari zaman ke zaman pun, ada bermacam-macam pengertian dari negara itu sendiri yang dikemukakan oleh para pakar, diantaranya; Plato mengemukakan bahwa negara ialah satu organisme (kesatuan) yang mempunyai dasar hidup sendiri. Negara layaknya manusia yang mempunyai kepala (kepala negara atau raja). Pengertian tentang negara ini didapat dalam bukunya yang berjudul “Republica” yang ditulis dalam timbal-cakap. (Jhr Dr J.J. Von Schmid, Op Cit, hlm 13). (Ahmad Nur Alam; Tesis hal 7)
Dari berbagai teori yang di bahas, ada banyak hal yang sangat perlu di kritisi oleh karena dalam proses pembentukan negara memiliki dimensi yang sangat luas baik yang mengatur hubungan negara dengan masyarakatnya maupun individunya. Oleh sebab itu, teori spekulatif misalnya yang dikategorikan sendiri dalam tesisnya justru ini sangatlah tidak menjamin akan konstruksi negara yang adil dan distrribusi kesejahteraan yang maksimal. Sebenarnya teori spekulatif dalam sistem ketatnegaraan dan pengaturan sistem hukum tidaklah di pakai, oleh karena hanya bersifat sementara dan mengandung kegagalan dalam implementasi role of lawnya. Saya tidak mengetahui secara jelas apakah teori spekulatif ini adalah gagasan Ahmad Nur Alam kemudian mencoba membawa teori tersebut sebagai proses metodologis keilmuan teori lainnya di bawah konsep teori spekulatif, akan bagi saya tidak maslah kalau memang itu ijtihad Ahmad Nur Alam, namun harus diingat bahwa teori spekulatif sangatlah rentan untuk meninggalkan nilai kemanusiaan dan ketuhanan oleh karena hanya bersifat insidental dalam gagasannya. Nah kalau dikonstruksikan juga pada teori historitas, dari awal saya mengatakan bahwa tesis yang tulis ini menghadirkan sejarah dalam konteks konservativnya tanpa menelisik sejarah secara mendalam dan akurat. Kita buktikan, apa yang dikatakan oleh Imam Feisal Abdul Rauf dalam bukunya Suara Azan di Atas Puing – Puing WTC terbitan Mizan mengatakan bahwa ”peran negara adalah menciptakan dimensi yang pluralitas dan kebebasan yang hakiki, agar dimensi negara tidak keluar dalam konstruksi historis baik itu dalam kajian Agama Abrahamic maupun agama kristen yang mewakili barat”. Begitu juga apa yang dikatakan oleh Hegel dalam buku filsafat sejarah bahwa negara menjamin setiap hak warga negara dan menciptakan otoritas yang adil sebagai bentuk pemaknaan atas konstitusi negara tersebut yang bersifat tetap. Memang dari teori spekulatif tersebut Ahmad Nur Alam dalam tesisnya mengatakan bahwa sangat cocok dan mengarah pada konsepsi teori evolusi. (Ahmad Nur Alam Dalam Tesisnya,. Hal 3) Disinilah letak kesalahan yang di bangun dalam tesisnya, harus di ingat bahwa teori evolusi di hadirkan sedemikian rupa dan bentuk penjelmaan untuk memperkuat teori humanisme, dalam tulisan Harun Yahya dalam berbagai artikel mengatakan bahwa keruntuhan teori materialisme dan evolusi merupakan sesuatu yang dianggap telah gagal dalam membuktikan kebenaran ilmiah ilmu pengetahuan dan hubungan sosial manusia dalam konteks sosiologi masyarakat maupun politik. Perang Dunia kedua memang sangat urgen untuk dibahas dalam hal kesajarahan oleh karena teori materialis yang termasuk filsafatnya berfungsi untuk menjelaskan kekuasaan dan sosiologi masyarakat dengan didukung oleh teori humanisme telah mengalami kebuntuan dan krisis kepercayaan. Oleh karena selama ini teori materialisme mengasingkan aspek spiritualitas dan hanya bersifat materialis. Akan tetapi penjelasan ini apa hubungannya dengan teori negara yang dikatakan oleh Ahmad Nur Alam, bagi saya tentu memiliki hubungan yang sangat erat dan berkaitan langsung dengan sistem kekuasaan yang di terapkannya baik pada masa revolusi Prancis, Rusia dan Jerman serta Kuba sekalipun. Teori materialisme juga sangat berhubungan dengan teori evolusi dari apa yang dijelaskan oleh Alam dalam tesisinya. Saya terkadang tidak paham dengan konsepsi dan metodologi resisnya Ahmad Nur Alam karena memang untuk mengkaji sistem hukum dalam negara tidak relevan dengan hasil yang diinginkan melalui metodologi studi referensi atau studi literatus, sebenarnya Ahmad Nur Alam seharusnya mengadakan penelitian dulu dengan melibatkan aspek sosiologis, politik, ekonomi dan sistem hukum. Bagaimana sebenarnya beberapa ranah ini di hubungkan untuk dalam satu metodologis yang terintegrasi dalam bagian terpentingnya. Metodologi tersebut harus bersipat komparatif antara sistem linier dengan non linier baik dalam persfektif ilmu hukum maupun sosial. Kembali kepada teori evolusi, bahwa harus di ingat, evolusi dari Abad 19 sampai pertengahannya telah mengalami perubahan bentuk dengan adanya bukti empirik. Teori evolusi juga dalam berbagai literatur tentang sistem kenegaraaan sebenarnya di konstruksikan oleh Karl Marx dan beberapa pemikir sosialis Jerman dan Inggris dengan menyatakan bahwa pembelaan terhadap Darwinisme dalam konteks memperkuat teori filsafat Materialisme historis. Begitu juga dengan apa yang telah di kutif oleh Ahmad Nur Alam dalam khasanah pemikiran Malik Bin Anas hanya mengungkapkan sisi kemanusiaan yang berhubungan dengan nilai keillahiannya (Asmaul Husna) dengan melakukan penafsiran terhadap konstruksi Al Qur’an, Sunnah dan disesuaikan dengan ijtihad manusia dalam bentuk Fiqih, ijma dan qiyas. Malik Bin Anas juga telah berbicara tentang idiologi Islam secara historis dan kontemporer sebagaimana dalam buku Fiqih Politik islam. Namun disisi lain Malik Bin Anas tidak terlepas dari kritikan bahwa sistem yang dijelaskannya di bawa kepada wilayah pengakuan yang konservatif atau eksklusif dan tidak bebas.
Yang terpenting sekarang ini adalah memberikan pemahaman dalam bentuk negara yang baik itu sangatlah penting agar proses hukum dan pengambilan police goverment dapat dinilai pada esensi keadilan. Aristoeles dalam Buku “Politika” menjelaskan tentang arti dari sebuah fungsi kenegaraan yang tulis untuk memberikan pemahaman melalui metode distribusi keadilan sosial, dan proses mentaati norma yang berlaku baik dalam ruang lingkup kesusilaan maupun maupun dalam konteks etika politik. Memang kalau kita menengok kembali apa yang telah terjadi pada zaman pertengahan, dimana antara doktrin gereja dan bernegara mengalami titik jenuh dalam proses sistem pemikirannya tentang pemerintahan atau negara serta di pengaruhi oleh menurunnya reposisi pada wilayah estetikanya dalam kehidupan politik, oleh karena adanya persaingan dan perebutan kue kekuasaan antara Romawi dan Sasania. Dengan peristiwa semacam itu sebagai bentuk realitas dunia yang mengerikan atas berbagai penindasan yang terjadi dan jauh dari keadilan yang sipatnya distributive, maka oleh karena itu, Islam hadir sebagai solusi sebagai bentuk gerakan sosial movemen atau gerakan Sosial Baru Islam dengan agenda mendesaknya yakni merekonstruksi tatanan hidup manusia dengan memberikan paradigma keselamatan dan kedamaian. Sekarang ini yang perlu di maksimalisasikan dalam kajian tesisnya harus bisa menjelaskan hubungan antara historis dalam konteks Barat maupun Islam. Kelahiran Islam tidak terlepas dari kultural masyarakat yang mengalami masa kajahiliyahan dan kekurangan sumber dayanya. Maka oleh karena itu, konsepsi negara Islam harus bisa menghadirkan nilai harmonisasi diantara paradigma tersebut sebagai bagian pembentuk peradaban masyarakat Islam. Apabila kita semua tetap memegang teguh keilmuan Islam tanpa ada reformasi epistemologisnya dan antisimpatik terhadap konstruksi keilmuan Barat, maka kita akan menemukan kegagalan setiap zaman sementara perubahan sosial yang kita saksikan sudah mencapai makomnya yang mengedepankan hak kebebasan dan keadilan.
Kemampuan ulama dan pemikir Islam sesunggunya lemah dalam ijtihad tentang konstruksi sosialnya oleh karena memang kenyataanya, para ulama dan pemikir kita saling menghujat dan sangat jarang ada kesepakatan dalam konsep pemikiran maupun penjelasan nalar sistem negara dan sosial, padahal dalam berbagai literatur ensiklopedia, buku, majalah, brosur, famplet dan lain sebagainya berusaha menjelasan wajah Islam, walaupun dalam penjelasan mereka berbagai macam bentuk dan beragam dari fatwa haram tidak memilih dalam demokrasi sampai fatwa di perbolehkan kepemimpinan perempuan dalam Islam, sebagaimana Yusuf Qardawi dalam situs fatwanya. Nah sekarang ini coba kita bayangkan secara bersama – sama, bagaimana lembaga MUI mengeluarkan fatwa haram kalau tidak memilih dalam pilpres dan fatwa membolehkan presiden perempuan dalam negara Islam. Ini sebenarnya kalau kita menengok kembali yang sesungguhnya, justru sangat relevan dalam konteks filsafati kemanusiaan sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang tidak memiliki perbedaan dalam penciptaan manusia itu sendiri. Selama ini banyak tempat diskusi yang pernah saya jalankan selalu menjadi perdebatan antara perempuan bisa menjadi pemimpin dengan perempuan hanya pada wilayah domestiknya. Hal ini sangat ironis sekali ketika adanya pembatasan terhadap peran kekhalifahan perempuan dalam konteks kepemimpinan dalam Islam. Berangkat dari paradigma inilah, seharusnya tesisnya Ahmad Nur Alam memberikan paradigma yang lebih luas dan akurat untuk menjelaskan posisi tafsir kekuasaan Islam dengan dimensi serta konsep sistem negara Islam, mengapa seperti itu, oleh karena sekarang ini Islam dihadirkan dalam beberapa model bahkan sangat beragam bentuknya. Bentuk keragaman inilah yang sesungguhnya di tengok kembali untuk disatukan dalam sebuah blue print tentang sistem pemikiran negara Islam, agar dimensi, konsep dan strategi Islam menjadi sala satu solusi dalam pencarian identitas umat manusia khususnya Islam itu sendiri.
Saya juga ingin menyoroti tentang teori kontrak sosial yang dikaji oleh Ahmad Nur Alam dalam tesisnya, bahwa teori kontrak sosial sebenarnya tidak menjelaskan secara gamblang mengenai proses distribusi kesejahteraan sosial dalam sebuah sistem masyarakat. Namun Islam tidaklah juga menjelaskan tentang secara rinci mengenai kotrak sosial, akan tetapi Islam memerintahkan manusia untuk selalu berbuat baik dan memberikan sebagaian harta untuk jalan yang di ridhoi oleh Tuhan sehingga dimensi keislaman yang dihadirkan dalam konteks muamalah dan pembebasan dari patologi sosial menjadi bagian yang terpenting dan solutif bagi umat manusia. Julian Benda mengatakan bahwa sistem sosial dan negara bisa di intervensi apabila kekuasaan di penuhi oleh berbagai faktor kultur yang tidak memiliki integritas politik yang jujur dan kuat. Selaras dengan apa yang dikatakan oleh Julian benda, tentu negara memiliki otoritas untuk menguranggi bentuk ancaman dan sistem yang tidak bermoral atau menindas dengan jalan pemberdayaan sosial kemanusiaan. Aristoteles dalam bukunya yang berjudul ”Politicia” mengatakan bahwa bentuk sistem politik dan sosial kemasyarakatan yang paling ideal adalah melakukan pendistribusian keadilan dan persamaan politik serta proses hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Maka oleh karena berangkat dari berbagai persoalan pengkajian baik HAM, PIAGAM MADINAH DAN SISTEM ISLAM STATE yang masih penuh dengan logika tafsir. Maka sebaiknya kita berangkat dari beberapa premis sosial dan politik yang senantiasa di rekonstruksikan dalam sebuah framework dan paradigma sebuah sistem negara sehingga dapat menjadi bagian yang terwakili dalam konteks masyarakat yang baik dan menjaga proses otoritas politik dan sistem sosial dari diskriminasi sistemik. Beberapa tawaran yang ingin saya ajukan dalam konteks kelengkapan tesis Ahmad Nur Alam yakni, relasi sistem regulasi negara dalam pengaturan masyarakat, keadilan dan kesejahteraan sosial dalam visi negara kesejahteraan sebagai sala satu strategi Islam dalam perberlakuan syariah dan penguatan identitas keislaman di setiap komponen masyarakat, merekonstruksi sistem negara Islam dalam hal ummatan wasathan (jalan tengah).

Islam Dan Demokrasi di Dunia
Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia). Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya menjadi “pemerintah” bagi dirinya sendiri, dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yang bertanggung jawab atas tugasnya. Karena alasan inilah maka lembaga legislatif di dunia Barat menganggap sebagai pioner dan garda depan demokrasi. Lembaga legislatif benar-benar menjadi wakil rakyat dan berfungsi sebagai agen rakyat yang aspiratif dan distributif. Keberadaan wakil rakyat didasarkan atas pertimbangan, bahwa tidak mungkin semua rakyat dalam suatu negara mengambil keputusan karena jumlahnya yang terlalu besar. Oleh sebab itu kemudian dibentuk dewan perwakilan. Di sini lantas prinsip amanah dan tanggung jawab (credible and accountable) menjadi keharusan bagi setiap anggota dewan. Sehingga jika ada tindakan pemerintah yang cenderung mengabaikan hak-hak sipil dan hak politik rakyat, maka harus segera ditegur. Itulah perlunya perwakilan rakyat yang kuat untuk menjadi penyeimbang dan kontrol pemerintah. Secara normatif, Islam menekankan pentingnya ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar bagi semua orang, baik sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin negara. Doktrin tersebut merupakan prinsip Islam yang harus ditegakkan dimana pun dan kapan saja, supaya terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera.
Nah, bagaimanakah konsep demokrasi Islam itu sesungguhnya? Jika secara normatif Islam memiliki konsep demokrasi yang tercermin dalam prinsip dan idiom-idiom demokrasi, bagaimana realitas empirik politik Islam di negara-negara Muslim? Bagaimana dengan pengalaman demokrasi di negara-negara Islam? Benarkah Samuel Huntington dan F. Fukuyama, yang menyatakan bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak compatible dengan demokrasi? Tulisan ini ingin mengkaji demokrasi dalam perspektif Islam dari aspek elemen-elemen pokok yang dikategorikan sebagai bagian terpenting dalam penegakan demokrasi, dan hubungannya dengan realitas demokrasi dalam negara yang berbasis mayoritas Islam. Jika dilihat basis empiriknya, menurut Aswab Mahasin (1993:30), agama dan demokrasi memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya sendiri. Namun begitu menurut Mahasin, tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi. Dalam perspektif Islam elemen-elemen demokrasi meliputi: syura, musawah, adalah, amanah, masuliyyah dan hurriyyah, bagimana makna masing-masing elemen tersebut? Pertama, Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura:38 dan Ali Imran:159 Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah (Madani, 1999: 12). Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbanagan dan tanggung jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama. Kedua, al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl:90; QS. as-Syura:15; al-Maidah:8; An-Nisa’:58 dst. Betapa prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan, sehingga ada ungkapan yang “ekstrim” berbunyi: “Negara yang berkeadilan akan lestari kendati ia negara kafir, sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang mengatasnamakan) Islam”. (lihat Madani, 1999:14). Ketiga, al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat. Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama’ memahami al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al-‘adalah. Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini adalah surat al-Hujurat:13, sementara dalil sunnah-nya cukup banyak antara lain tercakup dalam khutbah wada’ dan sabda Nabi kepada keluarga Bani Hasyim (Tolchah, 199:26). Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam surat an-Nisa’:58. Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta, dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur atas jabatan tersebut. Inilah etika Islam. Kelima, al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa, kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yangh harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertenggungjawabkan di depan Tuhan. Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah (Madani, 1999:13), bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya. Dengan dihayatinya prinsip pertanggung jawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Dus dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.
Keenam, al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela. Jika suatu negara konsisten dengan penegakan prinsip-prinsip atau elemen-elemen demokrasi di atas, maka pemerintahan akan mendapat legitimasi dari rakyat. Dus dengan demikian maka roda pemerintahan akan berjalan dengan stabil. Watak ajaran Islam sebagaimana banyak dipahami orang adalah inklusif dan demokratis. Oleh sebab itu doktrin ajaran ini memerlukan aktualisasi dalam kehidupan kongkret di masyarakat. Pertanyaannya kemudian, bagaimana realitas demokrasi di dunia Islam dalam sejarahnya? Dalam realitas sejarah Islam memang ada pemerintahan otoriter yang dibungkus dengan baju Islam seperti pada praktek-praktek yang dilakukan oleh sebagian penguasa Bani ‘Abbasiyyah dan Umayyah. Tetapi itu bukan alasan untuk melegitimasi bahwa Islam agama yang tidak demokratis. Karena sebelum itu juga ada eksperimen demokratisasi dalam sejarah Islam, yaitu pada masa Nabi dan khulafaurrasyidin (lihat Mahasin, 1999:31). Memang harus diakui, karena kepentingan dan untuk melanggengkan status quo raja-raja Islam, demokrasi sering dijadikan tumbal. Seperti pengamatan Mahasin (1999:31), bahwa di beberapa bagian negara Arab misalnya, Islam seolah-olah mengesankan pemerintahan raja-raja yang korup dan otoriter. Tetapi realitas seperti itu ternyata juga dialami oleh pemeluk agama lain. Gereja Katolik misalnya , bersikap acuh-tak acuh ketika terjadi revolusi Perancis. Karena sikap tersebut kemudian Katolik disebut sebagai tidak demokratis. Hal yang sama ternyata juga dialami oleh agama Kristen Protestan, diamana pada awal munculnya, dengan reformasi Martin Luther Kristen memihak elit ekonomi, sehingga merugikan posisi kaum tani dan buruh. Tak mengherankan kalau Kristen pun disebut tidak demokratis. Melihat kenyataan sejarah yang dialami oleh elit agama-agama di atas, maka tesis Huntington dan Fukuyama yang mengatakan, “bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak kompatibel dengan demokrasi” adalah tidak benar. Bahkan Huntington mengidentikkan demokrasi dengan the Western Christian Connection (lihat Imam, 1999:x-xi, Hefner, 2000:4-5). Inilah memang, betapa sulitnya menegakkan demokrasi, yang di dalamnya menyangkut soal: persamaan hak, pemberian kebebasan bersuara, penegakan musyawarah, keadilan, amanah dan tanggung jawab. Sulitnya menegakkan praktik demokratisasi dalam suatu negara oleh penguasa di atas, seiring dengan kompleksitas problem dan tantangan yang dihadapinya, dan lebih dari itu adalah menyangkut komitmen dan moralitas sang penguasa itu sendiri. Dengan demikian, meperhatikan relasi antara agama dan demokrasi dalam sebuah komunitas sosial menyangkut banyak variabel, termasuk variabel independen non-agama. Islam dan demokrasi merupakan sebuah realitas yang tak bisa di hindari dengan berbagai sistem yang ada memenuhi berbagai bentuk keragaman masyarakat dan kultur yang berkembang. Dalam ilmu sosiologi politik dan masyarakat bahwa dimensi perkembangan tersebut menunjukkan elan vitalnya dalam persfektif kesejahteraan, namun tetap memiliki hambatan dan peluang yang berbeda. Potensi tersebut terlebih di pengaruhi oleh berbagai faktor yakni situasi politik, sosial dan budaya dengan berbagai motif kepentingan baik yang bersfat individual maupun kolektif. Sabda demokrasi semakin keras terdengar dari negara-negara Islam. Setelah Indonesia, Iran beberapa waktu lalu juga menggelar pelaksanaan pemilihan presiden secara langsung. Mesir sebentar lagi akan meniti di jalan yang sama. Dalam konteks Islam dan demokrasi, perjalanan demokrasi di negeri ini cukup membanggakan dan perlu diperhatikan. Indonesia patut berbangga karena telah berhasil melaksanakan pemilihan umum secara langsung. Apalagi dilanjutkan dengan pelaksanaan pilkada (terlepas dari kekurangannya) yang tak pernah dilakukan oleh negara-negara Islam lain. Perlu diperhatikan, karena demokrasi telah hadir dengan nilai dan wujudnya sendiri. Kebebasan, kesetaraan, pluralisme dan toleransi adalah ciri khasnya. Sementara di sisi lain, masing-masing negara mempunyai karakternya sendiri. Penterjemahan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan nyata dipastikan berbeda antarsatu negara dengan negara lain.

Wacana Demokrasi
Harus diakui, tidak mudah bagi umat Islam mencapai perkembangan seperti sekarang. Bukan hanya karena demokrasi dianggap sebagai “nilai impor”, lebih jauh karena demokrasi dengan pemahamannya yang ada sekarang bertolak belakang dengan pengalaman umat Islam selama ini. Perkembangan di atas mencerminkan kemenangan mereka dalam “pertarungan sengit” untuk membumikan nilai-nilai demokrasi. Pertarungan mereka setidaknya melawan dua hal. Pertama, arus salafisme dan konservatisme. Sebagaimana dimaklumi, semenjak Muawiyah pada abad ke-2 H. menggeser kepemimpinan Ali (khalifah keempat dalam Islam), “kabut hitam” telah menyelimuti kehidupan umat Islam. Perpecahan tak terelakan. Pendukung Ali tidak menerima sikap Muawiyah yang dianggap merampas kekuasaan dari tangan Ali. Begitu juga dengan pendukung Muawiyah. Keduanya bahkan rela mati demi memperjuangkan kebenaran yang diyakininya. “Mereka (umat Islam) membuat pedang bermata dari bambu. Mata pedang diharapkan bisa menuntun mereka untuk membedakan antara yang bersalah dan benar”. Ungkapan ini mencerminkan kondisi umat Islam pada saat itu yang berada dalam kebingungan. Di mana mereka tak bisa membedakan antara yang benar dan salah. Sementara peperangan dan perebutan kekuasaan terus berlanjut. Dari sini kemudian timbul kecenderungan untuk kembali kepada masa awal Islam. Yaitu masa Nabi, Abu Bakar dan Umar. Bagi umat Islam, kehidupan pada masa itu mencerminkan ajaran Islam seutuhnya. Tidak ada perpecahan dan perebutan kekuasaan. Sebaliknya, mereka bahu membahu untuk menyebarkan Islam. Walaupun harus berhadapan dengan kekuatan raksasa seperti Imperealisme Yunani dan Persia. Kecenderungan inilah yang belakangan disebut dengan salafisme dan konservatisme. Bila kita jujur, kecenderungan ini telah menjadi “jantung” umat Islam di berbagai alirannya. Kalaupun ada perbedaan, itu hanya dalam beberapa hal partikular yang bersifat taktis dan teknis. Oleh karenanya, tak berlebihan bila sebagian memposisikan Muhamamd Abduh dan Jalauddin Al-Afghani sebagai tokoh salafis (Khaled Abou el-Fadhl, Islam dan Tantangan Demokrasi, hal. 147). Kedua, tradisi pemerintahan. Tak dapat dipungkiri, demokrasi dengan nilai-nilai yang diusungnya merupakan hal baru bagi umat Islam. Terutama dalam bidang pemerintahan. Demokrasi meneguhkan kedaulatan rakyat. Sementara dalam Islam kedaulatan hanyalah milik Tuhan. Oleh karenanya, ketika dituntut mundur dari kekuasaan oleh kalangan oposisi, Utsman (khalifah ketiga dalam Islam)mengatakan: bagaimana saya melepaskan kekuasaan yang merupakan pemberian Tuhan (Farag Fouda, Alhaqîqah Alghâibah). Oleh karenanya, dapat dimaklumi (walaupun tak harus diterima) bila kekuasaan dalam Islam bercorak otoritarianisme dan anti kedaulatan rakyat. Kekuasaan model ini terus berlanjut hingga runtuhnya Dinasti Utsmaniyah di Turki (1923 M). Dinasti Ustmaniyah merupakan akhir dari kekuasaan bercorak otoritarianisme ini. selanjutnya, babak baru pemerintahan Islam dimulai. Lembaran baru pemerintahan Islam ditandai dengan isu demokrasi yang menampilkan pemerintahan pro rakyat. Pola pemerintahan ini mendapatkan perhatian serius dari sebagian. Selain karena kesuksesan negara-negara Barat, juga karena pola ini dipandang relevan dengan spirit masa. Namun demikian, tak gampang bagi umat Islam menganut pola pemerintahan baru ini. Karena, sebagaimana telah diungkapkan, mereka harus berhadapan dengan arus salafisme dan tradisi kekuasaan yang bertolak belakang dengan pola pemerintahan ini.

Demokrasi Jalan Baru System Islam State
Perkembangan mutakhir di atas menggambarkan adanya perintisan jalan baru dalam wacana Islam dan demokrasi. Sebagaimana dimaklumi, ada dua jalan yang ditapaki umat Islam dalam merespons isu demokrasi. Pertama, rujukan keislaman di berbagai perspektifnya. Baik secara doktrinal maupun historis. Dengan kata lain, dalam merespons isu demokrasi, umat Islam melakukan pelacakan dan pengeksploran terhadap doktrin-doktrin yang ada dalam Islam. Baik berbentuk Sunnah, Alquran atau bahkan sejarah pemerintahan Islam. Pelacakan ini berhasil menemukan beberapa ajaran yang dianggap sejalan dengan nilai demokrasi. Seperti konsep syura (musyawarah), musâwah (kesetaraan) dan yang lainnya. Jalan ini dijadikan pintu masuk oleh sebagian untuk membuktikan keserasian Islam dengan konsep demokrasi. Lebih jauh, pendekatan di atas menjadi poros perdebatan Islam dan demokrasi. Baik mereka yang sejalan dengan pendekatan ini atau tidak. Wacana demokrasi pun bernasib sama dengan wacana lain dalam Islam, sepeti ijtihad, penerapan syariat dan lainnya. Perdebatan yang ada hanya dalam tataran wacana. Sementara “taring” demokrasi tak menyentuh kehidupan riil yang menjadi sasaran utama dari demokratisasi itu sendiri. Jangan heran bila kehidupan umat Islam selama ini tak mencerminkan nilai-nilai demokrasi. Kedua, rujukan kebaratan. Tak dapat dipungkiri, pemahaman demokrasi seperti sekarang adalah produk Barat murni. Orang-orang Barat memandang demokrasi dari persektifnya sedniri. Dapat dipahami bila Barat selalu negatif menanggapi isu demokratisasi di dunia Islam. Karena pola pandangnya memang berbeda. Akhirnya, kebijakan mereka yang disinyalir untuk tujuan demokratisasi pun, berlawanan dengan demokrasi itu sendiri. Kebebasan yang merupakan nilai dasar demokrasi kurang diperhatikan. Sebaliknya atas nama demokratisasi mereka melakukan pemaksaan terhadap negara-negara Islam. Muhammad Abid Al-Jabiri, seorang pemikir garda depan Islam dari Maroko, menyerukan pentingnya melepaskan diri dari dua pendekatan ini. Menurutnya, demokrasi tak bisa hanya bermain dalam tataran wacana seperti yang terjadi dalam dunia Islam. Tidak juga dengan pemaksaan seperti yang dilakukan Barat. Demokrasi adalah nilai-nilai luhur dalam kehidupan praksis. Demokratisasi harus memperhatikan nilai lokal masing-masing negara. Yang dikatakan etis dalam satu negara, tak berarti etis bagi negara lain. Sejauh demokratiasasi memperhatikan nilai-nilai ini, sejauh itu pula keberhasilan demokrasi. Apa yang telah terjadi di dunia Islam seperti Indonesia atau Iran, dan yang akan terjadi seperti di Mesir harus dipahami sebagai proses pembentukan demokrasi sesuai dengan nilai lokal masing-masing. Setelah sekian lama berpetualang di kawasan Islam, kini demokrasi hampir menemukan wujudnya. Akankah demokrasi di dunia Islam berhasil terwujudkan? Kita simak perkembangan berikutnya.

Demokrasi dan Islam Moderat
David K. Alka Secara keseluruhan basic landscape Islam di Indonesia adalah moderat, tidak monolitik, dan demokratis, walaupun ada peningkatan kemunculan kelompok-kelompok radikal. Sebenarnya Muslim di Indonesia tak pernah ragu menerima dan menyerap nilai-nilai demokrasi yang sudah sejak lama diperjuangkan bukan hanya oleh para pendiri bangsa, tetapi juga oleh organisasi Islam mainstream (arus utama) yang terus menggagas Islam yang kontekstual, yaitu yang mampu merespons persoalan kekinian. Di Indonesia masih ada pihak-pihak yang lebih menekankan implementasi ajaran Islam dalam bentuk simbol-simbol—misalnya saja dalam pemakaian nama yang berbau Arab dan contoh lainnya—ketimbang pada substansi ajaran, yaitu bagaimana mengatasi problem kemanusiaan yang sudah akut di Indonesia, seperti kemiskinan, penanggulangan korupsi, kekerasan, dan masalah lainnya. Fenomena sekarang terlihat masyarakat sangat haus akan Islam yang substantif. Dengan demikian, menjadi tantangan bagi organisasi seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam memelihara ide Islam yang substantif—seperti masalah kesamaan jender, kebebasan, dan kemiskinan—dalam perilaku politiknya.
Keunikan Islam Indonesia juga digambarkan oleh Ralph L Boyce, mantan Duta Besar AS untuk Indonesia, ketika mengunjungi Pondok Pesantren Pabelan, dekat Yogyakarta, dua tahun lalu. Menurutnya, berbeda dengan negara-negara di dunia Islam lainnya, para santri perempuan memiliki peran yang setara di dalam setiap aktivitas pesantren. Permainan marching band ketika penyambutannya dinilai oleh Boyce sebagai simbol status perempuan Indonesia dalam masyarakat Muslim yang partisipatif pada hampir segala bidang. Islam Indonesia sesungguhnya memiliki karakteristik yang berbeda dengan Islam di Timur Tengah. Islam di Indonesia sejak awal mengalami proses akulturasi (bercampur dan beradaptasi) dengan kepercayaan purba, pra-Islam, serta sosio-kultural setempat. Para intelektual Muslim sejak abad ke-17 telah menanamkan benih-benih Islam progresif dan moderat. Benih-benih tersebut disuburkan oleh pandangan para bapak bangsa, mulai dari Soekarno, Mohammad Hatta, sampai Agus Salim dan lainnya, yang mencoba merelasikan antara Islam dan keindonesiaan. Hal yang penting dalam Islam Indonesia adalah tidak terbelenggu oleh romantisme kejayaan masa silam. Inilah yang membedakan kita dengan rekan-rekan sesama Muslim di Timur Tengah. Islam yang memiliki spirit progresif yang memiliki orientasi kuat ke masa depan daripada ke masa lalu, dan responsif terhadap perkembangan kemanusiaan. Juga Islam yang berwajah moderat, sebuah aliran Islam yang terbuka, ramah, menghargai pluralitas, dan kedamaian. Keberadaan Islam aliran keras, radikal, dan militan memang ada sejak lama di Indonesia, tetapi usaha mereka selalu gagal. Selain karena adanya tindakan represif militer, mereka juga tidak pernah mendapatkan dukungan kelompok Islam mayoritas yang cenderung moderat. Nah, sekarang ini muncul lagi, sejak jatuhnya Soeharto dimana era demokratisasi, liberalisasi, dan masa kebebasan berhembus. Oleh sebab itu, kelompok radikal ini muncul lebih visible, lebih militan, dan vokal juga. Apalagi kemudian media massa, khususnya media elektronik sepetri TV, banyak meliput. Akhirnya mereka lebih visible. Paling tidak untuk menyampaikan visi mereka tampil di depan publik itu lebih banyak. Tidak seperti zaman Soeharto dulu, sekarang mereka bisa demo atau menampilkan diri dalam isu-isu yang terkait dengan isu nasional.

Bernapas Al-Quran
Berkaitan dengan Islam Indonesia yang demokratis, menurut Syafii Maarif (2004), sifat Islam Indonesia adalah demokratis, menentang otoritarianisme maupun terorisme. Ide-ide demokrasi dalam Islam Indonesia tersebut tidaklah diserap dari ideologi Eropa Barat selama masa penjajahan, melainkan dari kandungan ayat-ayat al-Quran. Misalnya saja dalam hal prinsip saling menghargai, yang kemudian menjadi dasar sistem politik Indonesia. Karena justifikasi dalam al-Quran, Muslim Indonesia tidak ragu-ragu menerima demokrasi. KH Achmad Dahlan, misalnya, tak pernah memperoleh pendidikan Barat, namun mengambil pengetahuan ini dari al-Quran. Contoh ini sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan, implementasi hak mayoritas bukan hal asing dalam tata bahasa Islam Indonesia Hal yang penting dalam Islam Indonesia adalah tidak terbelenggu oleh romantisme kejayaan masa silam. Ini yang membedakan Islam Indonesia dengan rekan-rekan sesama Muslim di Timur Tengah. Islam yang memiliki spirit progresif adalah yang memiliki orientasi kuat ke masa depan daripada ke masa lalu dan responsif terhadap perkembangan kemanusiaan. Ide demokrasi dalam masyarakat Indonesia tetap tumbuh subur walaupun mengalami masa “naik turun” dalam perjalanan politik sejarah Indonesia. Hanya waktu yang bisa mengatakan apakah Indonesia akan survive dalam menangani krisis sosial dan ekonomi yang akut. Bila mayoritas Muslim bisa survive menangani krisis ini, masa depan demokrasi sangat menjanjikan. Kelompok radikal tak akan bisa survive bila persoalan-persoalan di atas tersebut dapat diatasi. Namun, pertanyaan terus dipertanyakan, karena kitalah yang menjalankan dan, teruslah kita berjuang menegakkan kedamaian dan memberhangus kekerasan melalui Islam yang moderat dan demokratis.

Demokrasi Sejalan dengan Nilai-nilai Islam Moderat
Meskipun ada peningkatan kemunculan kelompok-kelompok radikal di Indonesia, secara keseluruhan basic landscape Islam di Indonesia adalah moderat, tidak monolitik, dan demokratis. Ini tercermin dari hasil Pemilihan Umum legislatif 2004 silam, di mana partai-partai Islam yang memperoleh suara signifikan adalah yang mengampanyekan nilai-nilai Islam yang substantif, seperti pembasmian korupsi dan pembelaan terhadap kaum miskin. Fenomena tersebut menunjukkan, Muslim di Indonesia tak pernah ragu menerima dan menyerap nilai-nilai demokrasi yang sudah sejak lama diperjuangkan bukan hanya oleh para pendiri bangsa, tetapi juga oleh organisasi Islam mainstream yang terus menggagas Islam yang kontekstual, yaitu yang mampu merespons persoalan masa kini. Tak urung, ulama terpandang yang bermukim di Qatar, Syekh Yusuf Qardhawi, memuji pelaksanaan demokrasi di Indonesia yang selaras dengan penerapan nilai-nilai Islam yang moderat. Ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia dan patut menjadi tolok ukur bagi negara lain. “Dulu ada anggapan bahwa tidak mudah mengimplementasikan keduanya, demokrasi dan Islam. Namun, rakyat Indonesia membuktikan bahwa demokrasi dan Islam bisa sejalan,” ujar Qardhawi usai bertemu dengan Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, di Gedung DPR/MPR, awal pekan ini. Selain kagum atas pelaksanaan demokrasi di Indonesia, Qardhawi yang telah menelorkan lebih dari 125 buku ini menilai bangsa Indonesia mampu menerapkan pluralisme, merealisasikan kemaslahatan umum, maupun menghargai perbedaan tradisi. Segi-segi positif itu, menurut ulama yang dikenal dengan buku Fikih Zakat-nya ini, diharapkan bisa dipertahankan. “Tak hanya itu, nilai-nilai ini seharusnya menjadi bingkai kokoh, sehingga segala persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia dapat terselesaikan. Keberhasilan Indonesia menerjemahkan demokrasi bisa ditularkan ke negara lain. Karena tidak bisa dinafikan, di beberapa negara, penerapan demokrasi justru tidak berjalan malah menimbulkan konflik yang menyengsarakan,” jelasnya. Mengambil contoh di Irak, Qardhawi mengatakan, bukannya kestabilan yang terjadi, melainkan situasi yang jauh dari demokrasi sejak pasukan koalisi AS menjajah Irak dengan dalih menegakkan demokrasi. “Ini terjadi karena pelaksanaan prinsip demokrasi tidak didasarkan pada aspek moralitas, kejujuran, dan keadilan,” tegas Ketua Persatuan Ulama Islam Internasional itu. Tokoh Muslim asal Arab Saudi, Syaikh Aidh Abdullah Al-Qarni, menambahkan, dalam Islam terdapat sistem syuro. Dalam sumber-sumber syariat Islam, kata dia, tidak kita dapati batasan format pemerintahan, apakah itu kerajaan, khilafah, republik, atau federal. “Kita juga harus berinteraksi dengan sistem demokrasi yang kini menjadi anutan masyarakat zaman ini. Karena itulah juga tidak mengatakan halal atau haram. Tidak ada pengharaman demokrasi dalam Islam”.
Sementara itu, Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menegaskan, Islam memang memainkan peranan penting dalam memajukan demokrasi di Indonesia. “Dapat dikatakan bahwa demokrasi di Indonesia tidak akan berjalan tanpa partisipasi masyarakat Muslim,” Lebih jauh Dia menyatakan, Islam bukanlah ancaman bagi demokrasi dan sesungguhnya nilai-nilai demokrasi sesuai dengan ajaran Islam. Meski demikian, dia mengakui, terdapat polemik di antara para pemikir politik Muslim, apakah Islam pro-demokrasi atau tidak. “Namun demikian, banyak ayat-ayat Al-Quran dan sunah Nabi yang mendukung nilai-nilai demokrasi. Pada kasus Indonesia, banyak para pemikir politik Muslim dan aktivis yang telah menyarankan demokrasi sebagai bentuk terbaik dalam pemerintahan,” jelasnya. Din mengemukakan, para pemimpin Muslim dari organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, yakni Muhamadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) telah berulangkali menyatakan bahwa Pancasila sebagai dasar negara merupakan hal yang final. “Masyarakat Islam di Indonesia telah berkomitmen untuk memastikan adanya demokrasi pluralistik dengan di dalamnya Islam memainkan suatu peranan penting untuk memantapkan demokrasi,” cetusnya. Menurut Din, organisasi Muhammadiyah dan NU telah memainkan peranan penting sebagai kelompok masyarakat madani yang super, suatu mega-LSM di dalam mengampanyekan pemerintahan yang baik. “Sebagai contoh, Muhammadiyah dan NU telah mendirikan, sejak 10 tahun lalu, suatu gerakan moral anti korupsi. Selain itu, melalui ribuan sekolah dan perguruan tingginya dan melalui organisasi kepemudaannya yang mandiri, Muhammadiyah mengajarkan pendidikan tanpa kekerasan”. Din juga berpendapat bahwa peranan Islam di dalam memperkuat demokrasi di Indonesia telah dibentuk dalam berbagai cara, antara lain menegaskan kompatibilitas serangkaian nilai Islam terhadap demokrasi, reformasi judisial dan hukum, mendorong manajemen pemerintahan yang baik, memperkuat basis kebudayaan serta mempromosikan dialog antara agama dan kebudayaan.

Welfare State Sebuah Teori Negara Islam
Welfare state (negara kesejahteraan) selalu menarik untuk dikaji dan diperbincangkan. Lebih-lebih dalam konteks Indonesia yang mempunyai kondisi perekonomian yang masih cukup memprihatinkan. Tingginya angka pengangguran dan kemiskinan maupun berbagai masalah sosial lain yang ada di Indonesia setidaknya menjadikan konsep negara kesejahteraan menarik untuk diperbincangkan. Namun amat disayangkan, perbincangan mengenai negara kesejahteraan kurang banyak dilakukan. Padahal konsep negara kesejahteraan dianggap sangat ampuh dan ideal untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial seperti halnya yang ada di negara Indonesia ini. Sejauh negara kesejahteraan diartikan sebagai konsep peran negara yang besar untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat, hal ini tentu saja sangat strategis dalam mengatasi berbagai masalah sosial yang ada di Indonesia. Sebab sebagaimana pengertiannya, pembahasan mengenai negara kesejahteraan diharapkan agar negara Indonesia dapat menerapkan nilai-nilai dan semangat pembangunan sosial sebagaimana yang telah terjadi di negara-negara maju yang telah menerapkan negara kesejahteraan dalam berbagai model dan bentuknya. Di sinilah setidaknya pembahasan mengenai negara kesejahteraan sangat menarik untuk dilakukan terutama dalam konteks Indonesia. Negara kesejahteraan (welfare state) merupakan sistem pemerintahan di mana negara bertanggungjawab besar terhadap kesejahteraan warganya. Tentu sistem ini bukan berasal dari Indonesia. Istilah maupun konsep welfare state secara akademik berasal dari tradisi keilmuan di Barat. Welfare state mulai berkembang sejak perang dunia kedua. Di banyak negara, welfare state digunakan dengan bahasa yang beragam. Di Jerman, kira-kira sama dengan istilah Sozialstaat/Social State yang telah digunakan sejak tahun 1870, atau Folkhemmet di negara Swedia sejak tahun 1936. Di Perancis memiliki sinonim dengan istilah “providence state” (Etat-providence), sedangkan istilah yang sama digunakan di Spanyol yakni, estado del bienestar (state of well-being), dan terdapat juga frase yang sama di Portugis yaitu estado de Bem-Estar-Social yang bermakna well-being-social state (http://en.wikipedia.org/wiki/welfare_state, diunduh pada 8 Desember 2007).
Dalam prakteknya, meskipun menggunakan istilah yang berbeda-beda, namun pada dasarnya memiliki subtansi yang sama. Seperti tertuang dalam Barner & Noble, New American Encyclopedia (1991:97) welfare state dijalankan oleh pemerintahan demokratis yang bertanggungjawab terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi dari rakyatnya. Program pemerintah ditujukan untuk mengurangi penderitaan masyarakat akibat kemiskinan, pengangguran, gangguan kesehatan dan lain sebagainya. Inilah yang sepertinya menyebabkan welfare state sering dibedakan dengan welfare society (masyarakat kesejahteraan). Dalam welfare society, kesejahteraan rakyat berada di tangan masyarakat sendiri, seperti lembaga-lembaga sosial non-pemerintah. Dalam banyak negara hal ini dilakukan dalam bentuk yang beragam, bisa lembaga keagamaan, perusahaan, lembaga sosial profit ataupun non-profit lainnya. Welfare society dipengaruhi oleh paham konservatif yang di dalamnya terdapat azas subsidiarita. Subsidiarita adalah suatu azas atau prinsip bahwa apabila masyarakat, perorangan atau swasta dapat dan mampu mengusahakan sendiri dalam mencapai kebutuhan-kebutuhannya maka hendaknya diserahkan kepada mereka masing-masing. Negara tidak diperkenankan untuk ikut campur tangan dalam mengurusi kebutuhan mereka. Negara hanya akan turun tangan ketika terjadi resiko-resiko akibat masalah sosial yang sangat parah. Dalam Encyclopedia of Aging (David J. Ekerdt, 2002: 1483), definisi yang paling mendasar dari welfare state menunjuk kepada tanggungjawab pemerintah untuk memelihara kesejahteraan rakyatnya. Yang dimaksud negara dalam pengertian ini adalah lembaga politik yang menjalankan pemerintahan atau dengan kata lain pemerintah itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, misalnya pemerintah dari tingkat pusat, propinsi, hingga tingkat daerah. Kesejahteraan yang dimaksud dalam pembahasan ini bukan saja menyangkut kesejahteraan secara material, tetapi juga spiritual. Soetrisno (1982:1) menyebutkan bahwa welfare state yang mencakup kesejahteraan secara material maupun spiritual sehingga membedakannya dengan istilah-istilah mirip lainnya, seperti welvaart staat dalam bahasa Belanda yang mengandung arti kemakmuran secara material saja. Inilah yang menurutnya, menjadikan istilah welfare state sulit untuk diterjemahkan dalam bahasa lain selain Inggris, termasuk Indonesia, sebab memiliki makna yang unik. Perbedaan antara negara yang menganut sistem welfare state dan tidak adalah terletak pada sifat kebijakan publiknya. Maksudnya, suatu negara yang menerapkan welfare state mempunyai kebijakan publik yang bersifat pelayanan (service), bantuan (charity), perlindungan (protection), atau pencegahan (prevention) pada masalah-masalah sosial. Dan, kebijakan publik semacam ini sangat besar porsinya. Masalah-masalah sosial dimaksud seperti kemiskinan, pengangguran, anak-anak terlantar, orang tua tunggal (single parent), manula (manusia lanjut usia), dan kelompok sosial lain yang sangat membutuhkan bantuan atas kelangsungan hidupnya. Selain dibedakan dengan welfare society, welfare state juga dikontraskan dengan warfare state-nya Nazi Jerman. Warfare state dimaknai sebagai negara yang gemar mengeluarkan uang untuk berperang daripada membangun kesejahteraan warga negaranya. Ketika negara menghabiskan anggaran yang sangat besar untuk belanja kebutuhan perang dan militer maka pada dasarnya dia dapat disebut sebagai warfare state. Maka dari itu, suatu negara yang menerapkan welfare state dapat dilihat dari besarnya anggaran yang dikeluarkan untuk belanja sosial, misalnya bidang kesehatan, kesejahteraan, pendidikan ataupun perumahan untuk warga negaranya. Negara-negara maju seperti Swedia, Jerman maupun Australia menghabiskan anggaran yang besar untuk keperluan kesejahteraan sosial ini. Australia misalnya, baru-baru ini menghabiskan 17 % dari nilai ekonominya untuk program kesejahteraan sosial (Bessant, et.al., 2006:6).
Negara kesejahteraan berhubungan sangat erat dengan kebijakan sosial. Karena suatu negara yang menerapkan sistem negara kesejahteraan berarti menerapkan kebijakan sosial. Tetapi bukan berarti negara yang menerapkan kebijakan sosial secara otomatis disebut sebagai negara kesejahteraan. Dengan kata lain, membicarakan sejarah negara kesejahteraan dengan sendirinya mengacu kepada adanya upaya-upaya pada masa awal dari pemerintah untuk meningkatkan taraf kehidupan warga negaranya. Meskipun dalam batas tertentu kebijakannya tersebut masih bersifat selektif dan terbatas. Menurut penulis, cikal bakal sistem negara kesejahteraan telah ada sejak abad pertengahan dengan diterapkannya poor law di kerajaan Inggris. Meskipun sistem poor law banyak dikritik banyak pihak poor law tetap dapat dikatakan sebagai pondasi penting bagi sistem negara kesejahteraan. Kritik poor law muncul karena poor law justru melahirkan stigma. Poor law dipengaruhi oleh pandangan konservatif sehingga bentuk kebijakannya cenderung residual dan means-tested (berdasarkan test penghasilan). Sifat residual ditunjukkan dengan tidak diperbolehkannya seorang warga untuk memperoleh pelayanan apabila dia pada dasarnya mampu untuk bekerja. Residual juga berarti kebijakannya selektif, hanya untuk orang miskin saja. Ini sejalan dengan pendekatan means-tested menyeleksi warga yang memperoleh bantuan bersadarkan penghasilan. Misalnya, orang yang mendapatkan bantuan hanya yang memperoleh gaji di bawah Rp 20 ribu perhari. Sehingga apabila dia suatu hari memperoleh gaji di atas Rp 20 ribu perhari, hak untuk memperoleh bantuan dicabut. Karena itu, kebijakan seperti ini dianggap melahirkan stigma karena menjebak orang miskin untuk tetap memperoleh penghasilan maksimal Rp 20 ribu agar tetap berhak memperoleh bantuan. Inilah seperti yang terjadi di Indonesia dewasa ini dalam kebijakan BLT sebagai kompensasi kenaikan harga BBM. Oleh sebab itu, negara kesejahteraan banyak dianggap sebagai perbaikan dari sistem poor law. Namun demikian, menurut Bessant et.al., (2006:8) negara kesejahteraan mulai populer sejak abad 18 ketika Jeremy Bentahm (1748-1832) mempromosikan tentang gagasan bahwa pemerintah bertanggungjawab untuk menjamin apa yang dia sebut sebagai ‘the greatest happines’ (welfare) of ‘the greatest number’ of their citizens. Bentham menggunakan kata ‘utility’ (kegunaan) yang dimaksudkan sebagai ‘happines’ (kesenangan) atau ‘welfare’ (kesejahteraan). Dia juga mengembangkan sebuah sistem etik yang kini dikenal cukup powerfull yakni utilitarianisme. Menurut sistem ini, sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra (extra happiness) dipandang sebagai sesuatu yang baik, sedangkan sesuatu yang menyebabkan kondisi sakit dianggap buruk. Oleh sebab itu, negara dituntut untuk senantiasa menjalankan program-program untuk meningkatkan kesenangan sebesar-besarnya dari warga negara. Ide Bentham ini membuatnya dikenal sebagai “bapak Negara kesejahteraan” (‘father’ of ‘welfare states’). Pasca gagasan Bentham ini negara-negara industri pada abad 19 berada di bawah tekanan untuk menyediakan pelayanan sosial kepada warganya seperti penyediaan air bersih, pendidikan publik, pelayanan kesehatan dan sebagainya. Selain didorong oleh gagasan Bentham, awal mula penerapan welfare state juga didukung oleh gerakan kelas pekerja yang massif di negara-negara industri. Hal ini seperti terjadi di Jerman pada paruh kedua abad 19. Pada masa itu gerakan sosialis radikal dan partai buruh sangat kuat pengaruhnya sehingga mendesak pemerintah untuk menerapkan welfare state. Pada tahun 1870-80an, Pangeran Otto von Bismarck mendesak parlemen Jerman untuk ‘menyuap’ tuntutan kelas pekerja tersebut melalui penerapan skema asuransi sosial. Meski terkesan terpaksa, kebijakan tersebut menjadi sejarah penting tentang perkembangan sistem negara kesejahteraan.
Sekalipun banyak ditentang oleh kalangan bisnis dan aristokrat di negara sendiri, program asuransi sosial yang dikembangkan Bismarck lambat laun mulai dianut oleh negara-negara industri lainnya. Pada era 1930-an yang dikenal sebagai Great Depression (depresi ekonomi hebat) Presiden AS Franklin Roosevelt mendeklarasikan sebuah agenda bagi warganya yang disebut dengan New Deal. Sebagai negara industri, depresi ekonomi hebat yang melanda dunia ikut menghasilkan pengangguran dan kemiskinan yang tinggi di AS. Salah satu program yang dicanangkan Roosevelt adalah Social Security Act/SSA. Meskipun hanya fokus kepada bantuan yang bersifat darurat dan penciptaan lapangan kerja namun beberapa ahli menganggap bahwa SSA adalah tonggak sejarah yang sangat penting terhadap berdirinya negara kesejahteraan di AS (Midgley,1995:48). Selama perang dunia dua (1939-1945) negara kesejahtraan menapaki perkembangan modern. Pada tahun 1940, di Inggris, Anglican Archishop William Temple menggunakan istilah ‘welfare state’ untuk mendeskripsikan ide tentang usaha pemerintah untuk mensejahterakan warganya. Pada perkembangan modern inilah lahir tokoh-tokoh yang kemudian juga dikenal turut mengenalkan ide tentang negara kesejahteraan, yakni: Sir William Beveridge (1942) dan T.H. Marshall (1963). Beveridge dalam laporannya mengenai Social Insurance and Allied Services menyebutkan ada lima musuh yang harus diperangi, yakni: ‘Want’, ‘Squalor’, ‘Ignorance’, ‘Disease’ dan ‘Idleness’ (Bessant,et.al.,2006:92). Dalam laporan itu, Beveridge mengusulkan sebuah sistem asuransi sosial yang komprehensif yang dipandangnya mampu melindungi orang dari buaian hingga liang lahat (from cradle to grave) (Suharto,2008: 59).
Sebagai sebuah nilai, di Indonesia sendiri gagasan tentang negara kesejahteraan sudah ada sejak masa awal kemerdekaan. Soetrisno (1982:5) mengatakan bahwa nilai-nilai kepemimpinan yang berwatak jujur, bijaksana dan baik hati terhadap rakyatnya juga terdapat dalam cerita-cerita wayang yang berkembang pada masyarakat Jawa. Namun demikian, sebagai sebuah sistem yang terlembaga gagasan negara kesejahteraan memang masih terbilang sangat asing. Bahkan satu-satunya partai politik yang memiliki gagasan negara kesejahteraan justru datang dari partai gurem yang tidak memiliki suara signifikan dalam setiap pemilu. Partai dimaksud adalah Partai Buruh Sosial Demokrat pimpinan aktivis buruh Muchtar Pakpahan (Kompas, 09/03/2004). Selanjutnya, dalam konteks kapitalisme, Marshall berargumen bahwa warga negara memiliki kewajiban kolektif untuk turut memperjuangkan kesejahteraan orang lain melalui lembaga yang disebut sebagai negara (Harris, 1999 dalam Suharto, 2008:59). Kapitalisme murni memang dikenal menerapkan sistem kesejahteraan residual-konservatif yang mendukung pasar bebas. Namun kapitalisme modern yang berkembang dewasa ini memiliki banyak perubahan dengan mengabsahkan peran negara dalam kehidupan sosial maupun ekonomi masyarakat. Sehingga bukan barang aneh apabila sistem kapitalisme juga mendukung lahirnya negara kesejahteraan.

Teori Asal-Muasal Welfare State
Ulasan tentang asal-muasal negara kesejahteraan adalah suatu wacana yang sangat menarik. Sebab negara kesejahteraan dianggap sebagai sebuah fenomena yang unik. Beberapa penulis seperti Richard Titmuss (1968), Walter Korpi (1983), dan John Stephens (1979) mempercayai bahwa negara kesejahteraan seperti Swedia dibentuk oleh sistem kapitalisme namun mempunyai ruh sosialisme (Midgley, 1997:91). Kondisi ini tentu dapat dipahami sebab negara kesejahteraan menjunjung tinggi kesetaraan sosial dan pemerataan hak kesejahteraan warga negara. Sedangkan ide-ide tersebut, justru lebih banyak dikenal sebagai ajaran ideologi-ideologi kiri seperti marxisme, sosialisme dan sosial demokratik. Inilah yang menarik, bahwa sekalipun negara kesejahteraan adalah representasi ideologi-ideologi bersayap kiri namun negara kesejahteraan justru banyak berkembang di negara-negara demokratis dan kapitalis bukan di negara-negara sosialis (Suharto, 2008:58). Namun demikian penulis-penulis lain khususnya dari kalangan marxist justru mengatakan bahwa negara kesejahteraan sama sekali bukan karakter dari sosialisme. Negara kesejahteraan hanya sebagai upaya kapitalisme untuk mengurangi dampak-dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan produksi dan industrialisasinya. Jadi negara kesejahteraan tetap sebagai negara kapitalis. Menurut Gosta Esping-Anderson sistem ekonomi kapitalis menciptakan tekanan untuk membangun negara kesejahteraan. Dalam sistem ekonomi kapitalis, kebutuhan masyarakat dijual di pasar bebas. Masyarakat tidak dapat memilikinya tanpa membeli. Agar masyarakat memiliki daya beli yang cukup maka mereka harus bekerja sehingga memiliki uang. Adanya pengangguran dan kemiskinan akan melahirkan ketidakmampuan masyarakat untuk mendapatkan kebutuhannya tersebut. Melihat kondisi semacam ini negara berusaha menciptakan sebuah formula untuk mendorong kemampuan masyarakat secara ekonomi melalui penerapan sistem negara kesejahteraan (McNamara&Williamson, 2002:1483). Bagi para pengkritiknya, negara kesejahteraan tidak lain dipandang sebagai mekanisme dari sistem kapitalisme sendiri untuk mempertahankan kedudukan dan kekuasaannya. Sehingga, negara kesejahteraan dapat disebut sebagai mekanisme alami dari kebobrokan yang terjadi pada sistem kapitalisme. Hikmat Budiman (2002:86-89) kondisi kapitalisme saat ini sudah tidak memadai dalam mengatur masyarakat. Pasar bebas dan ideologi laissez-faire telah babak belur ketika perindustrian melahirkan perusahaan-perusahaan raksasa yang menggusur habis perusahaan-perusahaan yang lebih kecil. Kegiatan produksi dari negara-negara industri juga menghasilkan kesenjangan sosial yang menyengsarakan rakyat. Dalam konteks ini pada dasarnya negara kesejahteraan diterapkan bukan sebenar-benarnya untuk kesejahteraan rakyat tetapi justru sebagai upaya penyelamatan kepentingan bisnis yang memiliki keterkaitan dengan proyek kekuasaan politik. Tidak heran apabila di Barat, negara kesejahteraan sering dipandang sebagai ‘penawar racun’ kapitalisme, yakni dari dampak ekonomi pasar bebas. Karena itu, welfare state sering disebut sebagai bentuk dari ‘kapitalisme baik hati’ (compassionate capitalism) (Suharto, 2008:58). Dalam ungkapan lain T.H. Marshall (1971) menyebut welfare state sebagai ‘welfare capitalism’ (Midgley, 1997:91). Pandangan yang berbeda tentang motivasi kelahiran welfare state dari kelompok pendukung maupun pengkritik melahirkan gagasan yang berada di posisi tengah-tengah diantara keduanya. Kelompok yang terakhir ini menganggap bahwa negara kesejahteraan merupakan bentuk yang unik. Negara kesejahteraan bukan termasuk dari sistem kapitalisme maupun sosialisme namun lebih mengakomodasi dari kedua sistem tersebut. Pendapat ini lebih dapat dipahami karena memang negara kesejahteraan lahir berdasarkan semangat sosialisme namun hanya bisa diterapkan di negara-negara kapitalis dan demokratis.
Normatifnya, negara kesejahteraan mempunyai tipe ideal (ideal-type), yang tunggal sesuai dengan pengertiannya. Namun faktanya negara kesejahtreraan tidak memiliki praktek yang tunggal. Berbagai model diterapkan oleh masing-masing negara, tergantung pengaruh ideologi dan tuntutan peradaban. Dengan tidak bermaksud menyederhanakan keragaman, berikut akan diuraikan beberapa model yang sampai saat ini masih berkembang (Midgley, 1997:93; Suharto, 2008:60; McNamara&Williamson, 2002:1484; Zastrow, 2004:10). Model – Modl Negara Kesejahtraan Dalam Isam, yakni Model Institusional, Selain institusional ada juga yang menyebut universal. Model ini dipengaruhi oleh paham liberal. Kesejahteraan dipandang sebagai hak setiap warga negara, baik miskin atau kaya. Sehingga pelayananan sosial di negara kesejahteraan model institusional dilakukan secara permanen dan tidak memandang strata sosial dan ekonomi. Negara yang menerapkan model ini adalah negara-negara Skandinavia (Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia). Negara-negara ini, misalnya Swedia banyak dijadikan sebagai model ideal dari negara kesejahteraan karena paling berkembang dan lebih maju dibandingkan model di Inggris, AS dan Australia. Model Residual, Model ini menerapkan pelayanan sosial secara selektif, sehingga model ini sering juga disebut model selektif. Model ini dipengaruhi oleh paham konservatif. Pelayanan sosial diberikan dalam skema waktu yang singkat (short time) dan akan dihentikan apabila dipandang cukup. Pengeluaran sosial dipandang sebagai pemborosan yang menghabiskan anggaran dan menciptakan ketergantungan warganya. Bantuan yang diberikan pun bukan dipandang sebagai hak tetapi tak lebih sebagai pemberian. Layaknya pemberian, penerima diwajibkan untuk melakukan sesuatu. Pemberian bantuan menggunakan pendekatan means-tested. Model ini diterapkan di negara-negara Anglo-Saxon yang meliputi AS, Australia dan Selandia Baru. Karena menggunakan pendekatan means-tested, pelayanan sosial khususnya kebutuhan dasar diberikan terutama kepada kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged group), seperti orang miskin, penganggur, penyandang cacat dan orang lanjut usia yang tidak kaya. Dibandingkan dengan model institusional, model ini dianggap seperti setengah-setengah menjalankan negara kesejahteraan. Karena itu, seperti AS disebut-sebut sebagai “reluctant welfare state”. Tetapi jangan disalahpahami bahwa model residual bukan berarti tidak memiliki program sosial yang massif. AS sendiri sejak tahun 1935 menerapkan Aids for Families with Dependent Children (AFDC) yang diberikan kepada keluarga tidak mampu, orang tua tunggal (misalnya single mothers) yang memiliki anak-anak yang masih tergantung. Bantuan tersebut kini dirubah menjadi Temporary Assistance for Needy Families (TANF) yang berbentuk tunjangan uang, kartu perawatan kesehatan, tunjangan makanan khusus bagi bayi dan ibu-ibu hamil, pelatihan vokasional, dan pelayanan keluarga berencana. Model Campuran (welfare pluralism), Model campuran (welfare pluralism) berbeda tipis dengan model residual. Peran negara sama-sama memiliki porsi yang tidak terlalu besar dalam program pelayanan sosialnya. Hanya saja, model residual lebih didorong oleh ideologi neo-liberal dan pasar bebas, sedangkan model campuran tidak lain sebagai bentuk kompromi terhadap pertentangan yang terjadi pasca krisis negara kesejahteraan. Krisis ekonomi dunia yang terjadi pada tahun 1970-an memaksa negara kesejahteraan berada di persimpangan jalan antara tetap bertahan dan ditinggalkan. Nyatanya, dua respon yang bertentangan muncul terhadap krisis tersebut. Pada batas inilah muncul kalangan rekonstruksionis yang cenderung tidak meninggalkan konsep negara kesejahteraan namun juga memberikan kesempatan yang luas kepada pihak swasta dalam pemenuhan kebutuhan sosial. Model campuran menempatkan negara, sektor nonformal, voulenter, dan lembaga komersial dalam posisi yang sama dalam tugas pemenuhan kebutuhan warga negara. Menurut penganut model ini, negara kesejahteraan model universal memang cocok untuk era industri, tetapi tidak demikian pada era post-industri. Di era post-industri diperlukan perubahan struktur pelayanan sosial agar sesuai dengan zamannya. Model campuran inilah yang dianggap paling cocok diterapkan di era post-industri seperti sekarang ini. Salah satu negara yang dapat dijadikan contoh model ini adalah Jepang. Jepang adalah salah satu negara yang mempunyai standar hidup yang sangat tinggi, tetapi jika dibandingkan dengan negara-negara industri lainnya pengeluaran untuk program sosialnya sangat rendah. Hal ini disebabkan lembaga-lembaga pelayanan sosial non-pemerintah memiliki peranan yang sangat signifikan. Kalangan rekonstruksionis menganggap inilah model negara kesejahteraan yang perlu dikembangkan di negara-negara di dunia karena lebih cocok dengan era post-industri seperti sekarang ini. Model Korporasi, Model korporasi dianut seperti negara Jerman dan Austria. Model ini diterapkan dengan memberikan jaminan sosial kepada warganya atas skema kontribusi kerja. Sehingga, kontribusi jaminan sosial berasal dari tiga belah pihak, yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh). Di Jerman, ini seperti yang diterapkan Otto von Bismarck. Rekam jejak seseorang dalam dunia kerja dijadikan sebagai tolak ukur untuk mendapatkan pelayanan sosial dari pemerintah atau tidak. Karena itu, model ini juga disebut dengan “industrial achievement-performance model.” Model ini tidak seperti yang diterapkan dalam model universal, dimana status pekerjaan tidak dijadikan sebagai kriteria pelayanan. Sebab dalam model universal pelayanan sosial adalah hak warga negara tanpa syarat apapun. Model Minimal, Model minimal tidak disamakan dengan model residual. Model residual masih dianggap memiliki porsi pelayanan sosial yang lebih besar dari pemerintah kepada warganya dibandingkan dengan model minimal. Model ini seperti yang diterapkan di negara-negara latin (Spanyol, Italia, Chile, dan Brazil) dan Asia (Korea Selatan, Filipina, Srilanka, dan Indonesia). Anggaran yang kecil dalam belanja sosial diterapkan karena memang negara tersebut adalah negara miskin ataupun karena tidak memiliki political will terhadap pembangunan sosial. Biasanya program pelayanan dan jaminan sosial di berikan secara temporal, minimal, dan sporadis. Umumnya pelayanan dan jaminan sosial ini hanya diberikan kepada pegawai negeri, pegawai swasta ataupun pihak lain yang mampu membayar premi asuransi. Penerapan model minimal pada dasarnya juga dipengaruhi oleh mental suatu bangsa. Model minimal sebagian besar dipraktekkan di negara-negara berkembang yang memiliki tingkat korupsi yang tinggi seperti halnya Indonesia. Anggaran yang tinggi pun, tidak menjadi jaminan dapat dinikmati oleh rakyat yang membutuhkan, anggarannya bisa habis duluan dikorupsi oleh para oknum pejabat. Jadi model minimal acapkali juga dapat diukur melalui implementasi kebijakan dan tidak hanya terpaku pada besar kecilnya anggaran yang dikeluarkan. (Rsdianto,. S. Ip, Dkk, Kepemimpinan Dan Gerakan Kaum Muda Untuk Mewujudkan Welfare State; kibar Press – Yogyakarta; 2009)

Teori Dan Konsep Negara Islam Kesejahteraan
Mengaitkan konsep negara kesejahteraan dengan Islam bukan berarti sebagai bentuk kelatahan Islam dengan konsep-konsep keilmuan yang ada di Barat. Tetapi merupakan sebagai upaya menggali tentang pemikiran-pemikiran yang selama ini terpendam terutama berkaitan dengan teori dan konsep negara dalam Islam untuk mewujudkan masyarakat sejahtera. Pembahasan ini sangat menarik, sebab secara epistemologis pada dasarnya Islam telah mendukung terwujudnya masyarakat yang sejahtera sebagaimana yang dicita-citakan oleh negara kesejahteraan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa konsep negara kesejahteraan sejatinya sangat dekat dengan tradisi Islam. Seperti yang banyak disebutkan di dalam teks-teks keagamaan (al-Qur’an dan Hadits) Islam sangat mendukung terbentuknya masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur yang diridhoi oleh Allah SWT. Ridho Allah SWT, dan ini yang menarik, mungkin sekaligus juga dapat dianggap sebagai pembeda antara masyarakat sejahtera yang ada di Barat dengan masyarakat sejahtera dalam konsep Islam. Dengan kata lain, bagaimanapun dalam Islam sebenarnya telah mempunyai pandangan tersendiri tentang konsep negara kesejahteraan. Sehingga, pendeknya dapat dikatakan bahwa mengulas teori dan konsep negara dalam Islam sangat penting, karena Islam mempunyai rumusan dan gambaran yang sama sekali berbeda dengan konsep sekuler lainnya. Hampir tidak ada kesepakatan bulat di kalangan pemikir politik Muslim modern tentang apa sesungguhnya yang terkandung dalam konsep negara Islam. Kenyataan ini sangat mudah terlihat dengan begitu beragamanya sistem Negara dan pemerintahan di dunia ini yang mengklaim dirinya sebgai Negara Islam. Namun begitu, secara teoritis, dewasa ini sudah ada berbagai upaya untuk mencoba merumuskan sebuah konsep formal mengenai apa yang dimaksud dengan Negara Islam. Paling tidak telah ada kesepakatan minimal bahwa suatu Negara disebut sebagai Negara Islam jika memberlakukan hukum Islam. Rashid Rida, seorang ulama terkemuka di awal abad ke-20, yang dianggap paling bertanggung jawab dalam merumuskan konsep Negara Islam modern, menyatakan bahwa premis pokok dari konsep Negara Islam adalah bahwa syariat merupakan sumber hukum tertinggi. Dalam pandangannya, syariat mesti membutuhkan bantuan kekuasaan untuk tujuan implementasinya, dan adalah mustahil untuk menerapkan hukum Islam tana kehadiran Negara Islam. Dengan demikian, dapat dilakukan bahwa penerapan hukum Islam merupakan satu-satunya kriteria utama yang amat menentukan (the single most decisive criterion) untuk membedakan antara suatu Negara Islam dengan Negara non-Islam. Negara Islam ditegakkan di atas empat prinsip yang penting, antara lain: Prinsip Syura, Asas kepada prinsip syura ini ialah firman Allah SWT Maksudnya : “Bermusyawaratlah dengan mereka dalam satu-satu urusan” dan firmanNya yang bermaksud, “Dan urusan mereka hendaklah bermusyawarat di antara mereka”. Ayat-ayat ini memerintahkan supaya bermusyawarat dalam perkara yang melibatkan urusan orang-orang Muslim. Dalam amalan Rasulullah SAW, prinsip ini adalah dijalankan, baginda bermusyawarat dengan sahabat-sahabatnya dalam urusan-urusan kepentingan umat dan Negara seperti dalam peristiwa Peperangan Badar dan Uhud. Demikian juga amalan para sahabat-sahabat, baginda Abu Bakar bermusyawarat untuk mengambil tindakan keatas orang-orang murtad. Sayidina Umar bermusyawarat untuk menyelesaikan tanah rampasan perang. Jadi, amalan prinsip syura ini adalah lumrah dalam pimpinan Islam dalam segenap peringkatnya.
Prinsip Keadilan (Justice), Keadilan yang dimaksudkan di sini, ialah keadilan mutlak yang digariskan oleh Islam yang mengatasi segala kepentingan pribadi, keluarga, kelompok dan sebagainya, sekalipun terhadap musuh dan terhadap golongan non Muslim. Allah berfirman maksudnya, “apabila kamu memberi saksi hendaklah dengan adil sekalipun hal itu mengenai keluarga. Janji Tuhan hendaklah kamu patuhi. Itulah yang dipertingkatkan kepada kamu, mudah-mudahan kamu ingat. Rasulullah SAW bersabda maksudnya, “siapa yang menyakiti Dhimmi akulah musuhnya”. Maka prinsip keadilan ini menjadi asas dalam amalan pemerintahan Islam yang melibatkan seluruh golongan dalam masyarakat. Kebebasan, Prinsip kebebasan juga menjadi asas amalan dalam pemerintahan Islam. Kebebasan itu diberikan kepada rakyat yang tunduk di bawah pemerintahan Islam sama ada dari golongan Muslim atau bukan Muslim. Oleh sebab manusia diberi hak kebebasan memilih maka hal ini perlu diberikan kepada semua individu. Islam memberi kebebasan beragama, kebebasan dalam memiliki harta, kebebasan bergerak dan berpindah. Kebebasan bercakap dan memberi pendapat hendaklah dalam ruang yang tidak mencabuli kepentingan Undang-Undang syara’ dan ketentraman kehidupan masyarakat yang menjadi asas kepada Undang-undang Negara. Kalau pendapat itu tidak lagi diberi peluang, karena itu akan menjejaskan autoriti dan masyarakat Islam. Kebebasan itu adalah falsafah Negara, sistem politik dan perundangannya. Lantaran itu mereka yang murtad dalam Negara Islam dianggap sebagai penghianat (treason). Persamaan, Prinsip persamaan ini ialah setiap kaum adalah sama sebagai rakyat di antara satu sama lain dalam hak, kebebasan dan tanggung jawab dihadapan Undang-undang. Islam dalam melaksanakan prinsip ini secara umumnya berlaku dalam kehidupan rakyat Negara Islam tetapi dalam beberapa hal ada perbezaannya diantara rakyat yang mendokong Negara dan rakyat yang tidak mendokong ideologi Negara tetapi patuh kepada pimpinan Negara. Prinsip equality ini diterima oleh Islam dalam konteks penyelarasan dalam perhubungan manusia secara umum. Manusia tidak ada bedanya diantara satu dengan yang lain dalam penilaian Allah di segi keturunan, warna kulit, bahasa dan kebudayaan, tapi perbedaan itu terletak kepada ketaqwaannya. Rasulullah SAW bersabda maksudnya, : “kamu semua dari Adam dan Adam dari tanah, tidak ada perbedaan di antara orang Arab dengan orang bukan Arab kecuali dengan taqwa”. Dalam beberapa teori tentang hakikat negara dan beberapa teori negara lainnya, Para filosof dan ahli telah merumuskan sebagai berikut :
1)Plato, negara paling ideal adalah suatu keluarga. Maka luas suatu negara tidak boleh terlalu kecil dan tidak boleh terlalu besar. Artinya adapun ukuran suatu negara harus sesuai dengan kemampuan untuk menjaga dan memelihara kesatuan dalam negara.
2)Aristoteles, negara adalah persekutuan hidup politis yang memiliki tempat yang paling tinggi, oleh sebab itu paling berdaulat, karena negara memiliki tempat yang paling tinggi dan paling mulia.
3)R. M. Kranenburg menyebutkan Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan atau bangsa sendiri.
4)Logemann memberi pengertian, Negara adalah organisasi (ikatan kerja) kemasyarakatan yang bertujuan mengatur dan memelihara masyarakat tertentu.
5)Max Weber mendefinisikan, negara sebagai suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekuasaan fisik secara sah dalam suatu negara.
6)Machievelli mendeskripsikan negara sebagai suatu ikatan tertentu atau status tertentu.
7)Roger Soltau, negara adalah alat (agency) atau kekuasaan (autbority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat.
8)Harold J. Laski, negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai kekuasaan yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu yang merupakan bahagian dari masyarakat itu.
Beberapa pengertian ini, bisa disimpulkan bahwa negara pada hakikatnya adalah semacam organisasi sosial yang ada dan berdampingan dengan organisasi (institusi) sosial yang lain. Negara merupakan suatu kenyataan (realitas) atas gejala sosial. Hal ini senada dengan pernyataan Aristoteles yang mengatakan hakikat dari manusia adalah zoon polition (manusia hidup bermasyarakat). Artinya baik negara dan masyarakat adalah satu komponen yang tidak dapat dipisahkan. Dari sini, secara sederhana dapatlah dikatakan negara merupakan kelanjutan dari masyarakat keluarga. Negara adalalah organisasi masyarakat yang bertujuan untuk mengetur dirinya sendiri, yakni mengatur kekuasaan. Jadi, negara hanyalah semata sebagai alat, sehingga sifat hakekat negara adalah sebagai organisasi kekuasaan/kewibawaan. Untuk melaksanakan fungsinya, negara memiliki karakteristik khusus yakni sifat memaksa, dalam arti mempunyai kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik secara legal, misalnya menggunakan sarana polisi, tentara, dan sebagainya agar peraturan dilaksanakan. Sifat monopoli, yang artinya negaralah yang mempunyai hak tunggal untuk menetapkan tujuan-tujuan bersama dalam masyarakat, menetapkan asas/ideologi negara dan melarang faham/asas lain yang bertentangan. Sifat mencakupi semua mengandung makna bahwa negara meliputi dan mengatasi semua kekuasaan organisasi atau etnis lainnya yang ada dalam masyarakat. Nah, untuk kemudian suatu negara dapat dikatakan diakui sebagai komunitas tertentu. Maka oleh Prof. Mr. M. Nasrun, unsur-unsur Negara dibedakan antara yang bersifat konstitusi dan deklaratif. Bersifat konstitusif (pembentuk), merupakan syarat mutlak yang bersifat primer untuk dikatakan adanya suatu negara. Unsur ini meliputi wilayah negara , bangsa/rakyat, dan perintah yang berdaulat (kedalam dan keluar). Sementara unsur deklaratif ialah berupa adanya kemampuan mengadakan hubungan-hubungan dengan negara lain. Dalam kitab al-Fikr al-Islami, Dr. Muhammad Ismail mengajukan 3 (tiga) kriteria yang harus dipenuhi agar suatu masyarakat dapat disebut sebagai masyarakat yang utuh, yaitu adanya pemikiran yang sama (afkar), perasaan yang sama (masya’ir), dan undang-undang yang diterapkan ditengah masyarakat tersebut (nizham). Jika salah satu kriteria tersebut tidak terpenuhi, maka masyarakat tersebut tidak layak disebut sebagai masyarakat walaupun jumlahnya ratusan ribu; seperti penonton sepak bola di stadion yang memiliki keinginan yang sama (ingin menonton bola) tetapi tidak diikat oleh peraturan yang sama sehingga masing-masing dapat berbuat sekehendak hatinya. Dengan demikian, Negara jauh lebih kompleks dibandingkan dengan masyarakat. Harold J. Laski mendefinisikan masyarakat sebagai “sekelompok manusia yang hidup bersama dan bekerjasama untuk mencapai tercapainya keinginan-keinginan bersama”. Berdasarkan definisi tersebut, negara adalah metamorfosis lanjutan dari suatu bentuk masyarakat yang memerlukan instrumen undang-undang yang bersifat memaksa sehingga keinginan-keinginan tersebut tidak saling memukul antara satu sama lain. Dalam konsep Kontrakk Sosail (Contract du School) atau disebut Teori Hukum Alam, penguasa “dikontrak” oleh rakyat untuk menjaga dan mengatur kepentingan-kepentingan mereka. Sementara thomas Hobbes memandang manusia sebagai in abstrakto, artinya mempunyai sifat yang individualistis dan egoistis. Tindakan-tindakannya tidak ditentukan oleh rasionya, tetapi semata-mata oleh hawa nafsunya. Sehingga keadaan manusia adalah penuh dengan kekacauan dan peperangan. Dimana manusia yang satu merupakan lawan dari manusia yang lain. Homo Homini Lopus dan Bellum Omnium Lantas Contra Omnus. bertanya bagaimana Islam sendiri mengaturmengenai konsep negara? Dalam hal ini, memang al-qur’an mauoun al-hadits memang tidak pernah menyebut secara langsung mengenai daulah. Dan hingga kini pembahasan/negara/daulah dalam islam masih diperdebagtkan. Golongan pertama (Aliran Pro-Negar Islam). Mereka menegaskan adanya kewajiban mendirikan negara islam, dengan menyandarkan pada teks al-qur’an pada surat an-Nisa : 59 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri dari kamu sekalian” (QS an-Nisaa: 59)

Negara Sejahtera Dalam Islam
Untuk mewujudkan Negara Sejahtera di bumi Allah, Allah SWT melalui Surat As-Saba’ : 15 sejak puluhan ribuan tahun lalu telah mengisahkan bagaimana konsep negara sejahtera kepada negeri Saba’. Hal ini, tentu disertai konsekuensi mentaati perintahNya dan menjauhi larangaNya. Dalil al-Qur’an ini lebih lanjut menyebutkan, “Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan), “Makanlah olehmu dari rezeki yang (Dianugerahkan) Tuhan-mu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang bak dan (Tuhan-mu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.” Bila kita simak sepintas ayat ini, sebagaimana disinggung di atas menekankan adanya penciptaan komunitas masyarakat yang disebut kaum Saba’. Mereka dalam kehidupannya diberikan kenikmatan yang luar biasa, berupa kebun-kebun. Tetapi, kenikmatan demikian tidak membuat masyarakat negeri Saba’ bersyukur, pada akhirnya Allah mengirim musibah banjir hebat yang disebabkan runtuhnya bendungan Ma’rib. Dan kebun-kebun indah itu, diganti dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Asl dan seidkit dari pohon Sidr. Konsep dasar negara sejahtera dalam Islam pada dasarnya terletak pada surat as-Saba’ ayat 15 sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Yakni menekankan pentingnya mengelola aset-aset/potensi-potensi yang diberikan Allah SWT. Selain itu, konsep keadilan seperti difirmankan dalam surat al-Ma’idah ayat 8, yang artinya sebagai berikut : “Wahai orang-orang yang berimana! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha Teliti apa yang kamu kerjakan.” Pada surat An-Nisa ayat 58, Allah SWT berfirman, yang artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan kepada yang berhak menerimanya, dan(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil,” (QS an-Nisa’ [4] : 58). Ayat-ayat lain yang berkaitan mengenai isu kesejahteraan dapat dilihat pula pada surat al-ma’un yang isinya mengandung pembelaan terhadap kaum mustad’afin. Allah SWT berfirman yang artinya : “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?, yaitu orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, yaitu orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat ria dan enggan menolong dengan barang berguna.” Dalam ayat lain, surat Al-Baqarah ayat 177, Allah juga berfirman : “Bukanlah kebaikan (menjadi tujuan yang sebenarnya) mengarahkan mukamu ke arah timur dan barat, tetapi yang kebaikan itu ialah keimanan kepada Allah, hari akhirat, para malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan (menyumbangkan) harta yang disukai kepada kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang dalam kesulitan), orang-orang yang meminta-minta (karena kesulitan hidup), sabar (tabah) sewaktu mengalami kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Orang-orang (yang berbuat) demikian itulah yang benar dan merekalah orang yang bertaqwa. Kemudian di surat al-humazah ayat 2-4, yang artinya : “Yang mengumpulkan kekayaan (di dunia ini) dan menumpuk-numpukkan, dia mengira bahwa kekayaan itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam api yang menganga”. Al-Hasyr ayat 7 : “.....supaya kekayaan itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kaum”. Al-Hadid ayat 7 : “.....dan nafkahkanlah sebagian hartamu yang telah Allah wakilkan kepadamu untuk menguasainya”. Bahkan pasal 33 ayat 1 UUD 45, yng menetapkan bentuk perekonomian kerakyatan, sejalan dengan QS 49 : 10 dan QS 4 : 1 yang menggariskan bahwa orang-orang mukmin bersaudara dan manusia yang taqwa adalah yang selalu menjaga hubungan keluarga. Alasan-alasan dari Sunah Rasul SAW juga memuat hal yang senada (lihat Qardhawi, 1988; Rahmat 1991) : Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa mempunyai makanan untuk dua orang, maka hendaklah ia pergi kepada orang yang ketiga, dan barang siapa mempunyai makanan untuk empat orang, maka hendaklah ia pergi kepada orang yang kelima atau yang keenam.” Dari Abdullah bin Umar, dikatakab bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Orang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, oleh karena itu janganlah berlaku zalim kepadanya, dan jangan membiarkan ia terlantar.” Rasulullah memilih hidup di tengah para hamba sahaya dan orang miskin. Ia digelari abul masakin (bapak orang-orang miskin). Kepada sahabat-sahabatnya yang menanyakan tempat yang paling baik untuk menemuinya, beliau menjawab : “Carilah aku di antara orang-orang lemah di antara kamu. Carilah aku di tengah-tengah kelompok kecil di antara kamu.” Isu kesejahteraan dalam Islam secara konsep tidaklah dapat disangkal lagi, namun bagaimana dalam aplikasinya? Selama ini isu kesejahteraan sering absen dalam dinamika politik Islam secara umum. Usaha-usaha yang dilakukan oleh kelompok Islam politik cenderung mengedepankan aspek formalisasi ajaran-ajaran Islam tetapi kurang memperhatikan persoalan kesejahteraan. Akibatnya sering dengan suksesnya rezim di dunia Islam dalam merebut kekuasaan dan menerapkan hukum-hukum Islam tidak diimbangi dengan keberhasilan dalam bidang ekonomi. Ironisnya gambaran-gambaran negara-negara Islam biasanya dipenuhi dengan kemiskinan dan pemeratan ekonomi yang tidak seimbang. Bagi negara-negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, seperti minyak dan gas bumi, sebagian besar di sibukkan dengan persoalan legitimisai politik. Para regim cenderung otoriter dan tidak memberikan kebebasan kepada rakyatnya. Yang terjadi adalah mereka selalu bekerja keras agar kekuasaan tidak lepas dari lingkaran elit dan keluarga penguasa. Akibatnya, terjadi jurang yang sangat dalam antara pihak penguasa dan rakyat.

Kontekstualisasi Keberpihakan Nilai-Nilai Islam Dalam Membangun Dan Menegakkan Negara Kesejahteraan
Perlu digaris bawahi, adanya semangat dan keberpihakan Islam terhadap pembangunan negara kesejahteraan bukan berarti hendak menegakkan berdirinya konsep negara Islam secara formal. Perlu dibedakan antara negara Islam secara formal dengan negara yang menerapkan nilai-nilai Islam secara subtansial. Yang terpenting pada dasarnya adalah bukan wadahnya yang bersifat formal, tetapi isinya yang bersifat subtansial. Apa jadinya negara yang secara formal menyebut dirinya Islam tetapi dalam konteks implementasinya justru jauh menyimpang dari ajaran dan nilai-nilai keIslaman. Di sinilah pentingnya membangun sebuah konsep negara yang mencerminkan nilai-nilai Islam. Untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam sebuah penyelenggaraan negara sangat diperlukan sebuah upaya penafsiran terhadap nilai-nilai universal tentang kehidupan sosial dan kenegaraan sebagaimana yang terkandung dalam Islam. Selanjutnya, nilai-nilai tersebut dikontekstualisasikan dalam kehidupan umat manusia dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Dalam konteks Indonesia, menerapkan nilai-nilai dan semangat pembangunan sosial dalam Islam di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sangat penting, terlebih Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Dengan demikian, hal inilah pentingnya melakukan kontekstualisasi nilai-nilai Islam dalam membangun negara kesejahteraan. Umat manusia secara lamiah adalah kelompok sosial dan cenderung untuk hidup bersama. Ini karenakan, kapsitas individu yang tidak memungkinkan mereka memenuhi kebutuhan dasarnya atau bahkan untuk mempertahankan diri. Manusia sangat memerlukan bantuan dan kerjasama dengan yang lain. Tetapi manusia tidak dapat hidup bersama dan bekerjasama dalam suasana konflik, Permusuhan (udwan), dan ketidak adilan (zalim). Hal-hal tersebut akan mebuat kehidupan sosial tidak mungkin diwujudkan. Untuk itulah diperlukan asabiyyah (group feeling) dan wazi’ (kekuatan pengendalian atau pemerintah) untuk mencegah konflik dan ketidakadilan dan untuk menjaga kebersamaan masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat suatu negara. Dalam memahami konsep negara sejahtera dalam islam, penulis merujuk dari teori Ibnu Khaldun yang dianggap refresentatif dalam bingkai konsep Islamic Welfare State. Menurut Ibnu Khaldun keadilan masyarakat adanya peraturan atau kode moral (code of behaviour). Syari’ah menyediakan peraturan tersebut. Tetapi tidak ada kode moral yang akan efektif tanpa masyarakatnya mengetahui dasar pijaknya dan tanpa adanya otoritas politik yang efisien atau wazi’ untuk menjamin kesediaan masyarakat mematuhinya. Otoritas politik memiliki pola hubungan yang serupa u ntuk peradaban ketika pembentukan peradaban pembentukan peradaban dimulai. Tidak mungkin menyusun otoritas politik (umran) dan sebaliknya tidak mungkin pula membangun peradaban tanpa otoritas politik.
Ibnu Khaldun menggolongkan otoritas politik tiga jenis. Pertama, disebut ‘natural ornormal’ yaitu otoritas yang memungkinkan setiap orang memenuhi kehendak pribadi, self interenst (al-ghard) dan kesenangan sensual (al-shahwah); Kedua, disebut ‘rational political’ yaitu otoritas (siyasah aqliyyah) yang memungkinkan setiap orang untuk melayanikepentingan dunia secara keseluruhan dan mencegah kerugian-kerugian berdasarkan prinsip-prinsip yang diturunkan dan diterima secara rasional akal; Ketiga adalah otoritas politik berbasis moral (siyasah diniyyah atau khilafah) di dunia dan di akhirat berdasarkan ajaran-ajaran syari’ah. Jika digunakan terminilogi modern untuk tiga bentuk negara ini, mungkin yang pertama disebut negara secular laissez faire atau passive state, yang kedua disebut secular welfare state, dan yang ketiga adalah Islamic welfare state. Anjuran kepada Islamic welfare state untuk membuat masyarakat mengikuti tujuan Syari’ah dalam urusan dan kepentingan dalam negerinya maupun urusan dengan negara lain. Shari’ah juga memastikan pemenuhan terhadap perjanjian atau kontrak dan menghormati hak kepemilikan dan untuk menanamkan dalam kualitas kehidupan masyarakat hal-hal yang penting bagi harmoni sosial dan pembangunan berkeadilan. Muncul pertanyaan-pertanyaan apakah Islamic welfare state hendak mewujudkan tujuannya melalui cara-cara pemaksaaan (koersi) ataukah persuasi? Dalam bab yang berjudul “Excessive Harshness Harms the State and in Most Cases Leads to Its Decay” (pp.188-189) Ibnu Khaldun menyerankan agar negara tidak mencoba-coba memenuhi perannya dengan kekerasan dan penindasan. Ia menekankan bahwa tindakan kebajikan penguasa membuat masyarakat bahagia sehingga akan mengakselerasi aktifitas kreatif dan pembangunan. Hal ini sesuai dengan dua hadits yang kurang lebih menyebutkan: “barang siapa yang telah dicabut daripadanya kelembutan, sesungguhnya telah dicabut pula kebaikan darinya,” dan “Allah lembut dan menyukai kelembutan.” Allah membalas kebaikan atas kelembutan yang diperbuat manusia, bukan untuk penindasan dan sejenisnya. Sehingga Islamic welfare state harus meletakan kebergantungan utamanya pada edukasi, persuasi dan kreasi lingkungan yang tepat dan mendukung upaya mewujudkan tujuan-tujuan negara. Penguasa harus toleran, moderat dan fair, menghindari kelicikan, penipuan dan dusta. Ia harus memenuhi segala kawajiban, konntrak dan janji-janjinya, dapat diakses masyarakat, memperhatikan keluhan masyarakat dan berusaha mengatasinya, memenuhi kebuutuhan masyarakat khususnya penduduk miskindan masuyarakat bawah, serta penguasa harus mengatasi ketidakadilan dan penindasan.
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa penguasa sejatinya lemah dan memerlukan bantuan orang lain. Sehingga jika dia berharap dapat memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya, maka ia harus menunjukan orang-orang yang jujur dan kompeten untuk membentunya. Menurutnya, negara dapat menyediakan kepemimpinan seperti yang diharapkan diatas dengan menciptakan lingkungan yang berdaya (enabling environment), membuat pengaturan kebijakan pendidik yang tepat untuk menciptakan kualitas-kualitas yang dibutuhkan dalam masyarakat, mempromosikan science dan industri (al-‘ulum wa al-sana’i), mengkonstruksi infranstruktur dan memastikan penegakan hukum, lingkungan fisik yang sehat, keamanan sosial, sistem peradilan yang efisien, dan operasi pasar yang teraturdan adil. Jika organisasi politik menampakkan perannya secara efektif maka akan berkontribusi positif bagi pembangunan atau ‘imarah. Kebutuhan masyarakat akan terpenuhi dan mereka akan termotivasi dengan cepat untuk bekerja keras, bersungguh-sungguh dan efisien. Jika tidak, maka akan terjadi proses pembusukan peradaban. Jadi, tanpa adanya organisasi politik efisien yang mengimplementasikan Shari’ah, maka tidak terdapat keadilan. Tanpa keberadaan keadilan, maka tidak akan ada ‘asabiyyah, yanpa adanya ‘asabiyyah maka tidak terjadi lingkungan yang tepat untuk implemetasi Shari’ah, sehingga atidak terdapat penegakan keadilan, pembanguna kesejahteraan. Bagaimanapun, ketika negara memainkan peranan penting, dalam teori sebab akibat sirkular yang digambarkan Ibnu Khaldun, negara tidak boleh memainkan karakter monolitik atau despotik yang akan mendorong bentuk rezim yang lalim. Untuk kepentingan kelanggengan kekuasaan itu sendiri, maka pemerintahan tidak boleh memberlakukan absolute power. Tidak boleh terdapat sense bahwa karena penguasa memiliki kekuasaan, maka dapat berbuat sekehendaknya. Sebaliknya, penguasa harus menggunakan kekuasaannya untukk membuat pasar berfungsi baik dan menciptakan lingkungan yang tepat untuk mewujudkan pembangunan dan keadilan. Konsep Ibnu Khaldun tentang negara, adalah negara yang berorientasi kesejahteraan, moderat dalam pengeluaran, menghormati hak kepemilikan masyarakat, menghindari pajak yang memberatkan. Melalui pengeluaran dan pertauran yang adil, negara mendorong pembangunan, sebaliknya dengan pajak yang berat dan peraturan yang timpang, negara sedang memperkecil pembengunan. Dengan kata lain, Ibnu Khaldun mendukung negara yang kekuasaan dan buah kekuasaannya didistribusikan secara adil dan merata sehingga dengannya akan mendorong keadilan, pembangunan dan kesejahteraan. Hemat penulis, hakikat terbentuknya suatu negara adalah untuk mengayomi warganya baik yang menyangkut keamanan, ketenangan, terpenuhinya kebutuhan material dan immaterial dalam rangka mendistribusikan keadilan sosial sehingga terwujudnya kesejahteraan dalam bingkai suatu negara. Searah dengan itu, konsep kesejahteraan dala Islam digerakan oleh suatu otoritas politik yang dijiwai oleh nilai-nilai luhur syari’ah tentunya pencapaian kesejahteraan bukan hanya dari aspek material tapi juga immaterial bisa terpenuhi.
Semangat keberpihakan Islam terhadap kaum mustadh’afin pada dasarnya dapat menjadi modal penting dalam pembangunan negara kesejahteraan. Sehingga konsep negara sejahtera dalam Islam ialah negara yang mempunyai dasar negara, ideologi negara dan menegakan hukum (norma-norma) untuk mengatur perilaku kehidupan masyarakatnya, serta menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam upaya pembebasan kemanusiaan. Dengan dasar inilah, setidaknya Indonesia secara normatif dan subtantif termasuk salah satu konsep negara sejahtera dalam koridor islam. Indonesia memiliki Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi. Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar dan GBHN, serta Batang Tubuh yang didalamnya mengatur hak-hak azasi manusia. Indonesia juga menerapkan Demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional bangsa Indonesia mengandung nilai-nilai budaya bangsa Indonesia, yaitu pola pikir dan pola kerja perjuangan. Salah satu teori negara ialah teori integralistik yaitu negara merupakan suatu susunan masyarakat yang integral diantara semua golongan dan semua bagian dari seluruh anggota masyarakat. Persatuan masyarakat disini merupkanan persatuan masyarakat yang organis. Saya pikir teori ini sesuai dengan kultur bangsa Indonesia yang multi etnis. Teori ini sejatinya telah dilaksanakan oleh bangsa Indonesia dari jaman nenek moyang di desa-desa, seperti kebiasaan pemimpin yang selalu bermusyawarah dengan rakyatnya. Dengan demikian dapat dilakukan bahwa pancasila sesuai dengan teori integralistik ini, karena pancasila bersifat; mengandung semangat kekeluargaan dalam kebersamaan, adanya semangat kerjasama (gotong royong), memelihara persatuan dan kesatuan, mengutamakan, musyawarah untuk mufakat, serta mengutamakan keadilan. Undang-undang dasar yang mengatur tentang hak-hak dasar manusia dengan tidak mengesampingkan nilai trasendensi. Hal ini dibuktikan pada pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, “Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa....”. kita juga dapat melihat kesamaan pada pasal 29 UUD 1945. Dalam hal ini maka bangsa Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan negara memberikan jaminan sesuai dengan keyakinannya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Undang-undang dasar 1945 merupakan regulasi-regulasi tertulis yang harus dilaksanakan bagi masyarakat Indonesia. Hak-hak azasi manusia yang diatur dalam undang-undang diantaranya ialah :
a.Hak atas kebebasan untuk mengeluarkan pendapat (UUD 45 pasal 28). Setiap orang berhak mempunyai pendapat tanpa ada gangguan dari siapapun dan apapun.
b.Hak atas kedudukan yang sama di dalam hukum (UUD 45 pasal 27 ayat 1). Sekalian orang berhak mendapat perlindungan yang sama terhadap setiap perbedaan yang memperkosa pernyataan ini dan terhadap segala hasutan yang ditujukan kepada perbedaan.
c.Hak atas kebebasan berkumpul (UUD 45 pasal 28). Hak berkumpul secara bebas diakui. Tidak ada pebatasan pun yang dapat dikenakan terhadap hak ini, kecuali yang ditemukan oleh hukuman dan diperlukan oleh masyarakat demokratis, demi tujuan nasional.
d.Hak atas kebebasan beragama (UUD 45 pasal 29). Beragama merupakan fitrah manusia. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keinsyafan batin dan agama. Dalam hal ini kebebasan untuk berganti agama, karena dalam islam pun tidak ada paksaan untuk memeluk islam. Hal ini sesuai dengan QS. Al-Baqarah ayat 256, yang berbunyi : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut [162] dan berimana kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus, dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. Maksudnya : Thaghut ialah syaitan apa saja yang disembah selain dari Allah SWT.
e.Hak atas penghidupan yang layak (UUD 45 pasal 27 ayat 2). Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang menjamin kesehatan dan keadaan baik untuk dirinya dan keluarganya termasuk dalam sandang, pangan dan papan serta usaha-usaha social yang diperlukan, dan berhak atas jaminan diwaktu mengalam pengangguran, jadan, duda, lansia atau mengalami kekurangan nafkah dan keadaan lain diluar kekusaannya demi kemanusiaan.
f.Hak atas kebebasan beretikat dan berkumpul atau berorganisasi (UUD 45 pasal 28). Setiap orang berhak untuk mendirikan dan masuk ke serikat-serikat untuk melindungi kepeningannya.
g.Hak atas pengajaran dan pendidikan (UUD 45 pasal 31). Setiap orang berhak dan bebas untuk mendapat pengajaran. Lembaga pendidikan atau pengajaan harus dapat dimasuki oleh semua orang dai palisan manapun. Untuk pendidikan dasar seharusnya diwajibkan dan diberikan dengan Cuma-Cuma. Pengajaran dan pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan terhadap hak-hak azasi kemanusiaan.
Demokrasi merupakan sistem pemerintahan negara Republik Indonesia. Pasca perang dunia II kita melihat gejala bahwa secara formil demokrasi merupakan dasar dari mayoritas negara di dunia. Penelitian UNESCO yang diselenggarakan pada tahun 1949 maka “mungkin untuk kali pertama dalam sejarah demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh”. Kita mengenal begitu banyak istilah demokrasi. Demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi rakyat, demokrasi sovier, demokrasi nasional, demokrasi pancasila dan lain sebagainya. Pada dasarnya demokrasi merupakan gagasan atau pandangan yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi seluruh manusia (warga negara). Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu democration yang berarti pengambil keputusan secara kolektif oleh para demos atau rakyat. Walaupun pengertian demokrasi berkembang terus, tidak pernah keluar dari prinsip utamanya, yaitu rakyat sebagai pemegang keputusan tertinggi dalam seluruh pengambilan kebijakan. Dengan demikian demokrasi dapat diartikan sebagai lawan dari otoritarianisme-dikdator. Menurut saya demokrasi dapat diartikan sebagai persamaan hak menghargai pluralitas, terciptanya keadilan dan kebebasan menyampaikan aspirasi serta tegaknya supremasi hukum. Demokrasi juga berbanding lurus dengan konteks keislaman secara universal. Hal ini dijelaskan dalam QS. Al Hujurat ayat 13 yang berbunyi : Hai manusia, sesuangguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang berpaling mulia di anatara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi Maha Mengenal. Dengan dasar universalisme islam inilah, islam memerintahkan manusia untuk bersikap demokrat terhadap siapapun, dari agama dan budaya apapun. Sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al Mumtahanah ayat 8 yang berbunyi : Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memetangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Dalam islam teerhadap nilai-nilai yang menunjang semangat demokrasi, seperti nilai-nilai persamaan hak dan derajat kemanusiaan di muka Tuhan. Indonesia secara normatif memang sebuah negara sejahtera dalam konsep islam. Namun masih dalam tataran konsep belum mampu dijalankan dengan optiml. Indonesia sebagai lembaga malah memberikan katakutan dan keresahan. Begitu kompleks konflik yangterjadi di indonesia, sosial, budaya, kesehatan, kependudukan bahkan pendidikan yang merupakan faktor vital untuk memajukan dan menyejahterakan bangsa. Pendidikan dalam islam pun berbeda di garda depan dan menjadi barometer kesejahteraan dan keunggulan suatu kaum (bangsa). Salah satu surat yang secara eksplisit menjelaskan tentang pendidikan dan prosesnya ialah QS. Al Alaq yang berbunyi:
1.Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2.Dia telah menciptakan manusia dansegumpal darah.
3.Bacala, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah,
4.Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam
5.Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Maksudnya : Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.
Dalam surat inilah Allah memerinyahkan manusia sebagai hambanya untuk berpikir dan mencari gunameninggalkan derajatnya. Hanya dengan ilmulah kita dapat mengetahui segala fenomena yang terjadi di alam ini. Bahkan Rasulullah saw dalam haditsnya memerintahkan kita untuk mencari ilmu dari buaian sampai ke liang lahat. Dalam hal ini berarti ilmu memiliki peran paling vital dalam kehidupan manusia. Ilmu hanya didapat dengan melalui pendidikan. Memang begitu kompeleks di bangsa Indonesia yang kita cintai ini. Namun dengan banyaknya konflik bukan berarti menjadi kita sebagai hakim untuk bangsa sendiri. Kita sebagai kaum muda yang berilmu (mahasiswa) seharusnya mampu memberikan solusi yang solutif bagi kesemrautan di bangsa ini. Satu hal yang harus kita ingat “bangsa yang cerdas ialah bangsa yang berilmu, dengan ilmu kita sejahtera” Pertanyaanya bisakah kita CERDAS? Maukah kita SEJAHTERA? Kesejahteraan merupakan sebuah keniscayaan bila da kemauan. Kemauan merupakan modal dasar dari kesuksesan. Kesuksesan ialah jembatan menuju kesejahteraan.