Gelorakan Pemikiran

Minggu, 10 Oktober 2010

REFORMASI POLRI : UPAYA MENCARI JEJAK PROFESIONALISME DAN MENINGKATKAN SUMBER DAYA MANUSIA DALAM MEWUJUDKAN POLISI SIPIL GUNA MEMPERKUAT PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Yanto Sagarino

Latar Belakang Permasalahan

Setelah sekitar 11 tahun reformasi Polri berlangsung, kini kinerja polisi menjadi sorotan tajam. Sorotan ini menyeruak di tengah gonjang-ganjing masyarakat yang melihat indikasi polisi melakukan kriminalisasi terhadap pejabat (nonaktif) KPK, Bibit dan Chandra. Terungkapnya rekaman pembicaraan antara Anggodo dengan beberapa petinggi polisi, yang diduga sebagai upaya rekayasa terhadap proses hukum, telah mengebiri dan mengaborsi alasan keberadaan cita-cita polisi. Inilah bukti nyata bahwa lembaga Polri perlu dibenahi. Gonjang-ganjing polisi menjadi perdebatan penting saat terjadi konflik kepentingan antara masyarakat dan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan politik. Peristiwa itu tidak menggembirakan jika dilihat dari upaya membangun polisi profesional. Terlebih dalam upaya reformasi, memisahkan Polri dari struktur, kultur, dan konten TNI masih merupakan bayang-bayang ketimbang realit. Kini masyarakat sedang menggugat Polri. Gugatan itu patut mendapat perhatian serius jika Polri benar-benar hendak mereformasi diri dan tidak ingin dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Tanpa keseriusan dalam melaksanakan reformasi kelembagaan, citra dan reputasi Polri akan kian terpuruk. Citra polisi tidak bisa dicapai hanya dengan menunjukkan prestasi kerja saja, perubahan kelembagaan merupakan syarat utam. Dari hari ke hari, tantangan yang dihadapi Polri kian bervariasi dan kompleks. Kultur polisi lama yang represif, arogan, eksklusif, dan merasa paling benar tidak layak lagi untuk digunakan. Norma-norma demokrasi, seperti kesetaraan, keadilan, independen, dan transparan, harus menjadi pedoman kerja Polri sehari-hari.

Reformasi Polri dimulai sejak dipisahkannya organisasi kepolisian dari lingkungan militer berdasarkan TAP MPR No VI Tahun 2000 tentang Pemisahan Polri dari TNI dan TAP MPR No VII Tahun 2000 tentang Peran Polri dan TNI. Selanjutnya Polri menyusun struktural biru reformasi menuju polri yang profesional yang rumusan perubahannya dari aspek struktural, meliputi perubahan posisi kepolisian dalam ketatanegaraan, bentuk organisasi, susunan, dan kedudukan. Aspek instrumental meliputi perubahan filosofi, doktrin, fungsi, kewenangan, dan kompetensi. Aspek kultural meliputi perubahan sistem perekrutan, pendidikan, anggaran, kepegawaian, manajemen, dan operasional kepolisian. Dalam proses reformasi, elite politik telah mendudukkan otonomi kepolisian secara luas, seperti menempatkan Polri di bawah Presiden, struktur kepolisian terpusat, mandiri dalam sistem penyidikan tindak pidana, mandiri dalam sistem kepegawaian, mandiri dalam sistem anggaran. Hal ini mencerminkan Polri sebagai bagian rezim kekuasaan yang menjauhkan diri dari kapasitas kontrol masyarakat.

Reformasi Polri seharusnya ditentukan bagaimana meletakkan lembaga kepolisian dalam negara demokrasi yang berbasis kekuatan masyarakat sipil. Secara normatif, fungsi kepolisian dapat ditetapkan sebagai: (1) penegak hukum, (2) penjaga ketertiban dan keamanan, dan (3) pelayan publik. Ketiga fungsi itu belum menggambarkan sesuatu, kecuali wilayah kerja yang perlu diisi berbagai konsep dalam konteks fungsionalisasi. Melihat kiprah elite politik itu, ada kekhawatiran ketiga fungsi kepolisian tersebut terisi oleh aspek-aspek yang tidak terkait upaya membangun kepolisian yang profesional. Pengamatan ini tidak bermaksud untuk tidak menghargai kemajuan dan upaya yang telah dilakukan Polri dalam memperbaiki lembaga, tetapi upaya itu menunjukkan kemandirian polisi belum cukup saat bekerja berdasarkan konsepsi otonomi dan konsepsi jati diri dalam ruang negara yang masih melibatkan polisi sebagai instrumen kekuasaan.

Konsep reformasi Polri sendiri sebenarnya masih ada ketidakjelasan dalam: pertama, paradigma Polri terkait sistem keamanan dalam negeri selaras Undang-Undang Pertahanan Nomor 3 Tahun 2002, UU Pemerintahan No 32/ 20, dan UU TNI No 34/2004. Kedua, netralitas Polri dalam posisinya di bawah Presiden selaku kepala pemerintahan. Ketiga, hubungan secara sistemik antara Polri dan PPNS, serta satuan-satuan pengamanan lainnya. Keempat, bisnis polisi melalui yayasan Polri. Kelima, lembaga eksternal pengawas aktivitas anggota Polri dalam melaksanakan tugas sehari-hari. Implementasi reformasi Polri juga cenderung bersifat konvensional. Hal ini dapat dilihat dari: pertama, pelaksanaannya dari atas ke bawah, di masatuan wilayah sekadar sebagai pelaksana kebijakan. Kedua, tidak disertai ruang bagi satuan bawah untuk melakukan inovasi. Ketiga, tidak disertai penghargaan dan hukuman. Keempat, tidak disertai jaminan bahwa setiap pergantian pimpinan tidak akan terjadi perubahan kebijakan yang ditetapkan oleh pemimpin sebelumnya. Dari gambaran singkat itu, tindak lanjut pemisahan Polri dari TNI tampak masih tidak jelas. Kebutuhan politik praktis seperti mengabaikan aspek mendasar dalam melakukan pembaruan lembaga kepolisian secara keseluruhan. Pemisahan Polri dari TNI yang semula diharapkan mampu mengubah polisi yang militeristik menjadi polisi sipil yang independen tampak menjadi paradoks dengan realitas politik. Bahkan, ada kekhawatiran pemisahan itu menjadi pintu masuk bagi penampilan politis kekuasaan transisi dari krisis legitimasi sosial yang hingga kini masih dihadapi (Widjojanto, 1999). Jalan di tempat Dari uraian itu, dalam reformasi Polri sebenarnya tidak sekadar menyangkut masalah teknis, tetapi juga menyangkut masalah strategis, yaitu :
a.Mendudukkan fungsionalisasi kepolisian dalam sistem ketatanegaraan;
b.Membenahi dan mengembangkan profesionalisme kepolisian, dan;
c.Membangun lembaga independen yang kuat untuk mengawasi pelaksanaan tugas polisi sehari-hari di seluruh wilayah tugasnya. Tanpa melakukan perubahan mendasar dengan dukungan pemerintah, polri, dan masyarakat, reformasi polri dapat diprediksi akan berjalan di tempat.1

Beberapa masalah juga, institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terus disorot masyarakat. Sejak muncul kasus ”cicak vs buaya”hingga mafia pajak,mereka terus menjadi pembicaraan publik. Kondisi ini semakin menguatkan tuntutan bahwa Polri harus mereformasi diri secara total.Sebenarnya,tuntutan reformasi Polri mulai digulirkan seiring datangnya era Reformasi (1998). Tuntutan ini kemudian diejawantahkan dengan dipisahkannya organisasi kepolisian dari TNI berdasarkan Tap MPR No VI Tahun 2000 tentang Pemisahan Polri dari TNI dan Tap MPR No VII Tahun 2000 tentang Peran Polri dan TNI. Menindaklanjuti keputusan tersebut, Polri menyusun Buku Biru Reformasi Menuju Polri yang Profesional.Isinya berupa rumusan perubahan dari aspek struktural meliputi perubahan posisi kepolisian dalam ketatanegaraan, bentuk organisasi, susunan, dan kedudukan. Aspek instrumental meliputi perubahan filosofi,doktrin,fungsi, kewenangan, dan kompetensi.Aspek kultural meliputi perubahan sistem perekrutan, pendidikan, anggaran, kepegawaian, manajemen, dan operasional kepolisian. Namun, seiring berjalannya waktu, kinerja Polri tetap tidak surut dari penilaian negatif. Padahal, Polri sudah melakukan sejumlah upaya untuk meningkatkan pelayanan.Termasuk mendekatkan polisi kepada masyarakat.

Akan tetapi sejumlah ”penyelewengan” yang dilakukan oknum kepolisian tetap saja terjadi dan menjadi pemberitaan media. Kepercayaan masyarakat kepada Polri semakin goyah ketika sejumlah kasus besar yang diduga di dalamnya ada oknum polisi bermain mencuat. Pengamat kepolisian Universitas Indonesia Bambang Widodo Umar mengatakan, berbagai masalah hingga tudingan yang dialamatkan kepada kepolisian salah satunya karena kepolisian belum mereformasi dirinya secara total. Proses reformasi Polri yang sudah dilaksanakan, kata Bambang, belum menyentuh aspek mendasar. Polri saat ini masih berstatus sebagai polisi negara (state police) yang artinya polisi sebagai alat negara.Bukan sebagai polisi sipil (civilized police). Karena polisi menyandang status sebagai abdi negara,menurut Bambang,tidak jarang institusi ini mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan warga masyarakat.

Bahkan cenderung lebih memberikan pelayanan tugas kepada penguasa. Status Polri yang demikian dalam perkembangannya sudah barang tentu bukan saja tidak sejalan dengan keinginan masyarakat, tetapi juga menghambat upaya mewujudkan polisi sipil. Salah satu indikasi bahwa Polri saat ini sebagai alat negara adalah jalur tanggung jawab Kepala Polri (Kapolri) yang masih di bawah Presiden. Begitu juga dengan adanya arus tanggung jawab kepada Kapolri dari bawahannya dan tanggung jawab kepada kepala kepolisian daerah (kapolda).Menurutnya, struktur seperti ini memberikan peluang adanya intervensi penanganan kasus dari atasan. Bambang menambahkan, selama ini Polri selalu mengelak dan mengatakan mereka (Polri) melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang ada tanpa ada intervensi dari pihak luar. ”Di negara-negara yang demokrasinya berjalan dengan baik, yang ada bukan state police, tapi civilized police,”kata Bambang. Bambang memberi contoh, dalam kasus Misbakhum memang Polri menolak adanya intervensi. Namun timbulnya anggapan demikian (adanya intervensi) dalam masyarakat tidak bisa terelakkan. Untuk meminimalkan hal ini menurutnya bukanlah hal yang sulit. Harus ada kemauan dari pihak eksekutif dan legislatif untuk mengubah undang-undang kepolisian. ”Tidak sulit sebenarnya, tinggal undang-undangnya saja yang perlu diubah”. Polri Irjen Pol Edward Aritonang2 mengatakan bahwa dalam setiap menangani kasus, Polri tidak mendapat intervensi dari pihak tertentu, termasuk dari Presiden padahal Polri sudah sesuai dengan ketentuan yang ada. Sebagai aparatur negara, semua aparat pemerintah bertanggung jawab kepada Presiden, karena memang posisi Polri di bawah Presiden adalah salah satu aspek dari pengelolaan organisasi yang menurutnya bisa bertindak lebih cepat. Dengan kondisi di bawah Presiden, Polri bisa mengetahui kebijakan atau perintah yang bisa langsung dilaksanakan. Polri telah melakukan sejumlah reformasi internal, mulai dari proses perekrutan, pendidikan, penugasan hingga penghasilan. Untuk bidang perekrutan sudah jauh lebih baik untuk sistem perekrutan yang transparan dan demokratis.

Taslim3 mengatakan bahwa kedudukan Polri entah itu di bawah Presiden atau kementerian terkait bukanlah masalah mendasar dalam reformasi Polri. Akan tetapi, yang harus di kedepankan adalah masalah perbaikan dan perubahan undang- undang kepolisian, khususnya tentang kedudukan Polri. ”Walaupun Polri di bawah Presiden, dalam menentukan jabatan Kapolri harus melalui fit and proper test di DPR sehingga terlihat lebih independen. Hal terpenting yang harus dilakukan adalah Polri lebih mereformasi ke dalam organisasinya sendiri. Sebagai contoh kasus Susno Duaji adalah indikasi adanya permasalahan besar di Polri yang harus diselesaikan. Pertentangan antar sejumlah anggota serta sejumlah indikasi pelanggaran yang dilakukan oknum Polri harus diselesaikan. Selain itu, saat ini sejumlah masalah yang ada di tubuh Polri dengan mudah bisa dilihat masyarakat. Karena itu, segala persoalan yang membelit Polri harus segera diperbaiki sehingga Polri kembali mendapatkan simpati dan kepercayaan publik. Hingga saat ini memang masih terdapat perbedaan tentang posisi ideal Polri. Kendati begitu, masyarakat sepakat bahwa perbaikan dan reformasi di tubuh Polri harus selalu dilakukan. Masyarakat terus menuntut agar Polri profesional.

Permasalahan yang mendasar dalam proses transformasi kelembagaan Polri dari polisi yang berkarakter militeristik menjadi polisi sipil adalah adanya faktor berpengaruh yang menghambat proses tersebut. Faktor tersebut banyak orang menuding dengan keberadaan elit di Polri dianggap sebagai batu sandungan bagi proses penataan kelembagaan di Polri. Setelah hampir delapan tahun berpisah dari TNI. Polri masih menyisakan permasalahan - permasalahan penataan kelembagaan dan kultur organisasi. Hanya saja, proses yang dirasakan terlalu lamban, sehingga dianggap tidak ikhlas melakukan perubahan. Proses perubahan internal Polri sebagai penyesuaian dengan agenda karena memang selama ini menambah beban psikologis di tubuh Polri sendiri. Karena sejatinya, keberadaan Polri sejak kali pertama terbentuk, telah difokuskan pada kekhususan penegakan hukum gangguan keamanan dalam negeri. Pengadobsian warna militeristiknya juga menjadi satu kesadaran tersendiri, ketika terintegrasi secara formal dalam tubuh Polri. Ketika dipaksa menanggalkan berbagai atribut kemiliteran yang telah melekat sejak tahun 1946, maka ada semangat penolakan yang sistematik, karena menyangkut esprit de corps.4

Arahan Presiden SBY kepada Jaksa Agung dan Kapolri berkaitan dengan hasil penelitian Tim Delapan atas penanganan kasus Bibit dan Chandra adalah agar pejabat tersebut membenahi institusinya dan melakukan koreksi atas proses hukum yang dilaksanakan. Arahan itu telah berhasil meredakan konflik antara pimpinan KPK, Kapolri dan Jaksa Agung. Namun, timbul pertanyaan apa tindak lanjut Jaksa Agung dan Kapolri dalam melaksanakan arahan tersebut. Dalam konteks reformasi Polri, konsep yang disusun sebagai panduan dalam buku biru tentang Reformasi Menuju Polri yang Profesional, isinya adalah rumusan perubahan dari aspek struktural meliputi perubahan posisi kepolisian dalam sistem ketatanegaraan, bentuk organisasi, susunan dan kedudukan. Aspek instrumental meliputi perubahan filosofi, doktrin, fungsi, kewenangan, dan kompetensi. Aspek kultural meliputi perubahan dalam sistem rekrutmen, sistem pendidikan, sistem anggaran, sistem kepegawaian, manajemen, dan operasional kepolisian. Secara umum dapat dikatakan, hasil reformasi Polri yang dicapai masih berkisar pada perubahan fisik sedangkan perubahan sikap perilaku polisi belum banyak dilakukan. Dengan kata lain, hingga kini perubahan baru menyentuh aspek instrumental dan struktural sedangkan aspek kultural masih dalam taraf mencari jati diri “polisi sipil” yang mandiri, profesional, dan akuntabel dalam menjalankan tugasnya.

Pada dasarnya reformasi Polri adalah mengubah sistem pendekatan tugas kepolisian yang selama ini cenderung lebih mengutamakan pada kepentingan negara (state police) menjadi pendekatan tugas kepolisian yang seimbang baik untuk kepentingan negara (cq pemerintah) maupun untuk kepentingan individu manusia.Pendekatan yang terakhir dikenal dengan istilah pendekatan keamanan manusia (human security). Pendekatan keamanan manusia (human security) dilegitimasi oleh hasil penelitian United Nations Development Programme (UNDP) tentang Human Development yang dilakukan pada 1994. Temuannya menunjukkan bahwa terdapat hambatan dalam membangun kebebasan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (living condation) berupa perasaan takut dalam menjalankan usaha. Dari hasil penelitian tersebut lahirlah perspektif keamanan (security) yang tidak dapat dipisahkan dengan perspektif kesejahteraan (prosperity) dalam pembangunan. Keamanan manusia dalam konteks pembangunan tidak bisa dicapai dengan membenahi ekonomi makro melalui perimbangan neraca perdagangan,efisiensi pengeluaran sektor publik, dan penghapusan subsidi saja. Pembangunan yang berorientasi pada keamanan manusia (individu) hakikatnya harus mampu menghilangkan kemiskinan ekonomi dan kesenjangan sosial lewat pertumbuhan ekonomi makro dan mikro secara seimbang dengan dilandasi investasi serta penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi5. Karena itu, pendekatan keamanan manusia menuntut diwujudkannya :

a.Keadilan hukum;
b.Penyelesaian konflik secara damai;
c.Pelarangan tindak kekerasan;
d.Demokratisasi ekonomi;
e.Demokratisasi hukum (peradilan);
f.Perubahan umur kerja;
g.Simetri dalam informasi;
h.Multikulturalisme dan multireligionisme;
i.Perhatian terhadap hakhak manusia dengan relativisme kultural;
j.Pengaturan sistem keamanan;
k.Demokratisasi pendidikan dan layanan kesehatan;
l.Ekoteknologi;
m.Pengusangan perang dan kekerasan; serta
n.Pelestarian lingkungan6

Mencermati melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap kelembagaan hukum di Indonesia yang terus meningkat, kiranya pembentukan komisi negara untuk pembenahan lembaga-lembaga hukum sangat diperlukan guna melakukan perubahan sistem penegakan hukum secara mendasar. Reformasi Polri seyogianya dilakukan melalui tiga pendekatan. Pertama,kesadaran masyarakat sebagai bagian demokratisasi; kedua, kebijakan nasional pada lapis otoritas politik beserta segenap perangkat politiknya; dan ketiga, kesadaran dan pemahaman elit pejabat Polri untuk menyadari akan fungsionalisasinya.7

Terkait dengan pernyataan sikap Presiden yang menginstruksikan koreksi total di 3 institusi penegak hukum Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK, akhirnya Polri langsung melakukan mutasi terhadap sejumlah Perwira Tingginya.8 Langkah ini layak diapresiasi secara positif, meski belum bisa dianggap sebagai final solution dalam memangkas sejumlah pelanggaran yang terjadi di tubuh kepolisian. Otokritik yang biasa terlontar adalah: Percuma saja orangnya diganti, jika sistemnya tidak ikut diganti. Terkait dengan hal ini, jika ada yang berpendapat bahwa terjadinya tindak pelanggaran di lembaga kepolisian lantaran sebab oknumnya yang tak bertanggungjawab, pendapat tersebut adalah keliru. Kendatipun tidak salah, namun tidak benar sepenuhnya. Bila memang betul hal itu disebabkan oleh oknum, pertanyaannya: Kenapa pelanggaran oleh polisi di negara-negara lain dapat ditekan sedemikian minim ?. Ini berarti, sistem kelembagaannyalah yang harus dijadikan parameter. Konteks ini menjadi amat sesuai dengan teori MSDM (Manajemen Sumber Daya Manusia) yang umum kita ketahui: Seandainya terdapat 1 dari 10 orang dalam institusi melakukan kesalahan, itu merupakan masalah oknum; tapi jika 9 dari 10 orang telah membuat kesalahan, itu lebih disebabkan oleh ketidakberesan sistem institusinya. Sistem yang dimaksud disini, bukan semata meliputi aspek yurisprudensi maupun politik, tapi juga aspek kultural, etika dan kebiasaan. Problem kesisteman dalam institusi kepolisian RI, sebenarnya sudah menjadi perhatian serius sejak era reformasi digulirkan. Pembaruan sistem telah dilakukan 9 tahun yang lalu, dimana Polri mulai menyusun Blue Print Reformasi Menuju Polri yang Profesional. Kebijakan ini berangkat dari TAP MPR No.VII/2000 tentang Peran Polri dan TNI. Secara garis besar, berisi tiga reformasi subsistem: Sistem instrumental, sistem struktural, dan sistem kultural kepolisian. Sistem instrumental adalah persoalan software yang paling urgen, dimana harus terciptanya bangunan ideologis yang kokoh, perubahan paradigma, kerangka filsafat, konsep, hingga doktrinnya. Pembaruan sistem struktural merupakan rumusan tentang redesign kelembagaan dalam hubungannya dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Sementara, sistem kultural lebih menekankan pada perbaikan aspek operasional sehari-hari; baik itu masalah manajemen internal ataupun kinerja di lapangan.

Inisiasi mereformasi institusi kepolisian, patut kita beri penghargaan. Akan tetapi, kita “lengah” memberi pengawasan serta kontrol dalam proses pelaksanaannya. Dalam aspek instrumentalnya, paradigma polisi masih lebih bergaya militeristik ketimbang berwatak sipil. Doktrin hidup bahwa polisi adalah Penegak Hukum, kurang berdampak pada rasa memberi keadilan. Hasil survei IPK (Indeks Persepsi Korupsi, 2008) menunjukkan bahwa institusi polisi berada di peringkat pertama dalam Indeks Suap dari 15 institusi publik di Indonesia. Jadi, slogan polisi sebagai Pelayan Masyarakat, masih menjadi imaji daripada fakta reputasi. Paradigma materialistik, adalah kunci dalam soal pelayanan. Sejauh apa pelayanan akan diberikan, tergantung sejauh apa masyarakat mengimbangnya dengan pemberian uang. Hal ini amat tak sesuai dengan Etika Pengabdian dalam Kep.Kapolri No.01/VII/2003 tentang Naskah Kode Etik Polisi RI. Kondisi tersebut, menurut Drs Kunarto9 dalam Etika Kepolisian (1997) disebabkan lemahnya penghayatan etika kepolisian. Sehingga polisi sangat labil dalam menghadapi gelombang zaman yang senantiasa berubah. Secara struktural politik, kedudukan Polri memiliki otonomi yang sangat luas. Kontrolnya berada langsung di bawah Presiden. Faktanya, tidak mungkin Presiden mampu optimal melakukan kendali terhadap institusi kepolisian. Ketidakmungkinan ini dikarenakan dua hal; pertama, kontrol yang terlalu jauh, akan menyakibatkan rivalitas kewenangan, dimana Presiden bisa dianggap melakukan intervensi kepada Polri; kedua, energi dan stamina politik Presiden yang tidak mencukupi, mengingat tugasnya amat banyak yang meliputi seluruh sektor kenegaraan.

Kekhawatiran semacam ini, meyulut dibentuknya Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) 4 tahun yang lalu. Namun, Kompolnas justru lahir dari rahim Polri itu sendiri. Sehingga dalam proses kulturalnya, Kompolnas minim memberi kontribusi kontrol dan pengawasan.10 Hal tersebut kian menghantui perjalanan Kompolnas di masa datang. Argumen yang selalu mengemuka adalah, Kompolnas tidak dibekali dengan kewenangan yang bersifat subpoena power karena sejak semula ia dirancang sebagai policy maker.11 Selain Kompolnas, juga dibentuk Indonesia Police Wacth (IPW) sebagai lembaga pengawas kinerja Polri. Sayangnya, lembaga yang bersifat nirlaba ini masih belum menunjukkan prestasi terbaiknya dalam menyikapi pelanggaran yang dilakukan sejumlah aparat kepolisian. Maka hingga kini, institusi kepolisian masih kekurangan kontrol eksternal, baik itu secara struktural dari Presiden, lembaga-lembaga independen, terlebih kontrol dari masyarakat. Dengan demikian, sistem komprehensif di kepolisian (beserta stakeholders-nya) harus dibenahi.12

Sekedar menaruh perbandingan. Di Amerika Serikat, otoritas polisi didistribusikan ke berbagai institusi pemerintahan. Walikota membawahi Polisi Kota yang dikepalai oleh Sherif, Departemen Perhubungan memegang kendali atas polisi transportasi. Ada pula polisi taman, baywatch, polisi pos, polisi hutan, polisi internasional, dan sebagainya, yang berada di bawah kontrol masing-masing departemen. Bahkan pembuatan SIM dan STNK, sudah tidak diatur polisi, melainkan oleh Kantor Sekretaris Negara Bagian. Semuanya memiliki kewenangan yang jelas dengan visi yang sama yaitu penegakan hukum.13 Di sejumlah negara Eropa, terdapat berbagai komisi independen yang bekerja mengontrol sekaligus menyelidiki kinerja aparat kepolisian. Di Italia ada komisi khusus yang merekam kerja polisi, di Irlandia ada Komisi Ombudsman Kepolisian, dan di Inggris ada Komisi Penanganan Keluhan tentang Polisi. Selain itu, masyarakat sipilnya juga diberi keleluasaan dalam “membantu” polisi. Di Amerika ada istilah fink (tukang lapor) dan stool pigeon atau informan sipil. Dengan begitu, proses kontroling terhadapnya menjadi lebih maksimal.14
Kontrol akan tetap sulit dilakukan ketika otorisasi manajemen dan finansial Polri tidak melakukan pembaruan sistemik dari unsur internalnya sendiri. Berbagai institusi lain dan masyarakat, seyogyanya tak boleh ikut campur terlalu jauh dalam mekanisme ini. Namun, bukankah telah menjadi rahasia umum, bahwa ada sekian penyimpangan yang terjadi dalam sistem perekrutan, kepegawaian, kepangkatan, maupun sistem anggaran di kepolisian. Kalau polisi tak mau membenahi sistem otoritasnya ini sendiri, maka polisi sama saja dengan rezim yang tak bersedia mengintrospeksi diri. Polisi tumbuh dan telah menjadi bagian dari masyarakat. Gonjang-ganjing tentang polisi mencapai puncaknya pada hari ini. Di tengah melajunya Grand Strategi Polri (tahap pertama: 2005-2010) yang menargetkan terbangunnya kepercayaan masyarakat, justru citra polisi malah terpuruk. Jika memang muncul kesadaran untuk melakukan perubahan secara cepat dan mendasar-yang dalam kamus filsafat politik disebut revolusi-di tubuh kepolisian, maka jagalah agar revolusi itu berjalan damai. Semoga itu hanya laju sejarah yang lumrah; hal yang niscaya terjadi dalam proses perjalanan hidup sebuah bangsa. Koreksi maupun tuntutan agar terjadinya pembaruan sistemik di institusi kepolisian, adalah wujud cinta masyarakat kepada polisi; bukan sebaliknya.15

Kerangka Teori Dan Landasan Konsepsional

1.Kerangka Teori

Hingga kini masih ada keraguan masyarakat dalam mencermati arah reformasi kepolisian sejalan dengan bergulirnya isu polisi sipil (baca: kepolisian). Seperti tidak dipahami isu itu sebagaimana mestinya. Polisi sipil didikotomikan dengan polisi militer, sehingga proses pemisahan Polri dan TNI dipandang sebagai wujud akhir pembentukan polisi sipil. Padahal polisi sipil merupakan suatu konsep, bukan institusi. Sebagai suatu konsep, polisi sipil mensyaratkan sejumlah faktor sebagai indikator yang tidak mungkin bisa ditemukan dalam negara otoriter yang acapkali dipandang sebagai police state. Polisi sipil atau civilized police jika diterjemahkan secara harfiah adalah polisi yang beradab, dan itu hanya mungkin dibangun dalam masyarakat yang demokratis. Karena itulah polisi menjunjung prinsip-prinsip demokrasi, seperti halnya individu yang sentral, kebebasan (freedom), transparansi, pertanggungjawaban publik dan lain-lain. Di bawah prinsip demokrasi, polisi sipil wajib menampilkan hubungan yang bersifat akrab dengan masyarakat melalui pendekatan kemanusiaan dengan warga (yang dilayaninya) daripada kekuasaan. Polisi di negara demokratis memegang teguh pelaksanaan misinya menjaga keamanan dan ketertiban umum juga menegakan hukum sebagai wujud dari pelayanan. Sedangkan kekuasaan hanya digunakan dalam keadaan terpaksa, dan harus dilakukan secara proporsional serta profesional.16 Ditinjau dari riwayat kelahirannya, masyarakat adalah ibu kandung polisi, yang dibutuhkan karena informal social control dinilai tidak efektif mengatasi masalah keamanan dan ketertiban umum dalam kehidupan bersama. Menghadapi kondisi demikian, cikal bakal kepolisian, seperti tithing man, constable, dan Shire reeve lambat laun mewujudkan sebagai formal social control agency, dan kemudian negara memberi kewenangan kepadanya untuk menegakkan hukum bersama komponen sistem peradilan pidana lainnya. Karena itu sesuai kelahirannya menunjukkan bahwa polisi diciptakan untuk lebih difokuskan dalam hal mengatasi masalah sosial (social problems) daripada untuk menegakkan hukum negara. Hal ini sedikit berbeda dengan lembaga penegak hukum lainnya yang domain tugasnya lebih bertumpu pada penegakan hukum negara. Karena itu, polisi sipil dan masyarakat yang demokratis merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.17

Dalam praktek karena kewenangan yang bersifat memaksa, lembaga kepolisian tidak jarang digunakan sebagai alat kekuasaan politik penguasa negara (otoriter), seperti yang pernah terjadi di Uni Sovyet dan Afrika Selatan, juga Indonesia beberapa waktu yang silam. Sifat otoriter biasanya ditunjukkan oleh badan kepolisian yang mengadopsi model kepolisian Continental, di mana kepolisian diperankan sebagai alat negara (state police), yang berbeda dengan model Anglosaxon (the public are the police and the police are the public). Negara Indonesia yang terbawa oleh penjajahan Belanda, hingga kini masih memerankan Polri sebagai alat negara, sehingga tidak mengherankan dalam pelaksanaan tugas, polisi yang dijuluki sebagai abdi negara tidak jarang mengutamakan kepentingan negara (persetambatan politik) daripada kepentingan warga masyarakat (persetambatan sosial) bahkan cenderung lebih memberikan layanan tugasnya kepada penguasa. Status Polri yang demikian dalam perkembangan sudah barang tentu bukan saja tidak sejalan dengan keinginan masyarakat bahkan menghambat upaya mewujudkan polisi sipil.

Sentralisasi organisasi kepolisian suatu negara merupakan faktor penting yang mempengaruhi sifat kerjanya dalam membina keamanan dan ketertiban umum serta dalam penegakan hukum. Kepolisian yang sentralisitk memiliki kesatuan komando (unity of command) di antara level hirarkhinya, mulai dari tingkat ibukota atau kota besar hingga desa atau daerah lokal. Tidak ada pembagian siapa yang bertugas menegakkan hukum nasional dan siapa yang menegakan hukum lokal (daerah). Setiap kesatuan polisi pada level apapun harus bertindak apabila melihat ada pelanggaran hukum nasional. Bahkan tidak jarang polisi daerah harus mengabaikan hukum adat setempat untuk menegakan hukum nasional. Dengan kata lain kepolisian nasional yang sentralistik bergerak dengan satu gaya, dengan kesamaan sense of perpose antara pimpinan kepolisian nasional dengan para pimpinan kepolisian daerah dan para petugas yang ada di bahwahnya.18

Berkenaan dengan status itu dalam konteks masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk, juga dalam kondisi geografi kepulauan yang sangat luas, sistem sentralisasi cenderung kontradiktif dengan tujuannya (kepolisian dalam masyarakat demokratis). Oleh karena itu otoritas pemerintah lokal  harus dipadukan dengan sistem desentralisasi, dengan maksud untuk mendekatkan penyelenggaraan manajemen kepolisian kepada masyarakat yang dilayani.19 Desentraliasi polisi ini dimaksudkan untuk mengembangkan satuan organisasi terdepan (Polres) menjadi lebih otonom dalam kerangka sistem kepolisian nasional,20 dan sejalan pula dengan kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan prinsip ini, pendekatan penyelesaian perkara (ringan) dapat dilakukan secara informal dengan pemberdayaan potensi local, sehingga polisi diharapkan memfokuskan perhatiannya pada kejahatan - kejahatan berat yang meresahkan dan menarik perhatian publik.21

Bagi polisi, masyarakat bukan hanya kepada siapa mereka memberikan pelayanan jasa kepolisian tetapi juga kepada siapa mereka harus bertanggungjawab. Pertanggung jawaban hukum khususnya atas penggunaan upaya paksa oleh individu polisi maupun pertanggungjawaban organisatorik kepolisian, tidak meniadakan pertanggungjawaban publik (public accountability) kepolisian. Akuntabilitas publik kepolisian menjadi penting mengingat pekerjaan polisi syarat dengan kewenangan diskrisminasi, bahkan menyangkut kehidupan (nyawa) seseorang dan hal itu sukar dikontrol.22 Konsekwensinya, akses publik harus dibuka bagi pengawasan terhadap tugas-tugas kepolisian, baik terhadap segala tindakan kepolisian maupun perumusan kebijakan dan manajemen kepolisian. Sikap demikian dibutuhkan bukan saja oleh masyarakat dalam kapasitasnya sebagai obyek tindakan polisi, tetapi karena kepolisian harus mernbangun kemitraan dengan masyarakat, dari mana mereka membutuhkan dukungan.
Di sini pekerjaan polisi memerlukan pengawasan yang ekstra dibanding dengan institusi lain, karena pada institusi ini melekat selain kewenangan tersebut di atas juga budaya organisasi yang didasarkan pada solidaritas (solidarity) dan kerahasiaan (secrecy). Budaya solidaritas dapat mendorong kearah semangat melindungi teman sesama korps meskipun mereka itu salah. Sedangkan implikasi negatif dari kerahasiaan, menyebabkan polisi suka menyembunyikan kesalahan yang diketahui telah dilakukan oleh koleganya (keep silent). Kedua budaya ini bisa menjadi pengahambat utama jalannya pengawasan internal secara efektif. Sering kita dengar melalui mas media sidang Dewan Kode Etik Kepolisian hanya menjatuhkan sanksi yang tidak menyelesaikan persoalan fundamental. Disini perlunya suatu badan independen untuk mengawasi pelaksanaan tugas kepolisian dan mencari solusi bagi masalah structural yang dihadapi polisi.

Sejalan dengan pemikiran desentralisasi satuan - satuan wilayah kepolisian yang disinggung di atas, hubungan kerjasama antara Polri dengan pemerintah daerah perlu dikembangkan sedemikianrupa sehingga pemerintah daerah bisa mendayagunakan PoIri dalam menjalankan perannya untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum (lokal) termasuk mencegah kejahatan. Sementara itu kebutuhan anggaran PoIri bisa didukung dengan anggaran pendapatan daerah dibawah pengawasan pemerintah daerah. Sinergi dalam pengelolaan keamanan dan ketertiban umum menjadi sangat penting mengingat misi kepolisian tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya perwujudan kesejahteraan masyarakat. Ini berarti bahwa keberhasilan PoIri dalam menjalankan misinya menjadi tidak berarti jika tidak memberi kontribusi bagi upaya peningkatan kesejehteraan menuju masyarakat madani (civil society). Upaya pembangunan polisi sipil akan sangat dipengaruhi oleh tradisi militeristik dan birokratis yang menghambat upaya peningkatan profesionalitas dalam jajaran Polri. Sistem kepangkatan yang sepenuhnya mengadopsi sistem militer (walau berganti istilah) harus diubah sehingga lebih mencerminkan peran dalam pekerjaan kepolisian dan strata penggolongannya harus lebih diorientasikan pada kepentingan kesejahteraan personel. Hubungan atasan bawahan yang hirarkhis harus diubah menjadi hubungan kerja sama fungsional. Pengembangan kreativitas personel termasuk pikiran kritis untuk kemajuan institusi harus merupakan atmosfir kehidupan dalam dunia kepolisian. Profesionalitas kepolisian tidak mungkin ditumbuh kembangkan dalam suasana kultur yang militeristik dan birokratis kaku.

Melayani dan melindungi merupakan kata kunci yang menjadi ciri polisi sipil. Melayani dan melindungi seharusnya bukan merupakan tugas, tetapi kewajiban setiap individu polisi, bahkan pada setiap tempat dan disepanjang waktu. Pengabaiannya harus merupakan pelanggaran kode etik yang dapat dijatuhi sanksi yang lebih berat daripada sekedar tindakan disiplin. Dengan prinsip ini, pendekatan kasus dalam penanganan permasalahan kepolisian sejauh mungkin harus diganti dengan pendekatan kemanusian (human approach). Artinya dalam setiap langkah tindak, polisi harus memberikan respek manusiawi terhadap kliennya tanpa mengenyamping kepentingan penegakan hukum terutama terhadap kejahatan menonjol yang meresahkan masyarakat, sesuai motto universal kepolisian: fight crime, love humanity and help definquen.

Uraian di atas memberikan sebagian gambaran tentang wujud kepolisian masa depan yang semestinya dibangun. Proses untuk mewujudkannya bukan tidak mungkin (utopis) tetapi perlu waktu. Tentu dalam hal ini seperangkat kebijakan dan strategi perlu diletakkan, baik di bidang operasional maupun pembinaan. Untuk itu fokus perhatian pada tataran manajemen puncak perlu lebih banyak ditujukan pada upaya melanjutkan dan menuntaskan reformasi (internal) dari pada mengejar prestasi operasional karena prestasi operasional merupakan output bahkan outcome dari proses pembinaan internal.

Kekhasan community policing yang menekankan pada pentingnya peran dan keterlibatan masyarakat untuk mendukung terciptanya polisi sipil yang profesional dan bertanggung-jawab merupakan suatu bentuk dukungan yang strategis terhadap program reformasi Kepolisian di Indonesia. Hal ini terutama karena adanya dua aspek penting dalam upaya reformasi tersebut, yaitu: pertama, adanya kebutuhan untuk23 menghilangkan Kepolisian dari cara-cara yang militeristik dengan mentransformasikannya menjadi suatu institusi sipil yang melayani dan melindungi masyarakat; serta yang kedua yaitu kebutuhan untuk mereformasi polisi guna mendukung proses demokratisasi yang lebih luas di Indonesia. Selain itu, community policing juga sangat diperlukan guna memberikan kemampuan kepada pihak Kepolisian untuk merespon secara memadai dan cepat kebutuhan-kebutuhan dari warga masyarakat atas lingkungan yang aman. Polisi yang merangkul bukan memukul, polisi yang mengajak bukan membentak, polisi yang mendidik bukan menghardik, itulah pesan yang harus dipegang oleh setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas. Pesan tersebut bukan sekedar kalimat yang tidak memiliki makna namun jauh dari itu kalimat tersebut memiliki makna yang luar biasa dalam mendorong jajaran Polri lebih meningkatkan citra dan profesionalismenya agar mampu berperan sebagai "pelayan dan pengayom" yang menjadi mitra masyarakat. Meskipun di sisi lain, sebagai salah satu institusi yang memiliki peran besar dalam proses pengamanan dan keamanan negara, Polisi Republik Indonesia (POLRI) masih perlu terus untuk berbenah diri menuju polisi yang profesional.

Citra Polri masih saja tercoreng dengan berbagai kasus yang dilakukan oknum Polri. Yang paling menonjol saat ini, keterlibatan dalam kasus narkoba. Akibatnya, masyarakat menilai polisi juga "ikut bermain". Selain itu, kasus penyalahgunaan senpi (senjata api) oleh oknum polisi menjadi sorotan masyarakat. Sejumlah korban berjatuhan, baik dari kalangan sipil maupun angota polisi sendiri. Hingga ada pernarikan besar-besaran senpi dari tangan polisi. Sungguh sebuah predikat sangat membanggakan, menjadi polisi karena tugas-tugas mulia. Karena itu, setiap aparat kepolisian harus bangga dan berintegritas kuat terhadap profesinya. Lebih tepatnya, polisi harus mawas diri, polisi tidak boleh menjadi penakut dengan sikap pengecut mencari-cari kelemahan masyarakat.

Kepolisian yang merupakan ujung tombak penyelenggara keamanan di dalam negeri, dan juga sebagai the gatekeeper of the criminal justice system memang tengah mengalami masa-masa sulit. Bertumpuk persoalan, baik internal maupun eksternal, tengah membebani kepolisian RI. Masalah eksternal berkenaan dengan kondisi negara yang belum stabil, dan sejumlah masyarakat yang masih berada dalam dunia mispersepsi akan makna demokrasi (yang diterjemahkan sebagai kebebasan sebesar-besarnya, dan kalau mungkin tanpa batas). Seiring dengan itu semua, masih banyak harus dibenahi, dan tanggungjawab tersebut tidak hanya berada di tangan pihak keplisian tetapi semua pihak di dalam masyarakat. Pemisahan Kepolisian Republik Indonesia dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) memberikan peluang bagi dilakukannya pemikiran ulang yang mendasar terhadap peranan Kepolisian. Community policing merupakan salah satu cara yang paling inovatif untuk mendukung upaya-upaya reformasi Kepolisian yang diupayakan baik oleh pihak Kepolisian sendiri maupun kelompok-kelompok masyarakat. Kekhasan community policing yang menekankan pada pentingnya peran dan keterlibatan masyarakat untuk mendukung terciptanya polisi sipil yang profesional dan bertanggung jawab merupakan suatu bentuk dukungan yang strategis terhadap program reformasi Kepolisian di Indonesia. Hal ini terutama karena adanya dua aspek penting dalam upaya reformasi tersebut, yaitu: pertama, adanya kebutuhan untuk menghilangkan.

Kepolisian dari cara-cara yang militeristik dengan mentransformasikannya menjadi suatu institusi sipil yang melayani dan melindungi masyarakat; serta yang kedua yaitu kebutuhan untuk mereformasi polisi guna mendukung proses demokratisasi yang lebih luas di Indonesia. Selain itu, community policing juga sangat diperlukan guna memberikan kemampuan kepada pihak Kepolisian untuk merespon secara memadai dan cepat kebutuhan-kebutuhan dari warga masyarakat atas lingkungan yang aman. Adanya harapan masyarakat yang terlampau banyak pada peran polisi sebenarnya menjadi modal utama bagi Polri untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Membasmi segala bentuk kejahatan, menolong golongan lemah yang teraniaya, penegak hukum sekaligus pembimbing rakyat yang tampan simpatik. Polisi juga harus bersih dari cacat dan cela. Nantinya masyarakat akan berharap sosok polisi sebagai pelayan masyarakat yang simpatik, penegak hukum yang tegas tapi tetap luwes dan pemburu kejahatan yang tangguh.

Seiring dengan itu semua, masih banyak harus dibenahi, dan tanggungjawab tersebut tidak hanya berada di tangan pihak pimpinan kepolisian tapi kita semua yang mencintai keberadaan polisi, seperti :

a.SDM yang masih belum seluruhnya profesional, suatu kondisi yang tidak terlepas dari manajemen rekrutmen, pendidikan, penempatan, promosi yang belum didasarkan semata-mata pada kualitas. Hal ini juga berkaitan erat dengan sistem pelatihan yang diperoleh ketika hendak menjadi polisi (terutama kurikulum dan alokasi waktu untuk pendalaman bahan yang masih belum memadai). Sebagai akibatnya, kemampuan di lapangan seringkali belum sebagaimana yang diharapkan. Sistem pendidikan yang masih mengedepankan para perwira sebagai top manager maupun middle manager (terutama pendidikan umum kedinasan), yang semestinya juga melibatkan para bintara yang notabene berhadapan langsung dengan pelayanan masyarakat. Sehingga dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh dan dimilikinya dapat mengimbangi kemampuan pendidikan masyarakat yang dihadapinya.
b.Sistem kompensansi atau penggajian yang jauh dari sufficient, dengan berbagai implikasinya pada pelaksanaan tugas polisi. Tidak jarang kecilnya gaji ini kemudian dijadikan justification untuk melakukan penyimpangan, walau kenyataannya tidak selalu kesulitan ekonomilah yang mendorong perilaku macam ini.
c.Mekanisme pengawasan yang belum sempurna. Lemahnya pengawasan semacam ini, mudah diduga, telah menimbulkan tingginya tingkat penyimpangan sebagaimana telah banyak ditengarai oleh media massa dan masyarakat umum.
d.Intervensi dari berbagai pihak terhadap kinerja kepolisian seringkali dikeluhkan.24
e.Dukungan sarana dan prasarana yang belum memadai seringkali dijadikan justification atas kinerja yang kurang baik. Oleh karenanya kondisi ini harus diperbaiki untuk tegaknya supremasi hukum.
f.Ketentuan perundang-undangan yang masih rancu mengenai fungsi penyidikan dan penyelidikan tindak pidana tertentu. Masalah inipun harus segera mendapat penyelesaian agar tidak berlarut-larut, karena dapat menimbulkan friksi antar lembaga kepolisian dan kejaksaan maupun lembaga lain.
g.Budaya hukum yang terbentuk akibat sistem yang telah merasuk dan juga kurangnya integritas personel, yang dikenal sebagai police subculture.25
Ke depan aparat kepolisian tidak selalu harus berhubungan dengan pentungan, pistol atau tameng tetapi juga harus mampu dan mengerti manajemen termasuk juga menguasai teknologi yang berkembang, termasuk di dalamnya teknologi menghadapi kasus-kasus kerah putih yang bukan tidak mungkin akan menjadi kejahatan yang bersumber dari kemajuan teknologi. Lemahnya manajerial Polri berarti pula lemahnya tindakan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan operasionalisasi pembinaan kamtibmas dan pengawasan pengendaliannya. Polri selalu beralasan jumlah personel sedikit dibanding jumlah penduduk yang terus bertambah. Sebagaimana dikatakan Brigjen Pol Anton Tabah yang mengutip buku “The Real War On Crime”, NY 1998:
“Penambahan besar-besaran jumlah polisi tidak akan berdampak apa – apa kecuali menambah sulitnya pembinaan jika tingkat kesejahteraan polisi masih tetap rendah.” Karena itu, meningkatkan kesejahteraan polisi lebih diprioritaskan daripada menambah jumlah polisi, yang akan meningkatkan kinerja polisi bukan jumlah polisi tetapi kesejahteraan polisi.26

Prof . Dr. Aswanto dalam terbitan fajar makassar mengatakan bahwa tidak ada jalan lain, presiden harus berani mengambil sikap mereformasi total dua lembaga ini. Masih ada kesempatan memperbaiki kerusakan sebelum bertambah parah. Tidak ada salahnya kalau Presiden SBY meniru langkah yang diambil kepala negara polandia dan meksiko, yaitu membekukan Polri dalam kurun waktu tertentu sambil melakukan pembenahan menyeluruh. "Dengan kondisi seperti sekarang, tidak salah jika pemerintah menerapkan apa yang pernah dilakukan pemerintah polandia dan meksiko saat kedua negara itu terjerat krisis akibat korupsi. Jika itu sulit dan resisten, bisa melakukan penggantian pejabat penting di kedua institusi itu. "Masih banyak kok pejabat bersih di polisi dan kejaksaan. Nah, ambil saja mereka dan pasang sebagai pemimpin. Sedang (pejabat) yang rusak, langsung disingkirkan untuk menjaga supremasi hukum.27

Prof. Dr Muin Fahmal28 mengatakan bahwa presiden sudah harus turun tangan menyelesaikan masalah yang terjadi di kepolisian. Khususnya memperjelas di mana letak kerusakannya di kepolisian, lalu benahi sesuai fakta hukum yang ada, selain itu juga ketiga lembaga yang berseteru; KPK, Polri dan Kejaksaan, juga harus semakin meningkatkan koordinasi. Tujuannya satu adalah penanganan kasus-kasus hukum, khususnya tindak pidana korupsi, dapat lebih terarah dan fokus. Menurut Nurcahaya Tandang mengatakan bahwa kisruh yang melibatkan KPK, Polri dan kejaksaan, kini bukan lagi sebatas persoalan hukum. Sebaliknya, sudah mengarah pada kepentingan politik. Hal itu tidak terlepas dari struktur pemerintahan Indonesia yang sudah melanggar konstitusi. Polri, TNI dan kejaksaan yang berada di bawah kendali langsung presiden telah melahirkan arogansi dan kesewenang-wenangan. Padahal dalam konstitusi Undang-undang Dasar 1945, tidak dikenal adanya pejabat setingkat menteri. Kejaksaan, kepolisian, dan TNI seharusnya berada di bawah kendali menteri sehingga tidak mudah dipolitisasi. Tiga institusi penegak hukum ini tidak boleh ikut-ikutan menjadi regulator, karena hakikat keberadaannya merupakan operator regulasi pemerintahan. "Kenyataannya, pemimpin institusi itu justru ikut dalam setiap rapat pengambilan kebijakan dengan presiden bersama para menteri. Presiden, seharusnya sudah turun tangan melakukan harmonisasi lembaga dan tidak lepas tangan begitu saja dengan dalih menghindari intervensi. Presiden menengahi kisruh yang terjadi bukan pada kasusnya. Perubahan struktur dan kultur pada kepolisian maupun kejaksaan serta mengembalikannya sesuai amanat konstitusi, kata dia, sudah sangat mendesak. Penempatan kejaksaan, kepolisian, dan TNI di bawah departemen dan pejabatnya merupakan pejabat karier untuk mengatasi kacau balaunya struktur lembaga pemerintahan adalah suatu keharusan.

Menurut Prof Dr Guntur Hamzah29 Perlunya segera dilakukan reformasi dalam tubuh institusi penegak hukum kepolisian. Menurutnya, sistem hukum Indonesia perlu dipertegas. Penyebab polemik yang terjadi di kepolisian salah satunya adalah masih diterapkannya ambiguitas dalam sistem hukum. penanganan kasus korupsi. "Kondisi ini akhirnya melahirkan rivalitas antara dua lembaga, bahkan ketiga lembaga penegak hukum tersebut. Kepolisian merasa tersaingi dengan kinerja KPK yang sudah bagus. Ironisnya, ada oknum di lingkungan kepolisian yang justru merusak kinerja kepolisian dan menjadi bumerang bagi institusinya, Temuan tim pencari fakta (TPF) atau tim delapan, kata dia, semakin mempertegas masih lemahnya proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan kepolisian. Kesimpulan TPF bahkan telah menampar wajah kepolisian dan membuktikan penyelidikan yang tidak baik. Selain mempertegas sistem hukum, maka reformasi harus segera dilaksanakan. Namun, reformasi itu bukan sekadar reformasi formal di atas kertas saja, melainkan reformasi substansi. "Indikatornya, kepercayaan masyarakat.

2.Landasan Konsepsional

Dari uraian tersebut langkah‑langkah perubahan ditujukan pada penataan kembali aspek‑aspek instrumental dan struktural organisasi sehingga dapat menciptakan kondisi yang kondusif bagi perubahan kultur menjadi polisi sipil yang mampu meningkatkan upaya deteksi dan responsif dalam membina keamanan dan ketetertiban umum maupun penegakan hukum. Beberapa strategi yang perlu dikembangkan mencakup antara lain: Pertama : Bidang Sumber Daya Manusia, meliputi peninjauan kembali terhadap sistem rekrutmen, pendidikan/pelatihan dan pembinaan/pengembangan karier yang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan personel yang dikelola secara transparan, dan bertanggungjawab sesuai prinsip merit-system. Demikian pula tinjauan terhadap strata sistem kepangkatan. Kedua: Bidang Pembiayaan, meliputi pengembangan sistem anggaran/keuangan yang transparan, akuntabel dan rasional dalam alokasinya anggaran yang disediakan dari APBN maupun APBN yang diperoleh dari pernerintah daerah.

Ketiga : Bidang Operasional, meliputi masalah kepemimpinan dan perumusan kebijakan pengendalian diskresi dalam hal penggunaan upaya paksa, penyederhanaan prosedur penegakan hukum, pembenahan sistem manajemen penanganan perkara (agar setiap laporan/pengaduan diadministrasikan dan diproses sesuai prosedur hukum acara. Termasuk pengembangan kerjasama dengan kepolisian negara lain untuk mencegah kejahatan internasional. Keempat : Bidang Pengawasan, yang meliputi pengembanan sistem pengawasan (internal maupun ekaternal) yang menjamin akses publik dapat lebih efektif mendeteksi dan menindaklanjuti laporan/pengaduan tentang sikap/tindakan personel Polri yang berkaitan dengan pemberantasan KKN.
Kelima: Bidang Organisasi, menata organisasi dalam konteks desentrasisasi sehingga menjamin efisiensi penggunaan sumberdaya dan efektifitas pelaksanaan tugas terutama yang menyangkut penataan stratifikasi kemampuan dan kewenangan serta pemberian otonomi yang lebih luas kepada PoIres.
Menurut Komjen Pol. Bambang Hendarso Danuri dalam pidatonya di DPR RI mengatakan bahwa Reformasi polri bukan suatu proses yang bisa ditempuh dalam jangka waktu pendek, namun juga bukan ditempuh dalam jangka wakru yang tidak terbatas. Tahun 2015 merupakan awal bagi wujud nyata berhasil atau tidaknya reformasi Polri. Oleh karena itu, sejumlah langkah akselerasi dan pelengkapan bagi reformasi polri perlu segera dilakukan, terutama dalam hal reformasi kultural dan penggalangan kerjasama dan kemitraan dengan berbagai pihak.30

Mesti harus diakui bahwa berbagai pembenahan menuju Polri yang profesional; bermoral dan modern terus dilakukan. Hanya saja pembenahan tersebut belum cukup kuat untuk mewujudkan Polri kedalam tatanan yang diharapkan. Terdapat penilaian bahwa reformasi Polri belum menyentuh substansi, seperti reformasi pendidikan di Polri, dan kultur Polri yang masih mempertahankan pola lama. Kenyataan ini makin menyulitkan Polri secara kelembagaan dalam membangun institusi yang profesional dalam bingkai polisi sipil. Transformasi dan reformasi kultural perlu dititikberatkan pada berbagai aspek berlkut :

a.Membangun mentalitas dasar yang menjiwai pengambilan keputusan yaitu bahwa masyarakat dan Polisi merupakan mitra yang sejajar, tanpa menghilangkan jati dirinya yang tegas dalam menegakkan hukurn.
b.Memperjelas etos kerja dengan motivasi yang baik untuk bertindak berani, jujur, bersih dan berhasil dalam menjalankan setiap tugas.
c.Menginternalisasi nilai-nilai Tri Brata dan Catur Prasetya dengan fokus bahwa fungsi mereka adalah melayani, bukan untuk dilayani.
d.Meningkatkan efektifitas pengawasan dalam setiap pelaksanaan tugas.
e.Membangun kemampuan kepemimpinan yang kuat untuk memberikan teladan bagi bawahannya dan masyarakat.31

Sementara itu perubahan paradigma, tidak ada jalan lain, kecuali dengan sistem pendidikan yang memadai dan mendasar. Terkait dalam koridor perubahan atau tranformasi kultural ini, maka fokus perhatian saya kedepan adalah sistem pendidikan pengembangan SDM Polri. Bicara tentang manajemen transformasi kultural Polri setidaknya terdapat tiga hal yang menjadi perhatian utama yakni budaya dan tujuan besar Polri. Budaya harus dianggap sebagai bagian penting dalam mencapai tujuan besar. Dlam konteks Polri, penentuan tujuan besar Polri merupakan basis paling utama dalam melakukan perubahan, terutama perubahan budaya. Selain itu, gambaran dari tujuan besar tersebut juga haruslah jelas dalam artian mudah dipahami dan tidak menimbulkan multi interpretasi. Faktor – faktor penentu budaya. Budaya yang ingin dicapai oleh Polri ditentukan oleh sejumlah faktor. Faktor utama yang dominan adalah kepemimpinan dan kedaulatan. Sedangkan faktor - faktor lainnya yang menjadi faktor - faktor penentu budaya adalah sistem, kompetensi dan strategi perubahan.

Dalam menentukan proses tranformasi budaya yang akan dilakukan, hal - hal yang harus diperhatikan antaranya adalah menyadarkan perlunya perubahan dengan melakukan perubahan dalam aspek strategis, tataran implementasi dan menentukan keberhasilan secara teratur. Selain itu harus diperhatikan dampak lebih lanjut dari perubahan budaya Polri. Aspek kultural, Instrumental ( Inspiration ) dan kultural ( Institution ) tidak akan pernah lepas satu sama lain. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang akan saling mempengaruhi. Pemolisian yang sekaran ini dikembangkan dalam negara - negara yang modern dan demokratis adalah pendekatan proaktif – pemecahan masalah ( problem solving ), yang lebih mengedepankan mengedepankan pecegahan kejahatan ( crime prevention ). Dalam pemolisiannya , polri berupaya menuju pemolisian yang sesuai dengan fungsi polisi sebagai kekuatan sipil yang diberi kewenangan untuk menjadi pengayom masyarakat, epnegak hukum, dan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Dengan demikian pemolisian yang diterapkan dapat berjalan secara efektif dan dapat diterima atau cocok dengan masyarakatnya sesuai dengan corak masyarakat dan kebudayaannya, berorientasi pada masyarakat, dan untuk memecahkan masalah sosial yang terjadi. Salah satu upaya yang penting dilakukan dalam hal ini adalah dengan melalui penyiapan sumber daya manusia yang dimiliki pengetahuan secarakonseptual maupun teorikal, yang berkaitan dengan maslah - masalah social dalam melaksanakan pemolisiannya. Pengelolaan sumber daya manusia memiliki peran yang sangat strategis dalam meningkatkan kinerja, produktifitas dan pencapaiaan tujuan organisasi, karena sumberdaya manusia merupakan modal dasar dalam menentukan kemampuan organisasi Polri dalam melayani masyarakat yang memiliki banyak tuntutan. Minyikapi tuntutan dari masyarakat ini, Polri harus engambil langkah pembenahan kedalam tubuh Polri, terasuk pembenahan sistem pendidikan Polri.
Di sisi lain secara kualitas Polri juga harus berupaya untuk memenuhi rasio jumlah Polisi terhadap jumlah penduduk Indonesia, sehingga pada tahun 2009 dapat mencapai 1 : 500, dimana standar PBB adalah 1 : 350. Makah al ini di dorong dalam berbagai prinsip, yakni :

1.Prisip nilai tambah ( Value added ). Setiap proses pndidikan didalam jenjang karir Polri haruslah memberikan nilai tambah berupa penambahan kompetensi bagi peserta didik. Dengan demikian, setiap program pendidikan harus mendefinisikan dengan jelas, kompetensi apa yang diperoleh peserta didik nantinya setelah mengikuti program pendidikan tersebut.
2.Prinsip kesamaan peluang (equal oppurtunity). Setiap proses pendidikan haruslah memberikan peluang yang sama untuk kelulusannya dalam meniti karir. Dengan demikian, tidak ada lagi istilah jalur cepat atau pun jalur lambat. Prinsip kesamaan peluang mengatakan bahwa hanya ada satu jalur dalam pendidikan untuk meniti karir, dan setiap orang memiliki peluang yang sama.
3.Prinsip keselarasan eksternal (external aligament). Prinsip ini mengatakan bahwa sistem pendidikan didalam sebuah organisasi sebaiknya mengacu pada sistem pendidikan yang lazim digunakan dan diakui oleh regulasi di sebuag Negara. Ini berarti sistem pendidikan didalam lingkungan Polri juga sebaiknya mengacu pada sistem pendidikan nasional Republik Indonesia yang diatur oleh Undang - Undang Pendidikan Nasional. Dengan demikian, produk sistem pendidikan Polri dapat diselaraskan dengan produk sistem Pendidikan Nasional pada umumnya.
4.Prisip efisiensi ( effeciency ). Prinsip efisiensi mengatakan bahwa sistem pendidikan yang terdapat didalam sebuah organisasi harus dilaksanakan secara efisien, baik dari sisi pemanfaatan sumber daya pendukung, waktu, maupun biaya pelaksanaan. Kita membutuhkan suatu sistem pendidikan yang singkat, tetapi memberikan nilai tambah yang signifikan untuk mengembangkan kompetensi sumber daya manusia Polri. Keterbatasan anggaran selalu menjadi masalah, dimana terdapat beberapa jalur pendidikan Polri terutama perwira, memang belum menunjukan prinsip efisiensi ini.
5.Prinsip kesinambungan ( sustainability ). Belajar adalah suatu kegiatan yang tidak pernah berhenti. Belajar adalah suatu proses yang berkesinambungan, tidak harus selalu berarti belajar didalam kelas. Kita juga dapat belajar sambil bekerja denga jarak jauh ( distance learning ), baik dengan menggunakan teknologi canggih seperti internet maupun sederhana. Dengan demikian, suatu sistem pendidikan harus mampu menjawab bagaimana nantinya sumber daya manusia yang ada didalam organisasi dapat belajar secara berkesinambungan walaupun sambil bekerja (countinuing education ) walau seorang personil Polri sedang ditugaskan didaerah terpencil sekalipun.32

Dalam aspek pengembangan sumber daya manusia, juga akan diakselerasikan dan ditingkatkan berbagai bidang manajemen sumber daya manusia. Untu rekrutmen, Polri akan terus menyempurnakan implementasi kebijakan mencari bibit unggul ( termasuk prinsip "Local Boy The Local Job" ), kaderisasi, dan penetapan proses yang transparan, obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal pembinaan karir, Polri akan terus meningkatkan implementasi kebijakan “the right man on the right place” dengan didasarkan pada prestasi, obyektif, adil, moralitas, pendidikan, dan kompetensi. Selain itu, sejumlah analisis dalam rangka evaluasi terhadap kndisi Polri saat ini juga diperlukan. Tujuannya adalah untuk mengintegrasikan dan memperbaharui setiap eleman yang ada dalam sistem pendidikan Polri. Analisis tersebut antaranya adalah terhadap sistem pendidikan untuk perwira dan bintara, organisasi pendidikan Polri, dan materi ajar yang diberikan. Adapun, dari analisis tersebut, dapat dihasilkan sejumlah rekomendasi yang kompehensif dalam bentuk cetak biru ( blue print ) yang bertahap dan berkesinambungan (sustainable) sistem pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi. Hal ini misalnya sudah diterapkan pada beberapa fungsi di Polri, seperti misalnya cetak biru reserse kriminal Polri.

Reformasi Polri

Jika disimak fungsi, tujuan dan tugas pokok kepolisian sebagaimana dimuat di dalam UU No 2/2002 tersebut jelaslah bahwa paradigma baru Polri adalah polisi sipil, yaitu polisi yang dalam menjalankan pekerjaannya menempatkan setiap orang yang ditemui dan diurusnya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, bahkan tidak boleh mengurangi nilai harkat dan martabat kemanusiaan tersebut. Menurut Satjipto Rahardjo, polisi sipil atau polisi yang berwatak sipil adalah sistem kepolisian di mana polisi melaksanakan pekerjaan dengan cara-cara yang tidak boleh menyebabkan manusia kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Karena itu, dimensi intelektual dan moral dalam pekerjaan polisi menjadi sangat penting. Polisi sipil tidak menggunakan cara yang pendek dan gampang seperti menggunakan paksaan dan kekerasan, tetapi bersedia mendengarkan dan memahami keadaan dan penderitaan manusia. Itulah sebabnya polisi sipil disebut juga sebagai human policing yang memandang, menempatkan, dan mengakui bahwa orang-orang yang dihadapi dan ditemui dalam pekerjaannya sebagai insan dengan pribadi yang utuh dan penuh. Ada dua hal penting yang harus dikembangkan dalam konsep polisi sipil, yaitu intelektual dan moral sebagaimana diungkapkan Kenneth Muir dalam buku Police,

Streetcorner Politicians (1977) sebagai berikut, a good policeman who extend that be develops two virtues, intellectually, he has to grasp the nature of human suffering. Morally, he has to resolve contradiction of achieving just ends coersive means. Dari uraian tersebut, dapat dimengerti bahwa pekerjaan perpolisian (policing) tidak semata-mata pekerjaan normatif yang jelas, tetapi juga pekerjaan socio cultural yang kompleks. Polisi sipil inilah yang merupakan hakikat dari reformasi kultural. Enam tahun sudah pemisahan Polri dengan TNI, dan selama itu pula Polri melakukan reformasi dan berbenah diri. Namun, Polri terkesan lamban dalam berbenah, terutama dalam menghilangkan karakter militeristik serta membangun profesionalisme dan kemandiriannya. Tak heran jika banyak pihak memandang polisi dalam menjalankan tugasnya ibarat pasukan pemadam kebakaran, setelah terjadi ancaman dan gangguan baru mereka bereaksi. Setidaknya itulah yang kita lihat dalam berbagai peristiwa peledakan bom dan kerusuhan yang terjadi di tanah air akhir-akhir ini. Sudah jatuh korban, barulah pak polisi kita sibuk bertindak, padahal seharusnya mereka dapat mencegah jatuhnya korban lebih dini.
Setidaknya ada dua hal yang merupakan kendala besar yang dihadapi Polri dalam melakukan pembenahan organisasi, performance, dan kinerjanya, yaitu sumber daya manusia dan budaya kerja. Sumber daya manusia Polri diukur dari profesionalisme yang di dalamnya terkandung dua unsur, yaitu kemampuan dan sikap mental yang dibentuk melalui pendidikan/pelatihan dan pengembangan/peminaan. Jika sampai saat ini Polri belum dapat menampilkan profesionalisme sebagaimana diharapkan, persoalannya ada pada pola rekrutmen, pendidikan/latihan, perjenjangan, serta promosi kepangkatan dan jabatan. Pola rekrutmen yang ada sekarang memang tidak dapat diharapkan akan menghasilkan polisi yang profesional. Di beberapa daerah sudah bukan rahasia lagi bahwa untuk diterima masuk sekolah Bintara Polri, perlu membayar puluhan juta rupiah sebagai pelicin. Dalam kondisi seperti ini kualitas calon siswa menjadi terabaikan. Padahal untuk mendapatkan output bintara polisi yang baik maka input-nya tentulah remaja yang berkualitas pula, yang selain pintar tentu memiliki etos dan moral yang baik. Karena, para bintara Polri-lah sebenarnya yang merupakan ujung tombak pencitraan Polri secara keseluruhan, karena merekalah yang setiap hari berhadapan langsung dengan masyarakat luas. Begitu pula rekrutmen perwira, baik melalui Akpol maupun Sepa, perlu dilaksanakan seobjektif mungkin. Berbagai sumber menyatakan rekrutmen Akpol selalu mengutamakan anak-anak dari kalangan pamen dan pati Polri, sehingga peluang masyarakat luas mengikuti pendidikan tersebut menjadi sangat kecil, meskipun hal itu selalu dibantah Kapolri.
Begitu pula dengan pola perjenjangan dan promosi, hendaknya didasarkan pada prestasi yang dicapai seorang anggota Polri pada jabatan/masa sebelumnya. Sehingga promosi tidak didasarkan kepada like and dislike (apalagi didasarkan pada adanya praktik kolusi maupun nepotisme), tetapi benar-benar didasarkan pada prestasi. Hal lain yang juga sangat penting untuk dikaji ulang adalah kurikulum dan masa pendidikan serta pola penjenjangan dan promosi yang disesuaikan dengan kebutuhan/keinginan masyarakat yang terus berkembang sejalan dengan era globalisasi. Budaya kerja yang berkembang di dalam tubuh dan organisasi Polri juga menjadi kendala dalam membenahi organisasi, performance, dan kinerja. S Yunanto menyebutkan ada dua bentuk budaya kerja yang tumbuh dan berkembang di dalam tubuh Polri, yaitu solidaritas (solidarity) dan kerahasiaan (secrecy). Dua hal tersebut dipandang sebagai kendala besar dalam melaksanakan pengawasan internal yang selama ini ditangani inspektur jenderal ataupun irwasda yang sekaligus merupakan kendala besar untuk membenahi institusi Polri.

Solidaritas pada dasarnya mengandung makna yang positif. Namun, dalam perjalanan selama ini di dalam tubuh Polri makna tersebut cenderung menjadi negatif, di mana solidaritas wujud sebagai bentuk pembelaan terhadap korps dengan menghilangkan atau setidaknya menyampingkan pertimbangan benar dan salah, baik dan tidak baik. Begitu pula kerahasiaan (secrecy), yang pada prinsipnya mengandung makna mengamankan rahasia tugas, termasuk rahasia negara. Tetapi, dalam tubuh Polri wujudnya dalam bentuk yang negatif, yaitu 'tutup mulut' (keep silent) terhadap kesalahan/penyimpangan yang dilakukan sesama kolega, terlebih lagi terhadap kesalahan/pelanggaran yang dilakukan atasan. Kedua hal sebagaimana diutarakan di atas tadi, bagaimanapun harus secara konsisten dan terus-menerus diupayakan untuk dihilangkan. Caranya dengan menjadikan Polri sebagai institusi yang terbuka, transparan, dan akuntabel. Keterbukaan, transparansi, dan akuntabilitas tersebut tidak saja dilakukan secara internal di mana budaya keterbukaan harus dihidupkan dan dikembangkan di dalam tubuh Polri secara luas. Tanpa menghilangkan budaya patuh dan hormat kepada atasan, setiap anggota Polri perlu diberi kebebasan untuk mengajukan pendapat sepanjang pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya.
Begitu pula secara eksternal, di mana masyarakat luas diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat dan penilaian terhadap kinerja aparat kepolisian, dan semua masukan tersebut dijadikan pertimbangan di dalam menetapkan kebijakan-kebijakan strategis ke depan. Hanya dengan menerapkan budaya keterbukaan itulah polisi sipil yang kita dambakan dalam kerangka masyarakat yang demokratis dapat diwujudkan. Tidaklah berlebihan jika paradigma polisi sipil yang selama ini masih baru sebatas obsesi, dapat menjadi kenyataan di bawah kepemimpinan Kapolri yang baru. Karena itu, Kapolri yang baru perlu benar-benar memahami dan menghayati keinginan masyarakat untuk secara konsekuen mewujudkan reformasi Polri secara menyeluruh.
Pembahasan Reformasi Polri (Kepolisian Negara Republik Indonesia) merujuk pada momentum dipisahkannya Polri secara kelembagaan. Dengan pemisahan struktur organisasi ini aparat kepolisian diharapkan tidak lagi tampil dalam performance dan watak yang militeristik, dan dapat bekerja profesional sebagai aparat kepolisian sipil secara profesional. Secara internal Polri mengartikan pemisahan tersebut sebagai upaya pemandirian Polri dengan melakukan perubahan pada 3 aspek ;
a.Aspek Struktural: Meliputi perubahan kelembagaan kepolisian dalam ketatanegaraan, organisasi, susunan dan kedudukan.
b.Aspek Instrumental: Mencakup filosofi (visi, misi dan tujuan), doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek.
c.Aspek kultural: Meliputi perubahan manajerial, sistem rekrutmen, system pendidikan, sistem material fasilitas dan jasa, sistem anggaran, dan sistem operasional.42

Langkah selanjutnya adalah terbitnya UU Kepolisian yang baru yaitu UU No 2 Tahun 2002. Karena reformasi sudah berjalan 8 (delapan) tahun, dan UU nomor 2 Tahun 2002 sudah berjalan 5 (lima) tahun diharapkan anggpta Polri sudah mengetahui dan memahami fungsi dan perannya, dan melaksanakannya sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Pada 27 Oktober 2008 dikeluarkanlah Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia NO. POL. : KEP / 37 / X / 2008 Tentang Program Kerja Akselerasi Tranformasi Polri Menuju Polri Yang Mandiri, Profesional dan Dipercaya Masyarakat Dalam Rangka Mengemban Tugas-Tugas Pemeliharaan Kamtibmas, Penegakan Hukum, Perlindungan, Pengayoman dan Pelayanan Masyarakat Dalam Mewujudkan Keamanan Dalam Negeri, yang tetap mengacu pada Grand Strategi Polri (2005 - 2025), Grand Strategi Polri dirumuskan dalam tiga tahapan yang mencerminkan
upaya Polri secara gradual yaitu :
a.Tahap I : Trust Building (2005 - 2010). Keberhasilan Polri dalam menjalankan tugas memerlukan dukungan masyarakat dengan landasan kepercayaan (trust).
b.Tahap II : Partnership Building (2011 - 2015). Merupakan kelanjutan dari tahap pertama, di mana perlu dibangun kerjasama yang erat dengan berbagai pihak yang terkait dengan pekerjaan Polri.
c.Tahap III : Strive For Excellence (2016 - 2025). Membangun kemampuan pelayanan publik yang unggul dan dipercaya masyarakat. Dengan demikian kebutuhan masyarakat akan pelayanan Polri yang optimal dapat diwujudkan.

Strategi Pembinaan SDM Menuju Profesionalisme Polri

Posisi polisi ditengah dinamika masyarakat yang kompleks dihadapkan pada berbagai tantangan substansial yang tidak dapat dielakkan. Suatu negara yang ingin menjadi maju dan modern harus memiliki kehidupan masyarakat yang tertib. Kehidupan yang tertib ini merupakan cerminan dari terselenggaranya keadilan melalui penegakan hukum. Sebagai alat negara, polisi menjadi pengawal dan penegak peraturan dan hukum, dimana posisinya yang berhadapan langsung dengan masyarakat membuat polisi membawa tanggungjawab moral dan kebenaran pada aspek penegakan hukum, dalam artian polisi berada pada pihak yang netral, tidak pilih kasih, dan profesional dalam menegakkan hukum. Jadi jelaslah mengapa polisi disini memegang peranan yang teramat penting dalam mewujudkan masyarakat yang maju dan modern.

Terlebih dalam era reformasi ini, masyarakat menuntut pemerintahan yang demokratis dengan terwujudnya supremasi sipil yaitu aparatur pemerintahan berada diatas kepentingan rakyat dan tidak memanfaatkan kewenangannya untuk menyengsarakan rakyat. Perubahan mendesak dan segera yang dihadapi oleh polisi ini, membuat polisi harus menjadi ”ujung tombak” dan ”korban” dari perubahan tersebut. Hal ini senada yang disampaikan oleh Toffler (1990) dan Tafoya (1989) bahwa perubahan itu pasti akan datang untuk menggantikan berbagai ketidakpastian dan benturan-benturan yang ada dalam berbagai bidang kehidupan maupun dampak dari pembangunan nasional. Tatanan dan praktek yang lama, tidak begitu saja digantikan dengan yang baru. Hal ini yang menyebabkan bahwa masyarakat mengalami transisi, dan untuk mengawal masa transisi itulah polisi menjadi baris paling depan untuk mengawalnya.43 Oleh sebab itu, dalam mengawal kehidupan masyarakat ke arah kehidupan demokratis maka dituntut profil polisi yang profesional, yang mampu menjalankan fungsi dan tugas pokoknya dalam memberikan pelayanan keamanan yang bertujuan melindungi harkat dan martabat manusia sehingga dapat menjalankan produktifitasnya dengan aman. Akhir-akhir ini Polri didera berbagai permasalahan yang menyangkut profesionalismenya sebagai alat penegak hukum dan pemelihara kamtibmas. Berbagai masalah yang timbul ini sedikit banyak dipengaruhi oleh dampak negatif pembangunan itu sendiri, antara lain:
a.Menonjolnya pola hidup konsumtif.
b.menonjolnya sifat individualistis.
c.Menipisnya/melemahnya mental spiritual.
d.Menurunnya disiplin nasional.
e.Masih melebarnya kesenjangan sosial.
f.Meningkatnya masalah lingkungan hidup.44

Tafoya menganalogikan permasalahan diatas sebagai ”destructive and long-lasting civil unrest and perceived social injustice”.45 Hal ini semakin mempertanyakan kredibilitas Polri sebagai aparat penegak hukum, apakah komitmen dan integritas sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat hanya sebatas lip service belaka ataukah memang sudah tidak ada lagi sumberdaya manusia Polri yang memegang komitmen tersebut. Berbagai kasus yang terjadi apakah itu penembakan atasan oleh bawahan akibat masalah mutasi, pembatalan mutasi sejumlah perwira menengah Polri, konspirasi jahat demi mendapatkan pangkat dan jabatan, pemberian reward yang hanya memenuhi euforia pimpinan, rekayasa kasus, atau fenomena “whistle blower” oleh pejabat tinggi Polri seolah menambah daftar panjang permasalahan Polri diluar berbagai keluhan-keluhan masyarakat atas buruknya kinerja dan perilaku personel Polri antara lain menyangkut pemerasan, pungli, intimidasi, diskriminasi, penganiayaan, dan sebagainya.46 Pencitraan Polri yang negatif ini seolah-olah menutupi beberapa pencapaian fenomenal Polri dalam hal pemberantasan korupsi, terorisme, narkoba, maupun illegal logging.

Reformasi Polri akhirnya dianggap ideal dalam konsep saja, namun pada pelaksanaannya tidak ada perubahan. Kalau menurut Prof. Awaludin Djamin, konsep perubahan paradigma Polri penuh dengan ”bahasa dewa-dewa”, hanya manis di tulisan namun pahit pada kenyataan. Perubahan dalam aspek struktural dan instrumental sudah berulang kali dibahas dalam segala rapat, apakah itu sifatnya rakor atau rapim. Berbagai regulasi pun sudah berulang kali disampaikan, namun tak kunjung membuat aspek kultural ikut berubah. Masalah kultur sudah menjadi suatu kebiasaan, perilaku sehari-hari polisi sudah menyangkut mentalitasnya dalam bertindak atau bekerja.47 Oleh sebab itu SDM memiliki peran penting sebagai dasar atas keberhasilan Polri dalam melaksanakan fungsi dan perannya sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Terwujudnya perubahan aspek kultural dimulai dari bagaimana Polri itu sendiri membangun sistem SDM secara terpadu dan berkesinambungan, serta bukan hanya menuntut aparatur pelaksananya bekerja secara profesional namun para penentu strategi kebijakan SDM Polri pun harus bertindak diatas dasar profesionalisme yang objektif mengesampingkan hal-hal yang bersifat subjektif. Jika Polri mampu melaksanakan MSDM dengan baik, diharapkan perubahan kultur menuju polisi yang profesional, modern, bermoral dan patuh hukum sebagai perwujudan polisi sipil dalam masyarakat yang demokratis dapat terwujud. Cara-cara menunjukkan jatidiri pada pimpinan dengan perilaku tidak etis seperti pola 3S (sowan, sungkem, setor) dapat digantikan dengan berlomba-lomba menciptakan inovasi pelayanan pada masyarakat, sehingga pada akhirnya masyarakatlah yang bisa menilai polisi tersebut cukup kompeten untuk menduduki jabatan tertentu tanpa harus menyakiti hati rakyat dengan cara-cara yang kurang terpuji.

Profesionalisme merupakan kualitas dan perilaku yang merupakan ciri khas orang yang berkualitas dan profesional. Profesionalisme Polri adalah sikap, cara berpikir, tindakan, dan perilaku pelaksanaan pemolisiannya dilandasi ilmu kepolisian, yang diabdikan pada kemanusian atau melindungi harkat dan martabat manusia sebagai aset utama bangsa dalam wujud terpeliharanya kamtibmas dan tegaknya supremasi hukum. ntuk mengukur profesionalisme menurut Sullivan dapat dilihat dari 3 (tiga) parameter yaitu motivasi, pendidikan, dan penghasilan. Untuk memperoleh aparat penegak hukum yang berkualitas maka harus memenuhi Well MES, yaitu: Pertama, well motivation, harus dilihat motivasi polisi dalam mengabdikan diri pada masyarakat. Dari awal rekrutmennya, seorang calon polisi harus mempunyai cita-cita luhur untuk mencurahkan fisik dan mentalnya hanya untuk masyarakat, bukan motivasi karena faktor-faktor yang lainnya sehingga mempengaruhi interaksinya dengan masyarakat. Kedua, well education, polisi harusnya memiliki standar pendidikan tertentu. Pendidikan dasar kepolisian tidak harus diikuti peserta didik yang memiliki strata tinggi namun lemah dalam mental, akan tetapi standar kurikulum yang harus disusun secara berjenjang sesuai dengan pola kependidikan yang ada dalam Polri. Ketiga, well salary patut mendapat perhatian dari Pimpinan Polri. Gaji polisi tidak seimbang dengan kinerja yang harus dituntut lebih oleh masyarakat akan mempengaruhi perilaku mereka di lapangan, kecilnya penghasilan ditambah dengan penerapan pola hidup yang tidak dimanage dengan baik akan membuat polisi menggunakan kewenangannya untuk melakukan diskresi yang tidak bertanggungjawab.48

Sebagai suatu lembaga, Polri harus didukung oleh SDM yang memiliki kompetensi. Salah satu misi Polri adalah mengelola SDM Polri secara profesional dalam mencapai tujuannya yaitu terwujudnya keamanan dalam negeri, sehingga dapat mendorong meningkatnya gairah kerja guna mencapai kesejahteraan masyarakat. Misi ini menjadi dasar dari upaya pembinaan SDM Polri. Dengan adanya misi yang menyentuh aspek sumber daya manusia, maka sesungguhnya Polri telah berupaya untuk berkomitmen terhadap kualitas kompetensi yang baik bagi para anggotanya. Pengembangan kemampuan, kekuatan, dan penggunaan kekuatan Polri dikelola sedemikian rupa agar dapat mendukung pelaksanaan tugas Polri sebagai pengemban fungsi keamanan dalam negeri. Pencapaian tujuan organisasi yang baik tercermin dari peningkatan kontribusi yang dihasilkan oleh SDM-nya. SDM yang dihasilkan dari rekrutmen yang baik, tentu akan menghasilkan pegawai yang baik pula. Begitu pula dengan pegawai yang telah bekerja secara profesional, tentu mengharapkan peningkatan status pekerjaannya sebagai bukti penghargaan instansi/perusahaan atas kinerjanya selama ini berupa mutasi dan promosi jabatan.49 Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, bahwa pembinaan SDM Polri selalu menuai ketidakpuasan dari berbagai kalangan. Terlebih semakin mengemukanya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh oknum pelaksana, sampai lemahnya pengawasan terhadap proses pembinaan SDM itu sendiri dikarenakan bertemunya berbagai kepentingan-kepentingan antara atasan maupun bawahan. Penyimpangan ini bisa saja terjadi karena adanya motivasi dan kesempatan yang diberikan oleh atasan kepada bawahan untuk melakukan penyimpangan tersebut.50 Karena melibatkan atasan dan bawahan, maka akan terjadi penyimpangan manajerial yang dapat mempengaruhi pengaruh eksternal dan internal Polri. Dampak internal adalah akan mempengaruhi kinerja organisasi serta menimbulkan citra buruk kepolisian di mata masyarakat, sedangkan dampak eksternal adalah terjadinya masyarakat yang dirugikan akibat penyimpangan tersebut.

Memang berbagai upaya telah dilakukan oleh Pimpinan Polri untuk mengeliminir analogi tersebut, termasuk upaya Kapolri Jenderal Pol. Drs.Bambang H.Danuri melalui program Quick Wins-nya dalam bidang pembinaan SDM, namun pada kenyataannya masih saja terjadi penyimpangan sistem pembinaan SDM baik di tingkat pusat maupun daerah. Konsep Electronic Recruitment System, Sistem Transparansi Penilaian dalam Proses Pendidikan, dan Assessment Center sebagai sarana mewujudkan transparansi dan objektifitas dalam seleksi dan penilaian kinerja personel belum dimanfaatkan secara proporsional oleh penyelenggara MSDM. Kembali lagi sistem pembinaan SDM ke pola-pola lama, ibarat kata ”paradigma baru, kultur lama”. Ada anggapan yang tidak mengenakkan saya mengenai pembinaan SDM Polri saat ini, bahwa SDM Polri menjadi sosok yang paling menakutkan alih-alih membina dan menyejukkan para personelnya. Orang Personel dimanapun sering mengungkapkan ”kami tidak bisa membantu banyak, tapi kami bisa menjatuhkan”. Sehingga banyak yang berupaya untuk memberikan ”bakti” sebagai bentuk loyalitas/kesetiaan/utang budi, sehingga yang seharusnya berfungsi membina justru menikmati semacam jeruk makan jeruk.51 Beberapa kondisi pembinaan SDM yang ada sekarang ini antara lain:

1.Pola Rekrutmen:
a.Masih adanya praktik KKN yang mewarnai sistem penerimaan. Walaupun telah komputerisasi, namun saat peserta melaksanakan seleksi (kesehatan, jasmani, psikologi, parade) masih menggunakan sistem manual jadi ada kemungkinan “sponsorship” memainkan perannya disitu untuk menaikkan nilai calon siswa.
b.Belum terakomodirnya putra daerah untuk menjadi polisi sehingga konsep ”local boy for local job” belum terpenuhi secara optimal.
c.Masih dipermasalahkannya domisili memiliki dampak diskriminatif terhadap putra bangsa yang tidak tergolong ”putra daerah” terutama dikaitkan dengan keterbatasan SDM lokal untuk pemenuhan kuota.
d.Pendanaan. Walaupun selalu disampaikan bahwa Polri kekurangan personel untuk meng-cover seluruh wilayah hukum Indonesia, namun Polri malah mengurangi kuota tiap-tiap pendidikan Polri. Berkurangnya peserta didik, menimbulkan permasalahan penempatan lanjutan untuk mengantisipasi kekurangan personel yang ada. Penyalahgunaan sistem kuota dan hak prerogatif Pimpinan menimbulkan penyimpangan manajerial, hal ini dapat dilihat dari penumpukan personel pada suatu daerah yang “basah” dan kurangnya personel di daerah yang dikategorikan “kering”.
e.Tenggat waktu yang relatif sebentar membuat pengumuman rekrutmen kurang menjangkau daerah pelosok, sehingga kuota diapers tidak sesuai dengan target.52

2.Pendidikan:
a.Hak prerogatif yang diberikan kepada Kasatker/wil memungkinkan terjadinya KKN dalam penentuan kelulusan.
b.Belum ada kesinambungan antara masing-masing jenjang pendidikan Polri (Akpol, PPSS, PTIK, Selapa, Sespim, Sespati).
c.Pola pendidikan pembentukan Bintara yang relatif sebentar, sehingga belum mampu menginternalisasi nilai-nilai kejuangan dan profesionalisme Polri.
d.Ambiguitas pendidikan pada level akademi menyangkut regulasi, peserta didik, kurikulum, dan pemberian kepangkatan yang berpengaruh pada hubungan antarpersonal (adanya Akpol SMA dan Akpol Sarjana, kurikulum yang berbeda padahal sama-sama menjalani pendidikan pembentukan, serta masa dinas efektif selama menjalani pendidikan).
e.Motivasi pendidik dan pengasuh bukan untuk mewujudkan center of excellence, tapi lebih kepada pemanfaatan peserta didik untuk kepentingan pribadi atas nama lembaga pendidikan.
f.Belum dihargainya produk-produk lembaga pendidikan Polri untuk pembenahan organisasi maupun kultur.
g.Tidak mengedepankan kualitas calon peserta didik (prinsip senioritas yang tidak memperhatikan mutu, seleksi hanya sebagai formalitas).53

3.Pembinaan karir:
a.Sistem kedekatan personal (angkatan, kesukuan, suka atau tidak suka).
b.Menempatkan personel tidak pada kualifikasinya (the right man on the wrong place, the wrong man on the right place).
c.Sikap pejabat yang ambivalen terhadap figur polisi yang reformis, khawatir pada berkurangnya distribusi kepada pejabat yang bersangkutan.
d.Masih belum optimalnya rotasi dalam penempatan personel (ada personel yang selama hidupnya tidak pindah-pindah dari satu daerah/tanaman keras).
e.Inkonsistensi reward dan punishment, menyebabkan dosa tak berampun jasa tak terhimpun.
f.Tidak memotivasi personel yang bermasalah (tidak memberikan konseling, tidak memberikan jabatan/pekerjaan, menghambat karir).
g.Penempatan personel berdasarkan faktor kedekatan dengan lingkungan eksternal Polri (pengusaha, parpol, DPR/D, tokoh masyarakat, incumbent).54
Strategi yang diharapkan dapat mewujudkan pembinaan SDM dalam memantapkan personel Polri yang profesional adalah dengan mengacu pada:
1.Memanfaatkan secara maksimal Assesment Centre sebagai lembaga penilaian kinerja dan kredibilitas personel Polri.
2.Melakukan kerjasama dengan lembaga pendidikan dalam dan luar negeri untuk meningkatkan profesionalisme personel Polri.
3.Pengkajian dan strategi SDM Polri dalam perumusan kebijakan, program dan pembinaan teknis informasi SDM.
4.Melibatkan unsur akademisi dalam hal seleksi pendidikan pengembangan.
5.Meningkatkan kualitas pendidikan pembentukan dan pengembangan Polri, dengan periode pendidikan dan metode sebagai berikut:
6.Pendidikan pembentukan bintara Polri selama 1 (satu) tahun, dengan perbandingan skill 60% dan knowledge 40%.
7.Pendidikan pembentukan perwira Polri (Akpol) selama 3 (tiga) tahun, dengan perbandingan skill 70% dan knowledge 30%.
8.Pendidikan pembentukan perwira Polri (PPSS) selama 1 (satu) tahun, dengan perbandingan skill 40% dan knowledge 60%.
9.Pendidikan pengembangan perwira Polri (Secapa) selama 6 (enam) bulan, dengan perbandingan skill 70% dan knowledge 30%.
10.Pendidikan pengembangan perwira Polri (PTIK) selama 2 (dua) tahun dan Selapa selama 5 (lima) bulan, dengan perbandingan skill 30% dan knowledge 70%.
11.Pendidikan pengembangan perwira Polri (Sespim dan Sespati) selama 6 (enam) bulan, dengan perbandingan skill 20% dan knowledge 80%.55

Tidak ada komentar: