Kemiskinan—Kesenjangan—Kelaparan dan Kekurangan Gizi
Tren kemiskinan semakin memburuk akibat kapitalisme. Jumlah orang miskin yang hidupnya kurang dari 1 dollar sehari meningkat dari 1,197 milyar jiwa pada tahun 1987 menjadi 1,214 milyar jiwa pada tahun 1997 (20% dari penduduk dunia). Sementara 1,6 milyar jiwa (25%) penduduk dunia lainnya hidup antara 1-2 dolar perhari. (The United Nations Human Development Report, 1999). Kesenjangan pendapatan antara 1/5 penduduk dunia di negara-negara kaya dengan 1/5 penduduk di negara-negara termiskin meningkat 2 kali lipat pada tahun 1960-1990 dari 30:1 menjadi 60:1. Pada 1998 meningkat menjadi 78:1. (The United Nations Human Development Report, 1999). Perubahan teknologi dan liberalisasi keuangan mengakibatkan peningkatan jumlah rumah tangga tidak proposional pada tingkatan yang teramat kaya, tanpa distribusi bagi yang miskin… Dari 1988-1993, pendapatan 10% penduduk termiskin di dunia merosot lebih dari 1/4nya, sedangkan pendapatan 10% penduduk terkaya di dunia meningkat 8%. (Robert Wade, The London School of Economics, The Economist, 2001). Dua puluh tahun lalu, perbandingan pendapatan rata-rata di 49 negara terbelakang dengan pendapatan negara-negara terkaya adalah 1:87. Saat ini menjadi 1:98. (Kevin Watkins, International Herald Tribune, 2001). Total kekayaan orang-orang yang mempunyai aset minimal 1 juta dolar meningkat hampir 4 kali lipat pada 1986-2000 dari 7,2 trilyun dolar menjadi 27 trilyun dolar. Meskipun terjadi kemerosotan keuangan global dan bisnis dotcom saat ini, Merril Lynch memprediksikan bahwa kekayaan mereka meningkat 8% setiap tahunnya dan diperkirakan tahun 2005 mencapai 40 trilyun dolar. (Merril Lynch-Cap Gemini, 2001). Sejak 1994-1998, nilai kekayaan bersih 200 orang terkaya di dunia bertambah dari 40 milyar dolar menjadi lebih dari 1 trilyun dolar. Aset 3 orang terkaya lebih besar dari gabungan GNP 48 negara terkebelakang. Jumlah milyuder meningkat 25% dua tahun terakhir menjadio 475 orang dengan nilai kekayaan lebih besar dari 50% penduduk termiskin dunia. (The United Nations Human Development Report, 1999). Sebanyak 1/5 orang terkaya di dunia mengkonsumsi 86% semua barang dan jasa, sementara 1/5 orang termiskin di dunia hanya mengkonsumsi kurang dari 1% saja. (The United Nations Human Development Report, 1999).
Di seluruh dunia kira-kira 50 ribu orang meninggal setiap hari akibat kurngnya kebutuhan tempat tinggal, air yang tercemar, dan sanitasi yang tidak memadai. (Shukor Rahman, Straits of Malaysia Times, 2001). Kelaparan disebabkan oleh kenyataan bahwa pengembangan perdagangan dunia lebih dititikberatkan pada negaranegara Utara (negara-negara maju), sementara perluasan utang lebih diarahkan ke negara-negara Selatan (negaranegara berkembang). (Shukor Rahman, New Straits of Malaysia Times, 2001). Peningkatan produksi pangan dalam 35 tahun terakhir telah melampaui laju pertumbuhan penduduk dunia sebesar 16%. Peningkatan tersebut belum pernah terjadi. (United Nations Food and Agriculture Organization, 1994). Pada tahun 1997, 78% anak-anak di bawah usia 5 tahun yang kekurangan gizi di negara-negara sedang berkembang sebenarnya hidup di negara-negara yang mengalami surplus pangan. (United Nations Food and agriculture Organization, 1998). Sementara 200 juta orang India kelaparan, pada tahun 1995 India mengekspor gandum dan tepung terigu dengan nilai $ 625 juta, beras 5 juta ton dengan nilai $ 1,3 milyar. (Institute for Food and Development Policy, Backgrounder, Spring 1998). Dewasa ini 826 juta manusia menderita kekurangan pangan yang sangat kronis dan serius, kendati dunia sebenarnya mampu memberi makan 12 milyar manusia (2 kali lipat dari penduduk dunia) tanpa masalah sedikit pun. (Shukor Rahman, New Straits of Malaysia Times, 2001). Pada tahun 1997, hampir 10 juta orang AS yang terdiri atas 6,1 juta orang dewasa dan 3,3 juta anak-anak benar-benar dililit kelaparan. Sementara itu, pada tahun 1998, 10,5 juta rumah tangga di AS atau 31 juta orang tidak bisa memperoleh makanan dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. (US Departement of Agriculture, Food Insecurity Report, 1999). Jumlah orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan gizinya diperkirakan bertambah besar hingga 3%, dari 1,1 milyar pada tahun 1998 menjadi 1,3 milyar orang pada tahun 2008. 2/3 penduduk Afrika Sub-Sahara dan 40% penduduk Asia akan mengalami kekurangan pangan pada tahun 2008. (US Departemen of Agriculture, Food Security Asessment, 1999). Setiap hari 11 ribu anak mati kelaparan di seluruh dunia, sedangkan 200 juta anak menderita kekurangan gizi dan protein serta kalori. Lebih dari 800 juta menderita kelaparan di seluruh dunia dan 70% di antara mereka adalah wanita dan anak-anak. (Shukor Rahman, World Food Program, New Staits of Malaysia Times, 2001). IMF membunuh umat manusia tidak dengan peluru ataupun rudal tetapi dengan wabah kelaparan. (Carlos Andres http://www.khilafah1924.org 19 November, 2009, Perez, Mantan Presiden Venezuela, The Ecologist Report, Globalizing Poverty, 2000). Itulah sekilas daya-data empiris tentang penderitaan umat manusia akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang lahir dari rahim sekularisme. Masihkah kita percaya pada kapitalisme ? Pada sekularisme ? Sekularisme yang bertentangan dengan Islam. Kebatilan sekularisme di samping dapat dibuktikan ditinjau dari segi-segi berikut: Sekularisme adalah ide sesat yang tidak didasarkan pada apa yang diturunkan Allah. Segala sesuatu pemikiran tentang kehidupan yang tidak didasarkan pada apa yang diturunkan Allah adalah kufur dan thaghut yang harus diingkari dan dihancurkan. Allah swt berfirman: Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maa'idah [5]: 44). Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thaghut itulah (QS. An-Nisaa` [4]: 60). Sekularisme jika diyakini dan diterapkan, akan dapat menghancurkan konsep Islam yang agung, yaitu Khilafah. Jadi sekularisme bertentangan dengan Khilafah. Sebab sekularisme melahirkan pemisahan agama dari politik dan negara. Ujungnya, agama hanya mengatur secuil aspek kehidupan, dan tidak mengatur segala aspek kehidupan. Padahal Islam mewajibkan penerapan Syariat Islam pada seluruh aspek kehidupan, seperti aspek pemerintahan, ekonomi, hubungan internasional, muamalah dalam negeri, dan peradilan. Tak ada pemisahan agama dari kehidupan dan negara dalam Islam. Karenanya wajarlah bila dalam Islam ada kewajiban mendirikan negara Khilafah Islamiyah. Sabda Rasulullah saw: dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah. [HR. Muslim]. Dari dalil yang seperti inilah, para imam mewajibkan eksistensi Khilafah.
Abdurrahman Al Jaziri telah berkata: Para imam (Abu Hanifah, Malik, Asy Syafii, dan Ahmad) –rahimahumulah— telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) fardhu, dan bahwa tidak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) Maka, sekularisme jelas bertentangan dengan Khilafah. Siapa saja yang menganut sekularisme, pasti akan bersemangat untuk menghancurkan Khilafah. Jika sekularisme ini dianut oleh orang Islam, maka berarti dia telah memakai cara pandang musuh yang akan menyesatkannya. Inilah bunuh diri ideologis paling mengerikan yang banyak menimpa umat Islam sekarang. Padahal, Rasulullah saw sebenarnya telah mewanti-wanti agar tidak terjadi pemisahan kekuasaan dari Islam, atau keruntuhan Khilafah itu sendiri. Sabda Rasulullah : [alaa innal kitaab was sulthoona sayaftariqooni falaa tufaariqul kitaaba] Ingatlah! Sesungguhnya Al Kitab (al-Qur`an) dan kekuasaan akan berpisah. Maka (jika hal itu terjadi) janganlah kalian berpisah dengan al Qur`an [HR. Ath Thabrani]. Sabda Rasulullah SAW: [latanqudhonna urol islami urwatan urwatan fakullamaa intaqadhat urwatun tasyabbatsan naasu billatii taliihaa faawwaluhunna naqdhon al hukmu wa aakhiruhunna ash sholaatu] Sungguh akan terurai simpul-simpul Islam satu demi satu. Maka setiap kali satu simpul terurai, orang-orang akan bergelantungan dengan simpul yang berikutnya (yang tersisa). Simpul yang pertama kali terurai adalah pemerintahan/kekuasaan. Sedang yang paling akhir adalah shalat. [HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al Hakim]. Sekularisme mungkin saja dapat diterima dengan mudah oleh seorang beragama Kristen, sebab agama Kristen memang bukan merupakan sebuah sistem kehidupan (system of life). Perjanjian Baru sendiri memisahkan kehidupan dalam dua kategori, yaitu kehidupan untuk Tuhan (agama), dan kehidupan untuk Kaisar (negara). Disebutkan dalam Injil: â€oe"Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar, dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan (Matius 22 : 21). Dengan demikian, seorang Kristen akan dapat menerima dengan penuh keikhlasan paham sekularisme tanpa hambatan apa pun, sebab hal itu memang sesuai dengan norma ajaran Kristen itu sendiri. Apalagi, orang Barat –khususnya orang Kristen-- juga mempunyai argumen rasional untuk mengutamakan pemerintahan sekular (secular regime) daripada pemerintahan berlandaskan agama (religious regime), sebab pengalaman mereka menerapkan religious regimes telah melahirkan berbagai berbagai dampak buruk, seperti kemandegan pemikiran dan ilmu pengetahuan, permusuhan terhadap para ilmuwan seperti Copernicus dan Galileo Galilei, dominasi absolut gereja Katolik (Paus) atas kekuasaan raja-raja Eropa, pengucilan anggota gereja yang dianggap sesat (excommunication), adanya surat pengampunan dosa (Afflatbriefen), dan lain-lain. Namun bagi seorang muslim, sesungguhnya tak mungkin secara ideologis menerima sekularisme. Karena Islam memang tak mengenal pemisahan agama dari negara. Seorang muslim yang ikhlas menerima sekularisme, ibaratnya bagaikan menerima paham asing keyakinan orang kafir, seperti kehalalan daging babi atau kehalalan khamr. Maka dari itu, ketika Khilafah dihancurkan, dan kemudian umat Islam menerima penerapan sekularisme dalam kehidupannya, berarti mereka telah terjatuh dalam dosa besar karena telah menyerupai orang kafir (tasyabbuh bi al kuffar). (http://www.khilafah1924.org 19 November, 2009) Sabda Rasulullah saw: Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia adalah bagian dari kaum tersebut. [HR. Abu Dawud]. Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah mengatakan dalam syarahnya mengenai hadits ini: â€oeHadits tersebut paling sedikit mengandung tuntutan keharaman menyerupai (tasyabbuh) kepada orang kafir, walaupun zhahir dari hadits tersebut menetapkan kufurnya bertasyabbuh dengan mereka Dengan demikian, pada umat Islam menerapkan sekularisme dalam pemerintahannya, maka mereka berarti telah terjerumus dalam dosa karena telah menyerupai orang Kristen yang memisahkan urusan agama dari negara.
Kemudian umat Islam umumnya dan khususnya para pemikir muda muslim dalam dunia gerakan memandang bahwa strategi gerakan di luar Islam secara konvensional, katakanlah semua produk barat merupakan varian pemikiran yang belum memiliki kepastian akan masa depannya. Dan semua gerakan seperti itu pasti mengarah pada sekulerisme yang akut. Akan tetapi analisis yang terbangun baik secara teoritik maupun empiris padaumumnya teori ini diterima oleh para pemikir dan generasi Islam yang justru mereka berada di garda deoan perjuangan intelektual Islam dengan berusaha mengambarkan (proyeksi) masa depan Islam. Pandangan mereka cenderiung mengarah pada anlisis keagamaan secara keseluruh terlepas dari truth claim bahwa saat ini transformasi agama harus ada secara kuat dan nyata sebagai sutau sistem kekuatan sosial, budaya dan eknomi maupun politik. Banyak studi Islam yag mengatakan bahwa krisi yang terjadi pada internal Islam adalah pada aspek pemikiran dan moralitasnya. oleh karena di sebbkan oleh suatu sistem itu sendiri. Sistem inipun dianggap sebagai kekuatan besar dalam sebuah pilihan politik untuk membawa Islam kepada suh perubahan politik kekuasaan di era modern. Dariberbagai studi kasus di indonesia merupakan sebuah gambaran dimana perkembangan tatanan politik Islam secara nasional berputar pada dimensi yang berbeda baik dalam rotasi politik kebidayaan maupun intervensi sistem kekuasaan itu sendiri. Semestinya orientasi Islam adalah memperluas wilayah amar ma’ruf dan nahi mungkarnya sehingga memiliki kekuatan dan bargaining position modernisasi dengan memunculkan kelas – kelas baru (new action class). Kebangkitan Islam diabad ke 21 ini merupakan sebuah keniscayaan dari gerakan-gerakan modernis seperti Muhammadiyah sebagai kekuatan Islam yang mapan dan mandiri dengan bukti telah melahirkan banyak tokoh nasional dengan background keislaman yang cerdas dan brilian. Para tokoh ini mengambil bagian penting dalam pergulatan keilmuan Islam diabad ini dan mereka juga telah berani memproyeksikan wajah Islam dengan penampilan yang serba universal tidak lagi dalam pandangan sektarian seperti yang dipahami oleh kaum tradisionali yang cenderung radikal dan main fatwa. Kebangkitan Islam ini merupakan bentuk yang paling maju dalam sejarah Islam dengan tetap menampilkan Islam secara egalitarianismenya sebagai bentuk penolakan terhadap berbagai kemungkinan sekulerisme barat. Akan tetapi saya akan mecoba mengulas kembali apa yang saya katakan dengan analisis kritis tentang berbagaiteori dunia, termasuk pada bagian ini. Kita harus memahami secara seksama dalam menganalisa gerakan kritis ini sebagai bagian yang terpenting oleh karena sekarang ini bentuk penolakan terhadap sekulerisme, banyak kita jumpai seperti timbulnya gerakan modernis islam yang mengusung cita dan tjuan masyarakat Isam yang sebenarnya, ada juga gerakan Islam bercorak radikal maupun humanis. Gerakan ini tergerak oleh karena kesadaran secara individual akan kebesaran tauhid dan pembacaan mereka dalam konstruksi kehidupan bermasyarakat. Terutama gerakan kepartaian dari unsur Islam telah bangkit sebagai kekuatan baru dalam visi keislamannya dan sebagaidimensi kekuata untuk melakukan pemetan terhadap politik Islam, dan hbungannya denga dunia global. Gerakan ini menempatkan politik Islam pada posisi mobiliasi masyarakat dengan tujuan memperkuat pemahaman keislaman baik tentang proses politik maupun kekuasaan serta hubungan Oslam dengan negara.
Teori Liberalisme
Berangkat dari apa yang selama ini kita dengan bahwa wajah Islam sudah tidak asinglagi dengan hal yang baru, kalau diatas kita sudah mempelajari bagaimana marxisme, sekulerisme, freemasonry dan sekarang ini kita akan membahas tentang liberalisme. Sepertinya banyak sudah kita paham tentang liberalisme oleh karena banyak referensi serta literatur yang kita temukan, seperti buku, pamplet, internet, majalah dan lain sebagainya. Pengertian liberalisme adalah keyakinan akan sebuah nilai kebebasan baik secara individu maupun kelompok dengan menolak semua yang bersipat hegemonik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Teori ini sebagai bentuk kontrak sosial yang memiliki otoritas politik secara orsinil dan tersusun dari kepercayaan kebebasan maupun memperkuat rasionalitas individu untuk memadukan kebebasan dengan hasil kerja sama sosial. Kalau ditelusuri sejarah liberalisme sangat berhubungan dengan kebebasan (liberty) dan pembebasan (liberation) karena esensi gagasan liberalisme adalah untuk menuju pembebasan secara total. Dengan demikian, liberalisme mengekspresikan spirit manusia sebagai individu. Dalam artikulasinya, liberalisme menjadi sebuah keyakinan filsafat yang memegang teguh kebebasan sebagai sebuah metode kebijakan. Prinsip ini yang selalu terorganisasi dalam masyarakat dan menjadi jalan hidup bagi individu maupun komunitas (Ida Rohmawati, 2004). Liberalisme juga merambah pola hidup keberagamaan menghadapi akselerasi perubahan atas tuntutan globalisasi dan moderinitas. Dengan demikian, kata liberal akhirnya menjadi sebuah atribut gerakan keagamaan dalam keberagamaan agama Yahudi dan Islam. Kemunculan Yahudi liberal (Liberal Judaism) adalah karena kegelisahan sekelompok Yahudi atas kegagalan pembaharuan keagamaan yang dilakukan oleh gerakan Yahudi reformis. Yahudi liberal muncul pada tahun 1902 M, akar mereka ini sebenarnya berasal dari Persatuan Keagamaan Yahudi yang kemudian berkembang menjadi Persatuan Yahudi Liberal. Gerakan Yahudi liberal mucul di Inggris pada tahun pertama abad ke-20, perkembangan yang dipelopori oleh Laely Montagu (1873-1963) dan Claude Montefiore (1851-1938), seorang agama Yahudi yang terpengaruh oleh salah seorang pemikir Kristen liberal di Oxford, Benjamin G (Al-Masiriy: 1999). Misi dari gerakan mereka adalah mengupayakan agar dasar-dasar ajaran agama Yahudi dapat sesuai dengan nilai-nilai zaman pencerahan Eropa (enlightement) tentang pemikiran rasional dan bukti-bukti sains. Mereka berharap untuk menyesuaikan agamanya dengan masyarakat modern. Kaum Yahudi liberal juga percaya bahwa kitab-kitab Yahudi (Hebrew Scripture), termasuk Taurat, adalah upaya manusia untuk memahami kehendak Tuhan. Karena itu, mereka menggunakan kitab-kitab itu sebagai titik awal dalam pengambilan keputusan. Mereka pun sadar akan kemungkinan kesalahan kitab mereka dan menghargai nilai-nilai pengetahuan di luar kitab agama mereka (Adian Husaini: 2007). Titik tolak Yahudi liberal adalah wujud manusia dan kebutuhannya (humanis), bukan lagi mempermasalahkan akidah (teosentris). Tidak heran jika mereka menganggap kitab suci keagamaan sebagai ijtihad manusia dan bukan wahyu Tuhan. Mereka mengembangkan ide-ide pencerahan dan berhukum kepada hati nurani: kebaikan dan kesalehan harus dinilai dengan ukuran nurani yang tercerahkan dan bukannya dengan tolak ukur wahyu lagi. Istilah Yahudi liberal juga sering digunakan untuk menunjukkan gerakan Yahudi progersif dan reformis. Istilah itu menjadi istilah yang satu meskipun titik tekan pada semangat pembaharuan dan reformasi lebih radikal di dalam gerakan Yahudi liberal dan kadang juga gerakan pembaharuannya masih berpegang kepada tradisi, sementara Yahudi progresif sering digunakan untuk gerakan pembaharuan secara umum (Al-Masiriy: 1999) Islam liberal Tidak jauh dengan Liberal Judaism adalah gerakan yang menamakan dirinya dengan gerakan Islam liberal, baik secara individual maupun kelompok. Berangkat dari semangat pembaharuan dan keinginan membawa Islam agar selalu relevan dengan zaman modern yang berubah maju begitu cepat, gerakan Islam liberal muncul. Selain itu, ada semacam keyakinan bahwa Allah swt akan mengutus mujaddid pembaharu setiap tahun, baik pembaharuannya bersifat individu maupun kolektif. Istilah Islam liberal sebenarnya sudah dikenal beberapa dasawarsa meskipun tidak secara tegas menyandangkan kata Islam di belakangnya. Albert Honnani pada tahun 1960-an dalam karyanya yang berjudul Arabic Thought in The Liberal Age memperkenalkan istilah Islam liberal untuk menunjukkan suatu ragam pemikiran yang berkembang di dunia Islam (Ida Rohmawati: 2004). Sementara secara tegas, orang yang menggunakan istilah liberal Islam (Islam liberal) adalah Charles Khurzman pada tahun 1998 melalui bukunya Liberal Islam: A Sourcebook. Sebelum Khurzman, juga sudah ada Leonardo Binder yang juga berbicara tentang Islam liberal dalam bukunya Islamic Liberalisme di mana dia berusaha memetakan tokoh-tokoh yang dianggapnya liberal. (Faizin Muhith Yahudi Dan Islam Liberal February 16, 2008 Sumber: Republika)
Seorang sarjana hukum dari India, Asaf Ali Asghar Fyzee (1899-1981), juga ikut mempopulerkan Islam liberal, dia menulis: ”Kita tidak perlu menghiraukan nomenklatur, tetapi jika sebuah nama harus diberikan padanya (gerakan pemikiran), marilah kita sebut itu Islam liberal.” (Charlez Khurzman: 1998). Islam liberal secara umum memiliki agenda, antara lain untuk menentang sistem pemerintahan teokrasi dan mendukung demokrasi, meneguhkan hak-hak perempuan atau gerakan feminisme, membela hak-hak non-Muslim (termasuk juga aliran-aliran sempalan), mengembangkan kebebasan berpikir, dan serempak menyuarakan gagasan-gagasan tentang kemajuan dan progresivitas. Dengan semangat yang berlebihan, mereka memusuhi semua pemikiran teosentris dan berkeinginan menegakkan nilai-nilai humanisme meskipun sering mengorbankan keyakinan dan kepercayaan yang sudah lama mapan dan diyakini kebenarannya. Mereka juga berusaha membuka kembali seluruh pintu ijtihad yang sempat ‘tertutup’. Dalam penerapan ajaran-ajaran Islam, mereka mendahulukan subtansi sebuah syariat daripada tatanan tekstual yang secara jelas sudah dijelaskan dalam Alquran maupun Hadis. Mereka mengakui bahwa kebenaran bersifat relatif, inklusif, dan akomodatif. Mereka mendukung minoritas, siapa pun dan bagaimana pun mereka. Kebebasan memilih agama atau bahkan tidak beragama sekalipun (ateis) bisa mereka terima. Mereka sekularisasi secara menyeluruh dan komprehensif. Bila diteliti lebih jauh, ada atau bahkan banyak sekali kesamaan-kesamaan antara Yahudi liberal dan Islam liberal. Paling tidak keduanya adalah berangkat dari misi asumsif untuk melakukan reformasi dan peremajaan wacana-wacana keagamaan agar disesuaikan dengan modernitas. Liberalisme merambah pola hidup keberagamaan. Kelompok Yahudi liberal muncul karena mereka merasa gagal mencapai tujuan. Islam liberal di Indonesia terlalu memaksakan kehendaknya sendiri. Nur (Faizin Muhith Yahudi Dan Islam Liberal February 16, 2008 Sumber: Republika)
Begitu juga yang terjadi di Indonesia pergulatan antara Islam Literal dengan Islam liberal di bawah tekanan globalisasi dan kondisi masyarakat yang belum menguasai banyak tentang teknologi, apalagi gerakan Islam menampilkan wajah yang berwarna-warni. Menurut Yudi Latif, Islam literal dan Islam liberal adalah sama0sama anak kandung modernitas yang mengandung bibit fundamentalisme sendiri. Akan tetapi sekarang ini, gerakan Islam liberal sering melakukan penyesuaian politis terhadap kemapanan, menjadi sejenis fundamentalisme baru yang menolak keimanan dalam kehidupan publik, serta makin jauh dari tujuannya yang semula untuk pembebasan masyarakat. Konservatisme menguat dengan mambayangkan formalisme syariah sebagai satu-satunya juru selamat. Namun itu tidak berarti harakah Islam ini homogen. Persaingan dan perseteruan muncul di antara pengikut berbagai harakah sebagai konsekuensi dari perbedaan manhaj (metode penalaran), kepentingan, jaringan intelektual, dan kepemimpinan. Di sisi lain, arus globalisasi yang kian luas cakupannya, instan kecepatannya, dan dalam penetrasinya, mendorong segmen tertentu dari inteligensia Muslim menjadi lebih dalam apresiasinya terhadap nilai-nilai sekular-liberal. Generasi inteligensia baru dari kalangan tradisionalis, yang dipengaruhi pemikiran liberal Abdurrahman Wahid, mengalami liberalisasi luar biasa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Paralel dengan perkembangan ini adalah kemunculan generasi baru pendukung gerakan pembaharuan Islam (Nurcholish Madjid), yang pada umumnya berlatar IAIN dan HMI, berkolaborasi dengan intelektual muda sekular dari lingkungan universitas umum. Pada Februari 2001, sekitar 100 orang tokoh muda gerakan pembaharuan bertemu di Utan Kayu, Jakarta, untuk menghadiri diskusi perdana dari serial diskusi bulanan. Pertemuan, yang difasilitasi oleh budayawan Goenawan Mohamad, ini membincangkan isu seputar “Islam liberal,” yang kelak menjadi nama dari lingkaran komunitas epistemik ini, yakni Jaringan Islam Liberal (JIL). Pandangan intelektual kelompok ini seperti Ulil Abshar Abdalla (intelektual muda NU), Luthfi Assyaukani (dosen Universitas Paramadina), Saiful Mujani (dosen UIN), dan Hamid Basyaib (jurnalis muda), menampilkan antitesis dari kelompok harakah Islam. Sekularisme dan Liberalisme yang didedahkan Barat dipandang sebagai satu-satunya juru selamat. Mereka menentang setiap bentuk Islam politik yang hendak menerapkan sistem nilai dan simbol-simbol Islam di bidang politik. Mereka juga menolak gagasan negara Islam serta formalisasi Syariah. (Yudi Latif Mewujud Misi Agama Publib Melampaui Pemikiran Islam liberal Sumber : http://groups.yahoo.com/group/anggotaicmi/message/4825)
Luthfi Assyaukanie dalam artikelnya “Empat Agenda yang Membebaskan,” ada empat pekerjaan yang dihadapi kalangan intelektual Islam liberal: sekularisasi politik, toleransi agama, emansipasi perempuan, dan kebebasan berekspresi. Sejalan dengan pandangan Luthfi, Hamid Basyaib menyuarakan bahwa wacana Islam Liberal bermula dari premis manusia, siapapun dia, memiliki kedudukan sejajar di hadapan Tuhan. Berkaitan dengan hal itu, tidak mungkin ada manusia yang terbebas dari dosa (ma’sum), yang pendapatnya harus selalu dipatuhi. Sejalan dengan pendapat ini, kehadiran kelompok Islam liberal dimaksudkan untuk melawan gagasan dan gerakan dari pengikut Islam konservatif dan kaum fundamentalis. Ulil Abshar Abdalla menerangkan bahwa upaya membangun teologi bagi negara sekular dan mensekularkan masyarakat adalah suatu keharusan untuk membangun basis masyarakat sekular. Dalam konteks masyarakat - masyarakat Islam, ia menawarkan tiga skenario bagi proses sekularisasi. Pertama, sekularisasi politik dominan yang dipaksakan oleh negara seperti pengalaman Turki. Kedua, melalui proses pendidikan, yakni dengan mendidik ribuan murid dalam budaya sekular dan diikuti dengan proses di parlemen yang semua ditujukan untuk membangun negara sekular. Ketiga, menunggu pasar global menghancurkan ikatan-ikatan komunal hingga pada gilirannya akan lahir individu bebas, sebagaimana diteorikan oleh liberalisme klasik. Menurut Ulil tidak mungkin diterima, sementara yang ketiga tidak diinginkan karena proses pasar global yang kini tengah berlangsung kerap memunculkan fenomena keagamaan yang tidak terduga seperti new age, perenialisme, kultus baru, tradisionalisme, dan konservatisme. Maka pilihan strategis yang paling mungkin diambil adalah melalui jalur pendidikan. Dalam konteks ini Ulil mengungkapkan kecemasannya melihat kenyataan bahwa sekolah-sekolah negeri justru menjadi ladang pembibitan konservatisme agama, yang sangat menguntungkan komunitas Muslim konservatif. Namun, sebaliknya menjadi ancaman bagi Islam Liberal. Dalam menghadapi menguatnya aspirasi Islam politik yang memperjuangkan penerapan syariah secara publik, para intelektual JIL cenderung sepakat mengenai perlunya penarikan agama dari ruang publik ke ruang privat. Isu privatisasi agama menjadi wacana dominan, meski kerap kali bersifat ambigu. Untuk mendukung gagasan mereka itu, para intelektual JIL berusaha untuk menghubungkan argumen tekstual mereka dengan teks-teks tertulis lain karya intelektual yang menurut mereka otoritatif, baik dari dalam maupun luar negeri. Intelektual dalam negeri yang sering mereka rujuk adalah Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Harun Nasution; sementara panutan mereka dari luar negeri adalah figur progesif seperti Rif’at Tahtawi, Muhammad Ali Abd al-Raziq, Fazlur Rahman, Mohamed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, dan Abdullahi Ahmed an-Na’im. (Yudi Latif Mewujud Misi Agama Publib Melampaui Pemikiran Islam liberal Sumber : http://groups.yahoo.com/group/anggotaicmi/message/4825. Demi menyebarkan gagasan Islam liberal ke masyarakat yang lebih luas, JIL bekerja sama dengan sejumlah media di Indonesia. Penyebaran gagasan mengenai humanisme, pluralisme, dan inklusivisme disiarkan melalui jaringan radio 68 H sejak akhir 2001. Acara bertajuk “Agama dan Toleransi” ini disiarkan 30 menit setiap kali, dan direlay oleh 15 radio di seluruh Indonesia. Setiap minggu kelompok ini juga menerbitkan beberapa sindikasi artikel di 40 koran yang berada di bawah asuhan kelompok Jawa Pos, termasuk Jawa Pos (Surabaya), Indo Pos (Jakarta), Riau Pos (Pekanbaru), dan Fajar (Makassar). Artikel yang dimuat di koran-koran ini juga diposting ke situs mereka di internet. Setahun setelah didirikan, JIL mulai menerbitkan buku-buku mengenai Islam Liberal seperti Wajah Liberal Islam di Indonesia yang terbit pada 2002. Buku ini memuat tentang diskusi intensif dan berbagai tulisan mengenai Islam Liberal yang pernah diposting ke dalam situs JIL. Selanjutnya mereka juga menerbitkan buku Syari’ah Islam: Pandangan Muslim Liberal, yang diterbitkan JIL pada 2003. Buku ini merefleksikan resistensi kalangan Intelektual Muslim Liberal Indonesia terhadap formalisasi Syariah Islam. JIL kerjasama dengan kelompok Muslim salah satunya adalah ICIP (International Centre of Islam and Pluralism), di mana beberapa tokoh JIL juga menjadi anggota dewannya. ICIP didirikan di Jakarta pada bulan Agustus 2003. Mitra JIL lainnya yang perlu disebutkan adalah Yayasan Wakaf Paramadina yang didirikan oleh almarhum Nurcholish Madjid pada 1986. Paramadina juga menerbitkan buku-buku mengenai Islam liberal, semisal karya Greg Barton tahun 1999, yang berisi pemikiran tokoh-tokoh neo-modernis Indonesia berjudul Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid. Pada tahun 2001 Paramadina menerjemahkan dan menerbitkan buku Charles Kruzman (ed.) yang judulnya diindonesiakan menjadi Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global. Buku ini memiliki makna khusus karena penerbitannya yang bersamaan dengan munculnya JIL. Buku lain yang juga diterbitkan oleh Paramadina, yang disebut sangat kontroversial, adalah Fiqh Lintas Agama pada tahun 2004. Buku ini berisi kumpulan opini mengenai fiqh dan menyentuh isu-isu sensitif seperti perkawinan antar pemeluk agama, hubungan Islam dengan non Muslim, dan sebagainya. Kontroversi yang dipicu oleh buku ini berujung pada forum debat yang menghadirkan intelektual Islam Liberal yang diwakili oleh Zuhairi Misrawi (NU) dan Zainun Kamal (Paramadina), serta Muhammad Thalib dari MMI. Debat ini diadakah di kampus Universitas Islam Negeri, Ciputat, pada 15 Januari 2004. Catatan tentang diskusi ini kemudian dibukukan dengan judul Mengkritisi Debat Fikih Lintas Agama. Buku ini ditulis oleh Hartono Ahmad Jaiz dan diterbitkan wacana Islam Liberal dimungkinkan berkat adanya dukungan finansial dari beberapa lembaga donor seperti The Asia Foundation, the Ford Foundation dan USAID. Dalam konteks ini kita bisa menengarai titik temu agenda-agenda yang diusung komunitas Islam Liberal di Indonesia yang mencoba membeberkan interpretasi yang inklusif, pluralistik dan sekularistik atas Islam, dengan agenda internasional yang dikawal oleh negara-negara demokratis Barat yang mencoba untuk menyebarkan wacana mengenai demokrasi, kebebasan dan hak asasi manusia. Eksposur dan apresiasinya terhadap pemikiran liberal sekular Barat yang intens terkadang menumpulkan sensitivitas terhadap konteks sosial-historis tempat bumi dipijak. JIL seperti memenuhi tudingan David Levine, bahwa perkembangan pemikiran sosial Indonesia untuk jangka waktu yang lama cenderung menetapkan terminologi dan solusi Barat terlebih dahulu sebelum melakukan pembacaan saksama atas konteks dan masalah lokal. Ketersusutan bacaan historis dan komparatif juga membuat Barat yang dihadirkan terkesan merupakan Barat yang monofonik. Sejauh menyangkut sekularisme, misalnya, tak ditunjukan variasi dan perbedaan pengamalannya di sejumlah negara Barat sendiri. Bahwa pengalaman sekularisme di Perancis berbeda dengan di Inggris dan Jerman nyaris tak terkatakan. (Yudi Latif Mewujud Misi Agama Publib Melampaui Pemikiran Islam liberal Sumber : http://groups.yahoo.com/group/anggotaicmi/message/4825)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar