Tujuan Aku Diciptakan, Tuhan Cermin Aku Dan Psikologis Aku
Yanto Sagarino Samawa Tariano
Manusia merupakan hewan yang paling unik dan paling sempurna yang melata di muka bumi ini, perbedaan manusia dengan makhluk lain itu sangat tampak dan jelas. Manusia memiliki akal, berbudi luhur dan dapat memilih dan memilah sesuatu yang ingin diperbuatnya. Akan tetapi asal usul manusia hingga saat ini masih misteri bagi kalangan ilmuwan sehingga Alexis carrel (1873-1944) seorang ilmuwan dan dokter berkebangsaan Perancis dan yang telah meraih dua kali nobel perdamaian menulis buku yang berjudul “ Manusia adalah makhluk yang belum dikenal.” (Quraish Shihab, Dia ada dimana-mana, edisi keempat (Jakarta : Lentera Hati, 2006) h : 111) Memang kalau kita melakukan pengkajian tentang manusia merupakan objek yang tidak kunjung selesai untuk dibicarakan. Oleh sebab itu, dari kajian-kajian menyangkut objek tersebut telah lahir beragam disiplin ilmu. Sekalipun demikian, anehnya, kajian itu merupakan suatu misteri yang tidak pernah tuntas. Salah satu aspek kajian tentang manusia yang menarik ialah menyangkut tujuan penciptaan manusia itu sendiri, manusia sebagai cermin Tuhan dan struktur psikologis sosial justice yang ada pada diri manusia. Di samping itu, distorsi tentang pemahaman tujuan penciptaan manusia pun kini telah menjadi sebuah realitas dan wacana baru dalam tatanan kehidupan umat manusia sekarang. Sebagaimana dinamika umat manusia yang notabene sudah mulai menisbikan dan memarginalkan ajaran Asma (agama) dari kehidupannya dan terninabobokan oleh aksentuasi pemikiran yang berasumsi bahwa Asma (agama) bukanlah sebagai panutan dalam jejak kehidupan manusia sekarang, sebagaimana yang dilakukan orang-orang barat yang kehidupannya lebih maju dan tertata rapi bahkan disiplin karena telah mengenyampingkan ajaran Asma (agama—Nya) dari kehidupan sehari-hari dan berpindah kiblat ke sains dan teknologi. Jika benar, dengan begitu seolah-olah ada pengalihan juridiksi dari Asma (agama) ke sains dan teknologi. Mirisnya, mereka juga kini meluncurkan apologi dan previkasi kalau agama itu tidak bisa menghargai zaman alias tidak relevan. Padahal tujuan penciptaan manusia pada hakikatnya ialah mencapai kesempurnaannya, dengan cara mengamalkan sikap ikhtiar demi mencapai puncak kesempurnaan tersebut yang tidak mungkin dapat dicapai kecuali dengan usaha, kehendak, dan pilihannya. Akan tetapi, karena kesempurnaan ini tidak akan dapat dicapai kecuali dengan cara pengamalan dan ibadah yang sifatnya ikhtiar, maka kehidupan umat manusia ini terpecah menjadi dua jalan, yaitu jalan kanan (yamin) dan jalan kiri (yasar). Tujuan adanya dua jalan ini ialah supaya manusia bisa memilih jalan yang dikehendakinya, benar atau tidak.
Usaha sengaja manusia itu, di samping membutuhkan kemampuan dan faktor-faktor eksternal serta adanya kecondongan dan motivasi untuk melakukan suatu perbuatan, ia juga membutuhkan pengetahuan yang benar tentang perbuatan baik dan buruk, tentang jalan-jalan yang benar dan jalan-jalan yang salah sehingga seseorang bisa memilih kesempurnaannya dengan penuh kesadaran dan kebebasan. Oleh karena itu, kebijaksanaan Ilahi menuntut tersedianya sarana bagi manusia agar mereka dapat memperoleh pengetahuan tentang hal-hal di atas sehingga Allah swt. menyempurnakan manusia dengan menurunkan kitab suci sebagai pedoman. Walaupun demikian, pengetahuan manusia tidak sama kemampuannya bahkan ada sebahagian yang tidak bisa memahami kitab suci, maka dikirimkanlah utusan-utusan sebagai rasul dan nabi yang dapat memberikan contoh kongkrit terhadap kehendak Allah swt. dan kandungan yang terdapat dalam kitab suci. Di samping itu, manusia sebagai makhluk tidak akan lepas dari sang penciptanya. Allah swt. diidentifikasi sebagai sumber tertinggi dan prinsip dari segala realitas yang berada di bawah-Nya, sedangkan segala sesuatu selain Tuhan didefinisikan sebagai makhluk-Nya atau kosmos. Namun demikian, pemisahan antara Tuhan dengan kosmos, atau Khaliq dengan makhluk, nampaknya tidak bersifat ontologis, melainkan lebih sebagai kenyataan kemasuk-akalan (ma’quliyat atau rasional). (Muhyiddin Ibn al-Araby, al-Futuhat al-Makiyyah, (Bairut: Dar Shadir, t.thn) Jilid 2 hal 516) Dikatakan demikian karena kedua istilah dalam setiap pasangan ungkapan tersebut-misalnya, Khaliq-makhluk, ilah-ma’luh, Rabb-hamba, dan seterusnya-merupakan relasi ma’quliyat yang masing-masing mengandaikan keberadaan satu sama lain. Eksistensi makhluk, misalnya, tidak dapat dipahami tanpa eksistensi Khaliq, dan demikian seterusnya. Pemisahan tersebut dikatakan non-ontologis karena wujud relasi tersebut tidak dapat ditemukan dalam keberadaan (eksistensi). Belum lagi keterbatasan pengetahuan para teoritikus kepribadian Barat tentang struktur internal manusia telah melahirkan banyak mazhab kepribadian. Kerangka keilmiahan telah membatasi mereka dalam proses analisis dan sintesis konsepsi kepribadian manusia seutuhnya. Peta kejiwaan dan mekanisme interaksi antar modus-modus jiwa, dalam kerangka psikologi yang dibangun secara ilmiah, tampak tidak jelas dan banyak menyisakan lubang-lubang di sana sini. Dalam literatur barat sendiri penggunaan istilah-istilah seperti soul, spirit, heart, mind, dan intellect sering campur aduk ketika mengidentifikasi persoalan-persoalan yang bersentuhan dengan konsepsi kejiwaan sehingga memaksa sebagian intelektual untuk mengurai psikologi manusia dari berbagai sudut pandang yang memungkin untuk mengungkap sedikit demi sedikit tentang psikologi manusia walaupun itu membutuhkan waktu yang cukup lama. (Quraish Shihab, Dia ada dimana-mana, edisi keempat (Jakarta : Lentera Hati, 2006) h : 111).
Tujuan Aku Diciptakan
Tak seorangpun mengingkari bahwasannya Allah Swt adalah dzat yang maha wujud dan maha kaya (tidak membutuhkan yang lain). Jika demikian, akan timbul berbagai pertanyaan: mengapa manusia diciptakan ? Apa tujuan dari penciptaanya ? Dengan kata lain; apa dibalik tujuan penciptaan manusia ? Tidakkah hal ini berarti bahwa Dia (Allah Swt) adalah wujud yang melalui tujuan penciptaan manusia membutuhkan atas sesuatu ? Kalau seandainya tidak mempunyai tujuan, berarti perbuatan Allah Swt tsb adalah sia-sia ?, Untuk mengatasi persoalan di atas, tidaklah terlepas dari dua pokok proposisi : Pertama, Allah Swt, sebagai Wujud Yang Maha Sempurna, dan tidak membutuhkan serta tidak mempunyai tujuan dalam pencapaian suatu kebutuhan. Kedua, Perbuatan Allah swt tidaklah menuju kesia-siaan, haruslah bagi-Nya meraih tujuan. Tujuan tersebut berkenaan dengan tindakan (objek), bukanlah bagi pelaku perbuatan (subjek). Di sisi lain, pernyataan yang mengatakan bahwa setiap penciptaan pasti memiliki tujuan, seperti juga sastra. Aku tidak ingin menjadi robot! begitu tegas seorang penulis ketika ditanya apa tujuannya menulis karya sastra. Sebuah peryataan yang menyiratkan keinginan akan sebuah kebebasan. Robot diprogram untuk mematuhi setiap perintah pembuatnya, begitu juga manusia yang diciptakan untuk beribadah mematuhi setiap perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Seperti firman Allah dalam al-Qur’an Surah Al-Dzariyat ayat 56, “Dan tidak kuciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku” . Namun berbeda dari robot yang tidak memiliki kemungkinan untuk membantah perintah pembuatnya, manusia dibekali akal selain naluri yang membedakannya dengan hewan. Akal inilah yang seringkali membuat manusia memiliki agenda sendiri ketika melakukan tujuan penciptaannya, bahkan tak jarang bertentangan dengan misi penciptaan dirinya.
Untuk merealisasikan tujuan penciptaannya, di samping dibekali dengan akal, manusia juga diberi tuntunan yang bisa membantu akal dalam memahami tujuan penciptaannya yaitu kitab suci dan para utusan yang berfungsi untuk membimbing mereka pada kebenaran. Namun manusia diberi pilihan apakah mau ikut atau tidak ? Apakah mampu menggunakan tiga alat petunjuk (akal, kitab suci dan para nabi). Itulah yang termaktub dan tersirat dalam salah satu ayat al-Qur’an yang berbunyi: “dan kami Tunjukkan kepadanya dua jalan (kebaikan dan keburukan, petunjuk dan kesesatan)” (Mayoritas ulama tafsir menasirkan seperti di atas, meskipun ada beberapa ulama yang menafsirkan lain. Untuk lebih jelasnya, baca: Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabary, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ayi al-Qur’an yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Thabary, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1412 H./1992 M.) Jilid 8 hal. 24). Tujuan adanya dua jalan ini ialah supaya manusia bisa memilih jalan yang dikehendakinya dengan syarat konsekwensi dari sebuah pilihan tentu ada. (Dalam tafsir al-Kasysyaf, dijelaskan secara panjang lebar hikmah dan tujuan manusia dijadikan sebagai khalifah. Lihat: Abu al-Qasim Mahmud bin Amar bin Ahmad al-Zamakhsyary, Tafsir al-Kasysyaf , (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1415 H./1995 M.) Jilid 1 hal. 79) Sangat jelas bahwa jalan kiri itu menuju kesengsaraan dan bencana. Di sini, kehendak Allah pun berkaitan dengan jalan kiri tersebut, namun secara tidak langsung (bittaba’). Untuk mengetahui lebih jauh tentang tujuan penciptaan manusia, Allah swt. melalui al-Qur’an menjelaskan dalam beberapa ayat, antara lain: “Maka apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? (Al Qur’an Surat Al Mukminun : 115). Dalam surat lain, Allah Swt berfirman:. “Dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Al Qur’an Surat Al-Imran : 191), tidak jauh beda dengan ayat tersebut adalah Surah al-Anbiya’ ayat 16. Agar seluruh aktivitas manusia bernilai ibadah maka Allah menjadikannya sebagai pemimpin di muka bumi ini (Khalifah fil al-ardi) (Al Qur’an Surat Al Baqarah : 30). Sejatinya sebagai khalifah, manusia harus bisa mengemban amanat (baik terkait dengan hukum, pengelolaan dan tugas-tugas yang lain) ini yang secara dialekta tidak diberikan kepada langit, bumi, malam, matahari begitu juga kepada hewan. Dengan begitu manusia adalah makhluk yang terbaik dari segi bentuk, fungsi dan keruwetan (sofistikasi) yang bahasa al-Qur’an nya “ahsan al-taqwim” (Al Qur’an Surat At Tin : 4). Mengutip perkataan Nurcholis Madjid. Sebagai khalifah maka tugas manusia adalah menyampaikan berita dari dunia ghaib agar supaya dapat difahami dan dirasakan manfaatnya oleh seluruh manusia. Tetapi karena tidak semua manusia pada prakteknya bisa menerima “pesan-pesan ilahi” ini, maka Tuhan mengutus para Nabi dan Rasul-Nya untuk membawa kabar tersebut. Sedangkan dalam bahasa Jal al-Din Rumi yakni: “ketika kebun-kebun mawar telah musnah, kemanakah kita akan mendapatkan semerbak mawar? Jawabnya adalah “air mawar”. Yang dimaksud oleh Rumi adalah ketika Alllah Swt yang ghaib, tidak bisa kita lihat, maka melalui para Nabi dan Rasul-lah maka pesan dan berita diriNya dapat kita peroleh, bukan dengan jalan pemikiran agar agama harus diartikulasikan sebagai entitas yang harus relevan dengan perkembangan zaman.
Manusia dikarunia akal adalah sebagai perangkat agar kelak mereka bisa memahami makna hakekat penciptaannya dan yang lainnya bukan untuk mengingkari makna tersebut. Al-Ghazali (w. 1111) menganologikan akal sebagai “Wazir” yang perintah-perintahnya harus diikuti oleh hawa nafsunya, yaitu nafsu syahwat yang bertugas sebagai “tax collector”, dan nafsu ghadlabiyah yang bertugas sebagai polisi. Hanya dengan mengikuti instruksi-instruksi sang Wazir maka keadaan negara akan berjalan lancar dan memperoleh kemajuan. Dengan begitu secara eksplisit manusia mempunyai kebebasan dalam bertindak dan memilih yang hal ini di pandang semu oleh kaum Jabariyah dan bahkan Asy’ariyah begitu juga oleh sebagian orang-orang sufi. Dimana manusia diberi kebebasan penuh dalam memilih (Ikhtiyar) jalan mana yang mau mereka pilih sebagai jalan hidupnya. Dan barangkali ini adalah sebagai konsekuensi logis dari kekhalifahannya di muka bumi. Tetapi di balik itu Allah juga mempunyai rencana lain. Sebab, Allah Swt menciptakan manusia tidak hanya dibiarkan begitu saja tanpa pertanggung jawaban sebagaimana penjelasan dalam Surah al-Qiyamah : 36: Dengan demikian, dalam jejak kehidupan manusia secara dogmatis ataupun de fakto, manusia mempunyai dua jalan yang harus di pilihnya untuk mengarungi roda kehidupannya di muka bumi ini. Mereka harus bisa memilih salah satu diantara jalan tersebut sebagai jalur kehidupannya kelak, karena jika tidak maka akan terjadi diskontinuitas di sepanjang sejarah kehidupannya. Dalam hal ini Allah Swt pun telah menyediakan ” hadiah ” yang sudah disediakan di dua ujung jalan tersebut bagi manusia. (Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukany, Fath al-Qadir, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1414 H./1994 M.) Jilid 7 hal. 370) Dan manusia akan meraih kesempurnaan dirinya melalui jalan ibadah dan beramal, dan di dalam ibadah dan amal itu sendiri mengandung sifat kesempurnaan, dan kesempurnaan ini akan dicapai manusia setelah kematian menjemputnya. Yang merupakan kehidupan yang terbaik dari sisi jasmani dan rohani. Dengan kata lain, dunia tempat bercocok tanam dan akhirat tempat memetik hasilnya.
Tuhan Cermin Diriku
Multatuli pernah berkata, “tugas manusia adalah menjadi manusia”. Manusia, sebagaimana makhluk lainnya, adalah cermin Tuhan di dunia. Dalam hadis qudsi disebutkan bahawa Dia adalah khazanah tersembunyi, oleh karena ingin dikenal kemudian Dia menciptakan makhluk. (Gonsa Saur, OFM) kapasitas pribadi untuk mempromosikan JPIC (Sebuah Refleksi Atas Teori Konsistensi Transendensi-Diri) dikutip dari internet) Maksudnya bukan pertanda keperluan Tuhan akan makhluk-Nya. Sebaliknya, penciptaan adalah karunia terbesar yang dengannya makhluk “menjadi eksis”. Kejadian manusia adalah simbol praktik kasih sayang Tuhan. Kerana kasih sayang-Nya, manusia yang awalnya tidak ada menjadi bernilai. Semuanya bergantung penuh kepada Tuhan, mustahil lepas dari-Nya. Bentuk paling utama pengungkapan rasa syukur manusia adalah menyesuaikan seluruh perilakunya dengan apa-apa yang telah digariskan-Nya. Dalam kefitrian, manusia terbimbing untuk melaksanakan kasih sayang itu adalah dengan menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan kepada sesama manusia dan seluruh alam. Oleh karena itu, tidak ada yang luar biasa ketika seseorang harus mencintai sesama, membela kaum tertindas, memelihara fakir miskin dan menentang segala bentuk kezaliman. Sebab manusia itu cermin Tuhan. Sayang, setelah eksis, manusia merasa bebas, untuk kemudian berlaku seperti kacang lupa pada kulitnya. Pada saat yang sama, manusia tidak ragu untuk berbuat maksiat dan kezaliman. Mereka menganggap itu bukan wilayah Tuhan atau seseorang punya pembenaran lain atas nama Tuhan. “Manusia itu adalah tempatnya lalai dan dosa”, demikian sebuah ungkapan pribahasa. Untuk menyadari bahwa manusia adalah cermin Tuhan maka langkah pertama yang dilakukan adalah senantiasa sadar dan bangkit dari kesadaran. Akan tetapi, hingga saat ini, mash ada beberapa manusia masih tidur nyenyak, mata terbuka, tetapi hati terlena dalam tidur yang berkepanjangan. Cinta dunia dan cinta diri adalah sumber asasi setiap dosa, pokok setiap kejahatan, pintu setiap malapetaka, lubang setiap fitnah dan penyeru setiap kedurjanaan yang dirasakan oleh manusia dengan perasaan nyaman dan enak. Jika penderita penyakit diberitahukan bahwa sebenarnya ia sakit, nescaya ia akan membantahnya. (lihat Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Bairut: Dar Ibnu Katsir, 1407/1987) Jilid 5 hal. 2630). Apabila seseorang tidak pernah mendidik dirinya dan tidak luput dalam dirinya kecenderungan duniawi, maka dia akan merasa takut meninggalkan dunia. Hatinya penuh dengan dendam terhadap Allah dan penolong-penolong agama-Nya. Dan apakah manusia semacam ini merupakan sebaik-baik makhluk, ataukah seburuk-buruk makhluk? Allah berfirman: “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati dalam hal kesabaran”. (Al Qur’an Surat Al ‘Ashr : 1-3). (Bandingkan dengan penafisran Abd Rahman bin Ali bin Muhammad al-Jauzy, Zad al-Masir, (Bairut: al-Maktab al-Islamy, 1404 H.) Jilid 9 hal. 225)
Sebuah hadis, seorang pelacur melihat seekor anjing yang kehausan. Ia masuk ke dalam sumur, menjadikan sepatunya sebagai wadah untuk kemudian diminumkan kepada anjing tersebut. Atas perbuatan ini, pelacur itu masuk syurga. Orang yang mendengar menilai bahwa kisah ini adalah bukti kasih sayang Tuhan, sehingga seorang pelacur pun dapat masuk surga. Hal itu benar. Tetapi, ada hal yang lebih substansial, ketika pelacur itu memberikan minuman kepada anjing, ia berkata, “Ya Allah, betapa anjing ini haus sebagaimana yang pernah aku rasakan” Ia sadar akan kedudukannya tidak jauh beda dengan anjing, sama-sama makhluk. Kesadaran itulah yang membuatya masuk surga. (Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Shahih Muslim, (Bairut: Dar Ihya’ al-Turats al-Araby) Jilid 4 hal. 1761) “Barang siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya”, (Zainuddin Abd Rauf al-Manawi, al-Taisir bisyarh al-Jami’ al-Shagir, (Riyad: Dar al-Nasyr, 1408/1988) Jilid 1 hal. 1001) demikian kata hadis. Manusia adalah cermin Tuhan. Kasih Tuhan harus kita terjemahkan dan bumikan ke seluruh alam. Ukuran utama terlaksana tidaknya pembumian kasih itu adalah dengan menerapkan keadilan yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Tuhan cermin Manusia merupakan subjek pasif dan aktif. Kedudukan setiap manusia dalam pandangan Tuhan sebagai cermin adalah sama dan sejajar. Sempurnanya manusia tergantung bagaimana cara mereka mengimani sebuah cermin dan Tuhan pun sebagai cermin dapat memantulkan kesempurnaan kepada manusia sesungguhnya, yaitu tentang keesaan Tuhan dan kekuasaannya. Dalam konteks ketuhanan yang telah menyepurnakan manusia sejati (insan kamil) terdapat secuil unsur yang sangat mulia, yaitu yang dibahasakan dalam Al Qur’an sebagai ‘Ruh al-Quds’. Ruh al-Quds bukanlah malaikat Jibril a.s., Jibril disebut sebagai Ruh al-Amin, bukan Ruh Al-Quds. Ruh Al-Quds juga dikenal dengan sebutan Ruh min Amr, atau Ruh min Amr Allah (Amr urusan, tanggung jawab). (Ulama berbeda pendapat tentang siapa yang dimaksud dengan ruh al-quds dalam surah tersebut, apakah Ruh yang disucikan, ataukah Jibril as., ataukah yang lain. Baca Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan Fakhruddin al-Razy, Mafatih al-Ghaib, (Bairut: Dar al-Fikr, 1414 H./1994 M.) Jilid 2 hal. 211). Setiap ciptaan memiliki ruh, manusia (ruh insani), tanaman (ruh nabati), hewan (ruh hewani), bahkan benda mati pun memilikinya. Atom-atom dalam benda mati sebenarnya hidup dan terus berputar dan ruh bendawi inilah yang menjadikannya hidup. Namun ruh-ruh ini bukanlah ruh dalam martabat tertingginya seperti Ruh al-Quds. Ketika Allah berkehendak untuk memperlengkapi diri seorang manusia dengan Ruh Al-Quds, maka inilah yang menyebabkan manusia dikatakan lebih mulia dari makhluk manapun juga. Dalam Al Qur’an surat Al Baqarah [2] : 87 disebutkan: “dan telah kami berikan bukti-bukti kebenaran (mu’jizat) kepada ‘Isa putra Maryam, dan Kami memperkuatnya dengan Ruh al-Quds” (Al Qur’an surat Al Baqarah [2] : 87),
Perhatikan juga kata ‘Ruh-Ku’ dalam ayat QS. 38 : 72, yang ditiupkan pada diri Adam saat penciptaannya: “Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh-Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan sujud kepadanya”. (Al Qur’an surat Shaad [38] : 72). Secuil ‘ruh’-Nya itu hanya diturunkan Allah pada manusia yang telah ‘disempurnakan-Nya’, yang diizinkan-Nya untuk mencapai derajat manusia yang sempurna (insan kamil) saja dan tidak pada semua manusia, meskipun masing-masing maunusia mempunyai potensi untuk itu. (Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, Pengembangan Konsep Insan al-Kamil Ibn al-Arabi oleh al-Jily, (Jakarta: Paramadina, 1997 hal. 14 sumber : Republika) Ruh al-quds inilah yang membawa penjelasan kemisian seseorang, untuk apa seseorang diciptakan Allah, secara spesifik orang—perorang, dengan kehadiran Ruh al-Quds, seseorang menjadi mengerti misi hidupnya sendiri. Mereka-mereka yang telah dianugerahi Ruh al-Quds inilah yang disebut sebagai ‘ma’rifat’ dan telah mengenal diri sepenuhnya sehingga mampu juga mengenal Tuhannya. (Muhyiddin Ibn al-Araby, al-Futuhat al-Makiyyah, (Bairut: Dar Shadir, t.thn) Jilid 2 hal 516 dan Jilid 3 hal. 362 sumber : Republika). Dengan mengenal dirinya secara sejati, maka mulailah seseorang beragama secara sejati pula. “Awwal al-Din ma’rifah Allah,” kata Ali bin Abi Thalib (Nashir bin Abdullah Ali al-Qifary, Ushul Madzhab al-Syi’ah al-Imamiyah, diambil dari Maktabah al-Syamilah Jilid 3 hal. 1036). Awalnya agama adalah ma’rifatullah (mengenal Allah). Jadi berbeda dengan pengertian awam bahwa mencapai makrifat adalah tujuan beragama, justru sebaliknya: ma’rifat adalah awalnya beragama. Sujudnya Malaikat kepada Adam, karena dalam diri manusia yang telah disempurnakan-Nya (Insan Kamil) ada yang disebut ‘Ruh-Ku’ dalam (Al Qur’an surat Shaad [38] : 72). tadi. Malaikat bukan sujud kepada sifat jasadiyahnya Adam, tetapi malaikat akan sujud kepada manusia yang dalam dirinya ada pantulan citra Allah, yaitu dengan kehadiran Ruh-Nya (Ruh al-Quds) dalam jiwa seseorang.
Muhammad saw bersabda ''Muslim yang satu adalah cermin bagi Muslim yang lainnya.'' Ada apa dengan cermin ? Apa yang dimaksud oleh Nabi dalam hadisnya ini ? Cermin adalah tempat berkaca; melihat sosok diri sendiri dari pantulan bayangan yang ada di cermin. Pada cermin, kita bisa melihat sosok diri kita yang sebenarnya, tanpa dikurangi atau ditambah. Kita tidak dapat mengingkari apa yang ditampilkan cermin tentang kita, cermin berkata jujur tentang diri kita. Begitu juga sebaliknya, jika cermin itu berdebu atau kotor, kita pasti bersedia untuk membersihkannya, sehingga kita dan cermin sama-sama tampil bersih dan enak dipandang. Hendaknya setiap Muslim berlaku seperti cermin, yaitu bersikap jujur terhadap saudaranya sesama Muslim. Ia akan mengatakan salah jika memang melakukan kesalahan dan ia akan mengoreksinya dengan memberi nasihat-nasihat yang membangun serta mengajaknya kembali ke jalan yang benar. Adapun jika saudaranya melakukan kebenaran, ia akan mendukung. (Dendi Irfan Dalam Andi Malaka 2008, www.republika.com). Begitu juga sebaliknya, jika ada saudaranya memberikan nasihat kebajikan kepadanya, ia mau menerimanya dengan senang hati. Dengan demikian, hidup akan menjadi indah, penuh harmoni, dan pengertian. Dari cermin pula, kita bisa memperbaiki penampilan kita yang kita nilai kurang. Adapun jika ada kelebihan atau sesuai dengan harapan kita dalam hal penampilan, kita bersyukur karenanya. Dalam konteks kehidupan sehari-hari, hendaklah setiap Muslim mengaca diri dengan mengambil pelajaran dari saudaranya sesama Muslim. Adapun jika ia dalam posisi yang berbuat maksiat, hendaklah ia berkaca pada orang-orang yang saleh dan melihat sisi kebaikan yang ada pada diri mereka, sehingga dengan begitu ia termotivasi untuk bertobat dan melakukan kebaikan. Jika ia melihat saudaranya mempunyai kelebihan dalan hal ilmu atau kesalehan, hendaklah ia termotivasi untuk meneladaninya, atau bahkan melebihinya karena berlomba-lomba dalam kebaikan adalah dianjurkan. (Dendi Irfan Dalam Andi Malaka 2008, www.republika.com).
Ada dua hal yang sangat berharga yang dicontohkan Rasulullah saw, pertama, pentingnya keteladananan—kesadaran—keikhlasan. kedua, hemat dan menjauhkan sikap mubazir. Keduaa-duanya sikap seperti merupakan sebuah manifestasi untuk memberikan sebuah keteladanan. Pemimpin harus mengedepankan keteladanan kepada yang dipimpinnya, daripada sekadar beretorika kering tanpa keteladanan. Kita tentu tidak menyukai praktik KKN dan pemborosan yang dipertontonkan secara kasar di negeri ini. Kita lemah dan tak berdaya memberantasnya. Sesungguhnya memang seperangkat undang-undang dan imbauan saja tidak cukup untuk memberantasnya atau meminimalisasinya. Lebih dari semua itu kita dituntut untuk memberikan 'cermin' yang memantulkan suri teladan yang baik kepada bawahan dan lingkungan kita. Seperti yang diungkapkan Ibnu Khaldun, bahwa manusia adalah anak dari lingkungannya. Apa yang dilihat dan didengarnya dari alam sekitarnya sangat mendominasi mental dan kepribadiannya. Tidak lama lagi, bangsa Indonesia akan memilih pemimpin. Kita berharap dan berdoa, semoga Allah menganugerahkan kita pemimpin yang jujur, tulus, sederhana, sekaligus mampu memberikan keteladanan dalam segala sisi kehidupan. (Ahmad Farid Nazori Dalam Andi Malaka 2008, www.republika.com). Untuk mencerminkan masyarakat yang baik dan pelajaran dalam memperbaiki masyarakat. Ada dua pilar penting yang harus ditegakkan bersama, pertama, menjadikan syariat Islam selain sebagai pedoman hidup juga sebagai nasihat, sehingga terbentuk keinginan dan harapan yang baik dalam perasaan individu masyarakat terhadap individu yang lain. Rasulullah Saw bersabda, ''Tidaklah saling mencintai dua orang dalam agama kecuali yang paling utama di antara keduanya adalah yang paling besar cintanya kepada sahabatnya.'' (HR Bukhari). kedua amar ma'ruf nahi munkar, yang terwujud dalam aktivitas meluruskan perilaku-perilaku yang bengkok dan menaruh jalan yang lurus di tengah jalan-jalan yang bengkok. Sehingga, individu masyarakat sadar akan perilakunya yang salah, dan ketika tampak di hadapan mereka jalan yang lurus, diharapkan mereka kembali dengan penuh kesadaran. Tidak ada proses perbaikan yang lebih baik daripada proses yang dilalui diri sendiri dengan penuh kesadaran. (Iwan Sopian Dalam Andi Malaka 2008, www.republika.com). Allah SWT berfirman: Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Al Qur’an surat Ar Ra'd: 11).
Psikologis Aku
Psikologi, dalam definisi umum, adalah sebuah ilmu yang berusaha menggali dan mengenali struktur kedirian manusia. Sebelum era modern, psikologi adalah bagian dari filsafat yang spekulatif. Tak heran jika psikologi, sesuai kata aslinya, psyche dan logos, adalah ilmu mengenai jiwa. Karena, sehebat apa pun teori yang dibangun mengenai jiwa manusia, ia hanya akan tereduksi ke dalam penjara bahasa dan ketiadaan pengalaman mengenai apa itu jiwa. Ketika berusaha dibahasakan, tindak spekulasi adalah hal yang tak terhindarkan. Wilhelm Wundt, adalah orang yang berjasa dalam merumuskan kembali psikologi sebagai ilmu yang empiris. Pendirian laboratorium psikologi di tahun 1879, adalah tonggak berdirinya psikologi modern, yang lepas bebas dari cengkeraman diskursif-filosofis. Di tangannya, psikologi berbicara mengenai fakta dan data. Sehingga penamaan psikologi, bukanlah lagi sebagai ilmu tentang jiwa, tapi merupakan ilmu yang mempelajari perilaku dan proses mental atau psikis manusia. (Himawijaya, Psikologi Islam disimpang Jalan, dikutip dari internet dan pernah dimuat dalam surat kabar tempo). Proyek psikologi islami yang ramai-ramai dibangun oleh para cendikiawan muslim, sebenarnya mengandung beberapa potensi kekuatan sekaligus juga berorientasi melemahkan fondasi epistemologi keilmuan islam itu sendiri. Potensi kekuatannya, terletak pada bahasan psikologi islami yang rujukannya terhadap Kitab suci (al-Qur’an) dan warta dari Nabi (hadits). Selain itu, psikologi islam juga merujuk kepada teks-teks para sufi, yakni mereka yang mengalami langsung transformasi dan pengalaman batin (jiwa/nafs dan ruh). Di sinilah terletak kekuatan psikologi islam, yang mengartikulasikan dan merekontekstualisi peta struktur diri dan peta perjalanan di wilayah batin.
Dalam konsepsi pramodern, manusia dibagi atas tiga entitas, corpus, animus, dan spiritus. (Saifullah, Apa Psikologi al-Qur’an, Dikutip dari internet). Animus berasal dari bahasa Yunani anemos yang bermakna sesuatu yang hidup (bernafas) yang ditiupkan ke dalam corpus (wadah atau bungkus). Maka corpus adalah body (raga/jasad); dan spiritus adalah spirit (ruh); dan animus identik dengan psyche yang bermakna soul (jiwa/nafs). Dewasa ini istilah jiwa yang dipakai dalam psikologi telah mengalami penyempitan makna. Jiwa dalam terminologi psikologi modern lebih ke aspek psikis, dimana aspek psikis ini lebih merupakan riak gelombang permukaan di atas lautan dalam yang disebut jiwa. Dalam terminologi Qur’aniyah, struktur manusia dirancang sesuai dengan tujuan penciptaan itu sendiri, dimana jiwa (soul) yang dalam istilah Al-Quran disebut nafs menjadi target pendidikan Ilahi. Istilah nafs didalam Islam sering dikacaukan dengan apa yang dalam bahasa Indonesia disebut hawa nafsu, padahal istilah hawa dalam konteks Qur’ani memiliki wujud dan hakekat tersendiri. Aspek hawa dalam diri manusia berpasangan dengan apa yang disebut sebagai syahwat. Sedangkan apa yang dimaksud dengan an-nafs ammara bissu’ dalam surat (Yusuf [12]: 53) adalah nafs (jiwa) yang belum dirahmati Allah swt: “Dan aku tidak membebaskan nafsku, sesungguhnya nafs itu cenderung mengarah kepada kejahatan, kecuali yang dirahmati oleh Rabb-ku.” (Ulama berbeda dalam memahami nafs, sebagaian mengatakan bahwa nafs semuanya mengarah kepada hal yang jelek kecuali yang dapat rahmat Allah swt. sedangkan ulama lainnya menjelaskan bahwa semua nafs baik kecuali yang tidak dapat rahmat. Baca Abu al-Fadhal Muhammad al-Alusy, Ruh al-Ma’any fi Tafsir al-Qur’an al-Azhim wa al-Sab’I al-Matsany, Bairut: Dar Ihya’ al-Turats al-Araby, dikutip dari al-Maktabah al-Syamilah t.thn) Jilid 13 hal. 78) Hawa merupakan kecenderungan kepada yang lebih bersifat non-material, yang berkaitan dengan eksistensi dan harga diri, persoalan-persoalan yang wujudnya lebih abstrak. Hawa merupakan entitas, produk persentuhan antara nafs dan jasad. Sedangkan syahwat merupakan kecenderungan manusia pada aspek-aspek material (sebagaimana dalam Surah Ali Imran ayat 14) dan ini bersumber pada jasad insan yang wujudnya memang disusun berdasarkan unsur-unsur material bumi (air, tanah, udara, api). Nafs manusia diuji bolak-balik di antara dua kutub, kutub jasmaniah yang berpusat di jasad dan kutub ruhaniyah yang berpusat di Ruh al-Quds. Ar-Ruh ini beserta tiupan dayanya (nafakh ruh) merupakan wujud yang nisbatnya ke Martabat Ilahi dan mengikuti hukum-hukum alam Jabarut. Aspek ruh ini (jamak arwah) tetap suci dan tidak tersentuh oleh kelemahan-kelemahan material dan dosa, spektrum ruh merupakan sumber dari segala yang maujud di alam syahadah ini—maka tak ada istilah tazkiyyatur-ruhiyyah atau mi’raj ruhani. Sebahagian ulama termasuk al-Ghazali membedakan istilah-istilah seperti qalb (rasa jiwa, bukan rasa jasadiah/psikis), nafs, ruh, dan ‘aql; dimana istilah-istilah ini dalam konsepsi psikologi modern tak terpetakan dengan tegas karena berada pada tataran jiwa yang bersifat malakut, atau secara psikologi analitik berada di ruang ketaksadaran. Prinsipnya, apa yang disebut sebagai manusia sempurna (insan kamil) dalam terminologi Al-Qur’an, minimal manusia yang sudah memiliki struktur seperti tercantum dalam An-Nur : 35 seorang Insan Ilahi. Manusia dikatakan sebagai khalifatullah (wakil Allah) di bumi jika ia telah mencapai state tersebut, ia membawa kuasa Allah dan bercitra Ar-Rahman. “Allah cahaya petala langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah misykat yang didalamnya terdapat pelita terang. Pelita tersebut di dalam kaca, kaca itu seolah kaukab yang berkilau dinyalakan oleh (minyak) dari pohon yang banyak berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi walau tanpa disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar