Gelorakan Pemikiran

Minggu, 26 September 2010

Kenalilah Dirimu Baru Mengenali Tuhan Mu
Yanto Sagarino Samawa Tariano

Thales dari miletus (625 – 545 SM) seorang filsup yunani kuno yang di anggap dewa (Tuhan) mengatakan bahwa “Kenalilah Dirimu” kalimat ini membentuk sebuah kebudayaan di tengah–tengah orang Sparta yang memiliki kearifan dan penglihatan yang sangat mendalam tentang kehidupan mereka dan relasi dengan penciptanya sendiri, Kekuatan akan kata–kata tersenbut menimbulkan corak pertahanan pemahaman Intelektual, kebudayaan dan ketauhidan mereka. Seiring apa yang dikatakan oleh Xenophanes dari Colophon (570–475 SM) mengajarkan bahwa Tuhan itu adalah satu dan tak berwujud, Hanya ada satu Tuhan yang paling akbar diantara para dewa dan manusia yang berbeda dengan mahluk apapun dalam hal bentuknya maupun pemikirannya. Mereka juga mengatakan secara gamblang bahwa manusia harus memiliki Tuhan satu yang tidak dilahirkan, tidak melahirkan dan idak di peranankan22.
Alangkah indahnya kata seorang Thales dan Xenophanes yang tidak mau untuk di dewakan dan di puja karena mereka adalah hamba Tuhan yang berada dibawah penguasaan Tuhan yang sekaligus mengerti akan kelemahan dan kelebihan mereka tanpa berlebihan untuk membaiat diri menjadi seorang Tuhan. Sepanjang sejarah dan peradaban manusia berjuta – juta tahun seluruh pemikiran religius baik itu monoteisme, panteisme, politeisme di rumuskan berdasarkan keyakinan terdalam manusia bahwa segala sesuatu di alam semesta merupakan hasil kekuasaan sang Maha Kuasa. Kekuasaan penipta ini merupakan manifestasi manusia untuk berkehendak memelihara kekasaan Tuhan itu yang oleh karena semua yang ada di muka bumi itu adalah seuai dengan kehendak Tuhan. Eksistensi merupakan suatu produk dari kehendak kekuatan tuhan oleh karena manusia aharus takluk kepadaNya. Tunduk kepada kekuatan Tuhan merupakan kewajiban atas pengetahuan penghambaan kita kepada Tuhan baik secara fisik maupun lahiriah. Di ciptakan dan di bentuk kekuatan tuhan merupakan kebutuhan – lebutuhan dari keadaan ffisik kita. Di samping wujud fisik, kita juga memiliki gairah dan emosional terhadap keadaan berfikir secara intelekual dan spritual. Apa yang baik bagi sosok mahluk adalah sesuatu yang menguntungkanya dan apa yang buruk adalah yang membahayakan. Pemikiran kita apa yang baik selalu menguntungkan kita, apa yang buruk akan selalu membahayakan kita bersama. Dinamika kepentingan diri sendiri ini menimbulkan pertentangan dan konflik yang menginginkan mereka23.
Hal ini sebenarnya membutuhkan sebuah pemahaman dan kesadaran akan fungsi hidup karena Tuhan, tanpa mengabaikan nilai–nilai Millati Ibrahim dan humanisasi masyarakat. Sebagaimana dalam Al Qur’an yang mengatakan bahwa : Hai orang–orang yang beriman, Jauhkanlah dari kebanyakan perasangka burukmu seungguhnya berperasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari–cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu mengunjing sebahagian lain, sukakah salah seorang kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah sesugguhnya Allah maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang (Al Qur’an Surat Al Hujurat : 12)24.kalau kita mengambil hikmah ayat ini sungguh sangat berdosa seluruh manusia yang selalu suka dengan perang tanpa alasan yang jelas seperti apa yang di pahami oleh Amerika AS, manusia selalu suka mencari kebenaran tetapi metodologinya salah sehingga menimbulkan extremitas dalam pemahaman Agamanya, manusia selalu menganggap agama lain sala satu musuh mereka sehigga tidak mau berdampingan. Bagaimana kita melihat kejadian atau kerusuhan poso, ambon, bom bali I dan II, Hotel Marriot Jakarta belum lagi radikalisme dalam agama yang bertopeng Ormas, media yang bermodel sektarian hanya membela kebenaran agama dan organisasinya yang berakibat pada fitnah dan dehumanisasi, begitu juga fakta konflik antara pemimpin kita pada tahun 2008 yaitu ZM dan SBY yang saling fitnah dan memfitnah. Misi perdamaian dengan doktrin Millati Ibrahim dan nilai keprofetikan adalah sesuatu hak dan kewajiban bagi manusia untuk menciptakannya karena sesungguhnya agama dan Tuhan tidak menginginkan perpecahan di antara manusia. Kehendak Tuhan bagi manusia untuk menginginkan yang terbaik adalah sesuatu yang wajib bagi Tuhan untuk diberikan karena Tuhan Maha Pengampun dan Maha Pemberi Kebahagian akan tetapi manusia sangat perlu untuk berikhtiar demi kebaikan yang di harapkan. Ikhtiar manusia merupakan sesuatu yang melelahkan dari pada berbuat kemungkaran atau kebijakan perang yang sangat cepat dilaksanakan tanpa berproses panjang. Proses ikhtiar yang penulis maksud bukanlah pada prilaku dehumanisasi akan tetapi pada diri manusia itu untuk kreatif dalam pembacaan diri sehingga mengenali akan identitasnya merupakan sebuah pondasi untuk menciptakan posisi tengahan antara Tuhan–manusia dan manusia–alam serta manusia dengan sesamanya. Mungkin kalau memandang hal ini dalam konteks kepentingan sosiologis maupun politik maka nilai ketuhanan tidak berlaku lagi. Begitu juga sebaliknya kalau manusia ini masih menganggap bahwa hubungan Ketuhanan–Kemanusiaan - Alamiah merupakan sesuatu hal yang hakiki dan kekal.
Menurut Imam Faesal Abdul Rauf anjuran akan mengenali diri kita dan mengenali Tuhan hanya ada dua hal yang sangat perlu untuk di perhatikan adalah sebagai berikut ; Pertama, Mencintai hanya satu Tuhan dengan segenap hati, pikiran, jiwa dan kekuatan. Kedua, mencintai sesama manusia tanpa memandang ras, agama, budaya sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri. Melakukan hal ini berarti menghubungkan diri kita sendiri dengan kebajikan sang pencita. Penolakan terhadap prinsip–prinsip ini berarti kita telah bersekutu dengan sang pencipta mengenai keburukan dan kejahatan. Dan karena sang pencipta adalah zat yang mutlak. Ajaran sang pencipta mengenai kebajikan adalah hal yang terdekat yang bisa kita dapatkan sebagai mahluk yang bergantung dan berhubungan terhadap kebajikan mutlak. Semua moral, kepentingan masyarakat, etika bertalian dengan pemenuhan kedua prinsip–prinsip ini dalam pelaksanaanya. Ketika kita mencintai seseorang adalah wajar bahwa kita mencintai apa yang dia sayangi; kita mengatakan rasa cinta kita dengan menghubungkan cinta kita dengan rasa cinta dan pilihan sang kekasih. Untuk mencintai Tuhan zat yang Maha Mutlak, maka kita harus mencintai pilihan–pilihan Tuhan. Mencintai Tuhan belumlah lengkap kecuali kita mencintai apa yang Tuhan sayangi, Mencintai Tuhan belumlah lengkap jika kita belum mencintai rasul–rasul dan utusan Tuhan25. Sebagaimana dalam Al Qur’an yang mengatakan : “Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang–orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, Kitab–kitab dan Rasul–Rasul, mereka mengatakan : kami tidak membeda-bedakan antara seorangpun (dengan yang lain) dari rasul–rasulnya. Dan mereka mengatakan kami dengar dan kami taat, mereka berdoa : Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada engkaulah kami akan kembali (Al Qur’an Surat Al baqarah : 285)”26.
Ayat di atas merupakan ucapan manusia akan perasaan cita - cintanya kepada sesama manusia dan TuhanNya dengan pengakuan yang sangat sempurna tanpa ada hakekat dan sipat diskriminatif. Dalam hal ini yang sangat penting untuk menjamin otoritas nilai kemanusiaan berada pada posisi bagaimana seorang Ulama, Tuan Guru, Cendikiawan dan Tokoh Agama berperan dalam konstalasai sosial untuk menjaga keamanan dan rasa tentram dalam struktur sosial masyarakat. Ini merupakan kerja–kerja mulia dan damai dalamkehidupan keragaman yang toleran. Secara praksisi agar kehidupan beragama yang masih bersipat mendikotomikan klaim kebenaran di tartan masing–masing umat agama agar dapat dikikis habis sehingga tidak terjadi sikap yang saling menyalahkan antara satu dengan yang lainnya. Dalam konteks ini apa yang telah di laksanakan oleh Lembaga Dakwah Muhammadiyah dan NU untuk menjamin otoritas nilai kemanusiaan pada tanggal 13–15 Oktober 2008 merupakan sesuatu hal yang menarik karena kegiatan konfrensi Internasional tentang pencegahan terhadap radikalisme agama tersebut sangatlah penting dan juga secara langsung menyerap gagasan perdamaian untuk kemanusiaan. Merujuk pada apa yang di laksanakan oleh Muhammadiyah dan NU sangat berarti dan berpotensial kedepannya untuk membangun masyarakat yang bersipat ummatan wasathan. Bahkan menjadi harapan umat manuisa agar Muhammadiyah dan NU mewujudkan cita–cita bersama dalam tatanan sosial yang berkeadaban, inklusif dan toleran27. Disisi lain para kiyai, Ustadz, Ulama, Tuan Guru, Intelektual dan Cendikiawan harus memberi pandangan terhadap umat bahwa agama Allah penuh dengan kebaikan dan ketentraman bukan melahirkan radikalisme agama. Dalam pengertian ini agar berdakwah di jalan Tuhan harus menyesuaikan dengan metode diskusi, dialog dan menyebarkan berita ataun bulletin dan lain sebagainya serta memberikan mereka suri tauladan yang baik sehingga proses dakwah sukses sesuai dengan nilai kemoderatismean27. Sesuai dengan Al Qur’an Surat Al Qashas : 77 yang mengatakan bahwa dan carilah pada apa yang telah di anugerahkan Allah kepada mu kebahagiaan negeri akherat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada mu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesungguhnya Allah tidak menyukai orang–orang yang berbuat kerusakan28. Ayat Al Qur’an ini memberikan legiimasi kepada manusia agar tidak berbuat kerusakan di muka bumi dan menuntutt kepada manusia agar bersipat moderatisme. Menurut Muhammad Imarah yang di kutif oleh Buletin Dakwah bahwa moderatisme itu merupakan ciri agama Islam yang tidak di miliki oleh agama lain dan gabingan antaran dunia - akherat, rohani - jasmani, wahyu–akal, kitab yang tertulis dan kitab yang menghamparkan alam semesta ini. Begitu juga dengan Muhammad Az Zuhaeli yang berpendapat bahwa sikap moderat (al iqtishaf) bermakna tengah–tengah, seimbang, istiqomah, adil dan mudah dalam segala urusan serta mengambil jalan pertengahan. Orang moderat adalah orang yang seimbang dan menempuh jalan yang lurus seperti dalam firmanya tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai kedaratan lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus (Al Qur’an Surat Al Lukman : 32). Kemoderatisme merupakan sesuatu yang dibutuh dalam beragama sebagai cerminan sikap tengah antara yang satu dan yang lain. Dimensi sikap moderat ini harus bersikap tenag, seimbang dan konsisten serta mengambil jalan tengah dari setiap urusan agama tanpa melebihkan, menambah dan menguranggi atau mengabaikan. Dengan sikap inilah untuk mengenal diri kita baik dalam urusan keagamaan maupun urusan sosial kemanusiaan.30
Menurut Syekh Muhammad Al-Ghazali meskipun berperangai keras dan perasaan berkobar-kobar harus lebih mengutamakan ketenangan dan kelemah lembutan daripada sikap kasar dan serampangan serta menekankan diri pada penggunaan logika (sikap rasional), walaupun terkadang jiwa kita tak menyukainya. Ini karena kita menyadari bahwa tujuan final semua ini adalah memperoleh kebaikan dunia dan akhirat. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa, apalagi secara emosional. Adalah sebuah kezaliman bila penulis membawa generasi zaman ini pada kesalahan-kesalahan besar yang kita temui. Pada waktu Rasulullah saw. mengumandangkan akidah tauhid, ratusan patung berdiri di dalam Ka'bah dan sekitarnya. Kapan berhala-berhala itu dapat dihancurkan ? Pada tahun ke 21 dari total 23 tahun perjalanan dakwah beliau! Sedangkan kawula muda aktivis menginginkan dakwah tauhid di pagi hari, kemudian berhasil menghancurkan berhala-berhala di petang hari! Maka akibat yang tidak dapat dihindari adalah konflik yang berkepanjangan, kesulitan yang bermunculan, dan mengambil jalan pintas yang fatal atas nama Islam. Ingin menegaskan kembali bahwa menegakkan Islam dan Pemerintahan Islam adalah suatu persoalan dan ingin menguasai kelompok-kelompok manusia. Upaya menegakkan Islam menuntut prasyarat yang besar, seperti keyakinan, keikhlasan, dan hubungan baik dengan Allah SWT, disamping juga membutuhkan pengalaman hidup dan hubungan dengan masyarakat, rekan-rekan, dan musuh. Sedangkan pemerintahan berfungsi sebagai penguat upaya menegakkan Islam. Sesungguhnya ada orang-orang yang sengaja menggunakan nama Islam sebagai kedok. Mereka melakukan hal-hal negatif yang dengan sendirinya telah menodai Islam. Beberapa orang telah mempelajari hukum yang dapat mengantarkan dirinya ke jenjang yang lebih tinggi dalam pemerintahan karena tujuan kesuksesan individu, mencari popularitas, dan gila kedudukan. Sebagian manusia yang mempelajari hukum padahal dia sama sekali tidak mengetahui mengenai hubungan antarnegara, hubungan internasional, agen-agen rahasia, dan sistem hubungan yang lain. Sebagiannya lagi mempelajari hukum dengan mengatasnamakan Islam padahal dia tidak mengetahui aliran-aliran dalam Islam, baik yang ushul maupun yang furu. Seandainya hukum yang dipahami oleh orang-orang yang berwawasan terbatas itu ditegakkan, tentu akan berakibat buruk bagi saudara-saudaranya sesama muslim. Dikhawatirkan mereka yang juga tidak banyak mengetahui keluasan syariat Islam justru akan memilih pemerintahan kafir yang dianggapnya adil. Ada bebrapa kelompok yang kita kenal yang membicarakan ide pendirian negara Islam, padahal wawasan mereka dipenuhi pandangan bahwa syura tidak dapat memaksa penguasa, zakat tidak wajib kecuali dalam empat jenis tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan, haramnya partai oposisi dalam Islam, memperbincangkan hak-hak manusia itu bid'ah, dan seterusnya. Apakah figur-figur semacam ini pantas mempersoalkan topik pendirian negara Islam ?31.
Kalimat Allah SWT adalah segala-galanya. Bila Allah berkenan menghancurkan kezaliman, Ia tidak menggantikannya dengan kezaliman yang serupa sesudahnya, melainkan menggantikannya dengan orang-orang Islam yang adil dan saleh. Al-Qur'an menggambarkan, "Mengapa kami tidak akan bertawakal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kamu lakukan terhadap kami. Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakal berserah diri. Orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul mereka, 'Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami.' Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka, 'Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zalim itu dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) ke hadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku.'" (Al Qur’an Surat Ibrahim : 12-14)32 Bagi orang yang hendak berkhidmat terhadap Islam dan mendirikan negara atas nama Islam, ada persyaratan yang mesti dimiliki, yaitu kesempurnaan jiwa dan intelektual. Untuk mencapai kesempurnaan ini tidak mungkin dicapai secara tiba-tiba, melainkan terbentuk seiring dengan proses kejiwaan yang sangat panjang. dengan berlindung kepada Allah swt.32 Keberagamaan yang menyimpang tentu mempunyai sebab-sebab psikologis dan lainnya yang dapat diamati. Sebab-sebab ini dapat dicermati pada pernyataan dan perilaku seseorang serta ekspresi sikap seseorang terhadap orang lain. Sebab-sebab itu mempunyai kadar masing-masing, yaitu lemah dan kuat, sedikit dan banyak. Akan tetapi, walau bagaimanapun kondisinya tetap mempunyai pengaruh yang dalam terhadap pandangan seseorang. Padahal seharusnya, ibadah-ibadah yang telah disyariatkan Allah kepada manusia dapat mensucikan jiwa, memelihara cela-cela lahir dan batin serta menjaga tingkah laku dari penyelewangan, durhaka, dan berbuat serampangan. Hal ini dapat terwujud jika orang-orang yang beribadah menghayati hakikat ibadahnya. Hati nurani dan mata hatinya bersujud kepada Allah semata ketika anggota badannya melakukan sujud serta bergetar jiwanya ketika lidahnya mengucapkan bacaan shalat. Akan tetapi, bila ibadah-ibadah yang selama ini dilakukannya baru sampai pada kulitnya, maka wajar jika ibadah-ibadah itu tidak memberikan pengaruh pada perilakunya.33
Pada suatu malam, penulis berfikir sekuat tenaga sambil menulis tentang "beberapa peristiwa yang sedang saya alami semasa menjadi aktivis kampus sampai awal–awal mengajar di Fisipol UM Mataram termasuk penulis menerbitkan buku kepemimpinan dan kaum muda untuk mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state). Ungkapan ini bukan sesuatu yang harus di kritisi dan memandang negatif, akan tetapi mari kita mencoba melihat sebuah realitas proses dakwah, politik dan pola kaderisasi Muhammadiyah, Saat itu penulis berkata dalam hati, Tabiat sebagian orang dapat mengubah sudut pandang orisinal mereka menjadi sudut pandang buruk. Penulis berfikir secara mendalam apa yang salah jika kader IMM ingin memberikan kontribusi terhadap Muhammadiyah sebagai tanggungjawab keummatan serta keberlangsungan proses revitalisasi dakwahnya ?. mengapa diantara mereka Pak Ayatullah Hadi dan Darwan masuk ke Fakultas Fisipol UM Mataram melakukan hal–hal yang tidak baik seperti black kampaign ?. Bagi penulis tidak mengerti dengan prilaku dakwah dan kaderisasi mereka, Asalkan penulis ikhlas serta mencoba meneguhkan diri dalam bermuhammadiyah. Silahkan melihat orang seperti Abu Sufyan, pemimpin senior yang terkemuka di Mekah pada masa jahiliah. Dia dikenal oleh masyarakat sebagai orang yang gemar kemegahan. Abbas r.a. pernah mengusulkan kepada Rasulullah saw. agar beliau berkenan menerangkan sesuatu yang dapat menenangkan hatinya setelah tauhid berhasil mendominasi kehidupan kota Mekah. Nabi saw. mengabulkan keinginan pamannya dan bersabda, "Ya, barangsiapa yang masuk ke dalam masjid, maka dia aman. Barangsiapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, maka dia aman. Dan barangsiapa yang tinggal (berdiam) di rumahnya, maka dia aman." (al-Hadits) Abu Sufyan bergembira karena disebut-sebut namanya dan membuka jalan untuk menyerahkan Mekah tanpa pertempuran. Kadangkala cela psikis bersembunyi di balik semangat memperjuangkan nilai-nilai dan ketegasan membela kebenaran.34
Janganlah kita mengira bahwa wujud kesombongan itu hanya dengan mendongakkan kepala atau memantap-mantapkan langkah. Kesombongan dapat pula berupa penolakan terhadap kebenaran dan meremehkan orang lain atau mencari pengakuan masyarakat. Lihatlah sikap orang yang dirundung penyakit psikis ini, mereka menerima kebenaran sebagai kebatilan dan sebaliknya. Nabi Musa a.s. menegaskan kepada Fir'aun, sebagaimana diterangkan di dalam Al-Qur'an, "Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa bukti yang nyata dari Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil (pergi) bersama aku." (al-A'raaf: 105) Al-Qur'an menyitir jawaban Fir'aun terhadap penegasan Nabi Musa a.s., sebagai berikut. "Sesungguhnya Musa ini adalah ahli sihir yang pandai, bermaksud hendak mengeluarkan kamu dari negerimu." (al-A'raaf 109-110) Tak hanya itu, Fir'aun pun mengancam orang-orang yang mengikuti dan mempercayai kebenaran yang dibawa oleh Nabi Musa a.s. sebagaimana tertera di dalam Al-Qur'an, "Apakah kamu beriman kepadanya sebelum aku memberi izin kepadamu?" (al-A'raaf: 123) Demikianlah, dari dulu hingga sekarang, selalu ada orang-orang yang menyeleweng, termasuk sebagian penguasa. Mereka adalah malapetaka bagi umatnya dan mendorong terbunuhnya ribuan manusia lemah sebagai tebusan bagi reputasi individualnya. Mereka mengklaim diri "Negara adalah aku" (l'etat chest moi). Anarki politik merupakan lahan subur bagi pertumbuhan Fir'aunisme. Amat disayangkan, Fir'aunisme di Timur lebih banyak ditemui ketimbang di Barat. Fir'aunisme ini merupakan batu sandungan terbesar bagi perkembangan bangsa-bangsa mana pun. Ini karena rahasia penyebaran sifat-sifat jahat, baik kecil ataupun besar, berada di tangan isme ini. Kekacauan politik jangan dijadikan alasan untuk membolehkan penyelewengan akidah dan ketidaklurusan fikih. Islam bukanlah agama yang menutup-nutupi penyimpangan. Islam justru membersihkan dan melawan penyimpangan. Menurut pengalaman penulis, agama merupakan pendorong untuk melakukan berbagai kebajikan. Para pelaku penyimpangan biasanya menyembunyikan penyakit-penyakit psikisnya dengan rakaat-rakaat yang dilakukannya. Mereka selalu berpikir negatif terhadap orang lain. Benaknya dipenuhi dengan menyalahkan orang lain, bukan pengampunan. Mereka tahu bahwa cabang-cabang Islam tujuh puluh lebih, tetapi mereka tidak bisa membedakan kepala dengan ekor, tidak membedakan fardlu dengan nafilah, dan pelaksanaan yang mereka ketahui hanyalah yang mereka tetapkan.35

Sebuah Perangkat Jalan Tengah : Harmonisasi Nilai Dan Sosialisme Qur’ani :
Saya berasal dari keluarga miskin dan perantau campuran Bima—Sumbawa, saya ditakdirkan lahir pada sebuah kampung yang tak jauh dari kota kecamatan empang yakni kota yang berada tepat ditengah—tengah pulau sumbawa yakni dusun bonto desa labuhan bontong. Keberadaan saya ditengah keluarga di didik sekeras-kerasnya, apabila ada yang mengejek bisa berlaku sabar tapi kalau kelewatan maka bahasa pelajarannya adalah bunuh mereka, saya pernah di gantung karena tidak mau mengaji, saya pun melawan karena sebuah sistem pelajaran yang tak ada bagusnya, akan tetapi saya bisa mengaji dengan pelajaran bimbingan rutin seorang guru, saya sering berkelahi karena sema teman saya mengejek dan mencela kepribadian saya, kehidupan saat itu begitu amburadul dan tak pernah menemukan sebuah keyakinan akan ketuhanan karena pelajaran yang diberikan adalah pelajaran Al Qur’an ortodoks, sehingga keamburadulan tidak ada korelasi dengan doktrin nilai implementatif Al qur’an. Semenjak setingkat Madrasah Aliyah Negeri 3 sumbawa besar, kita dituntut untuk menghafal Al Qur’an secara paksa, tanpa sebuah pembacaan yang fasih sehingga kita menjadi manusia yang tidak substantif Islamanya. Sesampai di perguruan tinggi pun saya mengenal IMM kemudian melebur kedalam untuk mengetahui bagaimana cara berislam dengan baik, ternyata di IMM bukan tidak menemukan Islam yang sebenarnya (Ad Dinul Islam), akan tetapi Islam yang substantif belum pernah dikabarkan sebagai sebuah pembaharuan dikader IMM sebagai ciri arguentatif mereka untukmenjawab zaman yang penuh dengan darah, TBC modern. Keputusan memilih Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah adalah sesuatu yang mengurita dari sebuah konsep generasi Islam. Memang dinamika IMM dalam menyuguhkan ruang keberagaman itu wajib kita pertanyakan ?, oleh karena di penuhi oleh manusia-manusia yang tidak konsisten, bicara Islam yang sangat benar, tapi masih saja terjadi kelayapan dalam mengambil keputusan, ibarat seorang pemimpin yang memutar balikan fakta. Melihat feomena seperti ini, suara hati timbul dari jiwa sanubari yang paling dalam dan darah yang selalu bergetar mencari sebuah kebenaran dan perubahan, karena memang saya berangkat dari keluarga miskin yang memaksakan anaknya bersekolah dan menuntut ilmu walaupun semua harta benda dimakan oleh sisitem pendidikan yang tidak tercerahkan, menuntut ilmu bukan karena apa-apa tetapi doktrin orang dengan jargon ”kalian harus cerdas, baca buku banyak-banyak, rajin tuntut ilmu, menanam karya lebih penting agar dipetik orang lain, kalian harus berhasil dalam mencapai pendidikan yang lebih tinggi walaupun kami (orang tua) membungkuk menanam benih padi, jagung, kedelai, kacang, membajak diatas terik matahari, pagi bekerja hanya sesuap nasi—pulang belum tentu makan karena makan pagi cari pagi, makan sore cari sore”. Ratapan sedih atas nasehat orang tua begitu mencekam atas dosa-dosa malas yang kita buat sendiri, meminta uang smoking melalui surat yang bergambar kepalan tangan memukul, hal ini adalah sebuah kesalahan yang kebanyakan terjangkiti oleh mahasiswa pada umumnya.
Kami menuntut IMM dalam konteks ke-mataram-man (Baca bahasa sumbawa : datang kemataram mau masuk IMM atau tidak), penuntutan ini merupakan proses pembangunan kritik yang maju, karena memang kita IMM belum tercerahkan fitrahnya sebagai manusia yang menghargai keberagaman berfikir, pendaftaran awal masuk ke IMM ibarat selembar kertas yang tak pernah ada goresan tinta warna dan tak pernah ada variasi guratan warna Islam sebelumnya. Bagi IMM adalah lahan empuk untuk didoktrin sampai titik darah penghabisan. Netral tanpa beban apapun, kita tak pernah menanggung sejarah masa lalu. Anggapan kita bebas menentukan masa depan dengan harapan intelektual kita menjulang tinggi, karena yang selalu ada dalam benak kita adalah ulasan-ulasan nasehat orang tua yang tak pernah hilang dari perjalanan masa itu. Tapi sayang nuansa nasehat orang tua tidak ada ruhnya karena saya berfikir antara salah pilihan atau memang benar pilihan. Keraguan pun terus menyelimuti lubuk hati karena keinginan untuk perubahan dari manusia terkontaminasi menjadi manusia yang akomodatif. Sekali lagi sayang, bagi paradigma IMM yang memandang kader dengan pemaknaan yang subyektif, padahal kita semua adalah manusia yang bebas berfikir tanpa ada intervensi intelektual. Kita lahir dari sebuah lokus budaya tertentu, tetapi apabila kita mengunakan lokus itu maka kefitrahan kita di IMM akan tercoreng di mata Tuhan karena lokus budaya tersebut merusak nilai kemanusiaan. Seharus menyikapi pluralitas bagi IMM adalah sebuah fitrah yang dari awal sudah lahir tanpa ada penekanan, karena mencari sebuah kebenaran adalah hak semua individu, dari individu itulah yang akan merasakan mana yang manis dan pahit. Kita di IMM hanya senang berlindung dibawah ketiiak bapaknya. Padahal IMM memiliki sejarah tersendiri begitu pula dengan bapaknya pasti memiliki sejarah sendiri. Ketidak kreatifan inilah yang membuat kita selalu berbuat TBC modern oleh karena dengan gagasan pragmatis utopis (hanya sebuah khayalan).
Mau tidak mau, terpaksa maupun tidak, kini kita bahkan semua manusia telah hadir kedalam bentuk yang unik. Pengandaian selama ini memang benar terjadi kita telah tercerabut dari apa yang semestinya kita kembangkan dan kita cari. Menjadi pembicaraan yang nyaris tanpa guna oleh karena didominasi oleh ortodok yang kaku dan sesat, Jauh panggang dari api. Dengan demikian, jalan satu-satunya adalah kiranya kita harus mengubah lagam paradigma berfikir dari apa yang tidak seharusnya menjadi apa yang seharusnya kita sampaikan, dari apa tidak ada dalam realitas ke apa yang ada dalam realitas kita masa kini dan masa depan. Cobalah kita lihat diri kita sekarang ini apakah kita sudah menjadi manusia yang benar-benra hamba Allah, apakah kita ini tidak berusaha mengenali diri kita—baru kemudian mengenal Allah, apakah diri kita sudah mampu menerima realtas keberagaman berfikir bebas—tanpa ada tendensi apapun itu ?. Jangan-jangan kita hanya mampu menghafal Al Qur’an dari A sampai Z dan berfatwa dengan berbagai macam hadis, kemudian kita menekan dan mencoreng nama baik kita dengan meninggalkan luka pada orang lain ?. Memang sungguh meyakinkan manusia ini yang tak pernah bisa menjadikan orang lain sebagai sahabat sejatinya yang saling memberi dan memaafkan. Saya ingin klarifikasi dari sebuah bahasa banyak warna dan bahasa ”saya kira sudah mati” serta bahasa ”suda saya cuci otaknya” yang membuat saya selalu tersenyum simpul sambil hati ini berkata kepada dia ”syukur kepada Tuhan, ada yang mengatakan seperti itu, tetapi dia bagi ku sebuah Islam yang kosong seperti Hitler yang menghilangkan martabat kemanusiaan depan orang lain” Mungkin dalam penulisan buku ini bahasa itu banyak makna bagi saya ketika terjadi sebuah pergulatan eksistensi manusia dalam mencari entitas ilmu pengetahuan, disisi lain bahasa itu hanya ketika tertidur tidak mengingatkanya, disaat bangun pun terlintas dalam pola pikir yang membigungkan. Karena memang sebuah bahasa yang mencoreng martabat orang lain, inikah manusia Islam yang baik, Inikah jalan dan caramu untuk membantai orang lain, Inikah yang kamu katakan bahasa Islam yang benar wahai manusia yang tersesat (domba-domba tersesat) ?. Harus di ingat pencarian atas kebenaran berangkat dari ruang hampa dan ilmu yang tak pernah hampa. Permasalahnya sekarang bukan lagi berkutat pada wilayah ”masih otentik” atau ”sudah terkontaminasi”, jika pengandaian itu pada kenyataannya sesuatu yang utopis. Yang perlu dan mendesak kita bina adalah bahwa keyakinan akan Ketuhanan memiliki daya maju yang signifikan untuk membentuk sintesa-sintesa baru. Bukankah IMM lahir sebelumnya dari tesis-tesis historis antara ruang hampa dan tidak hampa, begitu juga dengan saya tentu lahir dari candradimuka IMM ingin mengisi ruang hampa dengan kebenaran illahiah melalui keberagaman dan kebebasan berfikir dalam meneguhkan keberimanan melalui Islam substantif sebagai alat iqra (alat baca).
Maka oleh karena itu dengan berbagai pergulatan pemikiran yang membentuk sebuah opini intelektual melalui alat baca progresif malahirkan sebuah format jalan tengah (syafrilisme) sebagai teori dan teologi perdamaian dari sebuah konflik yang dialami oleh manusia untuk menuju Islam keislaman (perdamaian). Tentu alat baca tersebut adalah harmonisasi nilai demi mencapai masyarakat damai sejahtera (baldatun tioiyibatun warabbun gafur). Harmonisasi nilai terdiri dari komponen yang harus dipahami baik oleh kaum marxisme maupun oleh para agamawan yang masih tidak percaya bahwa Islam benar damai yakni Tauhid Illahiah (nilai keesaan), Al Iqra Wa Al Fikri, Spiritualitas Islam (nilai damai), dan As Syams artinya Matahari (was syamsu wa dhuha haa ”Demi matahari dan cahaya di pagi hari”), surat ini berisi dorongan kepada manusia gar senantiasa membersihkan jiwanya untuk mendapatkan keberuntungan dunia akherat. Islam Sebagai salah satu dari sekian pluralitasnya Asma (agama) jumlah penganut terbilang besar. Namun jika kita cermati lebih mendalam maka kita akan mendapati bahwa sebagian besar dari umat Islam di dunia ini masih memahami Islam sebagai sederetan dogma dan aturan baku yang merupakan harga mati dan melulu hanya berbicara mengenai hal-hal seputar akhirat (heaven oriented). Kebanyakan dari mereka asyik memperbincangkan keindahan surga yang dibangun Tuhan dengan arsitektur glamor, dibanjiri aneka permata, berhias cawan-cawan emas yang berisikan anggur, dilengkapi beragam jenis hidangan lezat, dan hal-hal indah lain yang belum pernah terlintas di benak manusia. Sebagai akibatnya keseharian mereka dipenuhi dengan berbagai aktivitas yang bertujuan bagaimana agar mereka bisa tinggal di kastil-kastil megah surgawi, dikerumuni puluhan bidadari, dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas supermewah lainnya yang memanjakan. (Muhammad dan sosialisme qur’ani, tulisan ini pernah di muat pada Majalah Syiar terbitan ICC al-Huda edisi maulid op.cit. 2009 htttp://indobos.blog.frenster.com/2008/12).
Sementara di lain pihak ada sebagian dari umat Islam yang sibuk membahas sisi kelam hari akhir, mereka sibuk mempertakuti diri mereka dan orang lain dengan ancaman neraka. Perbincangan mereka biasanya tak jauh dari panasnya jilatan api Jahannam, kejamnya bara Dark al-Asfal yang membuat otak mendidih, dan teror-teror akhirat lainnya. Hal ini berdampak pada keseharian mereka yang dipadati dengan agenda-agenda untuk menghindarkan diri dari kelamnya masa depan akhrawi. Di lain sisi kita juga masih bisa menyaksikan sebagian lain dari umat Islam yang dari masa ke masa hanya memperselisihkan masalah jenis-jenis air, ada yang suci, suci tapi tak dapat digunakan bersuci, ada yang terkontaminasi (mutaghayyir mutanajjis), dan seterusnya. Hari demi hari mereka tak lebih dari perbedaan pendapat perihal bersuci yang paling benar itu bagaimana, bilangan rakaat tarawih yang sebenarnya berapa, apakah rokok haram ataukah makruh, bolehkan zakat fitrah dibayarkan dengan uang atau harus dengan makanan pokok, dan hal lainnya seputar problematik fiqh. Namun sungguh sedikit sekali dari mereka yang dari sekian banyak umat Islam untuk menyisihkan waktu dalam hidupnya memfokuskan pikiran dan potensi dalam dirinya guna membebaskan kaum lemah yang hari demi hari kehidupannya terpenjara dibalik jeruji dan terali sistem yang tertindas. Jika kita perhatikan kaum mustadh’afin sangat mebutuhkan bantuan dan pengentasan kemiskinan secara kolektif, bukanlah fatwa ulama yang melarang miskin, bukan pula cerita-cerita dunia akherat yang tidak realistis kondisinya. Namun yang lebih mendesak dan harus diprioritaskan adalah bagaimana mereka bebas dari belenggu kelaparan, dari wajah monster penindasan sosial dan ekonomi. Sudah saatnya umat Islam terutama mereka yang memiliki potensi serta otoritas yang tak lagi berkubang dalam lumpur ikhtilaf, untuk tak menghabiskan waktu dalam memperdebatkan problematik furu’ dalam fiqh yang bersifat sektarian. Hal ini berangkat dari keyakinan kita bersama bahwa Muhammad saw diutus Tuhan bukan hanya sebagai seorang imam sholat, tidak hanya berkhotbah di mimbar-mimbar Asma (agama), akan tetapi beliau dipilih Tuhan untuk memimpin suatu revolusi dengan tujuan memberikan pencerahan sekaligus pembekalan ahlak dan aqidah secara global. Dari hasil kerja dakwah dan pembebasan Muhammad telah menoreh kegemilangan besar dengan platfor keislamannya demi mengubah wajah peradaban dunia dari jahiliyah menuju peradaban keislaman (kedamaian). (Ibid Muhammad dan sosialisme qur’ani, tulisan ini pernah di muat pada Majalah Syiar terbitan ICC al-Huda edisi maulid htttp://indobos.blog.frenster.com/2008/12). op.cit. 2009).

Muhammad Tokoh Revolusi Makkiyah Madaniyah
Kisaran tahun 571 M. antara Nejed dan Tihamah, Hijrah dengan salah satu kota di selatan yang pada gilirannya menjadi tempat kelahiran Islam mempersembahkan kepada umat manusia di dunia seorang bayi mungil keturunan Bani Hasyim dari suku Quraish. Seorang bayi suci yang diasuh dalam bualan kesederhanaan, yang dididik dengan kurikulum kejujuran. Pribadi yang sejak dini telah membekali diri dengan berbagai keterampilan termasuk di bawah pengawasan pamam tercintanya, Abu Thalib. Muhammad bin Abdullah SAW, bayi mungil yang menggeliat berubah, melewati hari demi hari dalam hidupnya dengan berbagai terpaan dan pengalaman yang membentuknya menjadi sosok pria dengan potensi multidimensi. Mekkah Mekkah dalam bahasa Saba disebut Makuraba yang artinya suci, Ptolemius menyebutnya Macoraba. Definisi ini menunjukkan bahwa sebelum kelahiran Islam, Mekkah telah menjadi pusat kegiatan ritual keagamaan. Lihat Philip K Hitti, History of The Arab, hal. 130. menjadi saksi atas tiap langkah yang diayunkannya dengan pasti, kota suci ini menjadi saksi bagaimana beliau selepas menerima wahyu di Hira berjalan dengan sorban pengetahuan, dibalut baju kesederhanaan, berjubah kemaksuman, dan bersenjata keimanan. Allah memilihnya untuk diutus sebagai penyelamat umat manusia, untuk mengangkat mereka dari jurang kelam penindasan dan eksploitasi, mencerahkan mereka dari pekatnya ke’jahil”an, dari penolakan mereka teradap ajaran Hanif, dari berbagai pertentangan dan perselisihan kepentingan aristokrat. (Hashim al-Musawi, The Shia: Their Origin and Beliefs, hal 13). Muhammad SAW diutus Allah untuk menyelesaikan problematik multikompleks yang ada di kehidupan manusia. Allah mengutus para nabi dengan bahasa kaumnya. (Yang dimaksud dengan bahasa kaumnya bukanlah bahasa Arab, karena mustahil Muhammad yang berdarah Arab dan berdakwah di masyarakat Arab menggunakan bahasa Cina, Korea, Yunani, dan sebagainya. Namun yang dimaksud adalah sarana komunikasi sosiologis yang bicara perihal apa yang dibutuhkan umat, yaitu bahasa solusi. Lihat Dr. Ali Syariati, paradigma kaum tertindas.) Begitu pula dengan Nabi SAW, beliau diutus dengan bahasa pembebasan, bahasa pencerahan, bukan bahasa perintah dan ancaman. Nabi SAW diutus oleh Allah SWT sebagai penyampai misi (risalah). Lantas terlintas pertanyaan di otak kita tentang apa sebenarnya misi kenabian beliau. Apakah hanya menuturkan untaian firman Ilahi yang diwahyukan atasnya. Atau hanya bersabda perihal tata cara beribadah. Tidak, sekali-kali tidak semata untuk itu. Namun lebih itu Muhammad saw sebagai juru selamat dan pembawa solusi bagi setiap permasalahan kehidupan manusia. Muhammad saw bukan sekedar imam yang hanya berada di shaff utama untuk memimpin shalat, tapi juga seorang panglima yang bersiaga di garda terdepan setiap medan peperangan untuk melawan penindasan sistem kaum qurais. Muhammad saw memiliki keahlian khotbah dan ceramah yang mengugah semangat kaum muslimin dan umat Islam seutuhnya untuk menghimbau tetap istiqomah dan agar sabar dalam menghadapi masalah, Muhammad saw bukan hanya seorang rohaniawan yang menenangkan umat dengan mengumpulkan mereka di majelis-majelis, tapi beliau adalah konseptor sistematis dengan menjamin keamanan baikumat islam maupun orang kafir (ahl-dzimmah) di Madinah.
Muhammad saw seorang sosialis yang memberi makan kaum lemah, meski hanya segenggam gandum atau sepotong roti sebagai jatah makannya dan merelakan batu mengganjal perutnya yang terikat kuat di pinggangnya demi terkenyangnya perut orang beriman dan lemah. Muhammad saw, bekerja pada pagi hari mengangkat batu dengan bertujuan membangun tembok masjid dan malam harinya mengangkat telapak tangannya yang kasar seraya memohon perbaikan nasib umatnya, dan ketika mentari menyala beliau mengibas-ngibaskan pedang atas tentara kuffur dan ketika gelap datang tak bisa tidur karena memikirkan umatnya yang masih sengsara. Muhammad saw, yang ketika Bilal mengumandangkan adzan, beliau memimpin shalat dan ketika makan tak pernah tenang karena menghawatirkan umatnya yang masih kelaparan. (Ibid htttp://indobos.blog.frenster.com/2008/12) Penulis jujur menangis dan lugu dalam menulis apa yang ada diotak saya tentang seorang Muhammad saw, karena dengan segara kerja-kerja fikir dan pisiknya tak pernah bisa ada waktu memikirkan untuk melakukan perbaikan gizi dirinya, untuk kekayaan keluarganya ataupun kemasyhuran sukunya. Muhammad saw adalah seorang penganut sosialisme yang sangat berbeda dari apa yang dipahami oleh karx marx dan enggels. Muhammad saw seorang berkepribadian yang agung. Beliau bukan elit politik yang melakukan distansiasi terhadap massa umatnya, namun seorang pemimpin yang melebur di kelas akar rumput guna mendengar kritik dan keluhan umatnya. Jika sedemikian sempurnanya beliau, lantas mengapa ajarannya ditolak oleh sebagian Quraish. Jika begitu santun dan sederhananya beliau lalu kenapa segelintir elit Quraish membenci, memusuhi, bahkan berulang kali berusaha membunuh beliau. Rakyat Makkah—Madaniyah yang melakukan penolakan serta pelemparan batu kepada Muhammad saw. Mereka yang meyoritas tak pernah mengerti perihal detail teologi Islam (teologi perdamaian). Mereka menolak karena provokasi oleh Aristokrat Quraish yang merasa eksistensi mereka terancam dengan kemunculan Muhammad dalam membawa Islam yang anti kasta/kelas. Mereka merasa tersaingi dan pamor mereka sebagai elit akan tertandingi dengan kepemimpinan Muhammad saw yang ketika itu masih 27 tahun yang sangat muda dan progresif—revolutiv. Intinya kekhawatiran elit Quraish bukan semata-mata pada aspek teologis sebab kehidupan mereka yang hedonistik terbilang tidak relegius, namun lebih didasarkan pada aspek sosial, ekonomi dan politik mengingat kedudukan mereka pada lapisan atas sangat menjamin kesejahteraan mereka dengan status sosial istimewa dan berbagai kemewahan lainnya. (Ibid htttp://indobos.blog.frenster.com/2008/12)

Tidak ada komentar: