Materialitas
YANTO SAGARINO
Berangkat dari wacana kritis yang dianalisa pada masing-masing teori diatas, memang memiliki faktor subyektif dengan menempatkan agama bukan pada sisi pencerahan, aka tetapi justru berbalik bahkan menempatkan posisi agama pada sesuatu hal yang menjadi penganggu dalam kehidupan manusia. Mengapa saya haru sberangkat dari paradigma umum tentang sebuah tabiat manusia, bahwa memang memandang hal tersebut tidak semudah kita mengambil kesimpulan dalam situasi diskusi dengan beberapa kelompok. Namun ide dan gagasan dalam kelompok tersebut merupakan sesuatu yang bisa dianggap cemerlang tapi krisis dalam spiritualitas, ide dan gagasan nilai keagamaan manusia memiliki nilai yang rata-rata 99 % dan mereka relatif taat akan beribadah, akan tetapi mereka selalu membuat ulah dan bahkan melanggar nilai-nilai keibadahan mereka sendiri misalnya korupsi, konflik, saling memfitnah dan mengadu domba satu sama lainnya. Begitu juga ada melihat sisi agama sesuatu yang dinaggap candu dalam struktur masyarakat, sehingga mereka memilih posisi anti agama (ateis). Dengan ateis mereka ini bukan hanya menjadi bagian paling aman, akan tetapi mereka mungkin leboh kejam dan serng tidak konsisten sama sekali, terkadang mereka yang ateis memakai bahasa humanisasi yang mereka anggap paling baik untuk mengarahkan masyarakat, ada juga bahasanya revolusi dengan tujuan merebut kekuasaan, oleh karena mungkin merasa tidak puas dengan segala kondisi dan situasi yang terjadi dalam tatanan sebuah negara atau kekuasaan. Masalah lain, mungkin dalam kehidupan manusia sekarang ini memiliki kepentingan bermacam-macam model, ada yang mengembangkan pemikiran keagamaan dengan menggali sisi sejarahnya saja dan keluar dari tekstualitasnya, ada juga yang berusaha berfikir untuk terkenal dalam sebuah pergulatan keagamaan dengan mengedepankan pemikiran progresif, namun sering membongkar wilayah keimanan manusia yang sudah diatur sebelumnya oleh Tuhan melalui kitab sucinya. Konflik kerap terjadi baik itu yang bersipat mengorbankan orang lain dengan otoritas tertentu maupun berbentuk fisik, hal inilah yang menjadi sebuah persoalan dunia ini yang tak pernah habis untuk di bahas. Tentu dari semua problem seperti ini, mecerminkan sebuah nilai yang terpuruk di tingkat moralitas manusia baik dalam interaksi dengan sesamanya maupun pada saat mereka secara kolektif menjalankan sebuah komonitas yang didalamnya banyak kepentingan. Dalam konteks teori Marxisme—Komunisme yang telah kita telaah sebelumnya bahwa sudah terlalu usang dan banyak mengotori dunia, sementara manusia dalam sebuah lingkaran pertentangan idiologi yang tak pernah habis untuk berseteru. Sepertinya dari semua teori yang telah digagas oleh beberapa pemikir Eropa sebenarnya bermaksud memposisikan masyarakat dalam konteks komonitas yang terkecil agar dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Mterialisme historis yang di perkenalkan oleh Karl Marx atas pesanan freemasonsry untuk membungkus nilai dari teori humanisme masyarakat merupakan bentuk pembedaan antara dasar dan superstruktur yang di inginkan oleh Karl Marx. Penjelasan Karl Marx tentang kondisi material, biaya produksi, perekonomian dan kepemilikan alat produksi masuk kedalam kategori dasar. Sedangkan superstruktur yang di inginkan adalah sistem kekuasaan negara, sistem hukum, gereja, media massa dan sekolah sebagaimana kebutuhan masyarakat. Namun berbicara dasar ini yang di inginkan oleh Karl Marx ternyata sangat santer melakukan penolakan terhadap sistem agama yang berlaku sebagai norma hukum dalam sistem kemasyarakatan, dari konsepsi dasar yang di bicarakan tadi merupakan sebuah penomena sosial yang harus di selesaikan dalam sistem tersebut. Dalam pemahaman Karl Marx tentang dasar menganggap bahwa peran dimensi agama tidak ada dalam bentukan masyarakat, anggapan ini menimbulkan reaksi dan pertentangan yang sangat luar biasa yang mengindikasikan sebuah stigma yang tak pernah lepas dari ingatan masyarakat. Namun bagi mereka ciri utama manusia adalah perekonomian yang merupakan inti ditilik dari apa saja yang dapat di jelaskan; dasar menetukan superstruktur dan untuk itu perekonomianlah yang menentukan dan dipikirkan oleh masyarakat. Dan mereka memperkuat opsi tersebut dengan anggapan bahwa dengan dasarlah dapat membentuk sejarah tersebut. karena perubahan di pahami sebagai penyebab terjadinya faktor kebutuhan ekonomi.
Memang dari sisi kehidupan manusia telah terjebak pada proses dehimanisasi dirinya karena mereka hanya mampu berfikir untuk memperkuat dirinya dengan kondisi ekonomi yang sangat tidak stabil dan berkecendrungan memaksakan dirinya. Iqranisasi ekonomi, tentu dalam pembacaan teori syafrilisme harus ada sikap prioritas ekonomi sebagai jalan tengah demi mencapai harmonisasi nilai agar senantiasa adanya perubahan dalam konteks kehidupannya. Manusia sangatlah dibutuhkan ekonomi yang berkeadilan artinya ekonomi yang memanusiakan manusia dalam segala aspek tanpa meninggalkan nilai kemanusiaan dan spiritualitasnya. Harmonisasi nilai dalam teori ini merupakan sebuah jalan tengah untuk memahami pemikiran – pemikiran para ekonomi yang sangat rentan dengan persoalan kemiskinan, pembodohan dan problem lainnya. Masalah seperti ini sangatlah ditunjang oleh eknomi yang kuat melalui pemberdayaan tsehingga kewajiban negara dan hak rakyat pun dapat tersalurkan dan jaminan akan adanya kesejahteraan. Ekonomi berkeadilan dan berkemajuan, tentu sangat berkaitan dengan peran agama dan berbagai tantangan dalam era globalisasi ini. Berbagai pendapat yang selalu berragam dalam analisisnya, juga menyisakan ruang yang selebihnya mengandung bahaya akan mengambang di awang-awang dalam sebuah regulasi yang ditetapkan. Pilihan kebijakan yang cerah merupakan sebuah katalisator positif dari berbagai macam usaha untuk menyediakan tuntunan kearifan moral dan etika, maka yang kami paparkan berikut ini semoga dapat menjadi pelengkap untuk menjawab, kendatipun masih pada level pilihan-pilihan. Ekonomi berkeadilan. perihal sifat buruk globalisasi-ekonomi-yang didorong korporasi sebagai wujud pelaksanaan ideologi neo-liberalisme kita semua sudah katham, makfum. Namun perihal prinsip-prinsip dan kemungkinan menawarkan alternatifnya, agar ekonomi berkeadilan, kebanyakan kita masih gelap, kalau tidak rancu. Pilihan-pilihan kebijakan yang penuh petimbangan nilai-nilai, menuju ekonomi alternatif yang berkeadilan tersebut. Arus dominan dalam pemikiran dan kebijakan pada saat-saat ini, bila orang berbicara mengenai ekonomi berkeadilan, orang memakai paradigma ekonomi aliran Neo-Classic, dimana kegiatan ekonomi diringkas hanya dalam dua bagian, yakni “produksi dan konsumsi.” Padahal babon Neoclassic, yakni Aliran Klasik, sampai pada John Stuart Mill, masih menambahkan satu rangkaian proses berekonomi, yakni “distribusi”. Alfred Marshall dan kemudian aliran Marginalis yang kemudian membuang sama sekali “distribusi”. Sampai sekarang ini, ada salah kaprah, dosa membuang “distribusi” dilemparkan pada Adam Smith. Tidak benar. Dalam volume buku lengkapnya, Adam Smith masih berbicara mengenai akibat dari permainan “the hidden hands”, tangan tersembunyi, semangat mengapai kepentingan sendiri, dalam arena pasar bebas, yakni terpinggirkannya sebagian besar masyarakat yang tidak bermodal dan tidak berketerampilan. “Korban” dari pasar bebas inilah yang oleh Adam Smith masih diusulkan agar dilindungi oleh “hukum untuk orang miskin”, kalau bukan lewat campur tangan pemerintah juga lewat lembaga-lembaga Gereja. Memang usulan Adam Smith tidak berbeda dengan cara kerja Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional. Misalnya dengan program penyesuaian struktural, atau SAP (Structural Adjustment Program), atau pengetatan ikat pinggang, atau yang di Indonesia kita kenal sebagai LoI (Letter of Intent). Sebagai usaha koreksi pasar bebas dan privatisasi yang berakibat pemiskinan sebagian besar warga, perlu diadakan Jaring Pengamanan Sosial, atau kalau sekarang dengan kenaikan harga BBM secara meroket, para ekonom Presiden SBY memperkenalkan “kompensasi kenaikan harga BBM” . Dengan kata lain, fakta terjadinya ketidakadilan dan pemiskinan diakui oleh para pendukung ekonomi klasik. Aliran ekonomi neo-klasik, yang tentunya diikuti oleh Hayek maupun Milton Friedman secara puritan, sama sekali menyerahkan mekanisme keadilan pada pasar. Maka kita kenal istilah “trickle down effect”, “menetesnya kemakmuran ke bawah”. Sebagaimana kita tahu doktrin ini tidak pernah terbukti benar. Kalau kita bicara tentang ekonomi neo-liberalisme jaman sekarang, sebenarnyia tetap saja jiwanya adalah ekonomi neo-klasik, pasar bebas yang puritan. Kalau lembaga seperti Bank Dunia dan berbagai pemerintah itu memperkenalkan JPS dan semacamnya, sebenarnya mereka penganut aliran klasik, aliran Adam Smith, bukan aliran Alfred Marshall dan Sekolah Marginalis (Leon Walras, Jevon, dlsb.). Francis Wahono Tujuh Jalan Kebijakan menuju Ekonomi Berkeadilan Sebuah Tanggapan terhadap Draft Ekonomi Berkeadilan (ICRP) 08 Agustus 2006.
Aliran Karl Marx dan anak-anak pikirnya sebenarnya, kendatipun kritis terhadap Kapitalisme, tetap berpikir dalam kerangka aliran ekonomi klasik. Marx adalah anak aliran klasik. Hanya bedanya terletak, kalau Adam Smith menaruh “distribusi” pada koreksi ekor Kapitalisme, artinya soal mendistribusikan “konsumsi” atau juga ekuivalennya “pendapatan” (hasil produksi), Karl Marx menaruh “distribusi” pada basis ekonomi, mendistribusikan “sarana produksi” (bukan “konsumsi”). Maka yang didistribusikan modalnya, bukan buah modal (keuntungan dan suku bunga). Persoalannya adalah pada “siapa juru pendistribusi” modal atau sarana produksi. Lenin memperkenalkan “diktator proletariat” sebagai pendistribusi modal, dalam arti negara diktator. Itulah yang dikritik oleh Milovan Djilas, karena korupsi terjadi pada para diktator proletariat. Ploletariatnya hanya sebagai ideologi pelegitimasi dari seorang diktator. Lama-lama diktatornya terpisah dari proletariatnya, bahkan melawan dan menginjaknya. Proses itu di China, sejauh kami pernah berdiskusi dengan beberapa anggota Polit Bereau dalam sebuah seminar international di Beijing beberapa waktu lalu, adalah proses “untuk menuju sosialisme, phase kapitalisme harus dijalankan”. “Tidak ada kapitalisme di China, yang ada adalah Menuju-Sosialisme”. Maka China pun bertoleransi dengan Kapitalisme. Berikut ini kami paparkan, alternatif terhadap kedua aliran tersebut di atas (yang pada dasarnya berasal dari aliran sama yakni klasik). Alternatif ini dengan terus terang dalam khasanak ekonomi adalah aliran populis. Bukan ekonomi populisme yang salah kaprah dimengerti oleh cendekia seperti Sri Mulyani Indrawati dan Adisasono. Sebab populisme sebagaimana mereka kenal, tidak lain adalah Adam Smith-ian saja. Aliran populisme memang tidak mendapat ruang kuliah nalar di Indonesia, tetapi di negara-negara Jasirah Norwegia dlsb, di India, dan di Jepang masih dipelajari dan dikembangkan oleh para pengikutnya. Ada salah kaprah juga, bahwa ekonomi populis adalah anti teknologi. Itu tidak benar, sebab baik MK Gandhi dan EF Sumacher, sebagai pemikir populis, tidak pernah menafikan teknologi, mereka berpikiran teknologi harus cocok dengan kapasitas manusianya untuk mengendalikannya. Ketajaman pisau harus disesuaikan dengan keahlian penggunanya, pisau tajam tidak boleh digunakan oleh anak kecil. Kalau itu dilanggar, phenomenon, Frankentein, Jurrasic Park and the Brave New World berulang: teknologi memakan pembuatnya sendiri. Berikut 7 jalan kebijakan, yang intinya adalah prinsip-prinsip ekonomi kerakyatan baru (baru karena anti kekerasan dan tidak anti teknologi):
1. Prioritas pada Kecukupan (Sufficiency) atas Efficiency (cf. Masri Singarimbun, Sajogyo, ILO, Reginald Green, Soedjatmoko)
2. Prioritas pada Kerja untuk Makan (Bread Labour) atas Bunga Modal (M.K. Gandhi).
3. Prioritas pada Kepemilikan Komuniter dan Publik atas Kepemilikan Pribadi (Al Qur’an, Kitab Suci, Ajaran Bapa-bapa Gereja, Ajaran Sosial Gereja, pernyataan-pernyataan WCC)
4. Prioritas pada Ekonomi Skala Kecil atas Ekonomi Skala Besar (EF. Schumacher).
5. Prioritas pada Kearifan Lokal atas Transfer/Impor Teknologi (EF Schumacher, Dickson).
6. Prioritas pada Pendidikan Manusia atas Peningkatan GNP (Preambule UUD 1945).
7. Prioritas pada Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Budaya atas Eksploitasi Alam (Franciscus Assisi).
Masing-masing jalan kebijakan dapat diberikan contoh-contohnya. Karena keterbatasan waktu dan ruang, contoh-contoh akan diberikan secara lisan, seturut pertanyaan-pertanyaan yang berkembang dalam diskusi seminar. Yang hendak ditunjukkan di sini, yakni bahwa ajaran-ajaran agama untuk dapat tersambungkan dan diwujudkan dalam praktek ekonomi sehari-hari, hendaknyia dirumuskan sedemikian rupa sehingga mampu dioperasionalisasikan oleh para pelaku disiplin ilmu dan praktisi di tingkat lapangan. Sebab kalau tidak ajaran-ajaran agama tinggal sebagai rumusan moral etika bagus, tetapi tidak pernah dijamah dan menjadi acuan kegiatan. Bahkan, ada bahayanya, akan menjadi legitimasi dari praktek-praktek yang boleh jadi bertentangan dengan semangat ajaran-ajaran tersebut. Sekian. Yogyakarta, 30 Maret 2005. Paper disampaikan pada Seminar ICRP mengenai “Ekonomi Berkeadilan, Agama-Agama dan Tantangan Globalisasi.
Di zaman modern, sains dan teknologi berkembang dengan pesat, dan sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Semakin laju perkembanyan sains suatu bangsa, maka semakin maju perkembangan teknologinya. Di akhir abad XX, sains dan teknologi mengalami puncak kemajuan, apa yang dianggap mustahil, bahkan yang terbayangkan sekitar di masa yang lalu, kini menjadi kenyataan. Tetapi pada sisi lain, manusia modern menghadapi berbagai ancaman kemusnahan peradaban manusia itu sendiri. (Rais, 1987: 109) Akibat pengaruh teknologi dalam kehidupan manusia, maka sistem sosial modern mengalami homogenisasi, sehingga yang dialami oleh manusi mengalami disfungsi yang seolah-olah seperti sebuah mesin dan individu yang ada di dalamnya bagaikan sebuah sekrup-sekrup kecil yang tidak lagi memiliki kebebasan. Penyebab dari semua itu adalah terjadi eksploitasi terhadap nilai kemanusiaan, dan manusia pun tidak jauh beda dengan seekor binatang yang tidak mempunyai nilai identitas diri. Kini terasa ada suatu kecenderungan bahwa manusia seakan-akan tunduk dan mengabdi pada teknologi, bukan teknologi yang tunduk dan mengabdi kepada manusia. Manusia tidak memiliki harga diri, identitas diri, dan sudah dihinggapi penyakit Sindrom Aliensi. Kondisi obyektif di atas menurut Ali Shari'ati sebagai suatu tragedi yang mengancam eksistensi manusia. (Rais, 1987: 113) Masalah humanisme (kemanusiaan) sudah lama diperdebatkan oleh para filosof dan para ilmuwan. Gambaran tentang manusia meliputi: hakekat manusia yang sesungguhnya, serta peranan dalam hidup dan kehidupannya, semuanya itu merupakan apresiasi nilai-nilai dalam suatu kebudayaan. Para filosof berusaha menyelidiki manusia dalam hakekatnya yang murni dan esensial (Boisard, 1980: 92). Para ahli lain juga melakukan penyelidikan terhadap manusia sesuai disiplin ilmunya masing-masing. Murthada Muthahhari menyatakan bahwa manusia, sama halnya dengan makhluk hidup lainnya, memiliki seperangkat hasrat dan tujuan. la berjuang meraih tujuan yang didukung oleh pengetahuan dan kesadarannya. (Mutahhari, 1989: 62)
Dipandang dari segi eksistensinya, manusia memiliki keunggulan dan keistimewaan dibanding dengan makhluk-makhluk lain. Manusia adalah makhluk yang berfikir, berkesadaran untuk selalu mencari nilai-nilai, baik nilai-nilai yang bersifat material fisik (menguntungkan), maupun yang meliputi nilai kemanusiaan dan bersifat urnum. Manusia yang idealistis memandang keyakinan-keyakinan yang lebih tinggi dari nilai-nilai lain. Kesejahteraan sesama manusia tampak Iebih penting daripada kesejahteraan dirinya sendiri. Dengan demikian aspek manusiawi dari peradaban manusia yang dianggap sebagai ruh peradaban itu, dihasilkan oleh keyakinan-keyakinannya terhadap nilai yang lebih tinggi. Ali Shari'ati sebagai salah seorang ilmuwan kaliber dunia dan banyak menyoroti masalah humanisme, menjelaskannya secara mendetail, balk menurut pandangan tokoh Barat maupun intelektual dari Timur. la mengatakan bahwa saat ini kita menghadapi empat macam aliran intelektual yang menyatakan dirinya mewakili Humanisme yaitu: Liberalisme Barat, Marxisme, Eksistensialisme, dan Agama. (Shari’ati, 1988: 52) Dalam makalah ini penults mengemukakan tentang siapakah Ali Shari'ati dan bagaimanakah pandangannya tentang Humanisme agama ?
Setelah menyelesaikan studinya, ia kembali ke Iran pada tahun 1964. Ia disambut langsung dengan hukuman penjara oleh rezim penguasa, karena selama di Prancis ia dituduh terlibat dalam kegiatan politik yang menentang dan membahayakan kedudukan Syah, tapi setahun kemudian ia dibebaskan kembali. Ia pun mulai mengajar di Universitas Masyhad, selanjutnya ke Taheran, dan di Institut Agama Huseiniya-i-Irsyad, suatu pusat pengajian agama, disinilah ia berhasil menarik perhatian banyak orang dan terkenal di kalangan pemuda-pemuda yang melibatkan Ali Shari’ati dalam kegiatan religio-politik. Akibatnya pusat pengkajian Islam itu ditutup oleh pemerintah dan Ali Shar-i'ati ditahan kurang lebih 18 bulan. Berkat berbagai tekanan (gerakan protes) dari dunia Internasional terhadap penguasa Iran, ia dibebaskan pada bulan Maret 1975, tapi masih diawasi baik oleh polisi maupun agen rahasia Iran, mengakibatkan kegiatannya terhambat. Adanya tekanan-tekanan dari penguasa Iran saat itu, ia mengambil keputusan untuk hijrah ke Inggris. Namun, malang tak dapat ditolak, ia menemui ajalnya di sana dalam usia yang relatif muda yakni pada usia 44 tahun. (Raharjo, 1985: 167; Lihat Shari’ati 1994: 533) Humanisme Agama ialah suatu paham yang lebih menitikberatkan pandangannya pada falsafah penciptaan dengan menggambarkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dan mempunyai hubungan unik dengan Tuhan, karena manusia diciptakan dari dua unsur yang berlainan yaitu pertama dari lumpur hitam, tanah kering berbau busuk, licin dan bersih yang diberi bentuk, kemudian Tuhan menghembuskan Roh-Nya ke dalam ciptaanNya. (Shari’ati, Islamic, 1991: 31) Atau dengan kata lain aliran Humanisine Agama ini mendasari pandangannya pada falsafah penciptaan manusia yang bersumberkan pada interpretasi teks Alquran dan Alhadits. Menurut Ali Shari'ati, dalam Humanisme Agama, manusia merupakan salah satu makhluk yang mempunyai harkat, martabat serta keistimewaan-keistimewaan lain yang lebih tinggi misalnya : independen, selalu sadar diri, kreatif, idealistis dan bermoral. Manusia lebih tinggi derajatnya jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain termasuk malaikat. (Raharjo, 1985: 172) Disini terlihat bahwa Ali Shari'ati berusaha meneliti manusia dari penciptaan Adam dengan menginterpretasi teks Alqu terjemahnya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kcpada para Malaikat, Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi mereka berkata :mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau. Tuhan berfirman : Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. (Departemen Agama R.I., 1974: 13) Ahmad Musthafa al-Maraghi menjelaskan bahwa ayat tersebut memberikan peringatan kepada manusia dan juga dijadikan sebagai petunjuk bagi para Malaikat agar mereka mengetahui bahwa seyala perbuatan Allah itu pasti mengandung hikmah dan kesem-purnaannya yang mutlak, meskipun bagi para Malaikat masih tampak samar-samar. (al-Maraghi, 1985: 135) Kemudian dalam ayat 31 Allah Swt berfirman :
وَعَلَّمَ ءَادَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ(31)
Terjemahnya: Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakan kepada para Malaikat, lain berfirman: Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar. (Departemen Agama, R.I., 1974: 14) Ayat di atas mengungkapkan bahwa seseorang yang menuduh kepada orang lain dituntut agar menunjukkan bukti sebagai hujjah atas tuduhannya. Di sini para Malaikat bermaksud mengungkapkan rahasia-rahasia gaib, tetapi ternyata dugaan mereka meleset. Dan juga ayat tersebut seolah-olah mengatakan kepada para malaikat, kalian tidak mengetahui rahasia-rahasia apa yang kalian maksudkan. (Lihat al-Maraghi, 1985: 139) Bagi Ali Shari’ati cerita-cerita tentang penciptaan manusia Adam mempunyai makna simbolis, betapa manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang tertinggi. Menurutnya bahwa untuk meyakinkan Malaikat tentang makhluk ciptaan-Nya yang memiliki keunggulan lebih dari dirinya, Allah swt. mempersilakan mereka menyebutkan apa ang telah diajarkan kepada Adam tadi, namun malaikat tidak mampu menyebutkan lalu Allah menyuruh malaikat untuk sujud kepada Adam, maka mereka semuanya sujud kepada Adam, kecuali Iblis. (Shari’ati, Islamic, 1991: 38)
Nampaknya Ali Shari'ati menekankan pada gambaran bahwa Tuhan memberikan indikasi tentang ketinggian dan keagungan manusia daripada makhluk-makhluk lain, dan keindahan tentang penciptaan manusia. Karena itu, hanya manusia sajalah di antara seluruh makhluk dan gejala yang ada di alam semesta ini yang mampu menjadi pemegang amanat Tuhan. Dengan demikian, manusia bukan hanya sekedar khalifah Allah di bumi ini, melainkan juga pemegang amanat-Nya. Keutamaan yang paling menonjol dari manusia yang menandai superioritasnya atas makhluk lain adalah kekuatan, kemauan atau kekuatan iradatnya. la merupakan satu-satunya makhkuk yang dapat bertindak melawan dorongan instinknya. Sebaliknya semua hewan maupun tumbuh-tumbuhan tidak dapat melakukannya. Murthada Mutahhari menggambarkan bahwa: ... Pada diri manusia ada sifat kehewanan dan kemanusiaan, karakteristik khas dari kemanusiaannya adalah iman dan sains. Manusia mempunyai kecenderungan untuk memahami alam semesta untuk menjelajahi tempat-tempat yang berada di luar 1ingkungannya ....( Mutahhari, Perspektif, 1989: 30) Inilah sifat dasar manusia sebagaimana yang digambarkan oleh Murthada Mutahhari. Dan sifat dasar manusia ini, pada gilirannya dijadikan sebagai dasar oleh Ali Shari'ati dalam membicarakan tentang humanisme agama, yaitu manusia yang memiliki wajah dua dimensi, yaitu dimensi ketuhanan dan dimensi hewani. Humanisme agama dalam perspektif Ali Shari'ati adalah paham yang bersandarkan pada filsafat penciptaan, penciptaan manusia dan hubungannya yang unik antara manusia dengan sang pencipta. Manusia pada awal mulanya telah dikaruniai pembawaan yang mulia dan bermartabat, lebih unggul atas makhluk-makhluk lain dan manusia menghargai dirinya sendiri, jika mereka mampu merasakan kemuliaan dan martabat tersebut, serta mau melepaskan diri mereka dari kepicikan segala jenis kerendahan budi, penghambaan dan hawa nafsu.
Manusia adalah satu-satunya makhluk di alam ini yang meraih kesadaran. Kesadaran itu adalah pengalamannya tentang kualitas dan esensi dirinya, dunia dan hubungan antara dirinya dan alam, makin mendalam kesadarannya terhadap tiga unsur ini, makin cepat manusia bergerak ke arah tahap-tahap yang lebih tinggi dalam proses kemajuannya. Dengan demikian adalah kesadaran manusia memungkinkan diri pergi melampaui instink hewaninya. (Shari’ati, Islamic, 1991: 38) Manusia yang ideal adalah manusia yang mampu berfikir mendalam tanpa terjerumus ke dalam perenungan diri, sehingga melupakan keadaan sekelilingnya, juga yang melakukan kegiatan-kegiatan politik tanpa harus lupa diri, gila hormat, gila kekuasaan dan semacamnya. Ilmu yang dimilikinya tidak menyebabkan kelunturan iman, dan kelumpuhan logikanya, ia adalah manusia yang berjihad dan berijtihad, mampu berbuat, memiliki emosi, mencintai, berani, dan kuat menentang lawan, mampu membentuk 1ingkungannya, bukan dia yang dibentuk oleh 1ingkungannya. Kepercayaan yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia yang mengharuskannya untuk bertanggung jawab atas amanat yang dibebankan di atas anugerahnya tersebut, betapapun besarnya tanggungjawab itu. Pengabdian kepada Tuhan dicerminkan dalam pengabdiannya terhadap kepentingan sesama manusia. Tanggung jawab diwujudkan dalam perjuangan memerangi kemiskinan, kebodohan, kedzaliman, kelaparan dan kepapaan. (Lihat Raharjo, 1985: 174)
Manusia ideal berjuang untuk membebaskan manusia dari belenggu penindasan, ia harus mampu membebaskan diri dari paksaan dan ikatan keturunan, ikatan sejarah, ikatan atau paksaan lingkungan dan sosial serta ikatan adat, yang semuanya itu adalah produk dari masyarakat yang bersifat relatif menuju ke arah nilai-nilai yang mempunyai dimensi ketuhanan yang abadi. la tidak berbuat sesuatu karena paksaan sosial dan lingkungannya, tidak juga punya etika yang merupakan sekumpulan larangan dan norma yang hanya berlaku di masyarakat, tetapi digerakkan oleh kesadaran sosialnya yang tinggi dan kecintaan terhadap nasib sesama manusia. (Shari’ati, Islamic, 1991: 59) Gambaran tersebut sangat jelas memperhatikan nasib manusia, terutama nasib mereka yang teraniaya dan tertindas. Di sisi lain ia sangat mendambakan kehidupan yang diridhai oleh Tuhan, penuh dengan kedamaian Ilahi. Profil menusia ideal yang digambarkan oleh Ali Shari'ati dikonotasikan dengan istilah Rausyan Fikr yaitu pemikir yang tercerahkan, dalam istilah Alquran dinamakan Ulul Albab ialah orang yang sadar akan keadaan kemanusiaan (human condition) di masanya serta setting kesejarahan dan kemasyarakatan. Kesadaran semacam itu dengan sendirinya akan memberi rasa tanggung jawab sosial, jika kebutuhan orang tercerahkan itu termasuk kalangan terpelajar akan lebih terpengaruh dan memainkan peranan penting dalam masyarakat untuk menentang dan membebaskan masyarakat dari belenggu penjajahan serta membentuk masyarakat yang progresif, waspada dan dinamis. (Shari’ati, 1993: 28) Di zaman modern, ketika manusia telah mencapai jalan buntu dalam perkembangan masyarakatnya, sementara negara-negara belum berkembang, sedang berjuang melawan berbagai kesulitan dan kekurangan, orang yang tercerahkan adalah orang yang mampu menumbuhkan rasa tanggung dan kesadaran dan memberi arah intelektual dan sosial kepada masyarakat. Pada prinsipnya, tanggung jawab dan peranan orang-orang masa kini yang tercerahkan di dunia ini sama dengan tanggung jawab dan peranan para nabi dan pendiri-pendiri agama besar yaitu pemimpin yang mendorong terwujudnya perubahan-perubahan struktural yang mendasar di masa lampau. Orang yang tercerahkan tidak mesti seorang intelektual atau terpelajar, karena para nabi dan pendiri-pendiri agama besar tidak termasuk dalam kategori filosof, ilmuan, teknisi atau seniman, akan tetapi mereka adalah termasuk individu-individu yang sadar dan bertanggungjawab,utamanya membangkitkan karunia Tuhan yang mulia yaitu “kesadaran diri” dari rakyat jelata. Hanya kesadaran diri yang mampu mengubah rakyat yang statis dan bobrok menjadi kekuatan yang dinamis dan kreatif. Perubahan ini akhirnya, melahirkan jenius-jenius besar dan menciptakan lompatan-lompatan bagi timbulnya peradaban, kebudayaan dan pahlawan-pahlawan yang agung. (Shari’ati, Ideologi, 1993: 24-25)
Melihat hal tersebut Ali Shari'ati berpendapat bahwa walupun bukan nabi, pemikir yang tercerahkan haruslah memainkan peranan sebagai nabi, bagi masyarakatnya. la harus menyerukan kebebasan, kesadaran, dan keselamatan dari telinga rakyat yang tuli dan tersumbat, menggelorakan suatu keyakinan yang baru ke dalam hati mereka dan menunjukkan kepada mereka arah sosial dalam masyarakat mereka yang mandeg, menentang penindasan dan kebodohan serta kemiskinan yang dimulai dengan agama yaitu yang berkaitan dengan kebudayaan seperti protestantisme Islam (Pembaharuan Islam), yang bertujuan untuk menghancurkan seluruh faktor yang merusak dan melahirkan pemikiran-pemikiran dan gerakan-gerakan baru. la sepenuhnya harus sadar akan kenyataan bahwa ia meiniliki sesuatu kebudayaan yang unik yang sepenuhnya tidak sprituil juga tidak mistikal, tapi kebudayaan muslim tercerahkan merupakan campuran iman, idealisme dan spritualitas dan keadilan yang dominan, yaitu ideologi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Islam dan tradisonal lainnya di dunia Timur. Disamping itu dalam filsafat Islam, hubungan Tuhan dengan manusia adalah salah satu di antara pembalasan, dimana pengetahuan pribadi dan pengetahuan Tuhan jadi sinonim, atau dengan alternatif dimana fungsi-fungsi yang utama sebagai suatu persiapan kemudian. (Shari’ati, Islamic, 1991: 41) Sebagai akibat dari hubungan-hubungan timbalbalik yang digambarkan di atas, di antara Tuhan, umat manusia dan alam, peran umat manusia dalam dunia yang harus dipertanggungjawabkannya, ia mempunyai suatu tujuan untuk tampil kemudian. Islam melalui prinsip ketauhidannya menunjukkan dua tugas, pertama Islam menyelesaikan kembali isu-isu dari oposisi diantara manusia, alam dan Tuhan menggambarkan hubungan eksistensial mereka positif dengan yang lainnya. Karena melalui konsep taqwanya (kesadaran akan Tuhan dalam makhluk-makhluk manusia), membuat manusia sadar akan statusnya dan peranan sosialnya pada muka bumi pada dua planet dengan Tuhan penciptanya. (Shari’ati, Islamic, 1991: 41) Oleh karena manusia mempunyai keterkaitan yang erat dengan penciptanya, maka dalam segala aktifitas yang dia perbuat, baik secara personal maupun secara kolektif (yaitu dalam mayarakat), manusia harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah dan selalu tetap konsisten dengan aturan-aturan main yang ditetapkan oleh Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar