Gelorakan Pemikiran

Kamis, 28 April 2011

Sistem Pembentukan Negara Menurut Piagam Madinah Dan UUD 1945

Negara Islam pertama yang lahir di Madinah, merupakan bukti bahwa agama tidak dapat tegak tanpa adanya campur tangan dari negara (kekuasaan). Baik secara maksimal dalam arti bahwa agama tersebut menjadi agama resmi dari negara ataupun secara minimal seperti yang diperaktekkan oleh negara sekuler sekalipun. Agama merupakan keyakinan dari personal-personal yang ada dalam masyarakat dan Negara. Tanpa masyarakat tidaklah dapat dikatakan sebagai negara karena syarat suatu negara adalah adanya suatu masyarakat yang mendiami suatu wilayah, di samping dua syarat lain yaitu wilayah dan pemerintahan. Pemerintahan yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad adalah suatu bentuk yang tidak pernah ada ataupun dikenal oleh bangsa Arab sebelumnya, atau yang pernah dipraktekkan oleh sebuah bangsa pada saat zaman Yunani atau Romawi sampai abad pertengahan (zaman Agustinus). Walaupun banyak ahli tata negara sekuler maupun Islam yang mencoba mendefinisikan model negara tersebut. Al-Farabi mengatakan model pemerintahan yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad adalah model negara republik yang pernah dicetuskan oleh Aristoteles dalam bentuk polis (negara kota). Berbeda dengan Al-Farabi, Maududi mengatakan bahwa pemerintahan Islam adalah Theodemokrasi yaitu pemerintahan yang kedaulatan tertinggi di tangan Tuhan. Istilah Theodemokrasi adalah istilah yang diungkapkan oleh Maududi untuk membedakan dengan Theokrasi (Kingdom of God/Civitate dei ) dalam istilah barat. Maududi mengatakan ciri negara Islam (Khilafah Islami) seperti yang dipraktekkan oleh Nabi dan Khulafur rasyidin adalah;
1. Kedaulatan tertinggi ada ditangan Tuhan.
2. Hukum tertinggi negara adalah Syari’ah.
3. Pemerintahan adalah pemegang amanat Tuhan untuk melaksanakan kehendak-kehendakNya.
4. Pemerintah tidak boleh melakukan perbuatan yang melampaui batas-batas yang telah ditetapkan oleh Tuhan.
Di dalam naskah Piagam Madinah tiga unsur negara itu telah disebutkan. Rakyat adalah semua golongan yang disebut dalam Piagam, yang secara umum disebut ahl hazihi al-shahifah (Pasal 37, 39, 42, 46). Wilayah ialah Yasrib (Pasal 39) atau Madinah (Pasal 47). Pemerintahan ialah Muhamamad SAW (Mukadimah, Pasal 23, 36, 42). Nabi Muhammad sebelum memerintah telah melakukan bai’at (Kontrak sosial) dengan masyarakat Madinah sebanyak dua kali. Bai’at tersebut berisi perlindungan terhadap kaum muslimin yang akan berhijrah ke Madinah dan pengangkatan Nabi Muhammad sebagai pemimpin masyarakat baru (suku super) yang akan dibentuk. Bai’at yang dilakukan oleh wakil masyarakat Madinah ketika masa haji di Mekkah, dikuatkan lagi oleh konsensus nasional (dalam sekup Madinah) yang lebih besar yaitu melalu Piagam Madinah setelah beliau sampai ke sana. Nabi Muhammad sebagai penyelenggara negara (Eksekutif) untuk menjalankan ketenteraman masyarakat, juga berlaku sebagai panglima tertinggi dari angkatan perang apabila terjadi penyerangan yang dilakukan oleh musuh. Dalam menjaga ketertiban, Nabi mengunakan ketentuan-ketentuan yang berasal dari Allah (eksekutif) ataupun putusan beliau sendiri (Assunah) atau dalam terminologi modern sebagai Undang-undang yang berlaku. Tapi, dalam prakteknya seperti yang diriwayatkan, Nabi Muhammad pernah memberikan pilihan hukum terhadap seorang penduduk yang beragama Yahudi ketika ia bersalah, apakah mengunakan hukum Islam sebagai dasar putusannya ataupun menggunakan hukum Yahudi sendiri seperti tercantum dalam Taurat. Pemerintahan Islam tersebut hanya merupakan pemerintahan kota pada awalnya, tapi setelah itu luas wilayah mengalami perubahan setelah berhasil menaklukkan Mekkah dan pada akhirnya jazirah Arab bahkan sampai Andalusia untuk bagian barat dan India untuk batas timurnya. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik (pasal 1 ayat (1)). Yang dimaksud dengan negara kesatuan adalah suatu negara yang merdeka, berdaulat, dan yang berkuasa. Satu pemerintahan pusat yang mengatur seluruh daerah secara totalitas. Bentuk negara kesatuan bukanlah gabungan dari beberapa negara bagian yang menjadi satu sedemikian rupa sehingga menjadi suatu negara, dimana negara itu mempunyai status bagian-bagian, seperti bentuk negara Federasi. Kemudian negara kesatuan dapat berbentuk yakni pertama sentralistik, dimana segala sesuatu dalam negara itu langsung diatur dan diurus oleh pemerintah pusat, dan daerah-daerah tinggal melaksanakannya. Kedua; sistem desentralisasi, dimana kepala daerah diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) yang dinamakan daerah swatantra. Dengan UU Otonomi daerah yang berlaku, maka Indonesia menganut sistem negara kesatuan dengan sistem desentralisasi. Sistem ini adalah sistem yang merupakan antisipatif dari otoriterian oleh pemerintahan pusat (Jakarta) kepada daerah dan untuk mengakomodasi suara-suara daerah yang menginginkan pembagian kekuasaan yang merata serta pencegahan terhadap proses disintegrasi bangsa semenjak awal reformasi. Kewenangan yang dimiliki oleh daerah otonom (kabupaten dan kota) adalah semua kewenangan dalam bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain. Kewenangan-kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat. Sistem pemerintahan yang dianut oleh negara Indonesia saat ini lebih memungkinkan untuk terwujudnya kedaulatan rakyat seperti tujuan negara Republik yaitu kedaulatan yang berada di tangan rakyat.
Bila kita merujuk dalam sejarah pemerintahan Islam dari jaman Rasulullah sampai 30 tahun berakhirnya pemerintahan Imam Ali, kita akan melihat berbagai praktek ketatanegaraan yang mengagumkan yang belum pernah dipraktekkan oleh penguasa pada masa itu bahkan sampai abad pertengahan. Yaitu dimana seorang pemimpin diangkat tidak berdasarkan garis keturunannya. Pada saat Abu Bakar dilantik sebagai pemimpin ia mengatakan bahwa ia adalah Khalifah Rasulullah (pengganti dari Nabi) sebagai pemimpin dari umat Islam yang ada pada saat itu. Sistem khalifah (pemerintahan) umat Islam mengalami penyempurnaan pada masa Khalifah Umar bin Khatab. Pada saat itu Umar telah membentuk lembaga-lembaga pemerintahan yang mempunyai kekuasaan terpisah dan mandiri dari eksekutif. Lembaga yudikatif atau Qadi pada saat itu dijabat oleh Zaid bin Sabit dan di daerah propinsi juga telah diangkat beberapa qadi seperti Kaab bi Sur al Azdi untuk Basrah, ‘Ibad bin Asamad untuk Palestina, Abdullah bin Masud untuk Kufah, Syuraih untuk Damaskus, Jamil bin Ma’mar untuk Yaman, Ibnu Maryamal Hanafi untuk Mekkah, Salman bin Rabi’ah al Bahali untuk Mesir. Keberadaan partai dalam pemerintahan Islam pertama kali dikenal pada masa pemerintahan Sayyidina Ali, partai tersebut bernama Khawarij dan menyatakan diri sebagai oposisi terhadap kekuasaan yang sah saat itu. Namun demikian Imam Ali tidak membubarkan keberadaan kaum Khawarij dan tidak pula menyuruh menangkap mereka dan menghilangkan pengaruhnya. Tetapi malah beliau menyatakan kepada mereka secara terus terang ada tiga hak kalian atas kami, kami tidak akan menghalangi kalian untuk masuk pada masjid Allah, kami tidak menghalangi kalian untuk mendapatkan harta rampasan perang selama kekuatan kalian bersatu dengan kekuatan kami, dan kami tidak akan memulai memerangi kalian. Bahkan Syech Yusuf Qardawi mengatakan keberadaan partai adalah mazhab dalam politik dan mazhab adalah partai dalam Fiqih. Bahkan keberadaan multi partai dalam Islam itu dimungkinkan, selama tujuannya memperjuangkan hukum-hukum Tuhan, karena doktrin Islam mengatakan perbedaan bagi Umat Islam adalah Rahmat.
Di dunia secara umum dapat dibagi kriteria pemerintahan yang menjalankan kekuasaan negara secara terpisah atau penyelenggaraan sistem pemisahan kekuasaan, khususnya berdasarkan sifat hubungan antara badan legislatif dan eksekutif; negara dengan sistem pemerintahan presidensil, negara dengan sistem pemerintahan parlementer, negara dengan sistem pemerintahan badan pekerja atau referendum. Sistem presidensiil adalah sistem pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif dengan pemisahan kekuasaan secara tegas. Antara badan-badan pemegang kekuasaan, atau organ-organ daripada negara tersebut mempunyai keterpisahan dalam menjalankan tugas. Artinya bahwa kekuasaan eksekutif merupakan organ yang berdiri sendiri dan tidak bertanggung jawab terhadap badan yang memegang kekuasaan legislatif atau dewan perwakilan. Susunan dari pada badan eksekutif terdiri dari seorang presiden sebagai kepala pemerintahan, dan didampingi atau dibantu oleh seorang wakil presiden. Presiden dalam di dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh para mentri. Jadi para mentri ini berkedudukan sebagai pembantu presiden, maka para mentri ini dalam menjalankan tugasnya harus bertanggung jawab kepada presiden. Para menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
Dalam UUD 1945 telah ditegaskan bahwa Presiden adalah penyelenggaraan kekuasaan pemerintah tertinggi. Presiden selaku kepala pemerintahan dan sekaligus sebagai kepala negara. Dalam menjalankan tugasnya Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden (pasal 4 ayat (1) dan (2)). Hal tersebut sama dengan pemerintahan republik dimana kepala negaranya adalah seorang Presiden. Dalam menjalankan fungsi pemerintahan Presiden diawasi oleh DPR, akan tetapi DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden ataupun sebaliknya sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 7C. Sistem politik yang dipakai saat ini adalah sistem politik multi partai. Sistem yang dimana terdapat banyak partai yang mengikuti pemilu yang melalui seleksi secara ketat.