Kembali Dari Pencarian Teori
YANTO SAGARINO SAMAWA TARIANO
Kehadiran orang tua saya sangat berarti dalam hidup yang pernah saya lalui karena mereka awalnya telah mensyahadatkan jiwaku. Namun banyak hal yag perlu saya ungkapkan dalam hal ini, bahkan kebanyakan orang tua menginginkan anakanya apa yang di inginkannya. Mereka berusaha mengkaderisasikan anaknya agar menjadi orang berguna tentunya dengan berbagai perangkat dan metodologi pembelajarannya, sebagai rasa pertanggungjawaban mereka kepada Tuhan nantinya. Semua paradigma keilmuan dan konstruksi pengkaderannya kita terimah begitu saja tanpa ada filterisasi terlebih ketidakberdayaannya dan tidak ada daya upaya untuk menolaknya. Semua doktrin yang mereka sampaikan kita telan mentah-mentah secara mulus tanpa hambatan. Karena memang faktor pendukung mereka dalam kaderisasi harus mengikuti apa yang mereka katakan walaupun mereka juga sama besoknya seperti kita. Sebuah pemaksaan yang licik dan mengalir begitu saja mencengkram urat nadiku, bercampur dengan darah merahku, sungguh rugi saya dalam hidup ini karena tidak ada kawan untuk melawan wacana ortodoks—ekslusif yang sering membuat onar dan penerimaan itu pun hanya sia-sia, karena yang saya inginkan bukan sebuah hegemoni dalam sistem pembelajaran atau perkaderan. Keberadaan dalam wacana ortodoks—eksklusif sama saja memposisikan saya dalam ketidakpahaman tentang pencarian spiritualitas intelektual. Terkadang kami berbeda dalam berargumentatif sudah di katakan keluar dari Islam, maka dalam keadaan itupun sama saja kita berada dalam ketiadaan nilai-nilai ketuhanan. Itulah hal pertama yang saya rasakan sangat berbeda dari jiwaku, yang pada akhirnya kita secara pribadi tidak ada keautentikkan sebagai manusia—ketuhanan. Kita telah hadir dipanggung historis (sejarah) yang telah mengantongi banyak nilai, idiologi dan tradisi tertentu. Saya ingin hadir sebagai sosok manusia yang bebas dari tekanan doktrinal dan ingin memiliki nilai. Mari kita lupakan semua warisan masa lalu dari hasil doktrin orang tua yang membiuskan mulut untuk berbicara dan otak untuk berfikir. Baik berupa konstruk sosial dan konstruk idiologi perjuangan. Kini saya telah keluar dari pencarian entitas pengetahuan yang serba melelahkan, dengan memilih Islam sebagai agama yang lebih dari agama Islam orang tua. Kini kita masih muda dan energik, dimana kita mengingat pembaptisan orang tua kita dengan kalimat syahadah bahwa tidak ada Allah selain Tuhan dan bahwa Nabi Allah adalah Muhammad saw. Agama ku Islam, bagaimana seharusnya mencintai dan menyembah Islam dengan baik, dengan konsekwensi melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya. Orang tuaku mengamanahkan Islam (damai) kepada ku dengan mengatakan bahwa Islamlah yang meyelamatkan semua orang di dunia, maka kamu harus berislam dengan baik dan, agar semua apa yang kamu kerjakan mendapat ridho Allah swt. Karena dengan memilih jalan keselamatan berarti kita akan mencapai syurga adnin yang dihadiahkan oleh Allah swt”. Pesan ini disampaikan oleh orang tuaku pasca seorang yang beragama Islam datang kerumah dengan bacground Islmanya itu adalah LEMKARI (sekarang : LDII), orang tuaku mengetahui LDII ini adalah aliran yang telah di fatwakan oleh MUI sesat. Akan tetapi mereka masih eksis di kampungku, bahkan mereka memiliki fasilitas dakwah yakni masjidnya dan tak jauh dari rumah tempat aku dilahirkan.
Apa yang disampaikan oleh orang tuaku memiliki makna yang sangat luar biasa, dimana bisa membuat anaknya menukmati kedamaian dalam beragama Islam, setiap pelajaran serius kuterima dengan penuh keangungan. Memaknai amanah orang tua ku pada pasca sarjana, yang masih memiliki keilmuan relatif kurang, bahkan dibilang tragis. Karena sebelum aku menjadi sarjana, aku melalkukan hal-hal apa yang aku inginkan agar aku menjadi orang baik dan terkenal, tentu hal yang aku lakukan adalah mengkonsumsi semua pemikiran intelektual tanpa disaring melalui pembacaan buku dan praksisnya. Pemikiran yang dominan saat itu adalah Islam kiri ajaran hasan hanafi, namun dalam pencarian kebenaran marxisme dan hasan hanafi itupun terreduksi bahkan dibilang tidak menjadi mainstream berfikir lagi, oleh karena dalam satu tahun mencari titik kebenaran semua teori dalam Al Qur’an. Ternyata hasil apapun yang di sebut oleh manusia di dunia ini baik sebelum kehidupan maupun pasca kehidupan, sudah di sebutkan dalam Al Qur’an dan semua teori apapun ada pada Al Qur’an dan bertolak pada berbagai konsep yang diajukan oleh Muhammad saw. Berpijak pada pembacaan dalam Al Qur’an dan mengelaborasikan dengan semua teori yang pernah saya baca, ternyata teori dan mazhab apapun yang digagas oleh manusia hanya untuk merusak dan sangat sedikit yang membela nilai ketuhanan. Maka oleh karena itu kehadiran teori syafrilisme merupakan hasil kajian saya, untuk membangun peradaban perdamaian yang hakiki dan berlandaskan nilai ketuhanan sejati, serta menuju kepada Tuhan yang satu walaupun manusia dan agama didunia ini dalam keadaan pluralitas. Masa Allah.......Allah Maha Menciptakan segala sesuatu. Kemudian pada pertengahan bulan okteober 2009 saya mengikuti pelatihan ISQ, sebuah organisasi yang mengorgnisir manusia untuk memantapkan karakter kepemimpinannya dan buka hanya itu saja ISQ berorientasi pada peningkatan kekuatan dan daya intelektual, spiritualitas emosional-quetional. Organisasi ini dipimpin dan didirikan oleh Bapak Ary Ginanjar Agustian, secara pribadi menaruh perhatian dan simpatik pada teori yang beliau gagas atas hasil perenungannya untuk mencari eksistensi kemanusiaanya. Sejak itu saya mendapat kehormatan dari bapak Ari Ginanjar Agustian yang diteruskan kepada bapak Abdul Hafifi seorang mantan Pemuda Muhammadiyah Jawa Titmur dan ISQ berperan sebagai sekretaris eksekutif ISQ NTB. Abdul Hafifi memberkan rekomendasi dan sertifikat kepada saya untuk mengikuti pelatihan ISQ beberapa hari. Singkat cerita setelah saya megikuti, saya merasakan sebuah getaran jiwa terpanggil untuk berbuat dan meluruskan semua orang lurus di dunia ini maupun orang yang telah berbuat zolim kepada sesamanya bak itu Islam maupun non Islam.
Oleh karena realitas yang kita lihat sekarang ini, dunia begitu mencekam ketika terjadi ketegangan antara Iran dan Israel—Amerika Serikat yang ingin menyerang Iran pasca pelatihan militernya disebelah selatan kota teheran saat itu dengan alasan Iran tidak boleh uji coba nuklirnya, akan tetapi sangat mengherankan ketika TVONE menyiarkan secara langsung tentang pengayaan uranium nuklir Amerika Serikat dan Israel tidak ada yang berkomentar apa-apa—dunia pun diam dan membisu saat itu. Begitu juga dengan fakta yang terjadi ditingkat para pemuda kaum muslimin di indonesia ambil saja contoh pada pemuda Bali Lombok—Lombok asli kebanyakan mereka pengangguran, dan senang meminum tuak/alkohol, mereka selalu membuat orang lain tidak tenang, mengambil uang orang-orang yang berjalan untuk pesta minuman, balap-balapan menganggu tata tertib lalu lintas, menyebarkan isu bohong bahwa mahasiswa pulau sumbawa akan swepping plat motor EA untuk dipukul dan di bunuh oleh pemuda sekarbela Mataram oleh karena orang pulau sumbawa membunuh orang sekarbela Mataram, inilah isu yang telah mengganggu ketenteraman dan kebahagiaan orang lain, kemudian di Jawa Timur juga terjadi perkelahian antara warga dengan pemerintah, pencurian motor karena kesulitan ekonomi, penggusuran PKL oleh pamerintah yang dianggap tidak manusiawi, sebuah penindasan yang terjadi atas pemberlakuan sistem ekonomi kapitalisme, mengapa tidak terbukti menjalankan semua programnya justru pemogokan buruh pabrik karena PT tersebut mem-PHK-kan pekerjanya kemudian tidak dibayar gaji tunjangan dan gaji pokoknya, belum lagi anggota DPR RI dan DPRD kebanyakan mereka menduduki posisi jabatan penting padahal mereka tidak ada geliat untuk merubah rakyat menuju perubahan signifikan, oleh karena mereka pendidikan politiknya sangat minim, apalagi anggota dewan di indonesia beberapa bagian manusia yang ikut dalam pemilihan legislatif kemudian mereka lolos, padahal mereka notabenenya dari penjudi atau peminum alkohol sehingga membuat bangsa ini tambah gila saja. Itulah realitas yang saya hadapi saat itu pasca pelatihan ISQ, sehingga membuat jiwa dan tubuh ini bergetar untuk mengatakan kalianlah yang merusak bangsa dan negara ini, bagaimana mau menjadi negara kuat, adil dan makmur kalau saja semua partai politik tidak ada kemauan yang pasti untuk memperbaiki karakter bangsa ini, hanya yang ada pembicaraan bagaimana posisi agar bisa menjadi menteri kabinet, menjadi Deputi Bank Indonesia, menjadi pengacara yang hedonisme yakni mau menangani kasus yang banyak uang seperti korupsi pejabat lembaga negara dan menteri, akan tetapi pengacara hukum bangsa ini ternyata belumlah ikhlas untuk membantu masalah kaum dua’fa dan benar-benar miskin ketika ada masalah karena tidak mampu membayar pengacara, mereka apun terpaksa melaksanakan sidang tidak ada pengacar. Memang mental hukum kita inikan mental korup dan tidak ada keadilan. Begitu juga dengan dunia intelektual Islam maupun nasionalis Islam saat ini kebanyakan mereka tdak peduli dengan kondisi masyarakat yang serba miskin. Saya pernah bertemu dengan bapak Hendri berumur 40 tahun di sebuah terminal bus Bungur Rasi Surabaya seorang kesehariannya menjual Bakso di kompleks terminal tersebut. Saya masuk ingin membeli baksonya sebelum Bus Titian Mas berangkat ke Mataram, bapak Hendri menanyakan saya ”Mas dari mana ?” jawab saya dari ”Sumbawa – NTB”. Bapak Hendri pun melanjutkan pembicaraanya dengan bercerita kepada saya ”Mas sekarangkan masa pemilu, tadi pagi ada orang yang datang kekontrakan saya dia membawa daftar nama-nama orang untuk diambil KTPnya sebagai syarat ikut calon legislatif, tetapi orang itu Dosen sebuah Universitas, orang itu sangat pintar berbicara kalah-kalah presidennya”. Lama-lama dalam pembicaraanya karena saya tidak mau mengeluarkan KTP saya, dia (dosen) mengeluarkan uang 10.000.000 (Sepuluh Juta), saya tanya ”untuk apa pak ?” untuk operasional kamu mencari KTP buat saya. Kemudian saya menjawab ”wah saya ridak bis amenerimah uang seperti itu pak”.
Sekilas cerita diatas, merupakan sebuah fenomena yang memang harus disikapi oleh dunia pendidikan khususnya, karena mental korupsi semua manusia ini bukanlah berasal dari seorang tukang jual bakso dan kaum miskin, akan tetapi yang membuat korupsi dan ulah tangan serakah di negeri yang mayoritas umat Islam adalah berasal dari kaum intelektual dan para aktivis organisasi Islam maupun agama lainnya. Inikan suatu metode pembelajaran pendidikan kita yang tidak pernah bagus, harapan manusia Indonesia, apalagi rakyat miskin bukanlah kepada rakyat malaysia yang diseberang lautan sana, akan tetapi harapannya ada pada para sarjana lulusan universitas-universitas yang belum mampu mengembangkan keilmuannya untuk mengabdikan diri pada bangsa ini secara ikhlas dan bersahaja demi masyarakat Islam yang damai dan sejahtera. Sekarang hobi intelektual kita adalah masuk politik dengan kosekwensi alasan dakwah politik akan tetapi justru melakukan penghianatan martabatnya sendiri. Para intelektual kita dalam berpolitik belum memaknai apa yang dimaksud oleh kekuasaan dan pasti mereka ingin mempertahankan diri dengan status politiknya mereka sendiri, justru yang harus dimaknai oleh para intelektual kita adalah bagaimana mengorganisisr kehendak As Syaff (Rakyat) agar bersama-sama menciptakan sebuah masyarakat damai sebagaiman Allah kehendaki sesua dengan fungsi manusia ”bukanlah membuat kerusakan tetapi memelihara dunia ini agar tempat kita hidup penuh makna Islam (damai) secara total serta mengajak berbuat baik dengan segala pengorbanan harta dan jiwanya demi kemuliaan hidup”. Belum lagi TKI dan TKW yang berada di negeri Jiran—Malaysia, Korea, Amerika, Jepang, Arab Saudi, Madinah—Makkah, Hongkong, Singapura, dan lain sebagainya. Kita serng mndengar ada penyiksaan yang sangat luar biasa oleh majikannya, misalnya ada yang diperkosa sampai hamil dan melahirkan, ada yang disiksa dan dipukuli majikannya, ada yang lari dari rumah majikannya karena tidak dibayar gaji kerjanya, ada yang disiram air panas oleh majikannya, ada majikannya yang menyuruh anaknya untuk menjalin hubungan intim diluar nikah dengan pembantunya, ada yang menikah dengan majikannya kemudian setelah menikah dipulangkan kekampung halamannya. Rata-rata yang berangkat untuk menjadi budak atau pembantu adalah umat Islam yang sudah bersuami, ada juga berstatus belum kawin, bahkan lebih parah bisnis wanita kerja Indonesia di bawah umur untuk diberangkatkan menjadi TKI/TKW oleh para sponsornya. Negara ini sebenarnya harus mengatur regulasi yang pas dan tidak membuat celah bagi sponsor untuk membohonggi semua orang, begitu juga dengan umat Islam sangat senang anaknya diberangkatkan padahal pekerjaan anaknya tidak mudah dan sangat berat, ini dalam prinsip Islam melanggar norma-norma keislaman karena memang anak/Istri/suami/cucu dan lain sebagainaya itu adalah Rahmat Tuhan. Berarti tidak boleh mealakukan pentiksaan terhadap anak, karena prinsip Islam yang sesunguhnya adalah menciptakan kedamaian diantara sesama manusia yang lainnya. Dalam konteks budak pun atau pembantu dalam prinsip Islam sungguh menakjubkan, bagaimana sejarah Rasul saw memerdekakan budak sebanyak-banyak, agar mereka tidak mendapat penyiksaan dari majikannya, dan majikan juga berhak untuk melindungi dan memberi yang terbaik untuk pembantunya sehingga nilai kemanusiaannya mendapat Rahmat Allah swt.
Ada kisah yang menarik sebenarnya, menyita perasaan saya bahwa memang manusia berangkat haji penuh gairah, namun ketika pulang haji banyak masalah yang menghinggapinya. Kehajian yang dimilikinya pun rusak oleh perbuatan yang tidak menyenangkan. Kisah ini berasal dari keluarga orang yang sangat miskin, hidupnya pun pas-pasan. Katakan saja keluarga pak Sukardiman. Suatu ketika anaknya (katakan saja namanya anaknya : Iwan Galiano) ingin berangkat ke Jepang (Negeri 101 Gempa), bertujuan meningkatkan ekonomi orang tuanya yang relatif miskin dan ibaratnya cari pagi makan pagi, cari siang makan siang, cari malam makan malam, itulah kondisi keluarganya. Akan tetapi orang tua berpendapat nanti akan diusahakan berangkat bagaimana pun caranya demi kebahagiaan dan semangat anaknya mencari rejeki untuk meningkatkan ekonomi keluarganya, karena memang para saudara perempuan dan laki saat itu berjumlah 8 orang tambah dengan kedua orang tuanya 2 orang menjadi 10 orang. Dari jumlah satu keluarga tersebut, sumber pembiayaan kehidupan mereka hanya dari satu orang yakni usaha melaut orang tuanya dari pagi, siang hingga malam terkadang sampai pagi lagi baru pulang kerumah karena antara rejeki sedikit atau banyak, mereka hanya pasrah kepada Allah. Dalam kurun waktu satu tahun orang tuanya menjual sawah miliknya sebesar 30. 000. 000 (Tiga Puluh Juta) sementara biaya ke Jepang saat itu kata sponsornya (katakan nama sponsornya pak Haji Ghalib) yang akan membawa anaknya ini 50. 000. 000 (lima Puluh Juta), kemudian bapaknya pun meminjam kepada seorang pemerintah setempat katakanlah kepala desa, namanya pak A. Maruf Margau. Pak Maruf pun memberikan peminjaman kepada keluarga pak Sukardiman. Dalam waktu tidak relatif lama Iwan Galiano pun berangkat ke Jakarta untuk membekali diri dengan berbagai bahasa jepang dan keterampilan khususnya sesuai dengan pekerjaan yang Iwan pilih. Waktu terus bergulir sampai bertahun-tahun lamanya, sementara janji orang tua dengan sponsornya paling lama hanya satu tahun lamanya di penampungan. Minggu ke minggu, haru ke hari, waktu ke waktu, jam ke jam, menit ke menit, detak-detik jam selalu di perhatikan ”kapan anak saya berangkat dalam hatinya pak Sukardiman”. Besoknya ada sebuah kabar yang paling menyedihkan dan sakit menusuk dada seorang sukardiman, kabarnya ”Iwan Galiano tidak bisa berangkat karena visa ke Jepang sudah tidak tersedia”. Pak Sukardiman pun dengan segera memikirkan bagaiman mengembalikan uang dan sawahnya yang terjual. Oleh karena di bohongi oleh seorang H. Galib yang menjadi calo dan sponsornya. Itulah strategi H. Galib seorang sponsor yang tidak pernah memaknai hajinya untuk berlaku adil kepada sesama muslim, sebenarnya kewajiban bagi muslim apalagi sudah menunaikan ibadah haji harus selalu berlaku adil dan menghargai nilai kemanusiaan orang lain agar tidak terjadi perusakan dan kekacauan yang bisa mengakibatkan perpecahan ditengah masyarakat dan keluarga orang lain. Kasus ini tidak pernah di peroses, tentu banyak hal yang dilihat dalam kasus ini adalah :
1. Menertibkan para calo-calo yang tidak bertanggungjawab
2. Memberikan pelajaran tang baik kepada masyarakat agar tidak terjebak pada apa yang di sebut mapia tenaga kerja (mateker).
3. pemerintah harus membuat regulasi dan aturan hukum yang ketat agar tidak terjadi kesewenangan.
4. Membuka lapangan kerja yang berbasis kerakyatan.
5. Meluruskan makna haji, jangan seperti hajinya galib yang sering bohong dan maksiat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar