KESADARAN SYAFRILISME
INTERPRETASI DAN PENJELASAN TAFSIR BARISAN SATU (ASH SHAAF / SHAFFAN)
DALAM KONSTRUKSI KEILMUAN DAN MASYARAKAT ISLAM
YANTO SAGARINO SAMAWA TARIANO
Paradigma Penjelasan Dan Interpretasi Tafsir Barisan Satu (Ash Shaaf)
Ada hal yang sangat mendasar dan harus di ciptakan oleh kita bersama yang sekaligus sebagai problrm solver dengan mengutamakan kepentingan kemanusiaan—ketuhanan. Sehingga kesadaran yang ditanamkan dalam sebuah paham keislkaman di tempatkan dalam satu nafas. Karena memang sejarah awal Islam itu sebagai pesan langit dalam rentang waktu yang tidak lama mampu menembus batas-batas kultural. Mengkaji sejarah sosial historinya tentang perkembangan intelektualisme Islam dalam 100 tahun yang lalu sepeningal Nabi, agama ini telah membuana dengan kecepatan tinggi, di peluk oleh berbagai suku bangsa yang sangat bervariasi dengan latar belakang sejarahnya masing-masing. bagi saya melihat sejarah penulisan tafsir Alquran sangat dinamis. Akan tetapi kemampuan untuk menginterfretasi sebuah pemahaman penafsiran semua orang akan mengalami perubahan yang drastis terlepas ari kelemahan dan kekurangan manusia. Memang dinamika Intelektualisme Islam bagi saya janan memandang bahwa kita hanya marjinal dalam konteks keilmuan Islam, Maka oleh karena itu langkah untuk mengatasi problem tersebut paling pada generasi pemikir Islam masa depan mampu mengerakkan kajian keislaman yang mencoba membedah poros konflik ilmu pengetahuan dan memang saat ini harus berani kita menelanjanggi semua paradigma keilmuan yang menjanjikan sebuah kebahagiaan, begitu juga dengan diri kita harus memiliki keberanian untuk menelanjangi diri. Kita belum seberapa banyak mengetahui sejarah dan dinamika tafsir Alquran, baik dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Saat ini masih banyak masalah-masalah yang membutuhkan sentuhan dengan tangan kehalusan melalui proses dialog dan diskusi tentatif agar bisa mengungkapkan secara lebih akurat berbagai hal mengenai subjektivitas individu dengan kelembagaan. Selain itu banyak pula tafsir dalam subjek-subjek tertentu yang mencerminkan keragaman intelektualisme Islam maupun interpretasi akan sebuah bangunan epistemologi dan metodologinya, yang terkonstruk dalam berbagai pembahasan kecenderungan penafsiran dan penggunaan ayat-ayat, Kita dapat melihat dinamika pemikiran Islam di Indonesia, tidak hanya terbatas pada bidang tafsir an sich, tetapi juga dalam kaitannya dengan isu-isu sosial, kultural, dan politik lebih luas.
Tafsir berasal dari kata al-fusru yang mempunyai arti al-ibanah wa al-kasyf (menjelaskan dan menyingkap sesuatu). Makna ini tampak sesuai dengan Surat Al-Furqan ayat 33: “wa laa ya`tuunaka bimatsalin illaa ji`naaka bil haqqi wa ahsana tafsiiran” Menurut pengertian terminologis, seperti dinukil oleh Al-Hafizh As-Suyuthi dari Al-Imam Az-Zarkasyi ialah ilmu untuk memahami kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya. Al Qur’an diturunkan kepada Muhammad saw dalam berbagai bentuk kekayaan bahasa Arab. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar teori syafrilisme yang terbagi dalam empat kesadaran adalah tentang kesadaran Tauhid yang terdiri dari aqidah, syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang paling lurus dalam pemikiran dan amal, Kemudian kesadaran Iqra sebagaimana al Qur’an di sebutkan dalam surat Al Alaq yang menjelaskan tentang bahwa pentingnya memiliki ilmu pengetahuan dan pendidikan karena dengan melakukan pembacaan maka akan lebih mudah untuk dijangkau. Selanjutnya kesadaran Majelis yang terdiri dari bagaimana seharus nnya berdiskusi dengan baik, berdialog, pendidikan, pengajian majelis-majelis yang bersifat pemberdayaan dan peningkatan kekuatan intelektual generasi Islam, dan mampu dudulk bersama dalam satu majelis dengan barisan yang satu untuk menuju Tuhan yang satu hanya melalui majelis dialog baik antar umat beragama, kebudayaan maupun politik dan lain sebagainya. Yang terakhr kesadaran harakah fil Islam, dalam konstruksi tafsir ash shaaf (barisan satu) bukanlah mengarah pada model jihad yang bersifat ekstrem, radikal dan tidak kompromi. Akan tetapi konstruksi teori syafrilisme dalam memberikan argumentasi terhadap problem tersebut bahwa pengertian dan pemahaman harakah fil Islam dalam al Qur’an surat ash shaaf adalah membangun kesadaran intektual manusia, membumikan ilmu pengetahuan Islam, epistemologi Islam, gerakan pemberdayaan, gerakan moral, politik nilai, dan pebebasan manusia dari penindasan, mendamaikan pertikaian atau perdebatan, gerakan damai dan lain sebagainya. Bagi saya penempatan teori syafrilisme pada proses keempat kesadaran tersebut, oleh karena dengan kesadaran itulah akan memberikan kontribusi pemahaman yang sekaligus dijadikan pandangan dunia Islam. Dalam hal ini mengapa teori syafrilisme harus pada posisi penafsiran oleh karena ada beberapa ayat dalam al Qur’an surat ash shaaf mencoba dirunut dari ayat 1 - 14 maka tidak ada pemutusan pemaknaan. Memang Allah swt tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al-Qur’an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan yang berupa tafsir Al-Qur’an barisan satu (Ash Shaaf) yang termaknai dalam konstruksi teori syafrilisme. Kalau kita merujuk pada sejarah penafsiran al Qur’an memang seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Secara garis besar ada tiga sumber utama yang dirujuk dalam menafsirkan Al-Qur’an : 1. penjelasan al-Qur’an baik secara global maupun terperinci. 2. menanyakan arti dan makna ayat tersebut, agar mendapat pengertian yang baik. 3. Ijtihad dan pemahaman akan makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya.
Tafsir ash shaaf (shaffan) ini merupakan metodologi untuk menguraikan bahasa teks, kontekstual. Pusat studi teks al Qur’an surat ash shaaf merupakan bentuk paradigma penafsiran yang menggunakan pendekatan al tauhid, al Iqra, al majelis, dan al Islam. Kemudian pendekatan itu bagaimana caranya untuk memberikan pemahaman la Qur’an berdasarkan teksnya ?. Maka studi penjelasan dan interpretasi teks dalam penafsiran terhadap surat as shaaf (shaffan) berorientasi pada studi keislaman yang bersifat terbuka, kolektif, dialogis, dan praksismenya. Saya ingin mengatakan selama ada sebuah penafsiran dan proses perubahan pemahaman manusia terhadap berbagai surat al Qur’an tidaklah menjadi masalah, karena menafsirkan al Qur’an tidak semata-semata di tempatkan pemahaman pada hal - hal yang matang dan baku. Memang apabila semua pemikir generasi Islam ini menganggap bahwa penafsiran al Qur’an itu bersifat baku, maka akan terjadi perbedaan sebuah makna, jadi hal0hal yang harus di berikan keluasannya adalah metodologi [enafsiran al Qur’an yang bersifat terbuka dan tidak mengedepankan suatu paham tertentu. Maka oleh karena itu paradigma penafsiran al Qur’an itu hendaklah dilakukan dengan metode al Tauhid, al Iqra, al Majelis dan al Harakah al Islam. Bagi penulis untuk memperjelas metodologi penafsiran berdasarkan teori syafrilisme ini, tentu akan di jelaskan sesuai dengan apa yang di inginkan oleg pengagasnya , sehingga apapun yang digarapakan merupakan bentuk kekuatan intelektual yang murni. Penjelasan metodolohi [enahsiran tersebut adalah sebagai berikut : Pertama: Metode Tafsir al Tauhid; adalah sebuah metode yang didasarkan pada al Qur’an, sunnah Nabi saw, hadist shohih, ijma, teks al Qur’an dengan a; Qur’an, al Qur’an dengan hadist, sehingga memiliki fungsi yang jelas untuk memperkuat argumentasi tentang Tuhan (Allah) beserta kitabnya agar semya pemahaman tentang Tuhan tidak meragukan bagi manusia dan selalu mengedepankan ketauhidannya terhadap Tuhan. Kedua; Metode Tafsir Al Iqra adalah di dasarkan pada pembacaan dan pelafalan al Qur’an yang di sertai dengan pemahaman terhadap al Qur’an oleh karena seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir dengan konstruksi ilmu keislaman maupun keilmiahan ilmu al Qur’an dalam penjelasan dan inpretasi ilmu pengetahuan. Maka tafsir ini memiliki peranan ijtihad dibandingkan dengan metode tafsir al-Tauhid. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.
Ketiga; Metode tafsir al Majelis adalah metode yang berdasarkan kolektivitas dan kolegialitas untuk melakukan penafsiran yang terdiri dari orang-orang yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, ilmu keislaman, bahasa Arab, sehingga memudahkan maksud dan tujuan al Qur’an serta peranannya dalam kehidupan manusia. Metode tafsir ini bersumber pada kekuatan akal pikiran dan ilmu pengetahuan dan teknologi, iman dan Islam, al Qur’an, al Hadist, ijma, tafsir-tafsir, al hukmi al syar’i, merdia komonikasi, ragulasi tafsir al Qur’an (ragulasi majelis). Kekuatan lain dari metode ini adalah setiap sesuatu harus di bicarakan secara kolektif (ash shaaf), jamaah (shaffan), tanpa hal ini dilakukan maka tidak ada pengakuan keautentikannya dan keilmiahannya. Metode ini juga menafsirkan al-Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh al-Qur’an. Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan al-Qur’an serta menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya. Tujuan utama menafsirkan Al-Qur’an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan al-Qur’an dan kehidupan manusia. Keempat; Metode Tafsir Harakah Fil Islam: Metode ini merupakan bentuk penafsiran yang dikembangkan melalui gerakan atau harakah sebagai praksismenya, akan tetapi metode tafsir ini senantiasa tidak memiliki batasan, ruang dan waktu oleh karena bersifat analitik dan produktif. Metode ini melakukan penafsiran pada tiap kalimat, ayat demi ayat dan surat demi surat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami oleh seluruh manusia. Metode harakah fil Islam ini merupakan paradigma interpretasi dan penjelasan al Qur’an yang didasarkan pada perkembangan aspek kehidupan dunia, sehingga manusia dapat memberikan pengertian yang lebih mudah.
Corak Tafsir Al-Qur’an dalam teori syafrilisme setelah melakukan pembacaan dan penafsiran al-Qur’an. Maka oleh karena itu corak penafsiran dalam teori syafrilisme adalah : Pertama; Corak Bahasa Bacaan atau Iqranisasi; corak ini melakukan penjelasan terhadap makna al Qur’an ayat demi ayat sehingga menemukan maknanya. Kedua; Corak Keilmuan Islam; corak ini adalah sumber pengetahuan ketika melakukan penerjemahan al Qur’an. Tentu modelnya ini adalah mengkonstruksikan seluruh potensi kefilsafatan ilmu keislaman dengan membentangkan al Qur’an bahwa sangat sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan apapun. Ketiga; Corak Tafsiran Analitik Ilmiah; kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka harus ada usaha penafsiran al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Keempat; Corak al ilmiyi al Syar’i al Majelis; perkembangan ilmu syar’i atau fikih dan terbentuknya mahzab-mahzab fikih yang selal mengklaim dirinya paling benar, maka oleh karena itu metode ingin membuktikan kebenaran ilmiahnya semua hasil karya manusia yang melebihi kebenaran al Qur’an, dengan cara duduk bersama dalam satu majelis untuk melalkukan pengujiannya. Kelima; Corak Makkiyah dan Madaniyyah; corak ini menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, baik secara historis, kontemporer maupun masa modern ini dengan berusaha mengembalikan piagam Muhammad—iyah (masyarakat Muhammad yang menginginkan sebuah kedamaian) atau masuarakat Islam yang sebenar-benarnya. Keenam; Corak al Hawariyah; corak ini bertujuan memberikan pemahaman pada seluruh manusia tentang peranan kaum perempuan dalam kehidupannya terutama menjadi pemimpin dalam kehiduapan dunia ini. Dalam arti kesetaraan ini mulai banyak dikaji di kalangan akademisi, baik dalam tinjauan bersifat umum maupun dalam pemikiran Islam, terutama tentang penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah perempuan. Kajian tentang masalah perempuan ini muncul lebih disebabkan oleh rasa keprihatinan terhadap realitas posisi perempuan dalam berbagai lini kehidupan. Posisi perempuan selalu dikaitkan dengan lingkungan domestik yang berhubungan dengan urusan keluarga dan rumah tangga, sementara posisi laki-laki sering dikaitkan dengan lingkungan publik, yang berhubungan dengan urusan-urusan di luar rumah. Dalam struktur sosial seperti ini, posisi perempuan yang demikian itu sulit mengimbangi posisi laki-laki. Perempuan yang ingin berkiprah di lingkungan publik masih sulit melepaskan diri dari tanggung jawab di lingkungan domestik. Beban ganda seperti ini dikarenakan tugasnya merupakan persepsi budaya secara umum. Begitu pula budaya di beberapa kalangan, hubungan-hubungan tertentu laki-laki dan perempuan dikonstruksi oleh mitos. Mulai mitos tulang rusuk asal-usul kejadian perempuan sampai mitos-mitos tidak bleh menjadi pemimpin. Mitos-mitos tersebut cenderung mengesankan perempuan sebagai the second creation dan the second sex. Pengaruh mitos-mitos tersebut mengendap di alam bawah sadar perempuan sekian lama sehingga perempuan menerima kenyataan dirinya sebagai subordinasi laki-laki dan tidak layak sejajar dengannya. Ironisnya, bahwa posisi perempuan di dalam masyarakat kurang disadari oleh kaum perempuan sendiri. Keenam; Corak Eksperimentatif: Corak penafsiran lebih diarahkan pada penelitian dan pengumpulan data baik itu mazhab, kitab, tafsir-tafsir, hadist, fiqih mapun regulsi hkum Islam dalam penerapannya. Oeh karena untuk mengetahui kedalaman atau kedangkalan pengetahuan didalamanya, sehingga segala sesuatu bisa dikatakan dan di bedakan mana yang shohih, mau’du, dan dhaif.
Mekanisme Penafsiran Syafrilisme
Proses penafsiran dengan menggunakan metode ijmali sebenarnya tidak jauh beda dengan metode-metode yang lain, terutama dengan metode tahlili( analitis). Mekanisme penafsiran dengan metode ijmali dilakukan dengan cara menguraikan ayat demi ayat ayat serta surat demi surat yang ada dalam al-Qur’an secara sistematis. Semua ayat ditafsirkan secara berurutan dari awal sampai akhir secara ringkas dan padat dan bersifat umum. Uraian yang dilakukan dalam metode ini mencakup beberapa aspek uraian terkait dengan ayat-ayat yang ditafsirkan, antara lain :
a. Mengartikan setiap kosakata yang ditafsirkan dengan kosakata yang lain yang tidak jauh menyimpang dari kosa kata yang ditafsirkan. b. Menjelaskan konotasi setiap kalimat yang ditafsirkan sehingga menjadi jelas. c. Menyebutkan latar belakang turunnya (azbabun nuzul) ayat yang ditafsirkan, walaupun tidak semua ayat disertai dengan azbabun nuzul. Azbabun nuzul ini dijadikan sebagai pelengkap yang memotivasi turunnya ayat yang ditafsirkan. Azbabun nuzul menjadi sangat urgen, karena dalam azbabun nuzul mencakup beberap hal : (a) peristiwa, (b) pelaku, dan (c) waktu. d. Memberikan penjelasan dengan pendapat-pendapat yang telah dikeluarkan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, tabi’in maupun tokoh tafsir.
Mekanisme penafsiran tidak terlepas pada metodologi dan corak penafsiran, sebagaimana telah di jelaskan diatas. Pendekatan metode ini di gunakan dalam tafsir penjelasan dan interpretasi teori syafrilisme yang terdapat dalam al Qur’an surat Ash Shaaf ayat 1 – 14. Karena al Qur’an surat Ash Shaaf tersebut memiliki beberapa makna yang mencakup tentang keseluruhan fungsi dan peran hidup manusia sebagai mahluk penciptaan Tuhan. Ruang lingkup makna tersebut adalah ketauhidan kepada Tuhan, di jelaskan dalam surat Ash Shaaf : 1, 2, dan 3, Iqranisasi (pemaknaan ulang tentang konstruksi pemahaman jihad dalam Islam), di jelaskan dalam al Qur’an surat Ash Shaaf : 4 dan 11, Selain itu juga, dalam surat Ash Shaaf menjelaskan bahwa melalui proses majelis untuk duduk bersama dengan tujuan membicarakan kebenaran tanpa ada trut claim sehingga tidak terkesan eksklusif dan radikal. Artinya wajah Islam kita tunjukkan kepada seluruh kehidupan manusia bahwa Islam sebagai solusi yang membahagiakan manusia, inilah yang disebut ma’ruf produktif tanpa melakukan jihad dengan merusak wajah dialogisnya Islam. Akan tetapi adakalanya melakukan sebuah perlawanan ketika umat Islam di perangi dalam motif yang berbeda terlepas dari kondisi ekonomi, sosial dan politik. Artinya benar-benar di perangi karena ingin menghancurkan slam. Kalau seperti ini memang sulit untuk membedakan amana yang di katakan benar persoalan agama dan mana yang dikatakan persoalan muamalah, oleh karena keduanya ini sangat berkorelasi dan berkaitan dalam aktivitas manusia. Maka untuk memberikan jalan tengah terhadap problem seperti itu, ada beberapa hal yang ingin saya ungkapkan sebagai bentuk jalan tengahnya yaitu sebagai brikut : 1. memperkuat kapasitas ketauhidan umat Islam yang berbasis pada ritualisme sakralnya dan muamalahnya, 2. Iqranisasi dan ilmuisasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dalam dimensi dan segala aspek kehidupan manusia. 3. Umat Islam harus siap berdialog antar agama untuk menciptakan sebuah masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, 4. memperkuat gerakan dakwah kebudayaan untuk melihat sejauh mana nilai-nilai budaya yang di tanam kedalam urat nadi manusia, apakah itu bersifat mitologi (syirik) yang melanggar nilai-nilai ketauhidan dalam Islam atau kebudayaan yang bertuhan. 5. berjihad dengan memberikan sebagian harta dan mengorbankan jiwa raga demi Islam, tentu hal ini dilakukan untuk membangun masyarakat makkiyah dan madaniyyah sebagai cerminan komonitas Islam yang sebenarnya. 6. gemar melakukan dakwah amar ma’ruf dan nahi mungkar. 7. memberikan kesadaran tentang syafrilisme (shaffan) dengan melakukan indoktrinasi secara rasional, ilmiah, analitik, eksperimentatif tentang sebuah barisan yang satu yakni Islam (agama damai), 8. membangun kekuatan Islam dengan tahap transformasi kesadaran-kesadaran melalui metodologi syafrilisme. Proses majelis dan beberapa item yang saya sebutkan diatas ini, sebagaimana di jelaskan dalam al Qur’an surat Ash Shaaf : 4 dan 11. Kalau menarik benang merahnya maka dalam surat As Shaaf : 4 dan 11 menyebutkan bahwa Tuhan telah menjanjikan kebahagiaan dan surga ad’nin bagi seluruh manusia yang beriman dan menjalankan perintah Tuhan. Kemudian selanjutnya, dalam al Qur’an surat Ash Shaaf : 5, 6, 7, 8, 9 dan 10, berbicara tentang kerasulan atau kenabian yang berkaitan erat dengan pembentukan masyarakat makkiyah dan madaniyyah yang sebelumnya kita mengetahui kondisi dan situasi masyarakat, ketika Islam mencoba meluruskan semua agama baik pada masa jahiliyah maupun sampi sekarang ini. Sehingga dengan diutusnya misi kenabian yang dibingkai dengan Islam itu, maka tidak ada agama yang benar selain dari pada Islam. Namun realitas yang terjadi sudah merupakan kodrat dan sunnatullah untuk berbeda, maka dengan perbedaan itulah kita mulai mencari titik kebenaran dan memverfikasi dari semua agama—mana yang paling damai dan benar. Sebagaimana kita mengetahui secara bersama-sama bahwa misi dan visi al Qur’an, Islam dan kenabian bukanlah pada penciptaan perbedaan, akan tetapi justru al Qur’an, Islam, Nabi/Rasul, manusia dan mahluk ciptaan lainnya menginginkan sebuah kedamaian, keharmonisan, kebersamaan, keteladanan, pendidikan, pembebasan dari keinginan itulah akan tercipta sebuah masyarakat Islam dan manusia yang Islam seutuhnya.
Begitu juga dalam al Qur’an surat Ash Shaaf : 12, 13 dan 14 yang menjelaskan tentang konsepsi sebuah keinsyafan manusia, dari manusia yang sebelumnya tidak menjalankan perintah Tuhannya kemudian berusaha mempercayai, bertauhid, mengimani kitab Tuhan, maka segala dimensi pertaubatan manusia pun akan di terimah ampunan-Nya. Begitu juga orang-orang di luar Islam agar dapat menerima kebenaran Islam dan mengakui apa yang menjadi kelemahan umat non Islam. Bahasa ini bukanlah pemaksaan kepada umat non Islam untuk senantiasa menerima Islam, akan tetapi haruslah diketahui bersama bahwa Tuhan telah menentukan timbangan bagi seluruh mahluk ciptaannya, apalagi manusia. Sebenarnya Tuhan telah menjanjikan kemenangan bagi Islam, jadi logikanya ketika apapun bentuk pengkafiran atau kristenisasi melalui bahasa, kurikulum pendidikan maupun kekuasaan politik, ekonomi dan sosial kebudayaan, sesungguhnya umat Islam tetap dalam keadaan hidup damai dan selalu obyektif, tanpa ada sebuah permusuhan serta Tuhan pun telah berjanji kepada umat Islam untuk senantiasa menjaga Islam walaupun orang-orang fasik, munafik dan kafir berusaha menghancurkan Islam. Memang Tuhan itu sangat demokratis, pluralitas, substansial, transformasional ketika memutuskan untuk menciptakan manusia dengan banyak keragaman bentuk dan tabiatnya.
Dari beberapa segmen makna diatas, tentu saya ingin, dalam gagasan teori syafrilisme ini memiliki pemahaman yang menukik dan luas untuk merekonstruksi semua apa yang menjadi pemikiran maupun paham yang berkembang di tengah umat Islam maupun misi orang – orang di luar Islam ketika ingin di benturkan dengan budaya dan ilmu pengetahuan. Maka oleh karena itu, dalam tafsir penjelasan dan interpretasi Al Qur’an surat Ash Shaaf ; 1 – 14 sebagai landasan teori syafrilisme yang akan menjadi pondasi mendasar untuk memahami realitas keberagaman umat manusia dalam beragama dan berkeyakinan. Penulis kira hal ini sangat memerlukan metodologi atau metode dan corak penafsiran yang sesuai dengan maksud teori syafrilisme yang saya gagas ini. Tentu metode itu tidak terlepas dari pandangan kritis saya tentang berbagai persoalan yang terjadi baik dalam komonitas kecil, organisasi mahasiswa seperti IMM, NA, PM, IPM dll, organisasi masyarakat, orsospol, lembaga sosial masyarakat, organisasi keagmaan seperti Muhammadiyah, NU, salafiyah, dan lain sebagainya, selalu saja terjadi konflik, yang kemudian itu jarang bisa di selesaikan sehingga berakibat pada penzoliman manusia lainnya. Selain itu juga, bukan hanya pandangan itu saja, akan tetapi bagaimana seharusnya manusia itu meraih sebuah perdamaian dunia akherat serta di ridhoi oleh Tuhan.
Proses penafsiran ini tidak terlepas pada konteks kehidupan yang berkembang dan ilmu pengetahuan tersebut. Selain itu juga, tidak terlepas dari berbagai persoalan klasik Ilmu pengetahuan beserta konsepnya, artinya reformasi pemahaman untuk memaknai al Qur’an dalam konteks surat Ash Shaaf harus bersifat terbuka dan dapat dijadikan sebuah reflektif sebagai bentuk pemaknaan serta aplikasikan. Tafsir surat Ash Shaaf untuk penjelasan dan interpretasi, dapatlah dinyatakan dalam berbegai konsep sebagai dan alur reformasi pemahaman kita bersma. Maka oleh karena itu, berdasarkan kesadaran syafrilisme yakni kesadaran tauhid, kesadaran Iqra, kesadaran majelis dan kesadaran harakah fil Islam. Dalam keempat kesadaran ini ada pembagian sesuai dengan konsep serta realitas yang terjadi, adalah sebagai berikut : pertama; kesadaran Tauhid; kesadaran ini merupakan dasar berfikir manusia yang dimulai dari sebuah pencarian akan nilai ketuhanan dengan memberikan penjelasan tentang az babun nuzul-nya lewat media komonikasi yang bersifat kerohanian seperti ibadah, takwa, sholat, puasa wajib dan sunnah, dan ritualisme lainnya. Proses ini merupakan seuah manifestasi keimanan ketika manusia mencari tentang sebuah kekuatan kecerdasan, kekuatan kecerdasan bukanlah terletak pada apa yang kita namakan materialisme yang mendorong kebahagiaan akan tetapi kecerdasan, kedamaian dan keselamatan harus diraih dengan metode penjelasan dan interfretasi kepada Tuhan dengan melaksanakan tugas dan kewajiban kepada Tuhan artinya melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangannya. Metodologi ilmu pengetahuan dalam teori syadrilisme berdasarkan kesadaran tauhid adalah sebagai alur berfikir ilmu pengetahuan dengan model aslama, al iman, al ihsan dan khalifah (al imam).
Kedua; Kesadaran Iqra; Kesadaran ini meruapakan sebuah interfretasi untuk aksi dalam komponen keilmuan Islam sebagai proses penjelasan. epistemologis dan metodologi ini merupakan urutan dari kesadaran tauhid, yang dapat dibagi dalam beberapa bagian; (1). Ilm al nasakh menjelaskan bagaimana data-data baru memperbaharui teori-teori lama tanpa menghilangkan khasanah pemikiran dan intrelektualnya dengan proses mereformasi pengetahunnya secara mendasar tanpa melupakan akibat yang telah terjadi dari ilmu pengetahuan klasik. (2). Ilm al rijaal dapat menguatkan keyakinan pada para peneliti untuk senantiasa mengambil inspirasi dari bahasa al Qur’an. (3). Ilm naqd al hadith menanamkan perilaku membaca (Iqra) kritis literatur sains dengan cerdas dan cermat tanpa melupakan doktrin al Qur’an. (4). Qiyaas Setelah melakukan pembacaan secara kritis, maka peneliti harus memberikan sebuah jawaban sebagai Qiyaas atau aturan secara sostematis untuk memberikan analogi yang mendasar. (5). Istihbaab, dengan menentukan qiyaas secara sistematis maka konsep selanjutnya adalah aplikasi yang berkelanjutan dari sebuah hipotesis atau hukum ilmu pengetahuan sampai menemukan bukti atau fakta diantara peristiwa yang terjadi baik berdasarkan pengalaman historis maupun empiris. (6). Istihsan dapat dibandingkan dengan intuisi ilmiah dengan metode dari induktif—deduktif menuju abduktif, proses perkembangan ilmu pengetahuan (histori of science) pola pemikiran induktif dan deduktif yang tidak memadai lagi untuk dapat menjelaskan secara cermat tata kerja di perolehnya ilmu pengetahuan yang sesungguhnya, Perkembangan ilmu pengetahuan dan keislaman memperoleh ruang dan waktu di abad ke 20 yang banyak memunculkan hal0hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan yang baru dengan konstruksi keislmuan Islam juga yakni pola pemikiran keilmuan yang abduktif. Menurut M. Amin Abdullah mengatakan bahwa pola pikir yang mengedepankan abduktif bersifat the logic of discovery bukannya the logic of justification, jadi logika abduktif lebih menekankan pada proses pemunculan hipotesis, interpretasi, proses pengujian dilapangan terhadap rumus-rumus, konsep-konsep, dalil-dalil, gagasan, yang dihasilkan dari kombinasi pola pikir induktif dan deduktif. Istislah adalah penggunaan kepentingan umum untuk membuat keputusan atas banyak pilihan, contohnya teknologi pengobatan. Ketiga; Kesadaran Majelis, kesadaran ini merupakan ruang dan waktu untuk melakukan pengujian secara kolektif untuk memastikan sebuah rumusan, proses penelitian dan hasil pengamatan dalam proses tersebut. dalam alur kesadaran majelis harus ada pengujian secara kritis terhadap apa saja yang disebut bangunan ilmu pengetahuan termasuk didalamnya rumusan ilmu kalam dan manusia atau rumusan tentang sebuah validitas dan kebenarannya melalui pengalaman yang terus berkembang dalam prakksisnya. Kesadaran teori syafrilisme bagian dari kesadaran majelis ini adalah sebuah proses pengujian dan pengamayan yang kritis tanpa ada pembohongan atau penampakan dalam proses penelitian, pengujian tersebut dengan berbagai corak dalam kesadaran majelis adalah (1). Ijma adalah kesepakatan yang ditetapkan oleh para ilmuwan untuk menjadi dasar berfikir tanpa terikat oleh identitas dan golongan secara historis dan empiris. (2). maqaid as syari’ah adalah alat konsep atau regulasi untuk menyeimbangkannya hasil pengamatan dengan praksisnya, karena pola seperti ini sangat perlu untuk menetapkan sebuah regulasi berdasarkan kondisi yang terjadi, regulasi tersebut dapat bersifat pemaksaan ketika terjadi ketidakadilan dan regulasi juga bisa bersifat adil tanpa diskriminasi yang dibangun atas pondasi kesadaran Islam (damai). (3). Qawaid as syari’ah adalah membentuk aksiomatik yang dibangun atas kesadaran dengan tetap menyederhanakan operasi logika kompleks dengan merekonstruksi aksiomatik tersebut tanpa melewati derivasi detailnya, sehingga proses yang ditempuh tidak mengalami ganguan.
Keempat; Kesadaran Harakah Fil Islam, kesdaran ini merpakan pemaknaan dalam dimensi ontologis yang diungkapkan dalam makna yang mendalam, mendasar, transendental dan spiritualitas. Nilai inilah yang coba di terapkan dalam kesadaran harakah fil Islam, yang dimaknai dalam berbagai tradisi-tradisi keilmuan dan keagamaan. Pemahaman dan kesadaran ini sebagai ontologis yang otentik dapat menjebatani berbagai bentuk formal—lahiriyah dari berbagai agama dengan proses dialogisasi, tentu dengan makna fundamental dari uraian al Qur’an sebagai cerminan dalam proses dialog. Kesadaran ini pula harus memiliki tampak visi liberatif—transpormatif dan profetis, sehingga dapat membuka horison-horison baru dan tidak bersifat menutup diri. Tujuan membuka diri bagi para agawan dengan metode dialogisasi adalah memperkuat relevansi keimanan dengan nilai-nilai spiritualitas transendentalnya, maka pengikut agama-agama tidak perlu terpancing dengan analsisi yang dilakukan oleh Samuel P. Huntingtong dalam bukunya The Class Of Civilizations. Interpretasi kesadaran ini memiliki beberapa dimensi epistemologis keislaman adalah sebagai berikut; (1). Dimensi epistemologis Ketuhanan (hablum minallah); (2). Dimensi epistemologis Kemanusiaan (hablum minan naas).
Paradigma kesadaran diatas itulah yang menjadi orientasi penafsiran untuk memberikan penjelasan dan interpretasi terhadap pondasi dasar teori syafrilisme dengan metode tafsir shaffan (barisan satu). Metode tafsir syafrilisme berbeda jauh dengan metode tematik lainnya. Mungkin metode tafsir al Qur’an berdasarkan teori syafrlisme tersebut relatif masih belia, oleh karena masih banyak orang yang akan melakukan kritikan dan penolakan terhadap teori ini dan juga teori syafrilisme tidak memakai metode penafsiran yang sebagaimana sering di pakai, misalnya metode ijmali, tematik, dan lain sebagainya. Akan tetapi penafsiran akan sebuah penjelasan dalam surat Ash Shaaf ini sangat memiliki identitas dan ciri khasnya dari metode tafsir syafrilisme, antara lain. Petama, langsung menafsirkan setiap ayat dari awal sampai akhir, dan harus mencari masukan sebagai bentuk argumentatif yang akan di perkuat oleh ayat yang lain dan disertai dengan orientasi penjelasannya. Kedua, penafsirannya sangat bersifat deduktif–induktif yang sangat ringkas dan produktif sesuai dengan pemikiran, metode ini untuk memperkuat wawasan penafsiran yang menjelaskan berdasarkan ayat per ayat dengan peunjukkan pada satu surat. Oleh karena itu, tafsir yang coba di konstruksikan dalam surat Ash Shaaf ini adalah Tafsir Shaffan (barisan satu) yang kemudian akan di uraikan seperti apa yang dijelaskan dan dimaknai oleh berbagai bentuk kesadaran syafrilisme. Tafsir shaffan ini harus dilakukan secara rinci, sehingga membaca tafsir dengan metode ini mengesankan pembacaan terhadap al-Qur’an sebagai basis manivestasi dalam kehidupan manusia. Ketiga, dalam tafsir-tafsir shaffan semua ayat ditafsirkan dengan penjelasan yang komprehensif dan kritis produktif, dan kalau terdapat beberapa ayat tertentu (sangat terbatas), maka ditafsirkan secara luas juga, dan akan mengarah pada penafsiran yang bersifat analitis ilmiah (produktif) dan kritis. Artinya, ada beberapa ayat yang ditafsirkan agak panjang, hanya sebagai penjelasan dan interpretasi yang analitis, ilmiah, kritis dan komparatif dengan ayat yang lainnya. Tafsir Shaffan juga akan melakukan kritik metodologis sebagai sebuah metode penafsiran, Metode shaffan merupakan bagian dari proses mencari makna di balik ayat-ayat al-Qur’an surat Ash Shaaf, tentu saja sah-sah saja diterapkan seperti metode-metode yang lain. Dalam upaya menafsirkan al-Qur’an, metode apapun bisa diterapkan selama dimaksudkan dalam rangka memahami al-Qur’an yang notabene memiliki makna dan pesan yang sangat universal. Dengan pesan yang universal tersebut, telah banyak melahirkan metode dan corak penafsiran. Inilah yang menjadi kekhasan al-Qur’an yang tidak dimiliki oleh teks-teks yang lain. Wacana al-Qur’an, merupakan firman yang luas maknanya dan beragam sisi signifikansinya. Ia merupakan firman yang tidak mungkin dibatasi makna dan signifikansinya.
Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, beragamnya tafsir dan interpretasi terhadap al-Qur’an, karena teks menjadi sentral suatu peradaban atau kebudayaan, dan keragaman ini terjadi menurut Nasr Hamid, karena beberapa faktor. Pertama, dianggap sebagai faktor penting, adalah sifat dan watak ilmu yang disentuh oleh teks. Artinya, disiplin tertentu sangat menentukan terhadap tujuan interpretasi dan pendekatannya. Kedua, horizon epistimologi yang dipergunakan oleh seorang ilmuwan dalam menangani teks. Dengan horizon tersebut, ia mengusahakan bagaimana teks bisa mengungkapkan dirinya. Setiap metode tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam menguak makna al-Qur’an ada yang tidak bisa secara utuh menyentuh makna dan pesan dasar yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an. Maka, dengan demikian metode shaffan, terletak pada proses dan bentuknya yang mudah dibaca, dan bersifat deduktif—induktif, Teks dijadikan sebagai obyek pembacaan apa adanya, tanpa mencoba membongkar makna-makna yang tersimpan di balik teks. Teks hanya dipandang pada sisi dzohir, bukan pada sisi terdalam sebuah teks. Cara pandang tekstualis dalam memahami al-Qur’an ini, pada akhirnya melahirkan kesimpulan yang tidak dalam, sehingga masih menyimpan pertanyaan-pertanyaan tentang pesan-pesan yang sebenarnya akan disampaikan oleh teks. Artinya, pendekatan tekstualis dalam memahami teks, cenderung menciptakan satu kondisi dimana realitas makna yang tersimpan atau pesan moral di balim teks, telah dimanifulasikan” untuk mengikuti apa yang tampak pada teks secara dhohir. Ada asumsi yang menyebutkan bahwa tafsir yang mengedepankan corak “bertolak dari teks, berakhir pada teks dan atas petunjuk teks” dan belum mempertimbangkan realitas sebagai penghantar pada pencapaian makna. Walaupun memang dalam metode ini, azbabun nuzul juga menjadi sesuatu yang tidak dinafikan, tetapi azababun nuzul disebutkan “terkesan hanya sekedar” dijadikan sebagai pelengkap, karena tidak analisa filosofis terhadap azbabun nuzul tersebut, padahal azababun nuzul merupakan landasan pijak bagi sebuah ayat. Menurut Fazlurrahman, dalam memahami teks-teks al-Qur’an harus dilihat dalam konteks sosio-historisnya (azababun nuzul) secara tepat. Dalam tafsir dengan metode shaffan dimana uraian dan pembahasan tafsir hanya dilakukan dengan cara pengkajian secara kritis, komparatif, analitik ilmiah, sehingga membuka ruang yang lebar untuk memasukkan ide-ide dan gagasan pihak lain ketika duduk bersama dalam satu majelis, dan melahirkan paradigma penafsiran yang analitik ilmiah, kritis dan produktif. Walaupun memang, dalam setiap penafsiran memiliki hal subyektif dalam memahami al-Qur’an, tetapi dalam metode shaffan mengambil jalan tengah tanpa ada paradigma yang disalahkan.
Tafsir Penjelasan Dan Interpretasi Ash Shaaf Dengan Metodologi Shaffan
Surat Ash Shaaf : 1-3 Tentang Ketauhian, Ad Dinul Islam, Asmaul Husna Dan Wujud Kejujuran Tuhan
Islam dihadapkan pada kenyataan yang selama ini pahit kita rasakan bahwa Islam yang besar ini telah dipecah-pecah oleh paham kia sendiri yang tak pernah satu pandangan dalam melihat segala bentuk kejadian. memang Islam penuh warna warni yang terbalut dalam rangkaian etika dan moralitas kultural yang kuat. Perbedaan tersebut merupakan sebuah konsekwensi yang tak bisa kita mengelak, entah mereka sedang menjabat dan menguasai suatu negeri kecil-kecil dengan sistem yang sekuler, pluralisme, liberal, moderat, rezim teroris, radikal dan lain sebagainya. Namun, sungguh menakjubkan keteguhan hati dan iman umat Islam karena masih banyak yang berpegang teguh pada Islam yang murni yakni Islamnya kenabian.
Definisi tentang Islam tak lepas dari subyektifitas berfikir manusia, ratusan bahkan ribuan ayat yang menjelaskan tentang sebuah pandangan hidup (teologis) dan ideologi dalam Islam dengan tetap melahirkan sebuah konsep yang memiliki keajaiban dan tak kunjung selesai kalau di kaji lebih mendalam. Islam tidak hanya dipahami sebagai doktrin institusional—islamisasi, tetapi Islam termaknai dengan sangat kuat dalam dimensi ketauhidan serta lebih besar pengaruhnya dalam konteks Ilmiah ilmu pengetahuan, serta kaya dengan gagasan dan ide. Islam sebagai Ideologi adalah sebuah keyakinan, kepercayaan, belief system hidup manusia sehingga Islam dikatakan sufrastruktur kehidupan manusia yang memiliki basis keyakinan dalam pergulatan kepentingan dan pembebasannya baik secara kelompok masyarakat maupun secara individu. Tentu hal yang demikian itu, merupakan sebuah konsekwensi yang harus di terimah ketika Tuhan pencipta membebani tanggungjawab untuk selalu berkeyaknan satu dan beribadah kepda Tuhan yang satu pula. Sebagaimana Tuhan menyebutkan bahwa: Bertasbihlah kepada Allah apa saja yang ada di langit dan di bumi; dan Dialah yang Maha Perkasa Lagi Maha Penyanyang. (QS. Ash Shaaf : 1). Ayat ini menunjukkan bahwa apapun dari penciptaanya, harus beribadah dan beriman kepadanya, ketika manusia menginginkan sebuah hari kemenangan dan kebahagiaan sehabis pergulatan kehidupan dunia nantinya, maka akan dibangkitkan untuk diseleksi dan di adili sesuai dengan kadar perbuatannya. Maka oleh karena itu, keharusan umat Islam mempertahankan Islam dalam barisan yang satu dan teratur.
Apapun pandangan tentang agama, itu adalah bagian yang tak terpisahkan dari rahmat Tuhan, toh kelak mereka juga akan diadili, seperti bahasa karl Marx yang memandang bahwa agama merupakan opium yang membius kesadaran manusia dan seringkali menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan. Pernyataan ini sangat terbantahkan oleh karena, justru agama menjadi sebuah solusi kemiskinan, kesenjangan sosial maupun penghapusan kelas sosial dan agama tidak mengajarkan tentang kehausan dengan kekuasaan di dalam tatanan masyarakat sosial Islam itu sendiri, mungkin karl marx mengatakan hal seperti itu karena karl marx tidak mau mengetahui kedalaman keyakinan dan ketenangan hidup dalam beragama. Penciptaan manusia dan penguasaan di bumi merupakan sebuah keajaiban yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya, bahwa ternyata Tuhan itu memiliki ilmu-ilmu yang diberikan kepada Adam, manusia, Nabi, Rasul, dan malaikat maupun segala bentuk penciptaannya dan memerintahkan untuk senantiasa bertauhid kepada—Nya. Sebagaimana Tuhan mengatakan bahwa; Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya kemudan mengemukakkannya kepada para malaikat lalu berfirman: ”sebutkanlah kepada Ku nama-nama benda itu jika kamu orang-orang yang benar. (QS. Al Baqarah [2] : 31). Maksud dari ayat ini adalah tantangan bagi mereka yang meragukan tentang Tuhan dan kebenaran al Qur’an yang walalu bagaimana pun ditiru dengan mngerahkan semua ahli sastera dan bahasa karena memang al Qur’an mukjizat Nabi Muhammad saw yang tak pernah akan berubah. Kata Asma (Nama Tuhan) Menggantikan bahasa Agama karena kata agama berasal dari kata a yang berarti tidak dan gama berarti salah, bahasa ini dalam kajian teori syafrilisme bertentangan dengan keyakinan, sipat dasar manusia, keinginan manusia sehingga manusia hanya terjadi pergolakan kepentingan dan pertumpahan darah baik dalam persfektif intelektual, pemikiran, elonomi, politik, budaya dan sosial group. Sementara bagi Sigmund Freud, dengan polarisasi ide, gagasan, ego dan superego, dalam timbangan libido seksuality tinggi mengatakan bahwa agama hanyalah pengaruh yang refresif dan mengecewakan dari kebudayaan. Sedangkan bagi nietzche bahwa dengan bahan “will to power” mengajarkan bahwa agama merupakan budak-budak. Dari kedua gagasan Sigmund Freud dan Nietzche tersebut, itu adalah sebuah bahasa reflektif bagi jiwa Sigmund Freud dan Nietzche yang mengalami kekosongan spiritualitas dan ketercerahan pada masa hidup mereka, sehingga menganggap agama adalah sesuatu yang tidak layak di pakai dan dijalankan, oleh karena mereka sangat bermalas-malasan untuk mengerjakan dan mencari sebuah entitas keagamaan yang sesungguhnya mereka perlukan saat itu untuk mengisi kekosongan jiwa mereka. Tuhan juga menjelaskan yang mengatakan bahwa; Katakanlah serulah Allah. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Asma’ul Husna (nama-nama terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam sholatmu dan jangan merendahkannya, dan carilahlah jalan tengah diantara keduanya itu. (Al Qur’an surat Al Isra [17] : 110),
Bagi penulis ad din bukanlah penyakit atau kekurangan manusia yang belum dewasa dan belum berani melakukan penawaran ide dan gagasan untuk membawa manusia kepada yang lebih baik. Sesuai apa yang disampaikan oleh August Comte bahwa ad din juga tidak bisa dijelaskan melalui pre-historis dan evolusionistis dengan mengunakan metode lapisan kebudayaan (the cultur methode), yaitu metode yang mengunakan lingkungan kebudayaan sebagai sudut pandang horizon alam pikiran yang berkeadaban. Ad din juga bukan seperti yang diajukan oleh mazhab psychologys-evolusionistis yang menganggap tumbuh dan berkembang dari perasaan takut dan rasa keinginan untuk menghindari kekuatan-kekuatan yang tidak disenangi sebagai pengaruh dari sipat kejiwaan sebagaimana disebutkan oleh Edwar Burnett Taylor dalam bukunya primitif cultur, Marx Muller dalam bukunya juga tentang The Growth Of Religius, kemudian Mc Lenan dalam studies An Ancient Histori. Analisis sosiologi, ekonomi, politik dan kebudayaan, sangat membantu untuk menjelaskan sikap keberagaman seseorang dalam komonitas. Namun tidaklah memadai menjelaskan Ad Din itu sendiri. Dengan demikian, sikap dan genealogi paham keberagaman bisa di jelaskan melalui pendekatan sosiologis, antropologis, psikologis maupun arkeologis pengetahuan ala foucoult. Akan tetapi ad din yang tauhid bersipat hakiki ketika dijelaskan dengan mengunakan terminologi Al Qur’an itu sendiri. Islam sebagai ad din, berasal dari kata din, sebenarnya akar kata din mulai dari Al khaliq sebagai realitas tunggal dijagad raya ini, sehingga konsekwensi sosio—moral—yuridisnya atas umat manusia sebagai mahluk zoon politicon. Klaim dan cakupan pertama kata din adalah kewenangan dan kekuasaan Tuhan yang meliputi penciptaan, penyempurnaan bentuk dan penentuan ukuran tingkatannya, maka oleh karena itu, Tuhan tetap bersikukuh untuk meminta pertangungjawaban akan keimanan manusia itu sendiri. seperti di jelaskan bahwa: Dialah Allah, Tiada Tuhan yang berhakl di sembah melainkan Dia. Dia mempunyai asma’ul husna yang banyak dan baik. (Al Qur’an surat Tha Haa [20] : 8). Kecendrungan-kecendrungan hereditas seluruh unsur dan penomena semesta serta memberikan petunjuk kepada seluruh kecenderungan alamiah dan karakter mahluknya. Sesuai apa yang dikatakan Tuhan adalah: (1) Sucikanlah nama Tuhanmu yang maha tinggi, (2) Yang menciptakan dan menyempurnakan pencitaan-Nya, (3) Dan yang menentukan kadar masing-masing yang memberi petunjuk. (Al Qur’an Surat Al A’la: 2-3).
Implikasi fisik dan spiritualitas dalam klaim ini, Pertama kalim kebenaran yang mistis dan tidak ilmiah, kedua kata Ad-Din, yakni ketundukan, kepatuhan, kepasrahan, baik secara terpaksa maupun sukarela dari para mahluknya terhadap hukum-hukum dan ketentuan alam yang sesungguhnya eksis di dalam semesta ini. Sementara untuk kesesuaian antara fitrah-psikis, biologis, emotional, dan nouns intelectus dengan tata aturan petunjuknya, tentu memiliki tujuan menghantarkan manusia sebagai pencapaian prestasi insaniah yang sangat kuat. Inilah makna terkuat makna Ad-Din. Artinya sejauh mana manusia mampu menyelaraskan dan konsisten terhadap makna dan implikasi diatas dalam kapasitas individual dan sosialnya, semua itu akan dimintai pertanggungjwaban oleh Tuhan di hari pembalasan nanti (yaumul ad-din), inilah makna terakhir dari kata ad-din. Dengan demikian sangat jelas konsep agama dalam persfektif Islam dan bersifat multidimensional : kosmologis, sosiologis dan eksatologis. Tiga pilar ini, Islam membangun karakter spiritual manusia, selaras dengan pandangan dunianya yang terkandung dalam Islam itu sendiri. Islam merupakan sebuah medium untuk berkomonikasi dan konsolidasi bersama dengan Allah, dan bergaul dengan sesama manusia berdasarkan ketauhidan yang berawal dari konsep wujud. Ad Din dan Asmaul Husna merupakan sebuah esensi, filsafat, sosial dan landasan pandangan hidup yang mengandung aspek kehidupan yang multidimensional seperti akidah, ibadah, ahlak dan muamalah. Sehingga Ad Din yang dipahami tidak hanya berkubang dalam aras bathiniyah (Isoteris) semata seperti yang dilakukan oleh kaum genostik dan sufistik yang melarikan diri dari kehidupan masyarakat. Ad Din juga bukanlah ritus eksoterik dengan mengabaikan rasionalisme. Memahami Ad Din dari sisi esoteris semata akan melahirkan sikap keberagaman yang lembek dan loyo. Sementara kalau bersikap pada sisi eksoteris maka akan melahirkan sikap beragama yang beku, kaku dan formal.
Bagi teori syafrilisme dalam koteks penafsiran dan interpretasi ini, harus adanya pemisahan sisi esoteris dari eksoteris merupakan pengingkaran dari bentuk wujud bertauhid, dimana Tuhan menjadi poros dan inspirasi nilai dalam semua lini kehidupan. Penyatuan dari sisi esoteris dan eksoteris akan melahirkan sikap keberagaman yang lembut, penuh kasih sayang dan melahirkan ideologi yang bersipat emansipatoris yang membebaskan. Sehingga Ad Din yang di pahami bisa menjadi pengerak dan konstruksi bagi kehidupan sosial. Satu sisi juga Ad Din bisa menjadi alat pembebasan terhadap sistem penindasan yang menginjak martabat dan harkat kemanusiaan. Ruang gerak bersipat keagamaan, kemasyarakatan dan keakademisan yang mengandung arti bahwa mendakwakan Islam, membangun masyarakat Islam sebenar-benarnya dan intelektualisme Islam demi mewujudkan agenda pencerahan peradaban utama. Dengan ruang gerak inilah Ad Din merupakan medium menuangkan inspirasi dan praksis inspirasi (Dualisme Action). Konsep-konsep dasar sangat fundamental yang menjadi latar belakang ontologis dalam bergulat dengan cakrawala pemikiran dan realitas kehidupan. Konsep dasar ini adalah rumusan tentang pandangan syafrilisme untuk meninterfretasi tantan sebuah Ad Dinul Islam dan Asmaul Husna sebagai basis epistemologi dan aksiologi. Konsep inilah yang akan menjadi optik dan kerangka rujukan (frame of Referency) dalam melakukan penilaian terhadap beragam realitas. Dengan basis sandaran dan kacamata ini apa yang bisa dipertanggungjawabkan dalam wadah Ad Dinul Islam kepada Tuhan sebagai manivestasi ketauhidan. Sebagaimana di sebutkan adalah; Dia-lah Tuhan yang tiada Tuhan yang berhak di sembah selain Dia, Raja yang Maha Suci, Maha Sejahtera, Maha Mengaruniakan Keamanan, Maha Memelihara, Maha Perkasa, Naha Juasa, Maha Memiliki Keangungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS. Al Hasyr [59] : 23-24). Maksud dari ayat ini adalah menerangkan bagaimana seharusnya sikap setiap orang Islam terhadap orang-orang diluar Islam yang melakukan tindakan yang merugikan umat Islam, sebagaimana yang dilakukan oleh bani nadhir, hukum fai’i dan pemabagianya, kewajiban bertakwa, ketinggian dan keangungan al Qur’an, kemudian di tutup dengan sebagain asmaul husna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar