Gelorakan Pemikiran

Minggu, 26 September 2010

Struktur Perangkat Fundamental Worldview Dan Alur Pikir Syafrilisme: Sebuah Reason Nalar Epistemologi Tauhid Dalam Tafsir Kitab Suci Ketuhanan Yang Berbasis Profetis Substantif—Idealistis—Transformatif.

YANTO SAGARINO SAMAWA TARIANO

Struktur dan perangkat fundamental dari pandangan hidup Islam merupakan hal yang sangat luas dan menentukan apa yang terkandung dalam Islam itu sendiri. Perangkat tersebut memiliki basis yang kuat dan menjadi pola dasar epistemologi Islam dalam konsep ilmu pengetahuan dengan meiliki arti, tujuan, dan nilai hidup yang sangat menentukan proses manusia. Teori masyarakat Islam yang mencintai kedamaian sesungguhnya berbasis pada aqidah, ibadah, Iqra, majelis dan cara berfikir dengan sikap dan keyakinan yang kuat. Epistemologi Islam yang mengkonstruksikan tentang masyarakat Islam yang maju tentu tidak terlepas pada doktrin tauhid yang sudah terbentuk dan menjiwai dalam pikiran dan hati setiap muslim dan generasi Islam mendatang, dengan mempelajari dan memikirkan realitas kehidupan dan kebenaran. Struktur fundamental dari pandangan hidup Islam itu adalah Ilmu, Iman, Amal yang dipraksiskan melalui metodologi dan epistemologi Islam yang termaktub dalam pandangan teori syafrilisme yaitu Kesadaran Tauhid, kesadaran Iqra, Kesadaran Majelis dan Kesadaran harakah fil Islam. Manusia memiliki keyakinan yang kuat, oleh karena selalu mendasarkan aktivitas dalam realitas kehidupan dengan memfungsikan faktor ilmu dan iman. Sebelum meyakini tentang sebuah kebenaran. maka harus terucap kesadaran dalam dimensi syahadat, kesadaran untuk bersaksi merupakan diringan untuk memperkuat keyakinan dan pengetahuan (cara pandang). Dalam realitas kehidupan di melenium ketiga ini menuntut manusia untuk menafsirkan sebuah wujud ketuhanan dari apa yang diciptakannya dengan cara pandang tauhid. Definisi epistemologis Islam merupakan konsep Islam, yang khas dan menunjukkan cara kerja secara intelektual, saintis dan spiritual, yang bermuara pada konsep Tuhan.

Konsep Tuhan inilah termaknai secara baik, maka lahirlah konsep kehidupan dunia—humanis, manusia profetis, nilai nalar transformatif, al ilmu, al Harakah dil Islam, al Majelis, al Iqra dan seterusnya yang saling terkait satu sama lainnya. Konsep tauhid memberikan makna yang lebih komprehensif dan luas yang mengakui kesatuan dan keintegralan sistem yang terdapat di tengah-tengah kehidupan. Sistem epistemologi Islam meneguhkan spirit ketuhanan yang memiliki worldview Islam universal tanpa mengesampingkan hal-hal yang terjadi dalam sebuah realitas dengan tujuan memberikan gambaran bangunan filosofis worldview Islam yang dominan dalam kehidupan manusia. Al-Quran menjelaskan peradaban Islam yang berkembang dari konsep tauhid dan ilmu pengetahuan yang kemudian memberi peluang kepada peradaban-peradaban lain yang ada di dunia. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa peradaban Islam mengungguli peradaban lain dan memberi manfaat sebesar-besarnya kepada manusia. Ini menunjukkan bahwa peradaban Islam sebagai tolak ukur semua peradaban di dunia. Karena dalam sejarah dunia, peradaban yang bisa melebur dan sangat sesuai dengan perkembangan zaman adalah peradaban Islam. World view Islam sebagai suatu peradaban konsep yang sudah dibentuk dalam al-Quran yang berkenaan dengan konsep tahuhid, penciptaan, hari akhir, etika, alam semesta, ibadah, ilmu, kenabian, ukhuwah, ummah, jihad dan daulah. Dari konsep ini Islam membangun peradabannya dengan konstruksi pandangan hidup Islam yang bukan hanya sekedar terletak pada akal manusia terhadap dunia fisik atau keterlibatan manusia di dalamnya dari segi historis, sosial, politik dan kultural tapi mencakup aspek dunia dan akherat yang saling berkaitan terhadap realitas. Merekonstruksi epistemologi tauhid harus memahami asas-asas ontologi dan kosmologi dalam Islam. Realitas alam ini secara ontologis terbagi dua yakni pertama, alam al-mulk dan alam alghaib (tak tampak) dan kedua, alam shahadah (tampak).

Namun secara kosmologis, realitas itu telah dijelaskan dalam al-Quran, sehingga kalau kita meneliti atau hendak melakukan penelitian ilmiah harus berdasarkan pandangan dan penafsiran Qurani baik secara normatif maupun secara analitik—produktif. Kalau kita membandingkan dengan pandangan Barat tentang sebuah realitas, maka memiliki tiga aliran yang dominan; realisme, yang memandang secara obyektif; anti-realisme yang melihat realitas secara subyektif; dan realisme kritis, yang melihat realitas dengan subyektif dan obyektif. Pandangan subyektif dan obyektif ini mirip dengan Islam, hanya saja, subyektifitas umat Islam terisi oleh wahyu. Namun, persoalan yang dihadapi umat Islam saat ini adalah, masuknya ilmu-ilmu humaniora dan eksak ke dalam struktur epistemologi Islam, dimana cara melihat realitas menjadi tidak tauhid lagi, dan cenderung dikotomis; melihat sesuatu secara empiris an sich. Di sinilah rekonstruksi epistemologi Islam secara komprehensif diperlukan untuk melakukan elaborasi sistem nilai dan menanam aspek asas, pendekatan, cara memaknai, dan objek kajiannya, yang dimana kita ketahui bahwa asas epistemologi Barat berdasarkan pada rasio dan spekulasi filosofis dan pendekatannya sangat dikotomis dengan rasional, non-metafisis, tidak terbuka dan selalu mengalami perubahan pandangan dalam memaknai realitas dan kebenaran. Kesalahan terbesar epistemologi Barat adalah mengikut standar sosial, kultural, empiris, dan rasional yang jauh dari nilai agama sehingga berimplikasi pada objek kajian mitologis. Sedangkan epistemologi Islam, berdasarkan pada tauhid, wahyu, hadis, akal, iqra, majelis, pengalaman, intuisi dan pola gerak sosial kemanusiaan, telah membuktikan konsep pendekatannya yang bersifat rasional, metafisis, supra-rasional, normatif dan produktif dari hasil akal—ilmu—iqra—majelis.
Objek kajian epistemologi Islam juga bersifat, invisible, visible dan produktif sesuai dengan kondisi realitas umat manusia. Pandangan hidup Islam sebagai framework dalam studi filsafat Islam berdasarkan doktrin al-Qur’an yang kaya dengan ilmua pengetahuan dan sastra dengan memiliki aspek ilmu—amaliah. Filsafat Islam merupakan salah satu cabang pengetahuan dalam peradaban Islam yang berakar pada konsep al-Qur’an dan hadis. Konsep al-Qur’an dikembangkan menjadi struktur konsep keilmuan (scientific conceptual scheme) dan istilah keilmuan (scientific terminology), dalam berbagai bidang. Struktur kajian filsafat Islam dimulai dari pengertian filsafat dan sejarah filsafat Islam yang tidak terbatas pada ruang lingkup sempit, artinya mencakup kajian al-Qur’an, ilmu kalam dan falsafah Islam. Pemikiran filsafat Islam merujuk pada tafsir realitas fisik dan metafisik yang merupakan satu kesatuan dari tafsir qauliyah dan kauniyah. Sedangkan tujuan filsafat Islam meliputi: (a) memberi kemampuan dan pemahaman agar dapat memahami konsep-konsep penting dalam pemikiran Islam; (b) memberikan kecakapan konsep-konsep penting filsafat Islam dalam al-Qur’an dan Hadis; dan (c) meningkatkan kemampuan untuk menjelaskan konsep-konsep tersebut dalam konteks pemikiran kontemporer. Oleh karena itu, memahami filsafat Islam dari pandangan hidup Islam berarti memahaminya dengan pendekatan sistemik (systemic approach) dan proses yang sistemik ini dapat digunakan untuk mengkritik sistem-sitem filsafat Barat dan konsep asing dalam pemikiran Islam. (A.R. Dimyati, INSISTS Malaysia) http://www.insistnet.com - INSISTS - Institute for The Study of Islamic Thought and PCoivwileizreadtio bny Mambo Generated: 12 November, 2007)

Islam sebagai pandangan dunia memiliki hakikat perjalanan sejarah hidup manusia yang dibuktikan melalui gerakan pemikiran dan ilmu pengetahuan yang sangat berpengaruh dan bekuasa. Sesungguhnya umat Islam masa kontemporer sekarang ini, harus memiliki alur pikir sebagai kekuatan episremologisnya dengan berusaha mempraksiskan ilmu pengetahuan dalam kehidupannya, sehingga umat Islam tidak terperangkap dalam sistem yang terbelakang dalam penguasaan ilmu dan praksiskan ilmu dalam proses ilmiah dan teknologi. Dari sudut pandang Islam, status dan keutamaannya ilmu yang diwahyukan adalah kesadaran iqra’ yang menjadikan kita semua menguasai keilmuan Islam secara keseluruhan melalui metodologis pembacaan terhadap peluang dan tantangan. Wahyu sebagai dasar kekuatan epistemologi Islam dengan budaya doktrin untuk membaca. Hal seperti ini sesuatu yang berharga dan memiliki makna yang luas dalam proses pengilmuan Islam, Seperti apa yang disebutkan dalam al-Qur’an: “Katakanlah, Wahai Tuhanku! Tambahkanlah ilmu pengetahuanku” (al-Qur’an, 20:114), dan “Allah mengangkat orang yang beriman dari golongan kamu, dan begitu juga orang yang dikurniakan ilmu pengetahuan beberapa derajat” (al-Qur’an 58:11). “Katakanlah, adakah sama orang yang berilmu pengetahuan dengan orang yang tidak ilmu pengetahuan ? tentu tidak”, (al-Qur’an 39:9).

Kalau memang gambaran realitas keilmuan Islam harus bervariasi untuk membentuk lingkar humanis sebagai bagian dari epistemologi dan membentuk relasi atau kerangka hubungan ketiga konsep diatas (Profetis Substantif—Idealistis—Transformatif), maka hal itu harus memungkinkan untuk menjadi liniering. Selain corak normatif epistemeologi yang sebelumnya telah disebutkan, corak epistemologi ini memiliki basis sosiologis dalam pemikiran dan keilmuan Islam. Struktur fundamental dari ketiga ini pula merupakan langkah dan unsur penting, dengan tujuan mejelaskan dan menciptakan hubungan diantara ketiganya. Pilihan sosiologis diantara corak epistemologis dalam bentuk struktur yang liniering, Maka corak epistemologis sosiologis keilmuan Islam profetis substantif—idealistis—transformatif memiliki hubungan dan persentuhan antara yang satu dengan lainnya dalam setiap generasi muslim, baik itu ulama, cendikiawan, mahasiswa muslim, aktivis, da’i dan muballigah. Hubungan yang liniering itu menampilkan dalam diri seorang ilmuwan Islam dan cendikiawan yang memiliki empat metodologi dan nalar epistemologis yang masing-masing membentuk pola struktur gerak yang luas tanpa dibatasi dan bebas dalam berfikir tanpa membuang khasanah berislam. Metode dan epistemologi tersebut saling berkaitan yang membentuk hubungan liniering serta mendialogisasikan dan mengkmonikasikan diantara satu dengan lainnya, terhantung pada kondisi realitas dan peristiwa yang terjadi. Jika berada dalam ruang doktrinal teologis tersebut, maka apa yang selama ini kita pahami dalam konteks nalar bayani, sesungguhnya tidak bisa berdiri pada prinsip yang sama. Nalar epistemologis antara nalar bayani, irfani dan burhani merupakan sketsa pemikiran keislaman yang tidak memiliki hubungan yang etis untuk membentuk satu struktur sosiologis umat manusia, bila dibandingkan dengan nalar eistemologis yang berdasarkan empat lingkar tafsir epistemologi tauhid dalam konteks sosiologis adalah tauhid, iqra, majelis dan harakah fil Islam yang justru membentuk satu susunan keilmuan yang saling mengkaitkan satu sama lainnya. Walaupun awal penerapan tafsir epistemologis tauhid—sosiologis ini dianggap kurang dan hasil kelmiahannya yang minim, maka hasil akhir dari perubahan kondisi tersebut tetap akan mencerminkan manusia pada penilaian yang bersifat positif dan menentukan arah epistemologis dalam kerangka teori syafrilisme yang terdiri dari keempat bagian tersebut. Sekarang ini, dengan melakukan modifikasi epistemologis oleh penulis merupakan sebuah kenyataan bahwa telaah kritis atas epistemologis ilmu pengetahuan Islam sangat banyak perbandingannya. Ke-epistemologian yang penulis tawarkan tetap berada dalam satu rumpun keilmuan yang saling mengaitkan, akan tetapi dalam berbagai prakteknya akan disesuaikan dengan kondisi realitas.

Maka oleh karena itu pola pemikiran teori syafrilisme secara tekstual dan kontekstual harus lebih dominan dalam membentuk mainstream keislaman yang humanis dan profetis. Otoritas teks yang telah penulis jelaskan sebelumnya harus bersifat idiologis—substantif dengan kemasan berbagai intuisi keilmuan untuk melakukan ijtihadiyah keilmuan keagamaan Islam yang harus dominan dan memiliki kepedulian terhadap isu-isu keagamaan yang bersifat tekstual dan kontekstual. Tafsir kitab suci dalam tradisi keilmuan Islam merupakan pola pengembangan yang harus terus menerus ada regenerasi dengan tujuan menjelaskan esensi ketuhanan yang sebenarnya. Pengembangan nalar epistemologi dan tafsir kitab suci yang dibingkai dalam teori syafrilisme hanya dapat dilakukan dengan pola membuka lebar pemahaman kita tentang Islam, berdialog dan mengambil inisiatif sebagai gagasan untuk ditransformasikan, sebagaimana tercermin secara kokoh sebuah nalar keimanan yang ada pada manusia itu sendiri. Sebelum itu juga, hal yang harus di perhatikan adalah mempelajari kelemahan epistemologi Islam yang tidak mampu melakukan kritik tekstual keagamaan sehingga sangat mencolok karakter keegoisannya ketika berhadapan dengan komonitas Islam lain dan tidak bisa menerima kultur masyarakat non Islam lainnya. Maka corak epistemologis tauhid—sosiologis dalam teori syafrilisme yang termaknai dalam bahasa profetis substantif—idealistis—transformatif merupakan corak dan model argumentasi berfikir keagamaan—ketuhanan yang tidak mengambil sikap statis dan dogmatis, apologis, polemik, dan problematisme. Akan tetapi jenis sikap keagamaan yang termaknai dalam epstemologis teori syafrilisme adalah sikap produktiv dan terbuka. Tentu hal ini akan menjadi bagian yang penting ketika manusia menempatkan fungsi dan peran akal diatas sebagai mesin pengukuhan dan pembenaran terhadap teks. Aktualisasi epistemologis ini, harus berdasarkan hasil tafsiran teks setelah duduk dalam satu majelis yang melibatkan seluruh komponen yang memiliki pengetahuan. Sehingga dari hasil itu, masyarakat luas melaksanakan semua hal itu dengan prinsip orisinalitas dan otentisitas yang sesuai dengan lafal dan tafsir teks al Qur’an sehingga tidak ada yang pengambilalihan epistemologis dan cara berfikir diluar kaidah normatifitas. Dari beberapa banyak model dan karakter maupun aliran pemikiran epistemologis yang dimiliki oleh kelompok, organisasi masyarakat Islam, organisasi mahasiswa Islam dan selebihnya organisasi keagamaan yang nota bene berorientasi pada ruang lingkup sosial kemanusiaan, semua oraganisasi tersebut memiliki perbedaan paham baik tentang teks maupun sosial kemanusiaan, dan belum tentu kita pahami bahwa diantaranya ada sebuah kebenaran, justru selama ini kita lihat bersama ada sebuah klaim kebenaran oleh agama tertentu, disinilah letak titik dan sumber masalah yang ditimbulkannya oleh karena mempeunyai perbedaa dan karakter yang tak mau kalah dalam memaknai tradisi tafsir kalamnya..Dengan demikian peran akal sebagai alur fikir teori syafrilisme dalam memahami dan menafsirkan segala hal yang menjadi kebutuhan soal-soal keagamaan dan mengaitkan dengan filosofis manusia yang memang sangat keterbatasan.

Kita harus mengetahui penyebab ada sebuah klaim kebenaran, oleh karena memang kontruksi bahasa agama yang justru lahir dari bahasa yunani adalah untuk mengaburkan pemahaman kebenaran dari wahyu illahi yang diturunkan oleh Tuhan. Mengapa kata agama dalam persfektif kajian dalam ilmu keislaman merupakan sebuah masalah yang kontraproduktif dengan realitas sosial, oleh karena asal kata agama itu bersal dari kata a (tidak) dan gama (kacau) artinya tidak kacau, jadi kalau kita pisahkan kata a dengan gama maka yang terjadi adalah kontradiksi dengan realitas yang diinginkan oleh manusia. Kalau hanya kata a maka diartikan tidak ada agama, bergitu juga dengan kata gama maka diartikan dengan sesuatu yang selalu membuat bingung dan kekacauan. Tentu semua definisi ini, dalam pandangan penulis secara kritis bahwa bahasa yunani dalam menkonstruksikan kata agama saat itu adalah sesuatu yang kontradiksi dengan realitas sehingga dari sejarah Yunani—Eropa dari masa kegelapannya yang menyembah dewa sampai sekarang pun berusaha memperkuat terminologi kata agama dalam dimensi kepercayaan yunani eropa adalah dengan cara melahirkan pemikiran dan manivestio keilmuan mereka secara lugas dan simple untuk dikonsumsi oleh masyarakat dunia agar melupakan dimensi keilmuan Islam dengan wahyunya yang berasal dari Tuhan yang satu. Padahal kita harus mengetahui hakekat kata ad dinul Islam merupakan nama yang dilahirkan oleh Tuhan dan terdapat dalam penjelasan wahyunya kemudian dibawa oleh Muhammad saw, yang kemudian dipahami dalam sebuah keilmuan atau ilmu pengetahuan maupun intuisi manusia bahwa kata Islam menunjuk kemauan manusia untuk damai dan menyatukan diri dalam satu agama yakni Islam itu sendiri. Oleh karena kata Islam tidak bisa di pisahkan dengan satu huruf dengan huruf yang lain, kalaupun ada pemisahan dalam beberapa kalimat dan kata atau huruf dalam bahasa Islam tetap memiliki arti yang satu walaupun sangat berbeda penyebutannya, misalnya kata Islam di pisahkan dengan kata i, maka huruf i bisa berarti imamun (imam), imamah (tertinggi), imarah, ismun (Islam), islah (damai), ism (paham). Kemudian kalau huruf s dipisahkan dengan kata Islam maka akan menjadi kata salam (selamat), syari’ah (hukum al Qur’an) dan Isa (nama Nabi Isa as). Begitu juga dengan huruf l yang mengandung dalam kalimat laillahaillah (tiada Tuha selain Allah), la hauwala wala kuata’illah billah (tiada kekuasaan dan kekuatan yang lain selain miliki Allah), lahab (api yang panas atau api nyala sebagai hkuman orang kafir atau diluar Islam), la’nattullah ( Allah mengutuk kemungkaran), lay’ (malam hari), lay’latul Qadr (malam kemuliaan), lay’latul al Mi’raj (malam kenaikan), Kemudian huruf a juga mengandung arti yang satu untuk menuju Islam yakni huruf a berasal dari kata adzan (seruan yang menandakan waktu ibadah sholat), al ahkam al hukm (hukum Allah), ahad (Tuhan yang Esa/satu), al hadist (perkataan Rasul dan Nabi), adzkar /al zikr (harapan, berdoa, dan zikr kepada Tuhan), ahlu l bayts’ (Ahlul Bait), ahlu r ra’yi (orang-orang dimintai pendapat tentang Islam), ahwath (tindakan pencegahan), ahzab (golongan, kelompok, koalisi), akbar (besar) dan lain sebagainya. Kemudian huruf terakhir dari kalimat dan bahasa Islam adalah m. Huruf m memiliki arti banyak yang mencerminkan keislaman dan keilmuan yaitu m berarti mi’raj (tangga naik mengahadap Tuhan), maidah (hidangan), magrib (waktu dan tempat terbenamnya matahari terbenam), mahr (mahar/maskawin sebagai syarat menikah), maharib (bagian rumah yang sangat dihormati/ ka’bah), mahram (sesuatu yang terlarang), makkah (kota suci umat manusia), malaik (kemampuan, kekuatan, tiang dan sendi), ma’sya Allah (kehendak Allah), masjid (tempat bersujud).

Sekali lagi Tuhan menciptakan manusia dan agama Islam bukanlah untuk memisahkan diri dan mengklaim diri paling benar, akan tetapi Tuhan melahirkan Islam bukanlah dalam bahasa agama yang dipahami oleh semua masyarakat yunani—eropa, namun Islam diturunkan untuk menyatukan, mendamaikan, menghaarmoniskan dan membela kebenaran akal pikiran manusia dalam konteks beribadah kepada Tuhan. kekuatan Islam berada pada semua komponen arti dalam bahasa Islam itu sendiri yang tidak akan pernah bisa dirubah dalam bentuk kalimat dan bahasa apaun itu. Semua arti bahasa dan kalimat dalam al Qur’an sudah terkandung dalam kalimat dan ahasa Islam. maka oleh karena itu keuatan manusia berada dalam satu dimensi yaitu dimensi keislaman. Jadi epistemologi dan corak berfikir manusia sudah tercantum dalam bahasa Islam sebagai kekuatan ilmu pengetahuan. Kemudian Islam menjadi sebuah peradaban yang berkembang dengan struktur konseptual yang kokoh dan universal. Dari berbagai perkembangan zaman dan pergulatan ilmu pengetahuan, Islam telah menunjukan bukti sebagai prinsipnya yaitu Islam sebagai agama seluruh umat manusia. Prinsip-prinsip inilah yang telah diturunkan sebagai dasar epistemologi Islam sebagai titik tolak perkembangan manusia dan keilmuannya. Artinya Islam diturunkan dengan berbagai ritus epistemologi hukum, ekonomi, ilmu pengetahuan, sosial, kebudayaan dan politik beserta konsep vital tentang Tuhan, sekaligus sebagai din dan penjelasan alam semesta maupun peradaban (madaniyyah al Islam al siyasah). Maka disinilah letak konsepsi yang sebenarnya pandangan hidup dalam Islam baik yang dijelaskan dalam epistemologinya maupun secara keseluruhan bangunan konsep peradaban Islam itu sendiri. Maka dengan demikian struktur fundamental dalam teori word view (pandangan hidup) dengan konseptual yang sangat universal dengan tujuan pembentukan masyarakat Islam yang damai, berkemajuan dan memiliki pemahamna peradaban yang profetis substantif, idealistis dan transformatif. Sebenarnya untuk memahami struktur fundamental word view dalam alur fikir teori syafrilisme adalah memandang secara keseluruhan dari segala dimensi apapun dan mensikapi apa yang terkandung dan bersumber dari beberapa faktor kehidupan yang bersifat dominan seperti alam semesta, filsafat, ilmu pengetahuan, keyakinan, tata nilai masyarakat dan lain sebagainya, semua itu harus berdasarkan al Qur’an. Kemudian kalau misalnya pandangan hidup didasarkan pada kebudayaan, sosiologis pengetahuan, non spiritual, maka pandangan tersebut terbatas dan memiliki spektrum yang tetap memiliki pertentangan dan perbedaan makna. Ada yang terbatas pada dunia fisik, kekinian, dan ada juga yang menjangkau metafisik diluar batas kehidupan. Artinya teori word view ini penulis ingin memberikan pemahaman tentang sebuah hakekat agama, peradaban atau kepercayaan antara Islam dan non Islam. Mengapa word view ini dikonstruksi pada sesuatu yang satu (Islam), oleh karena word view sering diartikan sesuatu yang berpisah dengan urusan agama. Maka para cendikiawan muslim meletakan word view sebagai sarana untuk menyatukan urusan keduniaan denga urusan keakheratan melalui bahasa Islam. Menurut Prof. Dr. Din Syamsudin MA, dalam bukunya yang berjudul Pemikiran Muhammadiyah Respon Terhadap Liberalisasi Pemikiran yang mengatakan bahwa Pandangan hidup adalah suatu konsep yang dapat digunakan untuk menggambarkan cara pandang manusia yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan yang berimplikasi pada kegiatan kehidupan dunia (syahadah), sebab syahadah adalah pernyataan moral manusia untuk melaksanakan kebenaran. Selain itu juga word view memiliki kepercayaan (keyakinan) yang kuat berdasarkan aqidah, ibadah, ilmu dan akal. Oleh karena setiap muslim pada hakekatnya merupakan wujud Tuhan yang harus mematuhi apa yang di perintahkkan Tuhan. Bagi umat Islam pandangan dunia dalam persefektif Islam juga bisa bersifat dan mengalami akumulasi dari keyaknan asasi yang terbentuk dalam pikiran dan hati setiap muslim, yang memberi gambaran kusus tentang wujud dan apa yang terdapat di balik itu. Pandangan slam berusaha membicarakan yang tampak didepan mata hati kita dan menjelaskan hakekat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total. (Prof. Dr. Din Syamsudin MA dkk, Pemikiran Muhammadiyah Respon Terhadap Liberalisasi Pemikiran, 2005 : 17, penerbit Muhammadiyah University Press Surakarta).

Kemudian bagaimana sebenarnya pandangan hidup itu membentuk diri manusia dalam konteks Islam. Memang bagi penulis ini adalah sesuatu yang tidak mudah untuk menjelaskan terutama dalam konteks epistemologisnya. Untuk memberikan dasar berfikir kepada umat Islam dalam melakukan gerakan pemurnian Islam secara profetis, substansi, idealistis dan transformatif. Kalau berbicara bagaimana epistemologi pandangan hidup umat Islam khususnya, bahwa penulis terlebih dahulu menjelaskan bahwa pandangan hidup Islam memiliki daerah sangat luas yang mengandung kajian keduniaan dan keakheratan, sebagaimana penulis jelaskan diatas. Akan tetapi penulis akan berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan pengertian pandangan hidup baik secara umum yang memiliki perbedaan dengan pandangan Barat dan mencoba menjelaskan tentang proses dan karakter pandangan hidup Islam itu sendiri sebagai penjelasan yang mewakili paradigma epistemologis Islam itu sendiri yang dimaknai dalam ketauhidan dan tafsir kitab suci ketuhanan dengan tujuan merekonstruksi nilai kemanusiaan dan membangun strategi masyarakat profetis, substansi, idealistis dan tranformatif.

Pandangan Hidup Islam terbentuk secara profetis yang terungkap berdasarkan dimensi historis dan teologis yang diganbarkan dalam perkembangannya melalui tradisi ntelektual dalam Islam. Berdasarkan fakta sejarah bahwa perkembangan Islam dari berbagai periode tidaklah terlepas pada dimensi sosiologisnya yang awalnya mengalami proses akumulasi intelektual dalam penafsiran kemudian menunjukkan.pertumbuhan yang menjadi dewasa dan matang untuk melakukan rekonstruksi epistemologis Islam melalui interpretasi dan penafsiran wahyu secara permanen dan terbuka. Maka oleh, karena itu untuk melacak epistemologis Islam dan dasar keilmuannya harus merujuk pada periode desiminasi ayat-ayat al Qur’an oleh Nabi dan pemahaman umat Islam saat ini. Menurut Prof. Alparslan mengatakan bahwa kelahiran pandangan Islam dan karakternya dibagi tiga menjadi periode penting adalah sebagai berikut : Pertama, Lahirnya pandangan Hidup Islam; Kelahiran pandangan hidup Islam digambarkan dari kronnologis turunnya wahyu dan penjelasan Nabi tentang wahyu. Oleh karena pandangan hidup Islam dapat dijelaskan melalui peranan Nabi yang menyampaikan dan menjelaskan wahyu. Disinilah periode makkah sangat penting sebagai poros kelahiran pandangan hidup Islam. Karena banyaknya surat al Qur’an yang diturunkan dimakkah yakni 85 surat dari 113. Maka Makkah dibagi menjadi dua periode yaitu periode awal dan periode akhir. Pada periode awal, wahyu diturunkan mengandung konsep-konsep tentang Tuhan dan keimanan kepada Tuhan, hari kebangkitan, hari pembalasan baik dan buruk, penciptaan, akherat, surga, dan neraka, yang kesemuanya itu merupakan elemen penting dalam pandangan hidup Islam. Kemudian periode akhir, wahyu memperkenalkan konsep yang lebih luas dan abstrak seperti konsep ilmi, nubuwwah, din, iqra, ibadah dan lain sebagainya. Yang sangat perlu diingat disini adalah kandungan wahyu dan penjelasan Nabi serta partisipasi masyarakat muslm, dalam memahami wahyu itu telah membentuk struktur konsep tentang dunia baru yang merupakan elemen penting dalam pandangan hidup Islam. Karena struktur konsep tentang dunia di pegang oleh masyarakat jahiliyah saat itu, maka Islam datang menganti struktur konsep masyarakat terdahulu. Sedangkan pada periode madinah wahyu diturunkan lebih banyak mengandung tema-tema umum yang merupakan penyempurnaan ritual peribadatan, rukun Islam, sistem hukum yang mengatur hubungan individu, keluarga dan masyarakat; rwemasuk hukum-hukum tentang jihad, pernikahan, waris, hubungan muslim dengan agama lainnya. Periode Makkah dan Madinah nerupakan penekanan pada prinsip dasar manusia untuk kembali pada akidah atau teologi yangbersifat metafisi yang intinya dalah konsep Tuhan. Dengan metafisis itulah manusia harus mengembangkan kedalam konsep sosial yang lebih bersifat profetis, substantif dan transformatif. Jadi sebenarnya kelahiran konsep pandangan hidup Islam dari penjelasan diatas adalah pada periode Makkah, sedangkan konfigurasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang berperan penting dalam membentuk konsep keilmuan Islam terjadi pada periode Madinah. Kedua; Timbul kesadaran bahwa wahyu yang dibaca dan dijelaskan oleh Nabi itu telah mengandung struktur fundamental aeperti struktur tentang kehidupan, manusia, etika, dan ilmu pengetahuan yang kesemuanya itu adalah benih-benih intelektualisme Islam. Dasar analisis epistemologi Islam sebenarnya mengunakan ilmi, iman, usul, kalam, nazar, wujud, tafsir, ta’wil, fiqih, khalq, halal, haram, iradah dan lain lain yang telah memadai untuk dianggap kerangka awal keilmuan Islam. yang juga berarti kelahiran epistemologis yang mendasar pada pandangan hidup Islam. Pada periode ini sangat menunjukkan wujud struktur ilmu pengetahuan dalam pikiran umat Islam yang bersrti menandakan struktur ilmu dalam pandangan hidup Islam. Ketiga; Lahirnya tradisi keilmuan Islam merupakan konsekwensi logis dari adanya struktur pengetahuan dalam pandangan hidup Islam. Karena tradisi memerlukan adanya keterlibatan masyarakat. Islam sebagai sebuah pandangan hidup manusia dan cara berfikir yang sangat sistematis memiliki karakteristik tersendiri dan mempunyai elemen yang menjadi asas penyokongnya antara satu pandangan dengan pandangan hidup lainnya. Menurut Thomas yang dikutif oleh Din Syamsudin dkk, bahwa pandangan hidup akan ditentukan oleh individu terhadap enam bidang permasalahan yaitu sebagai berikut : 1. Tuhan; 2. Ilmu; 3. Realitas; 4. Diri; 5. Etika; 6. Masyarakat. Sementara Syhaykh Atif al Zayn mengatakan bahwa karakteristik padangan hidup Islam adalah 1. Wahyu Tuhan; 2. Islam; 3. Spiritualitas dan Material;. Begitu juga dengan Al Attas menjelaskan tentang elemen pandangan hidup Islam adalah : 1. Ketuhanan; 2. Wahyu; 3. Penciptaan; 4. Hakekat Kejiwaan Manusia; 5. Ilmu; 6. Agama; 7. Kebebasan; 8. Nilai dan kebajikan; 9. Kebahagiaan. Kalau menurut pandangan Muhammadiyah yang diwakili oleh Prof. Dr. HM. Din Syamsudin,. MA yang dielaborasi dari pemikirannya dengan Sayyid Qutub mengatakan bahwa pandangan hidup Islam terdiri dari beberapa hal yaitu sebagai berikut : 1. bersumber dari Tuhan; 2. Konstan; 3. Komprehensif; 4. Seimbang; 5. Positif; 6. Pragmatis; 7. Keesaan; 8. Berfikir tauhid; 9. Ijtihad; 10. Amaliah; 11. Amar Ma’ruf; 12. Kultural; 13. Gerakan Pemurnian; (Prof. Dr. Din Syamsudin MA dkk, Pemikiran Muhammadiyah Respon Terhadap Liberalisasi Pemikiran, 2005 : 22-26, penerbit Muhammadiyah University Press Surakarta).

Bagi penulis pandangan hidup Islam lebih mengarah pada pembentukan karakter dan elemen kepribadian pada manusia yang berdasarkan pada kondisi teologis, historis, dan sosiologis yang saling berkaitan satu sama lain dalam mencapai kesepakatan dan komonitas Islam yang sebenar-benarnya, adalah sebagai berikut ; 1. Tauhid; 2. Kalam; 3. Iman; 4. Iqra; 5. Ilmu; 6. Islam; 7. Majelis; 8. Harakah; 9. Kedamaian; 10. Kebahagiaan; 11. Al Hukm al Syariah fil Islam (hukum); 12. Muamalah; 13. Al Siyasah; 14. Baetul Arqam (tempat pembinaan generasi Islam) dan 15. Ihsan. Pandangan hidup Islam bagi penulis merupakan sebuah reason epistemologis dalam mengembangkan keorisinalan Islam yang telah teruji oleh zaman yang tak pernah lekang oleh kondisi apapun walaupun banyak yang melakukan dekonstruksi pada wilayah al Qur’an dan as Sunnah. Pandangan hidup Islam yang dikemukan diatas merupakan masih sebuah harapan, apakah para pemikir Islam mampu menyatukan diri dalam persoalan epistemologis dan sepakat untuk rekonstruksi nalar teologis dengan tujuan melakukan penafsiran sesuai dengan isyarat al Qur’an dan As Sunnah sebagai bagian terpenting untuk menelusuri dan mencetak ulang pemahaman keislamannya sehingga umat Islam tidak terjaebak pada proses akumulasi oleh sistem struktur keilmuan di luar doktrin al Qur’an dan As Sunnah. Penafsiran kitab suci Tuhan tidak bisa di lepas dari kebutuhan-kebutuhan umat Islam dari zaman ke zaman, dalam menjawab berbagai problem kemasyarakatan yang mengitari umat Islam itu sendiri. Kalau kita merefleksikan kembali (rilis/mereview) tentang proses penafsiran terhadap al Qur’an pada zaman klasik tentu berorientasi pada pembentukan nalar epistemologis sebagai dasar pemikiran keislaman. Kemudian bagaimana dengan zaman kontemporer seperti hari ini, persoalan umat Islam sangatlah kompleks pada tataran kemasyarakatan dan kebudayaan yang melingkupi umat Islam akibat dari kemajuan sains dan teknologi yang mengharuskan penafsiran pada berbagai persoalan. maka oleh karena itu, setelah penulis mengungkapkan berbagai dasar-dasar epistemologis berfikir dan pandangan hidup Umat Islam. Maka tidaklah khawatir kita kalau melakukan sebuah rekonstruksi nalar teologis Islam sebagai bentuk perlawanan terhadap kejumudan agar Islam selalu akomodatif terhadap perkembangan zaman.

Di zaman kontemporer seperti ini, bagaimana seharusnya Islam bisa hidup bersama dalam sebuah komonitas yang ditransformasikan dalam khasanah Islam secara langsung sangat cepat melalui proses reformasi dan modernisasi, serta tetap otentik sebagai muslim yang menegakar pada tradisi keilmuan Islamnya. Pilihan otentik dan modern itu bukanlah sesuatu hal yang mudah. Umat Islam harus bisa menjadi pilihan dan untuk dipilih sebagai solusi dari setiap perkembangan modern, ynat Uska tidak bisa berkembang ketika mengalami kemunduruan dengan memilih dan mentradisikan sesuatu yang tidak rasional, empirisme maupun metafisik. Kalau umat Islam masih berada pada penolakan terhadap moderniras dan mengambil tradisonal maka Islam ini akan menjadi terisolir dan eksklusif dari proses perubahan yang berlangsung cepat. Sekarang ini agenda penting umat Islam sekarang ini memberikan kesejahteraan dan keadilan kepada umat dengan gerakan zakatnya demi kehidupan yang penuh dengan ilmu pengetahuan Islam sehingga persoalan rakyat dan masyarakat dapat terselesaikan dengan baik. Menurut M. Muhsin Jamil,. MA mengatakan bahwa ada dua persoalan didalam masyarakat yang dihadapi yaitu pertama; sikap dan cara pandang masyarakat terhadap teks al Qur’an. Kedua; cara baca (sistem nalar) yang digunakan masyarakat terhadap pembacaan teks sebagai bagian dari tradisi yang dimiliki. (M. Muhsin Jamil,. MA; Membongkar Mitos Menegakan Nalar; pergulatan Islam Liberal dengan Islam Literal; 2005 : 202, penerbit pustaka pelajar kerjasama dengan ILHAM; semarang). Memang harus diakui bahwa persoalan yang sangat paling mendasar bagi umat Islam dan manusia pada umumnya saat ini dalam konteks beragama maupun bermasyarakat adalah memiliki kelemahan dalammemberikan argumentatif yang ilmiah dan cara penyikapan tradisi masyarakat. Selain itu juga kultur berfikir baru dan progresif harus dikembangkan, tentu dengan berbagai macam corak dan ragam keilmuan serta memiliki bekal kemampuan berfikir keislamannya, sehingga apapun corak berfikir yang baru baik dalam karya orang lain maupun karya kita sendiri harus diseleksi dengan lebih baik agar proses penyuguhan pemikiran keislaman terkombinasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat. Oleh karena sekarang yang dibutuhkan oleh umat Islam bukanlah hanya pada tatatran memberikan komentar terhadap dinamika keilmuan akan tetapi bagaimna pemikir Islam modern mampu menyatukan antara falsafah keilmuan yang bersifat umum dan falsafah keilmuan Islam, agar rekonstruksi keilmuan tetap mecerminkan nilai keislaman sebagai bagian dari proses penciptaan karakter masyarakat yang baik.

Sesungguhnya kita harus bertanya sekarang ini mengapa banyak keilmuan yang hanya bersifat komentator dari abad pertengahan sapai abad sekarang ini, tapi tidak bisa melahirkan satu gagasan yang bisa membuka cara berfikir umat Islam ?. Sementara perubahan paradigma berfikir secara terus menerus mengalami proses kodifikasi bersama konsep, metodologi, pendekatan, kajian historitas dan diskursus teori-teori yang berbeda. Dari paradigma dan perubahan seperti ini Fazlur Rahman yang dikutif oleh Prof. Dr. M. Amin Abdullah mengatakan bahwa : dengan kegemaran dan kebiasaan menulis komentar-komentar terhadap karya-karya yang telah ada semata-semata untuk menulis komentar dan tidak adanya sumbangan apapun pada pemikiran orisinal, dunia Islam telah menyaksikan munculnya sarjana dengan tipe khusus takni sangat bersifat ensiklopedik dalam hal cakupan lapangan ilmu pengetahuan yang dipelajarinya, namun mereka sendiri tidak pernah menyumbangkan gagasan dan pemikiran baru. Sarjana yang hanya bertindak dan gemar sebagai komentator, ini harus di bedakan di satu sisi dengan para pemikir yang komprehensif seperti pigur Ibnu Sina yang telah memadukan penemuan di berbagai lapangan pengetahuan menjadi satu ajaran dan pandangan dunia yang koheren dan terpadu, dan pada sisi yang lain dengan ilmuwan modern yang bertipe sangat spesialis mempokuskan pada bidang garap yang sempit tetapi analisa sangat mendalam. Para sarjana yang hidup pada paroh akhir abad pertengahan, mereka belajar seluruh bidang pengetahuan yang ada pada masa tersebut. tetapi mereka hanya mempelajari lewat komentator-komentator dan pada gilirannya mereka juga menjadi komentator yang kemudian mengumpulkan karya-karya dari hasil komentator yang ada.........Ada satu asumsi secara implisit dapat ditarik pada realitas tersebut, yaitu kegiatan intelektual tidak dipandang sebagai suatu usaha yang secara aktif di tunjukkan untuk pencarian dan penemuan baru, sebagai suatu dorongan kreatif untuk menggapai pikiran yang belum diketahui seperti yang kita jumpai saat sekarang ini, tetapi lebih dipandang sebagai penyerapan pengetahua yang ada secara pasif. (Prof. M. Amin Abdullah Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan integratif dan Interkonektif; 2006 : 28 Pustaka Pelajar Yogyakarta).

Dari komentar Rahman dalam bukunya M. Amin Abdullah yang dikutipnya, bahwa Rahman maupun M. Amin Abdullah menginginkan sebuah khsanah baru yang memiliki pondasi keilmuan yang kuat tanpa harus menjadi juri pemikiran dan logika yang hanya mendasarkan argumennya pada komentator-komentator ahli tanpa bisa melhairkan sebuah gagasan baru. Gagasan teori Syafrilisme merupakan bagian dari metodologi berfikir keislaman dan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar dan tradisi dialog serta silaturrahmi sebagai pondasi awal dalam memilihara kekuatan intern umat Islam. Harapannya semua sarjana yang lahir baik dari tingkat keilmuan Islam yang lahir dari pendidikan umum dengan materi kebarat-baratan maupun sarjana yang lahir dari perguruan yinggi Islam seperti PTN, PTS, PTM, dan lain sebagainya harus memiliki mentalitas dan cara berfikir yang cerdas, obyektif, jernih, logis, wajar, dan kritis. Rasa itulah yang dimiliki ketika mengemban nilai kesarjanaan yang meiliki tangungjawab dalam membangun ilmu keislaman dan peran penting seorang kesarjanaan adalah mendahulukan rasa kritis dengan proses menambah nilai fundamental dan memperkuat identitas lahiriyyah keislaman dalam kehidupannya yang beragam corak dan bentuk. Nilai fundamental dan identitas lahiriyyah tersebut dapatlah dijadikan sebua titik tolak berfikir dalam mengembangkan keilmuan dan filsafat ilmu-ilmu keislaman dengan mengolah pola pikir yang positif sehingga menjadi kritis dan cerdas, ideal, indah seperti apa yang terkandung dalam rumus normativitas doktrin dan dogma keagamaan. Dalam era pluralitas—global di internal pemikiran keislaman dalam ranah umat Islam maupun yang berhubungan dengan doktrin agama lainnya, pemikiran keislaman dengan pondasi dasar-dasar keilmuan dalam Islam secara normativitas harus bisa melakukan penafsiran dan rekonstruksi ilmuan keislaman untuk mengantisipasi sikap panatisme buta dan antagonisme kelompok. Oleh karena kita melihat sekarang ini berbaai persialan yang dipertentangkan atas sikap dan inisiatif kepentingan kelompok maupun personal baik dalam tataran sosial kemanusiaan, politik, ekonomi dan kebudayaan semakin maju semakin ditentang dan dikritik secara tajam yang tidak bisa terbendung lagi sehingga memunculkan sikap fanatisme dan antagonisme, dan dengan mudah terjadi kehancuran bersama-sama. Sikap panatisme dan antagonisme ini sering ditunjukkan oleh umat kristiani dan yahudi dalam sebuah kekuasaan negara yang diterapkan melalui kebijakannya, katakan saja Amerika Serikat yang nota bene motor kebijakan Yahudi dan kristiani yang bersikap antipati terhadap perkembangan Islam. Perkembangan literatur dan historitas pemikiran Islam sudah dihanguskan oleh AS bersama sekutunya pada saat perang dengan Irak dan Afganistan, semua pemikir Islam masa depan di bunuh oleh tentara Amerika Serikat, perang tersebut dilakukan hanya dengan beberpa alasan politis dan ideologis yaitu menginginkan umat Yahudi dan Kristiani menguasai dunia dan menghancurkan pusat peradaban sejarah Islam di timur tengah beserta menguasai sumber daya alam yang dimiliki oleh timur tengah yakni minyak buminya. Kalau dikatakan hal seperti ini saling menghargai dan berdemokrasi, maka sungguh sulit bagi penulis mengatakan bahwa mereka beragama, justru sebaliknya mereka hanya bersipat antagonisme dunia dan panatis buta terhadap persoalan agama. Selain itu juga, banyak hal yang harus direkonstruksi dalam lapangan ilmu pengetahuan dalam persfektif Islam, oleh karena fenomena antagonisme dan panatisme diatas sebagaimana penulis sebutkan bahwa terjadi sebuah degradasi pemikiran dan tidak responsif terhadap gerakan bahasa keilmuan yang selalu terrekonstruksi dalam khasanah perdebatan, misalnya yanani—eropa mengajukan sebuah metodologi pemikiran keilmuan melalui metode hermeneutika. Metodologi hermeneutika ini bagi penulis merupakan bentuk fanatisme dan mencoba mempengaruhi otoritas keilmuan Islam maupun dekonstruksi bahasa al Qur’an dengan tujuan mengajak semua orang masuk Kristen dan Yahudi. Metodologi pemikiran hermeneutika ini pun sudah masuk dalam nadi pendidikan tinggi Islam tanpa melakukan penyaringan atau filterisasi terhadap paradigma keilmuannya sehingga mengakibatkan perubahan paradigma pendidikan Islam terutama yang dialami oleh STAIN, IAIN, dan UIN. Padahal falsafah keislaman tidak kurang, hanya saja para pemikir masa depan Islam tidak berusaha mencari metodologi dan epistemologi berfikir dalam kitab suci al Qur’an. Dari berbagai keilmian Islam yang teridentifikasi banyak hal yang harus di kontruksikan sebagai sebuah paradigma baru dalam keilmuan Islam yakni mengislamkan ilmu pengetahuan dan membumikan visi pengetahuan Islam yang terbuka dan sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia. Ilmu pengtahuan dan keilmuan umum dan khusus dalam maupun seluruh cabang ilmu tidaklah bertentangan dengan al Qur’an dan sunnah, justru seluruh perkembangan ilu pengetahuan sudah dijelaskan sebelumnya dalam doktrin al Qur’an.
Epistemologi dan metodologi berfikir sekarang ini hanya beberapa porsentase berbasis pada doktrin al Qur’an dan as sunnah, mereka para sarjana muslim dan pemikir muda Islam yang nota bene kritis dan progrsif tidak lagi berada pada habitat berfikir dan alur penjelasan kitab suci, mereka hanya bisa dan suka sekali berfikir di luar basis keislaman, sehingga domensi al Qyr’an terlupakan dalam kehidupan mereka yang bersamaan dengan masuknya cabang ilmu pengetahuan yang berorientasi pada keilumuan barat. Menurut prof. Dr. M. Amin Abdullah mengatakan bahwa kefilsafatan dan keilmuan Islam sudah banyak di pengaruhi oleh berbagai paradigma kebarat-baratan yang sangat banyak implikasinya pada pembangunan konsep dan paradigma baru yang ditawarkan, baik berbicara tentang historitas maupun ruang lingkup tekstual dan kontekstual. Akan tetapi dari metodologi berfikir M. Amin Abdullah mengisyaratkan ada sebuah jalan tengah keilmuan yang bisa mengkodivikasi antara keilmuan Islam dengan keilmuan barat, sehingga ada keseimbangan dalam proses ilmu pengetahuan. Selain itu juga M. Amin Abdullah mengkategorikan dalam tiga pola pikir keagamaan Islam yang perlu dicermati bersama, didialogkan dan di kembangkan lebih lanjut dikemudian hari sebagai akibat langsung di perkenalkannya filsafat ilmu-ilmu keislaman dalam khasanah intelektual muslim era mollenium ketiga ini, adalah sebagai berikut :

1. Pola pemikiran keagamaan Islam yang bersifat absolutely absolute.
Pola pemikiran model ini memandang bahwa ajaran agama seluruhnya bersifat tauqify. unsur wahyu lebih dikedepankan daripada akal. Bahkan hal-hal yang curigai sebagai produk akal di sebut sebagai bid’ah dan wa’kullu bid’atin zalalah, wakullu zalatin fil an nar (seluruh barang baru dikatakan mengada-ada adalah bid’ah), Dan setiap perbuatan yang mengada-ada dalam agama adalah menyesatkan. Sedangkan hal0hal yang menyesatkan selalu membawa kepada neraka. M. Amin Abdullah mengkategorikan model pemikiran seperti ini sangat rigit kakau dan tidak engenal kompromi. Cara manusia yang dikategorikan dalam pemikiran ini selalu menjauhkan diri dari campur tangan dan intervensi orang lain apalagi penganut agama lain. Pemikiran seperti ini melupakan historitas pemikiran keagamaan, pemikiran seperti ini juga cenderung melakukan pensakralan pemikiran keagamaan atau keislaman (taqdis al afkar al diniyyah) dan menimbulkan fanatisme buta dengan selalu menyerang iman orang lain dan kemudian dikatakan kafir, tidak luwes dalam berkomonikasi dan bergaul dengan sesamanya dengan menghindarkan diri dari prilaku sosial budaya serta tidak mau masuk dalam kajian sosiologis kemasyarakatan terhadap prilaku manusia. Sangat sulit untuk diajak tukar pikiran secara jernih dengan kesediaan untuk melakukan take and give. Ketika prilaku agamawan tidak boleh di kritik dan diteliti oleh pengamat sosial politik, ekonomi dan budaya, maka mereka sesungguhnya menyelamatkan dan meisahkan dengan doktrin agama dari pada pelakunay. Mereka menolak sama sekali bahwa prilaku agama adalah juga prilaku sosial dan budaya, hanya saja prilaku ini diinspirasi oleh teks-teks kitab suci dan naskah-naskah keagamaan yang terderivasi dari nash-nash kitab suci baik langsng maupun tidak.

2. Pola pemikiran keagamaan Islam yang bersifat absolutely relative
pemikiran keislaman yang bersifat seperti ini banyak yang dominan dan berlatar belakang ilmu sosial dan ilmu budaya. Mereka berlatar belakang ilmu ini berpendapat bahwa prilaku agama sangat sulit dibedakan dengan prilaku sosial maupun tradisi masyarakat. tradisi adalah agama dan agama adalah tradisi. Dengan demikian apa yang disebut dengan kebenaran dan lebih-lebih kebenaran agama tidak ada. Tidak mengenal dimensi agama yang bersifat rohani—isoterik dari agama-agama. Yang ada hanyalah dimensi lahiriyah—eksoterik daripada pemeluk agama-agama. Pandangan ilmu sosial era positivistik mewakili cara pandang terhadap realitas kehidupan beragama. Tidak perlu memeluk agama secara serius, karena agama hanyalah feomena sosial biasa, bahkan dikatakan sebagai sumber dan akar konflik sosial keagamaan dan kesukuan. Pola pikir ini muncul sebagai anti tesis corak pemikiran keagamaan dan pemikiran Islam pertama, hal ini sering di sebut sebagai idealistik.. Jika pola pemikiran Islamyang pertama dianggap rigit dan kaku, maka bagi mereka harus diajukan sebuah pemikiran yang longgar dan terbuka dan cendering sekuler (Istilah sosiologi agama adalah reduksionistik). Para protagonis pemikiran ini tidak dapat menikmati rasa hangatnya manusia beragama. Masyarakat barat sudah disinyalir tidak memiliki spiritualitas keagamaan, kurang lebih pandangan ini sama dengan pandangan pertama. Kesan seperti tiu tidaklah tepat, kekeliruan pemahaman tentang entitas agama seperti yang digambarkna oleh corak pemikiran keagamaan yang dipelopori oleh para ilmuwan sosial era positivistik ini telah banyak dikkritik dan diluruskan oleh para agamawan yang kentalnya spiritualitas keagamaan dan studi-studi agama-agama. M. Amin Abdullah melanjutkan pendapatnya bahwa tata nilai dan religiusiras dianggap sebagai fenomena sosial biasa dan bukannya sebagai hal yang bersifat fundamnetal dalam kehidupan manusia. Inner life dan spiritualitas tidak lagi bermakan, karena pandangan mereka terhadap hakekat manusia hanyalah sebagai kumpulan daging yang bergerak tak ubahnya seperti hewan. Manusia hidup berkelompok teta[i tidak jauh berbeda dengan kehidupan hewan yang berkelompok. Ketika muncul kekerasan antar umat beragama, hal itu dinggap biasa saja karena menurrut analisis ilmu sosial hal demikian wajar karena pertentangan dan kekerasan tersebut semata-mata karena perebutan sumber-sumber ekonomi. Hewan pun dapat berkelahi karena persaingan ekonomi. Naluri irrasionalitas manusia disamakan dengan hewan.

3. Pola pemikiran keagamaan Islam yang bersifat relatively absolutly
Pola pemikiran seperti ini dikategorikan oleh M. Amin Abdullah sebagai jawaban atas sikap pemikiran yang pertama dan kedua, bahwa umat Islam dan generasi pemiki Uslam sangat perlu terbuka dengan baru dan menciptakan gagasan baru pula berdasarkan doktrin Islam yakni al Qur’an dan sunnah serta tafsir-tafsur yang telah teruji oleh baerbagai pemikiran keislaman. Sehingga hal baru tersebut dapat menginisiasikan seluruh komponen dan kelompok baik etnik, ras, suku, agama, budaya, politik dan pemikiran itu sendiri. Dengan peikirayang ketuga ini, M. Amin Abdullah dalam bukunya berharap bahwa pencptaan identitas dan nilai religiusiras dan membangun hubungan yang toleran dan saling mengharai antar agama sangat di perlukan untuk membuka paradigma keilmuan Islam agar sesuai dengan perkembangan keilmuan, pengetahuan dan masyarakat dunia pada umumnya. Dan harus dingat pula bahwa dalam menjalankan ritualitas agama juga memiliki historitas keagamaan dan kemanusiaan sehingga manusia beragama tetap dalam pandangan yang positif. (Prof. M. Amin Abdullah Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan integratif dan Interkonektif; 2006 : 81-89 Pustaka Pelajar Yogyakarta).

Bagi penulis untuk meretas konflik pemikiran seperti itu diperlukan penafsiran makna al Qur’an sebagai bagian rekonstruksi paraidgma kehidupan. Ada beberapa hal yang harus diingat adalah sebagai berikut, pertama; pemikiran keilmuan Islam yang bersifat doktrin absolutive al Qur’an; pemikiran seperti ini, terletak pada kemauan untuk menempatkan kandungan makan dan keilmuan al Qur’an sebagai spirit dalam melakukan aktivitas penelitian dan kegiatan dakwah agar sesuai dengan perkembangan keilmuan, sehingga al Qur’an dalam konteks paradigma dan flatformnya bersifat absolutive, akan tetapi dalam hal penterjemahan dalam segala bidang seperti hukum, ekonomi, politik, budaya dan tradisi keilmuan memiliki pondasi dasar dalam melahirkan pemikiran dan ilmu pengetahuan. kedua, pemikiran keilmuan Islam yang bersifat analitik al Qur’an; pemikiran ini mengandung sikap dancorak berfikir yang baru dengan tujuan mampu menganalisis epistemologi dan metodologi dalam khasanah al Qur’an sebagai bagian dari pembacaan atau kesadaran Iqra terhadap fenomena peran dan fungsi sosial kemasyarakatan sebagai manivestasi keberimanan terhadap Tuhan yang Esa. ketiga, pemikiran keilmuan Islam yang bersifat positivistik al Qur’an; pemikiran ini mengandung arti banyak, terutama dalam konteks bangunan filsafat manusia yang masih dalam perdebatan antara falsafah Barat dan filsafat ilmu Islam, maka corak pemikiran seperti ini menawarkan paradigma yang berbeda yakni memberikan pandangan yang terbuka dan positif terhadap al Qur’an dan kitab agama yang lain (Injil, Zabur dan Taurat). Pandangan positif ini bukanlah melakukan pemaknaan secara negatif, akan tetapi dari hasil pembacaan atau kesadaran Iqra yang dilandasi dengan iman, pasti akan melahirkan dimensi positif tanpa terjebak pada indoktrinasi yang bersifat kompleks dan sempit. kempat, pemikiran keilmuan Islam yang bersifat etis profetis al Qur’an; Pemikiran ini lebih bersifat praksis yang diukur melalui penanaman akidah tauhid dan proses dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dan selalu bertitik tolak pada historitas kenabian yang memiliki etika yang sangat mengagumkan bagi umat manusia. Etis profetis al Qur’an ini maksudnya agar al Qur’an tersebut tidak terlupakan dalam dimensi nilai dan etika yang telah diwariskan dalam risalah kenabian, sehingga pemikiran etis profetis tersebut membumi dalam skala masyarakat dunia sebagai tujuan bersama dalam menciptakan masyarakat Islam.
Kelima, pemikiran keilmuan Islam yang bersifat Idealistik al Qur’an; konteks pemikiran ini, bukanlah terletak pada apa yang dikatakan oleh M. Amin Abdullah tentang cara dan sikap idealistik umat Islam yang bersifat absolutely absolute, akan tetapi idealistik al Qur’an bermaksud mengkombinasikan antara paradigma keilmuan umum yang bercorak positif dengan nilai al Qur’an baik dari segi bahasa maupun kalimat dari gagasan dan ide yang membentuk pemahaman sehingga paradigma nilai al Qur’an tidak mengalami perubahan dalam konteks bahasa dan kalimatnya. Kalau al Qur’an mengalami perubahan dalam paradigma nilai, kalimat dan bahasa maka akan berakibat pada dekonstruksi dan keluar dari keorisinalannya (keaslian). Agar tidak terjadi hal seperti itu dan pemahaman keislaman umat Islam tetap dalam keterbukaan pada jalur kebenaran al Qur’an, maka pemikiran dan pemahaman idealisasi nilai tafsiran al Qur’an tersebut, harus didudukan dalam satu majelis—dialog sehingga pemikiran dan gagasan itu tidak keluar dan mendapat kesepakatan bersama. Didudukan dalam satu majelis untuk dialog bukanlah sesuatu yang sulit, asalkan semua pemikir muslim dan generasi masa depan Islam komitmen dalam membangun Islam. Dialog tersebut bertujuan menyatukan persepsi, epistemologis, ideologis dan metodologi berfikir yang sesuai dengan perkembangan zaman dan umat Islam juga tidak ada yang melakukan claim of truth atas nama kelompok. kenam, pemikiran keilmuan Islam yang bersifat transformatif al Qur’an; sikap dan corak pemikiran ini, merupakan suatu hal yang dianggap penting. Oleh karena menentukan arah gerak keilmuan Islam dalam berbagai bidang sosial, budaya, politik dan ekonomi. Transformasi al Qur’an juga bisa melahirkan pengalaman dan gagasan baru sebaai anti tesa dari berbagai persoalan yang muncul dan model pemikiran ini juga berusaha membumikan visi iqra dan harakah keilmuan Islam dalam masyarakat dan kehidupan dunia umumnya.

Reformasi Kurikulum Epistemologis Islam Menyonsong Keislaman—Monokitabullah Dengan Struktur Kesadaran Tauhid, Iqra, Majelis, Harakah Fil Islam.

Prof. Dr. Omar Hasan Kasule pada seminar hari sabtu, tanggal 7 Februari 2009, di Universitas Muhammadiyah Makassar mengatakan bahwa reformasi epistemologi sangat penting untuk pendidikan yang bermutu, tentu garus dimulai dengan konsep dasar dan paradigma epistemologi dan metodologi penelitian Islam. Krisis terkini menyangkut pengetahuan dan pendidikan umat, yaitu rendahnya motivasi belajar, serta kurangnya rasa cinta dan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan. Solusi dari krisis pendidikan harus diawali dengan perbaikan epistemologis Islam dalam setiap disiplin ilmu pengetahuan. Perbaikan epistemologis didefinisikan sebagai identifikasi paradigma dasar dan metodologi penelitian Islam yang mencerminkan cara pandang dunia yang tidak tauhid. Hal ini diikuti pula dengan pembentukan kembali konsep dasar epistemologis dan paradigma dari berbagai disiplin ilmu dari paradigma tauhid yang bercirikan objektivitas, (istiqamat al ma’arifat) dan penyeragaman (alamiyyat al ma’arifat) dari ilmu pengetahuan. Kualitas penelitian akan tercapai setelah ada perbaikan epistemologis, yang dapat mendorong pengetahuan dalam bingkai tauhid dan membentuk cara pandang terhadap dunia dan nilai-nilai dalam diri kemanusiaan. (Dipresentasikan Professor Dr. Omar Hasan Kasule pada seminar yang diselenggarakan hari sabtu, tanggal 7 Februari 2009, di Universitas Muhammadiyah Makassar, omarkasule@yahoo.com WEB: http://omarkasule.tripod.com Dan Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ummi Ashim Azzahra dan Anisa Eka Trihastuti, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Semarang, cp : 081318681994, email : yusibnuyassin@yahoo.com ©Profesor Omar Hasan Kasule Sr,. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s copyrights).

Konsep Dasar Dan Hakikat Epistemologis Ilmu Pengetahuan Dalam Kesadaran Sharilisme

Kehadiran gagasan dan teori shafrilisme dengan empat titik tolak kesadarannya merupakan upaya pengintegrasian ilmu-imu keislaman dengan llmu kefilsafatan dalam ilmu pengetahuan kontemporer. Menyuguhkan analisis penulis mungkin tidak tepat oleh karena saya sendiri bukanlah sarjana yang lahir dari latar belakang pendidikan agama, sosiologi, atau teologi (perbandingan agama), ilmu bahasa arab dan ilmu pengetahuan murni. penulis lahir dari rahim Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Mataram yang tentunya memiliki basis ilmu yang relatif umum, akan tetapi seseorang menjadi sarjana bukanlah hanya sebatas ilmu yang dipelajari saja, namun mereka harus memiliki pengetahuan tentang dunia dan akherat secara keseluruhan sebagai bentuk pertangungjawaban sebagai sarjana muslim. Kebanyakan sekarang sarjana muslim yang nota bene lahir dari rahim perguruan tinggi Islam terkadang mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan keilmuannya. Sehingga apa yang terjadi pengkajian keilmuan dalam Islam ini terputus dan mmbuat Islam terdegradasi maupun kegamangan keilmuannya. Sesuai apa yang dikatakan oleh saudara Supianto ketua korkom IMM Universitas Muhammaditah Mataram dan ketua umum cabang IMM kota Mataram mengatakan bahwa menjadi seorang sarjana tidak mudah, bukan hanya kita mengajar dan guru di sekolah-sekolah, dosen-dosen, master-master. Akan tetapi bagaimana sarjana-sarjana yang lahir sebelumnya dari rahim Islam—muslim, maka harus menguasai segala cabang ilmu pengetahuan dan dituntut menjadi sarjana dan akademisi yang handal, Islami dan berahlak agar visi Islam dalam mencapai tujuan yakni masyarakat yang berpengetahuan dan berilmu amaliah dan amal ilmiah. Sehingga kesarjanaannya mempunyai laporan pertanggungjawaban kepada sesama manusia dan Tuhannya. Dari apa yang diungkapkan oleh Supianto memang menjadi sebuah realitas yang selama ini kita risaukan dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan yang selalu terjadi pergeseran paradigma dalam pemikiran metodologi dan epistemologi keislaman dan keilmuan. Problem para srajana kelulusan UIN, IAIN. STAIN tidak mampu melakukan ijtihadiyah keilmuan dalam khasanah pemikiran keislaman, kehadiran mereka menjadi seorang sarjana hanya menunjukan kebveradaannya saja dalam dunia keilmuan kontemporer yang tidak berupaya mengantikan corak epistemologi pemikiran ilmu keislaman dari konsep terdahulu. Namun, semoga apa yang penulis analisa dari paradigma perguruan tinggi Islam negeri tidak selalu seperti itu, tentu semua masyarakat dan dunia Islam menginginkan sarjana-sarjana muslim tidak terkontaminasi dengan pemikiran diluar rasionalisasi dan idealisasi nilai al Qur’an dalam konteks pengembangan keilmuan dan epistemologi pemikiran Islam. Jika seluruh konsepsi keilmuan Islam kontemporer ingin meninggalkan orientasi subjek-objek untuk memahami dan memaknai hakekat pengetahuan sebagai ganti paradigma diskursus epistemologis secara analitik tradisionalisme.
Apabia kita belajar dengan sungguh-sungguh, tentu semua keprihatinan dalam konsepsi epistemologi yang terkait dengan proses metodologi penelitian untuk memperjelas makna huruf, kalimat, suku kata, kosakata, ucapan kalimat, konsonan dan bahasa itu sendiri, sehingga konsepsi ilmu pengetahuan Islam dan keyakinan manusia terhadap nilai positivistik dan rasionalisasi al Qur’an sebagai manivestasi pencarian terhadap nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Untuk memudahkan pencarian akan eksistensi manusia dan ketuhanan, tentu harus di mulai dari pertanyaan mengenai apa, bagaimana, dan kemana ?. Pertanyaan ini mencoba konstruksikan ilmu pengetahuan sesuai dengan doktrin al Qur’an dengan proses penilaian terhadap akal pikiran manusia, apakah manusia mengetahui kebenaran dunia luar dan hakekat penciptaan oleh Tuhan dengan mengambil metodologi al Qur’an lewat kekuatan tauhidik, pembacaan, kolektivitas pencarian serta manivestasi pengetahuan yang sesuai dengan perkembangan kontemporer dan modernitas. Pencarian tersebut harus berangkat dari pondasi dasar epistemologi keilmuan Islam untuk memberikan keyakinan yang kuat. Maka oleh karena itu, penulis mencoba mereformasi pemahaman epistemologi keislaman agar sesuai dengan perkembangan falsafah ilmu pengetahuan. Pemaknaan dan memberikan pengertian maupun maksud terhadap epistemologi Islam adalah proses ilmu pengetahuan, yang mengidentifikasi dan mempelajari asal-usul (historitas), hakikat dan metode sebuah ilmu pengetahuan dengan tujuan mendapatkan keyakinan yang kuat tentang sebuah kebenaran. Epistemologi Islam dalam pandangan teori syafrilisme didasarkan pada paradigma tauhid (Iman, ilmu Islam), Iqra (pendidikan, pelajaran, analisis serta pembacaan realitas baik historitas maupun nomativitas, ilmu pengetahuan), Majelis (berdialog untuk mencapai tujuan, rasionalisasi) dan harakah fil Islam (transformasi, mengejawantahkan, damai) sebagai tolak ukur pengetahuan dengan menempatkan wahyu diatas segalanya. Tentu penempatan wahyu tidak dipahami secara absolutely absolute, absolutely relative dan relatively absolutly, sebagaimana apa yang dikatakan oleh M. Amin Abdullah. Artinya epistemologi ditempatkan pada doktrin absolut al Qur’an, idealisasi, transformasi, analitik, dan positivistik al Qur’an yang disesuaikan dengan keadaan waktu, tempat dan berbagai variasi problem. Dengan sumbernya wahyu (Al Qur’an dan As Sunnah), tentu harus melakukan observasi dan percobaan empiris atas problem pengetahuan kemanusiaan. Kita melihat berbagai fakta ilmu pengetahuan dengan perkembangan yang selalu menunjukan arogansi tanpa mempertimbangkan nilai kemanusiaan. Mengapa ?, oleh karena beragamnya ilmu pengetahuan baik sosial, budaya, ekonomi, dan politik maupun keagamaan selalu menunjukan bahwa apa yang mereka gagas adalah perjuangan dan kepentingan tanpa mempertimangkan akibatnya, misalnya saja metodologi hermenutika yang telah mempengaruhi berbagai konsepsi ilmu pengetahuan yang dinilai sangat arogansi dan menginginkan dekonstruksi terhadap nilai al Qur’an, dengan tujuan menghilangkan hubungan antara fakta historitas, etika prilaku dan doktrin keimanan dengan nilai kemanusiaan itu sendiri, sehingga agama dan fenomena sosial tidak memiliki realsi. Relasi keilmuan hermeneutika ini didukung oleh berbagai teori, katakan saja teori illuminasi, freemansory, orientalisme—zionisme, marxisme, objektivitas—subyektivitas, atau konstruksi teori barat selain yang penulis sebut telah mencoba memisahkan antara doktrin kitab suci ketuhanan dengan struktur muamalah maupun manusia itu sendiri, sehingga dunia mengakibat konflik paham dan terjadi benturan kebudayaan. Problem manusia sekarang ini dalam perkembangan konstruksi ilmu pengetahuan secara umum dan keilmuan Islam adalah upaya pengembalian habitat berfikir manusia sesuai dengan kebenaran dan tauhidik yang tidak akan dapat digoyahkan oleh prilaku dan hawa nafsu.

Berbagai pengistilahan dalam ilmu pengetahuan telah menyebara ke berbagai cabang keilmuan Islam dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Akan tetapi, pengistilahan tersebut juga telah dijelaskan oleh al Qur’an dalam berbagai bahasa, suku kata dan kalimat, dalam arti al Qur’an terlebih dahulu menjelaskannya sebagai pondasi dan hakekat mendasar perkembangan ilmu pengetahuan adalah tauhid, ilmy, iman, hikmat, Iqra, ra’ay, yaqiin, naba, haqq, dan majelis,al harakah fil Islam. Tingkatan ilmu pengetahuan adalah: ‘ilm al yaqeen, ‘ayn al yaqeen, dan haqq al yaqeen. Tingkat ilmu pengetahuan ini harus dihubungkan dengan iman, aql, qalbu, dan taqwa, dengan memberikan penegasan akan kebenaran al Qur’an sebagai dasar pengetahuan yang nyata dan sesuai dengan akal dan kalbu sehingga penempatan ilmu pengetahuan tidak mengalami benturan dalam konteks pemahaman. Untuk mengetahui eksistensi pengetahuan tentang Tuhan tentu kita harus menyadaru bahwa sesungguhnya Tuhan memiliki kekuasaan pengetahuan yang tidak terbatas dan tak terjangkau, sedangkan pengetahuan manusia sangat terbatas, oleh karena setiap orang memiliki pengetahuan serta polka pikir yang berbeda-beda. bentuk pengetahuan ini bersifat umum yang tidak bisa disembunyikan atau dimonopoli oleh sebagaian manusia atas manusia yang lain. Begitu juga dengan makhluk hidup lainnya yang memiliki mempunyai jumlah banyak dengan pengetahuan yang dimiliki sangat bervariasi. Ilmu pengetahuan ada yang bersifat abadi dan tidak, pengetahuan abadi terdapat dalam ilmu wahyu sebagai sumber segala jenis pengetahuan. Sedang pengetahuan yang tidak abadi adalah hasil observasi pemikiran baik empiris maupun bentuk teori yang bersifat relatif. Hakikat ilmu pengetahuan muncul dari keterbatasan pengamatan manusia dan interpretasi dari fenomena fisik yang tidak bisa mencari relasi nalar pengetahuan dengan al Qur’an (wahyu). Maka wahyu sebagai kesimpulan dari setiap pengamatan akal empirik dari alam semesta dan wahyu juga, seperti pa yang telah dijelaskan sebelumnya adalah sumber-sumber umum dari pengetahuan yang diterima oleh manusia. Dalam pengertian kuantitas adalah pengetahuan empirik (ilm tajriibi), Sedangkan dalam pengertian kualitas adalah ilmu yang diwahyukan (al ilmi al wahyu). Kedua pengertian diatas antara kuantitas da n kwalitas memiliki hubungan erat dan adanya ketergantungan antara wahyu, pengamatan empiris, dan kesimpulan. Tentu yang digunakan disini adalah akal yang dibutuhkan untuk memahami wahyu dan mencapai kesimpulan dari pengamatan empiris, wahyu melindungi akal dari kesalahan dan menyediakan informasi tentang suatu hal yang tidak kasat mata sedangkan akal tidak bisa memahami secara penuh dunia yang empiris tanpa bantuan wahyu (kalam). Ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia bisa dibaca dan dipelajari oleh semua manusia. Dalam arti kualifikasi ilmu pengetahuan yang bersifat aqli atau naqli. Bisa berupa pengetahuan yang terlihat (ilm al syahadat) dan pengetahuan yang tidak terlihat (ilm al ghaib). Yang tidak terlihat bersifat mutlak dan relative (ghaib mutlaq dan ghaib nisbi). Mempelajari ilmu pengetahuan merupakan kewajiban individu (fardu ‘ain), sedangkan yang lain adalah kewajiban kolektif (fard kifayah). Pengetahuan sangat berguna untuk menjadi dasar aplikasi atau transformasi nilai mendasar manusia. Ada banyak disiplin ilmu yang berbeda dan terus berubah seiring dengan pengembangan pemahaman dan ilmu pengetahuan yang dibatasi oleh metodologinya. Manusia memiliki keterbatasan pengetahuan sehingga al Qur’an dalam banyak ayat telah mengingatkan manusia bahwa pengetahuan mereka dalam semua lingkungan dan disiplin ilmu sangat terbatas. Akal manusia sangat mudah untuk diperdaya, begitu juga dengan kecerdasan manusia memiliki keterbatasan dalam menginterpretasikan persepsi-persepsi sensorik yang benar. Manusia tidak bisa mengetahui hal-hal yang kasat mata (ghaib), manusia berfungsi dalam waktu yang terbatas baik tentang masa lalu dan masa depan yang diyakini tidak dapat diketahui. Manusia menjalankan fungsi dalam kecepatan yang terbatas baik pada level konseptual maupun sensorik, Ide-ide dan gagasan tidak dapat dikeluarkan dan diproses jika mereka tidal memiliki peluang dan waktu. Manusia tidak mampu memvisualisasikan peristiwa-peristiwa yang sangat lambat atau terlalu cepat seperti revolusi bumi atau rotasi bumi tidak dapat dirasakan kejadiannya. Memori pengetahuan manusia sangat terbatas yang bisa saja hilang atau mungkin lenyap secara keseluruhan dan begitu juga sebaliknya, manusia akan menjadi sangat berpengetahuan jika mereka mempunyai memori yang sempurna. (Dipresentasikan Prof. Dr. Omar Hasan Kasule pada seminar yang diselenggarakan hari sabtu, tanggal 7 Februari 2009, di Unismuh Makassar, omarkasule@yahoo.com: http://omarkasule.tripod.com Dan Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ummi Ashim Azzahra dan Anisa Eka Trihastuti, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Semarang, email : yusibnuyassin@yahoo.com ©Profesor Omar Hasan Kasule Sr,. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s copyrights). Menurut M. Amin Abdullah mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah hasil kerja-kerja manusia yang bersifat kolektif antara pengalaman historis da empiris (panca indra dan alat bantunya) dan kekuatan abstraksi (akal pikiran merumuskan dan membahasakannya). (Prof. M. Amin Abdullah Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan integratif dan Interkonektif; 2006 : 160 Pustaka Pelajar Yogyakarta).

Kekuatan Ilmiah Ilmu Pengetahuan Dalam Al Quran

Kita pelajari dan membaca Al Qur'an yang kita baca selama ini merupakan fakta ilmiah dan memuat segala bentuk peristiwa baik yang telah terjadi maupun peristiwa masa depan yang dinyatakan dalam ayat-ayatnya. Al Qur’an hanya dapat di telusuri dengan kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang di kuasai. Al Qur'an adalah teologi umat Islam dalam memahami seluruh realitas perkembangan yang bersipat abstrak maupun nyata. Dalam sebuah ayat, Allah menyatakan dalam Al Qur'an "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an ? Kalau kiranya Al Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." (Al Qur’an Surat An Nisaa : 82)34 Setiap informasi yang dikandung Al Qur'an semakin mengungkapkan keajaiban dan kebenaran. Dalam salah satu ayat, Allah mengatakan keoada kita semua : "Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir." (QS Al Kahfi : 29)35 "Sekali-kali jangan (demikian) Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan, maka barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya." (Al Qur’an Surat Abasa : 11-12)36 Karakter Ilmu Pengetahuan dalam (Al Qur’an) tidak bersifat kekal. Dan diakui keilmiahannya di abad modern. Pandangan keilmiahan Ilmu Pengetahuan Islam bukan hanya satu pembahasan Ilmu Pengetahuan saja akan tetapi berbagai macam cabang Ilmu Pengetahuan. Kekuatan ilmiahnya ilmu keislaman berkolaborasi dengan ilmu induknya yaitu Al Qur’an. Seperti pada masa sekarang ini Al Qur’an bukan hanya menorehkan Ilmu tekstual saja akan tetapi menyumbangkan pemikiran dan kekuatan keilmiahannya pada abad 21 sekarang ini. Seperti teori–teori barat yang terbantahkan oleh Al Qur’an dan ilmuwan Islam. Dibawah ini akan mengemukakkan beberapa teori yang mengalami keruntuhan, Akibat keilmiahan mereka juga dengan tidak bisa membuktikan bahwa yang mereka gagas adalah kesalahan sejarah, sehingga kesalahan sejarah inilah mengakibatkan manusia mengalami perpecahan paham, tentu para pengusung teori ini harus bertanggungjawab terhadap nilai–nilai kemanusiaan itu sendiri. Berikut teori yang dianggap sudah tidak cocok dengan dunia keilmiahan ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut : Runtuhnya Teori Evolusi, Ilmu dasar biologi, Teori Bingung Alam Semesta (Big Bang), Teori Rasisme dan Kolonialisme, Teori Homo Florensis (Fakta yang Terungkap Seputar Mitos Evolusi), Runtuhnya Global Freemasonry Terbongkarnya Sisi Gelap Pemikiran Masonik.

Demikian juga, dari berbagai pendalaman kita sejauh ini sifat-sifat alam semesta yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan menunjukkan keberadaan dan kebenaran Allah dan Kitab Sucinya. Ilmu pengetahuan mengarahkan kita kepada kesimpulan bahwa alam semesta memiliki sang penciptanya yang sempurna dalam hal kekuasaan, kebijaksanaan dan pengetahuan. Agama Islamlah memperlihatkan jalan kita untuk mengenal Allah daan Kitab Sucinya. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan adalah metode untuk melihat dan menyelidiki lebih baik kenyataan-kenyataan yang disebut oleh Al Qur’an. Namun demikian, beberapa ilmuwan yang melangkah maju atas nama ilmu pengetahuan mengambil sudut pandang yang berbeda. Menurut mereka, penyelidikan ilmiah tidak menyiratkan ciptaan Allah. Mereka justru mengatakan bahwa ilmu pengetahuan mustahil menjangkau Allah melalui data ilmiah: bgiu juga dengan ilmu pengetahuan dan agama merupakan dua pandangan yang berbenturan. Sesungguhnya, pemahaman ilmu pengetahuan yang ateistik ini belum lama. sampai beberapa abad yang lalu, mereka berbenturan pandangan satu sama lain. Bahkan dengan pertentangan mereka menyimpulkaan bahwa ilmu pengetahuan diterima sebagai metode pembuktian keberadaan Allah dan Kitab Sucinya.. Pemahaman ilmu pengetahuan yang disebut ateistik ini baru berkembang sesudah filsafat materialis dan positivis melanda dunia ilmui pengetahuan pada abad ke-18 dan ke-19. Terutama setelah Charles Darwin merumuskan teori evolusi pada 1859, kalangan yang berpandangan materialistik mulai secara ideologis membela teori ini sebagai altertnatif terhadap agama. Teori evolusi berpendapat bahwa alam semesta tidak diciptakan oleh suatu pencipta, tetapi menjadi ada secara kebetulan. Akibatnya, agama disangka bertentangan tajam dengan ilmu pengetahuan. Sebagaimana yang kami nyatakan tadi, Jurang antara ilmu pengetahuan dan agama bersifat ideologis sepenuhnya. Beberapa ilmuwan serius mempercayai teori materialisme untuk membuktikan bahwa alam semesta tidak mempunyai pencipta dan mereka membuat berbagai teori dalam konteks ini. Teori evolusi adalah yang paling terkenal dan paling penting di antara berbagai teori itu. Di bidang astronomi pun jelas ada teori yang dikembangkan seperti teori keadaan-tetap atau teori kekacaubalauan. Akan tetapi, semua teori yang menolak penciptaan ini lumpuh oleh karena ilmu pengetahuan itu sendiri. Metode ilmiah menyatakan saling bergantung dengan keadaan jiwa dan ditentukan pada diri kita oleh suatu sebab tertentu (sebab musabab). Ini menunjukkan bahwa segala Metode ilmiah hakikatnya relatif dan subjektif. Dari sini jelaslah bahwa ilmu pengetahuan hanya melihat dan menilik; bukan menetapkan. Ia melukiskan fakta-fakta, objektif dan fenomena-fenomena atau sejarah kehidupan manusia. Karenanya, jelas apa yang dikatakan sebagai sesuatu yang benar (kebenaran ilmiah) sebenarnya hanya merupakan satu hal yang relatif dan mengandung arti yang sangat terbatas. Kalau demikian sifat dan ciri khas ilmu pengetahuan, maka dapat kita kuatkan dengan ayat-ayat Tuhan yang bersifat absolut, abadi dan pasti benar Relakah kita mengubah arti ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan perubahan atau teori ilmiah yang belum mapan itu ? Tidakkah hal ini memberikan kesempatan kepada musuh-musuh Al-Quran atau bahkan kepada kaum Muslim sendiri untuk meragukan kebenaran Al-Quran terutama kesalahan suatu teori ilmiah yang tadinya dibenarkan oleh Al-Quran ? Pertanyaan itu semua merupakan sesuatu yang sangat fundamental tentu manusia yang berilmu akan menemukan jawaban tersebut ketika landasan – landasan Idiologis di kedepankan.

Orang yang membaca buku terlebih dahulu melihat pengarangnya karena memang memiliki argumentasi ilmiahnya tentang pandangan buku tersebut. Hal ini bukan mengenai karya seni tulis saja: Akan tetapi tumpukan sampah yang berbagai bentuk dan model yang kemudian secara sistemaris tanpa terpikirkan bahwa seorang pemulung yang datang mengambilnya tentu memiliki tujuan idiologis dan ekonomis. Maka oleh sebab itu di mana pun terjadi sebuah masalah atau perkara menang dan kalah sudah pasti tersusun dengan sistematis yang diikat oleh ketentua – ketentuan yang ada. Jika suatu waktu seseorang menyatakan bahwa beton dan besi mentah membentuk emas secara kebetulan. Bukankah yang percaya akan hal ini dianggap joggang (Stress)? Sesungguhnya perumpamaan diatas menimpa teori evolusi suatu metode yang menyangkal keberadaan Allah. Menurut teori ini, molekul-molekul anorganik membentuk asam amino secara kebetulan ke asam protein secara kebetulan, dan akhirnya protein membentuk makhluk hidup secara kebetulan. Akan tetapi, kemungkinan pembentukan makhluk hidup secara kebetulan ini lebih kecil daripada kemungkinan pembentukan beton dan besi mentah membentuk emas secara kebetulan, karena sel manusia lebih rumit daripada segala struktur buatan manusia di dunia ini. Bagaimana mungkin keseimbangan di dunia ini secara kebetulan bila keserasian alam yang luar biasa ini bisa teramati dengan mata telanjang ? Pernyataan bahwa alam semesta semua unsurnya menyiratkan keberadaan Penciptanya yaiu Allah swt. Memang muncul dengan kehendaknya sendiri itu tidak masuk akal. Oleh karena itu, pada keseimbangan yang bisa dilihat di mana-mana dari tubuh kita sampai ujung-ujung terjauh alam semesta yang luasnya tak terbayangkan ini pasti ada pemiliknya. Jadi, siapakah Pencipta ini yang mentakdirkan segala sesuatu secara cermat dan menciptakan semuanya ?. Allah tidak seperti zat material hadir di alam semesta ini, karena Allah swt pasti sudah ada sebelum adanya alam semesta dan menciptakan alam semesta adalah Allah swt. Islam dan Al Qur’an menjelaskan sangat tuntas tentang sebuah identitas Tuhan yang keberadaannya kita temukan melalui akal kita sendiri. Melalui agama dan Al Qur’an yang diungkapkan kepada kita yaitu Allah swt. Meskipun banyak orang mempunyai kemampuan untuk memahami dan menjalani kehidupan tanpa menyadarikeberadaan Allah swt. Walaupun mereka memandang keindahan kekuasaan Allah yang mentakjubkan. Lalu, mereka memujinya panjang-lebar. Walau mereka tidak mengakui keberadaan Allah, satu-satunya pemilik keindahan-keindahan ini. Sesungguhnya seseorang harus tinggal di suatu ruang sejak kelahirannya pernak-pernik bukti di ruang itu saja sudah cukup bagi dia untuk menyadari keberadaan Allah. Tubuh manusia menyediakan begitu banyak bukti yang mungkin tidak terdapat di berjilid-jilid ensiklopedi. Bahkan dengan berpikir beberapa menit saja mengenai itu semua sudah memadai untuk memahami keberadaan Allah.

Dunia ini mengandung begitu banyak makhluk hidup, dari organisme uniseluler hingga tanaman, dari serangga hingga binatang laut, dan dari burung hingga manusia. Jika anda si alam berbeda tentu penglihatannya juga berbeda dengan berbagai karakteristik. Di isi perut semua makhluk hidup terdapat jutaan bakteri atau organisme uniseluler yang membantu pencernaan. Populasi hewan di dunia ini jauh lebih banyak daripada populasi manusia ktika kita menyaksikan berbagai macam mahluk hidup yang sering di tayang pada acara media elektronik. Semua makhluk yang tertebar di dunia ini mempunyai sistem tubuh yang berlainan, kehidupan yang berbeda dan pengaruh yang berbeda terhadap keseimbangan lingkungan. Tidak ada makhluk hidup yang muncul melalui kehendak mereka sendiri. Tidak ada peristiwa kebetulan yang bisa menghasilkan sistem-sistem yang serumit itu. Semua bukti ini mengarahkan kita ke suatu kesimpulan bahwa alam semesta berjalan dengan kesadaran (consciousness) tertentu. Lantas, apa sumber kesadaran ini ? Tentu saja bukan makhluk yang terdapat di dalamnya. Tidak ada satu pun yang menjaga keserasian tatanan ini. Keberadaan dan keagungan Allah terungkap melalui bukti yang tak terhitung di alam semesta. Sebenarnya, tidak ada satu orang pun di bumi ini yang tidak akan menerima kenyataan bukti ini dalam hatinya. Sekalipun demikian, mereka masih mengingkarinya secara lalim dan angkuh, kendati mereka meyakininya. Pemikiran Barat sekarang ini berada di tengah-tengah peperangan antara agama dan ilmu pengetahuan. Hampir tidak mungkin pemikir Barat sekarang ini menerima kenyataan bahwa kemungkinan ada pertemuan secara mendasar antara agama dan ilmu pengetahuan. Injil, yang menjadi kepercayaan orang Nasrani, menyatakan pohon di mana Nabi Adam AS dilarang memakannya adalah pengetahuan. Oleh karena itu, setelah dia memakan buahnya, dia memperoleh pengetahuan tertentu yang mana tidak dia peroleh sebelumnya. Dengan alasan inilah orang Eropa membantah bahwa selama dua abad mereka tidak menerima pengetahuan ilmiah yang datang dari orang Islam. Gereja menyatakan bahwa pencarian seperti penge¬tahuan ilmiah adalah penyebab dosa yang asli. Uskup menggambarkan bukti mereka dari Perjanjian Lama yang menyebutkan bahwa ketika Adam memakan pohon itu, ia mendapat beberapa pengetahuan, Allah tidak menyukainya dan menolak memberinya kemurahan hati. Oleh karena itu, pengetahuan ilmiah menolak sepenuhnya peraturan gereja yang dianggap sebagai hal yang tabu. Akhirnya, ketika pemikir bebas dan ilmuwan Barat sanggup mengatasi kekuatan gereja, mereka membalas dendam dengan mencari petunjuk yang berlawanan dan menekan beberapa kekuatan agama. Mereka beralih kepada hal-hal yang berlawanaan untuk mengatasi kekuatan gereja dan mengurangi pengaruhnya kepada hal yang sempit dan membatasi pada sudut-sudut tertentu. Oleh karena itu, jika Anda membicarakan persoalan agama dan ilmu pengetahuan dengan pemikir Barat, dia benar-benar akan keheranan. Mereka tidak tahu Islam. Mereka tidak mengetahui bahwa Islam menjunjung tinggi status ilmu pengetahuan dan orang yang berilmu, menghormati mereka sebagai saksi setelah malaikat yang berhubungan dengan fakta baru tiada Tuhan selain Allah, sebagaimana yang telah Allah firmankan kepada kita :"Tuhan menyatakan, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Dia, dan malaikat-malaikat dan orang-orang berilmu yang tegak dengan keadilan. " (QS AIi Imran : 18)39 Dan Allah Yang Maha Agung dan Maha Muha berfirman kepada kita: "Oleh sebab itu, ketahuilah bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah ". (QS Muhammad : 19)

Telah diketahui dari Al-Quran bahwa Nabi Adam AS diistimewakan melebihi malaikat dengan kebaikan pengetahuan yang diberikan Allah kepadanya. Kisah dari al-Quran menyangkal Injil yang menyebutkan orang Islam dianggap menyimpang. Menurut al-Quran, kenyataan bahwa Nabi Adam diberi pengetahuan adalah sebuah tanda kehormatan dan bukan karena pengusirannya dari surga. Oleh karena itu, jika seseorang membicarakan Islam dan ilmu pengetahuan dengan para pemikir Barat, mereka cenderung mengharapkan argumen yang sama dengan apa yang ada dalam budaya dan agama mereka. Itulah mengapa mereka memberi reaksi dengan keterkejutan ketika mereka ditunjukkan dengan fakta yang jelas sekali dari al-Quran dan Sunnah.41 Kita melihat fakta atas kelicikan yang di motori oleh kaum orientalisme dan nasrani maupun yahudi ketika umat islam sedunia merespon media eropa dalam memberikan alasan pembenaran karikatur pelecehan terhadap Nabi Muhammad saw. Mereka menganggap hanya sekadar eksen dan simbol kebebasan berekspresi atas kemunafikkan mereka. Koran Perancis, Frances Siwar mengatakan : “Itu adalah haknya menggambarkan tuhan dengan cara karikatur yang menyindir.” Sedang Koran Jerman Dei Filt mengatakan : “Itu adalah haknya melakukan pelecehan sesuatu yang sakral.” Dilihat dari pernyataan kedua Koran tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa ada perbedaan mendasar dalam melihat sesuatu yang sakral dalam agama dan peradaban barat dari apa yang mereka pahami selama ini. Di antara pemikir Barat yang menampakkan keterkejutannya itu adalah Prof. Dr. Joe Leigh Simpson, Ketua jurusan Ilmu Kebidanan dan Ginekologi dan Pakar Molecular dan Genetika Manusia, Baylor College Medicine, Houston. Ketika kami pertama kali bertemu dengannya, Profesor Simpson menuntut pembuktian Al-Quran dan Sunnah. Akan tetapi, kami sanggup menghilangkan kecurigaannya. Kami menunjukkan kepadanya sebuah naskah garis besar perkembangan embrio. Kami membuktikan kepadanya bahwa al-Quran menjelaskan kepada kita bahwa turunan atau hereditas dan sifat keturunan atau kromosom yang tersusun hanya bisa terjadi setelah perpaduan yang berhasil antara sperma dan ovum. Sebagaimana yang kita ketahui, kromosom-kromosom ini berisi semua sifat-sifat baru manusia yang akan menjadi mata, kulit, rambut, dan lain-lain. Oleh karena itu, beberapa sifat manusia yang tersusun itu ditentukan oleh kromosomnya. Kromosom-kromosom ini mulai terbentuk sebagai permulaan pada tingkatan nutfah dari perkembangan embrio. Dengan kata lain, ciri khas manusia baru terbentuk sejak dari tingkatan nutfah yang paling awal. Allah Yang Maha Agung dan Yang Maha Mulia berfirman di dalam Al-Quran : "Celakalah kiranya manusia itu! Alangkah ingkarnya (kepada Tuhan). Dari apakah dia di-ciptakan ? Dari setetes air mani. (Tuhan) menciptakannya dan menentukan ukuran yang sepadan dengannya. " (QS Abasa : 17-19).

Selama empat puluh hari pertama kehamilan, semua bagian dan organ tubuh telah sempurna atau lengkap, terbentuk secara berurutan. Nabi Muhammad SAW menjelaskan kepada kita di dalam hadisnya : "Setiap dari kamu, semua komponen penciptamu terkumpul dalam rahim ibumu selama empatpuluh hari." Di dalam hadis lain, Nabi Muhammad SAW bersabda : "Ketika setetes nuftah telah melewati 42 malam, Allah menyuruh seorang malaikat ke rahim perempuan, yang berkata: `Ya Tuhan! Ini laki¬laki atau perernpuan?' Dan Tuhanmu memutus kan apa yang Dia kebendaki. "Profesor Simpson mempelajari dua hadis ini secara intensif, yang mencatat bahwa empat puluh hari pertama itu terdapat tingkatan yang dapat dibedakan secara jelas atau embriogenesis. Secara khusus, Dia dibuat kagum dengan ketelitian yang mutlak dan keakuratan ke¬dua hadis tersebut. Kemudian dalam salali satu konferensi yang dihadirinya, dia memberikan pendapat sebagai berikut: "Dari kedua hadis yang telah tercatat dapat membuktikan kepada kita gambaran waktu secara spesifik perkembangan embrio sebelum sampai 40 hari. Terlebih lagi, Pendapat yang telah berulang-ulang dikemukakan pembicara yang lain pagi ini. bahwa kedua hadis ini telah menghasilkan dasar pengetahuan ilmiah yang mana rekaman mereka sekarang ini didapatkan".42 Profesor Simpson mengatakan bahwa agama dapat menjadi petunjuk yang baik untuk pencarian ilmu pengetahuan. Ilmuwan Barat telah menolak hal ini. Seorang ilmuwan Amerika mengatakan bahwa agama Islam dapat mencapai sukses dalam hal ini. Dengan analogi, jika Anda pergi ke suatu pabrik dan Anda berpedoman pada mengoperasikan pabrik itu, kemudian Anda akan paham dengan mudah bermacam-macam pengoperasian yang berlangsung di pabrik itu. Jika Anda tidak memiliki pedoman ini, pasti tidak memiliki kesempatan untuk memahami secara baik variasi proses tersebut. Profesor Simpson berkata: "Saya pikir tidak ada pertentangan antara ilmu genetika dan agama, tetapi pada kenyataannya agama dapat menjadi petunjuk ilmu pengetahuan dengan tambahan wahyu ke beberapa pendekatan ilmiah yang tradisional. Ada kenyataan di dalam al-Quran yang ditunjukkan oleh ilmu pengetahuan menjadi valid, yang mana al-Quran mendukung ilmu pengetahuan yang berasal dari Allah.42 Inilah kebenaran. Orang-orang Islam tentunya dapat memimpin dalam cara pencarian ilmu pengetahuan dan mereka dapat menyampaikan pengetahuan itu daIam status yang sesuai. Terlebih lagi orang Islam mengetahui bagaimana menggunakan pengetahuan itu sebagai bukti keberadaan Allah, Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Mulia untuk menegaskan kerasulan Nabi Muhammad saw. Allah berfirman di dalam al-Quran : "Akan Kami perlihatkan secepatnya kepada mereka kelak, bukti-bukti kebenaran Kami di segenap penjuru dunia ini dan pada diri mereka sendiri, sampai terang kepada mereka, bahwa al-Quran ini suatu kebenaran. Belumkah cukup bahwa Tuhan engkau itu menyaksikan segala sesuatu. " (QS Fushshilat : 53)43

Pengakuan Para Ilmuwan Barat Terhadap Keilmiahan Ciptaan Tuhan

Mereka mengatakan hanya beberapa kalimat yang sungguh meyakinkan, mereka percaya terhadap apa yang di ciptakan Allah swt, Para ilmuwan tersebut adalah : ”Watson dengan mengatakan bahwa apa yang kita rasakan dan nikmati sampai sekarang adalah"ciptaan istimewa" maksudnya ciptaan Allah. David Darling mempertahankan argumentasi bahwa yang ada di permulaan bukan waktu, bukan ruang, bukan zat, bukan energi, atau pun noktah kecil atau rongga. dan bila tutup kotak kosmik terbuka, maka sulur keajaiban penciptaan Tuhan akan tampak dari bawahnya. Isaac Newton seorang fisikawan besar percaya bahwa pergerakan benda-benda langit dan planet-planet adalah pencipta bumi dan angkasa yaitu Tuhan yang sama, Pendiri astronomi fisika Johannes Kepler menyatakan keimanannya yang kuat kepada Tuhan di salah satu bukunya bahwa kita sebagai hamba Tuhan yang miskin dan serba kekurangan harus memperhatikan besarnya kebijaksanaan dan kekuasaan Tuhan dan berserah diri kepada-Nya., Fisikawan besar William Thompson (Lord Kelvin) yang mendirikan termodinamika ialah juga seorang Nasrani yang beriman kepada Allah. Ia menentang keras teori evolusi Darwin dan menolaknya sama sekali. Ia menjelaskan secara singkat sebelum kematiannya bahwa ketika memperhatikan asal-usul alam semesta, tentulah ilmu pengetahuan mempertegas keberadaan Sang Maha kuasa., Profesor fisika di Universitas Oxford Robert Mattheus menyatakan fakta yang sama di bukunya yang terbit pada 1992 yang menjelaskan bahwa molekul DNA diciptakan oleh Tuhan. Mattheus menyatakan bahwa semua taraf ini berproses dengan keserasian yang sempurna dari sel tunggal sampai bayi hidup, lalu menjadi anak kecil, dan akhirnya menjadi dewasa. Semua peristiwa ini hanya bisa dijelaskan sebagai keajaiban, sebagaimana taraf-taraf biologis lainnya. Mattheus menanyakan bagaimana organisme yang rumit sesempurna itu bisa muncul dari sel yang mungil dan sesederhana itu dan bagaimana manusia yang bermartabat diciptakan dari sebuah sel yang bahkan lebih kecil daripada titik pada huruf i. Akhirnya, ia menyimpulkan bahwa ini bukan lain kecuali mukjizat. Robert Boyle (Bapak Kimia Modern). Iona William Petty (terkenal karena kajiannya tentang Statistika dan Ekonomi Modern). Michael Faraday (salah seorang dari fisikawan terbesar sepanjang masa). Gregory Mendel (Bapak Genetika; ia membatalkan Darwinisme dengan penemuannya dalam Genetika). Louis Pasteur (nama terbesar dalam Bakteriologi; ia menyatakan perang terhadap Darwinisme). John Dalton (Bapak Teori Atom), Blaise Pascal (salah seorang dari matematikawan terpenting), John Ray (nama terpenting dalam Sejarah Alam Britania), Nicolaus Steno (stratiografer terkenal yang menyelidiki lapisan bumi), Carolus Linnaeus (Bapak Klasifikasi Biologis), Georges Cuvier (pendiri Anatomi Komparatif), Matthew Maury (pendiri Oseanografi), Thomas Anderson (salah seorang dari pelopor di bidang Kimia Organik)44

Metodologi Ilmu Pengetahuan Dalam Kesadaran Shafrilisme

Kritik Islam mengenai berbagai metodologis baik secara empiris maupun metafisik dengan alat metodologi al Qur’an dan Sains dalam persfektif Islam dapatlah dikembangkan sebuah metodologi empiris dan induktif baru dalam bentuk qiyaas usu’uli dan juga mengawali metode empiris dengan eksperimen dan pengamatan sistematis, seperti yang dicontohkan oleh hasil kerja Ibn Hazm tentang mata. Mereka mengkritik metodologi Yunani Kuno adalah metodologi yang abstrak, hipotetis, meremehkan pengetahuan mudah, dan berdasarkan logika deduktif. Mereka menerima metode ilmiah Eropa dari pembentukan dan pengujian hipotesis, tetapi menolak asumsi filosofisnya seperti : materialisme, pragmatisme, atheisme, kekurangseimbangan, penolakan dualitas raga dan jiwa, kurangnya manfaat manusia, kurangnya penyatuan paradigma seperti tauhid, dan menjadi Euro-centric (condong ke Eropa) dan tidak menyeluruh. Orang-orang Eropa menyatakan metodologinya akan lebih terbuka, akurat, tepat, objektif, dan netral secara moral, tetapi hanya sebatas pengamatan dan tidak dipraktekkan. Dengan angkuhnya, hal tersebut dianggap sebagai kemungkinan absolut dan pengetahuan empiris yang relative berdasar pada kelemahan pengamatan dan interpretasi manusia. Akan tetapi itu semua tidak terbukti apa yang dikatakan oleh para pemikir Eropa yang justru membuahkan hasil dengan berbagai macam konflik keagamaan, kebudayaan, politik dengan teori trias politica Montesque, ekonomi kapital dengan teori Adam Smith, dan teori lainnya yang berasal dari Yunani—Eropa, mereka sudah menjadi dunia pada poros kehancurannya, artinya semua teori mereka tidak mendamaikan tetapi menindaklanjuti sebuah ketidakadilan.

Konsep-Konsep metodologi dimulai dengan pengklasifikasian semua hasil penemuan melalui berbagai percobaan dan investigasi metodologis sistematis. Sebenarnya metodologi empiris ilmiah terinspirasi dari al Qur’an bersama para pemikir muslim mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga menyebabkan timbulnya reformasi keilmuan di Eropa, Masa renaisance dan revolusi ilmiah ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimulai pada awal abad 16, orang Eropa pertama kali menulis dan mempublikasikan secara sistematis tentang metodologi empiris yang terinspirasi dari kalangan pemikir Muslim di Eropa dan ekspansi kekuasaan Yunani—Eropa ke negara Muslim dengan mengambil keilmuan Islam yang mengandung nilai positif al Qur’an dan membuang bahkan menghilangkan jejak keilmuan Islam yang bersifat negatif atas prilaku manusia Yunani—Eropa. Para pemikir Yunani—Eropa meniru metodologi empiris tanpa konteks pemaknaan terhadap ketauhidan akan ketuhanan, menolak wahyu (al Qur’an) sebagai sumber ilmu pengetahuan dan memaksakan hasil tiruan buruknya berupa ilmu pengetahuan sekuler kepada umat Islam di seluruh dunia. Ahli Muslim kuno telah menunjukkan bahwa wahyu, akal dan pengalaman sangatlah tepat dan telah menggunakan peralatan metodologis dari Al Qur’an untuk mengoreksi dan mengembangkan ilmu pengetahuan Yunani sebelum menyebarkannya ke Eropa. Mereka mengganti logika deduktif Aristoteles dan definisinya dengan sebuah logika induktif Islam yang diinspirasi oleh Al Qur’an. Metodologi dari Al Qur’an menyediakan prinsip-prinsip umum yang membimbing dan bukan pengganti penelitian empiris. Kitab ini menggabungkan pengamatan empiris; membebaskan pikiran dari keragu-raguan dan taklid buta, atas ketergantungan intelektualnya. Paradigma tauhid menjadi dasar dari hubungan sebab akibat (kausalitas), rasionalitas, perintah, prediksi, penemuan, obyektivitas, dan hukum alam. Hukum bisa diketahui melalui wahyu, pengamatan empiris dan eksperimen. Dalam al Qur’an mengajarkan metodologi lmu pengetahun berdasarkan induktif, pengamatan empiris, nadhar dan tabassur; interpretasi, tadabbur, tafakkur, i’tibaar dan tafaquhu; dan pengetahuan yang terbukti, bayyinat dan burhan. Al Qur’an melarang asal ikut-ikutan, taqliid, prasangka, dhann; dan keinginan pribadi, hawa nafsu. Konsep metodologi dalam Al Qur’an dari istilah istiqomat menghasilkan kepercayaan dan pengetahuan yang tidak bias, bahwa dalam pandangan pola pikir manusia secara induktif tidak ada sesuatu hal yang bisa di sebut sebagai ilusi dan apapun yang dikenal oleh manusia berdasarkan pengalaman historis dan empirisnya, itulah yang dapat dijadikan sebuah proses ilmu pengetahuan. Konsep Al Qur’an dari istilah istikhlaf, taskhir, dan isti’imar adalah dasar-dasar perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersifat nyata yang dapat dijadikan sebuah pengalamn historis dengan segala bentuk perubahannya. Sementara Konsep metodologi al Qur’an berdasarkan ilmy menjelaskan sebuah permasalahan yang yang dilihat dari perubahan paradigma situasi dan kondisi yang kemudian mencari sebuah solusi dengan mengunakan struktur berfikir dengan metode perintah untuk mengubah pengetahuan dasar manusia dalam proses penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat.

Proses tersebut tidak terlepas dari berbagai persoalan klasik Ilmu pengetahuan beserta konsepnya, artinya reformasi ilmu pengetahuan yang bersifat terbuka dapat dijadikan sebuah reflektif sebagai bentuk pemaknaan diaplikasikan ke dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Tafsir ilmu dan interpretasi data paralel pada penelitian empiris, dapatlah dinyatakan dalam berbegai konsep sebagai dan alur reformasi ilmu pengetahuan dan kurikulum epistemologis berdasarkan kesadaran syafrilisme yakni kesadaran tauhid, kesadaran Iqra, kesadaran majelis dan kesadaran harakah fil Islam. Dalam keempat kesadaran ini ada pembagian sesuai dengan konsep ilmu pengetahuan serta realitas yang terjadi, adalah sebagai berikut : pertama; kesadaran Tauhid; kesadaran ini merupakan dasar berfikir manusia yang dimulai dari sebuah pencarian akan nilai ketuhanan dengan memberikan penjelasan tentang az babun nuzul-nya lewat media komonikasi yang bersifat kerohanian seperti ibadah, takwa, sholat, puasa wajib dan sunnah, dan ritualisme lainnya. Proses ini merupakan seuah manifestasi keimanan ketika manusia mencari tentang sebuah kekuatan kecerdasan, kekuatan kecerdasan bukanlah terletak pada apa yang kita namakan materialisme yang mendorong kebahagiaan akan tetapi kecerdasan, kedamaian dan keselamatan harus diraih dengan metode penjelasan dan interfretasi kepada Tuhan dengan melaksanakan tugas dan kewajiban kepada Tuhan artinya melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangannya. Metodologi ilmu pengetahuan dalam teori syadrilisme berdasarkan kesadaran tauhid adalah sebagai alur berfikir ilmu pengetahuan dengan model aslama, al iman, al ihsan dan khalifah (al imam).

Kedua; Kesadaran Iqra; Kesadaran ini meruapakan sebuah interfretasi untuk aksi dalam komponen keilmuan Islam sebagai proses penjelasan. epistemologis dan metodologi ini merupakan urutan dari kesadaran tauhid, yang dapat dibagi dalam beberapa bagian; (1). Ilm al nasakh menjelaskan bagaimana data-data baru memperbaharui teori-teori lama tanpa menghilangkan khasanah pemikiran dan intrelektualnya dengan proses mereformasi pengetahunnya secara mendasar tanpa melupakan akibat yang telah terjadi dari ilmu pengetahuan klasik. (2). Ilm al rijaal dapat menguatkan keyakinan pada para peneliti untuk senantiasa mengambil inspirasi dari bahasa al Qur’an. (3). Ilm naqd al hadith menanamkan perilaku membaca (Iqra) kritis literatur sains dengan cerdas dan cermat tanpa melupakan doktrin al Qur’an. (4). Qiyaas Setelah melakukan pembacaan secara kritis, maka peneliti harus memberikan sebuah jawaban sebagai Qiyaas atau aturan secara sostematis untuk memberikan analogi yang mendasar. (5). Istihbaab, dengan menentukan qiyaas secara sistematis maka konsep selanjutnya adalah aplikasi yang berkelanjutan dari sebuah hipotesis atau hukum ilmu pengetahuan sampai menemukan bukti atau fakta diantara peristiwa yang terjadi baik berdasarkan pengalaman historis maupun empiris. (6). Istihsan dapat dibandingkan dengan intuisi ilmiah dengan metode dari induktif—deduktif menuju abduktif, proses perkembangan ilmu pengetahuan (histori of science) pola pemikiran induktif dan deduktif yang tidak memadai lagi untuk dapat menjelaskan secara cermat tata kerja di perolehnya ilmu pengetahuan yang sesungguhnya, Perkembangan ilmu pengetahuan dan keislaman memperoleh ruang dan waktu di abad ke 20 yang banyak memunculkan hal0hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan yang baru dengan konstruksi keislmuan Islam juga yakni pola pemikiran keilmuan yang abduktif. Menurut M. Amin Abdullah mengatakan bahwa pola pikir yang mengedepankan abduktif bersifat the logic of discovery bukannya the logic of justification, jadi logika abduktif lebih menekankan pada proses pemunculan hipotesis, interpretasi, proses pengujian dilapangan terhadap rumus-rumus, konsep-konsep, dalil-dalil, gagasan, yang dihasilkan dari kombinasi pola pikir induktif dan deduktif. Istislah adalah penggunaan kepentingan umum untuk membuat keputusan atas banyak pilihan, contohnya teknologi pengobatan. Ketiga; Kesadaran Majelis, kesadaran ini merupakan ruang dan waktu untuk melakukan pengujian secara kolektif untuk memastikan sebuah rumusan, proses penelitian dan hasil pengamatan dalam proses tersebut. dalam alur kesadaran majelis harus ada pengujian secara kritis terhadap apa saja yang disebut bangunan ilmu pengetahuan termasuk didalamnya rumusan ilmu kalam dan manusia atau rumusan tentang sebuah validitas dan kebenarannya melalui pengalaman yang terus berkembang dalam prakksisnya. Kesadaran teori syafrilisme bagian dari kesadaran majelis ini adalah sebuah proses pengujian dan pengamayan yang kritis tanpa ada pembohongan atau penampakan dalam proses penelitian, pengujian tersebut dengan berbagai corak dalam kesadaran majelis adalah (1). Ijma adalah kesepakatan yang ditetapkan oleh para ilmuwan untuk menjadi dasar berfikir tanpa terikat oleh identitas dan golongan secara historis dan empiris. (2). maqaid as syari’ah adalah alat konsep atau regulasi untuk menyeimbangkannya hasil pengamatan dengan praksisnya, karena pola seperti ini sangat perlu untuk menetapkan sebuah regulasi berdasarkan kondisi yang terjadi, regulasi tersebut dapat bersifat pemaksaan ketika terjadi ketidakadilan dan regulasi juga bisa bersifat adil tanpa diskriminasi yang dibangun atas pondasi kesadaran Islam (damai). (3). Qawaid as syari’ah adalah membentuk aksiomatik yang dibangun atas kesadaran dengan tetap menyederhanakan operasi logika kompleks dengan merekonstruksi aksiomatik tersebut tanpa melewati derivasi detailnya, sehingga proses yang ditempuh tidak mengalami ganguan.
Keempat; Kesadaran Harakah Fil Islam, kesdaran ini merpakan pemaknaan dalam dimensi ontologis yang diungkapkan dalam makna yang mendalam, mendasar, transendental dan spiritualitas. Nilai inilah yang coba di terapkan dalam kesadaran harakah fil Islam, yang dimaknai dalam berbagai tradisi-tradisi keilmuan dan keagamaan. Pemahaman dan kesadaran ini sebagai ontologis yang otentik dapat menjebatani berbagai bentuk formal—lahiriyah dari berbagai agama dengan proses dialogisasi, tentu dengan makna fundamental dari uraian al Qur’an sebagai cerminan dalam proses dialog. Kesadaran ini pula harus memiliki tampak visi liberatif—transpormatif dan profetis, sehingga dapat membuka horison-horison baru dan tidak bersifat menutup diri. Tujuan membuka diri bagi para agawan dengan metode dialogisasi adalah memperkuat relevansi keimanan dengan nilai-nilai spiritualitas transendentalnya, maka pengikut agama-agama tidak perlu terpancing dengan analsisi yang dilakukan oleh Samuel P. Huntingtong dalam bukunya The Class Of Civilizations. Interpretasi kesadaran ini memiliki beberapa dimensi epistemologis keislaman adalah sebagai berikut; (1). Dimensi epistemologis Ketuhanan (hablum minallah); (2). Dimensi epistemologis Kemanusiaan (hablum minan naas)..

Dari Krisis Pendidikan Ilmu Pengetahuan Menuju Reformasi Epistemologi Islam

Ada banyak hal yang kontradiktif dalam berbagai pendapat tentang ilmu pengetahuan secara empiris dengan berimplikasi pada pendikotomian dalam sistem pendidikan Islam baik secara Tradisional maupun modern yakni memisahkan ulum al diin dan ulum al dunia (memisahkan urusan agama dengan dunia). Dengan terjadinya sebuah pemisahan, maka model pengintegrasian antara ulum al diin dan ulum al dunia itu sangat sulit dan bahkan gagal, oleh karena bersifat mekanis bukan konseptual. Sekarang ini telah banyak kita melihat proses sekulerisasi dalam pendidikan Islam, sehingga telah menggeser dimensi moral dari pendidikan yang tentunya dapat merusak tujuan pendidikan Islam untuk menciptakan individu dan generasi pemikir yang utuh, ideal, sempurna dan insan kamil. Kegagalan para otak pemikir negara-negara Islam telah tercampuraduk menjadi krisis pendidikan ilmu pengetahuan. Ini merupakan hal besar yang mengakibatkan ketidakberdayaan umat karena krisis ilmu pengetahuan sehingga harapan untuk menghadirkan Islam yang terbuka dan menjadikan Islam sebagai solusi kehidupan tidak demikian nyata, kurangnya pengetahuan dan kelemahan intelektual adalah wujud nyata yang paling signifikan dari keterbelakangan umat. Krisis intelektual umat diperparah oleh peniruan dan penggunaan ide-ide serta konsep asing yang disusun secara buruk dan tidak sesuai dengan Islam. Wujud ketidakberdayaan umat adalah berupa kemiskinan, kelemahan politik, ketergantungan ekonomi, kelemahan militer, ketergantungan pada iptek, dan pengikisan identitas keIslaman dalam gaya hidup. Stagnansi intelektual mulai muncul dan proses sekularisasi negara muslim mengalami kemajuan. Kelalaian dan buta huruf yang tersebar luas menjadi hal biasa, banyak ide dan fakta dari kaum non-Muslim tanpa bukti yang bisa dipercaya telah menemukan jalan mereka merasuki warisan intelektual dan agama umat, hingga menciptakan krisis intelektual yang semakin bertambah parah. Langkah awal menuju reformasi epistemologis adalah harus memiliki pengetahuan sebagai syarat wajib untuk tajdid pemikiran sebagai bagian dari reformasi dan kebangkitan umat akan terjadi melalui reformasi pendidikan epistemologis Islam dan ilmu pengetahuan. Tajdid pemikiran adalah sebuah fenomena penyelamatan umat sekaligus menjadi tanda sehat dan dinamisnya umat ini. Hal tersebut merupakan karakteristik dasar umat untuk reformasi dan kebangkitan yang menggeser masa kemunduran ke masa yang gemilang. Tajdid mensyaratkan ilmu pengetahuan, ide-ide dan tindakan yang dirumuskan dengan persamaan matematika berikut ini: Ide + Tindakan = Tajdid. Tindakan tanpa pengetahuan dan akal yang dibimbing tidak akan membawa perubahan yang baik. Gagasan tanpa tindakan tidak akan merubah apapun. Tajdid mensyaratkan dan diikuti oleh sebuah reformasi ilmu pengetahuan untuk menyediakan gagasan dan motivasi untuk membangun. Semua reformasi sosial yang sukses dimulai dengan perubahan ilmu pengetahuan. Masyarakat ideal tidak bisa diciptakan tanpa ada dasar pengetahuan. Dasar pengetahuan harus benar, relevan, dan bermanfaat, kita bisa buktikan bahwa sejarah pergerakan kebangkitan ilmu pengetahuan dan lahirnya para pemikir Muslim yang sukses selalu dipimpin oleh para akademisi dan intelektual Islam. Abad 2-3 H menjadi saksi kegagalan usaha transfer pengetahuan. Pengetahuan ilmiah Yunani disalurkan kepada kamu Muslim bersamaan dengan filosofi Yunani dan pemikiran yang menyebabkan kebingungan dalam aqidah. Ilmu Yunani lebih bergantung pada deduksi filosofikal dari pada induksi yang berdasarkan eksperimen. Hal ini tidak menguatkan tarbiyat ilmiah dari Al Qur’an yang menegaskan observasi akan hakikat sebagai dasar untuk mengambil kesimpulan. Pergerakan reformasi pengetahuan yang terbaru pada akhir abad 14 H bertujuan pada pendirian sebuah sitem pendidikan yang berdasarkan tauhid. Dipresentasikan Prof. Dr. Omar Hasan Kasule pada seminar yang diselenggarakan hari sabtu, tanggal 7 Februari 2009, di Unismuh Makassar, omarkasule@yahoo.com: http://omarkasule.tripod.com Dan Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ummi Ashim Azzahra dan Anisa Eka Trihastuti, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Semarang, email : yusibnuyassin@yahoo.com ©Profesor Omar Hasan Kasule Sr,. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s copyrights).

Umat Muslim merupakan aset ekonomi dan politik yang mempunyai potensi besar namun belum terealisasi. Perkembangan tajdid modern memiliki banyak kelebihan, tetapi juga mempunyai kekurangan dasar yang harus diperbaiki. Krisis pengetahuan dan intelektual masih menjadi sebuah penghalang. Pergerakan reformasi yang tidak diarahkan oleh pengetahuan dan pemahaman yang benar akan lenyap dan gagal atau disingkirkan dari jalan mereka. Perubahan sosial menuntut adanya perubahan perilaku, nilai, kepercayaan dan tingkah laku dari sebuah massa kritis dalam populasi. Perilaku, nilai, kepercayaan dan tingkah laku ditentukan oleh dasar pengetahuan. Visi dari strategi pengetahuan adalah seorang manusia yang kokoh mengenal Sang Penciptanya, memahami kedudukannya, perannya, haknya, dan kewajibannya dalam tata alam semesta (cosmic order). Misi dari strategi pengetahuan adalah transformasi konseptual sistem pendidikan dari TK hingga pendidikan pasca sarjana yang mencerminkan tauhid, nilai moral yang positif, obyektivitas, universalitas, dan menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan. Menuju ke Arah Metodologi Islam Tauhid yang universal, objektif, dan metodologi yang jelas harus menggantikan Eropa-sentris dan konteks filosofi yang bias/semu, bukan metode praktis experimental. Aturan-aturan dari ilmu tauhid adalah: persatuan pengetahuan, menyeluruh; hubungan sebab akibat adalah dasar dari tindakan manusia, pengetahuan manusia yang terbatas, investigasi hubungan sebab akibat yang didasarkan pada hukum alam yang konstan dan sesuai, harmoni antara yang terlihat dan tidak terlihat, 3 sumber pengetahuan (wahyu, akal, dan pengamatan empiris); khilafat; akuntabilitas moral; makhluk dan ciptaanNya mempunyai tujuan, kebenaran adalah mutlak dan relatif, keinginan bebas manusia adalah dasar dari akuntabilitas, dan tawakal. Dipresentasikan Prof. Dr. Omar Hasan Kasule pada seminar yang diselenggarakan hari sabtu, tanggal 7 Februari 2009, di Unismuh Makassar, omarkasule@yahoo.com: http://omarkasule.tripod.com Dan Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ummi Ashim Azzahra dan Anisa Eka Trihastuti, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Semarang, email : yusibnuyassin@yahoo.com ©Profesor Omar Hasan Kasule Sr,. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s copyrights).

Reformasi Epistemologi : Konsep, Praktek, Disiplin ilmu Dan Meluruskan Kesalahpahaman

Reformasi pengetahuan adalah sebuah proses pemilihan kembali kumpulan pengetahuan manusia agar sesuai dengan kepercayaan dasar dari ‘aqidat al tauhid. Proses reformasi bukan untuk penemuan kembali roda pengetahuan, tetapi untuk perubahan, perbaikan, dan reorientasi. Hal ini bersifat evolutif, bukan revolutif; serta bersifat korektif dan reformatif. Ini adalah langkah awal dalam sistem pendidikan sebagai awal untuk memperbaiki masyarakat. Reformasi harus mulai dengan menata ulang epistemology, metodologi, dan kumpulan pengetahuan dari setiap disiplin ilmu. Harus pro-aktif, akademik, metodologis, obyektif dan praktis. Visinya adalah pengetahuan yang objektif, umum dan bermanfaat dalam konteks interaksi manusia yang harmonis dengan llingkungan fisik, sosial, dan spiritual. Misi praktisnya adalah transformasi paradigma, metodologis, dan penggunaan disiplin ilmu pengetahuan yang sesuai dengan tauhid. Tujuan langsungnya adalah: (a) perbaikan paradigma disiplin ilmu yang ada untuk merubah mereka dari sebatas ritual sempit menjadi bertujuan luas (obyektivitas universal) , (b) rekonstruksi paradigma yang menggunakan pedoman yang objektif dan universal, (c) Klasifikasi kembali disiplin untuk mencerminkan nilai tauhid yang universal, (d) perbaikan metodologi penelitian agar menjadi objektif, bermanfaat, dan mudah dipahami (e) pertumbuhan pengetahuan dengan penelitian, dan (f) menanamkan aplikasi pengetahuan yang benar secara moral. Al Qur’an memberikan prinsip umum yang membangun objektivitas dan melawan metodologi penelitian yang tidak jelas. Hal ini menciptakan cara pandang dunia yang memperkuat penelitian untuk memperpanjang batas pengetahuan dan pemanfaatannya bagi seluruh alam semesta. Ilmuwan didorong untuk bekerja dengan parameter Al Qur’an untuk memperluas batas pengetahuan melalui penelitian, dasar, aplikasi.

Reformasi telah salah dipahami sebagai bentuk penolakan dari sekumpulan pengetahuan dan disiplin manusia yang sudah ada. Kesalahpahaman ini sebagai wujud sempitnya pengetahuan kaum Muslim. Anggapan salah tersebut dikarenakan buku-buku teks yang ada ditulis kembali dengan tema Islami tanpa pemikiran yang mendalam tentang paradigma dan metodologi. Hal ini juga memenjarakan reformasi spiritual para pelajar, para akademik, dan peneliti. Pendekatan luar berikut ini telah dicoba untuk reformasi dan gagal: Menyisipkan ayat Al Qur’an dan Al hadist dalam tulisan orang-orang Eropa dan sebaliknya, pencarian fakta ilmiah dari Al Qur’an, pencarian bukti Al Qur’an dari fakta ilmiah, memperlihatkan mukjizat Al Qur’an, pencarian hubungan antara konsep Islam dan Eropa, penggunaan Islam dalam terminologi / istilah-istilah Eropa, dan penambahan gagasan untuk kumpulan ilmu pengetahuan Eropa. Langkah-langkah Praktis / Tugas dari Proses Reformasi: pertama adalah sebuah membuat pondasi yang baik dalam ilmu Islam metodologis usul al fiqh, ‘uluum al Qur’an, ulum al hadith, dan 'uluum al llughat. Diikuti dengan membaca Al Qur’an dan sunnah dengan pemahaman perubahan dimensi ruang dan waktu. Diikuti dengan klarifikasi masalah-masalah epistemologi dasar dan hubungan-hubungan: wahyu dan akal, gaib dan shahada, ilmu dan iman. Diikuti oleh sebuah kritik Islami dari paradigma dasar, asumsi-asumsi dasar, dan konsep dasar dari berbagai disiplin ilmu yang menggunakan kriteria metodologi dan epistemologi Islami. Penilaian Islami atas buku-buku teks dan materi pengajaran yang sudah ada, kemudian berusaha mengidentifikasi paham-paham yang menyimpang dari pengertian dasar tauhid dan metodologi Islam. Hasil awal dari proses reformasi adalah pengenalan Islam dalam disiplin ilmu, muqaddimat al ‘uluum, pembangunan prinsip-prinsip dasar Islam dan paradigma yang menentukan dan mengatur metodologi, isi, dan pengajaran disiplin ilmu. Hal ini berhubungan dengan ‘Introduction to History’ milik Ibn Khaldun, muqaddimat mempresentasikan penyamaan dan konsep metodologis dalam peristiwa bersejarah. Publikasi dan penilaian buku-buku teks baru dan pengajaran material lainnya adalah sebuah langkah yang penting dalam reformasi, dengan menyerahkannya di tangan para pengajar dan pelajar yang telah mengaalami reformasi. Pengembangan pengetahuan dasar yang teraplikasi dalam iptek akan menjadi tahap terakhir dari proses reformasi, karena pada akhirnya yang jelas-jelas membawa perubahan dalam masyarakat adalah iptek. Disiplin Islam klasik, Mungkin tampak mengejutkan bahwa beberapa ilmu Islam klasik yang didasarkan pada wahyu juga membutuhkan analisis epistemologis. Bentuk ilmu ini di masa mereka telah dipengaruhi oleh paradigma eksternal dan filosofi yang telah masuk perlahan-lahan ke dalam mereka dan menciptakan bias-bias epistemologi yang membutuhkan perbaikan. Selain biasbias itu, kita perlu melakukan formulasi ulang dimensi ruang dan waktu dalam ilmu-ilmu ini dengan memisahkan komponen tetap (konstan) yang tidak berubah dari komponen tidak tetap (variabel) sebagaimana membuat formulasi bagaimana komponen tidak tetap (variabel) dapat menyesuaikan perubahan waktu dan faktor tempat. Pertimbangan faktor ruang dan waktu dibutuhkan dalam uluum al Qur;an dan‘uluum al hadiith. Fiqh dan usul al fiqh memiliki masalah sama yang timbul dari pemahaman harfiah syari’at yang sempit dan perbedaan fiqih telah memecah belah umat pada masa lalu ke dalam banyak masalah. Jika penyebabnya adalah fiqih, solusinya akan bisa ditemukan dalam fiqih. Kita perlu meninjau kembali masyarakat dari general bird eye view yang menggunakan tujuan-tujuan hukum yang lebih tinggi, maqasid as syari’ah, setelah itu kita akan mampu membuat banyak kemajuan. Dipresentasikan Prof. Dr. Omar Hasan Kasule pada seminar yang diselenggarakan hari sabtu, tanggal 7 Februari 2009, di Unismuh Makassar, omarkasule@yahoo.com: http://omarkasule.tripod.com Dan Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ummi Ashim Azzahra dan Anisa Eka Trihastuti, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Semarang, email : yusibnuyassin@yahoo.com ©Profesor Omar Hasan Kasule Sr,. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s copyrights).

Membuktikan Kebenaran Ilmiah Al Qur’an—Meruntuhkan Teori Relativitas: Menuju Monokitabullah.

Kalau kita mengkaji kebenaran Al-Quran berasal dari bahasa Arab Alqur’a dan al iqar’a berarti bacaan. Al-Quran merupakan firman Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai pedoman hidup bagi manusia dalam menata kehidupannya agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak. Al-Zarqani mengemukakan bahwa Al-Quran adalah kalam Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang dimulai dari surat al-Fatihah hingga surat al-Nas.. Untuk memahami agama atau ajaran ketuhanan secara sempurna tentunya setiap ummat Islam harus mempelajari dan memahami al-Quran, karena didalamnya telah tercakup segala aspek kehiupan manusia. Kita mengetahui sesungguhnya bahwa memang Al Qur’an urun di arab dengan kondisi masyarakat yang belum memiliki keahlian dalam bahasa Arab kecualu sahabat–sahabat Nabi dan Rasul mempunyai kompetensi untuk menghafal dan menyusun serta membaca Al Qur’an dan mereka mengakui bahwa keunikan dan keistimewan Al-Quran adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Mereka menyadari keindahan dan susunan nada irama Al-Quran yang sangat menyentuh perasaan dan naluri manusia bahkan melebihi-syair para penyair ulung. Akan tetapi, Al-Quran bukan seperti syair yang mereka kenal salama ini. Disisi lain kemudian, lebih jauh mata memandang sehubungan dengan al-Quran sebagai mukjizat dan sejarah tertulis umat Islam yang sangat fundamental itu. Al-Zarqani pun berpendapat yang dikutip oleh Hasanuddin mengemukakan bahwa ada kritikan dilontarkan oleh kalangan orientalis yang mengatakan bahwa dalam proses penulisan Al-Quran terdapat kemungkinan adanya ayat-ayat Al-Quran yang tercecer dan tidak terakomodasi dalam Al-Quran sebagaimana adanya sekarang selain itu juga terdapat indikasi bahwa ayat Al-Quran dalam mushaf Utsmani bukan wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Muhammad saw.

Al-Quranul Karim memiliki fungsi dan peranan yang sangat universal dan menaunggi seluruh dimensi kehindupan manusia-alam dan keuniversalan Al qur’an juga berbicara tentang banyak hal Pertama : Tentang penciptaan kekuasaan tuhan seperti penciptaan manusia, alam, Teori , ilmu Pengetahuan. Kedua : Tentang hubungan Manusia–Tuhan dan Alam. Ketiga : Tentang Al Qur’an juga yang menjelaskan proses sosial, politik, ekonomi dan peradaban manusia. Di antara keuniversalan Al Qur’an tersebut merupakan sebuah bukti yang tak bisa terbantahkan sebagai kebenaran hadirnya Tuhan (Abstrac Absolut) dan mengutus Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan kebenaran yang haq tanpa ada keraguan sedikitpun. Untuk membuktikan kebenaran Al Qur’an sekiranya kita merefleksikan sejarah rasulullah dan para sahabatnya merampungkan kembali surah–surah Al Qur’an sebagaimana tantangan para sahabat Rasulullah (Khalifah Fil Ardhi) dalam menyusun Al Qur’an. Tantangan tersebut bisa di identifikasikan atau di tafsirkan bahwa ada empat tantangan yaitu : Pertama : Menghimbau kepada seluruh manusia yang meragukan Al Qur’an yang telah di susun oleh Rasulullah dan para sahabatnya agar manusia yang meragukan tersebut di suruh menyusun seperti Al Qur’an yang telah di susun secara keseluruhan. Sesuai dalam Al Quran Surat Ath Thuur : 34 yang artinya “Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang seperti Al Qur’an jika mereka orang–orang yang dalam kebenaran. (baca QS 52:34). Kedua, Menyuruh mereka yang selalu mengatakan dirinya benar agar dapat meyusun sepuluh surat seperti susunan surat dan ayat Al-Quran secara keseluruhan yang berjumlah 114 surat. Sesuai bunyi Al Quran dalam surat Al Huud : 13 adalah : Bahkan mereka mengatakan bahwa Muhammad yang mennyusun dan membuat Al Qur’an itu, Katakanlah kalu demikian maka datangkanlah sepuluh surat–surat yang menyamainya dan panggillah orang–orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu orang–orang yang benar (baca QS 11:13).

Ketiga : Menggangap Muhammad yang menyusun Al Qur’an dan Muhammad pun mencoba menantang mereka untuk menyusun satu surah saja yang sama seperti Al-Quran. Sesuai bunyi Al Quran dalam surat Yunus : 38 yang mengatakan bahwa : Patutkah mereka mengatakan “Muhammad membuat–buatnya” katakanlah kalau benar yang kamu katakan itu maka datangkanlah sebuah seumpama surat dan panggillah siapa–siapa yang kamu panggil untuk membuatnya selain Allah jika kamu orang–orang yang benar. (baca QS 10:38). Keempat, Ambisi dan tantangan kaum musyirikin mengenai Al Qur’an iu sendiri di mana Allah memberikan kesempatan kepada mereka baik kalangan orientalis, kristiani yahudi untuk menyusun Al Qur’an sesuai dengan apa yang telah di wahyukan Allah SWT. Namun suda ribuan Abad Al Qur’an menguasai dunia sebagai kitab orang–orang muslim belum ada kekuatan dunia yang bisa mengubah bahasa Al Qur’an Jagankan bahasa yang terlalu sulit, huruf Al Qur’an pun tidak bisa di rubah dalam bentuk lain. Sesuai bunyi Al Qur’an dalam surat Al Baqarah ayat 23 yang mengatakan bahwa : Dan jika tetap dalam keraguan mengenai Al Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad) maka buatlah satu surat saja yang semisdal Al Qur’an dan ajaklah penolong–penolongmu selain Allah, Jika kamu orang–orang yang benar.(baca QS 2:23). Dengan demikian kemurnian dan kebenaran Al Qur’an tidak bisa di sangkal oleh siapaun. Dalam hal ini, Al-Quran menegasikan: kepada manusia dalam surat Al Isr’a ayat 88 yang mengatakan bahwa : “Katakanlah (hai Muhammad) sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain. (QS Al Isr’a:88). Seiring apa yang telah dikatakan oleh Adian Husaini memberikan sebuah catatan penting dalam buku respon pemikiran Islam : Terhadap liberalisasi di Muhammadiyah, garis besar tulisannya mengatakan bahwa tantangan bagi umat Islam adalah mengembalikan syari’ah pada posisi dan prinsipnya sehingga keberlangsungan nilai–nilai kebenaran Al Qur’an dapat di terapkan dalam dimensi kehidupan umat Islam itu sendiri. Oleh karena kebenaran Al Qur’an sangat perlu di dukung oleh kekuatan spritualitas dan keyakinan terhadap wahyu Tuhan semesta. Mengapa Muhammad SAW. sangat yakin dengan kebenaran wahyu-wahyu Tuhan karena "Wahyu merupakan informasi yang sebenarnya di sampaikan kepada Muhammad merlalui malaikat Jibril kemudian di teruskan kepada manusia yang bersumber dan berskala firman Tuhan ."
Allah sesungguhnya telah menghadirkan kebenaran – kebenaran kepada manusia lewat Al-Quran yang merupakan spirit umat dalam segala aktivitas mereka sebagai cerminan konstitusional yang universal bagi manusia untuk mengatur manusia. Selain itu juga bukti kebenarannya sala satu faktor pendukung keberhasilan Muhammad dalam melaksanakan kewajiban dan tanggungjawab sehingga risalah Islam memiliki keautentikannya sebagai agama yang rahmatan lil alamin. Al Qur’an ini juga merupakan teologi Islam sebagai basis kajian ilmu ketuhanan dalam rangka memperkuat fungsi dan peran Al Qur’an sebagai kalamullah untuk mencapai tujuan keuniversalan Islam. Pedoman dan petunjuk tersebut untuk menghadirkan manusia dalam dimensi keagamaan tanpa ada petunjuk lain yang bersipat konvensional sehingga dimensi tersebut dapat mejadi refresentasi umat islam dalam membuktikan dan membumikan Al Qur’an sebagaimana mestinya. Sehingga hal tersebut disebut sebagai syari'at (Syarisme). Pengertian syarisme dari segi bahasa yang berarti jalan menuju sumber air sedangkan secara harfiah syarisme itu berarti paham. Apabila di kaitkan antaran kata jalan menuju sumber mata air dan paham maka akan bermakna bahwa manusia memiliki kekuatan paham (idiologi) untuk menuju kebahagiaan dalam kehidupan manusia itu sendiri sebagaimana peranan dan fungsi air sebagai obat mujarab setiap penyakit (patologi) manusia. Berhubungan dengan tujuan dan paham (idiologi) tersebut yang di emban oleh seluruh manusia tentu sangat di perlukan kemantapan factor jasmani dan factor rohani manusia, bahkan seluruh makhluk hidup ciptaan Allah SWT seperi apa yang di ungkapkan oleh Qurais Sihab dalam bukunya yang berjudul membumikan Al Qur’an : Peran dan Fungsi dalam kehidupan manusia mmengatakan bahwa pengertian syariat adalah kembali ke jalan yang benar untuk menuju kehidupan yang lebih baik dan manusia selalu membutuhkan sumber air sebagai jalan untuk hidup serta kebahagiaanya demi kelangsungan hidupnya. Sedangkan keperluan manusia secara rohani membutuhkan materi yang tak terhingga dengan ketentuan (qadha/qadar) dari Tuhan sehingga pencarian manusia akan kebahagiaanya tentang kehidupan tidak sebatas mendapatkan. Akan tetapi menyukuri nikmat Tuhan sebagaimana penulis mengistilahkan air sebagai pondasi kebahagiaan manusia di nuka bumi ini untuk mengobati dan menutupi segala kekurangannya. Sehingga di sini penulis ingin memberikan sebuah bahasa definisi dalam konteks bahasa syariat bahwa suatu pedoman dan petunjuk bagi manusia yang sangat fundanental dari segi tekstual dan kontekstual untuk mengantarkan manusia menuju sumber kehidupan yaitu Al Qur’an sebagai Syariat dan sunnah nabi Muhammad SAW serta membumikannya agar islam lebih di kenal terbuka.
Berhubungan dengan perkembangan Al Qur’an dalam peradaban manusia sampai hari ini memang sangat banyak ulama dan para pemuka agama yang mencoba menafsirkan Al Qur’an dalam segi kontekstualnya dengan tujuan memudahkan manusia memahami serta memaknai isi dan kandungan bahasa Al Qur’an. Berkaitan dengan hal tersebut merekontruksi bahasa Al Qur’an tidaklah menjadi masalah ketika itu di tafsirkan dalam koridor keummatan sebagai basis pengembangan ilmu keuhanan. Oleh karena Tuhan menciptakan mahluknya untuk menjaga kemaslahatan ummat dan kerajaan Tuhan yang telah di ciptakan. Maka oleh sebab itu Tuhan semesta alam menciptakan manusia bukan untuk berfoya–foya akan tetapi bertujuan menjadi khalifatul fil ardhi sebagai bentuk dan manifestasi nilai–nilai ibadah kepada Tuhan. Ketika menjadi khalifatul fil ardhi inilah kewajiban manusia menafsirkan Al Qur’an berdasarkan kapasitas pemikiran mereka tanpa memutarbalikkan bahasa Al Qur’an sebagai kekuatan Syarisme Seumpamanya di dalam Al Qur’an dari sekian banyak surat serta ayat tidak ada yang menjelaskan tentang rambu-rambu lalu lintas yang berwarna–warni untuk mengatur perjalanan manusia dalam berkendaraan, akan tetapi Al Qur’an Cuma memberikan ulasan mengenai konsep keselamatan dan kebahagiaan manusia. Memang berbagai macam argumentasi dan keilmiahan manusia dalam mengungkapkan bahasa dan rahasia Al Qur’an dalam menjamin keselamatan dan kebahagiaan manusia itu sendiri. Katakanlah manusia menyusun peraturan-peraturan lalu lintas demi memelihara keselamatan seluruh aktifitasnya. Demikian juga dengan berbagai peraturan lain nsecara konstitusional tenu ingin mencapai dan menuju kehidupan yang lebih baik dan jauh dari kemungkaran. Akan tetapi peraturan – peraturan tersebu di buat dan di susun oleh manusia harus memiliki makna keadilan, persamaan dan lebih pening aturan tersebut mencerminkan sifat keberimanan dan ketuhanan manusia. Dari dimensi inilah kita akan mengenal kehidupan yang penuh dengan keharmonisan tanpa ada diskriminatif terhadap sesama hamba Tuhan. Ketika hal – hal seperti ini kita akan capai sebagai flaform universalnya maka sesungguhnya kita semua mengantarkan pada apa yang di kehendaki oleh Tuhan yakni kehidupan yang bahagia dunia dan akherat. Kehidupan akherat kelak nantilah akan menentukan nasib baik atau buruknya manusia sesuai dengan penilain dan peraturan yang di tetapkan oleh Tuhan semesta alam ini. Maka Oleh karena itu sesungguhnya manusia harus selalu menuntun dirinya sebagai individu yang bersifat otonom dan memiliki sifat otosentrisme dengan ilmu yang di milikinya. Dari sinilah kita akan menilai bagaimana hasil dari fraksis manusia menjalankan seluruh perintah dan larangannya demi menuju perjalanan yang sangat jauh itu ?.

Sesungguhnya manusia memiliki problem yang sangat melekat pada diri manusia itu sendiri yaitu kelebihan dan kelemahannya. Manusia memiliki kelebihan tentu berdasarkan sifat–sifat mereka yang baik seperti nonegois dan tidak mengatakan dirinya segala sesuatu bisa, maka hal inilah yang di katakana sifat atu ahlak yang mahmudah. Begitu juga dengan kelemahan manusia yang selalu egois dan kesombongan intelektual maupun pemikirannya padahal mereka sangat terbatas, pengakuan seperti inilah yang sering membuat manusia itu terjerembab pada dimensi TBC dan kesombongan Intelektual diri sendiri tanpa bercermin pada sikap orang lain beserta bersumber pada nilai – nilai keillajhiannya. Seiring apa yang di katakana oleh Quraish Sihab dalam buku bahwa kelemahan-kelemahan manusia antara lain ia seringkali bersifat egoistis. Padahal pengetahuannya sangat terbatas. Oleh karena itu jika manusia di serahi tugas untuk menyusun surat dan ayat al qur’an tanpa bimbingan dari Tuhan maka kita semua akan melihat diri kita bagaimana manusia setelah kehidupan kematian, bukan karena aturan yang mereka susun sebagai bentuk kebahagiaan mereka akan tetapi justru Tuhanlah yang memiliki otoritas kekuasaan penuh atas diri manusia itu sesuai dengan amal dan perbuatan yang mereka lakukan. Lantas pertanyaanya aturan atau konstitusi yang bagaimana harus di atur oleh manusia ? Sesuai dengan penjelasan pada paragraf di atas, manusia memilki kewajiban mengatur dan memlihara kekuasaan tuhan di muka bumi ini tanpa diskriminasi tentu memiliki nilai – nilai kemanusiaan dan keadilan seumpamanya manusia diserahi tugas menyusun peraturan dan UU lalu lintas sebagai bentuk ikatan manusia dalam kehidupan mereka agar selalu menjaga dirinya. Dengan aturan atau konstitusi itulah kita semua akan mengetahui bagaimana menuju kehidupan sesudah kematian, yang terpenting bagi manusia dalam menyusun konstiusi tersebut bukan menguntungkan dirinya sendiri. Karena sesungguhnya manusia tidak mengetahui apa yang rencana Tuhan dan akan terjadi pada diri kita setelah kehidupan kematian.

Agama merupakan ciptaan Tuhan yang sangat universal dan terdapat pengetahuan yang maha besar dan sangat luas jangkauannya yang apabila di gali semakin membuat kita yakin dengan keyakinan tersebut kita semakin mendalam akan nilai keberimanan kita namun ketika manusia berada pada taraf keberimanan meraka tentu banyak tantangan baik terlupakan maupun di kerjakan dalam dimensi baik dan buruknya. Maka yang harus di pahami oleh manusia adalah bahwa Agama merupakan ilmu ketuhanan yang menjadi refresentasi dari seluruh kehidupan dan aktivitas manusia dengan ikatan–ikatan syariat (Al Qur’an) baik dalam dimensi duniawiyah maupun al tafsir al khamzah seperti ekonomi syari’ah (ekonomi Islam), Al siyasyah (politik kekuasaan Islam), al ummah (kemasyarakatan), khilafah (kepemimpinan) dan tafsir – tafsir ilmu pengetahuan.. Akan tetapi dalam perkembangan modern dan globalisasi sekarang ini, kebanyakan manusia idak menyadari kakan eksistensinya sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang mempunyai tanggungjawab besar dalam hidupnya. Namun seringkali salah tafsir terhadap eksistensi dirinya sendiri padahal Tuhan menciptakan manusia dan semua kerajaan tuhan (bumi-langit-isinya) adalah untuk beribadah kepada Tuhan itu sendiri sebagaimana yang di jelaskan oleh Al Qur’an dalam mengatakan bahwa : “Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaku (Tuhan).
Kehidupan manusia bukan atas kehendak sendiri melainkan atas kekuasaa Tuhan bahkan. Oleh karena itu terkadang manusia tidak menyadari bahwa mereka telah menzolimi diri mereka sendiri dengan kemauan dan prilaku yang tidak baik katakana itu kaum pengusaha (konglomerat) bermegah – megahan tanpa bisa memberikan sedikit hartanya kepada fakir miskin dan anak yaim piatu, begitu juga dengan manusia yang sering KKN baik dalam pemerintahan maupun menyusun konstitusi tersebut. Inilah kemauan yang pernah di kehendaki oleh Tuhan, padahal sudah di peringatkan dalam Al Qur’an surat At Takaatsur ayat : 01 – 08 adalah : “Bermegah–megahan telah melalaikan kamu sampai kamu masuk kedalam kubur, janganlah begitu kelak kamu akan mengetahui akibat perbuatanmu itu, dan janganlah begitu kelak kamu akan mengetahui, janganlah begitu jika kamu mengetahui dengan perbuatan yang yakin, benar–benar kamu akan melihat neraka jahim, dan sesungguhnya kamu akan benar–benar melihatnya dengan ainul yakin kemudian kamu pasti akan di tanyakan pada hari itu juga tentang kenikmatan yang kamu megah – megahkan di dunia itu. Selain itu juga perkembangan yang lain adalah bahwa manusia sekarang ini memiliki multi feace (banyak wajah) yang berbagai macam pola dan bentuk ataupun pemikiran mereka ada yang bermuka ketimur dan kebarat tidak mau berdialog serta memperhatikan orang lain maupun silaturrahmi padahal itu mungkin masalah organisasi atau personalitynya. Ada juga yang berlebihan dalam menginterfretasikan ilmu ketuhanan mssalnya kaum ateisme, orientalisme, liberalisme, sekulerisme, pluralisme dan literalisme eksklusif bahkan kaum ini bersinergis mengugat keautentikan Al Qur’an tanpa bisa memperluas makna kekuatan kandungan Al Qur’an sehingga cerminan nilai qur’an dapat di internalisasikan da;lam kehgidupan manusia. Memang sangat sayang sekali penciptaan manusia tidak di sertai kesucian jiwanya sehingga manusia memiliki keterbatasannya untuk mempelajari ilmu ketuhanan dan tidak dapat berhubungan secara langsung dengan Tuhanuntuk memperoleh pemahaman pengetahuan dan informasi-Nya. Maka oleh karena itu, Tuhan mengutus orang yang terpilih dan memiliki kesucian jiwa kecerdasan pikiran, intelektual dan moderat untuk menyampaikan perintah dan larangan Tuhan itulah yang di sebut Nabi atau Rasul sebagai manusia yang terpilih agar menyampaikan informasi yang akurat dan jelas tentang ilmu ketuhanan tersebut.

Risalah yang di sampaikan oleh Nabi dan Rasul tentang informasi tersebut masih banyak manusia yang bersifat egois dan kesombongan pemikiran intelektualnya dalam mengartikan secara berlebihan sehingga tidak mempercayai informasi tersebut dan keluar dari dari apa yang di perintah dan larangan Tuhan. Bahkan mereka berusaha menjadikan Nabi dan Rasul sebagaimana manusia biasa seperi apa yang di tampilkan oleh media jeilan posten pada tahun 2006 tentang karikatur Nabi Muhammad saw dan pemutaran film layar lebar di prancis dengan mengambarkan bahwa Nabi Muhammad saw berpoligami tidak adil serta berbagai macam fitnah lainnya yang mencoba untuk meruntuhkan kekuatan dakwah Islam. Penilaian seperti itu bagi mereka yang mengalami kekosong jiwa keberimanan akan agama dan Tuhan. Padahal Al Qur’an di turunkan dan kesucian jiwa seorang Muhammad sebagai Nabi dan Rasul adalah lantaran kehendak Tuhan untuk di berikan tugas dan pelajaran dengan tujuan melengkapi risalah–risalah peradaban sebelumnya kepada Manusia dan mahluk Tuhan lainnya. Dengan demikian untuk meyakinkan manusia, para utusan Tuhan Nabi atau Rasul diberikan bukti-bukti kebenaran yang bisa dijangkau oleh manusia yaitu dalam bahasa agama disebut mukjizat. Apa yang telah kita saksikan dalam sejarah kenabian bahwa para Nabi dan Rasul utusan Tuhan memiliki mukjizat masing–masing sesuai dengan ruang waktu dan tempat serta kondisi manusia yang di hadapinya. Kecuali Nabi Muhammad SAW yang di berikan mukjizat oleh Tuhan berupa Al Qur’an untuk menyempurnakan seluruh kitab–kitab maupun prilaku kehidupan sebelumnya dan Al Qur’an atau mukjizat Nabi Muhammad ini bersifat luas dan universal bagi seluruh pencipta Tuhan. Begitu juga dengan misi kerasulan dan kenabian Muhammad saw diutus untuk menyempurnakan tingkah laku seluruh umat manusia Menurut Dr. quraishi Sihab Pengutusan Nabi Muhammad membawa bukti kebenaran beliau juga tidak mungkin bersifat lokal, temporal, dan material. Bukti itu harus bersifat universal, kekal, dapat dipikirkan dan dibuktikan kebenarannya oleh akal manusia. Di sinilah terletak fungsi Al-Quran sebagai mukjizat. Kebenaran Al Qur’an dan Islam sebagai Agama universal sesungguhnya bersumber dari Allah swt. Yang telah menggariskan konsep dan metode kehidupan secara menyeluruh di dalam di atur urusan–urusan yang akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang bahagia, aman dan tenteram. Allah berfirman “kami tidak ada yang di rahasiakan dan menyia–nyiakan di dalam Al Qur’an (Al Kitab). Hal–hal yang telah di sampaikan oleh Muhammad saw benar–benar telah memberikan nilai dan keadilan yang dapat menggembleng kehidupan pribadi maupun masyarakat untuk memperbaiki, meluruskan jiwa mereka dan menghaluskan etika manusia. Sehingga melahirkan generasi–generasi yang selalu berlaku benar, jujur, menjaga kesucian diri, adil dan membantu orang–orang yang teraniaya.

Dari beberapa diskusi yang pernah saya lakukan dengan berbagai kawan–kawan aktivis mahasiswa yang kritis dengan berbagai latar belakang keilmuan mereka terutama IMMawan dan IMMawati (IMM) dan khusus lagi bagi kawan Wahyu Alamsyah. Mereka semua tentang bagaimana dengan kitab–kitab Tuhan yang lain mereka mengimani berdasarkan agama mereka dan dimana letak singkronisasi antara Al Qur’an sebagai penyempurna kehidupan manusia dengan kitab (Zabur, Injil, Taurad) yang lainnya ?. Pertanyaan ini sebenarnya lahir dari seorang Wahyu Alamsyah yang baru di DAD oleh IMM ketemu dengan saya di sebuah kontrakan “Landolo” di daerah pagesangan BTN Pepabri. Bahwa Islam sebagai agama universal telah memberikan manusia jalan keluar dari kemiskinan jiwa mereka menuju individu yang otonom dalam memahami eksistensi mereka. Namun manusia terkadang memperdebatkan sesuatu yang sudah memiliki kejelasan arti dan kandungan, padahal dengan debat seperti itu tidak akan bisa meraih kebahagiaan. Bagi saya pertanyaan seorang Wahyu Alamsyah sangat sulit karena saat diskusi itu tidak bisa saya jawab, kemudian saya menindaklanjuti dengan membuka Al Qur’an. Nah, di dalam Al Qur’an surat Al Ankabuut ayat 46–47 yang mengatakan : Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang–orang yang zalim di antara mereka. Dan katakanlah : kami telah beriman kepada kitab–kitab yang telah di turunkan kepada kami dan kepadamu : Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu dan kami hanya kepadanya berserah diri. Dan demikianlah pulalah kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) maka orang – orang yang telah kami berikan kepada mereka Al kitab (Taurat) dan kepada yang beriman yaitu Al Qur’an dan di antara mereka orang–orang kafir makkah ada yang beriman kepadanya. Dan yang tidak adalah mengingkari ayat–ayat kami selain orang–orang kafir (QS Al An Kabuut : 46–47). Kedua ayat tersebut diatas menjelaskan tentang keuniversalan dan kebenaran Al Qur,an. Dan harus kita perhatikan secara bersama bahwa Nabi Muhammad saw tidak pernah melihat, berhitung, membaca dan menulis kitab sebelumnya. Karena ada beberapa hal bahwa Nabi Muhammad saw hidup di tengah–tengah masyarakat berbangsa romawi yang di kenal dengan prilaku jahiliyah. Beliau menggambarkan sebuah kondisi kehidupan sendiri yang di ungkapkan dalam kata-katanya "Kami adalah masyarakat yang tidak pandai menulis dan berhitung." Dengan pandangan seperti itulah Al Qur’an melukiskan bahwa : Kamu idak pernah membaca sebelumnya (Al Qur’an) dan kamu tidak pernah menulis suatu kitab dengan tangan kananmu, Andaikata kamu pernah membaca dan menulis ragulah orang yang mengingkari (QS Al An Kabuut : 48). Ini merupakan pandangan yang di kemukakan oleh Al Qur’an kepada manusia bahwa memang manusia sebelumya tidak tau tentang membaca dan menulis sebelumnya. Akan tetapi manusia itu di berikan ilmu agar dapat mereka membaca dan menelaah serta mampu mengaflikasikannya. Akan tetapi Al Qur’an itu tidak bisa di rubah dalam benuk apapun karena Al Qur’an memiliki keistimewaan yang di lindungi oleh Tuhan. Keistimewaan tersebut dapat berupa susunan kata bahasa, indah dan mudah di baca.

Manusia Mentartibkan Al-Quran

Benarkah apa dituduhkan oleh para akaum orientalisme Moder sekarang ini ? Kalau tidak benar hal itu, Bagaimana counter wacana dan paham para ulama terhadap tudukan kaum orientalisme tersebut ?. Harus di ingat bahwa jumlah seluruh ayat Al-Quran 6000 ayat yang telah disepakati para ulama serta susunan atau urutan ayatnya terdapat dalam mushaf Usmani yang bersifat tauqifi. Artinya berdasarkan perintah serta petunjuk dari Nabi Muhammad SAW sesuai dengan wahyu yang diterima oleh beliau dari Tuhan melalui perantaraan malaikat Jibril. Hal ini juga di pertanyakan oleh para orientalisme yang berbaju liberalis dan sekulerisme bahwa mengenai susunan atau urutan surah-surah Al-Quran yang jumlahnya 114 surah terdapat perbedaan pendapat para ulama, apakah tartib Al-Quran tersebut bersifat tauqifi yang berdasarkan petunjuk atau ketetapan dari Nabi Muhammad saw ataukah hanya merupakan rekayasa atau hasil ijtihad para sahabat Nabi ?. Sebelum kita melangkah lebih jauh, kita terlebih dahulu membahas bagaimana manusi mentartibkan Al Qur’an. Dari definisi tartib dan penjelasan Al Qur’an itulah akan terjawab pertanyaan keraguan para kaum orientalisme yang berbaju liberalisme dan sekularisme. Dengan itulah definisi kata tartib berasal dari bahasa Arab Tar taiyyiba atau sir tabiy atau sar’ri taba yang berarti aturan, susunan. Menurut Syaikh Muhammad Ibn Shalih al-Utsaimin tartib al-Quran adalah pembacaan Al-Quran secara berurutan sesuai dengan yang tertulis dalam kitab-kitab Al-Quran dan dihafal dalam oleh manusia berdasarkan kemampuan mereka. Tartib al-Quran terbagi menjadi dua macam yaitu tartib al-ayat dan tartib al-suwar.

Dalam mentartibkan Ayat al qur’an ada dua model yakni tartib al-ayat dan tartib Al-Suwar, Secara bahasa kata ayat memiliki beberapa makna antara lain : Pertama, bermakna alamat atau tanda. Seperti dalam Al Qur’an yang mengatakan: “Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja ialah kembalinya Tabut kepadamu di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga musa dan harun, tabut itu di bawa oleh malaikat. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang beriman. (Al-Baqarah : 248). Kedua, bermakna bukti atau keterangan, Seperti dalam Al Qur’an yang mengatakan :” Dan diantara bukti-bukti kekuasaanNya ialah menciptakan langit dan bumi dan perbedaan bahasa dan kulit” (QS. al-Rum: 22). Disamping itu, menurut istilah ahli tafsir bahwa ayat adalah sejumlah susunan perkataan yang mempunyai permulaan dan penghabisan yang dihitung sebagai suatu bagian dari surat. Manna Al-Qaththan yang juga bermaksud kalam Tuhan yang terdapat dalam sebuah surat dalam Al-Quran. Sementara itu, para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah ayat yang terdapat dalam Al-Quran. Namun, mereka sepakat bahwa jumlahnya tidak kurang dari 6000 ayat. Adapun mengenai susunan atau tartib ayat-ayat Al-Quran telah terjadi ijma atau kesepakatan pendapat para ulama dan susunan atau urutan ayat-ayat Al-Quran sebagaimana yang terdapat dalam mushaf Usamani yang ada sekarang adalah tauqifi. Hal tersebut juga dikemukakan Abu Ja’far al-Zubair dalam kitab Munasabatnya bahwa urutan-urutan ayat dalam surat berdasarkan tauqif Rasululah SAW dan tidak ada perbedaan diantara umat Islam. Tentunya hal tersebut sesuai dengan petunjuk yang beliau terima dari Tuhan melalui perantaraan malaikat Jibril. Sebagaimana kita ketahui bersama dalam sejarah turunnya Al Qur’an dengan secara berangsur-angsur. Terkadang pada ruang dan waktu tertentu diturunkan sejumlah ayat kemudian di turunkan lagi beberapa ayat selanjutnya. Pada setiap ayat itu Jibril menunjukkan kepada Rasulullah tempat dimana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam surat atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Kemudian, Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya ditempat tersebut. Beliau memerintahkan kepada para sahabatnya yang telah mampu menulis dan membaca Al Qur’an agar ayat–ayat tersebut di letakkan pada tempatnya sesuai dengan perintah Allah SWT seperti kata basmalah si awal setiap surat Al Qur’an oleh karena memang kata basmalah dalam Al Qur’an sebagai pembuka segala sesuatu termasuk saat memulai pekerjaan atau awal aktivitas manusia.

Indikator–indikator lain yang bisa menunjukkan kebenaran Al Qur’an yang bersifat tauqifi yaitu ketika khalifah Utsman Ibn Affan dalam penulisan yang tetap menempatkan ayat-ayat Al Qur’an pada surat-surat dan urutan ayat-ayat tersebut termasuk ayat-ayat Al Qur’an yang hukumnya mansukh. Berkaitan dengan hal tersebut Abdullah Ibn Zubair pernah bertanya kepada Utsman Ibn Affan, bahwa ayat Al Qur’an Surat Al-Baqarah : 234 telah dimansukh oleh ayat lain. Utsman bertanya mengapa anda meuliskannya atau membiarkannya ditulis ? Ia menjawab: aku tidak mengubah sesuatu pun dari tempatnya. Sehubungan dengan perkembangan penyusunan Al Qur’an dari ayat serta suratnya yang ditetapkan Rasulullah SAW didalam mushaf tidak seluruhnya menurut urutan turunnya wahyu. Sebagai bukti, terdapat sejumlah ayat Al-Quran yang diturunkan di Madinah (Madaniyah) dan di dalam mushaf tercantum juga surat yang turun di makkah (makkiyah) seperti Surat Ibrahim Ayat 28-29 diturunkan di Madinah, sementara surat Ibrahim adalah salah satu surat makkiyah. Begitu juga dengan surat Al-Hijr ayat 87 diturunkan di Madinah, sementara surat Al-Hijr adalah surat makkiyah. Kemudian surat Al-Anfal ayat 30-36 diturunkan di Mekkah, sementara surat al-Anfal adalah salah satu surat Madaniyyah dalam Al-Quran. Demikian pula dengan surat At-Taubah 126–127 diturunkan di Mekah, sementara surat At-Taubah termasuk surat Madaniyyah dalam Al-Quran. Sehubungan dengan tartib ayat-ayat Al-Quran sebagaimana diuraikan diatas, Muhammad Al-Baghawi sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Al-Suyuthi menyatakanbahwa “Sesungguhnya para sahabat Rasulullah saw telah menghimpun dan menulis Al-Quran yang diwahyukan Allah swt kepada RasulNya dalam satu mushaf. Nabi Muhammad saw mengajarkan Al-Quran kepada sahabat beliau dan memberikan petunjuk mengenai tartib/urutan-urutan ayat sebagaimana yang terdapat dalam mushaf yang kita kenal sekarang berdasarkan petunjuk Jibril. Pada setiap kali ayat-ayat Al-Quran diturunkan Rasulullah saw memberitahukan bahwa ayat ini diletakkan setelah ayat ini di surat ini”. Allah swt mengutus jibril untuk senantiasa memeriksa Al-Quran yang telah disampaikan kepada Rasulullah sekali setiap tahun, pada bulan ramadhan dan pada tahun terakhir kehidupannya sebanyak dua kali. Dengan demikian, tartib ayat-ayat Al-Quran seperti yang ada dalam mushaf yang beredar diantara kita adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi. Al-Suyuthi, setelah menyebutkan hadist-hadist yang berkenaan dengan surat-surat tertentu mengemukakan: “Pembacaan surat-surat yang dilakukan Rasulullah saw dihadapan para sahabat itu menunjukkan bahwa tartib ayat-ayatnya adalah tauqifi, sebab para sahabat tidak akan menyusunnya dengan tartib yang berbeda dengan mereka dari bacaan Nabi. Maka sampailah tartib ayat tersebut pada tingkat mutawatir dan universalnya Al Qqur’an.
Surah merupakan bagian-bagian batang tubuh Al-Quran yang sebenarnya. Terjemahan bab, tetapi bukan merupakan padanan kata yang tepat. Kata surah dalam bentuk jamak adalah Suwar dan juga muncul dalam teks Al-Quran, akan tetapi asal–usul kata ini sangat meragukan. Secara umum pandangan yang dapat diterima bahwa kata suwar berasal dari bahasa Ibrani “shurah”, suatu deretan bekas-bekas batu bara di dinding dan bekas pepohonan anggur. Dari sini, makna serangkaian bagian atau bab dalam Al Qur’an. Tetapi maknanya agak dipaksakan. Disamping itu, makna tersebut hampir tidak memiliki pengertian seperti kata surah yang digunakan dalam Al-Quran itu sendiri. Dalam surah Yunus: 38 disebutkan : ”Maka cobalah datangkan sebuah surah seumpamanya.” Demikian pula dalam Al Qur’an Surat.Al Qashash : 49 yang mengatakan bahwa “Datangkanlah olehmu suatu kitab dari sisi Allah yang kitab itu lebih dapat memberi petunjuk dari pada keduanya (Taurat dan Al Qur’an) niscaya aku akan mengikutinya. Jika kamu sungguh orang–orang yang benar”. Jelaslah bahwa makna yang dimaksudkan disini adalah seperti wahyu atau kitab suci. Disisi lain, menurut Muhammad Hadi Ma’rifat, surah berasal dari kata surul Balad (dinding yang mengitari kota). Istilah surah digunakan karena setiap surah mengandung dan membatasi ayat-ayat Al-Quran, sama seperti dinding kota yang meliputi rumah-rumah. Lain halnya dengan tartib ayat-ayat Al-Quran yang secara ijma’ disepakati oleh para ulama, tartib surah-surah Al-Quran justru ditanggapai berbeda oleh para ulamadengan mengatakan bahwa tartib Al-Suwar berdasarkan ijtihad. Artinya urutan surah-surah dalam mushaf yang empat yang berasal dari Ali Ibn Abi Thalib, Ubay Ibn Ka’ab, Abdullah Ibn Mas’ud dan Abdullah Ibn Abbas yang berbeda-beda penetapannya.
Pertama, dikatakan tartib surah itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Rasulullah sebagaimana diberitahukan Jibril kepadanya atas perintah Tuhan. Dengan demikian, Al-Quran pada masa Rasulullah telah tersusun surah-surahnya secara tertib sebagaimana tartib ayat-ayatnya seperti yang kita pedomani sekarang ini yaitu tartib mushaf Utsmani yang tak ada seorang sahabat pun menentangnya. Ini menunjukkan telah terjadi kesepakatan (Ijma’) atas tartib surah tanpa suatu perselisihan pun. Yang mendukung pendapat ini ialah bahwa Rasulullah SAW telah membaca beberapa surah secara tertib di dalam shalatnya. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah membaca beberapa surah mufassal dalam satu rakaat. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibn Mas’ud bahwa Ia mengatakan tentang surah Bani Israil, al-Kahfi, Maryam, Thaha dan al-Anbiya’: surah-surah itu termasuk yang diturunkan di Mekah dan yang pertama-tama aku pelajari. Kemudian ia menyebutkan surah-surah tersebut secara berurutan sebagaimana susunan seperti sekarang ini. begitu juga dengan Ibn Hisar mengatakan: “Tertib Surah dan letak-letak ayat pada tempat-tempatnya itu berdasarkan wahyu. Rasulullah mengatakan: “letakkanlah ayat ini ditempat ini.” Hal tersebut telah diperkuat pula oleh nukilan atau riwayat yang mutawatir dengan tertib sekarang ini dari bacaan Rasulullah dan ijma’ para sahabat untuk meletakkan atau menyusunnya seperti ini di dalam mushaf. Kedua, bahwa tartib surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat. Mereka yang berpendapat Imam Malik Ibn Anas (w. 179 H), Abu Bakar Al-Baqilani (w. 403 H) dan Abu al-Husain Ahmad Ibn Faris (w. 395 H). adalah tidak adanya keseragaman dalam mushaf para sahabat mengenai tartib atau urutan surah-surahnya. Seandainya urutan surah-surah Al-Quran itu bersifat tauqifi, tentu tidak akan ada perbedaan dalam mushaf-mushaf mereka. Misalnya mushaf Ali Ibn Abi Thalib disusun menurut urutan turunnya wahyu yang diterima Rasulullah SAW., yakni diawali dengan iqra kemudian Al-Mudatstsir, Nun, Qalam, Muzammil dan seterusnya hingga akhir surah Makkiyah dan Madaniyyah. Dalam Mushaf Ibn Mas’ud yang pertama ditulis adalah surah Al-Baqarah, al-Nisa, Ali Imran dan seterusnya. Dalam mushaf Ubay yang pertama ditulis adalah Al-Fatihah, Al-Baqarah, Al-Nisa kemudian Ali Imran.

Ibn Abbas meriwayatkan: Aku bertanya kepada Utsman: Apakah yang mendorongmu mengambil al-Anfal yang termasuk kategori matsani dan surah Bara’ah yang termasuk mi’in untuk kamu gabungkan keduanya menjadi satu tanpa kamu tuliskan diantara keduanya Bismillahirrahmanirrahim dan kamu pun meletakkannya pada assab’u Nuzul (tujuh surah panjang) ?. Ustman menjawab: telah turun kepada Rasulullah surah-surah yang mempunyai bilangan ayat. Apabila ada ayat yang turun kepadanya ia memanggil beberapa orang penulis wahyu dan mengatakan: “Letakkanlah ayat ini pada surah yang didalamnya ayat begini dan begini.” Surah Al-Anfal termasuk surah pertama yang turun di Madinah sedangkan surah Bara’ah termasuk surah yang terakhir diturunkan. Kisah dalam surah Al-Anfal serupa dengan kisah dalam surah Bara’ah sehingga aku mengira bahwa surah Bara’ah adalah bagian dari surah Al-Anfal dan sampai wafatnya Rasulullah tidak dijelaskan kepada kami bahwa surah Bara’ah merupakan bagian dari surah Al-Anfal. Oleh karena itu, kedua surah tersebut aku gabungkan dan diantara keduanya tidak aku tuliskan Bimillahirrahmanirrahim serta aku meletakkannya pula pada Assab’un Nuzulnya. Ketiga, dikatakan bahwa sebagian surah itu tartibnya tauqifi dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad para sahabat. Hal ini dikarenakan adanya dalil yang menunjukkan tartib sebagian surah pada masa Rasulullah SAW. Misalnya, keterangan yang menunjukkan tartib Assab’u Al-Tiwal, Al-Mufassal pada masa Rasullah ketika masih hidup. Ibn Hajar mengatakan: “Tartib sebagian surah-surah atau sebagian besarnya itu tidak dapat ditolak yang bersifat tauqifi.” Untuk mendukung pendapatnya itu ia mengemukakan hadis Huzaifah Al-Saqafi yang mengatakan bahwa : “Rasulullah berkata kepada kami, telah datang kepadaku waktu untuk membaca hizb (bagian dari Al-Quran) maka aku tidak akan keluar sebelum selesai. Lalu kami tanyakan kepada sahabat-sahabat Rasulullah: bagaimana kalian membuat pembagian Al-Quran ? Mereka menjawab: Kami membaginya menjadi tiga surah, lima surah, tujuh surah, sembilan surah, sebelas surah, tiga belas surah dan bagian Al-Mufassal dari Qaf sampai khatam. Ibn Hajar berkata lebih lanjut: “ini menunjukkan bahwa tartib surah-surah seperti yang terdapat dalam mushaf Usmani adalah tartib surah pada masa Rasulullah dan telah disusun pada waktu itu hanyalah bagian mufassal, bukan yang lain.

Apabila mendialogkan ketiga pendapat ini Manna Khalil al-Qaththan memberi penjelasan bahwa pendapat kedua yang menyatakan tartib surah-surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat, tidak bersandar dan berdasar pada suatu dalil. Sebab, ijtihad sebagian sahabat mengenai tartib mushaf mereka yang khusus merupakan ikhtiar mereka sebelum Al-Quran dikumpulkan, disusun ayat-ayat dan surah-surahnya pada satu huruf (dialek) dan ummat pun menyepakatinya dan mushaf-mushaf yang ada pada mereka ditinggalkan. Seandainya tartib itu merupakan hasil ijtihad, tentu mereka tetap berpegang pada mushafnya masing-masing. Sementara itu pendapat ketiga yang menyatakan sebagian surah itu tartibnya tauqifi dan sebagian lainnya bersifat ijtihadi, dalil-dalilnya hanya berpusat pada nash-nash yang menunjukkan tartib tauqifi. Adapun bagian yang ijtihadi tidak bersandar pada dalil-dalil yang menunjukkan ijtihadi. Sebab, ketetapan tauqifi dengan dalil-dalilnya tidak berarti bahwa selain itu adalah hasil ijtihadi. Disamping itu, yang bersifat demikian pun hanya sedikit sekali. Dengan demikian, tetaplah bahwa tartib surah-surah itu bersifat tauqifi seperti halnya tartib ayat-ayat. Abu bakar Ibn Al-anbary menyebutkan: “Allah telah menurunkan Al-Quran seluruhnya ke langit dan dunia. Kemudian Ia menurunkannya secara berangsur-angsur selama dua puluh sekian tahun. Sebuah surah turun karena suatu urusan yang terjadi dan ayat pun turun sebagai jawaban bagi orang yang bertanya, sedangkan Jibril senantiasa memberitahukan kepada Nabi dimana surah dan ayat tersebut harus ditempatkan. Dengan demikian susunan surah-surah seperti halnya susunan ayat-ayat dan bahasanya Al-Quran keseluruhannya berasal dari Nabi. Oleh karena itu, barang siapa mendahulukan sesuatu surah atau mengakhirkannya, ia telah merusak tatanan Al-Quran. Di dalam Al Qur’an juga di jelaskan tentang Fawashil dan Ra’su al-Ayat yang merupakan bentuk jamak dari kata al-fashil yang berarti pemisah. Maksud dengan fawashil dalam hal ini adalah kalimat atau perkataan yang terpisah dengan kalam setelahnya. Begitu juga dengan ra’su al-ayat ialah akhir ayat yang padanya diletakkan tanda fasl (pemisah) antara satu ayat dengan ayat lain sehingga ada ulama yang mengatakan setiap ra’su al-ayat adalah fashilah tetapi tidak setiap fashilah itu ra’su al-ayat. Dikatakan juga bahwa fawashil adalah huruf yang mirip pada akhirnya yang menyebabkan keindahan makna dan hal ini termasuk keindahan balaghah. Fawashil dalam hal ini dapat juga disebut sajak. Namun, banyak ulama tidak menggunakan istilah ini, alasannya dikarenakan nilai Quran lebih tinggi dibandingkan perkataan para sastrawan. Fashilah dalam Al-Quran bermakna menguntaikan kalimat dalam satu irama. Adapun macam-macam fashilah dalam Al-Quran yaitu : 1. Fawashil yang huruf-hurufnya sejenis (mutamatsilah), contohnya fawashil yang huruf-hurufnya berdekatan, seperti huruf mim dan tsa. 2. Fashilah mutawaziyah, yaitu bila dua kata sama dalam irama dan huruf-huruf sajaknya. 3. Fashilah mutawazin, yaitu bila hanya irama yang diperhatikan dalam penggalan kalimat.

Seperti apa yang telah di jelaskan diatas merupakan sesuau hal yang sangat fundamental dan radikal (Mendalam) mengenai keautentikan dan kebenaran Al Qur’an yang sesungguhnya tidak bisa di buat redaksinya oleh manusia. Dengan demikian rampung diturunkan kita sesunggunya telah menyaksikan Al-Quran yang begitu indah tentang redaksi-redaksinya yang menunjukkan adanya keseimbangan dan keselarasan antara huruf, bahasa dan ungkapannya. Seperi yang di jelaskan oleh Abdurrazaq Nawfal, dalam Al-Ijaz Al-Adabiy li Al-Qur'an Al-Karim yang terdiri dari tiga jilid tentang keseimbangan dan keselarasan kemurnian Al Qur’an yang di kuif dalam bukunya Dr. M. Quraish Shihab yang berjudul Membumikan Al-Quran : Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, mengatakan bahwa sangat banyak yang menjelaskan tentang keseimbangan tersebut, sebagai berikut adalah : Pertama; Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya. Beberapa contoh, di antaranya : 1. Al-hayah (hidup) dan al-mawt (mati), masing-masing sebanyak 145 kali; 2. Al-naf' (manfaat) dan al-madharrah (mudarat), masing-masing sebanyak 50 kali; 3. Al-har (panas) dan al-bard (dingin), masing-masing 4 kali; 4. Al-shalihat (kebajikan) dan al-sayyi'at (keburukan), masing-masing 167 kali; 5. Al-Thumaninah (kelapangan/ketenangan) dan al-dhiq (kesempitan/kekesalan), masing-masing 13 kali; 6. Al-rahbah (cemas/takut) dan al-raghbah (harap/ingin), masing-masing 8 kali; 7. Al-kufr (kekufuran) dan al-iman (iman) dalam bentuk definite, masing-masing 17 kali; 8. Kufr (kekufuran) dan iman (iman) dalam bentuk indifinite, masing-masing 8 kali; 9. Al-shayf (musim panas) dan al-syita' (musim dingin), masing-masing 1 kali. Kedua; Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya adalah sebagai berikut : 1. Al-harts dan al-zira'ah (membajak/bertani), masing-masing 14 kali; 2. Al-'ushb dan al-dhurur (membanggakan diri/angkuh), masing-masing 27 kali; 3. Al-dhallun dan al-mawta (orang sesat/mati [jiwanya]), masing-masing 17 kali; 4. Al-Qur'an, al-wahyu dan Al-Islam (Al-Quran, wahyu dan Islam), masing-masing 70 kali; 5. Al-aql dan al-nur (akal dan cahaya), masing-masing 49 kali; 6. Al-jahr dan al-'alaniyah (nyata), masing-masing 16 kali. Ketiga: Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya adalah : 1. Al-infaq (infak) dengan al-ridha (kerelaan), masing-masing 73 kali; 2. Al-bukhl (kekikiran) dengan al-hasarah (penyesalan), masing-masing 12 kali; 3. Al-kafirun (orang-orang kafir) dengan al-nar/al-ahraq (neraka/ pembakaran), masing-masing 154 kali; 4. Al-zakah (zakat/penyucian) dengan al-barakat (kebajikan yang banyak), masing-masing 32 kali; 5. Al-fahisyah (kekejian) dengan al-ghadhb (murka), masing-masing 26 kali. Keempat; keseimbangan-keseimbangan tersebut, ditemukan juga keseimbangan khusus. 1. Al-israf (pemborosan) dengan al-sur'ah (ketergesa-gesaan), masing-masing 23 kali; 2. Al-maw'izhah (nasihat/petuah) dengan al-lisan (lidah), masing-masing 25 kali; 3. Al-asra (tawanan) dengan al-harb (perang), masing-masing 6 kali; 4. Al-salam (kedamaian) dengan al-thayyibat (kebajikan), masing-masing 60 kali. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya Kata yawm (hari) dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun. Sedangkan kata hari yang menunjuk kepada bentuk plural (ayyam) atau dua (yawmayni), jumlah keseluruhannya hanya tiga puluh, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Disisi lain, kata yang berarti "bulan" (syahr) hanya terdapat dua belas kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun. Al-Quran menjelaskan bahwa langit ada "tujuh." Penjelasan ini diulanginya sebanyak tujuh kali pula, yakni dalam ayat-ayat Al-Baqarah 29, Al-Isra' 44, Al-Mu'minun 86, Fushshilat 12, Al-Thalaq 12, Al-Mulk 3, dan Nuh 15. Selain itu, penjelasannya tentang terciptanya langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh ayat. Kata-kata yang menunjuk kepada utusan Tuhan, baik rasul (rasul), atau nabiyy (nabi), atau basyir (pembawa berita gembira), atau nadzir (pemberi peringatan), keseluruhannya berjumlah 518 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita tersebut, yakni 518 kali.

Syafrilisme Poros Harakah Al-Qur’an Dan Pembumian Teologi Historis Absolut Universalisme

“Hai orang-orang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." Untuk memberikan argumentasi yang lebih fundamental terhadap para kaum orientalisme bahwa memang Al Qur’an merupakan Ilmu Ketuhanan yang selalu terpelihara kemurniannya (bersipat Absolut). A; Qur’an itu menunjukkan petunjuk, Kesenangan dan pedoman yang sangat lengkap. Bagi seluruh dimensi kehidupan manusia yang bersipat terbika dalam konteks bagaimana manusia memaknai dan melaksanakan seluruh kandungan Al Qur’an oleh karena Al Qur’an memiliki komponen pelajaran yang sangat luas dan melebihi segalanya. Detak jantung mereka menandakan bahwa dengan keberimanan dan ketauhidan mereka baik di saat mengalami rasa bahagia maupun rasa duka atau penderitaan, sumber kita berfikir dalam sebuah kondisi keilmiahan dan gaya penampilan yang menawan serta indah itu sebuah cerminan nilai–ilai qur’ani. Pembuktian absolutismenya Al Qur’an sudah saatnya kita haris mengakui sebagai manusia bahwa keindahan ayat-ayat yang berbentuk kaligrafi telah mewarnai pentas dunia dalam seluruh kehidupan manusia untuk memperindah mulai dari istana RI, dinding rumah, rumah makan depan jalan dan lain sebagainya. Di saat tiba waktu menghamba kepada Tuhan baik dalam keadaan tidur, bekerja, heningnya malam dan di atas reruntuhan WTC terdengar suara azan di seluruh dunia mengayun langkah untuk menuju keberimanan kepada sang yang maha adil (Tuhan). Namun demikian, Senada dengan buku Harun Yahya yang berjudul “sejarah teks Al Qur’an”, Harun yahya mengutif bahasa yang di lontarkan oleh Sir William Muir (1819-1905) yang yang mengatakan bahwa, "Islam sebagai musuh peradaban, kebebasan, clan kebenaran seperti dunia telah mengakuinya."1 Dari ¬sikap manusia seperti ini tak mengenal toleransi dengan selalu MF (Menebar Fitnah) terhadap A-Qur'an sejak ratusan bahkan ribuan abad yang lalu Islam dan umat hingga kini seperti bola salju yang di gelindingkan oleh para orientalisme, Ilmuwan – Ilmuwan penghacur Kitab Tuhan, para misionaris penginjil sampai pada tentara muslim yang di kendalikan oleh Amerika dalam perang di Afganistan hingga konspirasi demokrasi yang melahirkan para politisi priode, semuanya itu adalah penghacur peradaban Al Qur’an. Kontradiksi seperi ini sangat tidak menguntungkan bagi umat islam justru memperparah dan menyakiti hati nurani (hanura) umat Islam dan membenarkan seluruh kemauan kaum non-Muslim yang anggapan bahwa setiap kelompok agama akan memusnahkan kitab suci agana orang lain. Pertanyaan pun mereka lontarkan dimana kebuktian dan relasi keberimanan umat Islam atas krisis yang mereka jumpai ?.
Sebelum memberikan sebuah pembuktian akan faktor sejarah keabsolutan Al Qur’an terlebih dahulu kita mengutip pendapat seorang ulama kontemporer Muhammad Husain Al-Thabathaba'iy menyatakan bahwa sejarah Al-Quran demikian jelas dan terbuka, sejak turunnya sampai masa kini. Ia dibaca oleh kaum Muslim sejak dahulu sampai sekarang, sehingga pada hakikatnya Al-Quran tidak membutuhkan sejarah untuk membuktikan keotentikannya. Kitab Suci tersebut lanjut Thabathaba'iy memperkenalkan dirinya sebagai Firman-firman Allah dan membuktikan hal tersebut dengan menantang siapa pun untuk menyusun seperti keadaannya. Ini sudah cukup menjadi bukti, walaupun tanpa bukti-bukti kesejarahan. Salah satu bukti bahwa Al-Quran yang berada di tangan kita sekarang adalah Al-Quran yang turun kepada Nabi saw. tanpa pergantian atau perubahan--tulis Thabathaba'iy lebih jauh--adalah berkaitan dengan sifat dan ciri-ciri yang diperkenalkannya menyangkut dirinya, yang tetap dapat ditemui sebagaimana keadaannya dahulu.2 Sementara menurut Dr. Mustafa Mahmud, mengutip pendapat Rasyad Khalifah, juga mengemukakan bahwa dalam Al-Quran sendiri terdapat bukti-bukti sekaligus jaminan akan keotentikannya.3 Dari berbagai macam pendapat yang meragukan kebenaran Al Qur’an yang bersifat absolut tersebut.kita menyaksikan sebuah pertanyaan yang di katakana oleh Toby Lester dalam artikel utamanya terbitan Januari 1999 yang di Atlantic Monthly, artikel ini membuka wacana perdebatan sekaligus mengangkat asal usul keaslian dan integritas Al-Qur'an. Hal yang di ungkapkan oleh Toby Lester, tertulis dalam majalah tersebut memberi isyarat bahwa la tidak belajar Islam melainkan belajar dari pengalaman waktu tinggal di daerah mesir yaitu Yaman dan Palestina. Kendati beberapa tahun hal ini tidak me¬nunjukkan tanda-tanda untuk menghalangi karena tampaknya ia belajar sungguh-sungguh dalam membuat perdebatan. la mengatakan : Keilmuan Barat tentang Al-Qur'an biasanya terjadi dalam bentuk pernyataan permusuhan secara terbuka antara Kristen dan Islam. Ilmuwan Kristen dan Yahudi khususnya menganggap Kitab Suci Al-Qur'an ada dalam lingkaran perubahan. Seorang Toby Lester menjelaskan lebih lanjut bahwa menganggap para ilmuwan soviet melihat Islam berdasarkan kacamata keraguan ideologi. Begitu juga N.A. Morozov misalnya, dengan mudah memberi alasan bahwa "hingga masa Perang Salib tidak dapat dibedakan dengan agama Yahudi dan hanya setelah masa itu ia memiliki ciri khas tersendiri sedang Muhammad dan para Khalifah pertama tidak lebih dari tokoh dalam cerita bohong.

Dari argumentasi yang di kemukakan oleh Tob Lester dalam mempertahankan keilmiahannya bahwa Tob Lester menggunakan pendekatan histories atau berdasarkan yang ia lihat pada saat berada di Yaman dan Palestina yang kemudian di hubungkan dengan kemampuan Tob Lester untuk menjelaskan secara akademik: Bukan hanya seorang seperi Tob Lester menjelaskan dengan metode keilmiahannya dalam nenberikan tafsiran, masih banyak orang yang menyadari dirinya sendiri betapa capainya mereka mengumpulkan data dan mengkaji Al Qur’an secara ilmiah hanya untuk menolak kebenaran akan Al Qur’an. Walaupun Mereka dengan kekurangan data dan informasi serta tidak tau tentang bagaimana memutuskan hadist dan hokum lainnya di dalam Islam tetapi tetap mengajak dan menyeru bahwa perlunya perlunya metode penafsiran ulang terhadap Kitab Suci umat Islam (Al Qur’an). Seiring dengan perjalanan penulisan naskah buku ini, saya melihat seorang haji yang juga tetangga, teman diskusi dan makan, saya selama ada di Bebidas Pagesangan Mataram NTB telah banyak berdiskusi tentang Al Qur’an dan Islam. Setiap malam dan waktu di isi oleh ruang diskusi. Saat itu tanpa di sadari pak haji mengeluarkan kalimat yang mengkritik para keilmuan amerika maupun eropa dengan wajah yang sabar bahwa Ilmuwan –Ilmuwan Amerika dan Eropa sesungguhnya sangat berlebihan dalam menginterfretasikan sebuah makna Kitab Suci dan Islam itu sendiri yang di mana akan berakhir dengan sikap keraguan. Lanjut beliau mungkin inilah yang di namakan dengan kebenaran Al Qur’an sebagai teologi sejarah yang absolut sampai–sampai mereka yang menggalinya oleh orang–orang non Islam tidak menemukan keberhasilan sehingga membuat mereka semua ramai–ramai ingin merubah Al Qur’an, sedang niat seperti itu pun tidak berhasil oleh karena mereka semakin penasaran semakin menggalinya maka sampailah pada pertaubatan mereka dengan menyadari bahwa Al Qur’an tidak bisa di jangkau oleh pemikiran manusia dan bahasannya pun indah di dengar serta sususnan redaksinya. Kalangan Arab beranggapan bahwa Al-Qur'an sebagai kitab yang memiliki keunikan lagi indah sampai para penyembah berhala di kota Mekah merasa terharu melihat susunan lirik dan kalimatnya, mereka tidak mampu menciptakan seperti itu. Dari pengakuan orang arab di atas mendapat tantangan Puin yang melakukan pelecehan terhadap Al Qur’an seperti apa yang di katakannya bahwa : "Al-Qur'an menyatakan bahwa ini adalah 'mubeen', atau 'jelas'," katanya. Tetapi jika Anda perhatikan, Anda akan catat bahwa tiap lima kalimat atau yang sederhana saja tidak dapat dimengerti. Tentunya orang¬ orang Islam dan juga sebagian orientalis berkata lain, tetapi fakta menunjukkan bahwa seperlima Al-Qur'an tidak dapat dipahami."

Menurut Dr. Harun Yahya dalam mengambarkan dan menkritisi pernyataan G.R. Puin mengatakan bahwa G.R. Puin mengumbar ucapannya tanpa memberi contoh dan saya telah kehabisan langkah dalam melacaknya di mana letak seperlima Al-Qur' an yang tidak dapat dimengerti. Lebih lanjut ia menyebut bahwa kesediaan menerima pemahaman seperti itu bermula secara sungguh-sungguh pada abad kedua puluh. la merujuk pada tulisan Patricia Crone dengan mengutip pendapat R.S. Humphreys, yang kemudian diakhiri dengan pendapat Wansbrough. Serangan utama dari tulisan Wansbrough ingin menciptakan pendapat tentang dua masalah penting. Pertama, Al-Qur'an dan hadith disebabkan oleh berbagai pengaruh komunitas lebih dari dua abad. Kedua, doktrin ajaran Islam mengikuti cara pemimpin agama Yahudi. Tampaknya Puin sedang membaca kembali karyanya di saat sekarang, karena teorinya berkembang begitu lambat dalam kalangan terbatas di mana "umat Islam melihatnya sebagai sikap penyerangan yang menyakitkan. Para pembaca tentu mengenal siapa Cook, Crone dan Wansbrough sejak seperempat abad, wajah baru muncul dari kalangan ini adalah Dr. Puin, yang penemuannya dijadikan rujukan utama dalam karya Lester yang begitu panjang. Beberapa naskah Al-Qur'an di atas kertas kulit dari Yaman merujuk pada dua abad pertama Islam. Terungkap sedikit namun mampu membangkitkan minat melakukan penyimpangan terhadap standar naskah Al-Qur'an. Penyelewengan seperti ini, kendati tidak mengherankan para ahli sejarah naskah Al-Qur'an, pada hakikatnya sangat mengganggu perasaan dan kepercayaan di kalangan Muslim orthodoks yang mempunyai anggapan bahwa Al-Qur'an yang sampai ketangan kita, hingga hari ini, masih dalam bentuknya yang sempurna, tanpa batas waktu, dan kata-kata Tuhan yang tidak pernah berubah. Pada dasarnya upaya kaum sekuler dalam upaya penafsiran ulang terhadap Al-Qur'an-sebagian berdasarkan fakta akan adanya kulit kertas naskah yang ada di Yaman15 sebagai gangguan dan serangan terhadap kalangan Islam sebagaimana rencana pengadaan reinterpretasi Kitab Injil dan kehidupan Jesus yang akan mengganggu dan merupakan penyerangan terhadap kalangan Kristen konservatif. Upaya reinterpretasi sekuler seperti itu, sangat kuat dan-sebagaimana demonstrasi sejarah renaissance dan reformasiakan mengarah terhadap lahirnya perubahan sosia] secara mendasar. Al-Qur’an, bagaimana pun, di saat sekarang merupakan naskah yang paling berpengaruh dari segi pemikiran ideologi.

Untuk membuktikan bahwa Al Qur’an adalah sala satu kitab yang paling bersejarah dalam kehidupan manusia dengan berbagai keindahan idiologinya untuk menjelaskan tentang seluruh aspek kehidupan tanpa ada sedikitpun yang terlupakan. IMMawan Syafril mengatakan dalam kajian keagamaan yang di laksanakan oleh IMM pada tanggal 31 Juni 2008 di masjid Ulul Albab Universitas Muhammadiyah Mataram Untuk memberikan argumetasi yang ideal terhadap G.R. Puin bahwa terdapat dalam Al Qur’an huruf-huruf hija'iyah pada awal beberapa surah dalam Al-Quran, itu merupakan sebuah jaminan akan kebenaran dan kekuatan serta keistimewaan Al-Quran. Tidak ada yang kurang dan berlebihan dalam penggunaan huruf dari kata Al Qur’an semuanya habis terbagi 19.7 Begitu juga misalnya huruf–huruf qaf awal dari surah ke-50, ditemukan terulang sebanyak 57 kali atau 3 X 19 dan huruf-huruf kaf, ha', ya', 'ayn, shad, dalam surah Maryam, ditemukan sebanyak 798 kali atau 42 X 19. Kemudian huruf (nun) yang memulai surah Al-Qalam, ditemukan sebanyak 133 atau 7 X 19. Kedua, huruf (ya') dan (sin) pada surah Yasin masing-masing ditemukan sebanyak 285 atau 15 X 19. Kedua huruf (tha') dan (ha') pada surah Thaha masing-masing berulang sebanyak 342 kali, sama dengan 19 X 18. serta huruf-huruf (ha') dan (mim) yang terdapat pada keseluruhan surah yang dimulai dengan kedua huruf ini, ha' mim, kesemuanya merupakan perkalian dari 114 X 19, yakni masing-masing berjumlah 2.166.8

Bilangan-bilangan ini, yang dapat ditemukan langsung dari celah ayat Al-Quran oleh Rasyad Khalifah, dijadikan sebagai bukti keotentikan Al-Quran. Karena seandainya ada ayat yang berkurang atau berlebih atau ditukar kata dan kalimatnya dengan kata atau kalimat yang lain, maka tentu perkalian-perkalian tersebut akan menjadi kacau. Angka 19 di atas, yang merupakan perkalian dari jumlah-jumlah yang disebut itu, diambil dari pernyataan Al-Quran sendiri, yakni yang termuat dalam surah Al-Muddatstsir ayat 30 yang turun dalam konteks ancaman terhadap seorang yang meragukan kebenaran Al-Quran.9 Dengan demikian seluruh bukti kebenaran Al Qur’an dapat di petakkan dalam Kitab Suci oleh karena seluruh permasalahan merupakan pekerjaan rumah bersama yang patut kita hadapi. Mungkin permasalah tersebut di gambarkan sebagai berikut : Pertama : Al-Qur' an merupakan sesuau hal yang autentik dan menggangap sebagai ideologi yang memiliki kekuatan pengaruh secara vertical dan horizontal. Kedua, Umat Islam mempedomani Al Qur’an secara total dan absolut tanpa melakukan perubahan karena Al Qur’an sudah di takdirkan oleh Tuhan untuk menyempurnakan kehidupan manusia sampai hari kebangkitan (Sejarah Absolutnya Al Qur’an). Bukan seperti bible yang yang kita lihat sekarang ini selalu berubah setiap pergantian paulus atau vatikan. Ketiga Kaum Orientalis yang berbaju sekulerisme, pluralisme, liberalisme (Spilis) berupaya mengreinterpretasikan dan mentafsirkan Al¬Qur' an ke dalam bentuk yang negatif. Kempat, mungkin kendati kelemahan umat Islam selalu bersikap opensif maupun literalis seperti perkembangan dunia sekarang ini dengan berbagai macam idiologis terhadap sejumlah besar umat Islam yang sebenarnya juga reinterpretasi mereka terhadap Al Qur’an dapat di gunakan sebagai sarana untuk menciptakan kekuatan Ilmu Pengetahuan dan mrndorong terjadinya perubahan sosial secara mendasar dan transformatif.

Masalah sentral yang ingin saya katakan adalah kenapa mesti di jadikan Isklam sala satu musuh bagi mereka padahal teologi mereka juga mengalami kegelisahan akan orientasi dan bahkan kehilangan arah untuk penghambaan terhadap yang di anggap Tuhannya sendiri. Sebagai bukti sekarang ini lebih dari semilyar kaum yahudi dan nasrani beriman pada pernyataan "Saya Yesus (Isa Alaihissalam) yang berasal dari Nazaret adalah Bukan orang yang harus kalian sembah". Hal ini memiliki kejelasan kalaupun di teliti secara akademik akan semakin memperkuat argumentasi bahwa tuhan yang satu adalah Allah SWT. Akan tetapi walaupun yesusu yang mereka anggap Tuhan tetap mengimaninya tanpa meneliti secara mendalam. Mereka mengemukakan "seribu satu" ramalan dari kitab suci bangsa Yahudi (Perjanjian Lama) untuk membuktikan pengakuannya tentang "Yesus adalah Almasih yang dijanjikan oleh bangsa Yahudi". Mengapa mesti mereka tidak mau meninggalkan ramalan tersebut oleh karena tidak puas dengan kebenaran yang mereka miliki pada zaman sejarah purba – purba yahudi dan nasrani.. Padahal ramalan mereka terimah kebenaran bahwa kata Almasih hanya sebagai gelar bukan seorang Tuhan yang mereka yakini selama ini. Hal yang sebenarnya mereka lakukan dalam mengugat kebenaran Al Qur’an adalah mereka melakukan penelitian dan membuktikan penemuan – penemuan secara konvensional tanpa komparasi dengan isi dan kandungan Al Qur’an yang ada. Hal ini idak begitu saja muncul ke permukaan yang di motori oleh para Ilmuwan mereka. Padahal sebetulnya umat Islam telah menyadari sepenuhnya bahwa agenda penelitian dan kerja–kerja intelektual misionaris mereka dengan dukungan para Ilmuwan senior mereka sesunggunya buka gagasan yang usang unuk di pahami akan tetapi sudah menjadi sebuah pertarungan ideologi dan agenda politik diskriminatif dengan berbagai kebijakan terselubung di balik nation state seperi partai–partai nasionalis yang tidak konsisten dengan pesan–pesan agama mereka. Begitu juga pertarungan perpolitikan Indonesia mencampuradukkan pemahaman agama mereka dengan mental–mental koruf dan hedonisme.

Berbagai upaya pengaburan ajaran Islam dan Kitab Sucinya bermula sejak lahirnya agama tersebut, kendati strategi di balik itu mengalami peru¬bahan sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Sejak agama Islam lahir hingga abad ke tiga betas hijriah atau abad ke tujuh dan ke delapan hingga abad ke tiga betas setelah hijriah (dari abad ketujuh hingga delapan betas masehi), tujuan utamanya adalah bagaimana memberi proteksi kuat agama Kristen dalam menghadapi arus kemajuan agama ini di Irak, Suriah, Palestina, Mesir, Libya dll. Salah satu contoh nyata dari masa ini adalah Yohannes dari Damaskus (675-750 Masehi), Peter The Venerable (1084-1156 Masehi), Robert of Ketton (1084-1156 Masehi), Raymond Lull (1235-1316 Masehi), Martin Luther (1483-1546 Masehi), Ludovico Marraci (1612-1700 Masehi). Mereka memperalat pena dengan cara yang tidak sederhana menghendaki sikap ketololan dan pemalsuan. Dipicu oleh semangat perubahan politik yang menguntungkan dan dimulainya penjajahan sejak abad kedelapan betas hingga seterusnya, tahap kedua penyerangan terhadap agama Islam menunjukkan perubahan sikap setelah melihat banyak orang masuk Islam atau sekurang¬kurangnya munculnya rasa bangga dan penentangan yang lahir dari kepercayaan mereka terhadap Allah.

Abraham Geiger (1810-1874) termasuk pada masa kedua. Disertasinya berjudul What hat Mohammaed aus den Judettum aufgenommen ? ('Apa yang diambil oleh Muhammad dari agama Yahudi ?) merupakan upaya menguak pencarian pengaruh tersembunyi terhadap Al-Qur'an yang menyebabkan lahirnya buku-buku dan artikel yang tak terhingga jumlahnya dengan tujuan hendak memberi anggapan seperti halnya Kitab Injil yang palsu dan penuh kesalahan.11 Nama-nama lain yang jadi pelopor periode ke dua, seperti Noldeke (1836-1930), Goldziher (1850-1921), Hurgonje (1857-1936), Bergstrasser (1886-19330, Tisdall (1859-19280, Jeffery (d.1952) dan Schact (1902-1969). Kelompok ketiga bermula dari pertengahan abad ke-20 sejak berdirinya negara Israel, secara aktif berupaya melenyapkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mengutuk kebiadaban perilaku kaum Yahudi. Di antara pengikut aliran ini adalah Rippin, Crone, Power, Calder dan, tidak ketinggalan juga Wansbrough. Teori mereka menyebut bahwa Al-Qur'an dan hadist merupakan produksi masyarakat yang selama dua abad secara fiktif dinisbahkan pada seorang Nabi Arab berdasarkan prototype yang dilakukan oleh orang Yahudi yang tentunya merupakan pendekatan paling keji dalam menepis AI-Qur' an dari statusnya yang suci.12 Sudah ribuan tahun penyerang terhadap Al-Qur'an yang dikemas dalam berbagai dimensi yaitu sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya dengan metode mengkontekstualisasikan dimensi tersebut. Namun kondisi penyerangan untuk merubah Al Qur’an dalam berbagai bentuk tidak mengalami keberhasilan bahkan justru membinggungkan bagi mereka oleh karena tidak tau dan uidak mengerti cara tata bahasa serta penyusunannya. Kekuatan Al Qur’an yang bersipat absolut bagi umat Islam dan sekaligus pedoman yang sangat universal dengan ilmu yang tak terbatas. Al Qur’an pun merupakan sumber sejarah tertulis yang kekal dan Islam bentuk apapun itu entah Islam Tradisional dan Modernis (Reformisme) tetap mengimani dan mentaati Al Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan oleh Tuhan.

Al Qur’an : Pondasi Kesejarahan Idiologis Dalam Kesadaran Syafrilisme

Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Quran :Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996, Bandung yang mengemukakan ada beberapa faktor yang terlebih dahulu harus dikemukakan dalam rangka pembuktian otentisitas Al-Quran, Pertama, Masyarakat Arab, yang hidup pada masa turunnya Al-Quran, adalah masyarakat yang tidak mengenal baca tulis. Karena itu, satu-satunya andalan mereka adalah hafalan. Dalam hal hafalan, orang Arab--bahkan sampai kini--dikenal sangat kuat. Kedua, Masyarakat Arab--khususnya pada masa turunnya Al-Quran dikenal sebagai masyarakat sederhana dan bersahaja: Kesederhanaan ini, menjadikan mereka memiliki waktu luang yang cukup, disamping menambah ketajaman pikiran dan hafalan. Ketiga, Masyarakat Arab sangat gandrung lagi membanggakan kesusastraan; mereka bahkan melakukan perlombaan-perlombaan dalam bidang ini pada waktu-waktu tertentu. Keempat, Al Quran mencapai tingkat tertinggi dari segi keindahan bahasanya dan sangat mengagumkan bukan saja bagi orang-orang mukmin, tetapi juga orang kafir. Berbagai riwayat menyatakan bahwa tokoh-tokoh kaum musyrik seringkali secara sembunyi-sembunyi berupaya mendengarkan ayat-ayat Al Quran yang dibaca oleh kaum Muslim. Kaum Muslim, disamping mengagumi keindahan bahasa Al-Quran, juga mengagumi kandungannya, serta meyakini bahwa ayat-ayat Al-Quran adalah petunjuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Kelima, Al-Quran, demikian pula Rasul saw, menganjurkan kepada kaum Muslim untuk memperbanyak membaca dan mempelajari Al-Quran dan anjuran tersebut mendapat sambutan yang hangat. Keenam, Ayat-ayat Al Quran turun berdialog dengan mereka, mengomentari keadaan dan peristiwa-peristiwa yang mereka alami, bahkan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Disamping itu, ayat-ayat Al-Quran turun sedikit demi sedikit. Hal itu lebih mempermudah pencernaan maknanya dan proses penghafalannya. Ketujuh, Dalam Al-Quran, demikian pula hadis-hadis Nabi, ditemukan petunjuk-petunjuk yang mendorong para sahabatnya untuk selalu bersikap teliti dan hati-hati dalam menyampaikan berita--lebih-lebih kalau berita tersebut merupakan Firman Allah atau sabda Rasul-Nya.13
Beberapa item diatas merupakan faktor-yang menjadi pendukung kesejarahan Idiologis umat Islam dalam kerangka rekonstruksi makana secara ilmiah agar Al Qur’an tetap berada dalam ruang lingkup ilmu ketuhanan bukan hanya bersifat tekstualis dan kontekstulis akan tetapi merupakan sebuah sumber inspirasi kehidupan untuk perubahan sosial kemanusiaan dengan kekuatan ayat-ayat Al-Quran. Oleh sebab itu sebab itu, Al Qur’an adalah sejarah Idiologis yang merupakan alat untuk memberikan sebuah informasi penting dan mengkomonikasikan pertentangan atau perdebatan di kalangan manusia. Bahkan kalau sering kita melihat dan membaca ensiklopedia Islam sangat banyak yang menuturkan bahwa setiap rasulullah mengadakan peperangan pasti ada di antara perajurit (Laskar) Islam yang gugur di medan perang, mereka yang gugur itu adalah para sahabat rasulullah saw penghafal Al-Quran. Akan tetapi dengan kuasa Tuhan orang–orang terdekat rasullullah bisa menghafal Al Qur’an. Di dalam berbagai literatur sering kita baca bahwa Nabi Muhammad saw. bersama para sahabatnya yang menghafal ayat-ayat Al-Quran, memikirkan bagaimana seharusnya ayat Al Qur’an ini bisa di pertahankan agar kelak Ilmu Allah (Kitab Suci) ini bisa terpelihara dan terjamin, Maka rasullullah berinisiatif ayat yang sudah kita hafal dapat kita tulis. Sejarah membuktikan bahwa ada kekuatan Idiologis yang di lahirkan yakni mengajarkan manusia untuk bisa menulis dan membaca serta memberikan rasa kecerdasan bagi manusia sebagaimana yang mereka inginkan.14 Sehubungan dengan hal tersebut bahwa setiap ada ayat yang turun kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian memanggil dan memerintahkan para sahabatnya yang dikenal pandai menulis untuk menuliskan ayat-ayat yang baru saja diterimanya, sambil menyesuaikan tempat dan urutan setiap ayat dalam surahnya. Ayat-ayat tersebut mereka tulis dalam pelepah kurma, batu, kulit-kulit atau tulang-tulang binatang. Sebagian sahabat ada juga yang menuliskan ayat-ayat tersebut secara pribadi, namun karena keterbatasan alat tulis dan kemampuan maka tidak banyak yang melakukannya disamping kemungkinan besar tidak mencakup seluruh ayat Al-Quran. Kepingan naskah tulisan yang diperintahkan oleh Rasul itu, baru dihimpun dalam bentuk "kitab" pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar r.a.15 Pelajaran yang berdimensi Idiologis dalam sejarah Al Qur’an sangat luar biasa di mana rasullulah di rumahnya maupun di masjid melakukan sebuah ritual pengkaderan qur’ani (Baetul Qur’ani) bersama para sahabat, Rasulullah bukan hanya menerima wahyu iu akan tetapi secara Idiologis bisa di artikan sebuah ikhtiar pendidikan yang sangat luar biasa untuk membumikan Al Qur’an dan membebaskan manusia dari fragmentasi kehidupan jahiliyah saat itu. Maka oleh karena itu tidak terlepas pada perkembangan arus modernisasi dan globalisasi sekarang ini tentu umat Islam sangat membutuhkan kekuatan pemikiran dan intelektual serta spritualitas mereka untuk mengembalikan Islam pada masa–masa keemasannya. Hal ini merupakan konsekwensi yang harus di hadapi oleh umat Islam dengan penuh kesabaran dan istiqomah serta berjuang dalam melahirkan generasi–generasi penghafal dan memfraksiskan Al Qur’an.

Sejarah Al-Qur'an secara idiologis sebenarnya fikrah penulisan tentang pemeliharaan Al-Qur’an yang indan, unik dan penuh dinamika intelektual dengan selalu mengusik pemikiran umat Islam dan membakar semangat para pegiat ilmu dalam dunia keislaman. Oleh karena umat Islam tidak mau kehilangan keautentikkan Kitab Sucinya dengan percaya penuh bahwa Al-Qur’an sebagai kitab suci Allah yang tak pernah ternoda dari pemalsuan mereka, tak mampu mengemukakan pendapat secara ilmiah." Tantangan ini merasa terpanggil untuk menghadapinya dengan berbagai pengupasan tentang apa yang di tinggalkan oleh Muhammad saw dan jeripayah para sahabat dalam mengumpulkan dan menyusunnya kembali. Hal ini pula yang seharusnya di akui oleh seorang Tob Lester di mana awalnya ia tidak tau menulis dan membaca namun dengan turunnya Al Qur’an yang sejak awal mencerdaskan kehidupan manusia sebelumnya. Apalagi seorang Tob Lester yang baru lahir dalam dunia modernisasi sehingga kurang begitu tau atau tidak mau tau atau hanya tau ingin merubah Al Qur’an. Pembuktian gerakan Idiologis penulisan AlQur’an telah menjadi bahasa dan sikap yang monumental di tingkat umat Islam. Karena memang cara pembuktiannya adalah ketika perhatian utama kaum orientalis pada aspek naskah bahasa Arab dengan menyentuh segi-segi kelemahannya, kendati hanya setengah abad setelah wafatnya Rasulullah dalam penyusunan naskah tulisan dan meng¬hilangkan asal usul Al Qur’an. Mereka menuduh periode ter-sebut sebagai distorsi penting terjadinya pemalsuan teks asli, kendati dengan cara ini mereka menolak anggapan sebelumnya tentang keberadaannya secara lisan yang pada hakikatnya, orang-orang pada masa itu telah menghafal Al ¬Qur' an dan bahkan memiliki naskah tertulis. Namun pekerjaan mereka sia-sia, naskah yang tidak lengkap tidak memberi pengaruh sedikit pun dalam rentang masa lima puluh tahun. Sebaliknya naskah bahasa Yahudi, yang mengalami transmisi saat kembalinya orang Yahudi itu dari Babilonia ke bumi Palestina sejak masa penawanan, sama sekali tanpa bukti ilmiah dan hal demikian berlaku selama dua ribu tahun hingga terjadinya kontak dengan orang-orang Arab Muslim yang memacu mereka dalam hal tersebut. Adanya anggapan bahwa selisih waktu lima puluh tahun sebagai pembuktian hancurnya naskah Al-Qur'an dan kemungkinan adanya keragu-raguan, sangat tidak masuk akal. Di waktu yang sama Kitab Perjanjian Lama mengalami kesenjangan masa transmisi lisan selama dua abad. Praktik yang telah mapan sejak lahirnya sejarah literatur keislaman mem¬beri isyarat bahwa setiap teks keagamaan (hadith, tafsir, fiqh dll) transmisinya hanya dapat dilakukan oleh mereka yang pernah belajar langsung dari penulis dan kemudian mengajarkan pada generasi berikutnya. Transmisi secara utuh selalu dipertahankan guna memberi peluang pada kita agar dapat menatap secara tajam terhadap asal usul tiap buku yang berkaitan dengan hukum Islam, sekurang-kurangnya pada permulaan abad pertama-suatu metode pembuktian kesahihan yang tidak mungkin tersaingi oleh siapa pun hingga saat ini. Jika kita hendak menerapkan prinsip dasar sistem transmisi literatur Muslim pada semua buku apa saja yang tersedia guna membuktikan keabsahan pengarang¬nya merupakan hal yang tak mungkin dapat dilakukan. Selain Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ditulis tanpa nama, bagaimanapun, tradisi keilmuan Barat merasa lebih senang memberi legitimasi sejarah daripada sistem mata rantai transmisi, yang senantiasa dipandang dengan sikap ragu dan kurang memadai.

Dalam uraian sebelumnya dikemukakan bahwa ketika terjadi peperangan Yamamah, terdapat puluhan penghafal Al-Quran yang gugur. Hal ini menjadikan 'Umar ibn Al-Khathab menjadi risau tentang "masa depan Al-Quran". Karena itu, beliau mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar mengumpulkan tulisan-tulisan yang pernah ditulis pada masa Rasul. Walaupun pada mulanya Abu Bakar ragu menerima usul tersebut --dengan alasan bahwa pengumpulan semacam itu tidak dilakukan oleh Rasul saw.-- namun pada akhirnya 'Umar r.a. dapat meyakinkannya. Dan keduanya sepakat membentuk suatu tim yang diketuai oleh Zaid ibn Tsabit dalam rangka melaksanakan tugas suci dan besar itu. Zaid pun pada mulanya merasa sangat berat untuk menerima tugas tersebut, tetapi akhirnya ia dapat diyakinkan --apalagi beliau termasuk salah seorang yang ditugaskan oleh Rasul pada masa hidup beliau untuk menuliskan wahyu Al-Quran. Dengan dibantu oleh beberapa orang sahabat Nabi, Zaid pun memulai tugasnya. Abu Bakar r.a. memerintahkan kepada seluruh kaum Muslim untuk membawa naskah tulisan ayat Al-Quran yang mereka miliki ke Masjid Nabawi untuk kemudian diteliti oleh Zaid dan timnya. Dalam hal ini, Abu Bakar r.a. memberi petunjuk agar tim tersebut tidak menerima satu naskah kecuali yang memenuhi dua syarat : Pertama, harus sesuai dengan hafalan para sahabat lain. Kedua, tulisan tersebut benar-benar adalah yang ditulis atas perintah dan di hadapan Nabi saw. Karena, seperti yang dikemukakan di atas, sebagian sahabat ada yang menulis atas inisiatif sendiri.17 Untuk membuktikan syarat kedua tersebut, diharuskan adanya dua orang saksi mata. Sejarah mencatat bahwa Zaid ketika itu menemukan kesulitan karena beliau dan sekian banyak sahabat menghafal ayat Laqad ja'akum Rasul min anfusikum 'aziz 'alayh ma 'anittun harish 'alaykum bi almu'minina Ra'uf al-rahim (QS 9:128). Tetapi, naskah yang ditulis di hadapan Nabi saw. tidak ditemukan. Syukurlah pada akhirnya naskah tersebut ditemukan juga di tangan seorang sahabat yang bernama Abi Khuzaimah Al-Anshari. Demikianlah, terlihat betapa Zaid menggabungkan antara hafalan sekian banyak sahabat dan naskah yang ditulis di hadapan Nabi saw., dalam rangka memelihara keotentikan Al-Quran. Dengan demikian, dapat dibuktikan dari tata kerja dan data-data sejarah bahwa Al-Quran yang kita baca sekarang ini adalah otentik dan tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang diterima dan dibaca oleh Rasulullah saw. lima belas abad yang lalu.18
Sangat perlu juga dikemukakan bahwa Rasyad Khalifah, yang menemukan rahasia angka 19 yang dikemukakan di atas, mendapat kesulitan ketika menemukan bahwa masing-masing kata yang menghimpun Bismillahirrahmanirrahim, kesemuanya habis terbagi 19, kecuali Al-Rahim. Kata Ism terulang sebanyak 19 kali, Allah sebanyak 2.698 kali, sama dengan 142 X 19, sedangkan kata Al-Rahman sebanyak 57 kali atau sama dengan 3 X 19, dan Al-Rahim sebanyak 115 kali. Di sini, ia menemukan kejanggalan, yang konon mengantarnya mencurigai adanya satu ayat yang menggunakan kata rahim, yang pada hakikatnya bukan ayat Al-Quran. Ketika itu, pandangannya tertuju kepada surah Al-Tawbah ayat 128, yang pada mulanya tidak ditemukan oleh Zaid. Karena, sebagaimana terbaca di atas, ayat tersebut diakhiri dengan kata rahim. Sebenarnya, kejanggalan yang ditemukannya akan sirna, seandainya ia menyadari bahwa kata rahim pada ayat Al-Tawbah di atas, bukannya menunjuk kepada sifat Tuhan, tetapi sifat Nabi Muhammad saw. Sehingga ide yang ditemukannya dapat saja benar tanpa meragukan satu ayat dalam Al-Quran, bila dinyatakan bahwa kata rahim dalam Al-Quran yang menunjuk sifat Allah jumlahnya 114 dan merupakan perkalian dari 6 X 19.19 Al-Qur'an adalah kalamullah, risalah terakhir untuk umat manusia, iwahyukan pada Rasul terakhir, Muhammad, yang meruang dan sewaktu. la terpelihara di segi keaslian bahasa tanpa perubahan, tambahan, maupun pengurangan. Tak akan ada penemuan Qur'an, baik secara fragmentasi maupun seluruhnya, yang berlainan dari teks yang ada di seluruh dunia. Jika ada, maka tidak akan dianggap sebagai Al-Qur'an, karena satu syarat utama penerimaannya mesti sesuai dengan teks yang digunakan dalam mushaf Uthmani. Tentu saja siapa pun tak berhak melarang seseorang menulis tentang Islam, akan tetapi hanya seorang Muslim yang taat memiliki wewenang yang sah melakukan tugas tersebut dan bahasan lain yang ada hubung¬annya. Mungkin pihak lain menganggap hal ini sebagai prasangka; tetapi siapakah yang tak bersikap demikian? Di luar kalangan Islam tidak dapat mengklaim sikap netral karena tulisan mereka sengaja ingin mengalihkan pikiran orang lain. Apakah ajaran Islam dapat menerima atau tidak ter¬gantung kepercayaan masing-masing dan setiap penafsiran dari pihak Kristen, Yahudi, atheis, atau orang Islam yang tidak mau menjalankan Shari'atnya harus ditolak secara tegas. Saya dapat tambahkan jika tiap pandangan yang disukai bertentangan dengan dasar ajaran Nabi Muhammad saw. balk secara eksplisit mau pun sebaliknya, ia mesti ditolak dan hal ini berlaku bagi tulisan seorang Muslim yang taat sekalipun dapat ditepis sekiranya tidak ada gunanya. Bentuk selektivitas seperti ini berlaku sejak masa keemasan pemerintahan Ibn Sirin (w.110 H./728 M.)20
Mungkin pihak lain menganggap umat Islam tidak memiliki alasan kuat dalam merespons metode keilmuan orang lain. Masalahnya, bagi orang Islam berlandaskan sepenuhnya pada keimanan bukan asal akal-akalan. Di sini saya perlu mengemukakan pendapat dalam menyikapi penemuan mereka dalam bab-bab berikut. Awalnya akan saya ceritakan beberapa bagian sejarah Islam sebagai titik awal memasuki kajian lebih dalam mengenai Al-Qur'an. Agama Islam, agama yang kita anut dan dianut oleh ratusan juta kaum Muslim di seluruh dunia, merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan di akhirat kelak. Ia mempunyai satu sendi utama yang esensial: berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya. Allah berfirman, Sesungguhnya Al-Quran ini memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya (QS, 17:9).21 Al-Quran memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, syariah, dan akhlak, dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsip mengenai persoalan-persoalan tersebut; dan Allah SWT menugaskan Rasul saw., untuk memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu: Kami telah turunkan kepadamu Al-Dzikr (Al-Quran) untuk kamu terangkan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir (QS 16:44). Disamping keterangan yang diberikan oleh Rasulullah saw., Allah memerintahkan pula kepada umat manusia seluruhnya agar memperhatikan dan mempelajari Al-Quran: Tidaklah mereka memperhatikan isi Al-Quran, bahkan ataukah hati mereka tertutup (QS 47:24). Mempelajari Al-Quran adalah kewajiban. Berikut ini beberapa prinsip dasar untuk memahaminya, khusus dari segi hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan. Atau, dengan kata lain, mengenai "memahami Al-Quran dalam Hubungannya dengan Ilmu Pengetahuan." (Persoalan ini sangat penting, terutama pada masa-masa sekarang ini, dimana perkembangan ilmu pengetahuan demikian pesat dan meliputi seluruh aspek kehidupan.22 Kekaburan mengenai hal ini dapat menimbulkan ekses-ekses yang mempengaruhi perkembangan pemikiran kita dewasa ini dan generasi-generasi yang akan datang. Dalam bukunya, Science and the Modern World, A.N. Whitehead menulis: "Bila kita menyadari betapa pentingnya agama bagi manusia dan betapa pentingnya ilmu pengetahuan, maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa sejarah kita yang akan datang bergantung pada putusan generasi sekarang mengenai hubungan antara keduanya." Tulisan Whithead ini berdasarkan apa yang terjadi di Eropa pada abad ke-18, yang ketika itu, gereja/pendeta di satu pihak dan para ilmuwan di pihak lain, tidak dapat mencapai kata sepakat tentang hubungan antara Kitab Suci dan ilmu pengetahuan; tetapi agama yang dimaksudkannya dapat mencakup segenap keyakinan yang dianut manusia. Demikian pula halnya bagi umat Islam, pengertian kita terhadap hubungan antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan akan memberi pengaruh yang tidak kecil terhadap perkembangan agama dan sejarah perkembangan manusia pada generasi-generasi yang akan datang.23

Rekonstruksi Historitas—al-Quran: Periode Makkah–Madinah Revolusi Pembebasan Dan Perdamaian Manusia

Al-Quran yang terdiri dari 114 surah dan susunannya ditentukan oleh Allah SWT. dengan cara tawqifi, tidak menggunakan metode sebagaimana metode-metode penyusunan buku-buku ilmiah. Buku-buku ilmiah yang membahas satu masalah, selalu menggunakan satu metode tertentu dan dibagi dalam bab-bab dan pasal-pasal. Metode ini tidak terdapat di dalam Al-Quran Al-Karim, yang di dalamnya banyak persoalan induk silih-berganti diterangkan. Persoalan akidah terkadang bergandengan dengan persoalan hukum dan kritik; sejarah umat-umat yang lalu disatukan dengan nasihat, ultimatum, dorongan atau tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam semesta. Terkadang pula, ada suatu persoalan atau hukum yang sedang diterangkan tiba-tiba timbul persoalan lain yang pada pandangan pertama tidak ada hubungan antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, apa yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 216-221, yang mengatur hukum perang dalam asyhur al-hurum berurutan dengan hukum minuman keras, perjudian, persoalan anak yatim, dan perkawinan dengan orang-orang musyrik.24 Yang demikian itu dimaksudkan agar memberikan kesan bahwa ajaran-ajaran Al-Quran dan hukum-hukum yang tercakup didalamnya merupakan satu kesatuan yang harus ditaati oleh penganut-penganutnya secara keseluruhan tanpa ada pemisahan antara satu dengan yang lainnya. Dalam menerangkan masalah-masalah filsafat dan metafisika, Al-Quran tidak menggunakan istilah filsafat dan logika. Juga dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Yang demikian ini membuktikan bahwa Al-Quran tidak dapat dipersamakan dengan kitab-kitab yang dikenal manusia. Tujuan Al-Quran juga berbeda dengan tujuan kitab-kitab ilmiah. Untuk memahaminya, terlebih dahulu harus diketahui periode turunnya Al-Quran. Dengan mengetahui periode-periode tersebut, tujuan-tujuan Al-Quran akan lebih jelas.25 Untuk lebih menjabarkan fase fase revolusi pembebasan Ala Muhammad saw tersebut dapat di bagi dalam beberapa tahapan yaitu sebagai berikut :

Tahapan : Civic Education Of Al-Qur'an

Ayat pertama yang diwahyukan Kepada Muhammad adalah, "Bacalah atas nama Tuhanmu yang telah menciptakan.26 Memang harus di akui walau bagaimana pun kemampuan seorang Nabi Muhammad tidak pernah belajar sebelumnya tentang seni berbudaya, seni tari, membaca, menulis dan semua orang sependapat bahwa Muhammad saw buta huruf dan buta angka aksara sepanjang hidupnya. Akan tetapi mari kita lepas pandangan dari anggapan tentang Muhammad yang tidak mengenal baca tulis kemudian kita semua berangkat untuk memaknai dan menjalankan makna ayat iqra diatas. Oleh karena sangat penting bagi dunia pendidikan dan pengajaran sebagai dasar komitmen manusia untuk melakukan kerja–kerja kemanusiaan demi tujuan yang mulia yaitu mencerdaskan kehidupan dunia dan ikut andil dalam membebas manusia dari jeratan kebodohan, kemiskinan dan penindasan akan kekuasaan. Sehingga harapan untuk menciptakan masyarakat baldatun taiyyibatun warafbun gafur dapat tercapai dan berguna bagi masyarakat di masa mendatang. Pentingnya dunia pengajaran sebagai basis pengkaderan generasi Islam, bagi Nabi Muhammad saw segala daya upaya agar dapat melakukan perubahan sosial (sosial movement) dan pengembangan pendidikan justru dengan hal seperti inilah akan ada sebuah manfaat dan out futnya. Tentu dengan sistem pengkaderan lewat pendidikan seperti itu akan melahurkan generasi serta para pelajar yang handal dan ampu mengembangkan pemikiran dan intelektualnya.para pelajar. Abu Huraira melaporkan bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda, "Siapa yang memilih jalan pencarian ilmu pengetahuan, Allah akan membuka baginya jalan menuju surga." Nabi Muhammad minta para Ilmuwan agar kerja sama menasihati mereka yang tidak pernah belajar dan kaum cendekiawan agar mau mengembangkan ilmunya. Penekanan diberikan pada setiap yang memiliki keahlian karya tulis di mana dalam sebuah hadith ditegaskan agar mengambil peran laksana seorang ayah pada anak. Nabi adalah pelopor pendidikan gratis di mana saat `Ubada b. as-Samit menerima hadiah dari seorang pelajar (dengan niatan untuk kepentingan Islam).27

Tahapan : Belajar Berfikir Dan Membaca Untuk Mengajar Menulis.

Dalam Bukunya Prof. Dr. M.M al A'zami Kata Pengantar Dalam buku Harun Yahya The History of The Qur'anic Text-From Revelation to Compilation–(Sejarah Teks Al-Quran-Dari Wahyu Sampai Kompilasinya). Nabi Muhammad tidak pernah menyia-nyiakan upaya dan keinginan masyarakat dalam mempelajari Kalamullah baik membaca, menggali rahasianya maupun mentafsirkannya :
a. Mempelajari Al-Qur'an kemudian mengajarkan pada orang lain.
b. Membaca satu huruf Kitab Allah merupakan amal saleh sepuluh kali lipat.
c. Mempelajari Al-Qur'an adalah peng¬hargaan umat Islam agar bertindak sebagai imam shalat, suatu kedudukan penting yang secara khas diberikan di awal permulaan Islam.
d. Menghafal Qur'an dan mempelajarinya lebih banyak maka umat Islam akan kuat.
e. Kecemburuan hanya dibenarkan dalam dua hal: seorang yang telah menerima ilmu Al-Qur an dan membacanya di siang dan malam hari dan orang yang diberi karunia kekayaan Allah serta membantu orang lain di malam dan siang hari (harmonisasi dan humanisme).
f. Segarkan pengetahuan kita tentang Al-Qur'an

Berikutnya kita akan mengkaji secara menyeluruh tentang peran Nabi Muhammad ketika berhasil dalam melakukan kerja–kerja dakwah sebagai bentuk pembebasan manusia dari kejumudan agama mereka. Sehingga sistem pendidikan yang di tawarkan oleh Rasulullah adalah sistem pengajaran Al-Qur'an kepada umat Islam. Ini akan dapat terbukti bahwa seluruh tatanan jahiliyah saat itu akan di takluk oleh seorang Muhammad terutama pembesar–pembesarnya. Antara lain Abu Bakr. Uthman bin ‘Aff-an, Abdur-Rahman bin 'Auf, Az Zubair bin al-‘Awwam, Talha, dan Sa'd bin Abi Waqqas. Abu ‘Ubaidah, Abu Salama, Abdullah bin Al-Arqam dan Uthman bin Mazzun, Utba bin Rabi'a kemudian beberapa kaum kristiani dari Ethiopia seperti As'ad bin Zurara dan Dhakwan Suwaid bin Samit, Iyas bin Mu'adh, Rafi bin Malik al-Ansari, Ibn Um Maktum.29 Pada periode Madinah Muhammad saw melakukan pendidikan dan pengajaran di berbagai level dan bidang setelah beliau hijrah dari Makkah ke Madinah. Nabi Muhammad membuat Suffa dalam masjid yang berfungsi sebagai tempat belajar pemberantasan buta huruf dan buta angka aksara, dengan menyediakan makanan dan tempat tinggal. Lebih kurang sembilan ratus sahabat menerima tawaran tersebut. Saat Nabi Muhammad mengajarkan Al-Qur'an, yang lainnya seperti ‘Abdulah bin Sa`id bin al-'As, Ubada bin as-Samit, dan Ubay bin Ka'b mengajar¬kan dasar-dasar penting membaca and menulis. Ibn ‘Umar sekali memberi pujian, "Nabi Muhammad membaca pada kita dan jika beliau membaca ayat sajadah yang menyuruh bersujud, beliau mengucapkan Allahu Akbar lalu sujud. Banyak di antara para sahabat menjelaskan bahwa Nabi Muhammad membaca surah seperti itu kepada mereka secara pribadi termasuk orang¬orang terkemuka, seperti Ubayy bin Ka'b, Abdullah bin Salam, Hisham bin Hakim, Umar bin Khattab, dan Ibn Mas'ud. Beberapa utusan sampai ke Madinah dari luar daerah dan diberikan pada orang setempat untuk memberi perlindungan bukan saja di bidang pangan dan penginapan, melainkan juga dalam hal pendidikan. Nabi Muhammad bertanya pada mereka guna mengetahui tingkat pelajaran mereka.46 Setiap diberikan wahyu, Nabi Muhammad cepat-cepat membacakan ayat yang baru beliau terima kepada semua sahabat dan kemudian membacakan kepada para wanita dalam pertemuan terpisah. ‘Uthman bin Abi al-'As selalu ingin belajar Al-Qur'an dengan Nabi Muhammad dan jika tidak menemuinya, beliau mendatangi rumah Abu Bakr.30

Dengan demikian, hubungan pengajaran dan pendidikan tidak lain untuk menciptakan manusia berpikir kreatif secara Radikal (mendalam), seorang budayawan ulung ada yang memanjangkan rambutnya dan memendekkan ruang geraknya dengan curahan waktunya hanya untuk mengeksfresikan sebuah realitas yang terjadi serta membuktikannya dengan kerangka berfikirnya, proses itu merupakan corak berfikir kreatif sebagai suatu pekerjaan seumur hidup, memberatkan dan memperumit daya kekuatan fikir, Inilah yang di namakan sebuah kerja – kerja manusia dalam merubah peradaban lewat kata – kata. Syafii Maarif mengatakan dalam pengantar buku Tri Kompetensi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah adalah bahwa kerja – kerja Intelektual dan berfikir adalah kerja – kerja seumur hidup.31 Kemajuan dalam berfikir untuk menciptakan gelombang gerakan ilmu merupakan sesuatu yang sangat ilmiah daan positif selama dinamika pemikiran bertitik tolak pada dua sumber yaitu Al Qur’an dan As Sunnah. Oleh karena kedua sumber itulah kita dapat memberikan sebuah kepercayaan sebagai sumber yang mengandung kebenaran Absolutisme. Akan tetapi Al Qur’an sama sekali tidak melarang untuk berfikir dan bersikap kritis dengan melakukan kajian serta proses keilmiahan, Namun harus di ingat bahwa Al Qur’an berasal dari Allah swt yang sudah mutlak kebenarannya tetapi kalau sudah menghinggapi pada pola pemikiran manusia sampai pada proses penafsiran maka itu tidak mutlak lagi kebenarannya. Allah tidak membutakan manusia apabila mereka masih bisa berfikir luas dan logis, karena sesungguhnya telah memberikan kewajiban berfikir kepada manusia sebagaimana Allah berfirman bahwa Al-Qur'an diturunkan kepada manusia untuk dipikirkan : "Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan (merenungkan) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran" (QS. Shaad, 38: 29).31. Manusia hendaknya bisa berfikir yang progresif (langkah maju) tentu dengan rasa ikhlas dalam rangka mengasah skillnya untuk mengukur kekuatan itelekualnya masing–masing. Sehingga dengan berfikir seperti itulah kita dapat mengkomonikasikan dan mempraksiskan kepada seluruh komponen kehidupan dengan motto ilmu adalah amaliah amal adalah ilmiah. Begitu juga dengan orang yang tidak mau belajar, membaca, menulis dan tidak berpendidikan maupun tidak mau berpikir progresif, maka mereka akan mengalami kekosongan jiwa dan keterasingan dalam kehidupan mereka. Sebenarnya banyak kita jumpai orang–orang seperti ini, seumpamam mahasiswa, pengusaha, politisi maupun aktivis organisasi terkadang mereka tidak konsisten dalam menjalankan tugas hanya memimpin suatu organisasi karena kepentingan mereka sendiri. Sehingga catra berfikirnya mengalami sectarian yang berakibat pada kejumudan pola pikir diantara pegiat organisasi. Apalagi realitas yang sering kita alami sekarang ini dengan begitu mudah mereka mengatakan perubahan namun bersipat hedonisme. Ini juga menyalahkan konsef berfikir kita akan tujuan berfikir itu sendiri sehingga nilai – nilai kemanusiaan tidak terkonsolidasi dengan baik. Memang sangat menyedihkan bagi kita semua kalau cara berfikir seperti itu kita tanamkan pada generasi–generasi akan datang. Maka oleh karena itu mari kita berfikir ilmiah dan indefenden tanpa ada diskriminasi dan sukuisme karena hal seperti itu melanggar konstitusi Allah yaitu Al Qur’an. Seiring dengan apa yang di katakana oleh Harun Yahya dalam sebuah artikel bahwa "ketidakpedulian (tetapi bukan melupakan), meninggalkan, dalam kekeliruan, tidak menghiraukan, dalam kecerobohan". Kelalaian manusia yang tidak berpikir adalah akibat melupakan atau secara sengaja tidak menghiraukan tujuan penciptaan diri mereka serta kebenaran ajaran agama. Ini adalah jalan hidup yang sangat berbahaya yang dapat menghantarkan seseorang ke neraka. Berkenaan dengan hal tersebut, Allah memperingatkan manusia agar tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang lalai.

Sekarang ini banyak paham Islam yang keluar dari konteks berfikir Al Qur’an. Mereka hanya senang dan bangga mengikuti para pendahulu mereka secara taklid buta tanpa berpikir dan mengikuti kebiasaan yang di warisi oleh nenek moyangnya padahal yang seperti itu telah mengalami kekeliruan dan kemiskinan pikiran. Kita bisa mengambil studi kasus di pulau Lombok provinsi Nusa Tenggara Barat, masyarakat tradisional Lombok sangat gemar melaksanakan maulid dari jajaran pemerintahan sampai pada Tuan Gurunya bahkan mereka bergiliran mendatanggi rumah masyarakat dalam satu kampung. Kesalahan masyarakat Lombok umumnya NTB dalam ritual maulid Nabi mereka mengumpulkan seluruh materialnya seperti jajan, daging, pisang, beras dan lain sebagainya yang sebelumnya mereka berhutang bagi yang merasa miskin dan idak punya uang, pengeluarannya pun sampai 1-5 juta rupiah. Kalau semua kita berfikir seperti ini, bagi yang miskin memaksa dirinya untuk ikut dalam tradisi mauled sampai mereka berhutang begitu juga dengan yang kaya (banyak uang) berfoya–foya tanpa bisa memikirkan tetangganya yang miskin. Padahal Al Qur’an tidak menjelaskan tentang maulid Nabi Muhammad dan perayaan maulid Nabi Muhammad ini juga di adopsi oleh umat Islam tradisonal dari ritual ulang tahunnya Yesus. Umat Islam yang berfikir seperti ini tentu tidak memikirkan apa yang di pikirkan oleh Al Qur’an. Padahal umat Islam wajib menjaga keisimewaan dan kesucian Al Qur’an tanpa di perluas dengan pola piker yang tidak di perintahkan oleh Al Qur’an. Seperti apa yang di jelaskan ole Al Qur’an Surat Al Mu’minun [23]: 84-90 yang mengatakan bahwa : Katakanlah kepunyaan siapakah bumi ini, Mereka akan menjawab : "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak ingat?" Katakanlah: "Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya 'Arsy yang besar ?" Mereka akan menjawab : "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak bertakwa?" Katakanlah : "Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui ?" Mereka akan menjawab : "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu (disihir) ?" "Sebenarnya Kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta." (QS. Al-Mu'minuun, 23: 84-90)32 Sebenarnya kita berfikir untuk membebaskan dari belenggu kejumudan akal dan spritulitasnya oleh karena eksistensi akal berfungsi untuk memikirkan segala kekuasaan Allah swt agar mereka memiliki kompetensi dalam mengkaji sebuah kebenaran yang hakiki. Seharusnya kita dapat membangkitkan kesadaran kolekif maupun personal untuk memperkuat argumentasi–argumentasi dari gejala dan peristiwa sejarah yang timbul dan orang-orang yang tidak dapat membebaskan diri mereka dari sihir dengan cara berpikir akan mengakibatkan mereka berada dalam kelalaian, akan melihat kebenaran dengan mata kepala mereka sendiri setelah mereka mati, sebagaimana yang diberitakan Allah kepada kita dalam Al-Qur'an : "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. Aali 'Imraan, 3: 190-191).33

Pesan Al Qur’an Dan Mellatih Ibrahim : Teologi Tengahan Spirit Kemanusiaan Monoteisme--Monokitabullah.

Peradaban yang telah kita saksikan dalam dimensi sejarah sebelumya kita percaya terhadap tesis yunani eropa yang memilihara banyak dewa–dewa yang di anggap oleh mereka mahluk penyelamat. Bekas–bekas reruntuhan kuil–kuil zaman yunani, eropa, mesir di timur tengah dan peninggalan mesopatamia kuno seluruh masyarakat pada masa peradaban itu mensentralkan Tuhan mereka adalah dewa–dewa tersebut. Dalam masyarakat semacam ini tentu banyak hal yang harus di amati karena pada umumnya mereka menganggap tokoh–tokoh suci dan kaum brahmana di India sebagai sosol yang sangat di hormati dan berperan semi ketuhanan. Kalau kita berbicara mengenai kehidupan manusia dalam strukur sosial kemasyarakatan tentu mencerminkan nilai – nilai ketuhanana juga. Keterkaitan antara struktur kekuasaan Tuhan dengan kehidupan manusia muncul persektif negaif tentang masyarakaty bahwa sesungguhnya memiliki kepercayaan terhadap sesuatu yang keramat dan bersifat panteistik.Pengetahuan dan kepercayaan seperti ini di lahirkan dalam berbagai struktur, kasta, ras da suku dalam kehidupan manusia. Akan tetapi mereka berfikir bahwa menciptkan suatu kebudayaan Tuhan dalam ranah berfikir masyarakat adalah sesuatu yang sangat wajar. Kita bisa mengungkapkan seluruh kebudayaan Sparta yang sebenarnya mecerminan nilai dakwah yang luar biasa ketika mereka berada dalam kekosongan jiwa dan kerohanian mereka sendiri. Sehingga dengan seni intelektual dan pemikiran mereka membentuk gumpalan kalimat yang justru membawa kebaikan bagi seluruh kehidupan manusia. Ada sejumlah pihak di masa silam beranggapan bahwa menjadi orang Sparta menjadi istimewa karena mereka dengan kemampuan intelektual dan pemikiran menyusun kata – kata merupakan seni dalam mencitakan peradaban. Seperti apa yang di katakan thales dari miletus (625 – 545 SM) mengatakan bahwa “Kenalilah Dirimu” kalimat ini membentuk sebuah kebudayaan di tengah – tengah orang Sparta yang memiliki kearifan dan penglihatan yang sangat mendalam tentang kehidupan mereka. Kekuatan akan kata–kata tersenbut menimbulkan berbagai macam persepsi antara mempertahankan pemahaman Intelektual dengan kebudayaan menyembah dewa–dewa.

Dalam kelompok kaum Sparta,Yunani dan Romawi Kuno kita mengenal semua bahasa filsafat yang membentuk kebudayaan berfikir mereka, ternyata dengan kata dan kalimat seperti itu sangat mencerminkan nilai religius mereka seperti apa yang di katakan oleh Xenophanes dari Colophon (570–475 SM) mengajarkan bahwa Tuhan itu adalah satu dan tak berwujud, Hanya ada satu Tuhan yang paling akbar diantara para dewa dan manusia yang berbeda dengan mahluk apapun dalam hal bentuknya maupun pemikirannya. Mereka juga mengatakan secara gamblang bahwa manusia harus memiliki Tuhan satu yang tidak dilahirkan, tidak melahirkan, tidak mengenakan pakain dan Tuhan memiliki pelajaran – pelajaran yang bernilai tinggi yakni Kitab–Kitab petunjuk manusia.1 Pertentangan antara mempertahankan pemahaman Intelektual dengan kebudayaan menyembah dewa–dewa melahirkan sebuah gerakan extremitas para orang–orang penyembah dewa dengan membiarkan berlangsungnya perang suci, hal itu terjadi sampai sekarang. Seperti apa yang di katakan oleh Heraclitus dari Ephesus (540–480 SM) Bahwa “Maka ketahuilah bahwa perang itu wajar, Keadilan itu pertentangan dan segala sesuatu iu berlangsung berdasarkan pertentangan dan keharusan tetapi Heraclitus melanjutkan perkataan dengan membalikkan badannya ke semua orang penyembah dewa bahwa “jangan dengarkan Aku tapi Dengarkanlah Tuhan Satu yang memiliki ketentuan dari segala sesuatu yang ada”. Kemudian di lanjutkan oleh Parmenides dari Elea (515–430 SM) menyatakan dalam kata–katanya bahwa apa pun yang ada bagi ada dan bagi berfikir pastilah ia ada sebab ia bisa ada dan tidak ada yang tak bisa ada. Maka jika apapun dan difikirkan seseorang pasti memiliki ketentuan yang mengikat dan di atur oleh ketenuan yang satu (Ketenuan Tuhan).
Kita menyaksikan berbagai pergolakan pemikiran dan intelektual yang terkadang mengakibatkan extremitas berfikir dalam agama (Perang Suci). Padahal apa yang di katakan oleh Thales dari Miletus (625–545 SM) dan Xenophanes dari Colophon (570–475 SM) mencerminkan nilai – nilai religius fundamental tanpa membenarkan kebudayaan mereka tentang menyembah dewa. Apalagi kata Thales dari Miletus (625–545 SM) dan Xenophanes dari Colophon (570–475 SM) membentuk sebuah kesadaran manusia yang organic untuk memahami eksistensi mereka sebagai mahluk Tuhan dengan metode bahwa manusia harus memahami dirinya sendiri (mengenal dirinya) baru mengenal tuhan mereka. Hal ini sebenarnya bagaimana kita semua memikirkan kekuasaan Tuhan yaitu langit dan bumi yang telah di ciptakan bukanlah memikirkan agama yang bersipat sektarianisme yang bisa menyebablan perang (perang suci). Akan tetapi kita memikirkan agama untuk mengharmonisasikan pemahaman Agama bahwa kita memiliki Tuhan Satu dan Satu Tuhan. Dalam kawasan itu dan di dalam masyarakat yang dicirikan oleh kondisi keagamaan, politik dan sosiologi yang politeisme, seseorang pria hanif dan tinggi bernama Ibrahim. Nabi Ibrahim adalah putera Aaazar {Tarih} bin Tahur bin Saruj bin Rau' bin Falij bin Aaabir bin Syalih bin Arfakhsyad bin Saam bin Nuh A.S. Ia dilahirkan di sebuah tempat bernama "Faddam A'ram" dalam kerajaan "Babylon" yang pada waktu itu diperintah oleh seorang raja bernama Namrud bin Kan'aan. Kerajaan Babylon atau Mesopotamia yang sekarang di sebut Irak. Pada masa itu termasuk kerajaan yang makmur rakyat hidup senang, sejahtera dalam keadaan serba cukup sandang maupun pangan yang menjadi keperluan pertumbuhan jasmani mereka. Akan tetapi tingkatan hidup rohani mereka masih berada di tingkat jahiliyah. Mereka tidak mengenal Tuhan Pencipta mereka yang telah mengurniakan mereka dengan segala kenikmatan dan kebahagiaan duniawi. Persembahan mereka adalah patung-patung yang mereka pahat sendiri dari batu-batu atau terbuat dari lumpur dan tanah. Raja mereka Namrud bin Kan'aan menjalankan tampuk pemerintahnya dengan tangan besi dan kekuasaan mutlak yang bersifat politeisme. Semua kehendaknya harus terlaksana dan segala perintahnya merupakan undang-undang yang tidak dapat dilanggar atau di tawar. Kekuasaan yang besar yang berada di tangannya dan kemewahan hidup yang berlebuh-lebihan. Ia menikmati kemewahan tersebut menjadikan ia tidak puas dengan kedudukannya sebagai raja. Ia merasakan dirinya patut disembah oleh rakyatnya sebagai tuhan. Ia berfikir rakyatnya rela menyembah patung-patung yang terbuat dari batu yang tidak dapat memberi manfaat akan kebahagiaan mereka.
Di tengah-tengah masyarakat yang sedemikian buruk lahir dan dibesarkan Nabi Ibrahim dari seorang ayah yang bekerja sebagai pemahat dan pedagang patung. Ia sebagai pesuruh Allah yang akan membawa pelita kebenaran kepada kaumnya, jauh-jauh telah diilhami akal sihat dan fikiran tajam serta kesadaran bahwa apa yang telah diperbuat oleh kaumnya termasuk ayahnya sendiri adalah perbuatan yang sesat dan menandakan kebodohan fikiran. Penyembahan patung-patung itu adalah perbuatan mungkar yang harus diperangi agar mereka kembali kepada yang benar ialah Beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan pencipta alam semesta. Semasa remajanya Nabi Ibrahim sering disuruh ayahnya keliling kota untuk menjajakan patung-patung buatannya namun karena iman dan tauhid yang telah diilhamkan oleh Tuhan kepadanya beliau mengatakan:kepada ayahnya" Siapakah yang akan membeli patung-patung yang tidak berguna ini ?

Nabi Ibrahim yang sudah berketetapan hati hendak memerangi syirik dan penyembah berhala yang berlaku dalam masyarakat kaumnya. Ibrahim lebih dahulu mempertebalkan iman dan keyakinannya tentang Tuhan. Untuk membuat Ibrahim yakin. Ibrahim berserulah ia kepada Allah: " Ya Tuhanku! Tunjukkanlah kepadaku bagaimana engkau menghidupkan makhluk-makhluk yang sudah mati."Allah menjawab seruannya dengan berfirman:Tidakkah engkau beriman dan percaya kepada kekuasaan-Ku? "Nabi Ibrahim menjawab:" Betul, wahai Tuhanku, aku telah beriman dan percaya kepada-Mu dan kepada kekuasaan-Mu, namun aku ingin sekali melihat itu dengan mata kepala ku sendiri, agar aku mendapat ketenteraman dan ketenangan dan hatiku dan agar makin menjadi tebal dan kukuh keyakinanku kepada-Mu dan kepada kekuasaan-Mu." Allah memperkenankan permohonan Nabi Ibrahim lalu diperintahkan menangkap empat ekor burung lalu memotong tubuh burung itu menjadi berkeping-keping kemudi ubuh berung itu di campurkan menjadi satu kemudian tubuh burung itu di bagi menjadi empat bagian lalau di letakkan di atas empat bukit yang letaknya berjauhan satu dari yang lain. Setelah dikerjakan apa yang telah diisyaratkan oleh Allah itu, diperintahnyalah Nabi Ibrahim memanggil burung-burung yang sudah terkoyak-koyak tubuhnya dan terpisah jauh tiap-tiap bahagian tubuh burung dari bahagian yang lain. Dengan kuasa Allah datanglah berterbangan enpat ekor burung itu dalam keadaan utuh bernyawa seperti sedia kala dan hinggaplah empat burung itu di depannya,. Dengan demikian tercapailah apa yang diinginkan oleh Nabi Ibrahim untuk mententeramkan hatinya dan menghilangkan keraguan di dalam dirinya, bahwa kekuasaan dan kehendak Allah tidak ada sesuatu pun di langit atau di bumi yang menghalanginya.
Baru kemudian Nabi Ibrahim Berdakwah Kepada Ayah Kandungnya masyarakat yang lain, Nabi Ibrahim merasa berkewajiban berdakwah kepada ayah kandungnya dan masyarakatnya. Beliau merasakan bahwa kebaktian kepada ayahnya adalah memberi petunjuk agar melepaskan kepercayaan yang sesat itu agar beriman kepada Allah. Dengan menyampaikan kepada ayahnya bahwa ia diutuskan oleh Allah sebagai nabi dan rasul dan telah diilhamkan dengan pengetahuan dan ilmu yang tidak dimiliki oleh ayahnya. Ia bertanya kepada ayahnyam Apakah yang mendorongnya untuk menyembah berhala padahal tidak berguna dan tidak mendatangkan keuntungan. Ibrahim juga dengan keras mengatakan kepada ayahnya bahwa penyembahan kepada berhala itu semata-mata ajaran syaitan yang menjadi musuh manusia. Ibrahim juga berseru kepada ayahnya agar kembali menyembah kepada Allah yang menciptakan manusia dan semua makhluk yang dihidupkan memberi mereka rezeki dan kenikmatan hidup serta menguasai bumi dengan segala isinya. Kemudian Ayahnya berkata kepada Nabi Ibrahim dengan nada gusar:" Hai Ibrahim! Berpalingkah engkau dari kepercayaan dan persembahanku ? Dan kepercayaan apakah yang engkau berikan kepadaku yang menganjurkan agar aku mengikutinya ? Janganlah engkau membangkitkan amarahku dan mendurhakaiku. Jika engkau tidak menghentikan penyelewenganmu dari agama ayahmu tidak engkau hentikan usahamu mengecam dan memburuk-burukkan persembahanku, maka keluarlah engkau dari rumahku ini. Aku tidak sudi bercampur denganmu didalam suatu rumah di bawah suatu atap satu ?. Pergilah engkau dari mukaku sebelum aku menimpamu dengan batu dan mencelakakan engkau ?. Nabi Ibrahim menerima kemarahan dan pengusiran ayahnya dengan sikap tenang selaku anak terhadap ayahnya seraya berkaat: "Ayahku! Semoga engkau selamat, aku akan tetap memohonkan ampun bagimu dari Allah dan akan tinggalkan kamu dengan persembahan selain kepada Allah. Mudah-mudahan aku tidak menjadi orang yang celaka dan malang dengan doaku untukmu." Lalu Nabi Ibrahim meninggalkan rumah ayahnya dalam keadaan sedih dan prihatin karena tidak berhasil mengembalikan ketauhidan ayahnya dari sifat syirik dan kufur.

Kegagalan Nabi Ibrahim dalam usahanya menyadarkan ayahnya yang tersesat itu sangat menusuk hatinya karena ia sebagai putera yang baik ingin sekali melihat ayahnya berada dalam jalan yang benar terangkat dari lembah kesesatan dan syirik namun ia sadar bahwa hidayah itu adalah di tangan Allah dan bagaimana pun ia ingin sepenuh hatinya agar ayahnya mendapat hidayah. Penolakan ayahnya terhadap dakwahnya dengan cara yang kasar dan kejam itu tidak sedikit pun mempengaruhi ketetapan hatinya dan melemahkan semangatnya untuk berjalan terus memberi penerangan kepada kaumnya untuk menyapu bersih persembahan-persembahan yang bathil dan kepercayaan yang bertentangan dengan tauhid dan iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Nabi Ibrahim tidak henti-henti dalam setiap kesempatan mengajak kaumnya berdialog tentang ajaran yang ia bawa. Dan mereka tidak berdaya menyanggah alasan dan dalil yang dikemukakan oleh Ibrahim tentang kebenaran ajarannya dan kebathilan kepercayaan mereka. Setelah berdialog, Justru mereka menangkal ajaran ketauhidan kepada Allah swt. Ibrahim merasa tidak bermanfaat lagi berdialog dan bermujadalah dengan mereka lagi karena mau menerima bukti-bukti nyata yang dikemukakan oleh Ibrahim dan selalu berpegang pada persembahan berhala. Setelah itu Ibrahim merancang gerakan untuk akan membuktikan bahwa ajaran Allah swt sangat mulia. Adalah sudah menjadi tradisi dan kebiasaan penduduk kerajaan Babylon bahwa setiap tahun mrk keluar kota beramai-ramai pada suatu hari raya yang mereka anggap sebagai keramat. Berhari-hari mereka tinggal di luar kota di suatu padang terbuka, berkemah dengan membawa bekal makanan dan minuman yang cukup. Mereka bersuka ria dan bersenang-senang sambil meninggalkan kota-kota mereka. Mereka mengajak semua penduduk agar keluar meninggalkan rumah dan turut beramai -ramai menghormati hari-hari suci itu. Nabi Ibrahim turut diajak kemudian beralasan sakit dan diizinkanlah ia tinggal di rumah apalagi mereka merasa khawatir akan penyakit Nabi Ibrahim yang dibuat-buat itu akan menular dan menjalar di kalangan mereka bila ia turut serta. Inilah dia kesempatan yang ku nantikan," kata hati Nabi Ibrahim tatkala melihat kota sudah kosong dari penduduknya, sunyi senyap tidak terdengar kecuali suara burung-burung yang berkicau, suara daun-daun pohon yang gemerisik ditiup angin kencang. Dengan membawa sebuah kapak ditangannya ia pergi menuju tempat peribadatan kaumnya dan menghancurkan patung–patung tersebut.

Penduduk pulang dari pesta di luar kota dan melihat keadaan patung atau Tuhan- mereka hancur berantakan di atas lantai. Bertanyalah satu kepada yang lain dengan nada heran dan takjub: "Siapakah yang telah berani melakukan perbuatan yang jahat dan keji ini terhadap Tuhan kami ?. Salah seorang diantara mereka menduga bahwa ada kemungkinan Ibrahim yang melakukan perbuatan berani ini. Seorang yang lain menambah keterangan dengan berkata:" Bahkan dialah yang pasti berbuat, karena ia adalah satu-satunya orang yang tinggal di kota sewaktu kami semua berada di luar merayakan hari suci dan keramat itu." Akhirnya tidak diragukan lagi bahwa Ibrahimlah yang memusnahkan patung-patung itu. Rakyat kota beramai-ramai membicarakan kejadian yang dianggap penghinaan terhadap kepercayaan mereka. Suara marah dari segala penjuru agar pelaku bertanggungjawab dalam suatu pengadilan terbuka di mana seluruh rakyat penduduk kota dapat turut serta menyaksikannya. Memang itulah yang diharapkan oleh Ibrahim agar pengadilannya dilakukan secara terbuka di mana semua warga masyarakat dapat turut menyaksikannya. Karena dengan cara demikian beliau dapat secara terselubung berdakwah menyerang kepercayaan mereka yang bathil dan sesat itu. Hari pengadilan ditentukan dan rakyat dari segala pelosok berduyung-duyung mengujungi padang terbuka yang disediakan bagi sidang pengadilan itu. Ketika Nabi Ibrahim datang menghadap para hakim yang akan mengadili ia disambut oleh para hadirin dengan teriakan kutukan dan cercaan, menandakan sangat gusarnya para penyembah berhala terhadap beliau yang telah berani menghancurkan persembahan mereka.
Ditanyalah Nabi Ibrahim oleh para hakim: "Apakah engkau yang melakukan penghancuran dan merusakkan Tuhan ?". Dengan tenang dan sikap dingin, Nabi Ibrahim menjawab: "Patung besar yang berkalungkan kapak di lehernya itulah yang melakukannya, Coba tanya saja kepada patung-patung itu siapakah yang menghancurkannya. "Para hakim penanya terdiam sejenak seraya melihat yang satu kepada yang lain dan berbisik-bisik, seakan-akan Ibrahim yang mengandungi ejekan itu. Kemudian berkata si hakim: "Engkaukan tahu bahwa patung-patung itu tidak dapat bercakap dan berkata mengapa engkau minta kami bertanya kepadanya ?" Nabi Ibrahim menjawab "Jika demikian halnya, mengapa kamu sembah patung-patung itu, yang tidak dapat berkata, tidak dapat melihat dan tidak dapat mendengar, tidak dapat membawa manfaat, bahkan tidak dapat menolong dirinya dari kehancuran dan kebinasaan ? Alangkah bodohnya kalian dengan kepercayaan dan persembahan kalian itu. Tidakkah dapat kamu berfikir dengan akal yang sehat bahwa persembahan kamu adalah perbuatan yang keliru yang hanya difahami oleh syaitan. Mengapa kamu tidak menyembah Tuhan yang menciptakan kamu, menciptakan alam sekeliling kamu dan menguasakan kamu di atas bumi dengan segala isi dan kekayaan. Alangkah hina dinanya kamu dengan persembahan kamu itu".Setelah selesai Nabi Ibrahim menguraikan jawabannya, para hakim mengambil keputusan bahwa Ibrahim harus dibakar hidup-hidup sebagai ganjaran atas perbuatannya yang melakukan penghinaan dan penghancuran Tuhan mereka, Maka berserulah para hakim kepada rakyat yang hadir menyaksikan pengadilan itu agar Ibrahim di bakar dan belalah Tuhanmu, Jika kamu benar-benar setia kepadanya." Keputusan mahkamah telah dijatuhakan. Nabi Ibrahim harus dihukum dengan dibakar hidup-hidup dalam api yang besar. Persiapan bagi upacara pembakaran yang akan disaksikan oleh seluruh rakyat sedang diaturkan. Tanah lapang tempat pembakaran disediakan dan pengumpulan kayu bakar secara gotong-royong sebagai tanda bakti kepada tuhan persembahan mereka yang telah dihancurkan oleh Nabi Ibrahim. Berduyun-duyunlah para penduduk dari segala penjuru kota membawa kayu bakar sebagai tanda bakti kepada tuhan mereka. Di antara terdapat para wanita yang hamil dan orang yang sakit yang membawa kayu bakarnya dengan harapan memperoleh barakah dari Tuhan-Tuhan mereka dengan menyembuhkan penyakit mereka atau melindungi yang hamil di kala ia bersalin. Setelah terkumpul kayu bakar di lapangan yang disediakan untuk upacara pembakaran dan tertumpuk serta tersusun laksana sebuah bukit, berduyun-duyunlah orang datang untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman atas diri Nabi Ibrahim. Pembakaran pun di mulai dan terbentuklah gunung berapi yang dahsyat yang sedang berterbangan di atasnya berjatuhan terbakar oleh panasnya yang ditimbulkan oleh api yang menggunung itu. Kemudian Nabi Ibrahim dalam keadaan terbelenggu dan berada di atas sebuah gedung tinggi kemudian dilemparkanlah ia kedalam tumpukan kayu yang menyala-nyala itu dengan iringan firman Allah:"Hai api, jadilah dingin dan selamatlah bagi Ibrahim". Nabi Ibrahim tetap menunjukkan sikap tenang dan tawakkal karena iman dan keyakinannya bahwa Allah tidak akan rela melepaskan hamba pesuruhnya menjadi makanan api dan kurban keganasan orang-orang kafir musuh Allah. Dan memang demikianlah apa yang terjadi tatkala ia berada dalam perut bukit api yang dahsyat itu ia merasa dingin sesuai dengan seruan Allah pelindungnya dan hanya tali temali dan rantai yang mengikat tangan dan kakinya yang terbakar hangus, sedang tubuh dan pakaian yang terlekat pada tubuhnya tetap utuh, tidak sedikit pun tersentuh oleh api, hal ini merupakan mukjizat yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim agar dapat melanjutkan penyampaian risalah yang ditugaskan kepadanya kepada hamba-hamba Allah yang tersesat itu.

Para penonton upacara pembakaran tercenggang tatkala melihat Nabi Ibrahim keluar dari bukit api yang sudah padam dan menjadi abu itu dalam keadaan selamat, utuh pakaiannya dan tetap seperti biasa, tidak ada tanda-tanda sentuhan api sedikit jua pun. Mereka meninggalkan lapangan dalam keadaan keheranan seraya bertanya-tanya pada diri sendiri dan di antara satu sama lain bagaimana hal yang ajaib itu berlaku, padahal menurut anggapan mereka dosa Nabi Ibrahim sudah nyata mendurhakai Tuhan yang mereka sembah. Ada sebahagian dari pada mereka, dalam hati kecilnya mulai meragui kebenaran agamanya namun tidak berani melahirkan rasa ragu-ragunya itu kepada orang lain, sedang para pemimpinnya kecewa dan malu, karena hukuman yang dijatuhkan ke Ibrahim dan kesibukan rakyat mengumpulkan kayu bakar selama berminggu-minggu telah berakhir dengan kegagalan, Sehingga mereka merasa malu kepada Ibrahim dan para pengikutnya. Mukjizat yang diberikan oleh Allah s.w.t. kepada Nabi Ibrahim sebagai bukti nyata akan kebenaran dakwahnya, telah menimbulkan kegoncangan dalam kepercayaan sebahagian penduduk terhadap persembahan dan patung-patung mereka dan membuka mata hatinya untuk memikirkan dakwahnya, bahkan tidak kurang drp mrk yang ingin menyatakan imannya kepada Nabi Ibrahim, namun khawatir akan mendapat kesukaran dalam penghidupannya akibat kemarahan dan balas dendam para pemuka dan para pembesarnya yang mungkin akan menjadi hilang akal bila merasakan bahwa pengaruhnya telah bealih ke pihak Nabi Ibrahim. Dari kisah sejarah Abraham di atas kita dapat mengambil hikmah akan kekuatan ketauhidannya untuk membawa umat manusia keluar dari sisi kegelapannya. Tekad Ibrahim merupakan gerakan internalisasi paham monoteismenya kepada halayak masyarakat yang berpaham panteisme atau politeismenya sangat tinggi. Sebagaimana pribahasa cina yang menganalogika keluarga Ibrahim bahwa “keluarga pembuat patung Buddha tidak pernah menyembahnya”. Peribahasa ini di tunjukkan pada Ibrahim yang sudah mengamati, melihat dan merasakan sebelumnya apa yang dikerjakan oleh ayahnya, anak–anak, masyarakat, hakim–hakim babylonia sebagai sang mahluk yang menciptakan “sang pencitanya”.2 Al Qur’an menyebutkan Ibrahim berdialog dan berdebat dengan orang–orang sesamannya : “Ibrahim berkata : Apakah kamu menyembah patung–patung yang kamu pahat itu ? Padahal Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat iu (Al Qur’an Surat Ash Shaafaat : 95-96).3 Setelah melakukan pencarian spritual, menolak matahari, bulan, bintang – bintang sebagai objek pemujaan (benda – benda yang di sembah oleh masyarakatnya) Ibrahim sadar akan kondisi masyarakatnya dengan berkeyakinan bahwa hanya ada satu pencipta yang menciptakan alam semesta ini yaitu Tuhan Satu, Sebagaimana Al Qur’an menggambarkan Ibrahim tentang pencarian Tuhannya yang berbunyi adalah : Dan Ingatlah di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Aazar : pantaskah Kamu menjadikan berhala sebagai Tuhan – Tuhan mu ? Sesungguhnya aku melihatmu dan kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata (Al Qur’an Surat Al An’aam 74).4. Dan Demikianlah kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda – tanda keangungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi dan kami memperlihatkannya agar Ibrahim itu termasuk orang – orang yang yakin (Al Qur’an Surat Al An’aam 75)5. Ketika malam telah menjadi gelap, Dia melihat sebuah bintang lalu (dia) berkata : “Inilah Tuhanku, Tatkala Bintang iu tenggelam lalu dia berkata : “Saya tidak suka kepada yang tenggelam (Al Qur’an Surat Al An’aam : 76)6”. Kemudian tatkala melihat bulan terbit lalu dia berkata : “Inilah Tuhanku, Tatkala Bulan itu tenggelam lalu dia berkata : “Saya tidak suka kepada yang tenggelam (Al Qur’an Surat Al An’aam : 77)7 Kemudian tatkala melihat Matahari terbit lalu dia berkata : “Inilah Tuhanku, Inilah yag lebih besar, Maka tatkala matahari iu telah terbenam, lalu dia berkata : Hai kaumku sesungghnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan” (Al Qur’an Surat Al An’aam : 78)8 Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada uhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cendrung kepada agama yang benar dan aku bukanlah termasuk orang – orang yang yang mempersekutukan Tuhan” (Al Qur’an Surat Al An’aam : 79)9. Dan dia di bantah oleh kaumnya, Dia berkata : Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku, dan aku idak takut kepada sesembahan – sesembahan yang kamu persekutukan dengan Allah, keacuali di kala Tuhanku menghendaku sesuatu dari malapetaka itu. Pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu, Maka apakah kamu idak dapat mengambil pelajaran dari padanya (Al Qur’an Surat Al An’aam : 80)10.Bagaimana aku takut kepada sesembahan yang kamu persekutukan dengan Allah, Padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan sesembahan- sesembahan. Sementara Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Maka manakah di antara dua golongan yang lebih berhak mendapat keamanan dari (mala petaka) jika kamu mengetahui (Al Qur’an Surat Al An’aam : 81)11. Orang–orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezoliman (Syirik), mereka itulah orang–orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang–orang yang mendapat petunjuk (Al Qur’an Surat Al An’aam : 82)12 Dan Itulah hujjah kami yang telah kami berikan kepada Ibrahim unuk menghadapi kaumnya. Kami tinggi siapa yang kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana Dan Maha Mengetahui (Al Qur’an Surat Al An’aam : 83)13. Dan kami telah menganugerahkan Ishak dan Yaqub kepadanya. Kepada keduanya masing–masing telah kami beri petunjuk dan kepada Nuh sebelum itu juga telah kami beri petunjuk dan kepada sebahagian dari keturunannya Nuh yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf Musa dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang – orang baik (Al Qur’an Surat Al An’aam : 84)14 Dan Zakaria, Yahya Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang – orang yang soleh (Al Qur’an Surat Al An’aam : 85)15. Dan Ismail, Al Yasa, Yunus dan Luth. Masing–masing kami lebihkan derajatnya di atas umat (pada masanya), (Al Qur’an Surat Al An’aam : 86)16. (Dan kami lebihkan pula derajatnya) sebahagian dari bapak– bapak mereka, keturunan mereka dan saudara–saudara mereka, dan kami telah memilih mereka untuk menjadi Nabi dan Rasul dan kami menunjuki mereka ke jalan yang lurus, (Al Qur’an Surat Al An’aam : 87)17 Itulah petunjuk Allah, Yang dengan Dia memberi petunjuk kepada siapanyang di kehendakinya diantatara hamba – hambanya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah lenyaplah amalah yang telah mereka kerjakan (Al Qur’an Surat Al An’aam : 88)18.Mereka itulah yang telah kami berikan mereka kitab, hikmat (pemahaman agama) dan kenabian. Jika orang – orang (Qurais) itu mengingkarinya (yang tiga macam itu) sesungguhnya kami akan menyerahkan kepada kaum yang sekali - sekali idak mengingkarinya (Al Qur’an Surat Al An’aam : 89)19.
Dalam Al Qur’an telah di jelaskan oleh Allah bagaimana seorang Ibrahim yang di berikan amanah untuk berdakwah tanpa ada keraguan kepada ummat manusia yang bersipat panteisme atau politeismenya tinggi, Namun jarang sekali doktrin Nabi Ibrahim yang bersipat monoteisme itu di gunakan oleh umat Islam sendiri, bahkan diartikan ekstrimitas padahal dialog Nabi Ibrahim bisa dijadikan sebuah spirit bersama dalam menyampaikan risalah kenabian dan memperluas wilayah islamisasi. Nabi Ibrahim mendirikan masyarakat Monoteisme merupakan cita–cita bersama untuk mendirikan masyarakat Islam Yang Baldatul Toiyyibatun Warabbun Gafur (Masyarakat Islam yang sebenar - benarnya). Menurut Imam feisal Abdul Rauf, Nabi Ibrahim dalam mendirikan masyarakat Monoteisme ada dua hal yang yang menjadi landasan beliau : Pertama, Landasan Teologis (Ketuhanan) adalah Ibrahim mengutuk kemajemukan tuhan di dalam sistem masyarakat dan masyarakat harus berpaham monoteisme. Kedua, Landasan Sosial Ibrahim mengedepankan nilai–nilai kemanusiaan dengan menganggap bahwa seluruh mahluk Allah (manusia) adalah bersaudar dan mereka berkewajiban saling mencintai antara sesamanya sehingga tidak menimbulkan suatu perpecahan umat dengan tujuan menginternalisasi masyarakat yang monoteisme yaitu masyarakat yang bertuhan satu.20

Mengapa pendapat Imam feisal Abdul Rauf mengkategorikan millatih Ibrahim (Ajaran Nabi Ibrahim) seperti itu karena memang dalam pandangan faesal bahwa ajaran tuhan adalah untuk umat yang satu tanpa ada diskriminasi–diskriminasi secara teologis maupun sosiologis oleh karena agama juga memberikan kesempatan kepada umatnya untuk memiliki kebebasan dalam membangun manusia yang monoteisme sebagai bentuk solusi dan jalan keluar dari kejumudan paham beragama dengan tujuan agar nilai–nilai kemanusiaan dan ketuhanan dapat terinternalisasi dengan baik serta di ridhoi Allah swt. Penulis sepakat dengan perkataan feisal ketika menganggap manusia sesungguhnya bersaudara dan sama ciptaan Tuhan dalam konteks di lahirkan oleh wanita satu dan pria satu. Sebagaimana dalam pendapat faesal Abdul Rauf yang mengutif Al Qur’an Surat Al Hujurat : 13 yang mengatakan bahwa : Hai manusia sesungguhnya kami telah menciptakana kamu dari seorang laki–laki dan perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa–bangsa dan bersuku–suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa21. Akan tetapi ada hal–hal yang tidak sepakat penulis terhadap pandangan faesal Abdul Rauf yakni memandang kebebasan yang telah di anugrahi oleh Tuhan kepada manusia adalah bebas memilih penciptanya dan menolak Tuhan. Dalam hal ini bagi penulis ada dua kemungkinan faesal mengatakan seperti ini pertama pandangan tentang kebebasan toleransi teologis yang mewajibkan manusia harus ada pilihan tentang pandangan hidup, memilih pekerjaan dan lain sebagainya. Pandangan kedua ketika faesal memilih jalan kekbebasan bertuhan dan melandasi pandanganya pada Al Qur’an Surat Al Baqarah : 256 dalam bukunya faesal Abdul Rauf yang mengatakan bahwa “Tidak ada paksaan dalam menganut agama islam, sesungguhnya telah jelas perbedaan antara jalan yang benar da jalan yang sesat”. Arti ayat Al Qur’an ini tidak di lanjutkan oleh faesal Abdul Rauf hanya sampai kata sesat padahal ari dari ayat tersebut masih di lanjutkan dengan kata“ karena itu barang siapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan puus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Jadi arti dari Al Qur’an Surat Al Baqarah : 256 yang lengkap artinya adalah “Tidak ada paksaan dalam menganut agama islam, sesungguhnya telah jelas perbedaan antara jalan yang benar dan jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan puus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Memahami ayat ini dalam pandangan Faesal Abdul Rauf memang manusia di ciptakan untuk memilih jalan hidup atau pandangan hidup mereka akan tetapi Allah swt yang bijak menyediakan tempat bagi mereka yang memilih jalan kebaikan dan memilih jalan kemungkaran, Oleh sebab itu Allah memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia akan tetapi Allah menginginkan yang terbaik bagi umatnya bukan yang tersesat. Imam faesal pun melanjutkan dengan ayat Al Qur’an Surat Al Kahfi : 29 dalam bukunya hal 17 yang mengatakan bahwa kebenaran itu datangnya dari tuhanmu, barang siapa yang menghendaki beriman hendaklah ia beriman dan barang siapa yang menghendaki kafir hendaklah ia kafir. Ayat ini sebenarnya masih ada lanjutannya yang mengatakan bahwa “sesungguhnya kami telah sediakan bagi orang–orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan di beri minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minum yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” Bagi penulis kenapa sangat perlu diluruskan dalam konteks menerjemah ayat Al Qur’an karena memang kalau di artikan setengah–seteengah maka pemahaman dan menguji kebenaran ataupun orientasi itu juga setengah – setengah dan bisa menimbulkan perbedaan. Dengan demikian, kalau di maknai ayat kedua yang dikutif oleh Imam faesal Abdul Rauf adalah manusia memang ditakdirkan untuk memilih jalan benar atau salah. Namun Allah memberikan pendidikan kepada manusia dengan sesuatu yang berharga dan bernilai bagi diri manusia tersebut dengan berkomitmen untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kepada yang munkar. Hal iniilah yang sangat perlu digaris bawahi oleh seluruh manusia dalam kehidupannya karena kematian dalam persfektif beda agama (politeisme atau panteisme) adalah kematian tidak baik artinya kematian yang tidak diridhoi oleh Allah swt. begitu juga sebaliknya kematian dalam persfektif monoteisme (satu Agama–Satu Tuhan) adalah kematian yang sangat baik. Akan tetapi penulis bukan dalam arti tidak sepakat dengan kebebasan dalam beragama mungkin itu sebuah kebutuhan bagi agama politeisme. Namun Allah memberikan sebuah informasi bahwa agama yang paling benar adalah monoteisme (Islam). Ketika Allah mengatakan seperi ini megapa masih ada diantara kita masih berbeda dalam beragama, terutama dari umat politeisme ?. Mengapa tidak percaya bahwa kitab – kitab Allah (Al Qur’an, Zabur, Injil dan taurat) juga adalah kitab–kitab mereka yang harus mereka yakini ?. mengapa yesus yang mereka anggap Tuhan mereka tidak pernah mengubah injil ?. mengapa umat kristiani ramai–ramai mengubah dan menafsirkan Injil dengan logika mereka, sehingga di kenal perjanjian lama dan perjanjian baru (Bible) ?. mengapa kitab Tuhan (Injil) dijadikan sebuah MoU padahal mereka tidak bisa membandingkan kekuasaan Allah dengan kehendak mereka ?.

Semua pertanyaan diatas merupakan manifestasi untuk kita berfikir akan keragaman sebuah agama yang memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk melakukan gerakan dakwah demi mencapai tujuan masyarakat yang mengarah pada kebenaran yang sebenarnya yaitu monoteisme. Penulis sebelumnya ingin bercerita dari sebuah pengalaman yang sungguh tak terlupakan bahwa ada seorang pemuda muslim (Hendri Suwardi, Muhdar, Rusdianto dan Munawir Akbar) dan Kristen Protestan (Wiwid Handrianto) dari sebuah kampung kecil yang bernama Bonto desa labuhan Bontong Kecamatan Empang (dulu) dan sekarang Tarano yang datang menuntut ilmu ke mataram, mereka mendaftar di STIKES Mataram dan saya di Universitas Muhammadiyah Mataram. kita hidup berdampingan, makan bersama, beribadah sesuai dengan agama masing–masing kecuali wiwid yang menuntut kewajibannya untuk pergi sembahyang ke gereja sehingga wiwid setiap hari sabtu-minggu tidak absen dalam kebersamaan karena menunaikan kewajiban kepada Tuhan politeismenya dan kita setiap hari tanpa perselisihan baik pemahaman agama maupun status sosialnya. Dengan teriring waktu berjalan dan tahun berganti tahun dalam diskusi dan beribadah maupun kebersamaan dalam menjaga keharmonisan keberagaman agama kita. Suatu waktu saya di berkesempatan untuk berdiskusi dengan wiwid tentang agama dan niat saya ingin melihat argumentasi wiwid seperti apa ? Apakah bijak atau sektarianismenya tinggi ?. Saya mengatakan kepada wiwid, sambil memancingnya “ Wid saya ingin mengenal agama mu ?. wiwid merasa kaget, lalu menjawab dengan nada bijak “di agama saya tidak ada kebenaran, akan tetapi semua agama adalah Bertuhan Satu”. Dari jawaban wiwid saya menggarisbawahi Bertuhan Satu kemudian saya bertanya “ mengapa orang non Islam mengangap Tuhan itu ada tiga (Trinitas) ?. Rupanya wiwid tidak bisa menjawab saat itu karena buru–buru mau kekampus karena ada peraktek organ manusia. Tetapi jawaban wiwid saya tunggu setelah dia pulang dari kampus. Setelah wiwid tiba di kontrakan kami, lalu wiwid tidak mengatakan apa–apa. Akan tetapi selama berbulan lamanya ada sebuah gerangan yang di sampaikan oleh kawan muhdar ke saya bahwa wiwid masuk Islam di kota malang jawa timur pada saat mereka menyelesaikan studi NERS-nya (Gelar Profesi Ilmu Keperawatan)..Saya pun sangat gembira dan bersyukur tiba–tiba wiwid masuk Islam, akan tetapi saya mempelajari psikologisnya bahwa wiwid memandang umat Islam mau berdialog dengan agama lain, mau makan bersama, sangat toleransi dan yang paling mutakhir dalam pengalaman saya katanya wiwid ketika terjadi kerusuhan poso dan ambon yang sampai merembet ke Mataram-NTB dan masyarakat Kota Mataram yang militansinya tinggi dalam keislaman mereka berduyun duyun menghancurkan gereja dan pembakaran terhadap seluruh aset umat kristiani pada tahun 2001 itu. Namun bagi wiwid menimbulkan keheranan mengapa pada saat kerusuhan itu kawan–kawan saya justru melindungi saya dari kerusuhan dan ancaman itu. Dari proses humanis dan toleran inilah yang membuat seorang wiwid ingin menganut agama Islam. Akhirnya dengan rahmat Allah swt wiwid masuk Islam dan saya doakan semoga bahagia.

Dari pengalaman diatas merupakan sesuatu hal yang unik untuk diungkapkan karena jarang sekali umat non Islam dengan Islam bisa hidup berdampingan. Kebebasan yang di tafsirkan dalam umat Islam dan Kristen adalah kebebasan tentang persamaan, berdialog lintas agama dan budaya, keadilan, persaudaraan, ini merupakan cerminan dari ajaran–ajaran nilai–nilai monoteisme yang diajarkan oleh seorang Abraham. Ajaran ini membentuk fungsi pokok dalam satu kesatuan pemahaman dengan mengikat diri masing–masing pada Tuhan Yang Satu sehingga bisa menciptakan sebuah dinamisasi ditingkat taraf berfikir akan pentingnya peradaban perdamaian yang sejati bukanlah benturan peradaban seperti apa yang di pahami oleh Samuel P Hungtington dalam bukunya Benturan Antar Peradaban. Al Qur’an telah meyebutkan bahwa ajaran yang dilahirkan oleh Ibrahim merupakan hal–hal yang mendasar untuk menginternalisasikan monoteisme dalam kehidupan pribadi, masyarakat maupun bangsa sehingga memiliki keyakinan dan kesalehan pribadi yang sejati secara sosiologis yang sudah di tanam oleh Tuhan kepada manusia itu sendiri agar saling memahami. Karena manusia juga memiliki hati nurani yang tulus ikhlas untuk menjalin seilaturrahmi dalam merajut harmonisasi kebersamaan, inilah yang di namakan nilai–nilai ketuhanan bagi hambanya sendiri. Ssesungguhnya umat manusia memiliki ketaatan yang alami sebagai al din wa al islami yang selalu keluar i’tikad baik sebagai bentuk menifestasi nilai nilai moral untuk membuktikan secara tepat da etis anugerah Tuhan tanpa melakukan hal–hal yang mempraktikan keluar dari ajaran Tuhan. Tuhan menyebukan ketaatan yang alami ini sebagai “Agama Allah (din Allah) sebagaimana Al Qur’an menyebutkan : Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepadaNyalah berserah diri segala segala apa yang ada di langit dan bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan, (Al Qur’an Surat Ali Imran : 83). Begitu juga dalam Al Qur’an : 1–3 yang mengatakan : Apabila telah dtang pertolongan Allah dan kemenangan dan kami lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong–bondong. Maka bertasbilah dengan memuji Tuhanmu dan memohon ampun kepadanya sesungguhnya Dia penerima taubat. Ayat ini sebenarnya menjelaskan tentang sebuah peranan dan fungsi kepada manusia untuk memahami sesuatu yang benar secara universal secara kritis dallam bangunan kesadaran akan pemahaman yang hakiki karena manusia sudah diberi bekal ilmu tentang metode yang sistematis untuk mencapai nilai ketauhi dan keimanan manusia sebagai komponen utama pengakuannya kepada Tuhan.
Universalisme millati Ibrahim merupakan komponen utama yang lain dalam konteks memberikan keragaman berfikir dan memperkuat kaidah atau sistem kemanusiaan baik secara sosiologis maupun politis tanpa memandang sikap atau kaidah tersebut secara diskriminatif. Kesalehan alami ini bersipat normatif dan mutlak berlaku bagi setiap manusia serta tidak melarang untuk mempelajari ajaran dan kitab yang lain. Millati Ibrahim menentang ketika ada sikap universalisme itu di langgar sehimgga merugikan nilai kemanusiaan orang lain. Kita semua menyaksikan sejarah gemilang pembebasan manusia dari belenggu tirani kekuasaan Reza Syah Pahlvi melalui perebutan kekuasaan politik dan kemanusiaan melalui Revolusi Iran yang di motori oleh Ayatullah Khomeini seorang ulama besar yang sangat mencintai negara dan rakyatnya. Tujuan revolusi tersebut bukan sesuatu yang di anggap lattah dari sisi kemanuisaan. Akan tetapi, Revolusi Iran membebaskan dari pesan–pesan sekularisme barat yang bercorong pahlevi, membangun peradaban perdamaian tanpa ada diskriminasi terhadap kebebasan umat Islam dan generasinya dalam memakai jilbab serta keragaman berfikir tentang gerakan idiologis keagamaan. Hal ini merupakan sebuah proses internalisasi Millati Ibrahim sebagai komponen dasar dan utama dalam melakukan kerja–kerja pemurnian tentang sebuah peradaban universalisme Islam. Begitu juga dengan bangsa Indonesia bukanlah suatu kebetulan yang harus di analisis dan rekonstruksi lagi tentang sebuah pemaknaan nilai universal pancasila yang memuat sebuah rasa keadilan, persamaan, toleransi dan kesejahteraan bagi rakyatnya dengan tanggungjawab lebih besar untuk merealisasikannya, bukan terjebak pada politik musiman yang bersipat hedonisme dan egoistis. Keterjebakan pada posisi itulah kita melanggar Millatih Ibrahim yang sudah di tanam sebelumya.

Tidak ada komentar: