Syafrilisme : Manivesto Gerakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar—Sebuah Jawaban atas Kehausan Dan Pergulatan Intelektual Ilmu Pengetahuan
YANTO SAGARINO SAMAWA TARIANO
Sejarah mencatat kiprah tunggalnya IMM bersama Muhammadiyahnya, untuk meneguhkan spirit perjuangan Muhammad saw bersama umat Islam 100 tahun (satu abad) telah berhasil meletakkan dasar–dasar pembaharuan Islam yang seutuhnya melalui pemikiran dan ijtihad para tokohnya yang sangat jujur, elegan, moderat, kokoh dan berani berfikir beda maupun penampilan berbeda dalam merekonstruksi makna Islam yang sebenarnya dengan terlebih dahulu meletakkan fondasi peradaban Islam. Begitu juga dengan Rasulullah selama 23 tahun, waktu yang sangat sempit dan penuh makna bagi seluruh umat Islam, yang telah berhasil menanam pemahaman Islam yang sangat kuat tanpa keraguan di umatnya, dimana sentrum Islam berpusat di Madaniyah dengan sentrum keasmaannya (Keislamannya) adalah Makkah. Di mana Kabah berdiri dengan tegak sebagai pusat kiblat umat Islam. Menurut Dr. Haedar Nashir mengatakan bahwa dunia Islam sebelum mengalami kemunduran justru telah mengukir kejayaan selama sekitar lima abad dari tahun 661 hingga 1258 Masehi. Ketika bangsa-bangsa Eropa tengah tertidur lelap dalam selimut kegelapan, kala itu peradaban Islam telah menjulang dan meluas hingga ke belahan dunia Timur dan Barat. Itulah yang disebut era The Golden Age. Masa keemasan dan kejayaan Islam. Setelah Rasulullah wafat (12 Rabiul Awwal tahun 11 H/ 632 M), pada perkembangan berikutnya umat Islam mengalami fase baru dengan terbentuknya sistem kekhalifahan Islam yang utama (Khulafa ar-Rasyidin) di bawah kepemimpinan Abu Bakar As-Shiddiq, Khalifah Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Era kekhalifahan yang terkenal itu terbilang cukup singkat yaitu sekitar 30 tahun (11-41 H/632-661 M), tetapi, berhasil membangun tatanan kehidupan umat Islam yang cemerlang bukan hanya dalam kehidupan keagamaan tetapi juga kekuasaan politik atau pemerintahan. Itulah generasi ideal dalam tatanan pemerintahan Islam, kendati sejak era Ustman dan Ali mulai muncul benih-benih konflik, yang memengaruhi bagi tumbuhnya konflik soal kekuasaan Islam pada periode-periode berikutnya.
Perluasan Islam dimulai pasca perang Yarmuk (13 H / 634 M) di pinggiran sungai Yordania, ketika pasukan Islam di bawah pimpinan Abu Bakar dan kemudian diteruskan Umar bin Khattab berhasil menaklukan Syiria, Palestina dan Mesir. Di zaman Umar bin Khattab perluasan Islam bahkan berlanjut hingga ke Irak, Lybia, dan Persia di kawasan Timur. Pasca Khulafa Ar-Rasyidin Islam bahkan mengalami ekspansi yang luar biasa di era dinasti kekhalifahan Bani Umayyah (41- 132 H/661-749 M), Abbasiyah (132-656 H/749-1200 M), Mamluk (648-923 H/1250-15-17 M), dan Utsmaniyah (923-1342 H/1517-1923 M). Saat itu umat Islam mengalami ekspansi yang luar biasa, kendati kekuasaan-kekuasaan baru tersebut lebih bercorak dinasti ketimbang sistem yang lebih demokratis sebagaimana zaman Khulafa Ar-Rasyidin. Pada masa kekhalifahan Islam tersebut terutama di era Banu Umayyah Islam berkembang hingga ke Afrika Barat dan Utara (negeri-negeri Maghribi), ke belahan Timur seperti Persia, India, Cina, hingga Asia Tenggara. Lebih dari itu, Islam juga meluas Asia Tengah hingga ke daerah-daerah yang kini berada di wilayah Rusia dan sekitarnya, bahkan meluas lagi ke Spanyol hingga ke Perancis bagian selatan dengan melintasi pegunungan Baranes tetapi tertahan di Toulon. Dari perluasan yang spektakuler itulah, kendati di abad tengah mengalami kemunduran. Islam kemudian berkembang menjadi agama yang dipeluk jutaan umat manusia di seluruh dunia hingga ke zaman modern yang kini jumlahnya sekitar 1,4 milyar jiwa di seluruh dunia. Masa kejayaan Islam yang berlangsung beberapa abad itu ditandai pula oleh kemajuan di bidang ilmu pengetahuan yang luar biasa, ketika dunia Barat pada saat itu tengah tertidur lelap dalam selimut kegelapan. Pemikiran dan karyakarya di bidang fiqih, ilmu kalam atau filsafat, kedokteran, aljabar atau ilmu berhitung, sastra, sejarah, sosiologi, ilmu politik (siasah), arsitektur, dan sebagainya muncul secara spektakuler di era itu. Pada masa kejayaan itu, muncul empat pemikir mazhab Islam yakni Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Imam Ibn Hanbal yang begitu terkenal. Lahir pula pemikir-pemikir besar seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Al-Khawarizmi, Ibn Maskawih, Ibn Batuta, Ibn Khaldun, Al-Mawardi, Ibn Hayyan, Ar-Razi, Al-Ghazali, Al-Asyari, Al-Maturidi, Al-Hallaj, dan sebagainya yang tidak mungkin disebut satu persatu secara lebih lengkap, yang di kemudian hari di antara buah pemikirannya dikaji dan memberi inspirasi bagi pemikir-pemikir di dunia Barat setelah bangkit di era Renasainse. Dunia Islam kala itu sungguh maju ilmu pengetahuannya, sehingga mengalami puncak peradaban Islam. Sejarah Islam memang penuh dinamika pasang dan surut. Masa kejayaan Islam mulai redup bahkan sirna dan tibalah masa kemunduran, terutama pasca kejatuhan kekuasaan Islam di Spanyol tahun 1213 M dan Baghdad tahun 1258 M. Kendati setelah itu sempat muncul tiga kekuasaan Islam yaitu kekhalifahan Ustmani di Turki, Safawi di Persia, dan Mughal di India; namun umat Islam secara umum terlanjur mengalami kemunduran. Kemunduran itu terjadi baik di bidang kehidupan agama, politik dan pemerintahan, ilmu pengetahuan, maupun dalam kehidupan ekonomi dan sosial-budaya, Inilah masa kemunduran Islam. Kemunduran di bidang agama ditandai oleh berbagai praktik-praktik syirik, tahayul, bid’ah, dan khurafat terutama pengaruh tentara Mongol dan Persia. Mekar pula praktik-praktik tasawuf yang memperlemah etos hidup kaum muslimin.
Tertutupnya pintu ijtihad sehingga umat Islam terjebak pada taklid dan kejumudan. Pada saat yang sama muncul berbagai konflik teologis yang merambat pada konflik politik atau sebaliknya dengan munculnya golongan-golongan radikal dan pembangkangan golongan Khawarij, Syiah, sunni dan sebagainya, yang memperlemah kekuatan Islam sebagai jamaah atau ummah. Konflik paham ke-Islaman kendati sampai batas tertentu wajar adanya namun ketika berkolaborasi dengan rezim pemerintahan dan kepentingan politik kemudian menimbulkan disintegrasi umat Islam yang sangat tajam, bahkan, tidak jarang diwarnai kekerasan dan pertumpahan darah. Islam akhirnya kehilangan ruh atau spirit sebagai agama pembebasan dan kemajuan. Kemunduran di bidang politik pemerintahan terjadi dengan kehadiran tentara asing (pasukan Mongol dan penjajah Barat) ke negeri-negeri muslim. Ketika pemerintahan Islam mulai terpecah-pecah dan mengalami keunduran secara internal, pada saat itu kekuasaan imperium Bizantium dengan semangat Perang Salib mulai bangkit memanfaatkan keadaan untuk melakukan pukulan balik terhadap Islam. Pasukan Perang Salib (489-692 H/1095-1292 M) untuk merebut kembali Palestina yang mereka klaim sebagai tempat kelahiran nabi dan agama Nasrani pada tahun 1095 Masehi berhasil merebut kembali Palestina dan Mesir, mereka bahkan berhasil mendirikan negara-negara kecil di wilayah Mediterania di bawah proteksi Perancis dan Inggris sehingga, di kemudian hari berhasil menancapkan kekuasaannya di seluruh jazirah Timur Tengah. Keberhasilan pasukan Salib itu bahkan mampu menciptakan pemerintahan Islam yang menjadi bonekanya pada masa pemerintahan Saljuq, yang kala itu, memang tengah terbagibagi ke dalam kerajaan-kerajaan kecil. Kendati, pada perang Hiththin tahun 583/1187 pasukan Salib dapat dipukul mundur oleh pasukan Shalahuddin Al-Ayyubi dan berhasil mengembalikan Baitul Maqdis dan sebagian wilayah Syam ke pangkuan Islam. Sementara itu kekuasaan Islam di Afrika Utara (Maghribi) sedang berada dalam penindasan rezim Muwahhidun dan tidak peduli dengan nasib umat Islam yang mulai terpuruk. Namun, pasukan Islam di Spanyol juga mulai mengalami tantangan berat dari pasukan Kristen, sehingga terkonsentrasi di wilayahnya. Dinasti Mamluk secara keseluruhan tengah berjuang keras mempertahankan Syiria, Palestina, Mesir, dan jazirah sekitarnya dari gempuran pasukan Salib. Sedangkan orang-orang Fathimiyah di Mesir kala itu juga mulai bersekutu dengan pejuang-pejuang Kristen dari Eropa itu (Qamaruddin Khan, 1983: 36). Kekuasaan dan kejayaan Islam seolah tengah menunggu keruntuhan. Selain itu, Perang Salib kedua (649 H /1251 M) yang digelorakan Raja Perancis Louis IX pada tahun dan invasi pasukan Napoleon di Mesir pasca Revolusi Perancis tahun 1789 di wilayah Mesir dan Afrika, juga diikuti oleh kehadiran penjajah Inggris dan Belanda di sejumlah dunia muslim di Asia Barat, Selatan, dan Tenggara benar-benar kian menenggelamkan peradaban Islam dan umat Islam.
Umat Islam sedunia, termasuk di jazirah Timur Tengah, tidak hanya mengalami kemunduran tetapi, juga menjadi negeri-negeri taklukan atau jajahan sehingga benar-benar berada dalam kejatuhan dan kehancuran. Dalam situasi yang dikepung dari luar dan mengalami disintegrasi di dalam itulah maka peradaban Islam berada dalam krisis. Masa kejayaan telah sirna, kemudian datanglah era kemunduran dan kejatuhan peradaban Islam. Namun, sejarah memang tidak bersifat garis lurus. Di tengah kejatuhan peradaan Islam itu pula muncul spirit baru untuk bangkit kembali. Di era itulah muncul pemikir dan gerakan kebangkitan (pembaruan) Islam. Di zaman pertengahan lahir pemikir besar sekaligus menjadi inspirator pembaruan yakni Ibn Taimiyyah. Sedangkan di era modern abad ke-19 lahir mujadid Jamaluddin Al-Afghani dan para pembaru lainnya hingga meluas ke Indonesia, antara lain dengan hadirnya pembaru dari Kauman yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan yang melahirkan Muhammadiyah. Apa yang di kemukakan oleh Dr. H. Haedar Nashir dalam dimensi sejarah Islam dan pembaharuannya untuk mengembalikan Islam pada masa kejayaannya, memang penuh teka teki akan sebuah masyarakat Islam yang sebenar-benarnya sebagaimana apa yang dicita-citakan oleh Muhammadiyah dan mahasiswa intelektual dan akademisi Islam itu sendiri yakni Ikatan Mahasoswa Muhammadiyah yang di tegaskan dalam konstitusi organisasinya. Memprediksi dunia ini akan menjadi Islam harmonis, sangatlah naif kalau kita memikirkan secara kasat mata. Namun semua itu perlu ikhtiar dan sikap tawakkal kepada Tuhan serta konsisten dalam menjalankan perintahnya. Sekarang ini banyak fenomena gerakan Islam yang berkarakter plural, namun hanya sedikit harakah fil Islam yang menciptakan sebuah perdamaian. Kebanyakan harakah fil Islam menyulut urat nadi agama lain dengan saling menentang baik yang bersifat politis maupun kultural. Sebagaimana kita melihat berbagai macam kasus yang terjadi di ambon, poso, madura, sampit, lombok-NTB, semua itu adalah sikap yang tidak saling menghargai serta tidak berusaha memahami Islam secara universal, sehingga kedangkalan pemahaman akidah tauhid seperti menyebabkan Islam itu mundur dari dunia pencerahan justru terjerumus pada lokus penjarahan sesama muslim.
Memang konflik seperti ini sangatlah santer untuk di bahas karena di satu pihak umat Islam menginginkan kebebasan dan meyakini Islam, sementara di lain pihak ada keyakinan bahwa Islam itu bukanlah Isnpirasi dari kebebasan. Pemahaman seperti ini perlu untuk di luruskan dan mengambil titik benarnya, agar islam tersebut bisa tampil dengan wajah keadilan tanpa ada konflk dan penjarahan. Dalam teori syafrilisme mengisyaratkan bahwa kata agama yang di artkan kedalam suatu doktrin dari bahasa ynani sangatlah menjadi dasar titik konflik antar umat beragama. Oleh karena untuk menyingkap konflik agama tentu ada beberapa hal yang di ajukan oleh Eropa dan peradaban Yunani yakni pertama, epistemologi Yunani yang menempatkan Al Qur’an hanya sebagai dmensi keduniaan. Alasan mereka karena Al Qur’an diturunkan untuk menyempurnakan realitas keduniaan. Hasil kajian epistemologis tersebut banyak pemikir yang mengembangkan ilmu pengetahuan tanpa melihat doktrin Al Qur’an dan Sunnah sehingga taraf berfikir mereka hanya di dasarkan pada analisa realitas keduniaan. Kedua, Ontologi berfikir yunani dalam lokus para pemikir dan karyanya mengingkan umat Islam untuk tidak mematuhi apa yang di perintahkan oleh Rasul dan Nabi-Nabi. Padahal metode dan teori apapun dalam Islam terdapat pada Al Qur’an, Cuma yang lemah adalah para pemikir Islam untuk menginterfretasi ilmu pengetahuan yang ada dalam Al Qur’an. Ketiga, Aksiologi, Al Qur’an telah mengisyaratkan kepada seluruh manusia bahwa turunnya Al Qur’an bukanlah diperuntukkan bagi umat Islam saja tetapi untuk seluruh manusia, sebagaimana dalam rukun Iman yang menyebutkan Iman kepada kitab Allah. Al Qur’an itupun turun untuk menyempurnakan semua kitab Allah yang sebelumnya. Akan tetapi mengapa manusia Eropa dan Yunani pada umumnya yang berasal dari Asma (agama) Kristen, Budha, Hindu dan lain sebagainya tidak mengimani Al Qur’an dan berusaha mebangun aksiologi keilmuan yang di luar doktrin Al Qur’an. Alasan bagi mereka oleh karena dalam interfretasi Asma (agama) semua benar sehingga sikap truct claim pun tidak bisa melepaskan mereka. Pekerjaan da'wah memang tak kenal kata usai dan tidak berhenti, Ia senantiasa bergulir bersama cepatnya pergantian waktu. Makhluk Allah yang bernama manusia hari-demi hari terus mengalami perubahan. Perubahan itu sejatinya tak lepas dari dua bentuk; perubahan menuju model manusia positif atau justeru sebaliknya. Model manusia positif adalah mereka yang mengalami perubahan dari buruk menjadi baik, bodoh menjadi berilmu, maksiat menjadi shalih, mubtadi' menjadi muttabi', ateis, kufur, murtad, berubah menjadi mu'min muwahhid. Semua ini adalah keinginan dan merupakan capaian teori syafrilisme dalam konteks praksisnya sehingga Islam yang dikatakan damai itu mejadi bagian terpenting dalam hidup ini. Kondisi itupun tidak terlepas pada kiprah IMM sebagai organisasi pemikir dan mencetak akjademisi intelektual yang mapan dalam berfikir keislaman dan menciptakan perdamaian baik melalu dakwah maupun kekuasaan. Artinya sikap yang harus di tunjukkan adalah sikap damai sebagaimana Islam itu tampil seperti apa yang dikehendaki oleh Allah swt.
Begitu dengan IMM, agar hendaknya melakukan kerja-kerja pemikiran sebagai basis pengembangan keislaman, jangan samapi kader IMM dalam dakwah intelektualnya sebagai akademisi banyak mengklaim diri merdeka dengan keislamannya, dan menghakimi orang lain yang nota bene dari kalangan marxisme, liberalisme, sekulerisme dan aliran pemikiran lainnya. Bagi IMM jangan pernah ada klaim kebenaran karena Islam senantiasa tidak mengatakan itu, kita membenci paham lain harus terlebih dahulu kita mengutamakan kesadaran Iqra (membaca) penomena apa yang terjadi sebenarnya kemudian masalah tersebut diskusikan dan dialogkan dalam suatu majelis (kesadaran majelis) setelah itu baru ada tindakan yang kolektif yang bercermin pada keputusan bersama (Syaff). Mengapa harus seperti itu, oleh karena banyak kita melihat faktanya, sebagaimana kasus Ahmadiyah di Lombok-NTB yang menghancurkan semua milik sesama muslim, inikan sesuatu hal yang sangat kontraproduktif, kalau pun ada paham berbeda dengan Ahmadiyah maka harus ada pelurusan. Tugas pelurusan ini merupakan tanggungjawab yang di emban oleh para mubaligh untuk senantiasa meluruskan umat Ahmadiyah yang dianggap keluar dari Islam. Bukanlah harus menghakami, karena menghakimi atau menindas orang lain atau memeranggi, padahal mereka tidak memeranggi Islam, mungkin oleh karena alasan kita saja untuk mencari maslah baru dan fenomena baru. Sementara kita yang membenci orang Ahmadiyah, tidak juga melakukan sholat, padahal perintah Rasul umur 10 tahun belum mulai sholat maka pukullah mereka. Kita semua memiliki iman yang sangat dalam, tetapi kita kebanyakan tidak mengukur iman itu dengan menciptakan perdamaian. Kemudian perlu kita pertanyakan semua diri kita yang senantiasa mengklaim tentang kebenaran pada taraf keislaman kita. Namun akankah kita terus meninggalkan saudara kita begitu saja setelah dihakimi secara massal, justru kita mencoreng eksistensi kemanusiaan kita sendiri. Selain itu juga bagaimana kebiadaban Amerika AS di timur tengah yang tidak mengenal prikemanusiaan padahal mereka mengusung nilai-nilai harmonisasi antar manusia, namun di balik itu merkalah yang paling terorisme dan penjahat perang. Inikah yang dinamakan demokrasi, man of freedom, bukankah semua hal seperti itu melanggar kodrat ketuhanan. Teori Syafrilisme bersama manivesto dakwahnya bergerak sampai urat nadi para otak pikir manusia demi mencapai perdamaian yang hakiki, baik secara teologis (ketuhanan/ketauhidan) maupun secara idiologis (ekonomi, politik, budaya, dan sosial kemanusiaan), karena sesungguhnya Islam yang baik adalah Islam yang damai—harmonis dan menginginkan komonitas makkiyah maupun madaniyah. maka Semoga kita semua termasuk mereka yang tak kenal lelah mencapai idealisme untuk perdamaian sejati sebagaimana yang di syaratkan oleh Tuhan kepada manusia, tentu dalam bimbingan-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar