Gelorakan Pemikiran

Minggu, 10 Oktober 2010

PENERAPAN CHECKS AND BALANCES DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA PASCA PERUBAHAN UUD 1945

Penulis Zaini Bidaya
Editor Rusdianto, SIP

Kata Pengatar

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Tuhan yang maha esa yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya, sehingga penulisan buku “PENERAPAN CHECKS AND BALANCES DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA PASCA PERUBAHAN UUD 1945” buku ini disusun sebagai bahan bacaan tambahan bagi mahasiswa, dosen pada Fisipol dan Fakutas hukum serta praktisi. Buku ini memberikan pemahaman mendasar tentang penerapan checks and balances dalam sistem ketatanegaraan indonesia pasca perubahan uud 1945. Dan semoga kehadiran buku ini bisa semakin memperkaya khasanah pengetahuan pembaca tentang penerapan penerapan pengawasan dan perimbangan pada lembaga – lembaga negara kita sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945. Penulis berupaya secara maksimal mungkin dalam memberikan pemahaman dan penjelasan yang mendasar tentang konsep-konsep pengawasan dan perimbangan bagi lembaga negara sehingga dapat berjalannya adminstrasi dan tugas yang diemban oleh lembaga negara. Penulis sadar atas keterbatasan menyebabkan tulisan ini masih terdapat banyak kekurangan-kekurangan. Oleh karenanya kritik dan saran yang konstruktif sangat diharapkan, sebagai bahan perbaikan buku ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulisan buku ini. denan harapan buku ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.
Mataram, 12 September 2009
Penulis,

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
B.Definisi Negara Hukum.
C.Latar Belakang Timbulnya Konsepsi Negara Hukum.
D.Elemen-Elemen Penting Dari Negara Hukum

BAB II CHEKS AND BALANCES MENURUT SISTEM KETATANEGARAN INDONESIA SEBELUM PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
A.Perubahan Kelembagaan Negara
B.Lembaga-Lembaga Sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945

BAB III MEKANISME CHECKS AND BALANCES MENURUT SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA PASCA PERUBAHAN UUD 1945
A.Lembaga Negara Pasca Perubahan UUD 1945
B.Mekanisme Checks and Balances Antar Lembaga Negara

BAB IV KEKUATAN DAN KELEMAHAN MEKANISME CHEKS AND BALANCES DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA PASCA PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
A.Kekuatan Mekanisme Cheks and Balances Pasca Perubahan Undang-Undang Dasar 1945
B.Kelemahan Mekanisme Cheks and Balances Pasca Perubahan Undang-Undang Dasar 1945

BAB IV PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Ketika gerakan reformasi berhasil meruntuhkan pemerintahan orde baru tahun 1998, banyak hal yang dikemukakan oleh masyarakat terutama kalangan akademisi, berkaitan dengan gagasan untuk merubah Undang-Undang Dasar (UUD) agar mampu membangun sistem politik dan ketatanegaraan yang demokratis. Gagasan ini menjadi relevan karena selama berlakunya UUD 1945 dalam tiga periode sistem politik Indonesia hampir tidak pernah lahir sistem politik yang demokratis sehingga selalu timbul korupsi dalam penyelenggaraan negara.

Salah satu gagasan perubahan yang ditawarkan dalam perubahan UUD 1945 adalah usulan untuk memasukkan mekanisme pengawasan dan perimbangan (checks and balances) di dalam sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia. Usulan ini sangat penting artinya karena pada dua orde pemerintahan sebelumnya, mekanisme checks and balances dapat dikatakan nyaris tidak pernah ada. Dalam pembentukan undang-undang misalnya, seluruhnya didominasi oleh eksekutif, baik proses inisiatifnya maupun pengesahannya. Selama era Orde Baru, tak pernah ada Rancangan Undang-Undang (RUU) datang dari inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bahkan, RUU yang semula dari presiden pun pernah ditolak untuk disahkan oleh presiden sendiri setelah disetujui oleh DPR melalui pembahasan bersama pemerintah selama tak kurang dari delapan bulan. Hal ini bisa terlihat dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran, yang ketika masih menjadi RUU sempat ditolak pengesahannya oleh presiden karena beberapa pasal dianggap tidak mungkin dapat dilaksanakan sehingga DPR dan pemerintah perlu membahas ulang mengenai keberadaan isi dan pasal-pasal tersebut.
Dominasi eksekutif dalam pembentukan undang-undang menjadi sangat kuat di dalam sistem politik yang executive heavy (kekuasaan eksekutif yang kuat) karena tidak ada lembaga yang dapat membatalkan undang-undang. Waktu itu, tidak ada peluang mengajukan usulan pengujian atas undang-undang (judicial review/constitutional review) seperti sekarang ini. Review atas Undang-Undang hanya dapat dilakukan oleh lembaga legislatif melalui legislative review atau political review, padahal lembaga tersebut didominasi oleh presiden. Itulah sebabnya, ketika reformasi membuka pintu bagi dilakukannya perubahan atas UUD 1945, maka yang cukup menonjol disuarakan adalah memasukan mekanisme checks and balances antara lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif.

Dalam hal hubungan antara Eksekutif dan Legislatif, maka menurut Pasal 20 ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945 hasil perubahan, dominasi presiden dalam proses legislasi digeser ke DPR. Dan, jika dalam waktu 30 hari sejak di sahkan di DPR sebuah RUU belum ditandatangani (disahkan) oleh presiden, maka RUU tersebut sah sebagai Undang-Undang dan wajib diundangkan tanpa harus ditandatangani oleh presiden. Ketentuan ini meneguhkan kedudukan dan peranan DPR sebagai lembaga legislatif dalam membentuk undang-undang. Dengan demikian, ketentuan ini dengan jelas memindahkan titik berat kekuasaan legislasi nasional yang semula berada di tangan presiden, beralih ke tangan DPR.

Dalam hal hubungan antara Yudikatif dan Legislatif, gagasan checks and balances diusulkan agar lembaga Yudisial diberi wewenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD. Ini pun kemudian diterima dan dituangkan di dalam Pasal 24 UUD 1945 yang mengatur bukan pengujian isi (uji materi) saja tapi juga pengujian prosedur (uji formal). Mahkamah Konstitusi (MK) menguji undang-undang terhadap UUD sedangkan Mahkamah Agung (MA) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan yang di atasnya.

Dalam kaitan dengan checks and balances itu pula diajukan gagasan perubahan terhadap sistem parlemen. Supremasi MPR yang terdiri dari tiga unsur (DPR, Utusan Daerah, dan Utusan Golongan) disusulkan perubahan menjadi parlemen sistem bikameral (dua kamar) yang terajut dalam mekanisme checks and balances dengan lembaga Negara lainnya khususnya dengan lembaga Eksekutif dan Yudikatif. Gagasan ini menghendaki agar parlemen terdiri dari lembaga perwakilan politik yakni DPR dan lembaga perwakilan territorial yakni DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Pada mulanya, kedua lembaga ini digagas dengan fungsi seperti parlemen yang memiliki DPR dan Senat yang mempunyai fungsi legislasi dan fungsi-fungsi parlemen lainnya seperti fungsi pengawasan dan fungsi anggaran.

Di Amerika Serikat, mekanisme checks and balances terlihat nyata dalam hubungan antara House of Representative (DPR) dan Senate di Kongres (Parlemen) Amerika Serikat yang meletakan keduanya pada fungsi legislasi yang seimbang dan bisa saling melakukan checks and balances. Di Amerika, yang membuat undang-undang adalah kedua kamar di Kongres untuk kemudian dimintakan pengesahan kepada Presiden, tetapi Presiden dapat pula memveto sebuah RUU yang telah diloloskan oleh Kongres. Jika Presiden memveto sebuah RUU yang telah disetujui oleh kedua kamar di Kongres maka RUU itu dikembalikan ke Kongres yakni ke kamar DPR atau Senat sesuai dengan asal diajukannya RUU tersebut untuk kemudian divoting. Jika hasil voting di kamar (asal datangnya RUU) itu tetap memberlakukan RUU dengan dukungan 2/3 suara, maka RUU itu berlaku sebagai undang-undang tanpa harus mendapat persetujuan presiden.
Gagasan awal parlemen bikameral Indonesia tidak persis seperti itu sebab Presiden juga ikut memegang kekuasaan legislatif sehingga tidak dapat memveto sebuah RUU yang telah lolos di parlemen. Tetapi jelas pula bahwa ketika itu yang diusulkan adalah hadirnya sebuah DPD yang juga mempunyai fungsi legislasi sebagai layaknya wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu.

Dalam perjalanannya, gagasan tentang parlemen bikameral yang baik itu ternyata kemudian hilang karena kompromi-kompromi dan menonjolnya kepentingan politik selama proses perubahan. Meskipun kedudukannya merupakan salah satu lembaga Negara yang sejajar dengan DPR, MPR, Presiden, MA, MK, dan BPK, DPD yang anggota-anggotanya dipilih langsung melalui pemilu ternyata di dalam konstitusi hanya diberi fungsi yang sangat sumir dan nyaris tak berarti jika dibandingkan dengan biaya politik dan proses perekrutannya yang demokratis.

Berbeda dengan DPR yang diatur dalam tujuh pasal (Pasal 19 sampai dengan Pasal 22 B) UUD 1945, DPD hanya diatur dalam dua pasal (Pasal 22 C dan Pasal 22 D) UUD 1945. Di dalam UUD 1945 hasil perubahan, memang sama sekali tidak disebut istilah parlemen sehingga tidak mudah menjadikan DPR dan DPD sebagai kamar-kamar dari parlemen dua kamar. Lebih dari itu, jika di dalam UUD disebutkan secara tegas bahwa DPR mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan (Pasal 20 ayat 1) UUD 1945, maka DPD tidak mempunyai fungsi-fungsi tersebut secara penuh. Dalam bidang legislasi, DPD tidak dapat ikut menetapkan undang-undang sebagaimana layaknya lembaga perwakilan rakyat, sebab Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 sudah mengunci bahwa yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang adalah DPR.

B.Definisi Negara Hukum.

Dalam Ensiklopedia Indonesia, istilah “Negara Hukum” (rechtstaat) yang dilawankan dengan negara kekuasaan (machtstaat) dirumuskan sebagai berikut:
1.Negara hukum (bahasa Belanda: rechstaat: Negara bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum, yakni tata tertib yang umumnya berdasarkan hukum yang terdapat pada rakyat. Negara hukum menjaga ketertiban hukum supaya jangan terganggu dan agar semuanya berjalan menurut hukum.
2.Negara kekuasaan (bahasa belanda: machstaat): Negara yang bertujuan untuk memelihara dan mempertahankan kekuasaan semata-mata.
Oleh karena itu para ahli Tata Negara, coba mendefinisikan tentang Negara Hukum. Antara lain:

D’Mutiar’as dalam bukunya Ilmu Tata Negara Umum, memberikan definisi tentang Negara hukum, yakni sebagai berikut: Merupakan Negara yang susunannya diatur dengan sebaik-baiknya dalam undang-undang sehingga segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya didasarkan hukum. Rakyat tidak boleh bertindak sendiri-sendiri menurut semaunya yang bertentangan denagn hukum. Negara hukum itu ialah Negara yang diperintahi bukan oleh orang-orang, tetapi oleh undang-undang (state the not governed by men, but by laws). Karena itu, di dalam Negara hukum, hak-hak rakyat dijamin sepenuhnya oleh Negara dan terhadap Negara, sebaliknya, kewajiban-kewajiban rakyat harus dipenuhi seluruhnya dengan tunduk dan taat kepada kepada segala peaturan pemerintah dan undang-undang. R. Soepomo, mengartikan Negara hukum sebagai berikut: “…bahwa Republik Indonesia dibentuk sebagai negara hukum artinya Negara akan tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum berlaku pula bagi segala badan dan alat-alat perlengkapan Negara”. “Negara hukum menjamin adanya tertib hukum dalam masyarakat yang artinya memberi perlindungan hukum pada masyarakat antara hukum dan kekuasaan ada hubungan timbale balik”. Soediman Kartohadiprodjo: “Apabila kita berhadapan dengan suatu istilah, seperti halnya ‘negara hukum’ ini dan juga istilah-istilah hukum lainnya, maka terlebih dahulukita harus mengetahui pikiran apakah yang hendak dinyatakan dengan istilah tersebut”.

Joeniarto dalam bukunya Negara Hukum, merumuskan sebagai berikut:Asas Negara hukum atau asas the rule of law, berarti dalam penyelenggaraan Negara, tindakan-tindakan penguasanya harus didasarkan hukum, bukan didasarkan kekuasaan atau kemauan penguasannya belaka dengan maksud untuk membatasi penguasa dan bertujuan melindungi kepentingan masyarakatnya, yaitu terhadap hak-hak asasi anggota-anggota masyarakatnya dari tindakan sewenang-wenang. Jadi, sebagaimana halnya kalau mencari definisi atau perumusan tentang Negara dan hukum, dimana berbagai definisi dan perumusan dapat diperoleh, demikian juga untuk istilah Negara hukum tersebut. Namun, pada umumnya, para sarjana dalam mencari perumusan atau pengertian tentang Negara hukum menghubungkannya dengan tujuan dan tugas (fungsi) Negara atau mengenai organisasi intern dan struktur Negara. Kemudian, Gustav Radbruch dalam bukunya Outline of Legal Philosophy mengatakan “Hukum adalah ciptaan manusia, dan sebagai setiap ciptaan makhluk hanyalah mengerti dengan citanya…”Karena itu, “Negara hukum” adalah ciptaan manusia, sehingga ia juga hanya dapat dimengerti dengan citanya, tujuannya. Dan bukanlah Goethe telah mengatakan bahwa: “Orang yang melarikan diri dari cita, akhirnya juga tidak mendapatkan pengertian”… Kemudian Radbruch juga mengatakan bahwa : “Soal-soal tujuan negara hukum dan tujuan negara adalah tidak dapat dipisahkan, karena hukum, atau bagian penting daripadanya, adalah kehendak negara, dan negara atau bagian penting dari padanya adalah suatu lembaga daripada hukum”.

C. Latar Belakang Timbulnya Konsepsi Negara Hukum.

Perkembangan konsepsi negara hukum ataupun perkembangan menuju negara hukum, sejauh data-data ketatanegaraan yang dapat dikumpulkan (di dunia Barat) maka pemikiran tentang negara hukum diawali oleh Plato di zaman Yunani Purba. Sebagai koreksi terhadap pendapatnya yang semula bahwa negara yang ideal ialah yang diselenggarakan atau penyelenggara negaranya ialah para ahli pikir atau ahli filsafat dan negara itu disebut Politea. Dengan mengamati pengalaman penyelenggaraan negara waktu itu ternyata ia berkesimpulan bahwa penyelenggara negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik yang disebutnya dengan istilah Nomoi.
Pemikiran Plato tentang Politea dan Nomoi ini berlangsung dengan baik pada zamannya, namun apabila kita bandingkan dengan sekarang, jelas sangatlah tidak relevan lagi. Tetapi kita tidak pungkiri, bahwasanya ide negara hukum (rechstaat/nomoi) muncul kembali pada permulaan perkembangan aliran liberal.
Istilah “rechtstaat” (negara hukum) adalah suatu istilah yang masih muda, baru muncul pada abad ke-19 jika dibandingkan istilah-istilah terkenal lannya dalam ketatanegaraan, seperti demokrasi, konstitusi, kedaulatan dan sebagainya. Menurut Soediman Kartohariprojo, adalah : “...Istilah itu kali pertama digunakan oleh Rudolf Von Gneist (1816-1895), seorang guru besar di Berlin, Jerman, di mana dalam bukunya “das Englische Verwaltunggerechte” (1857), ia mempergunakan istilah “rechtstaat” untuk pemerintahan negara Inggris”. Namun konsepsi negara hukum, sudah dicetuskan sejak abad ke-17 di negara-negara Eropa Barat, bersama-sama dengan timbulnya perjuangan kekuasaan yang tidak terbatas dari penguasa, yaitu para raja yang berkekuatan absolut. Cita-cita itu, pada mulanya, sangat dipengaruhi oleh aliran individualisme dan mendapat dorongan yang kuat dari Renaissance serta reformasi. Konsepsi atau idea negara hukum yang berhadapan secara kontroversial dengan negara-negara kekuasaan (negara dengan pemerintahan absolut), pada hakekatnya, merupakan hasil dari perdebatan yang terus menerus selama berabad-abad dari para sarjana dan ahli filsafat tentang negara dan hukum, yaitu mengenai persoalan hakekat, asal mula, tujuan negara, dan sebagainya. Khususnya, masalah yang inti, yaitu : mengadakan tindakan-tindakannya dan ditaatinya tindakan-tindakan itu oleh rakyat. Demikianlah, dalam hal ini dapat dicatat dua teori besar tentang negara dan hukum, yaitu teori tentang kedaulatan (souverenete) dan teori asal mula negara, yang telah menghasilkan dua pola negara: negara dan pemerintahan absolut (negara kekuasaan) dan negara hukum. Jika pada abad Pertengahan ada dualisme pemerintahan (kekuasaan) antara kerajaan Tuhan dan kerajaan dunia, antara gereja dan raja sebagai akibat doktrin teokrasi tentang asal mula negara, di mana dominasi dan pengaruh gereja begitu besar terhadap kehidupan negara dan umat manusia maka pada zaman renaissance dan reformasi kekuasaan mutlak beralih kepada negara (raja).
Individualisme yang menjurus ke anarkhisme, feodalisme yang membawa kerusakan dan perpecahan, telah melahirkan ahli-ahli filsafat tentang negara dan hukum zaman Renaissance serta reformasi dengan idea atau konsep negara yang berkedaulatan mutlak, pemerintahan sentral dengan raja yang absolut. Doktrin teokratis tulisan sarjana Eropa abad Pertengahan, yang bersifat universal disempurnakan, digunakan untuk membenarkan kekuasaan raja-raja yang mutlak. Dikatakannya, bahwa raja bertahta karena kehendak Tuhan, kekusaan raja dari Tuhan. Raja adalah wakil Tuhan, bayangan Tuhan, letnan Tuhan di dunia, atau menurut Jean Bodin “Le Rai Cest (Image Dieu)”. Sehingga, pelanggaran terhadap kekuasaan raja berarti pelanggaran terhadap Tuhan.

Sarjana-sarjana dan ahli-ahli filsafat seperti Niccolo machiavelli, Jean Bodin, Thomas Hobbes (dengan teori kontraknya), Jellinek, John Austin, dan sebagainya telah melahirkan suatu teori kedaulatan untuk menopang faham negara dengan kekuasaan mutlak, yang disebut “Teori Kedaulatan Negara” yang merupakan konsep kedaulatan tradisional atau konsep kedaulatan yang monistis.
Pokok-pokok atau intisari konsep kedaulatan negara itu ialah bahwa kekuasaan negara merupakan kekuasaan yang tertinggi dan tidak terbatas, yang dapat memaksakan perintah-perintahnya dengan tidak mengindahkan
Cara pandang perseorangan atau individualistik yang ada pada aliran liberal, yang kemudian mendambakan suatu negara yang berdasarkan hukum, yang menjamin ketertiban dan keamanan masyarakat suatu “rust on orde”. Agar setiap orang dapat dengan aman dan bebas mencari penghidupan dan kehidupannya masing-masing. Negara hukum semacam ini biasa disebut negara jaga malam (nacht- wachterstaat-nachwakerstaat) yang tidak memperhatikan kesejahteraan umum, dan prinsip yang dianut ialah bahwa dalam hal kesejahteraan didasarkan pada persaingan bebas (free-fight) sehingga menumbuhkan “survival of the fittest” atau yang kuatlah yang menang. Ide negara hukum seperti ini dipelopori oleh E. Kant, dikembangkan oleh J. Stahl dengan lebh memantapkannya dengan prinsip-prinsip liberalisme yang dikemukakan oleh Rousseau dan kawan-kawan.
Negara hukum liberal yang dipelopori oleh Kant berkembang menjadi negara hukum formil (Stahl) dengan unsur-unsur utama sebagai berikut:
1).Mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia.
2).Untuk melindungi hak asasi tersebut maka penyelenggaraan negara harus disandarkan pada teori Trias Politica.
3).Pemerintah di dalam menjalankan tugasnya harus berdasarkan persetujuan dengan rakyat yang disebut pemerintahan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur).
4).Apabila pemerintah di dalam menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang “masih” melanggar hak asasi (campur tangan pemerintah) di dalam kehidupan pribadi sesorang (individualistis) maka harus ada peradilan administrasi.

Di dalam perkembangannya kemudian maka unsur wetmatig bestuur atau pemerintah berdasarkan undang-undang (Wettenstaat) dianggap lamban dan diganti dengan prinsip rechtmatig bestuur atau pemerintahan berdasarkan hukum. Dengan demikian konsep negara hukum formal dengan wetmatig bestuur berkembang menjadi negara hukum materiil dengan rechtmatig bestuurnya.

Perkembangan negara hukum liberal menjadi negara hukum formal dan kemudian menjadi negara hukum materiil dan negara kemakmuran (Wohlfahrstaat atau Social Service Staat) adalah khas perkembangan di Eropa kontinental seperti Prancis, Jerman, Belanda. Namun tidak demikian dengan negara-negara yang berdasar atas hukum, sebagaiman yang berkembang di dunia Anglo saxon, di mana yang terutama ialah di Inggris dan Ameria Serikat. Mereka menolak adanya suatu pengadilan tersendiri sebagaimana Peradilan Administrasi. Mereka mengembangkan konsep Rule of Law yang unsur-unsurnya ialah:
1).Supremacy of Law,
2).Equality before the law, dan
3).The constitution based on individual right.

D.Elemen-Elemen Penting Dari Negara Hukum.

Dari sejarah kelahiran, perkembangan, maupun pelaksanaannya diberbagai negara, konsep negara hukum sangat dipengaruhi dan bahkan tidak dapat dipisahkan dari asas kedaulatan rakyat, asas demokrasi, serta asas konstitusional, karena hukum yang hendak ditegakkan dalam negara hukum agar hak-hak asasi warganya benar-benar terlindung haruslah hukum yang benar dan adil, yaitu hukum yang bersumber dari aspirasi rakyat, untuk rakyat, dan dibuat oleh rakyat melalui wakil-wakilnya yang dipilih secara konstitusional tertentu.
Dengan demikian, elemen-elemen yang penting dari sebuah negara hukum, yang merupakan ciri khas atau prinsip pokok dan tidak boleh tidak ada (merupakan syarat mutlak), yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai negara hukum adalah:
1)Asas pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.
2)Asas legalitas
3)Asas pembagian kekuasaan negara
4)Asas peradilan yang bebas dan tidak memhak
5)Asas kedaulatan rakyat
6)Asas demokrasi, dan
7)Asas konstitusional.
1.Pemisahan Kekuasaan
Dalam konstitusi dan praktek pemisahan kekuasaan di berbagai Negara, terdapat berbagai pemahaman tentang “pemisahan kekuasaan”, oleh sebab itu ditemukan penggunaan terminologi “pemisahan kekuasaan” atau “pembagian kekuasaan” ketika konsep pemisahan kekuasaan itu diterapkan secara konkrit pada suatu Negara. Karena itu benar jika Marshall menyatakan bahwa:
“The phrase ‘separation of power’ is however, one of the most confusing in the vocabulary of political and constitutional thought. It has been used with varying implications by historians and political scientist” (Ungkapan pemisahan kekuasaan merupakan salah satu yang paling membingungkan di dalam kosakata pemikiran politik dan konstitusional. Ungkapan pemisahankekuasaan tersebut telah digunakan dengan berbagai implikasi oleh para sejarahwan dan ilmuwan politik).

Teori pemisahan kekuasaan menimbulkan berbagai pengertian dalam berbagai hukum konstitusi, misalnya pemahaman tentang checks and balances, kemerdekaan kekuasaan kehakiman, delegasi kekuasaan legislatif, tanggung-jawab eksekutif terhadap badan pembentuk undang-undang, hak uji materil, dan sebagainya. Oleh karena itu muncul berbagai modifikasi paham pemisahan kekuasaan. Hubungan antara badan legislatif dan yudikatif adalah hubungan yang paling penting dalam suatu sistem konstitusional. Di Inggris ada konsentrasi kekuasaan pada badan legislatif, yang dalam arti tertentu lebih unggul dari pada badan eksekutif dan yudikatif.

John Lock merupakan ideologist pertama yang bereaksi terhadap absolutisme ketika ia mendukung pembatasan kekuasaan politik raja. Menurut pendapat Locke, alasan mengapa manusia memasuki suatu social contract adalah untuk mempertahankan kehidupan, kebebasan dan hak untuk memiliki. Ketiga model dasar itu dipandang sebagai “milik” (property). Milik inilah yang memberikan kepada manusia status politik.
Pemikiran Locke muncul sebagai reaksi terhadap absolutisme, di mana pada abad pertengahan (abad 14-15), kekuasaan pemerintahan di Eropa Barat terpusat pada tangan raja. Kemudian (abad 17-18), muncul konsep yang mengemukakan bahwa kekuasaan membuat peraturan harus di ambil dari tangan raja, yang kemudian harus diserahkan kepada suatu badan kenegaraan (staatkunding organ) yang berdiri sendiri. Sebelumnya, akhir abad pertengahan, yang mula-mula diambil dari tangan raja adalah kekuasaan kehakiman yang kemudian diserahkan kepada badan peradilan.
John Locke yang lahir di Wrington – Inggris (1632-1704), dalam bukunya Two Treaties of Government, yang terbit tahun 1690, membagi kekuasaan itu atas: pertama: kekuasaan membentuk undang-undang (legislatif); kedua, kekuasaan melaksanakan undang-undang (eksekutif); dan ketiga, kekuasaan federatif. John Lock membedakan empat fungsi Negara yaitu pembentukan undang-undang (legislating), membuat keputusan (judging), menggunakan kekuatan secara internal dalam melaksanakan undang-undang (employing forces internally in the execution of the laws) dan menggunakan kekuatan-kekuatan tersebut di luar negeri, dalam membela masyarakat. Locke menamakan fungsi pertama legislative Power, fungsi kedua disebut dengan executive power. Fungsi ketiga disebut federative power, yang meliputi kekuasaan perang dan damai serta kekuasaan luar negeri. Dalam pandangan Locke, fungsi membuat keputusan (the function of judging) dianggapnya bukan sebagai kekuasaan. Dijelaskannya bahwa this was not a separate power, but general attribution of judging (ini bukan suatu kekuasaan terpisah, tetapi suatu atribusi umum Negara). Oleh karena itu tidak perlu mengindividualisir kekuasaan membuat keputusan (the power of judging).

Sesungguhnya John Locke tidak merumuskan teori mengenai pembagian atau pemisahan kekuasaan (division or separation of powers), tetapi membatasi dirinya kepada merasionalisir dan mensistimatisir fungsi-fungsi kekuasaan Negara. Tidak ada tesis yang dapat disimpulkan dari karya Locke, yang berarti bahwa kekuasaan Negara harus diletakkan pada tangan yang berbeda untuk memelihara kebebasan atau menjamin hak-hak individual. Namun Locke mengakui bahwa bila kekuasaan diletakkan pada tangan yang berbeda dapat dicapai suau keseimbangan. Dalam pandangan John Locke, kekuasaan eksekutif dan federatif harus berada pada tangan yang sama; supremasi kekuasaan legislatif terhadap kekuasaan yang lain, pelaksanaan fungsi eksekutif dan yudisial harus dilakukan dalam pelaksanaan undang-undang dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Supremasi kekuasaan legislatif yang dikemukakan oleh Locke tersebut, merupakan akibat dari revolusi Perancis pada tahun 1688, dimana parlemen mencapai supremasinya atas raja. Lebih jauh Locke, menjelaskan bahwa apabila pembuat undang-undang dan pelaksanana undang-undang ada pada satu tangan yang sama, maka dapat membebaskan diri dari undang-undang. Yang dikutip oleh Geoffery Marshall, mengatakan : “…’too great temptation to human frailty, apt to grasp at power, for the same persons who have the power of making laws to have also in their hands the power to execute them, whereby they may exempt themselves from obediences to the laws they make. (“…godaan yang terlalu besar terhadap kelemahan manusia, cenderung untuk merenggut kekuasaan, karena orang yang sama yang memilki kekasaan membuat undang-undang juga memiliki kekuasaan untuk melaksanakannya, dimana mereka dapat mem-bebaskan diri dari kepatuhan terhadap undang-undang yang mereka buat).

Ahli hukum berkebangsaan perancis bernama Charles-Louis de Secondat, yang kelak lebih dikenal sebagai Baron de Montesquieu (1689-1755), dalam bukunya De L’Esprit des Lois terbit tahun 1748, atas pengaruh yang besar dari pemikiran Locke, mengemukakan teori pemisahan kekuasaan Negara dalam 3 (tiga) kekuasaan, yaitu: pertama, kekuasaan legislatif (la puissance de legislative), yang membentuk undang-undang; kedua, kekuasaan eksekutif (la puissance executive), yang melaksanakan undang-undang; dan ketiga, kekuasaan yudikatif (la puissance de juger), yang menjalankan kekuasaan kehakiman. Teori ini dipopulerkan oleh Imannuel Kant dengan sebutan Trias Politica. Dalam pandangan Montequieu, kebebasan politik hanya ada di Negara-negara dimana kekuasaan Negara, bersama dengan semua fungsi yang berkaitan, tidak berada pada tangan yang sama. Sehubungan dengan hal ini Montesquieu mengatakan bahwa: “…it is an eternal experience that any man who is given power tends to abuse it; he does so until he encounters limits (“…adalah suatu pengalaman yang abadi bahwa orang yang diberi kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan; ia melakukannya sampai bertemu batasan-batasannya.) “…In order to avoid the abuse of power, steps must be taken for power to limit power.” (“…Untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan, langkah-langkah harus diambil agar kekuasaan membatasi kekuasaan.)

Berdasarkan studi perbandingan yang dilakukan terhadap berbagai Negara pada masa itu (1748), Montesquieu menyimpulkan bahwa Inggris merupakan satu-satunya Negara yang mengarah langsung kepada kebebasan politik. Dengan mempelajari konstitusi Inggris, kemudian merumuskan teorinya tentang pemisahan kekuasaan. Montesquieu dengan mengikuti pemikiran Locke, menyerahkan berbagai fungsi Negara (the function of making laws), kepada fungsi pembuatan undang-undang, fungsi membuat keputuan dan melaksanakan undang-undang (that of judging and that of executing of laws), dan yang terakhir adalah mencakup apa yang disebut Locke sebagai kekuasaan eksekutif dan federatif. Dalam pendekatannya itu, Montesquieu berkesimpulan bahwa untuk menjamin kebebasan, ketiga fungsi Negara tersebut janganlah berada pada tangan yang sama. Pada bab VI volume XI dalam bukunya De L’Esprit des Lois, Montesquieu mengungkapkan pemikirannya sebagai berikut: When legislative power and executive power are united in the some persons…, there can be no liberty; Neither is there any liberty if the power to judge is separate from the legislatve and executive power…Alls lost if the same man, or the same body of princes, or people exercised these three powers: that of laws, that of executing public resolutions and that of wishes or disputes of individuals. (Bila kekuasaan legislatif dan kekuasan eksekutif berada pada tangan yang sama tidak ada kebebasan…namun tidak ada kebebasan bila kekuasaan untuk memutuskan adalah terpisah dari kekuasaan legislatif dan eksekutif…semuanya hilang jika orang yang sama, atau lembaga yang sama, atau rakyat melaksanakan ketiga kekuasan ini: dari undang-undang, pelaksanana resolusi-resolusi publik dan keinginan-keinginan atau sengketa individu-individu).

Bertentangan dengan apa yang terdapat dalam konstitusi Inggris yang dianalisis oleh Montesquieu, dimana adanya supremasi kekuasan legislatif tehadap kekuasaan lainnya. Keseimbangan kekuasaan dalam sistem Inggris yang dimaksudkan oleh Montesquieu adalah keseimbangan antara unsur yang berbeda yang membagi kekuasaan legislatif (Raja, Lord dan Comon), bukan keseimbangan legislatif terhadap lainnya. Konsep Montesqueiu tidak meliputi usul bahwa wewenang umum (public authority) tertentu harus memiliki prioritas terhadap yang lainnya. Benar bahwa mendefinisikan wewenang legislatif sebagai kehendak umum Negara (general will of the state) wewenang eksekutif sebagai pelaksanaan kehendak umum tersebut (execution of that general will); dapat disimpulkan bahwa eksekutif, sejauh mengenai pelaksanaan itu sendiri, adalah tunduk pada kehendak legislatif, tapi tentu saja bukan dalam pengertian subordinasi politik. Bahkan sebaliknya Montesqueiu berpendapat bahwa ketiga kekuasaan itu sama kedudukannya, sehingga Ia pun mengatakan: ”….They could act as a mutual restraint, as the only possible from of co-opration for the maintenance of political liberty” (“…mereka dapat bertindak saling pengekangan, sebagai satu-satunya bentuk yang mngkin dari kerjasama untuk memelihara kebebasan berpolitik”.) Lebih lanjut Motesqueiu mengatakan bahwa: “These tree powers should constitute a rest, or inaction, But sice, as all things, they must necessarily move, they will be forced to muve in concert” (“ketiga kekuasaan itu harus merupakan sesuatu keadaan istirahat, atau ketidak-giatan. Tetapi karna mereka harus bergerak, mereka akan dipaksa harus bergerak bersamaan”.) Konsep Motesqueiu, seperti juga halnya konsep Locke, merupakan suatu pemikiran untuk mengimbangi kekuasaan absolut melalui pemisahaan kekuasaan. Oleh karna itu, pemisahan kekuasaan lebih merupakan doktrin hukum (legal doctrine) dari pada dalil politik (political postulate), dan juga teori pemisahan kekuasaan Montesqueiu tidak menentukan siapa yang akan menjalankan kedaulatan, tetapi hanya bagaimana kekuasaan harus diatur untuk mencapai tujuan tertentu. Ungkapan di atas, adalah sebagai reaksi terhadap absolutisme dan menggunakan suatu bentuk Negara berdasarkan atas hukum yang didasarkan pada pemisahaan kekuasaan, sebagai jaminan terhadap kebebasan.
Jennings membedakan antara pemisahan kekuasaan dalam arti materil dan pemisahan kekuasaan dalam arti formil. Adapun yang dimaksudkannya dengan pemisahan kekuasaan dalam arti materil ialah pemisahan kekuasaan dalam arti pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam tugas-tugas kenegaraan yang dengan jelas memperlihatkan adanya pemisahan itu kepada tiga bagian: legislative, eksekutif dan yudikatif. Sedangkan yang dimaksudkannya dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formil ialah jika pembagian kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan tegas.
Ismail Sunny dalam bukunya Pergeseran Kekuasaan Ekskutif mengambil kesimpulan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti materil itu sepantasnya disebut separation of powers (pemisahan kekuasaan), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formil sebaiknya disebut division of powers (pembagian kekuasaan). Dalam UUD 1945, meskipun tidak secara eksplisit menyebut tentang ajaran Trias Politika, namun secara nyata asas-asas ajaran Trias Politika secara konstitusional ditegakkan, dilindungi dan dijamin realisasinya oleh UUD 1945. Namun demikian, ajaran Trias Politika yang dikenal dalam UUD 1945 tidak menganut pemisahan kekuasaan dalam arti materil (separation of powers), akan tetapi UUD 1945 mengenal pemisahan kekuasaan dalam arti formil (division of powers) oleh karena pemisahan kekuasaan itu tidak dipertahankan secara prinsipil. Hal itu terlihat dalam pembagian bab-bab dalam UUD 1945 yang menyebutkan:
Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara (Eksekutif)
Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat (Legislatif)
Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman (Yudikatif)
Konstitusi Amerika Serikat dianggap paling konsekuen menerapkan ajaran Trias Politika menurut teori aslinya atau pemisahan kekuasaan dalam arti materil (separation of powers). Hal ini dapat terlihat dari gambaran Constitution of the United States of America berikut ini:
Article I
Section 1 : All Powers herein granted shall be in a Cconggress of the United States, which shall consist of a Senate and house of Representatives.
Article II
Section 1 : The executive Power shall be vested in a President of the United States of America. He shall hold his Office during the Term of four Years, and, together with the Vice President chosen for the same term, be elected as followes.
Article III
Section 1 : The judical Power of the United States, shall be vested in one supreme Court, and in such inferior Courts as Conggress may from time to time ordain and establish.

Menurut konstitusi USA, kekuasaan legislatif di laksanakan oleh Conggres yang terdiri dari The House of Representatives dan the Senate. Kekuasaan eksekutif dilaksanakan oleh Presiden, dan kekuasaan yudikatif dilaksanakan oleh Supreme Court (Mahkamah Agung).
Untuk menjamin agar masing-masing cabang kekuasaan tidak akan melampaui batas kekuasaannya, para penyusun konstitusi Amerika Serikat mengadakan suatu sistem pengawasan, yang dikenal dengan nama mekanisme checks and balances suatu sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi kekuasaan antar cabang kekuasaan Negara. Mekanisme checks and balances berakibat dalam batas-batas tertentu, satu cabang kekuasaan dapat campur tangan dalam tindakan cabang kekuasaan yang lain. Tujuan pengawasan itu supaya ketiga fungsi tersebut menjadi seimbang dalam tiap-tiap keadaan tertentu.
“Politically, the founding Father thought that the government ought to have a mechanism of checks and balances. That means the one house should serve to correct the mistakes and curb the power of other”.
Ilustrasi mengenai bagaimana mekanisme “cheks and balances” tersebut dalam konstitusi Amerika Serikat telah dikemukakan secara sederhana oleh Ferguson dan Mc Henry seperti diuraikan sebagai berikut:
Separation of power is implemented by an elaborate system of cheks and balances. To mention only a few, Congress is checked by the requirement that laws must receive the approval of both houses, by the President’s vote and by the power of judicial review of the courts.
The president is checked by the fact that he cannot encact laws, that no money may be spent excepts in accordance with appropriations made by laws, that Congress can override his veto, that he can be impeached, that treaties must be approved and appointments confirmed by the Senate and by judicial review. The judicial branch is checked by the power retained by the people to amend the constitution, by the power the President with the advice and consent of the Senate to appoint fact that Congres can determine the size of courts and limit the appellate jurisdiction of both the Supreme Court and inferior court”.

Dengan adanya mekanisme cheks and balances, ketiga cabang kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif itu sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain. Dengan demikian, dengan adanya mekanisme cheks and balances ini maka kekuasaan Negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga Negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.
Berbagai kalangan berpendapat bahwa terjadinya krisis di Indonesia beberapa tahun yang lalu bermuara pada ketidakjelasan konsep yang dibangun oleh UUD 1945, tidak adanya cheks and balances antar alat perlengkapan Negara, selain berbagai kelemahan yang melekat pada UUD 1945. Sejak saat itu, berbagai kalangan menyiapkan bahan kajian untuk perubahan UUD 1945 dan mendesak MPR untuk secepatnya melakukan perubahan tersebut. Belakangan muncul aspirasi politik yang menghendaki agar dipakai mekanisme perimbangan kekuasaan (cheks and balances)

BAB III
CHECKS AND BALANCES MENURUT SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA SEBELUM PERUBAHAN UUD 1945

A.Perubahan Kelembagaan Negara
Sejak dasawarsa 70-an abad ke-XX, muncul ge­lombang liberalisasi politik, ekonomi dan kebudayaan besar-besaran di seluruh penjuru dunia. Di bidang politik, muncul gerakan demokratisasi dan hak asasi manusia yang sangat kuat di hampir seluruh dunia. Penggambaran yang menyeluruh dan komprehensif me­ngenai hal ini dapat dibaca dalam tulisan Samuel Huntington dalam tulisannya “Will More Countries Become Democratic?” (1984). Dalam tulisan ini, Huntington menggambarkan adanya tiga gelombang besar demokrasi sejak revolusi Amerika Serikat tahun 1776. Gelombang pertama berlangsung sampai dengan tahun 1922 yang ditandai oleh peristiwa-peristiwa besar di Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, dan Italia. Setelah itu, gerakan demokratisasi meng­alami backlash dengan munculnya fasisme, totali­tarianisme, dan stalinisme terutama di Jerman (Hitler), Italia (Musolini), dan Rusia (Stalin).
Gelombang kedua terjadi sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua, fasisme dan totalitarianisme berhasil dihancurkan, pada saat yang sama muncul pula gelombang dekolonisasi besar-besaran, menumbang imperialisme dan kolonialisme. Karena itu, di­katakan bahwa Perang Dunia II berakhir bukan hanya dengan kemenangan negara pemenangnya sendiri, melainkan dimenangkan oleh ide demokrasi, baik di negara-negara pemenang Perang Dunia Kedua itu sen­diri maupun di negara-negara yang kalah perang dan semua negara bekas jajahan di seluruh dunia, terutama di benua Asia dan Afrika. Namun, gelombang kedua ini mulai terhambat laju perkembangannya sejak tahun 1958 dengan munculnya fenomena rezim bureaucratic authoritarianism di mana-mana di seluruh dunia. Backlash kedua ini timbul karena dinamika internal yang terjadi di masing-masing negara yang baru mer­de­ka yang memerlukan konsolidasi kekuasaan yang ter­sentralisasi dan terkonsentrasi di pusat-pusat ke­kua­saan negara.
Gejala otoritarianisme itu berlangsung beberapa dasawarsa, sebelum akhirnya ditembus oleh munculnya gelombang demokrasi ketiga, terutama sejak tahun 1974, yaitu dengan munculnya gelombang gerakan pro demokrasi di Eropa Selatan seperti di Yunani, Spanyol, dan Portugal, dilanjutkan oleh negara-negara Amerika Latin seperti di Brazil dan Argentina. Gelombang ketiga ini berlangsung pula di Asia, seperti di Filipina, Korea Selatan, Thailand, Burma, dan Indonesia. Terakhir, puncaknya gelombang demokrasi melanda pula negara-negara Eropa Timur dan Uni Soviet yang kemudian ber­ubah dari rezim komunis menjadi demokrasi.
Sementara itu, gelombang perubahan di bidang ekonomi juga berlangsung sangat cepat sejak tahun 1970-an. Penggambaran mengenai terjadinya Mega Trends seperti yang ditulis oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene memperlihatkan dengan jelas bagaimana di seluruh dunia, negara-negara inter­ven­sionist di seluruh dunia dipaksa oleh keadaan untuk mengurangi campur tangannya dalam urusan-urusan bisnis. Sejak tahun 1970, terjadi gelombang privatisasi, deregulasi, dan debirokratisasi besar-besaran di Ing­gris, di Perancis, di Jerman, di Jepang, dan di Amerika Serikat. Bahkan hampir semua negara di dunia dipaksa oleh keadaan untuk mengadakan privatisasi terhadap badan usaha yang sebelumnya dimiliki dan dikelola oleh negara.
Di bidang kebudayaan, yang terjadi juga serupa dengan gelombang perubahan di bidang politik dan ekonomi. Dengan semakin meningkatnya perkem­bangan teknologi transportasi, komunikasi, tele­ko­mu­ni­­kasi, dan informasi, dunia semakin berubah menjadi satu, dan semua aspek kehidupan mengalami proses globalisasi. Cara berpikir umat manusia dipaksa oleh ke­adaan mengarah kepada sistem nilai yang serupa. Bahkan, dalam persoalan selera musik, selera, ma­kanan, dan selera berpakaianpun terjadi proses penye­ra­gaman dan hubungan saling pengaruh mem­penga­ruhi antar negara. Sementara itu, sebagai respons ter­hadap gejala penyeragaman itu, timbul pula fenomea perlawanan budaya dari berbagai tradisi lokal di setiap negara, sehingga muncul gelombang yang saling ber­sitegang satu sama lain, antara globalisasi versus lokalisasi, sehingga secara berseloroh melahirkan istilah baru yang dikenal dengan glokalisasi.
Perubahan-perubahan itu, pada pokoknya, me­nun­tut respons yang lebih adaptif dari organisasi negara dan pemerintahan. Semakin demokratis dan berorientasi pasar suatu negara, semakin organisasi ne­gara itu harus mengurangi perannya dan membatasi diri untuk tidak mencampuri dinamika urusan masya­rakat dan pasar yang mempunyai mekanisme kerjanya sendiri. Dengan perkataan lain, konsepsi negara kese­jah­teraan (welfare state) yang sebelumnya meng­ideal­kan perluasan tanggungjawab negara ke dalam urusan-urusan masyarakat dan pasar, pada masa kini dituntut untuk melakukan liberalisasi dengan mengurangi peran un­tuk menjamin efisiensi dan efektifitas pelayanan umum yang lebih memenuhi harapan rakyat.
Jika dibandingkan dengan kecenderungan se­lama abad ke-20, dan terutama sesudah Perang Dunia Kedua, ketika gagasan welfare state atau negara kesejahteraan sedang tumbuh sangat populer di dunia, hal ini jelas bertolak belakang. Sebagai akibat kelemahan-kelemahan paham liberalisme dan kapi­talis­me klasik, pada abad ke-19 muncul paham sosialisme yang sangat populer dan melahirkan doktrin welfare state sebagai reaksi terhadap doktrin nach­wach­taersstaat yang mendalilkan doktrin the best government is the least government. Dalam paham negara kesejahteraan, adalah tanggungjawab sosial negara untuk mengurusi nasib orang miskin dan yang tak berpunya. Karena itu, negara dituntut berperan lebih, sehingga format kelembagaan orga­ni­sasi birokrasinya juga menjangkau kebutuhan yang lebih luas. Saking luasnya bidang-bidang yang mesti ditangani oleh pemerintahan welfare state, maka dalam perkembangannya kemudian muncul sebutan intervensionist state.
Dalam bentuknya yang paling ekstrim muncul pula rezim negara-negara komunis pada kutub yang sangat kiri. Semua urusan ditangani sendiri oleh biro­krasi negara sehingga ruang kebebasan dalam kehidupan masyarakat (civil society) menjadi sangat sempit. Akibatnya, birokrasi negara-negara kesejah­teraan itu di hampir seluruh dunia mengalami in­efisiensi. Di satu sisi, bentuknya terus berkembang menjadi sangat besar, dan cara kerjanyapun menjadi sangat lamban dan sangat tidak efisien. Di pihak lain, kebebasan warga negara menjadi terkungkung dan ketakutan terus menghantui kehidupan warga negara. Sementara itu, karena perkembangan ilmu penge­tahuan dan teknologi serta dinamika kehidupan nasio­nal, regional, dan internasional yang cenderung berubah sangat dinamis, aneka aspirasi ke arah per­ubahan meluas pula di setiap negara di dunia, baik di bidang ekonomi maupun politik. Tuntutan aspirasi itu pada pokoknya mengarah kepada aspirasi demokra­tisasi dan pengurangan peranan negara di semua bi­dang kehidupan, seperti yang tercermin dalam gelombang ketiga demokratisasi yang digambarkan oleh Samuel P. Huntington tersebut di atas.
Dengan adanya tuntutan perkembangan yang demikian itu, negara modern dewasa ini seakan dituntut untuk berpaling kembali ke doktrin lama seperti dalam paham nachwachtersstaat abad ke-18 dengan mengidealkan prinsip the best government is the least government. Tentu saja, negara modern sekarang tidak mungkin kembali ke masa lalu begitu saja. Dunia terus berkembang. Jarum jam tidak mungkin kembali ke masa lalu. Namun demikian, meskipun negara modern sekarang tidak mungkin lagi kembali ke doktrin abad ke-18, keadaan obyektif yang harus dihadapi dewasa ini memang mengharuskan semua pemerintahan negara-negara di dunia melaku­kan perubahan besar-besaran terhadap format kelem­ba­gaan yang diwarisi dari masa lalu. Perubahan dimaksud harus dilakukan untuk merspons kebutuhan nyata secara tepat. Semua negara modern sekarang ini tidak dapat lagi mempertahankan format lama kelem­bagaan negara dan birokrasi pemerintahannya yang ma­kin dirasakan tidak efisien dalam memenuhi tun­tutan aspirasi rakyat yang terus meningkat.
Semua negara dituntut untuk mengadakan pem­baruan di sektor birokrasi dan administrasi publik. Sebagai gambaran, setelah masing-masing melakukan pembaruan tersebut secara besar-besaran sejak dasawarsa 1970-an dan 1980-an, hampir semua negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), mengembangkan kebijakan yang sama. Alice Rivlin, dalam laporannya pada tahun 1996 ketika menjabat Director of the U.S. Office of Management and Budget menyatakan bahwa sebagian terbesar dari 24 negara anggota OECD sama-sama menghadapi tekanan fundamental untuk melakukan perubahan, yaitu karena faktor ekonomi global, ketidakpuasan warganegara, dan krisis fiskal. Dalam laporan itu, Alice Rivlin menyatakan bahwa respons yang diberikan oleh hampir semua negara relatif sama, yaitu dengan melakukan tujuh agenda sebagai berikut:
1)decentralisation of authority within governmental units and devolution of responsibilities to lower levels of government;
2)a re-examination of what government should both do and pay for, what it should pay for but not do, and what it should neither do nor pay for;
3)downsizing the public service and the privati­sation and corporatisation of activities;
4)consideration of more cost-effective ways of delivering services, such as contracting out, market mechanisms, and users charges;
5)“customer orientation, including explicit quality standards for public services”;
6)benchmarking and measuring performance; and
7)reforms designed to simplify regulation and reduce its costs.

Menurut Laporan OECD yang dikemukakan oleh Alice Rivlin tersebut, untuk menghadapi tantangan ekonomi global dan ketidakpuasan warganegara yang tuntutan kepentingannya terus meningkat, semua negara OECD dipaksa oleh keadaan untuk melakukan serangkaian agenda pembaruan yang bersifat sangat mendasar. Pertama, unit-unit pemerintahan harus mendesentralisasi-kan kewenangan dan devolusi per­tang­gung-jawaban ke lapisan pemerintahan yang lebih rendah; Kedua, semua pemerintahan perlu meng­adakan penilaian kembali mengenai (i) apa yang peme­rintah harus dibiayai dan lakukan oleh pemerintah, (ii) apa yang harus dibiayai tetapi tidak perlu dilakukan sendiri, dan (iii) apa yang tidak perlu dibiayai sendiri dan sekaligus tidak perlu dilakukan sendiri; Ketiga, semua pemerintah perlu memperkecil unit-unit organisasi pelayanan umum, dan memprivatisasikan serta mengkorporatisasikan kegiatan-kegiatan yang sebelumnya ditangani pemerintah. Keempat, semua pemerintahan dianjurkan untuk mengembangkan kebijakan yang pelayanan yang lebih cost-effective, seperti kontrak out-sourcing, mekanisme percaya, dan biaya konsumen (users charges); Kelima, semua pemerintahan berorientasi kepada konsumen, ter­ma­suk dalam mengembangkan pelayanan umum dengan kualitas yang pasti; Keenam, melakukan bench­marking dan penilaian kinerja yang terukur; dan Ketujuh, mengadakan reformasi atau pembaruan yang didesain untuk menyederhanakan regulasi dan mengu­rangi biaya-biaya yang tidak efisien.
Semua kebijakan tersebut penting dilakukan un­tuk maksud mengadakan apa yang oleh David Osborne dan Ted Gaebler disebut reinventing government. Buku terakhir ini malah sangat terkenal di Indonesia. Sejak pertama diterbitkan, langsung mendapat perhatian masyarakat luas, termasuk di Indonesia. Bahkan sejak tahun 1990-an, buku ini dijadikan standar dalam rangka pendidikan dan pelatihan pejabat tinggi pemerintahan untuk menduduki jabatan eselon 3, eselon 2, dan bahkan eselon 1 yang diselenggarakan oleh Lembaga Admi­nistrasi Negara (LAN). Ide pokoknya adalah untuk menyadarkan penentu kebijakan mengenai bobroknya birokrasi negara yang diwarisi dari masa lalu, dan memperkenalkan ke dalam dunia birokrasi itu sistem nilai dan kultur kerja yang lebih efisien, seperti yang lazim dipraktekkan di dunia usaha dan di kalangan para enterpreneurs.
Mengiringi, melanjutkan, dan bahkan men­da­hului buku David Osborne dan Ted Gaebler ini bahkan banyak lagi buku-buku lain yang mengkritik kinerja birokrasi negara modern yang dianggap tidak efisien. Misalnya, seorang psikolog sosial, Warren G. Bennis, menggambarkan dalam tulisannya “The Coming Death of Bureaucracy” (1966) bahwa bureaucracy has become obsolete. Untuk mengatasi gejala the death of bureaucracy tersebut, baik di tingkat pusat maupun di daerah di berbagai negara dibentuk banyak lembaga baru yang diharapkan dapat bekerja lebih efisien. Da­lam studi yang dilakukan Gerry Stoker terhadap pe­merintah lokal Inggris, misalnya, ditemukan kenyataan bahwa:
“Prior to the reorganisation in 1972-4, local authorities worked through a variety of joint committees and boards to achieve economies of scale in service provision (for example in bus operation); to undertake the joint management of a shared facility (for example, a crematorium); or to plan transport and land-use policies across a number of authorities (Flynn and Leach, 1984). Central government too created a number of powerful single-purpose agencies including Regio­nal Hospital Boards (and later in 1974, Area and Regional Health Authorities);”
Di Inggris, gejala perkembangan organisasi non-elected agencies ini telah muncul sejak sebelum diperkenalkannya kebijakan reorganisasi antara tahun 1972-1974. Pemerintahan lokal di Inggris sudah biasa bekerja dengan menggunakan banyak ragam dan bentuk organisasi yang disebut joint committees, boards, dan sebagainya untuk tujuan mencapai prinsip economies of scale dalam rangka peningkatan pelayanan umum. Misalnya, dalam pengoperasian transportasi bus umum, dibentuk kelembagaan tersendiri yang disebut board atau authority.
Pemerintah Inggris menciptakan beraneka ragam lembaga baru yang sangat kuat kekuasaannya dalam urusan-urusan yang sangat spesifik. Misalnya, pada mulanya dibentuk Regional Hospital Board dan kemudian pada tahun 1974 menjadi Area and Regio­nal Health Authorities. New Town Develop­ment Corporation juga dibentuk untuk maksud me­nyukseskan program yang diharapkan akan meng­hubung­kan kota-kota satelit di sekitar kota-kota metoropolitan seperti London dan lain-lain. Demikian pula untuk program pembangunan perdesaan, di­bentuk pula badan-badan otoritas yang khusus me­nangani Rural Development Agencies di daerah-daerah Mid-Wales dan the Scottish Highlands.
Perkembangan yang terjadi di negara-negara lain kurang lebih juga sama dengan apa yang terjadi di Inggris. Sebabnya ialah karena berbagai kesulitan ekonomi dan ketidakstablan akibat terjadinya berbagai perubahan sosial dan ekonomi memaksa banyak negara melakukan eksperimentasi kelembagaan (institutional experimentation) melalui berbagai bentuk organ pemerintahan yang dinilai lebih efektif dan efisien, baik di tingkat nasional atau pusat maupun di tingkat daerah atau lokal. Perubahan-perubahan itu, terutama terjadi pada non-elected agencies yang dapat dilakukan secara lebih fleksibel dibandingkan dengan elected agencies seperti parlemen. Tujuannya tidak lain adalah untuk menerapkan prinsip efisiensi agar pelayanan umum (public services) dapat benar-benar efektif. Untuk itu, birokrasi dituntut berubah menjadi slimming down bureaucracies yang pada intinya diliberalisasikan sedemikian rupa untuk memenuhi tuntutan perkembangan di era liberalisme baru.
Di berbagai negara juga terbentuk berbagai organisasi atau lembaga yang disebut dengan rupa-rupa istilah seperti dewan, komisi, badan, otorita, lembaga, agencies, dan sebagainya. Namun, dalam pengalaman di banyak negara, tujuan yang mulia untuk efisiensi dan efektifitas pelayanan umum (public services) tidak selalu belangsung mulus sesuai dengan yang diharap­kan. Karena itu, kita perlu belajar dari kekurangan dan kelemahan yang dialami oleh berbagai negara, sehingga kecenderungan untuk latah di negara-negara sedang ber­kembang untuk meniru negara maju dalam me­lakukan pembaharuan di berbagai sektor publik dapat meminimalisasi potensi kegagalan yang tidak perlu. Bentuk-bentuk organisasi, dewan, badan, atau komisi-komisi yang dibentuk itu, menurut Gerry Stoker dapat dibagi ke dalam enam tipe organisasi, yaitu:
1.Tipe pertama adalah organ yang bersifat central government’s arm’s length agency;
2.Tipe kedua, organ yang merupakan local authority implementation agency;
3.Tipe ketiga, organ atau institusi sebagai public/private partnership organisation;
4.Tipe keempat, organ sebagai user-organisation.
5.Tipe kelima, organ yang merupakan inter-governmental forum;
6.Tipe Keenam, organ yang merupakan Joint Boards.
Ragam bentuk organ pemerintahan mencakup struktur yang sangat bervariasi, meliputi pemerintah pusat, kementerian-kementerian yang bersifat teritorial (territorial ministeries), ataupun intermediate insti­tutions. Organ-organ tersebut pada umumnya berfungsi sebagai a quasi-governmental world of appoin­ted bodies, dan bersifat non-departmental agencies, single purpose authorities, dan mixed public-private institutions. Sifatnya quasi atau semi pemerintahan, dan diberi fungsi tunggal ataupun kadang-kadang fungsi campuran seperti di satu pihak sebagai pengatur (regulator), tetapi juga menghukum seperti yudikatif yang dicampur dengan legislatif.
Di negara-negara demokrasi yang telah mapan, seperti di Amerika Serikat dan Perancis, pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20, juga banyak ber­tum­buhan lembaga-lembaga negara baru. Lembaga-lem­baga baru tersebut biasa disebut sebagai state auxiliary organs, atau auxiliary institutions sebagai lembaga negara yang bersifat penunjang. Di antara lembaga-lembaga itu kadang-kadang ada juga yang disebut sebagai self regulatory agencies, independent supervisory bodies, atau lembaga-lembaga yang men­jalankan fungsi campuran (mix-function) antara fungsi-fungsi regulatif, administratif, dan fungsi peng­hukum­an yang biasanya dipisahkan tetapi justru dilakukan secara bersamaan oleh lembaga-lembaga baru tersebut.
Di antaranya, ada pula lembaga-lembaga yang hanya bersifat ad hoc atau tidak permanen. Badan-badan atau lembaga-lembaga yang bersifat ad hoc itu, betapapun, menurut John Alder, tetap dapat disebut memiliki alasan pembenaran konstitusionalnya sendiri (constitutional justification). Menurutnya,
“Ad hoc bodies can equally be used as a method of dispersing power or as a method of concentrating power in the hands of central government nominees without the safeguard of parliamentary or democratic accountability. The extent of governmental control can be manipulated according to the particular circumstances.”

Lembaga-lembaga negara yang bersifat ad hoc itu di Inggris, menurut Sir Ivor Jennings, biasanya dibentuk karena salah satu dari lima alasan utama (five main reaons), yaitu:
1. The need to provide cultural or personal services supposedly free from the risk of political interference. Berkembangnya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya atau pelayanan yang bersifat personal yang diidealkan bebas dari risiko campur tangan politik, seperti misalnya the BBC (British Broadcasting Corporation);
2. The desirability of non-political regulation of markets. Adanya keinginan untuk mengatur dinamika pasar yang sama sekali bersifat non-politik, seperti misalnya Milk Marketing Boards;
3. The regulation of independent professions such as medicine and the law. Keperluan mengatur profesi-profesi yang bersifat independen seperti di bidang hukum kedokteran;
4. The provisions of technical services. Kebutuhan untuk mengadakan aturan mengenai pelayanan-pelayanan yang bersifat teknis (technical services) seperti antara lain dengan dibentuknya komisi, the Forestry Commission;
5. The creation of informal judicial machinery for settling disputes. Terbentuknya berbagai institusi yang berfungsi sebagai alat perlengkapan yang bersifat semi-judisial untuk menyelesaikan berbagai sengketa di luar peradilan sebagai ‘alternative dispute resolution’ (ADR).

Kelima alasan tersebut ditambah oleh John Alder dengan alasan keenam, yaitu adanya ide bahwa public ownership of key sectors of the economy is desirable in itself. Pemilikan oleh publik di bidang-bidang ekonomi atau sektor-sektor tertentu dianggap lebih tepat diorganisasikan dalam wadah organisasi tersendiri, seperti yang banyak dikembangkan akhir-akhir ini, misalnya dengan ide Badan Hukum Milik Negara (BHMN).
Karena demikian banyak jumlah dan ragam corak lembaga-lembaga ini, oleh para sarjana biasa dibedakan antara sebutan agencies, institutions atau establishment, dan quango’s (quasi autonomous NGO’s). Dari segi tipe dan fungsi administrasinya, oleh Yves Meny dan Andrew Knapp, secara sederhana juga dibedakan adanya tiga tipe utama lembaga-lembaga pemerintahan yang bersifat khusus tersebut (three main types of specialized administration), yaitu:
1.Regulatory and monitoring bodies (badan-badan yang melakukan fungsi regulasi dan pemantuan);
2.Those responsible for the management of public services (badan-badan yang bertanggungjawab melakukan pengelolaan pelayanan umum); and
3.Those engaged in productive activities (badan-badan yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan produksi).

Dari pengalaman di berbagai negara, dapat diketahui bahwa semua bentuk organisasi, badan, dewan, komisi, otorita, dan agencies yang dikemukakan di atas tumbuh begitu saja bagaikan cendawan di musim hujan. Ketika ide pembaruan kelembagaan diterima sebagai pendapat umum, maka dimana di semua lini dan semua bidang, orang berusaha untuk menerapkan ide pembentukan lembaga dan organisasi-organisasi baru itu dengan idealisme, yaitu untuk modernisasi dan pembaruan menuju efisiensi dan efektifitas pelayanan. Akan tetapi, yang menjadi masalah ialah, proses pembentukan lembaga-lembaga baru itu tumbuh cepat tanpa didasarkan atas desain yang matang dan komprehensif.
Timbulnya ide demi ide bersifat sangat reaktif, sektoral, dan bersifat dadakan, tetapi dibungkus oleh idealisme dan heroisme yang tinggi. Ide pembaruan yang menyertai pembentukan lembaga-lembaga baru itu pada umumnya didasarkan atas dorongan untuk mewujudkan idenya sesegera mungkin karena adanya momentum politik yang lebih memberi kesempatan untuk dilakukannya demokratisasi di segala bidang. Oleh karena itu, trend pembentukan lembaga-lembaga baru itu tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan, sehingga jumlahnya banyak sekali, tanpa disertai oleh penciutan peran birokrasi yang besar.
Upaya untuk melakukan slimming down bureaucracies seperti yang dikemukakan oleh Stephen P. Robbins, belum lagi berhasil dilakukan, lembaga-lembaga baru yang demikian banyak malah sudah dibentuk di mana-mana. Akibatnya, bukan efisiensi yang dihasilkan, melainkan justru menambah in­efisien­si karena meningkatkan beban anggaran negara dan menambah jumlah personil pemerintah menjadi semakin banyak. Kadang-kadang ada pula lembaga yang dibentuk dengan maksud hanya bersifat ad hoc untuk masa waktu tertentu. Akan tetapi, karena banyak jumlahnya, sampai waktunya habis, lembaganya tidak atau belum juga dibubarkan, sementara para peng­urusnya terus menerus digaji dari anggaran pen­dapatan dan belanja negara ataupun anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Dengan perkataan lain, pengalaman praktek di banyak negara menunjukkan bahwa tanpa adanya desain yang mencakup dan menyeluruh mengenai kebutuhan akan pembentukan lembaga-lembaga negara tersebut, yang akan dihasilkan bukanlah efisiensi, tetapi malah semakin inefisien dan menga­caukan fungsi-fungsi antar lembaga-lembaga negara itu sendiri dalam mengefektifkan dan mengefisienkan pelayanan umum (public services). Apalagi, jika ne­gara-negara yang sedang berkembang dipimpin oleh mereka yang mengidap penyakit inferiority complex yang mudah kagum untuk meniru begitu saja apa yang dipraktekkan di negara maju tanpa kesiapan sosial-budaya dan kerangka kelembagaan dari masyarakatnya untuk menerapkan ide-ide mulia yang datang dari dunia lain itu.
Perubahan-perubahan dalam bentuk perombak­an mendasar terhadap struktur kelembagaan negara dan birokrasi pemerintahan di semua lapisan dan di semua sektor, selama sepuluh tahun terakhir dapat dikatakan sangat luas dan mendasar. Apalagi, dengan adanya perubahan UUD 1945, maka desain makro kerangka kelembagaan negara kita juga harus ditata kembali sesuai dengan cetak biru yang diamanatkan oleh UUD 1945 hasil empat rangkaian perubahan pertama dalam sejarah republik kita. Kalau dalam praktek, kita mendapati bahwa ide-ide dan rancangan-rancangan perubahan kelembagaan datang begitu saja pada setiap waktu dan pada setiap sektor, maka dapat dikatakan bahwa perombakan struktural yang sedang terjadi berlangsung tanpa desain yang menyeluruh, persis seperti pengalaman yang terjadi di banyak negara lain yang justru terbukti tidak menghasilkan efisiensi seperti yang diharapkan. Karena itu, di masa transisi sejak tahun 1998, sebaiknya bangsa kita melakukan konsolidasi kelembagaan besar-besaran dalam rangka menata kembali sistem kelembagaan negara kita sesuai dengan amanat UUD 1945.
Seorang ahli konstitusi yang pernah turut serta dalam pembuatan beberapa konstitusi dari bekas jajahan Inggris di Asia Tenggara yaitu Sir Ivor Jennings, dalam bukunya yang berjudul The Law and Constitusion, membantah pendapat Montesqueieu yang dinamakan Trias Politica itu dengan mengataakan : “Juga dalam konstitusi abad XVIII dari Kerajaan Inggris pemisahan kekuasaan itu tidak tercantum”.
Jennings membedakan antara pemisahan kekuasaan dalam arti materiil dan dalam arti formal. Adapun yang dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti materiil ialah pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam tugas-tugas kewarganegaraan yang dengan jelas memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu kepada tiga bagian : legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sedangkan yang dimaksudkannya dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal ialah jika pembagian kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan tegas.
Ismail Sunny dalam bukunya yang berjudul Pergeseran Kekuasaan Eksekutif mengambil kesimpulan, bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti materiil sepantasnya disebut separation of powers (pemisahan kekuasaan), sedangkan dalam arti formal sebaiknya disebut division of power (pembagian kekuasaan).
Undang-Undang Dasar 1945 membagi dalam pasal-pasal tersendiri mengenai tiap-tiap kelengkapan negara yang tiga itu, tetapi dengan tidak menekankan kepada pemisahannya. Dengan demikian, UUD 1945 tidak menganut pemisahan dalam arti materiil (separation of power), akan tetapi UUD 1945 mengenal pemisahan kekuasaan dalam arti formal (division of power) oleh karena pemisahan kekuasaan itu tidak dipertahankan secara prinsipil.

B.Lembaga-Lembaga Negara Sebelum Perubahan UUD 1945
Dalam naskah Penjelasan UUD Negara RI Tahun 1945 sebelum Perubahan adalah sebagai berikut:
1.Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum.
2.Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusional.
3.Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
4.Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi dibawah Majelis.
5.Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
6.Menteri Negara ialah pembantu Presiden, Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa MPR adalah pemegang kekuasaan negara yang tertinggi. MPR sebagai lembaga tertinggi negara merupakan penjelmaan dari pemegang kedaulatan, yaitu seluruh rakyat Indonesia. MPR kemudian mengangkat Presiden dan melimpahkan kewenangan melaksanakan kehendak rakyat kepada Presiden yang dalam hal ini juga disebut sebagai mandataris MPR. Dalam melaksanakan tugasnya, Presiden dibantu oleh menteri-menteri, dan dengan katalain, Presiden menyalurkan sebagian kekuasaannya kepada para menteri.
Berdasarkan tujuh karakteristik pemerintahan dalam Penjelasan UUD Negara RI Tahun 1945 sebelum perubahan yang telah diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa untuk menentukan sistem pemerintahan yang dianut negara Indonesia adalah hal yang sulit. Jabatan kepala pemerintahan yang dipegang oleh Presiden merupakan salah satu karakteristik dari sistem presidensial, namun adanya pertanggung jawaban Presiden kepada MPR sebagai parlemen menunjukkan bahwa sistem parlementerpun turut diadopsi oleh negara ini. Melihat keadaan bahwa segala aktivitas lembaga dalam penyelenggaraan negara bermuara pada MPR serta penetapan kekuasaan negara tertinggi di tangan MPR.
Disamping MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, kelima buah lembaga negara lainnya disebut sebagai Lembaga-Lembaga Tinggi Negara, yaitu :
1. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yaitu lembaga yang memegang kekuasaan legislatif.
2. Presiden, yaitu selaku pemegang kekuasaan eksekutif.
3. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yaitu lembaga yang memegang kekuasaan eksaminatif.
4. Dewan Pertimbangan Agung (DPA), yaitu lembaga yang memegang kekuasaan konsultatif.
5. Mahkamah Agung (MA), yaitu lembaga yang memegang kekuasaan yudikatif.

Dengan demikian Praktik ketatanegaraan di Indonesia selama pemerintahan Orde Baru dianggap sebagai pemerintahan sewenang-wenang, tidak demokratis, dan tidak menjunjung tinggi hukum. Dengan menggunakan berbagai perangkat hukum dan bermacam-macam peralatan politik (supra struktur dan infra struktur), dalam kenyataan, kekuasaan negara berada dan dijalankan berdasarkan kehendak atau semata-mata mengikuti keinginan satu orang.
Di Indonesia, dapat disimpulkan, bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material tidak terdapat dan tidak pernah dilaksanakan di Indonesia, yang ada dan dilaksanakan adalah pemisahan kekuasaan dalam arti formal. Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat pembagian kekuasaan dan bukan pemisahan kekuasaan.
Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat itu biasanya diorganisasikan melalui dua pilihan cara, yaitu melalui sistem pernisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution atau division of power). Pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances). Sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalarn arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pernegang kedaulatan rakyat Selama ini, UUD 1945 menganut paham. pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal, bukan pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal. Kedaulatan rakyat dianggap terwujud penuh dalam wadah MPR yang dapat ditafsirkan sebagai lembaga tertinggi ataupun sebagai forum tertinggi. Dari sini, fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan kewenangan lembaga-lembaga tinggi negara yang ada di bawahnya, yaitu Presiden, DPR, MA, dan seterusnya.

Dalarn perspektif pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal itu, prinsip kesederajatan dan perimbangan kekuasaan itu tidaklah bersifat primer. Karena itu, dalam UUD 1945 yang asli, tidak diatur pernisahan yang tegas dari fungsi legislative, eksekutif dan yudikatif. Dalam kenyataan, alat-alat kelengkapan organisasi negara tidak hanya terbatas pada tiga cabang. Di Indonesia didapati alat-alat kelengkapan negara yang lain yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Majelis Permusyawaratan rakyat (MPR) di samping Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bahkan pernah ada Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Semua alat-alat kelengkapan ini menjalankan juga fungsi membuat, menjalankan dan menegakkan hukum atau undang-undang, di samping alat-alat kelengkapan negara legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Dalam sistem yang lama, fungsi utama DPR lebih merupakan lembaga pengawas daripada lembaga legislatif dalam arti yang sebenarnya. Akan tetapi, dalam Perubahan Pertama dan Kedua UUD 1945, prinsip pemisahan kekuasaan secara horizontal jelas mulai dianut oleh para perumus Perubahan UUD seperti tercermin dalam perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) sampai ayat (5). Anutan prinsip pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan ini penting untuk dijernihkan karena pilihan di antara keduanya sangat mempengaruhi mekanisme kelembagaan dan hubungan antar lembaga negara secara keseluruhan.

BAB IV
MEKANISME CHECKS AND BALANCES MENURUT SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA PASCA PERUBAHAN UUD 1945

A.Lembaga Negara Pasca Perubahan UUD 1945

Salah satu perubahan mendasar dalam UUD 1945 adalah perubahan Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Ketentuan ini membawa implikasi bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilakukan sepenuhnya oleh MPR, tetapi dilakukan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara di atas lembaga-lembaga tinggi negara.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tersebut, UUD 1945 menjadi dasar hukum tertinggi pelaksanaan kedaulatan rakyat. Hal ini berarti kedaulatan rakyat dilakukan oleh seluruh organ konstitusional dengan masing-masing fungsi dan kewenangannya berdasarkan UUD 1945. Jika berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan kedaulatan dilakukan sepenuhnya oleh MPR dan kemudian didistribusikan kepada lembaga-lembaga tinggi negara, maka berdasarkan hasil perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 kedaulatan tetap berada di tangan rakyat dan pelaksanaannya langsung didistribusikan secara fungsional (distributed functionally) kepada organ-organ konstitusional.

Konsekuensinya, setelah Perubahan UUD 1945 tidak dikenal lagi konsepsi lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara. Lembaga-Iembaga negara yang merupakan organ konstitusional kedudukannya tidak lagi seluruhnya hierarkis di bawah MPR, tetapi sejajar dan saling berhubungan berdasarkan kewenangan masing-masing berdasarkan UUD 1945 adalah konstitusi negara Indonesia yang merupakan hasil kesepakatan seluruh rakyat Indonesia. Keberlakuan UUD 1945 berlandaskan pada legitimasi kedaulatan rakyat sehingga UUD 1945 merupakan hukum tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, hasil-hasil perubahan UUD 1945 berimplikasi terhadap seluruh lapangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi perubahan tersebut meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan materi muatan UUD 1945 mencakup 199 butir ketentuan.
UUD 1945 memuat baik cita-cita, dasar-dasar, serta prinsip-prinsip penyelenggaraan negara. Cita-cita pembentukan negara kita kenal dengan istilah tujuan nasional yang tertuang dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu :
a.Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
b.Memajukan kesejahteraan umum;
c.Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
d.Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Untuk mencapai cita-cita tersebut, UUD 1945 telah memberikan kerangka susunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Norma-norma dalam UUD 1945 tidak hanya mengatur kehidupan politik tetapi juga kehidupan ekonomi dan sosial. Hal itu karena para pendiri bangsa menghendaki bahwa rakyat Indonesia berdaulat secara penuh, bukan hanya kedaulatan politik. Maka UUD 1945 merupakan konstitusi politik, konstitusi ekonomi, konstitusi budaya, dan konstitusi sosial yang harus menjadi acuan dan landasan secara politik, ekonomi, dan sosial, baik oleh negara (state), masyarakat (civil society), ataupun pasar (market).

Keseluruhan kesepakatan yang menjadi materi konstitusi pada intinya me­nyang­kut prinsip pengaturan dan pembatasan kekuasaan negara guna mewujudkan tujuan nasional. Karena itu, menurut William G. Andrews, “Under consti­tutionalism, two types of limitations impinge on govern­ment. Power proscribe and procedures prescribed”. Konstitu­sio­nalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu: Pertama, hubungan antara pemerintahan dengan warga negara.
Kedua, hubungan antara lem­baga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Karena itu, biasanya, isi konstitusi dimak­sudkan untuk mengatur mengenai tiga hal penting, yaitu:
(a)me­nen­­tukan pembatasan kekuasaan organ-organ negara,
(b)meng­atur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain, dan
(c)mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara.
Dengan demikian, salah satu materi penting dan selalu ada dalam konstitusi adalah pengaturan tentang lembaga negara. Hal itu dapat dimengerti karena kekuasaan negara pada akhirnya diterjemahkan ke dalam tugas dan wewenang lembaga negara. Tercapai tidaknya tujuan bernegara berujung pada bagaimana lembaga-lembaga negara tersebut melaksanakan tugas dan wewenang konstitusionalnya serta hubungan antar lembaga negara. Pengaturan lembaga negara dan hubungan antar lembaga negara merefleksikan pilihan dasar-dasar kenegaraan yang dianut.
Untuk memahami pengertian lembaga atau organ negara se­ca­ra lebih dalam, kita dapat mendekatinya dari pan­dang­an Hans Kelsen mengenai the concept of the State-Organ da­lam bukunya General Theory of Law and State. Hans Kel­sen menguraikan bahwa “Whoever fulfills a func­tion determined by the legal order is an organ”. Siapa sa­ja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh su­a­tu tata hukum (legal order) adalah suatu organ. Artinya, organ negara itu tidak selalu berbentuk or­ga­­nik. Di samping organ yang berbentuk organik, lebih lu­­­as lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pu­­la disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat men­­­cipta­kan norma (normcreating) dan/atau bersifat men­­­­jalan­kan norma (norm applying). “These functions, be they of a norm-creating or of a norm-applying charac­ter, are all ultimately aimed at the execution of a legal sanc­tion”.

Menurut Kelsen, parlemen yang menetapkan un­dang-undang dan warga negara yang memilih para wakil­nya melalui pemilihan umum sama-sama merupakan or­gan negara dalam arti luas. Demikian pula hakim yang meng­­adili dan menghukum penjahat dan terpidana yang men­jalan­kan hukuman tersebut di lembaga pemasyara­kat­­an, adalah juga merupakan organ negara. Pendek kata, da­lam pengertian yang luas ini, organ negara itu identik dengan individu yang menjalankan fungsi atau jabatan ter­tentu dalam konteks kegiatan bernegara. Inilah yang di­­sebut sebagai jabatan publik atau jabatan umum (public offi­ces) dan pejabat publik atau pejabat umum (public offi­cials).
Di samping pengertian luas itu, Hans Kelsen juga meng­urai­kan adanya pengertian organ negara dalam arti yang sempit, yaitu pengertian organ dalam arti materiil. In­­dividu dikatakan organ negara hanya apabila ia secara pri­­­badi memiliki kedudukan hukum yang tertentu (...he per­­­sonally has a specific legal position). Suatu transaksi hukum perdata, misalnya, kontrak, adalah merupakan tin­dak­an atau perbuatan yang menciptakan hukum seperti halnya suatu putusan pengadilan.
Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan non-departemen, atau lembaga negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh UUD, ada pula yang di­bentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari UU, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasar­kan Ke­pu­tusan Presiden. Hirarki atau ranking kedudukan­nya tentu saja tergantung pada derajat pengaturannya me­nu­rut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD me­rupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk ber­dasarkan UU merupakan organ UU, sementara yang hanya dibentuk karena keputusan presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum ter­ha­dap pejabat yang duduk di dalamnya. Demikian pula jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan ber­da­sarkan Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi ting­katan­nya.

Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara, ada dua unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya; organ adalah status bentuknya (Inggris: form, Jerman: vorm) , sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukannya. Dalam naskah Un­dang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud, ada yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ yang disebut bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah.
1.Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945
Lembaga-Lembaga negara secara tegas dijabarkan sebagaimana teradapat dalam UUD 1945, tidak kurang dari 34 organ yang disebut keberadaannya dalam UUD 1945. Ke-34 organ atau lembaga tersebut adalah:
1) Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR) diatur dalam Bab III UUD 1945 yang juga diberi judul "Majelis permusyawaratan Rakyat". Bab III ini berisi dua pasal, yaitu Pasal 2 yang terdiri atas tiga ayat, Pasal 3 yang juga terdiri atas tiga ayat;
2) Presiden yang diatur keberadaannya dalam Bab III UUD 1945, dimulai dari Pasal 4 ayat (1) dalam pengaturan mengenai Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berisi 17 pasal;
3) Wakil Presiden yang keberadaannya juga diatur dalam Pasal 4 yaitu pada ayat (2) UUD 1945. Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 itu menegaskan, "Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden";
4) Menteri dan Kementerian Negara yang diatur tersendiri dalam Bab V UUD 1945, yaitu pada Pasal17 ayat(1), (2), dan (3);
5) Menteri Luar Negeri sebagai menteri triumpirat yang dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) UUD 1945, yaitu bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan sebagai pelaksana tugas kepresidenan apabila terdapat kekosongan dalam waktu yang bersamaan dalam jabatan Presiden dan Wakil Presiden;
6) Menteri Dalam Negeri sebagai triumpirat bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945;
7) Menteri Pertahanan yang bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri ditentukan sebagai menteri triumpirat menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945. Ketiganya perlu disebut secara sendiri-sendiri, karena dapat saja terjadi konflik atau sengketa kewenangan konstitusional di antara sesama mereka, atau antara mereka dengan menteri lain atau lembaga negara lainnya;
8) Dewan Pertimbangan Presiden yang diatur dalam Pasal 16 Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berbunyi, "Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang";
9) Duta seperti diatur dalam Pasal13 ayat (1) dan (2);
10) Konsul seperti yang diatur dalam Pasal13 ayat (1);
11) Pemerintahan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945;
12) Gubemur Kepala Pemerintah Daerah seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945;
13) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, seperti yang diatur dalam Pasal18 ayat 3 UUD 1945;
14) Pemerintahan Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945;
15) Bupati Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam Pasal18 ayat (4) UUD 1945;
16) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam Pasal18 ayat (3) UUD 1945;
17) Pemerintahan Daerah Kota sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945;
18) Walikota Kepala Pemerintah Daerah Kota seperti yang diatur dalam Pasal18 ayat (4) UUD 1945;
19) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota seperti yang diatur oleh Pasal 18 ayat (3) UUD 1945;
20) Satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau istimewa seperti dimaksud oleh Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, diatur dengan undang-undang. Karena kedudukannya yang khusus dan diistimewakan, satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa ini diatur tersendiri oleh UUD 1945. Misalnya, status Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintahan Daerah Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua, serta Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Ketentuan mengenai kekhususan atau keistimewaannya itu diatur dengan undang-undang. Oleh karena itu, pemerintahan daerah yang demikian ini perlu disebut secara tersendiri sebagai lembaga atau organ yang keberadaannya diakui dan dihormati oleh negara.
21) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diatur dalam Bab VII UUD 1945 yang berisi Pasal 19 sampai dengan Pasal 22B;
22) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang diatur dalam Bab VIIA yang terdiri atas Pasal 22C dan Pasal 220;
23) Komisi Penyelenggaran Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang menentukan bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan oleh suatu komisi yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Nama "Komisi Pemilihan Umum" bukanlah nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh Undang-Undang;
24) Bank sentral yang disebut eksplisit oleh Pasal 230, yaitu "Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensi-nya diatur dengan undang-undang". Seperti halnya dengan Komisi Pemilihan Umum, UUD 1945 belum menentukan nama bank sentral yang dimaksud. Memang benar, nama bank sentral sekarang adalah Bank Indonesia. Tetapi, nama Bank Indonesia bukan nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh undang-undang berdasarkan kenyataan yang diwarisi dari sejarah di masa lalu.
25) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diatur tersendiri dalam Bab VIIIA dengan judul "Badan Pemeriksa Keuangan", dan terdiri atas 3 pasal, yaitu Pasal 23E (3 ayat), Pasal 23F (2 ayat), dan Pasal 23G (2 ayat);
26) Mahkamah Agung (MA) yang keberadaannya diatur dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945;
27) Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga diatur keberadaannya dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945;
28) Komisi Yudisial yang juga diatur dalam Bab IX, Pasal 24B UUD 1945 sebagai auxiliary organ terhadap Mahkamah Agung yang diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945;
29) Tentara Nasional Indonesia (TNI) diatur tersendiri dalam UUD 1945, yaitu dalam Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, pada Pasal 30 UUD 1945;
30) Angkatan Darat (TNI AD) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
31) Angkatan Laut (TNI AL) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
32) Angkatan Udara (TNI AU) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
33) Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) yang juga diatur dalam Bab XII Pasal 30 UUD 1945;
34) Badan-badan lain yang fungsinya terkait dengan kehakiman seperti kejaksaan diatur dalam undang-undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, "Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang".

Jika diuraikan lebih rinci lagi, apa yang ditentukan dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 tersebut dapat pula membuka pintu bagi lembaga-lembaga negara lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945. Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menentukan, "Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang". Artinya, selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, serta Komisi Yudisial dan kepolisian negara yang sudah diatur dalam UUD 1945, masih ada badan-badan lainnya yang jumlahnya lebih dari satu yang mempunyai fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Badan-badan lain yang dimaksud itu antara lain adalah Kejaksaan Agung yang semula dalam rancangan Perubahan UUD 1945 tercantum sebagai salah satu lembaga yang diusulkan diatur dalam Bab tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi tidak mendapat kesepakatan, sehingga pengaturannya dalam UUD 1945 ditiadakan.
Namun, karena yang disebut dalam Pasal 24 ayat (3) tersebut di atas adalah badan-badan, berarti jumlahnya lebih dari satu. Artinya, selain Kejaksaan Agung, masih ada lagi lembaga lain yang fungsinya juga berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yaitu yang menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan. Lembaga-lembaga dimaksud misalnya adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), dan sebagainya. Lembaga-lembaga ini, seperti halnya Kejaksaan Agung, meskipun tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945, tetapi sama-sama memiliki constitutional importance dalam sistem konstitusional berdasarkan UUD 1945.
Misalnya, mengenai keberadaan Komnas Hak Asasi Manusia. Materi perlindungan konstitusional hak asasi manusia merupakan materi utama setiap konstitusi tertulis di dunia. Untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak asasi manusia itu, dengan sengaja negara membentuk satu komisi yang bernama Komnasham (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Artinya, keberadaan lembaga negara bernama Komnas Hak Asasi Manusia itu sendiri sangat penting bagi negara demokrasi konstitusional. Karena itu, meskipun pengaturan dan pembentukannya hanya didasarkan atas undang­-undang, tidak ditentukan sendiri dalam UUD, tetapi keberadaannya sebagai lembaga negara mempunyai apa yang disebut sebagai constitutional importance yang sama dengan lembaga-lembaga negara lainnya yang disebutkan eksplisit dalam UUD 1945.

Sama halnya dengan keberadaan Kejaksaan Agung dan kepolisian negara dalam setiap sistem negara demokrasi konstitusional ataupun negara hukum yang demokratis. Keduanya mempunyai derajat kepentingan (importance) yang sama. Namun, dalam UUD 1945, yang ditentukan kewenangannya hanya kepolisian negara yaitu dalam Pasal 30, sedangkan Kejaksaan Agung sama sekali tidak disebut. Hal tidak disebutnya Kejaksaan Agung yang dibandingkan dengan disebutnya Kepolisian dalam UUD 1945, tidak dapat dijadikan alasan untuk menilai bahwa kepolisian negara itu lebih penting daripada Kejaksaan Agung. Kedua-duanya sama-sama penting atau memiliki constitutional importance yang sama. Setiap yang mengaku menganut prinsip demokrasi konstitusional atau negara hukum yang demokratis, haruslah memiliki perangkat kelembagaan kepolisian negara dan kejaksaan sebagai lembaga-lembaga penegak hukum yang efektif.

2.Pembedaan Lembaga Negara dari Segi Fungsi dan Hierarki

Dari segi fungsinya, ke-34 lembaga tersebut, ada yang bersifat utama atau primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary). Sedangkan dari segi hirarkinya, ke-30 lembaga itu dapat dibedakan ke dalam tiga lapis. Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara. Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja, sedangkan organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah. Memang benar sekarang tidak ada lagi sebutan lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara. Namun, untuk memudahkan pengertian, organ-organ konstitusi pada lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara, yaitu:
b.Presiden dan Wakil Presiden;
c.Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
d.Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
e.Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
f.Mahkamah Konstitusi (MK);
g.Mahkamah Agung (MA);
h.Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Organ lapis kedua dapat disebut lembaga negara saja. Ada yang mendapatkan kewenangannya dari UUD 1945, dan ada pula yang mendapatkan kewenangannya dari undang-undang. Yang mendapatkan kewenangan dari UUD 1945, misalnya, adalah Komisi Yudisial, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara; sedangkan lembaga yang sumber kewenangannya adalah undang-undang, misalnya, adalah Komnas HAM, Komisi Penyiaran Indonesia, dan sebagainya. Kedudukan kedua jenis lembaga negara tersebut dapat disebandingkan satu sama lain. Hanya saja, kedudukannya meskipun tidak lebih tinggi, tetapi jauh lebih kuat. Keberadaannya disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang, sehingga tidak dapat ditiadakan atau dibubarkan hanya karena kebijakan pembentukan undang­undang. Lembaga-lembaga negara sebagai organ konstitusi lapis kedua itu adalah:
a.Menteri Negara;
b.Tentara Nasional ndonesia
c.Kepolisian Negara;
d.Komisi Yudisial;
e.Komisi pemilihan mum;
f.Bank sentral.
Dari keenam lembaga atau organ negara tersebut di atas, yang secara tegas ditentukan nama dan kewenangannya dalam UUD 1945 adalah Menteri Negara, Tentara Nasional lndonesia, Kepolisian Negara, dan Komisi Yudisial. Komisi Pemilihan Umum hanya disebutkan kewenangan pokoknya, yaitu sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum (pemilu). Akan tetapi, nama lembaganya apa, tidak secara tegas disebut, karena perkataan komisi pemilihan umum tidak disebut dengan huruf besar.
Ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 berbunyi, "Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri". Sedangkan ayat (6)-nya berbunyi, "Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang". Karena itu, dapat ditafsirkan bahwa nama resmi organ penyelenggara pemilihan umum dimaksud akan ditentukan oleh undang-undang. Undang-undang dapat saja memberi nama kepada lembaga ini bukan Komisi Pemilihan Umum, tetapi misalnya Komisi Pemilihan Nasional atau nama lainnya.
Selain itu, nama dan kewenangan bank sentral juga tidak tercantum eksplisit dalam UUD 1945. Ketentuan Pasal 23D UUD 1945 hanya menyatakan, "Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang". Bahwa bank sentral itu diberi nama seperti yang sudah dikenal seperti selama ini, yaitu "Bank Indonesia", maka hal itu adalah urusan pembentuk undang-undang yang akan menentukannya dalam undang-undang. Demikian pula dengan kewenangan bank sentral itu, menurut Pasal 23D tersebut, akan diatur dengan UU.
Dengan demikian derajat protokoler kelompok organ konstitusi pada lapis kedua tersebut di atas jelas berbeda dari kelompok organ konstitusi lapis pertama. Organ lapis kedua ini dapat disejajarkan dengan posisi lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan undang-undang, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Konsil Kedokteran Indonesia, dan lain-lain sebagainya.
Kelompok ketiga adalah organ konstitusi yang termasuk kategori lembaga negara yang sumber kewenangannya berasal dari regulator atau pembentuk peraturan di bawah undang-undang. Misalnya Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden belaka. Artinya, keberadaannya secara hukum hanya didasarkan atas kebijakan presiden (presidential policy) atau beleid presiden. Jika presiden hendak membubarkannya lagi, maka tentu presiden berwenang untuk itu. Artinya, keberadaannya sepenuhnya tergantung kepada beleid presiden.
Di samping itu, ada pula lembaga-lembaga daerah yang diatur dalam Bab VI UUD 1945 tentang Pemerintah Daerah. Dalam ketentuan tersebut diatur adanya beberapa organ jabatan yang dapat disebut sebagai organ daerah atau lembaga daerah yang merupakan lembaga negara yang terdapat di daerah. Lembaga-lembaga daerah itu adalah:
a.Pemerintahan Daerah Provinsi;
b.Gubemur;
c.DPRD provinsi;
d.Pemerintahan Daerah Kabupaten;
e.Bupati;
f.DPRD Kabupaten;
g.Pemerintahan Daerah Kota;
h.Walikota;
i.DPRD Kota
Di samping itu, dalam Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, disebut pula adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Bentuk satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa itu, dinyatakan diakui dan dihormati keberadaannya secara tegas oleh undang-undang dasar, sehingga eksistensinya sangat kuat secara konstitusional.

Oleh sebab itu, tidak dapat tidak, keberadaan unit atau satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa itu harus pula dipahami sebagai bagian dari pengertian lembaga daerah dalam arti yang lebih luas. Dengan demikian, lembaga daerah dalam pengertian di atas dapat dikatakan berjumlah sepuluh organ atau lembaga.

Di antara lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945, ada yang dapat dikategorikan sebagai organ utama atau primer (primary constitutional organs), dan ada pula yang merupakan organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs). Untuk memahami per­bedaan di antara keduanya, lembaga-lembaga negara tersebut dapat dibedakan dalam tiga ranah (domain) (i) kekuasaan eksekutif atau pelaksana; (ii) kekuasaan legislatif dan fungsi pengawasan; (iii) kekuasaan kehakiman atau fungsi yudisial.
Dalam cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan negara ada presiden dan wakil presiden yang merupakan satu kesatuan institusi kepresidenan. Dalam bidang kekuasaan kehakiman, meskipun lembaga pelaksana atau pelaku kekuasaan kehakiman itu ada dua, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, tetapi di samping keduanya ada pula Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas martabat, kehormatan, dan perilaku hakim. Keberadaan fungsi Komisi Yudisial ini bersifat penunjang (auxiliary) terhadap cabang kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial bukanlah lembaga penegak hukum (the enforcer of the rule of law), tetapi merupakan lembaga penegak etika kehakiman (the enforcer of the rule of judicial ethics).
Sedangkan dalam fungsi pengawasan dan kekuasaan legislatif, terdapat empat organ atau lembaga, yaitu (i) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), (ii) Dewan Perwakilan Daerah (DPD), (iii) Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR), dan (iv) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Sementara itu, di cabang kekuasaan judisial, dikenal adanya tiga lembaga, yaitu Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial. Yang menjalankan fungsi kehakiman hanya dua, yaitu Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung. Tetapi, dalam rangka pengawasan terhadap kinerja hakim dan sebagai lembaga pengusul pengangkatan hakim agung, dibentuk lembaga tersendiri yang bemama Komisi Yudisial. Komisi ini bersifat independen dan berada di luar kekuasaan Mahkamah Konstitusi ataupun Mahkamah Agung, dan karena itu kedudukannya bersifat independen dan tidak tunduk kepada pengaruh keduanya. Akan tetapi, fungsinya tetap bersifat penunjang (auxiliary) terhadap fungsi kehakiman yang terdapat pada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Meskipun Komisi Yudisial ditentukan kekuasaannya dalam UUD 1945, tidak berarti ia mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Sebagai perbandingan, Kejaksaan Agung tidak ditentukan kewenangannya dalam UUD 1945, sedangkan Kepolisian Negara ditentukan dalam Pasal 30 UUD 1945. Akan tetapi, pencantuman ketentuan tentang kewenangan Kepolisian itu dalam UUD 1945 tidak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa Kepolisian lebih tinggi kedudukannya daripada Kejaksaan Agung. Dalam setiap negara hukum yang demokratis, lembaga kepolisian dan kejaksaan sama-sama memiliki constitutional importance yang serupa sebagai lembaga penegak hukum. Di pihak lain, pencantuman ketentuan mengenai kepolisian negara itu dalam UUD 1945, juga tidak dapat ditafsirkan seakan menjadikan lembaga kepolisian negara itu menjadi lembaga konstitusional yang sederajat kedudukannya dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, seperti presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, DPR, DPD, dan lain sebagainya. Artinya, hal disebut atau tidaknya atau ditentukan tidaknya kekuasaan sesuatu lembaga dalam undang-undang dasar tidak serta merta menentukan hirarki kedudukan lembaga negara yang bersangkutan dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945. Dengan demikian, dari segi keutamaan kedudukan dan fungsinya, lembaga (tinggi) negara yang dapat dikatakan bersifat pokok atau utama adalah :
a.Presiden;
b.DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)
c. DPD (Dewan Perwakilan Daerah)
d.MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat)
e.MK (Mahkamah Konstitusi)
f. MA (Mahkamah Agung)dan
g.BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).
Lembaga tersebut di atas dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara. Sedangkan lembaga-lembaga negara yang lainnya bersifat menunjang atau auxiliary belaka. Oleh karena itu, seyogyanya tata urutan protokoler ketujuh lembaga negara tersebut dapat disusun berdasarkan sifat-sifat keutamaan fungsi dan kedudukannya masing-masing sebagaimana diuraikan tersebut.
Oleh sebab itu, seperti hubungan antara KY dengan MA, maka faktor fungsi keutamaan atau fungsi penunjang menjadi penentu yang pokok. Mes­kipun posisinya bersifat independen terhadap MA, tetapi KY tetap tidak dipandang sederajat sebagai lembaga tinggi negara. Kedudukan protokolemya tetap berbeda dengan MA. Demikian juga Komisi Pengawas Kejaksaan dan Komisi Kepolisian tetap tidak dapat disederajatkan secara struktural dengan organisasi POLRI dan Kejaksaan Agung, meskipun komisi-komisi pengawas itu bersifat independen dan atas dasar itu kedudukannya secara fungsional dipandang sederajat. Yang dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara yang utama tetaplah lembaga-lembaga tinggi negara yang mencerminkan cabang-cabang kekuasaan utama negara, yaitu legislature, executive, dan judiciary.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lembaga-lembaga negara seperti Komisi Yudisial (KY), TNI, POLRI, Menteri Negara, Dewan Pertimbangan Presiden, dan lain-lain, meskipun sama-sama ditentukan kewenangannya dalam UUD 1945 seperti Presiden/ Wapres, DPR, MPR, MK, dan MA, tetapi dari segi fungsinya lembaga-lembaga tersebut bersifat auxiliary atau memang berada dalam satu ranah cabang kekuasaan. Misalnya, untuk menentukan apakah KY sederajat dengan MA dan MK, maka kriteria yang dipakai tidak hanya bahwa kewenangan KY itu seperti halnya kewenangan MA dan MK ditentukan dalam UUD 1945. Karena, kewenangan TNI dan POLRI juga ditentukan dalam Pasal 30 UUD 1945. Namun, tidak dengan begitu, kedudukan struktural TNI dan POLRI dapat disejajarkan dengan tujuh lembaga negara yang sudah diuraikan di atas. TNI dan POLRI tetap tidak dapat disejajarkan strukturnya dengan presiden dan wakil presiden, meskipun kewenangan TNI dan POLRI ditentukan tegas dalam UUD 1945.
Demikian pula, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), dan sebagainya, meskipun kewenangannya dan ketentuan mengenai kelembagaannya tidak diatur dalam UUD 1945, tetapi kedudukannya tidak dapat dikatakan berada di bawah POLRI dan TNI hanya karena kewenangan kedua lembaga terakhir ini diatur dalam UUD 1945. Kejaksaan Agung dan Bank Indonesia sebagai bank sentral juga tidak ditentukan kewe­nangannya dalam UUD, melainkan hanya ditentukan oleh undang-undang. Tetapi kedudukan Kejaksaan Agung dan Bank Indonesia tidak dapat dikatakan lebih rendah daripada TNI dan POLRI. Oleh sebab itu, sumber normatif kewenangan lembaga-lembaga tersebut tidak otomatis menentukan status hukumnya dalam hirarkis susunan antara lembaga negara.

B.Mekanisme Checks and Balances Antar Lembaga Negara
Perubahan UUD 1945 yang bersifat mendasar tentu mengakibatkan pada perubahan kelembagaan negara. Hal ini tidak saja karena adanya perubahan terhadap butir-butir ketentuan yang mengatur tentang kelembagaan negara, tetapi juga karena perubahan paradigma hukum dan ketatanegaraan. Beberapa prinsip-prinsip mendasar yang menentukan hubungan antar lembaga negara diantaranya adalah Supremasi Konstitusi, Sistem Presidentil, serta Pemisahan Kekuasaan dan Check and Balances.
Sebelum perubahan UUD 1945, sistem kelembagaan yang dianut bukan pemisahan kekuasaan (separation of power) tetapi sering disebut dengan istilah pembagian kekuasaan (distribution of power). Presiden tidak hanya memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi (eksekutif) tetapi juga memegang kekuasaan membentuk undang-undang atau kekuasaan legislatif bersama-sama dengan DPR sebagai co-legislator-nya. Sedangkan, masalah kekuasaan kehakiman (yudikatif) dalam UUD 1945 sebelum perubahan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.

Dengan adanya perubahan kekuasaan pembentukan undang-undang yang semula dimiliki oleh Presiden menjadi dimiliki oleh DPR berdasarkan hasil Perubahan UUD 1945, terutama Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1), maka yang disebut sebagai lembaga legislatif (utama) adalah DPR, sedangkan lembaga eksekutif adalah Presiden. Walaupun dalam proses pembuatan suatu undang-undang dibutuhkan persetujuan Presiden, namun fungsi Presiden dalam hal ini adalah sebagai co-legislator, bukan sebagai legislator utama. Sedangkan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung (dan badan-badan peradilan di bawahnya) dan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Hubungan antara kekuasaan eksekutif yang dilakukan oleh Presiden, kekuasaan legislatif oleh DPR dan kekuasaan yudikatif yang dilakukan oleh MA dan MK merupakan perwujudan mekanisme checks and balances. Mekanisme checks and balances dimaksudkan untuk mengimbangi pembangian kekuasaan yang dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga pemegang kekuasaan tertentu atau terjadi kebuntuan dalam hubungan antarlembaga. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan suatu kekuasaan selalu ada peran lembaga lain.
Dalam pelaksanaan kekuasaan pembuatan undang-undang misalnya, walaupun ditentukan kekuasaan membuat undang-undang dimiliki oleh DPR, namun dalam pelaksanaannya membutuhkan kerja sama dengan co-legislator, yaitu Presiden. Bahkan suatu ketentuan undang-undang yang telah mendapatkan persetujuan bersama DPR dan Presiden serta telah disahkan dan diundangkan pun dapat dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK jika dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Khusus mengenai DPD, meskipun terkait dengan kekuasaan legislatif, khususnya berkenaan dengan rancangan undang-undang tertentu, tetapi fungsinya tidak disebut sebagai fungsi legislatif. DPD hanya berfungsi terbatas memberi saran, pertimbangan atau pendapat serta melakukan pengawasan yang sifatnya tidak mengikat. Karena itu DPD bukan sepenuhnya sebagai lembaga legislatif. Keberadaannya hanya bersifat penunjang terhadap fungsi DPR. Di sisi lain, Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahannya mendapatkan pengawasan dari DPR. Pengawasan tidak hanya dilakukan setelah suatu kegiatan dilaksanakan, tetapi juga pada saat dibuat perencanaan pembangunan dan alokasi anggarannya. Bahkan kedudukan DPR dalam hal ini cukup kuat karena memiliki fungsi anggaran secara khusus selain fungsi legislasi dan fungsi pengawasan sebagaimana diatur pada Pasal 20A UUD 1945. Namun demikian kekuasaan DPR juga terbatas, DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden dan atau Wakil Presiden kecuali karena alasan pelanggaran hukum. Usulan DPR tersebut harus melalui forum hukum di MK sebelum dapat diajukan ke MPR. Untuk memperjelas pemahaman terhadap hubungan tersebut maka dijelaskan lebih lanjut pada pemaparan sebagai berikut :

C. Hubungan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan Presiden

MPR dalam Sidang Tahunan 2001 memutuskan menyempurna-kan Pasal 1 ayat (2) lama dan menggantinya menjadi: " Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan menurut UUD. Perubahan itu mengisyaratkan bahwa kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, dan tidak lagi memegang kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945. Perubahan tersebut juga berimplikasi pada pengurangan kewenangan MPR. MPR tidak lagi berwenang memilih presiden dan wakil presiden karena rakyat akan memilihnya secara langsung, wewenang MPR adalah melantik presiden dan wakil presiden hasil pilihan rakyat. MPR pun tidak lagi berwenang memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya, tetapi kewenangan itu baru akan muncul manakala ada usulan dari DPR setelah Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili dan memutuskan bahwa presiden dan/atau wakil presiden bersalah. Wewenang yang masih tetap melekat pada MPR adalah mengubah dan menetapkan UUD 1945. Gagasan meniadakan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara secara konseptual ingin menegaskan, MPR bukan satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Setiap lembaga yang mengemban tugas-tugas politik negara dan pemerintahan (tidak termasuk kekuasaan kehakiman) adalah pelaksana kedaulatan rakyat dan harus tunduk dan bertanggungjawab kepada rakyat. Susunan MPR pun mengalami perubahan. Sebelum, diubah Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 berbunyi sebagai berikut "Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang." Ketentuan tersebut secara jelas menyatakan bahwa anggota MPR terdiri dari anggota DPR, ditambah (diperluas) dengan "utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan". Perluasan keanggotaan MPR tersebut dimaksudkan agar perwakilan tidak hanya terdiri dari unsur politik (DPR), tetapi juga unsur-unsur fungsional (golongan), dan daerah. Hal ini dimaksudkan supaya seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah akan mempunyai wakil dalam Majelis, sehingga Majelis itu akan betul-betul dapat dianggap sebagai penjelmaan rakyat. Di masa Orde Lama, jumlah anggota MPR hanya 609; pada awal Demokrasi Pancasila (1966) jumlah anggota MPR hanya 545, dan pada sidang MPR (1968) berjumlah 828. Di masa Orde Baru, jumlah anggota MPR terus bertambah dari 545 pada 1966 menjadi 1000 pada 1987,1992, 1997. Pada tahun 1999 terjadi pengurangan anggota MPR dari 1000 menjadi 700 orang. Susunan MPR setelah diubah berbunyi: "Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Perubahan Pasal 2 ayat (1) menghapuskan unsur utusan golongan dan mengubah utusan daerah menjadi DPD. Penghapusan golongan menurut Bagir Manan, lebih didorong oleh pertimbangan pragmatik daripada konseptual. Pertama, tidak mudah menentukan golongan yang diwakili. Kedua, cara pengisiannya mudah menimbulkan kolusi politik antara golongan yang diangkat dengan yang mengangkat. Perubahan sistem utusan daerah dimaksudkan agar lebih demokratik dan meningkatkan keikutsertaan daerah dalam penyelenggaraan sehari-hari praktik negara dan pemerintahan, di samping sebagai forum memperjuangkan kepentingan daerah.

Di banyak negara, dua kamar parlemen dalam sistem bikameral itu terdiri dari Majelis Rendah (Lower House) dan Majelis Tinggi (Upper House). Di beberapa negara, majelis rendah biasanya diberi wewenang untuk mengambil prakarsa mengajukan rencana anggaran dan pendapatan negara, sedangkan Majelis Tinggi berperan dalam pembuatan dan perumusan kebijaksanaan luar negeri. Pada prinsipnya, kedua kamar majelis dalam sistem bikameral itu memiliki kedudukan yang sederajat. Satu sama lain tidak saling membawahi, baik secara politik maupun secara legislatif. Undang-undang tidak dapat ditetapkan tanpa persetujuan bersama yang biasanya dilakukan oleh suatu panitia bersama ataupun melalui sidang gabungan di antara kedua majelis itu. Pada mulanya, tujuan dibentuknya parlemen bikameral dihubungkan dengan bentuk negara federasi yang memerlukan dua kamar majelis. Kedua majelis itu perlu diadakan untuk maksud melindungi formula federasi itu sendiri. Tetapi, dalam perkembangannya - bersamaan dengan pergeseran kecenderungan kearah bentuk negara kesatuan - maka sistem bikameral itu juga dipraktikan di lingkungan negara-negara kesatuan. Dua alasan utama yang dapat dikemukakan penggunaan sistem bikameral ini adalah:
a.Adanya kebutuhan akan perlunya suatu keseimbangan yang lebih stabil antara pihak eksekutif dan legislatif, the unbridled power of a single chamber being restrained by the creation of a Second Chamber recruited on a different basis;
b.Keinginan untuk membuat sistem parlementer berjalan, jika tidak lebih efisien, setidak-tidaknya lebih lancar (lebih smooth), melalui suatu majelis (chamber) yang disebut revising chamber untuk memelihara a careful check on the sometimes hasty decisions of a first Chamber.

Penerapan sistem bikameral itu, dalam praktiknya sangat dipengaruhi Pleh tradisi, kebiasaan, dan sejarah ketatanegaraan negara yang bersangkutan. Seperti halnya negara federasi, negara kesatuan juga bertujuan melindungi wilayah tertentu, melindungi etnik, dan kepentingart-kepentingan khusus dari golongan rakyat tertentu (seperti kelompok kepentingan, golongan minoritas, dan sebagainya) dari suara mayoritas (tirani mayoritas). Jadi, sebenarnya tidak banyak perbedaan apakah sistern unicameral atau bikameral yang digunakan dalam negara kesatuan atau federasi itu. Yang penting bahwa sistem majelis tunggal atau ganda itu dapat benar-benar berfungsi untuk menyalurkan aspirasi rakyat dalarn mengawasi jalannya pemerintahan. Ada negara yang menjalankan sistern dua karnar karena latar belakang kesejarahan. Inggris menjalankan sistem dua karnar, antara lain untuk tetap memelihara kehadiran perwakafan kaum bangsawan di samping rakyat umum. Sistern dua kamar di Inggris tidak terlepas dari proses demokratisasi badan perwakilan. Semula badan perwakilan di Inggris hanya terdiri dari kaum bangsawan atau yang mewakili kelompok agama dan institusi tertentu. Demokratisasi dan tumbuhnya kelas sosial baru (kelas menengah), kemudian menuntut perwakilan yang mewakili rakyat umum. Lahirlah Majelis Rendah (House of Commons) di samping Majelis Tinggi (House of Lords). Sistem dua kamar di Amerika Serikat, merupakan hasil kompromi antara negara bagian yang berpenduduk banyak dengan yang berpenduduk sedikit. House of Representatives (DPR) mewakili seluruh rakyat. Setiap negara bagian diwakili sesuai dengan jumlah penduduk. Senate (Senat) mewakili negara bagian. Setiap negara bagian diwakili dua orang Senator tanpa membeda-bedakan negara bagian yang berpenduduk banyak (seperti New York atau California) dengan yang berpenduduk lebih kecil (seperti Alaska, atau Nevada). Perubahan susunan MPR yang terdiri dari DPR dan DPD, seolah mengarah pada pembentukan sistem dua karnar (bikameral). Tetapi dari susunan yang menyebutkan terdiri dari anggota-anggota DPR dan DPD, tidak tergambar konsep dua kamar. Dalam susunan dua kamar, bukan anggota yang menjadi unsur, tetapi badan yaitu DPR dan DPD. Seperti Congress Amerika Serikat yang terdiri dari Senate dan House of Representatives. Kalau anggota yang menjadi unsur, maka MPR adalah badan yang berdiri sendiri di luar DPR dan DPD. Salah satu konsekuensi gagasan dua kamar (terdiri dari DPR dan DPD), perlu nama bagi badan perwakilan yang mencerminkan dua unsur perwakafan tersebut seperti Congress sebagai nama badan perwakilan yang terdiri dari Senate dan House of Representatives. Nama yang digagaskan untuk badan perwakilan dua kamar di Indonesia adalah tetap menggunakan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sebagai konsekuensi penggunaan nama MPR sebagai nama sistem dua kamar, maka MPR tidak lagi menjadi suatu lingkungan jabatan (lingkungan kerja tetap tersendiri) yang memiliki lingkungan wewenang sendiri. Wewenang MPR (baru) melekat pada wewenang DPR dan DPD, atau seperti dalam UUD Amerika Serikat dan lain-lain negara dengan sistem dua kamar, yang ditentukan adalah wewenang Congress, Parliament, Staten Generaal yang pelaksanaannya dilakukan oleh kamar-kamar perwakilannya.

Memperhatikan ketentuan-ketentuan baru dalam UUD 1945, tidak nampak perwujudan gagasan sistem dua kamar. Kalau dalam UUD asli hanya ada dua badan perwakilan tingkat pusat yang terpisah, sekarang malahan menjadi tiga badan perwakilan. Pertama, walaupun ada perubahan, MPR tetap merupakan lingkungan jabatan sendiri. MPR memiliki wewenang sendiri (original) di luar wewenang DPR dan DPD. kedua, sepintas lalu, DPD merupakan lingkungan jabatan yang mandiri, dan memiliki lingkungan wewenang sendiri. Ketiga, DPD bukan badan badan legislatif penuh. DPD hanya berwenang mengajukan dan membahas rancangan undang-undang di bidang tertentu saja yang disebut secara anumeratif dalam UUD. Terhadap hal-hal lain, pembentukan undang-undang hanya ada pada DPR dan Pemerintah. Dengan demikian, rumusan baru UUD tidak mencerminkan gagasan mengikutsertakan daerah dalam penyelengga-raan seluruh praktik dan pengelolaan negara. Sesuatu yang ganjil ditinjau dari konsep dua kamar. Dengan adanya kewenangan yang demikian itu, maka dapat dipahami bahwa MPR itu adalah lembaga yang berdiri sendiri di samping DPR dan DPD. Dengan demikian, UUD 1945 memperkenalkan sistem parlemen trikameral atau trikameralisme.
Perubahan-perubahan mendasar dalam kerangka struktur parlemen Indonesia terjadi mengenai hal-hal sebagai berikut. pertama, susunan keanggotaan MPR berubah secara struktural karena dihapuskannya keberadaan Utusan Golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional (functional representation) dari unsur keanggotaan MPR. Kedua, bersamaan dengan perubahan yang bersifat struktural tersebut, fungsi MPR juga mengalami perubahan mendasar. Majelis ini tidak lagi berfungsi sebagai supreme body yang memiliki kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol, dan karena itu kewenangannyapun mengalami perubahan-perubahan mendasar. Ketiga, diadopsinya prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) secara tegas antara fungsi legislatif dan eksekutif dalam perubahan UUD 1945. Dengan perubahan ini berarti UUD 1945 tidak lagi menganut sistem MPR berdasarkan prinsip supremasi parlemen dan sistem pembagian kekuasaan (distribution of power) oleh lembaga tertinggi MPR ke lembaga-lembaga negara di bawahnya. Keempat, dengan diadopsinya prinsip pemilihan presiden dan wakil presiden dalam satu paket secara langsung oleh rakyat dalam Pasal 6A ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945, maka konsep dan sistem pertanggungjawaban presiden tidak lagi dilakukan oleh MPR, tetapi langsung oleh rakyat.

Perubahan mendasar terjadi pada Pasal 1 ayat (2) yang sebelumnya berbunyi "Kedaulatan di tangan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, berubah menjadi "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar". Perubahan yang sangat mendasar terhadap Pasal 1 ayat (2) telah menimbulkan reaksi keras dari Gerakan Nurani Parlemen, Forum Kajian Ilmiah Konstitusi, sekelompok purnawirawan ABRI dan akademisi yang menentang rumusan itu. Mereka menilai perubahan itu telah mengubah dasar "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan", dan meniadakan eksistensi MPR sebagai lembaga tertinggi negara sebagai pemegang kedaulatan rakyat Tetapi pandangan tersebut ditolak oleh sebagian kelompok yang lain, bahwa eksistensi MPR tidak akan hilang tetapi berubah fungsi sebagai forum, dan bukan sebagai lembaga. Karena sebagai forum, maka MPR tidak perlu lembaga, tetapi hanya merupakan sidang gabungan (joint sesion) antara DPR dan DPD.
Hingga kini perwujudan sistem perwakilan di Indonesia dalam bentuk MPR, memberikan kesan Indonesia menganut sistem unikameral berciri bikameral. Ciri bikameral tak cukup tampak karena kamar lain tidak memiliki fungsi tersendiri dan tidak melembaga. Watak unikameral ini makin menonjol saat 60 persen keanggotaan MPR diisi DPR (500 orang), sehingga MPR kini hanya "DPR luas". Maka pendapat "unikameral berciri bikameral" (atau campuran keduanya) tak cukup meyakinkan untuk menjelaskan watak parlemen Indonesia. Banyak pihak lantas menggunakan istilah ”sistem MPR” bagi sistem perwakilan di Indonesia. Rumusan baru ini justru merupakan penjabaran langsung paham kedaulatan rakyat yang secara tegas dinyatakan pada Pembukaan UUD 1945, alinea IV. Sedangkan rumusan sebelumnya, di mana kedaulatan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, justru telah mereduksi paham kedaulatan rakyat itu menjadi paham kedaulatan negara, suatu paham yang hanya lazim dianut di negara-negara yang masih menerapkan paham totaliterian dan/atau otoritarian. Perubahan ketentuan ini mengalihkan negara Indonesia dari sistem MPR kepada sistem kedaulatan rakyat yang diatur melalui UUD 1945. UUD 1945-lah yang menjadi dasar dan rujukan utama dalam menjalankan kedaulatan rakyat. UUD 1945-lah yang menentukan bagian-bagian mana dari kedaulatan rakyat yang diserahkan pelaksanaannya kepada badan/lembaga yang keberadaan, wewenang, tugas dan fungsinya ditentukan oleh UUD 1945 itu serta bagian mana yang langsung dilaksanakan oleh rakyat, artinya tidak diserahkan kepada badan/lembaga manapun melainkan langsung dilaksanakan oleh rakyat itu sendiri melalui pemilu. Perubahan UUD 1945 terhadap Pasal 3 (rumusan baru) berbunyi sebagai berikut:
1.Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
2.Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil presiden.
3.Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/ atau wakil Presiden dalam masa jabatamya menurut Undang-Undang Dasar.
Dengan ketentuan baru ini secara teoritis berarti terjadi perubahan fundamental dalam sistem ketatanegaraan kita, yaitu sistem yang vertikal hierarkis dengan prinsip supremasi MPR menjadi horizontal fungsional dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi antar lembaga negara (checks and balances).
Perubahan UUD 1945 juga terjadi pada Pasal 37 yang mengatur mekanisme perubahan UUD, rumusannya berbunyi sebagai berikut :
1.Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
2.Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
3.Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
4.Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
5.Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.

Di dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, ditegaskan bahwa MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara. MPR terdiri atas anggota DPR dan Anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Keanggotaan MPR diresmikan dengan Keputusan Presiden. Masa jabatan Anggota MPR adalah lima tahun dan berakhir bersamaan pada saat Anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji. Adapun tugas dan wewenang MPR yaitu:
a.Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
b.Melantik Presiden dan Wakfl Piresiden berdasarkan hasfi pemilihan umum, dalam Sidang Paripurna MPR;
c.Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden dan/ atau Wakil Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di dalam Sidang Paripurna MPR;
d.Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksana-kan kewajibannya dalam masa jabatannya;
e.Memilih Wakil Piresiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari;
f.Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya, sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari;
g.Menetapkan Peraturan Tata Tertib dan kode etik MPR.

Lebih lanjut UU No. 22 Tahun 2003 menegaskan, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Anggota MPR mempunyal hak: a) mengajukan usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar; b) menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan putusan; c) memilih dan dipilih; d) membela diri; e) imunitas; f) protokoler; dan g) keuangan dan administratif. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara. Sidang MPR sah apabila dihadiri:
a.Sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah Anggota MPR untuk memutus usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden;
b.Sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
c.Sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu dari jumlah Anggota MPR untuk selain sidang-sidang sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b.

Untuk melaksanakan tugas dan wewenang MPR berkaitan dengan adanya usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, putusan ditetapkan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR yang hadir. Untuk melaksanakan tugas dan wewenang MPR mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, putusan ditetapkan dengan persetujuan lima puluh persen ditambah satu dari seluruh jumlah Anggota MPR. Untuk melaksanakan tugas dan wewenang MPR yang lain di luar agenda impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden serta mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, putusan ditetapkan dengan suara yang terbanyak. Sebelum mengambil putusan dengan suara yang terbanyak, terlebih dahulu diupayakan pengambilan putusan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat. Pimpinan MPR terdiri atas seorang ketua dan figa orang wakil ketua yang mencerminkan unsur DPR dan DPD yang dipilih dari dan oleh Anggota MPR dalam Sidang Paripurna MPR. Selama Pimpinan MPR belum terbentuk, MPR dipimpin oleh Pimpinan Sementara MPR. Pimpinan Sementara MPR yaitu ketua DPR sebagai Ketua Sementara MPR dan ketua DPD sebagai Wakil Ketua Sementara MPR. Dalam hal ketua DPR dan/atau ketua DPD berhalangan, kedudukannya digantikan oleh salah satu Wakil Ketua DPR dan/atau Wakil Ketua DPD.

D.Hubungan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Presiden

Perubahan pertama terhadap UUD 1945 terjadi pada tanggal 19 Oktober 1999, dalam Sidang Umum MPR yang berlangsung tanggal 14-21 Oktober 1999. Dalam perubahan ini terjadi pergeseran kekuasaan presiden dalam membentuk undang-undang, yang diatur dalam Pasal 5, berubah menjadi presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang, dan Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20). Perubahan pasal ini memindahkan titik berat kekuasaan legislasi nasional yang semula berada di tangan Presiden, beralih ke tangan DPR. Rumusan Pasal 20 (baru) berbunyi sebagai berikut:
(1)Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
(2)Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4)Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersarna untuk menjadi undang-undang.
(5)Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam, waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi, undang-undang dan wajib diundangkan. Secara umum dipahami oleh masyarakat, fungsi DPR meliputi fungsi legislasi, fungsi pengawasan dan fungsi budget. Diantara ketiga fungsi itu, biasanya yang paling menarik perhatian para politisi untuk diperbincangkan adalah tugas sebagai pemrakarsa pembuatan undangundang. Namun, jika ditelaah secara kritis, maka tugas pokok yang pertama yaitu sebagai pengambil inisiatif pembuatan undang-undang, dapat dikatakan telah mengalami kemunduran serius dalarn perkembangan akhir-akhir ini Sepanjang pemerintahan Orde Baru rasanya belum pernah ada undang-undang yang lahir dari inisiatif DPR, semua inisiatif berasal dari eksekutif, DPR tinggal mengesahkan. Sehingga sering muncul sindiran sinis terhadap DPR yang hanya sebagai "tukang stempel". Peran DPR periode 1999-2004 yang paling menonjol adalah fungsi pengawasan terhadap eksekutif, sementara peran di bidang legislatif dan budget belurn terlihat hasil yang menonjol. Biasanya, dalarn berbagai konstitusi negara-negara berdaulat dimana-mana, memang diadakan perumusan mengenai tugas pembuatan undang-undang (legislasi) dan tugas pelaksanaan undang-undang itu (eksekutif) ke dalam dua kelompok pelembagaan yang menjalankan peranan yang berbeda. Meskipun demikian apabila ditelaah secara mendalam, sesungguhnya tidak satu pun teks konstitusi maupun praktek di mana pun yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif itu secara kaku. Baik dalarn rumusan formal apalagi dalam kenyataan praktek, fungsi-fungsi legislatif dan eksekutif selalu bersifat tumpang tindih Setelah terjadi perubahan, beban tugas dan tanggungjawab DPR menjadi bertambah berat. Tetapi itulah yang seharusnya dilakukan karena salah satu fungsi DPR adalah menjalankan fungsi legislasi samping fungsi pengawasan dan budget. Pergeseran kewenangan membentuk undang-undang dari yang sebelumnya di tangan Presiden dan dialihkan kepada DPR merupakan langkah konstitusional untuk meletakkan secara tepat fungsi-fungsi lembaga negara sesuai bidang tugasnya masing-masing yakni DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang (kekuasaan legislatif) dan Presiden sebagai lembaga pelaksana undang-undang (kekuasa eksekutif). Perubahan UUD 1945 yang tercakup dalam materi tentang Dewan Perwakilan Rakyat dimaksudkan untuk memberdayakan DPR dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga perwakilan yang dipilih oleh rakyat untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya. Rumusan Pasal 20 ayat (5) hasil perubahan kedua UUD 1945 di atas dipandang sebagai solusi jika terjadi kemacetan atau penolak dari Presiden untuk mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama dengan DPR. Secara hukum, hak tolak Presiden menjadi tidak berarti, karena suatu rancangan undang-undang yang telah disetujui akan tetap menjadi undang-undang tanpa pengesahaan Presiden. Hal yang tadinya dimaksudkan sebagai balancing antara DPR dan Presiden dalam pembentukan undang-undang, tetapi yang terjadi justru hilangnya hak tolak Presiden. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan kesimpangsiuran hukum yang mernbawa dampak negatif dalarn kehidupan kenegaraan Anehnya, kata Buyung Nasution, Komisi Konstitusi yang ditugaskan untuk mengkaji UUD 1945 hasil amandemen, justru mengusulkan agar rumusan Pasal 20 ayat (5) Diperkuat dengan menambahkan kata "harus" sehingga rumusannya berbunyi "Presiden harus mengesahkan RUU yang telah disetujui untuk menjadi UU selambat-lambatnya 30 hari setelah disetujui bersama-sama dan wajib diundangkan." Di sisi lain untuk RUU APBN, dirumuskan bahwa Presiden lah yang mengajukannya, namun kata putus tetap saja ada pada DPR, sambil memperhatikan pertimbangan (Pasal 23. ayat (2)). Konstruksi ini menambah daftar panjang ketidakseimbangan antara Legislatif dengan Eksekutif.
Perubahan lain mengenai fungsi dan hak lembaga DPR serta hak DPR yang diatur dalam Pasal 20A, berbunyi sebagai berikut :
1. Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
2. Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam, pasal-pasal lain Undang-Undang dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat
3. Selain hak yang diatur dalam Pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.
4. Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjadikan DPR berfungsi secara optimal sebagai lembaga perwakilan rakyat sekaligus perkokoh pelaksanaan checks and balances oleh DPR. Akan tetapi sejumlah ahli hukum tata negara menilai, bahwa perubahan ini justru telah menggeser executive heavy ke arah legislative heavy, sehingga terkesan bahkan keseimbangan yang dituju melalui perubahan UUD 1945 tetapi DPR ingin memusatkan kekuasaan di tangannya Berdasarkan UUD 1945 hasil perubahan, kekuasaan legislatif ada di DPR, (Pasal 20 ayat (1)) bukan MPR atau DPD. Kekuasaan pada DPR diperbesar dengan diantaranya: DPR diberikan kekuasaan memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam mengangkat Duta Besar dan menerima penempatan duta negara lain (Pasal 13 ayat (2) dan (3)) memberikan amnesti dan abolisi (Pasal 14 ayat (2)), DPR juga diberikan kekuasaan dalam bentuk memberikan persetujuan bila Presiden hendak membuat perjanjian dengan negara lain, menyangkut bidang perekonomian, perjanjian damai, menyatakan perang serta perjanjian internasional lainnya yang berpengaruh terhadap integritas wilayah (Pasal 11 ayat (2) dan (3)). DPR juga diberikan hak budget (Pasal 23 ayat (3)), memilih anggota BPK, dengan memperhatikan saran DPD (Pasal 23F ayat (1)), memberikan persetujuan dalam hal Presiden mengangkat atau memberhentikan anggota Komisi Yudisial (Pasal 24B ayat (3)) menominasikan 3 orang hakim Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat (3)).
Berdasarkan Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Kepolisian Negara RI, MPR juga mendelegasikan beberapa kewenangan kepada DPR, yaitu memberikan persetujuan kepada Presiden dalam hal Presiden hendak mengangkat seorang Panglima TNI (Pasal 3 ayat (2)). Demikian juga bila Presiden hendak mengangkat seorang Kepala Kepolisian Negara RI (Pasal 7 ayat (3)). DPR juga diberi kewenangan untuk memilih/menyeleksi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi, Gubemur Bank Indonesia, dan anggota Komisi Nasional HAM. Praktis, hampir semua bidang kekuasaan Presiden dimasuki oleh DPR Bahkan bukan hanya memasuki bidang kekuasaan Presiden, tetapi dapat mengusulkan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 7A).
Di dalam Undang-Undang NO. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRI, ditegaskan bahwa DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum. Anggota DPR berjumlah lima ratus lima puluh orang Keanggotaan DPR diresmikan dengan Keputusan Presiden. Masa jabatan Anggota DPR adalah lima tahun dan berakhir bersamaan pada saat Anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji. DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara. DPR mempunyai fungsi: (a) legislasi, (b) anggaran, dan (c) pengawasan. Adapun tugas dan wewenang DPR adalah:
a.Membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama;
b.Membahas dan memberikan persetujuan peraturan pemerintah pengganti undang-undang;
c.Menerima dan membahas usulan rancangan undang-undang yang diajukan DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan;
d.Memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
e.Menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
f.Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara, serta kebijakan pemerintah;
g.Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
h.Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
i.Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan;
j.Memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial;
k.Memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden;
l.Memilih tiga orang calon anggota hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk ditetapkan.
m.Memberikan pertimbangan kepada Presiden untuk mengangkat duta, menerima penempatan duta negara lain, dan memberikan pertimbangan dalam pemberian amnesti dan abolisi;
n.Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat perjanjian intemasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau pembentukan undang-undang;
o.Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan
p.Melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang ditentukaan dalam undang-undang.

Hak-hak DPR meliputi: (a) hak interpelasi; (b) hak angket; dan (c) hak menyatakan pendapat Sedangkan hak anggota DPR: (a) mengajukan rancangan undang-undang; (b) mengajukan pertanyaan; (c) menyampaikan usul dan pendapat; (d) memilih dan dipilih; (e) membela diri; (f) imunitas; (g) protokoler; dan (h) keuangan dan administratif.
DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara. Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum. atau warga masyarakat wajib memenuhi permintaan DPR tersebut. Setiap pejabat negara pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat yang melanggar permintaan DPR tersebut dikenakan panggilan paksa sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal panggilan paksa tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama lima belas hari sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal pejabat yang disandera habis masa jabatannya atau berhenti dari jabatannya, yang bersangkutan dilepas dari penyanderaan demi hukum. Di dalam UU No. 22 Tahun 2003 juga diatur masalah pergantian antar waktu Anggota DPR. Pasal 85 menyatakan, Anggota DPR berhenti antar waktu karena: (a) meninggal dunia; (b) mengundurkan diri sebagai anggota atas permintaan sendiri secara tertulis; dan (c) diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan. Anggota DPR yang diberhentikan antar waktu karena:
a.Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota DPR b.Tidak lagi memenuhi syarat-syarat berkelanjutan calon Anggota DPR sebagaimana di maksud dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum
c.Melanggar sumpah/janji, kode etik DPR, dan /atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai Anggota DPR berdasarkan hasil pemeriksaan badan kehormatan DPR
d.Melanggar peraturan larangan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e.Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melanggar tindak pidana dengan ancaman pidana serendah-rendahnya lima tahun penjara.

Pemberhentian Anggota DPR yang telah memenuhi ketentuan di atas (meninggal dunia, mengundurkan diri sebagai anggota atas permintaan sendiri secara tertulis, dan diusulkan oleh partai pohtik yang bersangkutan), serta diberhentikan antar waktu karena alasan pada huruf d dan e, langsung disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk diresmikan. Sedangkan pemberhentian Angota DPR karena alasan pada huruf a, b, dan c setelah dilakukan penyeledikan, verifikasi dan pengambilan keputusan oleh badan kehormatan DPR atas pengaduan Pimpinan DPR, masyarakat dan/atau pemilih. Dalam Pasal 86 ditegaskan, bahwa Anggota DPR yang berhenti atau diberhentikan antar waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 digantikan oleh calon pengganti dengan ketentuan sebagai berikut
a.Calon pengganti dari Anggota DPR yang terpilih memenuhi bilangan pembagi pemilihan atau memperoleh suara lebih dari setengah bilangan pembagi pemilihan adalah calon yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara pada daerah pemilihan yang sama.
b.Calon pengganti dari Anggota DPR yang terpilih selain pada huruf a adaiah calon yang ditetapkan berdasarkan nomor urut berikutnya dari daftar calon di daerah pemilihan yang sama.
c.Apabila calon pengganti sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b mengundurkan diri atau meninggal dunia, diajukan calon pengganti pada urutan peringkat perolehan suara atau urutan daftar calon berikutnya.
Apabila tidak ada lagi calon dalam Daftar Calon Anggota DPR pada daerah pemilihan yang sama, pengurus partai politik yang bersangkutan dapat mengajukan calon baru sebagai pengganti dengan ketentuan:
a.calon pengganti diambil dari Daftar Calon Anggota DPR dari daerah pemilihan yang terdekat dalam provinsi yang bersangkutan,
b.calon pengganti sebagaimana dimaksud pada huruf a dikeluarkan dari Daftar Calon Anggota DPR dari daerah pemilihannya.
Apabila tidak ada lagi calon dalam Daftar Calon Anggota DPR dari daerah pemilihan di provinsi yang sama, pengurus partai politik yang bersangkutan dapat mengajukan calon baru yang diambil dari Daftar Calon Anggota DPR dari provinsi yang terdekat Anggota DPR pengganti antar waktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota yang digantikannya. Pimpinan DPR menyampaikan kepada KPU nama Anggota DPR yang diberhentikan dan nama calon pengganti antar waktu yang diusulkan oleh pengurus partai politik di tingkat pusat yang bersangkutan untuk diverifikasi. Pimpinan DPR menyampaikan kepada Presiden untuk meresmikan pemberhentian dan pengangkatan Anggota DPR tersebut setelah menerima rekomendasi KPU Peresmian pemberhentian dan pengangkatan pengganti antar waktu Anggota DPR ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Apabila waktu pelaksanaan penggantian antar waktu Anggota DPR kurang dari empat bulan menjelang berakhirnya keanggotaan DPR, tidak perlu diadakan penggantian antar waktu keanggotaan DPR dalam tenggang waktu tersebut, sehingga kursi bagi Anggota DPR dimaksud dikosongkan sampai pengucapan sumpah/janji anggota DPR hasil pemilihan umum berikutnya.
Memberikan dukungan ke arah perbaikan kelembagaan DPD. Yang sering kita dengar hanyalah keluh-kesah anggota DPD yang 'dijual' ke daerah-daerah dalam berbagai acara seminar. diskusi, debat publik, penyerapan aspirasi, dan itu jelas membosankan.
Meskipun kewenangan DPD sangat terbatas diatur dalam Pasal 22-D ayat (1) dan (2) UUD 1945, sesungguhnya peluang untuk nengoptimalkan peran DPD masih ada. DPD dapat menyerap aspirasi dari daerah sebanyak-banyaknya untuk memfasilitasi daerah Mengimplementasikan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Peran DPD dalam. persoalan tersebut akan signifikan jika mampu bersinergi dengan masyarakat di daerah. Banyak Persoalan yang bergejolak di daerah membutuhkan pendampingan DPD.
Peran DPD tidak hanya mengajukan RUU tetapi juga ikut dalam bahasan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah dan lain-lain. Untuk itu, DPD perlu memperkuat basis pengetahuan dan ketrampilan dalam komunikasi politik maupun legislasi, serta memperluas jaringan kerjasama dengan berbagai pihak, misalnya lembaga tinggi negara lainnya, perguruan tinggi, LSM, tokoh-tokoh agama, tokoh adat tokoh masyarakat, kelompok usaha dan lain-lain. Kalau simpati rakyat sudah bisa diraih DPD melalui kinerjanya yang optimal, tantutan amandemen terhadap kelembagaan DPD setidaknya akan mendapat dukungan dari rakyat.

E. Hubungan Dewan Perwakilan Daerah dengan DPR
Salah satu agenda utama reformasi yang monumental adalah Amandemen UUD 1945, Salah satu bentuk perubahan konstitusi dasar negara adalah pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pembentukan lembaga ini di harapkan mampu mewakili kepentingan-kepentingan daerah serta menjaga keseimbangan antar daerah dan antara pusat dengan daerah, secara adil dan serasi. Hal ini memberikan peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah.
DPD yang berkedudukan setara dengan DPR dalam system bicameral atau dua kamar menjadi kekuatan penyeimbang yang penting, walau mungkin akan dirancang dengan fokus wewenang yang berbeda, akan ada mitra DPR untuk membahas segala keputusan yang diambilnya. Dengan begitu, segala keputusan yang diambil oleh legislatif telah melalui pertimbangan. Apalagi sifat kelembagaan yang berbeda yang disebabkan oleh asal muasal anggotanya akan menyebabkan adanya perbedaan pandangan, yang pada gilirannya akan membuat keputusan lebih seksama dipertimbangkan. Dengan kata lain, adanya DPD yang setara adalah juga suatu model pembatasan kekuasaan. Yaitu pembatasan kekuasaan di dalam tubuh legislatif, dalam hal ini DPR.
Di samping itu, adanya DPD sebagai mitra setara DPR juga akan memicu suatu pembaruan kelembagaan yang penting di dalam tubuh legislatif. Pendulum kekuasaan yang awalnya ada pada eksekutif berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen sudah berpindah ke legislatif sejak 1999. Akibatnya, bila dulu nuansa ‘executive heavy’ yang diciptakan oleh UUD 1945 sebelum diamandemen begitu terasa, yang terjadi sekarang adalah sebaliknya. Diubahnya beberapa ketentuan dalam konstitusi untuk menguatkan legislatif yang hampir lumpuh selama masa Orde Baru membuat legislatif seperti menjadi ‘pusat kekuasaan’.
Dalam prakteknya, konstruksi di dalam konstitusi ini menjadi kelemahan dalam proses politik karena ternyata kekuasaan yang besar mi belum diimbangi dengan kehadiran etika politik yang lebih baik serta dukungan kelembagaan yang memadai. Akibatnya, lembaga legislatif mendapat citra yang buruk. Hal ini tampak misalnya dan berbagai studi dan sorotan di media mengenai kinerja legislasi DPR. Bahkan dan jajak pendapat yang diadakan oleh Litbang Kompas 25-26 Oktober 2005 terungkap tingginya responden yang berpendapat bahwa kinerja DPR buruk, yaitu sebanyak 83% dan 877 responden di 10 kota besar di Jakarta. Angka ini meningkat dan 78% pada September 2005, 58% pada Juli 2005, 56% pada Januari 2005, dan 59% pada Desember 2004.
Kamar kedua yang kuat akan menjadi mitra yang baik DPR. Bukan hanya dalam pengambilan keputusan, tetapi juga mendorong adanya persaingan sehat antar lembaga dalam hal etika politik dan pembaruan sistem kerja. Persaingan mi diharapkan akan membuat DPR dan DPD menjadi lebih baik.
Kedua argumen di atas jelas tidak dapat dijawab dengan penguatan kelembagaan semata atau pasrah dengan kondisi saat ini dengan alasan kekhawatiran yang berlebihan mengenai masuknya isu lain dalam perubahan konstitusi. Lemahnya wewenang DPD di dalam konstitusi sebenarnya telah menunjukkan inkonsistensi konsep di dalam konstitusi hasil amandemen 1999-2002. Masih banyak memang inkonsistensi dan kelemahan lainnya dalam hasil amandemen paska perubahan rezim tersebut. Namun khusus untuk konsep DPD, inkonsistensi ini begitu fatal karena ia menyalahi konsep pembaruan paska-perubahan rezim itu sendiri mengenai demokratisasi, khususnya mengenai desentralisasi. Bila konstitusi tidak diubah lagi untuk memperbaiki kesalahan ini, maka kita telah mengkhianati gagasan pembaruan itu sendiri.
Sementara itu, kekhawatiran masuknya isu lain jelas berada di luar konteks tuntutan perubahan oleh DPD ini. Bukankah soal masuk atau tidaknya isu lain kemudian tergantung pada para politisi di DPR dan DPD sendiri ketika memutuskan suatu perubahan amandemen? Artinya, sudah ada pagar yang jelas dalam prosedur amandemen untuk membatasi kemungkinan ini, sehingga bila dukungan untuk menambah kelemahan dalam proses demokratisasi memang ada, tugas para pendukung untuk memagari demokratisasi ini.
DPD sebagal lembaga baru yang diatur di dalam UUD 1945 (hasil amandemen) merupakan lembaga yang mewakili aspirasi masyarakat daerah di tingkat pusat. Adapun latar belakang pembentukkannya didasari beberapa alasan, yaitu :
a.Memperkuat ikatan-ikatan daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah.
b.Meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan Negara dan daerah-daerah.
c.Meningkatkan percepatan dernokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah-dawerah secara serasi dan seimbang.
d.Membangun sebuah mekanisme kontrol dan keseimbangan antar cabang kekuasaan Negara dan lembaga legislatif itu sendin.
e.Menjaring dan menampung perwakilan daerah-daerah yang memadai untuk meniperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dan lembaga legislatif.

Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI atas usul Pemberhentian Presiden dan/atau wakil Presiden harus di ambil dalam rapat paripurna MPR RI yang di hadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan di setujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah presiden dan/atau wakil presiden di beri kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR RI.
Dalam penjabaran itu, terlihat ketidak keseimbangan wewenang DPD RI dalam konteks impeachment. Gagasan awal kehadiran DPD RI adalah agar keputusan akhir yang penting di ambil oleh kedua kamar. Disini DPD RI hadir sebagai penyeimbang dalam MPR, karena usulan impeachment bermula dan tangan DPR
Namun, UUD 1945 hanya mengatur persetujuan tentang tata cara pengambi]an keputusan di MPR yakni dihadiri sekurang kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dan jumlah anggota yang hadir, tanpa mengatur sebaran kuorum antara DPR RI dan DPD RI.
Sedangkan pada Pasal 22C ayat (2) UUD mengatur:
“Anggota DPD RI tidak boleh lebih dan sepertiga anggota DPR”. Artinya tanpa adanya keseimbangan antara suara DPR RI dan DPD RI, keputusan untuk memecat Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diambil. Bahkan, meski DPD RI tidak hadirpun dalarn sidang panipurna MPR RI, DPR RI dapat memecat Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam sidang paripurna MPR RI. Cacat mekanisme ini harus diubah, perubahan tersebut agar dapat memperluas kewenangan DPD RI”.

Upaya Memperluas Kewenangan DPD RI berbicara tentang penguatan kelembagaan, hal ini dapat berarti membawa peran DPD RI agar lebih memadai dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, sekaligus memenuhi tuntutan dan aspirasi masyarakat dan daerah. Oleh sebab itu upaya yang terpenting adalah merintis upaya menuju penguatan konstitusi agar fungsi-fungsi, tugas dan kewenangan DPD RI sebagai lembaga perwakilan yang setara dan sederajat dengan DPR RI dapat dicapai.
Dalam rangka menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara dan jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi yang mengatur pembagian kekuasaan yang lebih tegas dengan membangun mekanisme checks and balances, maka perlu dilakukan Perubahan UUD 1945, khususnya yang berkaitan dengan pasal mengenai DPD RI antara lain sebagai berikut:
Bidang Penguatan
Uraian
Legislasi dan Anggaran
Seharusnya wewenang membahas dan memutus suatu rancangan undang-undang ada pada DPR RI dan DPD RI. Caranya dengan adanya pembahasan terpisah. Pertama kali di DPR RI, setelah disepakati disampaikan ke DPD RI dan sebaliknya tergantung pada obyek pengaturan RUU tersebut. Dapat pula dibuat aturan khusus, misalnya jika RUU itu terkait dengan otonomi daerah maka RUU tersebut sebaiknya dibahas di DPD RI terlebih dahulu. Jika tidak terdapat kesepahaman antar keduanya maka dapat dibentuk suatu panitia gabungan yang akan membahas RUU itu.
Dalam konteks pengawasan
DPD RI perlu diberi wewenang memilih jabatan publik yang selama mi wewenangnya hanya dimiliki oleh DPR RI. Seperti hakim agung hakim mahkamah konstitusi, gubernur BI dan Iainnya.
Perubahan besar-besaran dalam hal institusi dan mekanisme pendukung
a.Diperlukan institusi pendukung berupa perancang profesional yang didukung oleh mekanisme dimana DPR RI dan DPD RI tidak Iagi akan membahas secara titik, koma, pasal per pasal hap RUU.
b.Perlu dibuat jangka waktu pembahasan RUU yang jelas dan terukur.
c.Perlu dibuat mekanisme sidang yang efektif dengan jangka waktu persidangan tidak terlampau Ionggar.

Di dalam UUD RI 1945, keberadaan DPD diatur di dalam 22 C, Pasal 22 D, Pasal 22 E ayat (2) dan ayat (4), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23 E ayat (2) serta Pasat 23 F ayat (1). Berdasarkan pasal-pasal tersebut, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mempunyai kewenangan sebagai berikut :
1Mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan pengabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah (Pasal 22D ayat (1)) dan ikut membahas RUU tersebut (Pasal 22D ayat (2));
2Memberikan pertimbangan kapada DPR atau RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (Pasal 22D (ayat2));
3Dapat melakukan pengawasan atau UU mengenai otonomi daerah, UU pembentukan, pemekaran, dan pengabungan daerah, hubungan pusat dengan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama (Pasal 22D (ayat3));
4Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK (Pasal 23F ayat (1)); dan
5Menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK (PAsal 23F ayat (2)).

Posisi seorang anggota DPD Rl sebenarnya sangatlah kuat. Dalam sistem politik Amerika Serikat, wakil daerah ini mirip dengan istilah Senator. Dibandingkan anggota DPR Rl yang umumnya tidak memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) dalam Pemilu 2004 - hanya 2 orang yang melebihi BPP, yakni Hidayat Nurwahid (Partai Keadilan Sejahtera, Provinsi DKI Jakarta) dan Saleh Jasit (Partai Golkar, Provinsi Riau) - maka anggota DPD justru memiliki dukungan yang lebih riil dan legitimatif. Sungguh sangatlah wajar apabila konstituen menaruh harapan besar kepada para anggota DPD Rl.
Namun sayangnya, kedudukan institusi DPD Rl dalam struktur politik nasional ternyata masih dibatasi UUD dan UU. DPD Rl kedudukannya masih belum setara dengan DPR RI. Jika diamati tugas dan kewenangannya, peran para wakil daerah ini tak lebih dari sekadar lembaga pertimbangan saja. Peran DPD RI yang antara lain menyangkut urusan desentralisasi, keterlibatan dalam pembahasan RUU (khususnya pajak, pendidikan dan agama), APBN dan sebagian fungsi pengawasan lainnya yang juga selanjutnya melaporkan hasilnya kepada DPR RI, hanya dijadikan bahan pertimbangan saja untuk ditindaklanjuti.
Dalam ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 terlihat jelas bahwa DPD tidaklah mempunyai kewenangan dalam membentuk undang-undang. Namun, dibidang pengawasan meskipun terbatas hanya berkenaan dengan kepentingan daerah dan hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang tertentu, DPD dapat dikatakan mempunyai kewenangan penuh untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintahan. Oleh Karena itu, kedudukannya hanya bersifat penunjang atau auxiliary terhadap fungsi DPR dibidang legislasi, sehingga DPD paling jauh hanya dapat disebut sebagai co-legislator, dari pada legislator yang sepenuhnya.
Seperti diatur di dalam Pasal 22 D, peranan DPD sangat lemah karena hanya dalam tataran mengajukan dan ikut membahas dan memberikan pertimbangan terhadap RUU tertentu dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan APBN, UU Pajak, Pendidikan dan Agarna, tidak ikut di dalam pengambilan keputusan, sehingga apa yang akan dilakukan oleh DPD tidak mungkin dapat memenuhi keinginan dan aspirasi rnasyarakatdaerah sebagal konstltuennya
Ketidakseimbangan wewenang DPD RI dalam konteks impeachment, terlihat dalam hal keputusan MPR RI atau usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR RI yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, tanpa mengatur sebaran kuorum antara DPR RI dan DPD RI. Sedangkan pada Pasal 22C ayat (2) UUD menyebutkan : "anggota DPD RI tidak boleh lebih dari sepertiga anggota DPR". Artinya tanpa adanya keseimbangan antara suara DPR RI dan DPD RI, keputusan untuk memecat presiden dan/atau wakil presiden dapat diambil.

Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU), DPD RI tampak belum memiliki kekuasaan yang berarti. DPD RI memiliki wewenang memberi masukan, tetapi pengambilan keputusan ada di tangan DPR RI yang anggotanya berasal dari partai politik. Akibatnya, dalam upaya membuat kebijakan yang berskala nasional, anggota DPD RI harus memiliki kemampuan yang lebih untuk menggunakan pengaruh yang dimilikinya. Wewenang DPD RI sebagaimana terdapat dalam konstitusi bisa mengakibatkan berlarutnya pembahasan. Di sisi lain, pola hubungan antara DPD RI dengan DPR RI tidak dinyatakan secara eksplisit dalam konstitusi. Anehnya lagi, anggota DPD RI bisa diberhentikan dari jabatannya yang mana syarat-syaratnya dan tata caranya telah diatur dalam UU (22d ayat 4). Sementara, ketiadaan hak legislasi DPD RI bisa menyebabkan kepentingan parpol ikut mengatur dan mengintervensi susunan, kedudukan dan pemberhentian anggota DPD RI.
Kelemahan hak, fungsi, tugas dan kewenangan tersebut, betul-betul tidak sebanding dengan proses yang harus dilewati oleh para calon 'senator' ini. Bandingkan dengan anggota DPR RI yang—jika dilihat dari UU No. 12/2003 tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota memungkinkan adanya kekuasaan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai politik untuk menentukan calon jadi legislatif. Untuk menjadi anggota DPD RI ada beberapa tahap yang harus dilalui oleh seorang calon. Misalnya saja, dukungan suara rakyat yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan atau yang berkekuatan hukum sama yang besaran dukungannya berkisar antara 1000-5000 penduduk (tergantung pada populasi penduduk per daerah pemilihan).
Jika struktur politik seperti ini masih dipertahankan, maka masa depan DPD RI sebagai penyeimbang DPR RI dalam sistem bikameral menjadi agak mengkhawatirkan. Di saat kinerja DPR RI kurang maksimal maka bandul demokrasi pun akan bergerak ke titik yang pesimis. DPR RI dan DPD RI semestinya memiliki kewenangan, fungsi dan hak yang setara agar kelemahan DPR RI tersebut bisa ditutupi oleh masifnya kinerja DPD RI.
Di samping itu, model demokrasi yang kita anut sudah seharusnya memberikan ruang yang lebih luas serta penghargaan yang tinggi pada kepentingan dan partisipasi masyarakat lokal. Karena prinsip inilah mestinya yang melatari semangat untuk membangun demokrasi dalam konteks masyarakat majemuk. Sebuah upaya untuk memberikan ruang artikulasi dan partisipasi politik yang lebih besar pada masyarakat lokal untuk membangun dirinya.
Jika mengacu pada kewenangan berdasarkan UUD, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sama-sama merupakan parlemen dengan fungsi utamanya pengawasan dan lagislasi, atau pun ditambah dengan fungsi anggaran sebagai instrument yang penting dalam rangka fungsi pengawasan parlemen terhadap pemerintah. Pembagian tugas keduanya dapat diatur berkenaan dengan aspek-aspek tertentuyagn terkait dengan fungsi legislatif, pengawasan dan fungsi anggaran. Pelaksanaan fungsi legislatif, pengawasan dan fungsi anggaran yang berkenaan dengan kepentingan daerah-daerah, haruslah dilakukan oleh DPD, bukan oleh DPR.
Kekuasaan DPD perlu diperkuat sehingga dapat ikut menyetujui RUU yang menjadi bidang kerjanya, dan tidak hanya ikut serta membahasnya. Dengan demikian DPD tidak hanya memberikan usulan bagi substansi RUU tapi juga ikut dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan bidang kerjanya.
Dalam lampiran keputusan MPR No. 4/MPR/2004 tentang Laporan Badan Pekerja MPR RI Mengenai Hasil Kajian Komisi Konstitusi Tentang Perubahan UUD 1945, menegaskan bahwa keberadaan DPD dalam struktur ketatanegaraan Indonesia antara lain dimaksudkan untuk memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah-daerah; meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan dengara dan daerah-daerah; dan mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah-daerah secara serasi dan seimbang.
Peran DPD dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia salah satunya yaitu mengembangkan mekanisme checks and balances antara lembaga Negara. Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) semula dimaksudkan dalam rangka mereformasi struktur perlemen Indonesia menjadi dua kamar (bicameral) yang terdiri atas DPR dan DPD, yang memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat secara relative dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas.
Kehadiran DPD RI dalam konteks lain adalah sebuah jawaban atas persoalan tentang minimnya kontrol politik masyarakat yang dulu hanya dilakukan oleh DPR RI. Saat ini institusi DPD RI diharapkan bisa menjadi alternatif baru yang mampu membawa perubahan politik nasional.
Oleh sebab itulah maka penguatan DPD RI perlu mendapat dukungan dari DPR-RI sebagai mitra kerja dalam satu kamar serta berbagai kelompok strategis seperti lembaga swadaya masyarakat, organisasi lokal, institusi pendidikan, dan sebagainya. Dengan demikian, masa depan demokrasi di Indonesia bisa lebih menjanjikan.
F. Presiden dan Wakil Presiden
Hasil Perubahan UUD 1945 yang berkaitan langsung dengan kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden, adalah pembatasan kekuasaan Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 7 (lama), yang berbunyi Presiden dan Wakil Presiden memegangjabatannya selama lima tahun, sesudahnya dapat dipilih kembali". Penegasan di dalam, Pasal 7 dipandang terlalu fleksibel untuk ditafsirkan. Bahkan Soeharto pernah mengatakan, tentang berapa kali seseorang dapat menjabat presiden sangatlah bergantung pada MPR. jadi tidak perlu dibatasi, asal masih dipilih oleh MPR ia dapat terus menjabat Presiden dan/atau Wakil den. Dan Soeharto-lah yang telah menikmati kebebasan jabatan yang membuat tafsir atas UUD, MPR tinggal pengamininya. Kemudian Pasal 7 diubah, yang bunyinya menjadi: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan ". Perubahan pasal ini dipandang sebagai langkah yang tepat untuk mengakhiri perdebatan tentang periodisasi jabatan presiden dan wakil presiden.
Aspek perimbangan kekuasaan hubungan antara Presiden dan DPR, Presiden dan Mahkamah Agung nampak dalam perubahan Pasal 13 dan 14. Perubahan terhadap pasal-pasal ini dapat dikatakan sebagai pengurangan atas kekuasaan Presiden yang selama ini dipandang sebagai hak prerogatif. Perubahan Pasal 13 berbunyi:
(1) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Sebelum ada perubahan, Presiden sebagai kepala negara mempunyai wewenang untuk menentukan sendiri duta dan konsul serta menerima duta negara lain. Mengingat pentingnya hal tersebut, maka Presiden dalam mengangkat dan menerima duta besar sebaiknya diberikan pertimbangan oleh DPR. Adanya pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat pada ayat (1), ini penting dalam rangka menjaga obyektivitas terhadap kemampuan dan kecakapan seseorang pada jabatan tersebut. Karena ia akan menjadi duta dari seluruh rakyat Indonesia di negara lain dimana ia ditempatkan pada khususnya dan di mata internasional pada umumnya. Adanya pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat pada ayat (2), dipandang sangat tepat karena hal ini penting bagi akurasi informasi untuk kepentingan hubungan baik antara kedua negara dan bangsa.
Perubahan Pasal 14 berbunyi sebagai berikut :
a.Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
b.Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Alasan perlunya Presiden memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung dalam pemberian grasi dan rehabilitasi, perfama, grasi dan rehabilitasi itu adalah proses yustisial dan biasanya diberikan kepada orang yang sudah mengalaini proses, sedang amnesti dan abolisi ini lebih bersifat proses politik. Kedua, grasi dan rehabilitasi itu lebih banyak bersifat perorangan, sedangkan amnesti dan abolisi biasanya bersifat massal. Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga peradilan tertinggi adalah lembaga negara paling tepat memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai hal itu, karena grasi menyangkut putusan hakirn. Sedangkan rehabilitasi tidak selalu terkait dengan putusan hakim.
Sedangkan. DPR memberikan pertimbangan dalarn hal pemberian amnesti dan abolisi karena didasarkan pada pertimbangan politik. Bagir Manan kurang sependapat dengan rumusan tersebut, karena pemberian arnnesti dan abolisi tidak selalu terkait dengan pidana politik. Kalaupun diperlukan pertimbangan, cukup dari Mahkamah Agung. DPR adalah 'badan politik, sedangkan yang diperlukan adalah pertimbangan hukum. Pertimbangan politik, kemanusiaan, sosial dan lain-lain, merupakan isi dari hak prerogatif. Yang diperlukan adalah pertimbangan hukum untak memberi dasar yuridis pertimbangan presiden.
Perubahan Pasal 15 berbunyi sebagai berikut Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang". Perubahan pasal. ini berdasarkan pertirnbangan agar Presiden dalarn memberikan berbagai tanda kehormatan kepada siapa pun (baik warga negara, orang asing, badan atau lembaga) didasarkan pada undang-undang yang merupakan hasil pembahasan DPR bersama pemerintah sehingga berdasarkan pertimbangan yang lebih obyektif
Perubahan lain terjadi pada mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 6, yang sebelumnya 1 Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak", berubah menjadi 'Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat' (Pasal 6A ayat (1)). Ayat (3) menyatakan "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari juralah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden".
Pasal 6A ayat (4) tentang putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden apabila di putaran pertama tidak ada kandidat yang terpilih, maka dikembalikan ke rakyat untuk dipilih secara langsung. Rumusannya berbunyi: "Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden."
Pasal 6A ayat (4) ini menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung pada putaran kedua (second round). Ketentuan ini merupakan jalan keluar (escape clausul) yang hanya dijalankan jika dalam pemihhan Presiden dan Wakil Presiden tidak dipenuhi persyaratan perolehan suara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6A ayat (3).

Adanya perubahan dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat diharapkan rakyat dapat berpartisipasi secara langsung menentukan pihhannya, sehingga tidak mengulang kekecewaan yang pernah terjadi pada Pemilu 1999. Presiden dan Wakil Presiden akan memiliki otoritas dan legitimasi yang sangat kuat karena akan dipilih langsung oleh rakyat.
Perubahan UUD 1945 mengenai alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya diatur dalam Pasal 7A, rumusannya berbunyi sebagai berikut "Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara. korupsi, penyimpangan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syaratsebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden."
Adapun prosedur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, diatur dalam Pasal 7B, yang rumusannya berbunyi sebagai berikut "Usul pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis” Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyimpan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden."
Oleh karena kedudukan DPR sejajar/seimbang dengan Presiden sehingga tidak dapat saling menjatuhkan, maka DPR tidak memproses dan mengambil putusan terhadap pendapatnya sendiri, tetapi mengajukannya kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat yang berisi dugaan DPR itu.
Di samping pengaturan tentang prosedur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presidem perubahan UUD 1945 juga mengatur mengenai Larangan pembekuan dan/ atau pembubaran DPR oleh Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 7C yang berbunyi sebagai berikut "Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat"
UUD 1945 menempatkan kedudukan lembaga-lembaga tinggi negara sederajat, sehingga tidak dapat saling menjatuhkan/ membubarkan. Tradisi semacam itu ada dalam sistem pemerintahan parlementer. misalnya, dalam UUD Sementara 1950 Pasal 84 ditegaskan Presiden berhak membubarkan DPR". Munculnya rumusan tersebut sebagai penegasan bahwa UUD 1945 tidak rmenganut prinsip "sesama lembaga tinggi negara dapat saling menjatuhkan."
Bolehkah Presiden membekukan atau membubarkan MPR. ketentuan Pasal 7C UUD 1945 hanya merumuskan larangan pembekuan dan atau pembubaran DPR. Rumusan pasal ini jelas dilatari oleh peristiwa pembekuan MPR/DPR oleh Presiden Abdurrahman Wahid melalui Maklumat Presiden 23 juli 2001, tetapi mayoritas anggota MPR menolak Maklumat tersebut. Namun penerapannya akan dilakukan secara berbeda. Artinya, dulu Maklumat Presiden tentang pembubaran DPR digunakan sebagai isu pemberhentian presiden karena melanggar UUD 1945. Sekarang keputusan presiden yang bertentangan dengan UUD 1945 menjadi objek gugatan Mahkamah Konstitusi, tetapi tidak berkaitan dengan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya. Jika Presiden membekukan DPR, putusan ini dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, tetapi tidak dapat digunakan sebagai alasan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya. Bila presiden tidak apat membekukan dan/atau membubarkan DPR, dapatkah dibenarkan presiden membekukan MPR.
Rumusan Pasal 7C UUD 1945 dirumuskan dengan asumsi Lembaga MPR dihapus? Jika tidak, mengapa tidak dirumuskan larangan pembubaran DPR dan/ atau MPR. Suatu saat dapat terjadi ketika DPR mengajukan permintaan pemberhentian presiden dan perkaranya sedang disidangkan oleh Mahkamah Konstitusi, MPR dibekukan oleh Presiden yang akhirnya MPR tidak dapat mengambil putusan pemberhentian presiden. Di saat pembubaran/pembekuan MP diajukan ke Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi dapat membenarkan pembubaran MPR karena UUD 1945 tidak melaran pembubaran MPR.
Perubahan juga terjadi pada Pasal 8 UUD 1945, yang berbunyi sebagai berikut
(1) Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.
(2) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.
Perubahan Keempat UUD 1945 juga melengkapi kekurangan pengaturan dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) yang telah diputuskan dalam Perubahan Ketiga (tahun 2001), dengan menambahkan ayat (3), dengan rumusan sebagai berikut. “ jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersaman, pelaksanaan tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya."
Sebelum terjadi Perubahan UUD 1945, tentang keadaan Presiden dan atau Wakil Presiden berhalangan diatur dalam Ketetapan MPR RI No. VII/ MPR/ 1973 tentang Keadam Presiden dan/ atau Wakil Presiden RI Berhalangan. Dengan adanya tambahan materi di ayat (3) dari Pasal " 8 UUD 1945 di atas, nampaknya telah mengintegrasikan muatan materi Ketetapan MPR (Pasal 5 ayat (2)) tersebut ke dalam UUD 1945.
Perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperjelas dan mempertegas solusi konstitusional untuk menghindarkan bangsa dan negara dari kemungkinan terjadinya krisis politik kenegaraan akibat kekosongan jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersamaan. Penambahan faktor penyebab penggantian Presiden oleh Wakil Presiden dalam jabatannya, dalam ayat (1) dengan kata "diberhentikan", dirumuskan dalam konteks adanya upaya konstitusional yang datang dari luar diri Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang dalam UUD 1945 kedudukannya adalah lembaga tinggi negara, dengan Perubahan Keempat UUD eksistensinya dihapuskan atau terdegradasi dari lembaga tinggi negara menjadi lembaga di dalam struktur pemerintahan negara. Rumusan baru Pasal 16 berbunyi sebagai berikut "Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden yang selanjutnya diatur dengan undang-undang." Perubahan ini didasarkan atas pertimbangan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan negara. Di samping itu, praktik menunjukkan bahwa selama ini Presiden tidak terikat dengan nasihat dan pertimbangan dari DPA.


G. Hubungan Mahkamah Agung (MA) dengan Presiden
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Prinsip ini semula dimuat dalam Penjelasan, yang berbunyi: 'Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat)." Materi Penjelasan tersebut kemudian diangkat ke dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 (Perubahan Ketiga) berbunyi:" Negara Indonesia adalah negara hukum".
Demikian pula tentang kekuasaan kehakiman yang mandiri, diangkat dari Penjelasan menjadi materi Batang Tubuh UUD 1945 Pasal 24 ayat (1). Hal ini akan lebih menguatkan konsep negara hukum Indonesia. Hans Kelsen, misalnya, dalam kaitan negara hukum yang juga merupakan negara demokratis, mengargumentasikan empat syarat rechtsstaat, yaitu: (1) negara yang kehidupannya sejalan dengan konstitusi dan undang-undang, yang proses pembuatannya dilakukan oleh parlemen. Anggota-anggota parlemen itu sendiri dipilih langsung oleh rakyat; (2) negara yang mengatur mekanisme pertanggungjawaban atas setiap kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh elit negara; (3) negara yang menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman; dan (4) negara yang melindungi hak-hak asasi manusia. Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil amandemen UUD 1945 lebih memberikan dasar konstitusional bagi lahir dan tumbuhnya negara hukum.
Dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum telah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pada tanggal 15 januari 2004 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, telah dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Melalui perubahan tersebut telah diletakkan kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Hal ini dianggap penting dalam rangka perwujudan kekuasaan kehakiman yang menjamin tegaknya negara hukum yang didukung oleh sistem kekuasaan kehakiman yang 'independen' dan 'impartial'.
Secara konseptual, paling tidak, menurut Bagir Manan ada dua akibat yang timbul dari kebijakan (politik) satu atap, yaitu Pertama, ditinjau dari ajaran trias politika. Dengan satu atap, pemisahan kekuasaan kehakiman dari cabang-cabang kekuasaan legislatif, dan eksekutif menjadi lebih murni dari pemisahan kekuasaan kehakiman Amerika Serikat. Hubungan check and balances hanya pada pengangkatan. Pengangkatan Hakim Agung mengikutsertakan DPR dan Presiden. Calon atau calon-calon Hakim Agung "disaring" DPR dengan melalui fit and proper test, dari calon atau calon-calon yang diajukan Komisi Yudisial. Calon atau calon-calon yang lulus saringan diajukan kepada Presiden untuk diangkat (lebih tepat "ditetapkan", karena Presiden hanya diberi wewenang menetapkan, Presiden tidak berwenang menolak calon atau calon-calon yang diajukan DPR).
Kedua, satu atap menimbulkan pula konsekuensi cakupan pertanggungjawaban pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman tidak hanya bertanggungjawab dalam menjalankan kekuasaan atau fungsi yudisial, tetapi juga kekuasaan atau fungsi administrasi Negara seperti mengangkat dan memberhentikan pegawai, melakukan pengelolaan keuangan dan lain-lain.
Ada sebagian kalangan masyarakat yang mengkhawatirkan kebijakan (politik) satu atap yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 akan melahirkan kesewenang-wenangan pengadilan atau hakim. Secara tegas Bagir Manan menyatakan, kekhawatiran itu berlebihan, bahkan tidak masuk akal. Satu atap tidak terkait dengan fungsi yudisial (fungsi peradilan). Satu atap hanya menyangkut urusan keorganisasian, administrasi, dan keuangan. Fungsi yudisial sudah sejak dahulu satu atap, karena hanya menjadi wewenang pengadilan, wewenang hakim. Segala bentuk keikutsertaan, apalagi campur tangan atas kekuasaan yudisial dilarang. Dengan demikian, ada dua substansi satu atap. Pertama, urusan urusan non yudisial yang mencakup urusan keorganisasian, administrasi dan keuangan. Kedua, urusan yudisial, yang menyangkut penyelesaian perkara (putusan) dan penyelesaian permohonan (penetapan).
Ketika Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 telah membuat kebijakan (politik) satu atap, teryata beberapa peradilan khusus mulai dibentuk atau bakal dibentuk, seperti peradilan perikanan, peradilan agraria, peradilan pajak, peradilan perindustrian, dan peradilan profesi kedokteran. Berkembang biaknya peradilan khusus tersebut menurut Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, sama sekali tidak melibatkan Mahkamah Agung. Kemana peradilan khusus itu akan bermuara atau akan ditangani sendiri oleh instansi yang bersangkutan, tidak ada kejelasan. Lebih lanjut Bagir mengungkapkan, kabarnya, peradilan industrial para hakimnya akan terdiri dari perwakilan pengusaha, perwakilan buruh, dan perwakilan organisasi serikat pekerja.
Dalam RUU Perikanan mengintroduksi pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum. Jakim pengadilan perikanan terdiri atas hakim karier dan hakim ad hoc. Namun RUU Perikanan tidak cukup memberikan penjelasan bagaiman seleksi dan kriteria untuk menjadi hakim ad hoc peradilan perikanan. RUU Perikanan juga tidak memberikan penjelasan memadai soal apa itu tindak pidana perikanan.
Di dalam, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Pasal 15 telah ditegaskan, bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam. salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang. Yang dimaksud dengan "'pengadilan khusus" antara lain, adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara. Sedangkan Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.
Merebaknya berbagai lembaga peradilan khusus maupun komisi komisi negara, menurut Todung Mulya Lubis, terjadi karena memang tidak ada cetak biru bagaimana kekuasaan kehakiman dan juga kekuasaan eksekutif akan dikembangkan. Reformasi bergerak tak menentu arah, bahkan cenderung liar. Dimana ada kesempatan, dibentuklah lembaga, direkrut pejabat dan karyawan yang pada akhirnya akan membebani anggaran negara.
Di dalam, Bab IX Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 ayat (2) telah ditegaskan bahwa "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan dalam badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi". Pertanyaan kemudian, akan ditempatkan di mana peradilan khusus (di luar yang telah diatur dalam Pasal 10) tersebut Atau peradilan khusus itu akan menjadi quasi peradilan yang tidak bernaung dalam kekuasaan kehakiman.
Lebih lanjut Todung mengatakan, kelatahan dalam pembentukan peradilan khusus adalah karena kekecewaan masyarakat atas kinerja lembaga peradilan fungsional yang selama ini ada. Pengembangan peradilan khusus yang tidak terkendali akan merusak sistem dan tertib peradilan itu sendiri. Kritik senada juga dlontarkan oleh sebagian kalangan, menurut mereka, pembentukan peradilan khusus hanya menimbulkan kesimpangsiuran dan inkonsistensi asas penyatuatapan. Selain itu juga melanggar sistematisasi lembaga peradilan yang mengakui MA sebagai top judicial (pengadilan tertinggi), dan juga akan mengacaukan sistem hukum tata negara Indonesia.'
Selama ini, ketentuan tentang MA diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Menurut Undang-Undang Nomor Tahun 2004 Pasal 7, untuk dapat diangkat menjadi hakim agung seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a.Warga negara Indonesia;
b.Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.Berijasah sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai Keahlian di bidang hukum;
d.Berusia sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun;
e.Sehat jasmani dan rohani;
f.Berpengalaman sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) tahun menjadi hakim termasuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun menjadi hakim tinggi.
Di samping hakim karir, apabila dibutuhkan hakim agung dapat diangkat tidak berdasarkan sistem karir dengan syarat.
a.Memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, dan huruf e;
b.Berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi huku sekurang-kurangnya 25 (duapuluh lima) tahun;
c.Berijasah magister dalam ilmu hukum dengan dasar sa~ana hukuj atau sasana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
d.Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karer melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjar 5 (lima) tahun atau lebih.
Perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 2 ayat (1) menegaskan: "Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bahwa undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang". Dengan adanya ketentuan dalam. Pasal 24 A ayat (1) tersebut dilakukan pula perubahan terhadap ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2005, tentang pengujian peraturan perundang-undangan, yang berbunyi :
(1)Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang;
(2)Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
(3)Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana. di maksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung.
(4)Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
(5)Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dirnuat dalam Berita Negara RI dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan.

Melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, telah dilakukan pembatasan terhadap pengajuan perkara yang dapat dimajukan kasasi ke MA. Perkara-perkara yang dibatasi pengajuannya terdiri atas: (a) putusan tentang praperadilan; (b) perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda; (c) perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.



H. Hubungan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Presiden
Perubahan UUD 1945 melahirkan lembaga baru di bidang kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2), yang berbunyi sebagai berikut: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Berkenaan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi, Pasal 24C menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Di samping itu, Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Perlu dicatat bahwa putusan ini sifatnya tidak final karena tunduk pada (subject to) putusan MPR, lembaga politik yang berwenang memberhentikan Presiden (Pasal 7A). jadi, berbeda dengan di Amerika Serikat yang mendahulukan proses politik daripada proses hukum.
Ini perlu dipisahkan menurut Jimly Asshiddiqie, karena pada hakikatnya, keduanya memang berbeda. Mahkamah Agung lebih merupakan pengadilan keadilan (court of justice), sedangkan Mahkamah Konstitusi lebih berkenaan dengan lembaga pengadilan hukum (court of law). Memang tidak dapat dibedakan seratus persen dan mutlak sebagai court ofjustice versus court of law. Semula, formula yang Jimly usulkan adalah seluruh kegiatan judicial review diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi, sehingga Mahkamah Agung dapat berkonsentrasi menangani perkara-perkara yang diharapkan dapat mewujudkan rasa adil bagi setiap warganegara. Akan tetapi, nyatanya UUD 1945 tetap memberikan kewenangan pengujian terhadap peraturan di bawah undang-undang kepada Mahkamah Agung. Di pihak lain, Mahkamah Konstitusi juga diberi tugas dan kewajiban memutus dan membuktikan unsur kesalahan dan tanggungjawab pidana Presiden dan/atau Wakil Presiden yang menurut pendapat DPR telah melakukan pelanggaran hukum menurut UUD. Dengan kata lain, Mahkamah Agung tetap diberi kewenangan sebagai court of law di samping fungsinya sebagai court of justice. Sedangkan Mahkamah Konstitusi tetap diberi tugas yang berkenaan dengan fungsinya sebagai court of justice disamping fungsi utamanya sebagai court of law. Artinya, meskipun keduanya tidak dapat dibedakan seratus persen antara court of law dan court of justice, tetapi pada hakikatnya penekanan fungsi hakiki keduanya memang berbeda satu sama lain. Mahkamah Agung lebih merupakan court of justice, dari pada court of law Sedangkan Mahkamah Konstitusi lebih merupakan court of law daripada court of Justice. Keduanya sama-sama merupakan pelaku kekuasaan kehakiman menurut ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
Pembagian tugas di bidang pengujian peraturan (judicial review) atas peraturan perundang-undangan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi menurut Jimly, sama sekali tidak ideal, karena dapat menimbulkan perbedaan atau putusan yang saling bertentangan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Ke depan, memang harus dipikirkan kemungkinan mengintegrasikan seluruh sistern pengujian peraturan di bawah kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Pembedaan ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari kenyataan bahwa memang sejak sebelumnya Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Karena itu, ketika sepakat diadopsinya ide pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tahun 2001, maka ketentuan lama berkenaan dengan kewenangan Mahkamah Agung itu dituangkan dalam rumusan ketentuan Pasal 24A. Lagi pula, memang ada negara lain yang dijadikan salah satu sumber inspirasi oleh para anggota Panitia Ad Hoc 1 Badan Pekerja MPR ketika merumuskan ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi ini, yakni Mahkamah Konstitusi Korea Selatan. Dalam konstitusi Korea Selatan, kewenangan judicial review (constitutional review) atas undang-undang memang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi, tetapi kewenangan judicial review atas peraturan di bawah undang-undang diberikan kepada Mahkamah Agung.
Setiap undang-undang yang telah disahkan pada pokoknya telah mencerminkan kehendak mayoritas rakyat Indonesia. Karena, DPR dan Presiden yang telah membahas dan menyetujuinya bersama memang mendapatkan mandat langsung dari rakyat untuk menjalankan tugasnya membentuk dan mengesahkan undang-undang. Akan tetapi, UU hanya mencerminkan kehendak politik DPR bersama Presiden, yang belum tentu sama dengan kehendak seluruh rakyat yang berdaulat. Kehendak seluruh rakyat tercermin dalam Undang-Undang Dasar sebagai produk MPR sebagai lembaga permusyawaratan rakyat, bukan tercermin dalam Undang-Undang yang hanya mencerminkan kehendak politik DPR bersama Presiden.
Hasil kesepakatan dalam forum politik di DPR yang ditentukan berdasarkan prinsip rule by majority tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan norma keadilan yang lebih tinggi derajatnya yang terkandung dalam konstitusi. Karena itu, meskipun mayoritas rakyat menghendaki sesuatu norma. hukum yang mengikat untuk umum. diatur dalam suatu undang-undang jika lembaga pengawal Undang-Undang Dasar yang bernama Mahkamah Konstitusi menilainya dalam proses peradilan sebagai hal yang bertentangan dengan konstitusi, maka norma hukum yang bersangkutan dapat dinyatakan tidak boleh mengikat untuk umum. Suara mayoritas berdasarkan prinsip demokrasi betapapun juga tidak boleh mengabaikan prinsip-prinsip nomokrasi, meskipun hanya diudukung oleh minoritas suara. Karena pada akhirnya, suara minoritas keadilan itulah yang sungguh-sungguh mencerminkan suara seluruh rakyat yang berdaulat
Pada mulanya memang tidak dikenal adanya Mahkamah Konstitusi. Bahkan keberadaan gagasan Mahkamah Konstitusi itu sendiri di dunia memang dapat dikatakan relatif masih baru. Karena itu, ketika UUD 1945 dirumuskan, gagasan Mahkamah Konstitusi ini belum muncul. Perdebatan yang muncul ketika merumuskan UUD 1945 adalah perlu tidaknya UUD 1945 mengakomodir gagasan hak uji materiil kedalam kekuasaan kehakiman. Namun, di kalangan negara-negara demokrasi baru, terutama di lingkungan negara-negara yang mengalami perubahan dari otoritarian menjadi demokrasi pada perempatan terakhir abad ke-20, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi ini menjadi sangat populer. Karena itu, setelah Indonesia memasuki era reformasi dan demokratisasi dewasa ini, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi itu menjadi sangat luas diterima.
Dalam praktik tidak ada keseragaman di negara-negara di dunia ini mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi melainkan disesuaikan dengan sejarah dan kebutuhan masing-masing negara. Ada konstitusi negara yang menyatukan fungsi Mahkamah Konstitusi ke dalam Mahkamah Agung, ada pula konstitusi negara yang memisahkannya sehingga dibentuk dua badan kekuasaan kehakiman yaitu MA dan MK.
Para perumus perubahan UUD 1945 meyakini bahwa paham supremasi konstitusi perlu dikawal secara konstitusional, institusional, dan demokratis. Untuk itu, salah satu agenda perubahan konstitusi adalah membentuk Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 hasil Perubahan Ketiga pada tahun 2001. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sangat terkait erat dengan ikhtiar menjaga dan menegakkan konstitusi. Dengan adanya lembaga ini, maka konstitusi harus dijalankan dan tidak dapat lagi diabaikan, dilanggar, atau menjadi pajangan dan simbol belaka, oleh siapapun juga, termasuk oleh penyelenggara negara. Mahkamah Konstitusi menjalankan empat fungsi, yaitu sebagai lembaga pengawal konstitusi, penafsir konstitusi, penegak demokrasi, dan penjaga hak asasi manusia.
Pada tanggal 13 Agustus 2003 dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UUMK). Undang-Undang ini merupakan pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penjelasan Undang-Undang ini menyatakan, keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.
Kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 UU MK merupakan salah satu lembaga. negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Susunan keanggotaan Mahkamah Konstitusi terdiri dari 9 (sembilan) orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden.
Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut: (a) memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; (b) adil; dan (c) negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi seorang calon harus memenuhi syarat
a.Warga negara Indonesia;
b.Berpendidikan Sarjana Hukum;
c.Berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat pengangkatan;
d.Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
e.Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan;
f.Mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun.
Hakim konstitusi dilarang merangkap menjadi: a) pejabat Negara lainnya; b) anggota partai politik; c) pengusaha; d) advokat; atau e) pegawai negeri. Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (hma) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Dalam Pasal 10 UUMK ditegaskan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a.Menguji undang-undang terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.Memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik IndonesiaTahun 1945;
c.Memutuskan pembubaran partai politik; dan
d.Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/ atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, dalam kurun waktu dua tahun pertama usia Mahkamah Konstitusi telah dilakukan pengujian tidak kurang dari 75 undang-undang 21 diantaranya dikabulkan, dengan putusan ada yang dikabulkan seluruhnya, dikabulkan sebaglan, tidak diterina, dan ada yang ditolak. Berarti rata-rata setiap tahun ada 10 UU yang dibatalkan. Jadi setiap, tahun 38 UU yang diadili di Mahkamah Konstitusi. Hal ini terjadi karena adanya perubahan rezim hukum, dari sistem konstitusi lama ke konstitusi baru. Tentu ini berakibat pada sistem hukum kita yang mesti direvisi. Mulai dari UU, PP, Keppres, Perpres sampai Perda. Akibat perubahan yang besar dari UUD 1945 potensi pertentangan antara UU dengan UUD besar sekali. Karena itu, tugas Mahkamah Konstitusi sangat penting untuk mengawal itu. Sebab kita tidak bisa membangun negara hukum dengan benar kalau kita tidak menegakkan hukum. Kita membangun, menata hukum (law making activities), tetapi di saat yang sama kita juga harus menegakkan hukum. Dan menegakkan hukum itu harus dimulai dari yang paling tinggi yakni UUD.
Memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. Lembaga negara kita sekarang ini sangat banyak. Definisi dan pengertian tentang lembaga negara juga sangat beragam, tidak lagi bisa hanya dibatasi pada tiga lembaga legislative, eksekutif dan yudikatif. Dalam naskah UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud, ada yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ negara yang disebut bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah. Jika dikaitkan dengan hal tersebut di atas, maka dapat dikemukakan bahwa dalam UUD 1945, terdapat tidak kurang dari 28 (duapuluh delapan) subyek hukum kelembagaan atau subyek hukum tata negara dan tata usaha negara yang disebut keberadaannya dalam UUD 1945. Subyek-subyek hukum kelembagaan itu dapat disebut sebagai organ-organ negara dalam arti yang luas. Dari 28 organ atau subyek tersebut, tidak semuanya ditentukan dengan jelas keberadaan dan kewenangannya dalam UUD 1945. Yang keberadaannya dan kewenangannya ditentukan dengan tegas dalam UUD 1945 hanya 23 organ atau 23 subyek jabatan.
Sedangkan empat organ lainnya, yaitu (i) bank sentral; (ii) duta; (iii) konsul; dan (iv) badan-badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, tidak ditentukan dengan tegas kewenangannya dalam UUD 1945. jadi, pengertian lembaga-lembaga negara yang terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi sedemikian banyak jumlahnya dan sedemikian luas cakupan serta jangkauannya. Selama ini baru ada satu perkara yaitu permohonan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang terkait dengan pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan.
Ketika ada sengketa kelembagaan antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial dalam hal pelaksanaan kewenangan mengawasi hakim untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, ternyata Mahkamah Konstitusi tidak bisa menjalankan kewenangannya untuk menyelesaikan sengketa tersebut karena ada kendala yuridis yang diatur dalam Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menegaskan “Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Mahkamah Konstitusi”.
Memutus pembubaran partai politik, belum pernah ada yang mengajukan permohonan. Perselisihan hasil pemilihan umum, untuk Pemilu tahun 2004 telah ditangani 21 permohonan peserta pemilu DPD, 273 kasus pemilu DPR/DPRD, dan 1 kasus pemilu Presiden/Wakil Presiden. Impeacment DPR terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden, belum ada yang mengajukan permohonan. Yang menarik kasus terhadap penghinaan terhadap Presiden pun telah diputus yang berbuntut dicabutnya beberapa pasal KUHP yang terkait dengan penghinaan dan pencemaran nama baik Presiden.

I. Hubungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan DPR
Cikal bakal ide pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan berasal dari Raad Van Rekenkamer pada zaman Hindia Belanda. Beberapa Negara lain juga mengadakan lembaga yang semacam. ini untuk menjalankan fungsi-fungsi pemeriksaan atau sebagai external auditor terhadap kinerja keuangan pemerintah. Misalnya, di RRC juga terdapat lembaga konstitusional yang disebut Yuan Pengawas Keuangan sebagai salah satu pilar kelembapan negara yang penting.
Di Perancis, lembaga yang mirip dengan ini adalah Cour des Comples. Hanya bedanya, di dalarn sistem Perancis, lembaga ini disebut cour atau pengadilan, karena memang berfungsi juga sebagai forum yudisial bagi pemenksaan mengenai penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam. tanggungjawab pengelolaan keuangan negara.
Fungsi pemeriksaan keuangan yang dikaitkan dengan lembaga ini sebenarnya terkait erat dengan fungsi pengawasan oleh parlemen Karena itu, kedudukan kelembapan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ini sesungguhnya berada dalarn ranah kekuasaan legislatif, atau sekurang-kurangnya berhimpitan dengan fungsi pengawasan yang dijalankan oleh DPR. Oleh karena itu, laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan ini harus dilaporkan atau disampaikan kepada DPR untuk ditindaklanjuti sebagaimana mestinya. Keberadaan lembaga ini dalarn struktur kelembagan Negara Indonesia bersifat auxiliary terhadap fungsi DPR di bidang pengawasan terhadap kinerja pernerintahan.
Sebelum Makukan perubahan UUD 1945, kelembagan BPK diatur dalam. Pasal 23 ayat (5) berada dalam. Bab VIII tentang Hal Keuangan, yang berbunyi: "Untuk memeriksa tanggungjawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakya” Setelah ada perubahan UUD 1945 kelembagaan BPK diatur tersendiri dalam. Bab VIII A tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Pasal 23 E menentukan bahwa:
1.Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri;
2.Hasil pemeriksaan keuangan itu diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya;
3.Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang".
Pasal 23F menentukan bahwa:
1.Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden;
2.Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota". Pasal 23 G menentukan bahwa: "(1) Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibukota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi; (2) ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Perneriksa Keuangan diatur dengan undang-undang".

Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan Ketetapan No. X/ MPR/2001 dan Ketetapan No. VI/MPR2002 menyatakan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan merupakan satu-satunya lembaga pemeriksa keuangan eksternal keuangan lembaga negara dan merekornendasikan agar Badan Pemeriksa Keuangan meningkatkan kinerjanya. Penyelenggaraan pemerintahan negara di pusat dan di daerah telah mengalami perubahan, antara lain penyelenggaraan otonomi daerah yang disertai penyerahan sebagian besar kewenangan Pemerintah Pusat kepada Daerah.
Dipisahkannya Badan Pemeriksa Keuangan dalam bab tersendiri (Bab VIIIA), yang sebelumnya merupakan bagian dari Bab VIII tentang Hal Keuangan dimaksudkan untuk memberi dasar hukum yang lebih kuat serta pengaturan lebih rinci mengenai BPK yang bebas dan mandiri serta sebagai lembaga negara dengan fungsi memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara. Dengan adanya ketentuan mengenai hal ini dalarn UUD 1945, diharapkan pemeriksaan terhadap pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dilakukan secara lebih optimal. Dengan demikian dibarapkan meningkatkan transparansi dan tanggungjawab (akuntabilitas) keuangan negara.,
Terkait dengan pemeriksaan keuangan negara, ditegaskan BPK juga berwenang melakukan pemeriksaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) walau daerah mempunyai otonomi. Untuk itu, BPK mempunyai perwakilan di setiap provinsi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23G ayat (1).
Selama ini, di luar struktur BPK pemerintah Orde Baru membentuk Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang mempunyai struktur organisasi yang menjangkau ke seluruh daerah propinsi dan kabupaten/ kota di seluruh Indonesia. Sementara, struktur organisasi BPK jauh lebih kecil. Di daerah ada beberapa kantor perwakilan, misalnya, Perwakilan BEPEKA Wilayah II di Yogyakarta, Wilayah III di Ujung Pandang dan Wilayah IV di Medan. Tidak jarang ditemukan di lapangan, hasil pemeriksaan BPK berbeda dengan BPKP Untuk menghadapi dualisme pemeriksaan oleh BPK dan BPKP itulah maka Pasal 23E ayat (1) menegaskan bahwa, "Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri". Di sini tegas dikatakan hanya satu badan yang bebas dan mandiri. Karena itu, BPKP dengan sendirinya harus dilikuidasi, dan digantikan fungsinya oleh BPK yang menurut ketentuan Pasal 23G ayat (1) ditegaskan: "...berkedudukan di ibukota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi".
Presiden sebagai badan perneriksa internal pemerintah (internal auditor). BPKP dibentuk karena terbatasnya span of control pemerintah yang karena besarnya organisasi menjadi sulit dilakukan. Dengan demikian, semua kebijakan yang diambil oleh pemerintah bisa terawasi dan berjalan efektif dengan baik karena adanya pengawasan internal yang memadai yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden.
Karena itu, BPKP adalah organ yang dibutuhkan oleh pemerintah, sernentara BPK adalah organ yang dibutuhkan oleh DPR, DPD) dan DPRD untuk memberikan jaminan bahwa pertanggungjawaban pernerintah atas pengelolaan keuangan negara yang biasanya dituangkan dalam Laporan Pelaksanaan Anggaran Negara (LPAN) berjalan baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Apabila BPKP digabung ke dalarn BPK, maka pemerintah akan kehilangan perangkat pengawasan internal yang sebenarnya sangat dibutuhkan untuk melakukan kontrol secara komprehensif atas implementasi kebijakan- kebijakan.
Dari segi jangkauan fungsi pemeriksaannya, tugas BPK sekarang menjadi makin luas. Ada tiga perluasan yang dapat dicatat di sini. Pertama, perluasan dari pemeriksaan atas pelaksanaan APBN menjadi pemeriksaan atas pelaksanaan APBN dan APBD serta pengelolaan keuangan dan kekayaan negara dalam arti luas. Kedua, perluasan dalam arti hasil pemeriksaan yang dilakukan tidak saja dilaporkan kepada DPR di tingkat pusat tetapi juga kepada DPD dan DPRD Provinsi serta DPRD Kabupatert/Kota sesuai tingkatan kewenangannya masing-masing. Ketiga, perluasan juga terjadi terhadap lembaga atau badan/badan hukum yang menjadi obyek pemeriksaan oleh BPK, yaitu dari sebelumnya hanya terbatas pada lembaga negara dan/atau pemerintahan yang merupakan subjek hukum tata negara dan/atau subjek hukum administrasi negara meluas sehingga mencakup pula organ-organ yang merupakan subjek hukum perdata seperti perusahaan daerah, BUMN, ataupun perusahaan swasta di mana di dalamnya terdapat kekayaan negara. Menurut ketentuan UU tentang Kmangan Negara yang berusaha menjabarkan lebih lanjut ketentuan UUD 1945 tentang Badan Pemeriksa Keuangan ini badan ini juga dapat memeriksa keuangan negara yang terdapat di dalam saham perusahaan daerah (BUMD) ataupun BUMN, meskipun organ terakhir ini mutlak sebagai organ perdata.
Sebagai pelaksanaan Pasal 23C UUD 1945 telah ditetapkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Kmangan Negara yang menggantikan sebagian ketentuan Undang-Undang Perbendaharaan Indonesia (Indische Comptabiliteitsivet Stbl. 1925 No. 448). Berdasarkan perubahan-perubahan konstitusi, penyelenggaraan pemerintahan di Pusat dan di Daerah, peraturan perundang-undangan dan ketetapan MPR, UU No. 5 Tahun 1973 tentang Badan pemeriksa Keuangan sudah tidak memadai lagi sehingga perlu diperbaharui.
Sebagaimana telah ditetapkan dalam UUD 1945, pemeriksaan yang menjadi tugas BPK meliputi pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggungjawab mengenai keuangan negara. Pemeriksaan tersebut mencakup seluruh unsur keuangan negara. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003.
Menurut ketentuan Pasal 3 UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemenksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan. Penyampaian laporan hasil pemeriksaan tersebut diperlukan agar BPK dapat melakukan evaluasi pelaksanaan pemeriksaan yang dilakukan oleh akuntan publik. Hasil pemeriksaan akuntan publik dan evaluasi tersebut selanjutnya disampaikan oleh BPK kepada lembaga perwakilan, sehingga dapat ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangannya.
Sehubungan dengan itu, kepada BPK diberi kewenangan untuk melakukan 3 (tiga) jenis pengawasan, yakni:
1.Pemeriksaan keuangan, adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemeriksaan keuangan ini dilakukan oleh BPK dalam rangka memberikan pernyataan opini tentang tingkat kewajaran informal yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah.
2.Pemeriksaan kinerja, adalah pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta pemeriksaan atas aspek efektivitas yang lazim dilakukan bagi kepentingan manajemen oleh aparat pengawasan intern pemerintah Pasal 23E UUD 1945 mengamanatkan kepada BPK untuk melaksanakan pemeriksaan kinerja pengelolaan keuangan negara. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mengidentifikasikan hal-hal yang perlu menjadi perhatian lembaga perwakilan. Adapun untuk pemerintah, pemeriksaan kinerja dimaksudkan agar kegiatan yang dibiayai dengan keuangan negara/ daerah diselenggarakan secara ekonomis dan efisien serta memenuhi sasarannya secara efektif.
3.Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif.

BPK memiliki kebebasan dan kemandirian dalam ketiga tahap pemeriksaan, yakni perencanaan, pelaksanaan, dan tahap perencanaan mencakup kebebasan dalam. menentukan obyek yang akan diperiksa, kecuali pemeriksaan yang obyeknya telah diatur tersendiri dalam undang-undang, atau pemeriksaan berdasarkan permintaan khusus dari lembaga perwakilan.
Untuk mewujudkan perencanaan yang kornprehensif BPK dapat memanfaatkan hasil perneriksaan aparat pengawasan internal pernerintah, memperhatikan masukan dari pihak lembaga perwakilan, serta informasi dari berbagai pihak.
BPK diberi kewenangan oleh UU No. 15 Tahun 2004 untuk mendapatkan data, dokumen, dan keterangan dari pihak yang diperiksa, kesempatan untuk memeriksa secara fisik setiap aset yang berada dalam pengurusan pejabat instansi yang diperiksa, termasuk melakukan penyegelan untuk mengamankan uang, barang, dan/atau dokumen pengelolaan keuangan negara pada saat perneriksaart berlangsung.
Hasil setiap pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK disusun dan disajikan dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) segera setelah kegiatan perneriksaan selesai. Pemeriksaan keuangan akan menghasilkan opini. Pemeriksaan kinerja akan menghasilkan ternuan, kesimpulan, dan rekomendasi, sedangkan pemeriksaan dengan tujuan tertentu akan menghasilkan kesimpulan. Setiap laporan hasil pemeriksaan BPK disampaikan kepada DPR/DPD/ DPRD sesuai dengan kewenangannya untuk ditindaklanjuti, antara lain dengan membahasnya bersama pihak terkait
Selain disampaikan kepada lembaga perwakilan, laporan hasil pemeriksaan juga disampaikan oleh BPK kepada pemerintah. Dalam hal laporan hasil pemeriksaan keuangan, hasil perneriksaan BPK, digunakan oleh pernerintah untuk melakukan koreksi dan penyesuaian yang diperlukan, sehingga laporan keuangan yang telah diperiksa (uadited financial statement) memuat koreksi dimaksud sebelum disampaikan kepada DPR/ DPRD.
Pemerintah diberi kesempatan untuk menanggapi ternuan dan kesimpulan yang dikemukakan dalarn laporan hasil perneriksaan. Tanggapan dimaksud disertakan dalam laporan hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan kepada DPR/DPRD. Apabila perneriksa menemukan unsur pidana, UU No. 15 Tahun 2004 mewajibkan BPK melaporkannya kepada instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka transparansi dan peningkatan partisipasi publik, setiap laporan perneriksaan yang sudah disampaikan kepada lembaga perwakilan dinyatakan terbuka untuk umum. Dengan demikian masyarakat dapat memperoleh kesempatan untuk mengetahui hasil pemeriksaan, antara lain melalui publikasi dan situs web BPK
Dengan demikian, Perubahan Pertama dan Kedua UUD 1945, prinsip pemisahan kekuasaan secara horizontal jelas mulai dianut oleh para perumus Perubahan UUD seperti tercermin dalam perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) sampai ayat (5). Anutan prinsip pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan ini penting untuk dijernihkan karena pilihan di antara keduanya sangat mempengaruhi mekanisme kelembagaan dan hubungan antar lembaga negara secara keseluruhan.
Dalam paham pemisahan kekuasaan, mekanisme checks and balances antara lembaga-lembaga tinggi negara, dianggap sebagai sesuatu yang sangat pokok. Karena itu, dengan ditegaskannya anutan prinsip pemisahan kekuasaan maka format dan mekanisme ketatanegaraan yang dikembangkan pada masa depan juga mengalami perubahan mendasar.
Pada intinya, prinsip-prinsip pemisahan atau pembagian kekuasaan itu dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan negara dari kemungkinan menjadi sumber penindasan dan tindakan sewenangwenang para penguasa. Pengaturan dan pembatasan kekuasaan itulah yang menjadi ciri konstitusionalisme dan sekaligus tugas utama konstitusi, sehingga kemungkinan kesewenang-wenangan kekuasaan dapat dikendalikan dan diminimalkan.
Dengan pergeseran kewenangan membentuk undang-undang ini maka sesungguhnya ditinggalkan pula teori "pembagian kekuasaan" (distribution of power) dengan prinsip supremasi MPR menjadi "pemisahan kekuasaan" (separation of power) dengan mekanisme checks and balances sebagai ciri melekatnya. Hal ini juga merupakan penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistern presidensial.
Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif itu sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai dengan mekanisme checks and balances. Dengan adanya mekanisme checks and balances ini maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.
Sekarang setelah lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat sendin mengalami reformasi sruktural dengan diterapkannya sistem pemisahan kekuasaan dan mekanisme checks and balances antara lembaga-lembaga negara, maka dapat dikatakan struktur ketatanegaraan kita berpuncak kepada tiga cabang kekuasaan, yang saling mengontrol dan saling mengimbangi secara sederajad satu sama lain, yaitu (i) Presiden dan Wakil Presiden sebagai satu institusi kepemimpinan, (ii) MPR yang terdiri atas DPR dan DPD, dan (iii) kekuasaan kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Ketiga-tiganya tunduk di bawah pengaturan konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dengan segala perubahannya. Dengan demikian, lembaga MPR merupakan puncak dari sistem kedaulatan rakyat, sedangkan MA dan MK dapat dilihat sebagai puncak pencerminan sistem kedaulatan hukum.



















BAB V
KEKUATAN DAN KELEMAHAN MEKANISME CHECKS AND BALANCES DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA PASCA PERUBAHAN UUD 1945

A.Kekuatan Mekanisme Checks And Balances Pasca Perubahan UUD 1945
Sebagaimana umum diketahui bahwa dalam rangka demokratisasi dan pembatasan kekuasaan, dikenal adanya prinsip pemisahan kekuasaan, baik secara horizontal maupun vertikal. Pemisahan kekuasaan secara horizontal dibagi dalam beberapa cabang kekuasaan yang dikaitkan dengan fungsi lembaga-lembaga negara tertentu. Teori yang paling populer mengenai ini adalah pemisahan kekuasaan yang dikembangkan oleh Montesquieu, yaitu ke dalam fungsi-fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Fungsi legislatif biasanya dikaitkan dengan peran lembaga parlemen atau 'legislature', fungsi eksekutif dikaitkan dengan peran pemerintah dan fungsi judikatif dikaitkan dengan lembaga peradilan.
Menurut ketentuan UUD 1945, keseluruhan aspek kekuasaan negara dianggap terjelma secara penuh di dalam peran Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan dari majelis inilah kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke 5 lembaga tinggi negara, yaitu Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Apabila kita mengkhususkan perhatian kita kepada fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan judikatif, maka di samping memperhatikan soal keberadaan MPR, kitajuga perlu membahas keberadaan lembaga-lembaga Presiden, DPR dan MA. Sedangkan BPK seperti diistilahkan oleh Solly Lubis lebih menyangkut fungsi ‘verifikatif/akuntatif’ dan DPA menyangkut fungsi ‘konsultatif’ dan ‘advisory’.
Dalam rangka pembagian fungsi legislatif, eksekutif dan judikatif tersebut, sebelum diadakan perubahan pertama terhadap UUD 1945, biasa dipahami bahwa hanya fungsi kekuasaan judikatif sajalah yang tegas ditentukan bersifat mandiri dan tidak dapat dicampuri oleh cabang kekuasaan lain. Sedangkan Presiden, meskipun merupakan lembaga eksekutif, juga ditentukan memiliki kekuasaan membentuk undang-undang, sehingga dapat dikatakan menfiliki fungsi legislatif dan sekaligus fungsi eksekutif.
Oleh karena itu, dalam praktek penyelenggaraan negara di bawah UUD 1945 selama ini, berkembang aspirasi untuk lebih membatasi kekuasaan Presiden dengan menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara fungsi legislatif dan eksekutif. Fungsi legislatif dikaitkan,dengan fungsi parlemen, sedangkan Presiden hanya memiliki fungsi eksekutif saja. Pokok pikiran demikian inilah yang mempengaruhi jalan pikiran para anggota MPR, sehingga diadakan Perubahan UUD 1945 yang mempertegas kekuasaan DPR di bidang legislatif dengan mengubah rumusan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945.
Di pihak lain, cabang kekuasaan kehakiman yang berdasarkan ketentuan UUD 1945 memang ditentukan harus mandiri, makin dipertegas agar benar-benar terbebas dari pengaruh Pemerintah. Untuk mempertegas hal ini, Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan sebagai Haluan Negara telah menentukan agar fungsi kekuasaan judikatif dan eksekutif dipisahkan secara tegas dalam rangka mewujudkan peradilan yang independen, bersih dan profesional. Atas amanat Ketetapan inilah kemudian Pemerintah mengajukan Rancangan UU yang akhirnya disetujui oleh DPR-Rl menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 ini, dualisme pembinaan peradilan yang menjadi keluhan banyak ahli hukum selama ini, dihentikan dan pembinaan peradilan dikembangkan menjadi 1 atap di bawah Mahkamah Agung dengan tetap memperhatikan keragaman sistem hukum yang berlaku. Selama masa, baik Orde Lama maupun Orde Baru, praktek penerapan prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman kita, harus diakui memang belum pernah memperoleh momentum untuk dipraktekkan dengan sungguh-sungguh. Sekarang, setelah masa reformasi, barulah kesempatan terbuka lebar. Oleh karena itu, di masa-masa mendatang bangsa, kita memiliki peluang yang makin terbuka untuk menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan judikatif itu secara tegas.



1.Keseimbangan Peran Lembaga Legislatif dan Eksekutif
Seperti disebut di atas, kekuasaan legislatif, selama ini memang tidak ditentukan secara tegas harus berada di tangan DPR. Dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) lama malah dinyatakan: Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR". Memang ditentukan pula dalam Pasal 20 ayat (1) lama bahwa "Anggota DPR berhak mengajukan rancangan undang-undang". Akan tetapi, hak inisiatif memajukan RUU itu. sifatnya hanya tambahan terhadap kewenangan utama (primer) yang dimiliki oleh DPR dibandingkan dengan kewenangan utama membentuk undang- undang yang dimiliki oleh Presiden. Ketentuan demikian ini memperlihatkan kedudukan yang tidak seimbang antara Presiden dan DPR dalam bidang legislatif.
Ketidakseimbangan itu makin jelas terlihat dalam hal pembentukan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti UU (Perpu) yang diatur menurut ketentuan Pasal 22 ayat. (1) UUD 1945. Presiden diberi hak dan wewenang oleh UUD untuk menetapkan Perpu dan memberlakukannya selama 1 tahun tanpa memerlukan persetujuan DPR. Sedangkan dalam hal suatu RUU yang diprakarsai oleh DPR telah disahkan oleh DPR, tetapi apabila Presiden tidak menyetujui RUU tersebut, maka otomatis RUU tersebut tidak dapat diberlakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 ayat (2). Bahkan lebih jauh lagi, dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, selama ini ada yang disebut sebagai prosedur kebijakan yang dianggap dengan sendirinya berada di tangan Presiden yang dalam praktek tercerminkan dalam kewenangannya untuk mengeluarkan Keputusan Presiden yang bersifat mandiri dalam arti tidak dalam rangka melaksanakan undang-undang.
Bahkan dalam praktek, kecenderung banyak sekali jenis Surat Keputusan Presiden yang bersifat mandiri, yang mengatur hal-hal yang kadang-kadang seharusnya diatur dalam undang-undang. Dari ketiga kasus tersebut, makin jelas bagi kita bahwa kedudukan Presiden dalam bidang legislasi ini jauh lebih besar daripada DPR.
Dalam Penjelasan UUD 1945, memang dapat ditemukan adanya pengertian mengenai 'persetujuan DPR' dan mengenai fungsi legislatif Presiden bersama-sama' DPR. Kewenangan DPR untuk memberikan persetujuan itu terhadap setiap RUU dapat saja ditafsirkan memberikan kedudukan yang lebih tinggi, lebih rendah, atau setara kepada DPR dalam berhadapan dengan Pemerintah. Akan tetapi, dalam Penjelasan UUD 1945, kedudukan DPR itu dinyatakan kuat, tetapi Presiden tidak 'untergeornet, tetapi 'neben' terhadap DPR. Oleh karena itu, pengertian 'bersama-sama' disitu berarti 'kesetaraan' dan 'kesederajatan'. Persetujuan bersama itu dilakukan dalam persidangan atau persetujuan itu bersifat institusional. Disetujui tidaknya suatu RUU oleh DPR, sesuai tata tertib DPR dilakukan melalui proses persidangan, bukan ditentukan begitu saja oleh pimpinan DPR. Dengan sendirinya yang dimaksud dengan istilah 'bersama-sama' di atas dilakukan dalam persidangan bersama-sama. Dalam proses persidangan itu, bisa terjadi beberapa kemungkinan. Pertama, berdasarkan mekanisme persidangan yang ada, suatu RUU diputus melalui pemungutan suara dengan mayoritas dukungan memenangkan skenario atau versi pemerintah. Kedua, putusan RUU itu justru dimbil melalui pemungutan suara yang memenangkan versi partai oposisi.
Dalam hal terjadi kemungkinan kedua, apakah dapat dikatakan bahwa RUU tersebut sudah dibuat secara bersama-sama atau apakah pengertian persetujuan bersama itu sudah terpenuhi meskipun pihak pemerintah jelas-jelas tidak menyetujuinya, tetapi kalah dalam pemungutan suara. Menurut pendapat saya, sudah seyogyanya persetujuan bersama dalam persidangan itu dapat dianggap sebagai persetujuan yang bersifat institusional, meskipun suara. yang menang adalah suara 'oposisi'. Pengertian ini harus diterima, karena dalam sistem demokrasi, proses pengambilan keputusan memang harus dihadiri bersama, tetapi keputusan yang diambil tidak berarti harus memuaskan semua pihak. Sudah sewajarnya ada 'take and give' dan bahkan ada yang kalah dan ada. yang menang. Oleh karena itu, terhadap putusan yang sudah diambil bersama itu, Presiden yang kepentingannya dikalahkan dalam persidangan tidak perlu lagi diberikan hak veto untuk tidak mengesahkan suatu RUU yang sudah diputuskan oleh DPR dengan cara tidak menandatangani pengundangan RUU tersebut Itulah sebabnya, maka dalam Perubahan Kedua UUD 1945, terhadap ketentuan Pasal 20 baru ditambah pula ayat baru, yaitu ayat (5) yang menegaskan bahwa dalam 30 hari, Presiden tidak mengundangkan RUU yang sudah disetujui bersama, maka RUU tersebut berlaku sebagai UU. Dengan deinikian, Presiden tidak memiliki hak veto untuk menolak mengundangkan RUU yang sudah dimendapat persetujuan DPR melalui proses pembahasan bersama Pemerintah.
Presiden (Pemerintah) RI berdasarkan UUD 1945, memiliki kewenangan untuk memajukan RUU, memveto RUU inisiatif DPR, dan ikut serta secara aktif dalam proses pembahasan RUU di DPR. Sedangkan DPR-RI berhak mengajukan RUU inisiatifnya sendiri, berhak menyetujui, mengamandemen, atau menolak suatu RUU, dan menolak suatu PERPU yang telah diberlakukan oleh Pemerintah.

2.Peran legislatif sebagai lembaga 'controlling'
Sebenamya fungsi legislatif itu hanyalah merupakan sebagian saja dari tugas pokok parlemen. Asal muasal terbentuknya lembaga parlemen dalam sejarah Eropah dilatar belakangi oleh kebutuhan untuk mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan tugas-tugas pemerintah. Bahkan. istilah parlemen itu sendiri berasal dari kata Perancis 'parle'yang berarti 'to speak', berbicara. Artinya, yang lebih diutamakan dari parlemen itu pada dasamya adalah fungsi 'controlling', bukan 'legislation'. Bahkan, meskipun secara formil fungsi legislatif itu ditentukan dalam konstitusi sebagai fungsi pokok parlemen, tetapi dalam prakteknya justru fungsi legislatif itu tetap saja tidak efektif untuk menggambarkan adanya kesetaraan derajat antara pemerintah dan parlemen. Sebagai contoh kita dapat mehhat apa yang terjadi di negara-negara yang diidealkan mempraktekkan sistem demokrasi seperti Amerika Serikat dan Perancis. Baik dalam Konstitusi Perancis maupun Amerika Serikat jelas ditentukan bahwa kekuasaan legislatif berada di tangan parlemen'. Akan tetapi, dalam prakteknya, justru hal itu tidak mudah dilakukan. Sebagai contoh selama tahun 1970-an dan 1980-an, sekitar 95 persen Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dibahas di parlemen Perancis justru berasal dari inisiatif Pemerintah, bukan inisiatif parlemen. Sedangkan Rancangan UU yang berasal dari inisiatif parlemen hanya berjumlah 5 persen. Malah 3 persen di antaranya diprakarsai oleh partai pemerintah dan hanya 2 persen yang diprakarsai oleh partai oposisi, itupun untuk hal-hal yang tidak strategis. Dengan demikian, praktis ketentuan yang mengidealkan peran parlemen di bidang legislatif itu terbukti hanya bersifat formalitas belaka.
Oleh karena itu, dalam perspektif hubungan antara parlemen dan pemerintah di masa depan berkembang pemikiran untuk lebih mengutamakan pendekatan checks and balances' yang mementingkan pengawasan daripada pendekatan 'separation of power" yang lebih mementingkan tugas-tugas legislatife. Kekuasaan untuk membuat undang-undang itu sendiri cenderung berkembang menjadi teknis sifatnya, sedangkan fungsi pengawasan dan pengendalian yang lebih bersifat politis cenderung dianggap makin penting dalam upaya membangun citra parlemen yang efektif untuk menggambarkan kesederajatannya dengan pihak pemerintah. Karena itu, dalam kaitannya dengan pengaturan soal ini menurut UUD 1945, sebenarnya, ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang lama dapat dikatakan sudah tepat, tinggal lagi meningkatkan fungsi kontrol DPR terhadap pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Akan tetapi, sekarang para wakil rakyat sudah menentukan bahwa lembaga legislatif itu adalah DPR, sedangkan pemerintah hanya pelaksana, sebagaimana tercermin dalam Perubahan Pertama UUD 1945. Dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) yang lama jelas ditentukan bahwa Presidenlah yang memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan DPR, meskipun ditentukan pula bahwa DPR mempunyai hak usul inisiatif untuk memajukan RUU. Tetapi, dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) yang baru ditegaskan DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang". Malah ditentukan secara terbalik bahwa Presiden diberi hak untuk mengajukan RUU kepada DPR. Artinya, pemegang utama (primer) kekuasaan legislatif untuk membentuk undang-undang itu adalah DPR, sedangkan Presiden hanyalah pemegang kekuasaan sekunder.
Perubahan tersebut membawa implikasi terjadinya pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR yang berdampak sangat prinsipil. Dapat dikatakan bahwa semangat yang terkandung di dalam perubahan itu adalah untuk memastikan dianutnya prinsip pemisahan yang tegas antara kekuasaan legislatif dan eksekutif dalam hubungan antara parlemen dan pemerintah. Dalam rumusan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 memang ditegaskan bahwa tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan bersama antara Presiden dan DPR. Akan tetapi, persetujuan itu haruslah dilakukan melalui proses persidangan. Dalam sistem demokrasi, bisa saja terjadi bahwa meskipun pihak Pemerintah berbeda pendapatnya dengan kekuatan oposisi di parlemen, namun putusan akhir dalam pembahasan suatu RUU, justru dimenangkan oleh kelompok oposisi. Dalam hal demikian, Presiden dihadapkan pada pilihan mengesahkan atau tidak mengesahkan RUU tersebut. Sudah tentu, Presiden berhak untuk menolak mengesahkan RUU tersebut, dan hak inilah yang biasa disebut sebagai hak veto Presiden sebagaimana diuraikan di atas.

B.Kelemahan Mekanisme Checks And Balances Pasca Perubahan UUD 1945
Sebelumnya perlu ditegaskan kembali mengenai perlunya mekanisme saling mengawasi dan kerja sama telah melahirkan teori-teori modifikasi atas ajaran pemisahan kekuasaan. Modifikasi itu ialah munculnya teori pembagian kekuasaan yang fokus pada pembagian fungsi-fungsi pemerintahan, serta mekanisme checks and balance.
Teori distribution of power menegaskan pemisahan kekuasaan tetap dijalankan namun dibarengi mekanisme saling mengawasi antara cabang kekuasaan yang satu dengan cabang kekuasaan yang lain. Sebagaimana pendapat Dahlan Thaib, teori Trias Politica menghendaki checks and balance yang berarti antara lembaga negara yang satu dengan lembaga negara yang lain saling mengawasi dan saling menguji agar tidak terjadi saling melampaui kewenangannya masing-masing. Mekanisme Checks and balance akan tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi, yang didasarkan atas dasar pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal.
Namun sayangnya, hampir di semua negara di belahan dunia ini konsep Trias Politica tidak dapat dilaksanakan secara murni. Ini terjadi mengingat praktik-praktik ketatanegaraan selalu disertai fenomena di mana pembuatan undang-undang yang seharusnya menjadi tugas lembaga legislatif ternyata melibatkan pula lembaga eksekutif. Keadaan tersebut merupakan implikasi dari perkembangan jaman, di mana eksekutif pada kenyataanya merupakan lembaga yang paling tahu apa yang perlu diatur dan apa yang tidak perlu diatur dengan undang-undang. Logika rasionalnya, secara langsung lembaga eksekutif bersentuhan dengan masyarakat dalam kedudukannya sebagai penyelenggara pemerintahan. Hal lainnya, lembaga eksekutif memiliki jaringan luas hingga ke daerah, memiliki data dan fasilitas yang lebih lengkap dibanding legislatif.
Prinsip separation of power memang mungkin dapat diandalkan menjamin pembatasan kekuasaan akan tetapi untuk menyerahkan tugas legislasi sepenuhnya kepada DPR realistis, karena legislasi itu sebagian besar lebih bersifat teknis yang membutuhkan peran pemerintah. Meski dalam UUD 1945 ada ketentuan kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR namun dalam hal ini pembentukan undang-undang Indonesia tidak dapat dikatakan menganut Trias Politica karena ayat (2) menyatakan setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Ketentuan ini dapat diartikan bahwa sesungguhnya kekuasaan membentuk Undang-Undang itu dipegang berssama-sama oleh Presiden dan DPR.
Sebagaimana disinggung pada bab awal bahwa ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 menimbulkan dua pendapat berbeda di satu pihak ketentuan tersebut, dinilai sebagai pelaksanaan mekanisme check and balance dan menjadi jalan keluar kebuntuan konstitusi ketika Presiden tidak bersedia mengesahkan undang-undang, di lain pihak ketentuan tersebut justru membuat hak veto (hak tolak) Presiden terhadap sebuah RUU menjadi tidak berarti. Oleh karenanya perlu pula menganalisis kedua pendapat tersebut guna menemukan kebenaran argumennya.
Terkait dengan hak veto, memang sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945 hasil amandemen, pranata hak veto tidak disebutkan eksplisit dalam pasal-pasal. Namun secara implisit itu tersirat dalam Pasal 20 UUD 1945 pasca amandemen. Berikut diuraikan mengenai hal-hal tersebut. Mengacu pendapat Jimly Asshiddiqie, dalam rangka melaksanakan mekanisme checks and balance, Presiden diberi kekuasaan untuk tidak mengesahkan Undang-Undang yang telah disetujui bersama DPR dan Presiden. Pendapat itu tentu saja menimbulkan konsekuensi bahwa jika tidak ada pengesahan Presiden atas suatu RUU maka tentunya tidak akan ada proses pengundangan. Pengesahan suatu RUU oleh Presiden sesungguhnya terkait erat dengan pengertian persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam pembahasan suatu RUU. Untuk itu diperlukan pemahaman yang tepat atas konsep tersebut.
Suatu RUU menjadi UU jika dan hanya jika disetujui bersama Presiden dan DPR. Lalu bagaimana bentuk pelaksanaan, persetujuan bersama itu? Apakah persetujuan bersama itu dilakukan dalam persidangan, atau bersifat institusional? Disetujui tidaknya suatu RUU harus sesuai dengan tata tertib DPR yakni melalui proses persidangan bukan semata-mata ditentukan begitu saja oleh pimpinan DPR. Dengan sendirinya istilah ‘bersama-sama' dilakukan dalam persidangan bersama-sama.
Dalam persidangan tersebut dapat terjadi dua kemungkinan. Pertama, berdasarkan mekanisme persidangan yang ada, suatu RUU diputus melalui pemungutan suara dengan mayoritas dukungan memenangkan RUU skenario atau versi pemerintah. Kedua, putusan RUU diambil melalui pemungutan suara yang memenangkan RUU versi DPR. Kenyataan normatif dari dua kemungkinan tersebut adalah jika DPR (meskipun hanya didukung oleh simple majority) tidak menyetujui RUU usul inisiatif pemerintah, atau jika Presiden menolak RUU usul inisiatif DPR (walaupun disetujui secara aklamasi), legislasi tidak dihasilkan. Akan jika satu pihak menolak maka RUU tidak mungkin disahkan menjadi UU. Formula ini berpeluang melahirkan ketegangan permanen dalam legislasi bahkan kemacetan karena Presiden dan DPR akan berdalih sama-sama memperoleh mandat rakyat.
Jika kemungkinan kedua terjadi, apakah lalu dapat dikatakan RUU tersebut sudah dibuat secara bersama-sama atau dengan kata lain pengertian persetujuan bersama sudah terpenuhi meski pemerintah jelas-jelas tidak menyetujuinya, hanya kalah dalam pemungutan suara. Presiden yang kepentingannya dikalahkan dalam persidangan dapat menggunakan haknya untuk tidak mengesahkan suatu RUU yang sudah diputuskan oleh DPR dengan cara tidak menandatangani untuk mengundangkan RUU tersebut.
Dengan tidak menandatangani RUU tersebut maka sesungguhnya RUU tidak akan pernah menjadi UU karena tidak dapat diundangkan. Sampai di sini Presiden memiliki kekuasaan mutlak dan amat menentukan dalam rangka mengimbangi kekuasaan DPR di bidang legislasi. Namun sampai di sini alur legislasi terhenti, UU tidak akan pernah terbentuk. Untuk itu menurut para penganut pendapat pertama, sepakat bahwa Pasal 20 ayat (5) dimunculkan untuk mengantisipasi kemandegan alur legislasi.
Sungguhpun demikian, tidak sepakat dengan pendapat tersebut. Secara teoritis, dalam setiap proses pembuatan undang-undang ada dua syarat mutlak ketika RUU hendak diberlakukan menjadi UU yang mengikat umum. Kedua syarat itu ialah syarat materiil dan syarat formil. RUU belum disebut sebagai UU jika tidak mampu memenuhi kedua syarat tersebut. Syarat materiil berarti telah disepakatinya materi RUU oleh Presiden bersama DPR. Sedangkan syarat formil, untuk disebut sebagai undang-undang rancangan itu harus memiliki format resmi dokumen kenegaraan diantaranya dengan tandatangan Presiden. Dengan kata lain pengesahan Presiden terhadap suatu RUU yang telah disetujui bersama Presiden dan DPR menjadi syarat yang tidak dapat diabaikan.
Mengacu pada hal di atas maka melihat rumusan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945, maka pengesahan Presiden atas suatu RUU telah secara nyata diabaikan. Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 melompati syarat formil suatu UU. Malahan ketentuan itu justru menjadi elemen penyebab tidak terpenuhinya syarat formil karena 'menghalalkan' suatu UU untuk diundangkan dan berlaku mengikat umum tanpa pengesahan Presiden.
Pengesahan dan pengundangan suatu UU oleh Presiden adalah perbuatan hukum yang terpisah. UUD 1945 telah memerintahkan bahwa pengundangan itu wajib hukumnya, sementara dasar pengundangan suatu UU adalah pengesahan Presiden. Setelah Presiden teken baru diperintahkan pengundangannya ke dalam Lembaran Negara agar UU berlaku mengikat umum. Kemandegan alur legislasi tidak seharusnya diantisipasi dengan ketentuan yang bertentangan dengan hukum konstitusi terutama dalam hal pembentukan perundang-undangan. Mengenai hal ini akan dijelaskan tersendiri lebih lanjut.
Terkait dengan tidak berartinya hak veto maka penting dimengerti tentang definisi veto. Kata veto menurut kamus Latin berarti 'saya melarang' atau 'saya menolak'. Dalam konteks ketatanegaraan, hak veto merupakan hak menolak terhadap suatu RUU. Hak veto adalah sebuah hak yang ditemukan dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan berdasarkan Konstitusi Amerika Serikat dalam rangka checks and balance. International Encyclopedia of Government and Politics menguraikan hal terkait dengan hak veto sebagai berikut :
The veto is one of essential balance that maintain the the system separation of powers in the United States. This incomplete cheeks on legislative power has served to prevent most congressional ecroachment on the executive., although its negative nature has prevented presidents from dictating the contents of the law Conggres .... The first purpose of the veto for the Framers of the constitution was to give presidents a tool to defend their office and themselvesfi-om encroachment on their power by the legislature. Conggres has made many attemps to limit presidential power, especially in the areas appointment, budgeting and military powers. The veto poi.. has been used, succesfully on the whole, to prevent encroachm E on the executive office .... Every bill passed by Conggres must, -presented on the president before it can become a law, as sta:in Articlel, section 7, clause 2 of the Constitution.

Pada dasarnya baik Presiden (eksekutif) maupun DPR (legislatif) memiliki hak untuk menolak atau menerima sebuah RUU. Presiden mempunyai hak mengajukan RUU, berhak pula memveto RUU inisiatif DPR, dan memveto RUU yang mengalahkan kepentingan pemerintahannya. Sedangkan DPR berhak mengajukan RUU atas inisiatifnya, berhak menyetujui mengamandemen, atau tidak menolak suatu RUU, dan menolak suatu PERPU yang telah diberlakukan oleh Pernerintah.
Di negara penganut prinsip separation of power seperti Amerika Serikat, Presiden diberi hak veto sebagai senjata guna menolak. mengesahkan suatu RUU yang telah disetujui dalam persidangan parlemen. Bahkan sebagian besar Gubernur di negara-negara bagian Amerika Serikat dilengkapi pula dengan hak veto. Para Presiden Arnerika Serikat makin sering menggunakan hak veto itu. Selama abad ke-19, hak veto cenderung digunakan lebih sering dibandingkan dengan abad sebelumnya. Menurut William . Keete dan Morris S. Ogul, hal ini disebabkan oleh 3 (tiga) faktor, yaitu :
a. meningkatnya permasalahan yang dihadapi sebagai akibat perkernbangan industrialisasi, urbanisasi, dan krisis intenasional,
b. meningkatnya harapan dan kebutuha publik akan tindakan permerintah,
c. meluasnya lingkup dan intensitas konflik politik.
Besarnya kekuasaan Presiden untuk menggunakan senjatanya memveto, suatu RUU yang telah disetujui oleh parlemen diiringi kecenderungan pemerintah untuk mengajukan RUU. Ini didasari oleh kenyataan bahwa pemerintahlah yang sesungguhnya paling tahu kebutuhan untuk membuat suatu undang-undang karena pemerintah bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Keberadaan hak veto biasanya diatur dalam sistem yang menganut prinsip pemisahan kekuasaan karena dianggap dapat dijadikan senjata efektif meng'counter' kekuatan lembaga lain dalam relasi saling mengendalikan. Sungguhpun demikian, hak veto harus dibatasi sebab tanpa pembatasan Presiden dapat saja bertindak serampangan menggunakan hak veto. Di Amerika Serikat diatur apabila suatu Undang-Undang yang telah disahkan parlemen diveto oleh Presiden maka RUU tersebut dapat dibahas lagi untuk diadakan pemungutan suara ulang. Jika parlemen tetap menyetujui RUU tersebut maka RUU tersebut langsung dapat menjadi UU tanpa memerlukan pengesahan oleh Presiden.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, belum pernah ada Presiden menggunakan hak veto sehingga mengesankan hak veto itu tidak ada. Namun sebenarnya ketika RUU Mahkamah Konstitusi tengah dibahas di DPR pada tahun 2003 lalu, Presiden melalui Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra hampir menggunakan hak veto untuk menolak RUU Mahkamah Konstitusi bila saja kualifikasi pendidikan Sarjana Hukum tidak dicantumkan sebagai salah satu syarat hakim konstitusi.
Lalu bagaimana sesungguhnya eksistensi hak veto menurut konstitusi Indonesia. mari mencermati Pasal 20 ayat (2) UUD 1945. Dengan menggunakan teori penafsiran gramatikal atau ketatabahasaan maka akan tersirat bahwa dalam proses pembahasan RUU, Presiden diberikan hak oleh konstitusi untuk menyetujui suatu RUU. Sebaliknya, secara a contrario, Presiden diberi pula hak untuk menolak atau tidak menyetujui. Di sinilah seharusnya dipahami bahwa konstitusi telah mengintrodusir norma yang memberikan hak veto kepada Presiden untuk menyatakan penolakan terhadap RUU ketika dibahas bersama DPR dalam persidangan DPR.
Namun sesungguhnya, keberadaan hak veto dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dipahami beragam. Eksistensi hak veto sebagaimana diintrodusir UUD 1945 memunculkan beragam pendapat. Dalam pada ini terdapat tiga pendapat yang relevan dikemukakan. Lukman Hakim Saifudin menyatakan, hak veto Presiden adalah hak untuk menolak RUU yang dibahas DPR. DPR maupun Presiden mempunyai hak yang sama untuk menyetujui atau tidak menyetujui suatu RUU. Dalam hal Presiden tidak menyetujui sebuah RUU yang dibahas di DPR maka ketidaksetujuan Presiden itu seharusnya disampaikan pada saat menjelang pengambilan putusan dalam rapat paripurna DPR. Kalau DPR secara kelembagaan menyetujui RUU tersebut tetapi Presiden tidak setuju maka RUU itu tidak dapat melaju menjadi UU.
Memang, UUD 1945 tidak menyebut secara tegas bahwa ketidaksetujuan atau penolakan Presiden itu sebagai hak veto tetapi esensi sesungguhnya adalah sama yakni ada hak Presiden untuk menolak RUU yang dibahas di DPR. Lukman Hakim Saifudin menegaskan kembali bila Presiden memang tidak setuju dengan sebuah RUU yang tengah dibahas di DPR maka penolak, itu harus dilakukan pada tahap pengambilan keputusan untuk mendapatkan persetujuan bersama DPR-Presiden, bukan setelah itu, dan juga bukan dalam bentuk tidak mengesahkan atau mengundangkannya. Di kutub lain, Jimly Asshiddiqie memberi pemahaman perihal hak veto secara lebih konkrit yakni sebagai hak yang dilaksanakan oleh Presiden untuk menolak suatu RUU dengan cara tidak mengesahkan RUU. Hal ini terkait dengan makna persetujuan bersama Presiden dan DPR dalam proses legislasi. Dalam hal ini RUU sudah disetujui dengan suara terbanyak dalam persidangan DPR dan memenangkan RUU versi DPR maka itu sudah dianggap sebagai persetujuan bersama. Pengertian itu harus diterima karena dalam sistem demokrasi, proses,pengambilan keputusa memang harus dihadiri bersama tetapi keputusan yang diambil tidak berarti harus memuaskan sernua pihak.
Namun, terhadap putusan yang sudah diambil bersama itu, Presiden yang kepentingannya dikalahkan dalarn persidangan masih dapat menggunakan haknya untuk tidak mengesahkan suatu RUU yang sudah diputuskan oleh DPR dengan cara tidak menandatangani untuk mengundangkan RUU tersebut. Dalam hal demikian, Presiden dihadapkan hanya pada dua pilihan yakni mengesahkan atau tidak mengesahkan RUU tersebut. Jimly menegaskan, hak Presiden untuk menolak mengesahkan RUU itulah yang disebut sebagai hak veto Presiden
Sementara Muhammad Fajrul Falaakh menyebut hak veto yang diperkenalkan oleh perubahan UUD 1945 adalah temporary veto, hak veto dalam sifatnya yang temporer. Hak veto Presiden selama tiga puluh hari itu tidak banyak berarti dalam proses legislasi. Ini menunjukkan kasus salah impor dalam melakukan transplantasi hukum konstitusi (constitutional transplant). Di negeri yang memberikan wewenang penuh kepada legislator untuk memutuskan undang-undang, eksekutif tidak ikut mengambil putusan seperti di Indonesia. Veto eksekutif terhadap legislasi hanya merniliki makna dalam konteks ini.
Dikaitkan dengan rumusan Pasal 20 maka sebenarnya pengesahan Presiden atas suatu UU seharusnya menjadi pelaksanaan mekanisme checks and balance seandainya saja klausul ayat (5) tidak ada. Pengesahan Presiden atas suatu RUU menjadi dasar dan syarat pengundangan suatu RUU setelah sebelumnya DPR secara konstitusional 'berkuasa' membentuk UU. Di sanalah, pelaksanaan mekanisme checks and balance akan nampak yakni ketika DPR selaku lembaga legislatif menyetujui suatu RUU baik usulan dari Pemerintah maupun dari DPR sendiri, dan kemudian Presiden yang mengesahkan Undang-Undang.
Kekuasaan legislatif yang tetap berada di tangan DPR dan pengesahan formal produk Undang-Undang dilakukan oleh Presiden menunjukkan adanya perimbangan kekuasaan. Namun pendapat tersebut bukan saja diingkari namun juga dinafikkan oleh dimunculkannya Pasal 20 ayat (5). Pengesahan Presiden tidak lagi berarti dan tak memiliki konsekuensi apapun. Pengundangan suatu Undang-Undang bukan lagi didasarkan pada ada tidaknya pengesahan formil Presiden semata melainkan dengan melihat jangka waktu 30 hari sejak RUU disetujui bersama DPR dan Presiden.
Pengesahan Presiden dalam konteks tersebut tidak lagi dapat dikatakan sebagai pelaksanaan mekanisme checks and balance, yang ada justru DPR heavy dimana fungsi Presiden untuk mengesahkan secara nyata diabaikan. Rumusan konstitusional itu menjadi pemuas nafsu DPR memberdayakan dirinya. Sebagai pemegang kekuasaan membentuk UU, DPR hendak menonjolkan otoritasnya yang sesungguhnya justru berpotensi merusak mekanisme check and balances.
Semestinya, jika hendak konsisten melaksanakan mekanisme checks and balance, rumusan konstitusi mengantisipasi keadaan jika RUU tidak disahkan Presiden bukan dipaksakan pada pengundangan. Kalimat 'wajib diundangkan' pada Pasal 20 ayat (5) telah menjadi upaya paksa yang tidak tepat bahkan keliru Akan sangat janggal suatu RUU yang tidak ditandatangam Presiden lalu diundangkan, mengingat pengesahan Presiden adalah dasar pengundangan. Tanpa pengesahan Presiden, pengundangan menjadi tidak memiliki dasar. Mekanisme checks and balance terwujud apabila rumusannya berupa memaksa Presiden mengesahkan suatu RUU yang telah disetujui bersama DPR dan Presiden, bukan mewajibkan pengundangannya.
Pasal 20 ayat (5) jelas-jelas mengingkari mekanisme checks and balances. karena menjadi alat pemaksa Presiden untuk tetap menerima RUU dari DPR sebagai implikasi dari penguatan peran DPR bahkan dengan memangkas fungsi legislasi Presiden. Di bidang legislasi Presiden dipasung oleh keberadaan Pasal 20 ayat (5) dengan tidak diberikannya hak veto kepada Presiden. Dengan demikian pengesahan Presiden dalam konteks Pasal 20 ini bukan lagi sebagai implementasi mekanisme checks and balance tetapi justru merusak mekansime checks and balance yang sudah diintrodusir oleh Pasal 20 ayat (2).
Mengenai pemberian kewenangan Presiden dalam rangka pelaksanaan mekanisme checks and balance sebenarnya pernah dirumuskan dalam rapat PAH III BP MPR pada proses pembahasan Perubahan Pertama UUD 1945. Pendapat F-PDKB dan F-PDI serta hasil rumusan Forum Rapat Sinkronisasi dalam PAH III pernah mengusulkan ketentuan tersebut dengan rumusan kalimat yang diusulkan masuk ke dalam Pasal 20 ayat (5) yaitu : Apabila Presiden tidak mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang pada masa yang ditentukan, berdasarkan keputusan sekurang-kurangnya 2/3 anggota DPR Presiden wajib mengesahkan rancangan undang-undang tersebut menjadi Undang-Undang.
Namun karena keinginan besar dari sebagian besar perumus perubahan yang notabene juga sebagai anggota DPR dalam upaya mereduksi kekuasaan Presiden, usulan tersebut ditolak pada Rapat Paripurna ke 7 MPR Tahun 2000 dengan alasan RUU sudah disetujui bersama DPR dan Presiden. Menanggapi keganjilan Pasal 20 ayat (5), Komisi Konstitusi mengusulkan rumusan yang lebih mengarah pada aplikasi mekanisme checks and balance. Komisi Konstitusi merumuskan Pasal 20 yang terdiri dari 7 (tujuh) ayat, yaitu :
1. DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang
2. Setiap rancangan Undang-Undang memerlukan persetujuan DPR untuk menjadi Undang-Undang.
3. Jika suatu RUU tidak mendapat persetujuan DPR, RUU tersebut tidak dapat diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
4. Presiden mengesahan RUU yang telah disetujui DPR.
5. Jika presiden tidak mengesahkan RUU yang telah disetujui DPR, RUU tersebut tidak dapat diundangkan.
6. RUU yang tidak mendapatkan pengesahan Presiden dikembalikan kepada DPR untuk dibahas kembali.
7. Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah dibahas kembali oleh DPR apabila mendapat persetujuan 2/3 anggota DPR.

Jika dicermati, usulan Komisi Konstitusi itu secara konseptual menghendaki pengesahan Presiden sebagai syarat mutlak berlakunya suatu Undang-Undang. Usulan tersebut semakin menegaskan bahwa dalam hal legislasi pengesahan Presiden menjadi amat penting dan tidak dapat dilampaui begitu saja. Komisi Konstitusi bahkan secara tegas mengemukakan gagasan bahwa tidak akan ada yang namanya pengundangan suatu RUU tanpa didalamnya termuat tanda tangan Presiden. Dalam konteks ini, Komisi Konstitusi sepakat menghendaki terpenuhinya syarat formil dan syarat materil dalam hal pembentukan undang-undang.
Usulan itu memang lebih memberikan garansi bagi pelaksanaan mekanisme checks and balance dimana syarat materil dipenuhi oleh DPR, sementara syarat formil di tangan Presiden. Selanjutnya, perlu dimunculkan solusi konstitusional yang lebih menunjukkan semangat saling mengimbangi ketika RUU yang telah disetujui DPR dan Presiden tidak disahkan oleh Presiden. Untuk itu politik hukumnya adalah membuka kembali peluang amandemen konstitusi untuk memasukkan rumusan yang memaksa Presiden untuk mengesahkan RUU. Rumusan itu berupa ketentuan adanya pemungutan suara ulang oleh DPR atas RUU yang tidak disahkan Presiden tersebut. Pemungutan suara itu sama sekali bukan untuk mengubah substansi RUU melainkan sebagai upaya memaksa Presiden menandatangani RUU. Jika dalam sidang DPR yang digelar untuk kepentingan tersebut, 2/3 anggota DPR menghendaki RUU tersebut berlaku maka Presiden mau tak mau harus mengesahkan RUU tersebut sebagaimana mestinya, demi kepentingan hukum. Namun apabila RUU itu mendapat suara kurang dari 2/3 anggota DPR maka jika memang punya alasan kuat, Presiden berhak untuk tidak mengesahkan RUU tersebut. Sejalan dengan itu RUU yang tidak disahkan Presiden tidak dapat diundangkan, dan jalan keluar konstitusionalnya dibahas lagi oleh DPR dan Presiden.
Tidak disanggah usulan ini terinspirasi dari Konstitusi Amerika Serikat namun jika ia tepat dan sesuai untuk ditranspalantasi kenapa tidak dalam sistem presidensil Amerika Serikat menurut ketentuan Pasal 1 Ayat (7) poin 2 Konstitusi AS menyatakan all bill which shall have passed the House of Representative and the Senate shall, before it becomes a law, be presented to the President of the US ; if he approve, he shall sign it, but if not, he shall return it, with his objections. Penolakan Presiden dapat dimentahkan bila ternyata 2/3 dari anggota Kongres tetap mendukung rancangan undang-undang (RUU) itu. Dukungan minimal 2/3 anggota Kongres menjadikan veto Presiden tidak mempunyai kekuatan.
Selanjutnya mengingat amandemen konstitusi bukan perkara sederhana, maka perlu pula diupayakan tindakan antisipatif tanpa perlu menunggu amandmen. Jika amandemen konstitusi belum dimungkinkan, untuk mencegah terjadinya kembali Undang-Undang tanpa pengesahan Presiden, dengan diterapkannya konvensi ketatanegaraan berupa pemberian hak in persona kepada Presiden dalam setiap proses pernbentulcan undang-undang.
Hak in persona tersebut diberikan dapat dijelaskan dengan logika dalam ilmu hukum. Logika hukum yang dimaksud ialah bahwa secara teoritis akademis diharapkan bahwa setiap undang-undang yang akan diberlakukan menjadi hukum positif harus mampu memenuhi persyaratan filosofis, yuridis, dan sosiologis. Secara. filosofis materi dan substansi hukum dalam Undang-Undang tersebut memiliki tujuan-tujuan yang luhur dan baik demi kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan, serta dapat diterima oleh akal sehat dan logika. Begitu pula dipandang dari syarat yuridis telah pula selaras dan tidak menyimpang dari asas-asas dan prinsip hukum serta sistem hukum yang dianut. Namun secara sosiologis dapat saja timbul persoalan akibat perbedaan pemahaman.
Dalam negara hukum yang demokratis perbedaan pendapat sering terjadi. Pro kontra yang tajam dan sangat prinsipil sering terjadi mengiringi pernbentukan suatu RUU. Sehingga kalau suatu RUU dipaksa diberlakukan menjadi Undang-Undang justru yang timbul adalah ketidaktertiban, ketidakamanan, ketidaktentraman, serta ketidaksejah teraan. Sementara yang bertanggung jawab untuk menghadapi kekacauan sosiologis tersebut bukan lain adalah Presiden sebagai pelaksana pemerintahan. Oleh karena itulah hak in persona sebagai sebuah konvensi ketatanegaraan bukan tanpa alasan perlu diaplikasikan.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa di Pasal 20 ayat (2) konstitusi telah mengintrodusir norma dimana Presiden diberikan hak untuk menggunakan hak veto atu menyatakan penolakan terhadap RUU yang telah dibahas bersama di persidangan DPR. Tentu saja, penolakan Presiden itu harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan filosofis, yuridis dan sosiologis yang dimiliki secara pribadi oleh Presiden. Sebab sekali lagi, pada akhirnya Presidenlah yang bertanggung jawab dalam setiap pelaksanaan undang-undang sesuai dengan konsep UUD 1945, pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada Presiden (concentration and responsibilty upon the president). Jika Presiden menilai bahwa RUU yang akan disetujui menjadi undang-undang dapat menimbulkan bahaya dan atau menimbulkan kesulitan dalam tataran implementasinya tentu Presiden dapat menolak atau tidak menyetujui.
Agar Undang-Undang tanpa pengesahan Presiden tak lahir lagi maka selayaknya di dalam. setiap proses pembahasan RUU di DPR, harus ada kata putus dan kata akhir dari Presiden untuk menyetujui atau menolak RUU tersebut, yaitu pada tingkat pembicaraan II. Persetujuan atau penolakan itu harus dilakukan oleh Presiden secara in persona, dilakukan secara formal material dihadapan Rapat Paripuna DPR pengambilan keputusan mengenai suatu Undang-Undang, dan tidak boleh diwakilkan kepada Menteri atau kepada Wakil Presiden sekalipun. Ini akan lebih memberikan jaminan karena baik Wakil Presiden maupun Menteri dalarn ketentuan UUD 1945 hanyalah pembantu presiden, dan bertanggung jawab kepada Presiden.











BAB VI
PENUTUP

Mekanisme checks and balances sebelum Amandemen UUD 1945 pelaksanaannya didasarkan pada prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power) jadi belum sepenuhnya dilaksanakan mekanisme checks and balances karena kuatnya kekuasaan presiden namun setelah diadakannya amandemen UUD 195 adanya perubahan paradigma ketetanegaraan yang mengarah pada system pemisahan kekuasaan (separation of power) sehingga mekanisme checks and balances dapat terlaksana.
Mekanisme Check and Balances Pasca Perubahan UUD 1945 memposisikan Aspek perimbangan kekuasaan hubungan antara Presiden dan DPR, Presiden dan Mahkamah Agung, Ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 memberikan kekuatan kepada rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama dengan DPR. Suatu rancangan undang-undang yang telah disetujui akan tetap menjadi undang-undang tanpa pengesahaan Presiden. Ini dimaksudkan sebagai penyeimbang antara DPR dan Presiden dalam pembentukan undang-undang. Perubahan terhadap pasal-pasal ini dapat dikatakan sebagai pengurangan atas kekuasaan Presiden yang selama ini dipandang sebagai hak prerogatif. Oleh karena kedudukan DPR sejajar/seimbang dengan Presiden sehingga tidak dapat saling menjatuhkan, maka DPR tidak memproses dan mengambil putusan terhadap pendapatnya sendiri, tetapi mengajukannya kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat yang berisi dugaan DPR itu.
Kekuatan dan kelemahan Mekanisme cheks and balances yang lembaga-lembaga negara setelah amandemen Undang Undang Dasar 1945 telah dilaksanakan berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan adalah:
a.Prinsip pemisahan kekuasaan, baik secara horizontal maupun vertikal. Pemisahan kekuasaan secara horizontal dibagi dalam beberapa cabang kekuasaan yang dikaitkan dengan fungsi lembaga-lembaga negara tertentu yaitu ke dalam fungsi-fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Fungsi legislatif biasanya dikaitkan dengan peran lembaga parlemen atau 'legislature', fungsi eksekutif dikaitkan dengan peran pemerintah dan fungsi judikatif dikaitkan dengan lembaga peradilan. kewenangan utama (primer) yang dimiliki oleh DPR dibandingkan dengan kewenangan utama membentuk undang-undang yang dimiliki oleh Presiden. Ketentuan demikian ini memperlihatkan kedudukan yang tidak seimbang antara Presiden dan DPR dalam bidang legislatif. Namun setelah perubahan Undang- Undang Dasar maka penguatan atas mekanisme check and balance membawa dampak positif pada adanya keseimbangan kedudukan legislative dan eksekutif dan penguatan fungsi legislasi dan fungsi controlling.
b.Konsep Trias Politica tidak dapat dilaksanakan secara murni. Ini terjadi mengingat praktik-praktik ketatanegaraan selalu disertai fenomena di mana pembuatan undang-undang yang seharusnya menjadi tugas lembaga legislatif ternyata melibatkan pula lembaga eksekutif. Keadaan tersebut merupakan implikasi dari perkembangan jaman, di mana eksekutif pada kenyataanya merupakan lembaga yang paling tahu apa yang perlu diatur dan apa yang tidak perlu diatur dengan undang-undang. Logika rasionalnya, secara langsung lembaga eksekutif bersentuhan dengan masyarakat dalam kedudukannya sebagai penyelenggara pemerintahan. Hal lainnya, lembaga eksekutif memiliki jaringan luas hingga ke daerah, memiliki data dan fasilitas yang lebih lengkap dibanding legislatif.
Mekanisme separation of power memang mungkin dapat diandalkan menjamin pembatasan kekuasaan akan tetapi untuk menyerahkan tugas legislasi sepenuhnya kepada DPR realistis, karena legislasi itu sebagian besar lebih bersifat teknis tetap membutuhkan peran pemerintah sebagai mitra kerja sehingga hal ini dapat menyebabkan sebuah kebijakan bersifat politis dan hanya mementingkan eksistensi lembaga Legislatif saja













DAFTAR PUSTAKA

Andrews, William G. 1968. Constitutions and Consti­tu­tio­nalism, 3rd edition. New Jersey : Van Nostrand Company.
Asshiddiqie, Jimly. 1994. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta : Ichtiar Baru-van Hoeve.
________________. 1996. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah. Jakarta: UI Press.
________________. 2004. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta : Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi HTN FH Universitas Indonesia.
_______________. 2005. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945. Cetakan II. Yogyakarta : FH UII.
_______________. 2005. Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara. Jakarta : Konstitusi Press.
_______________. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Bennis, Warren G. The Coming Death of Bureaucracy. Think. Nov-Dec 1966.
Budiardjo, Mariam. 1992. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fadjar, A. Muktie. 2003. Tipe Negara Hukum. Malang : Bayumedia Publishing.
______________. 2006. Hukum Konstitusi & Mahkamah Konstitusi. Jakarta : Konstitusi Press dan Yogyakarta :, Citra Media.
Flynn, N. and S. Leach. 1984. Joint Boards and Joint Committees: An Evaluation. Birmingham: University of Birmingham, Institute of Local Government Studies.
Gough, Ian. 1979. The Political Economy of the Welfare State. London and Basingstoke: The Macmillan Press.
Hodges, Donald C. 1981. The Bureaucratization of Socialism, The University of Massachussetts Press.
Huda, Ni'matul. 1999. Hukum Tata Negara Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Konstitusi Indonesia. Yogyakarta : Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Ull kerjasama dengan Gama Media.
____________. 2003. Politik Ketatanegaraan Indonesia. Cetakan Pertama. Yogyakarta : FH UII Press
____________. 2006. Hukum Tata Negara. Jakarta : Rajawali Pers.
____________. 2007. Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi. Yogyakarta : UII Press.
Huntington, Samuel P. 1984. Political Science Quarterly. Radio Australia-Monach Development Studies Centre.
Husen, La Ode. 2005. Hubungan Fungsi Pengawaan: Dewan Perwakilan Rakyat Dengan Badan Pemeriksa Keuangan Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Bandung : CV. UTOMO.
Ibrahim, Johnny. 2007. Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang : Bayumedia Publishing.
Iswara, F. 1999. Pengantar Ilmu Politik. Cet. Kesembilan. Bandung : Putra A. Bardin.
Joeniarto. 1968. Negara Hukum. Jogjakarta : YBP Gajah Mada.
Kansil, C. S. T. 2008. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta : Rineka Cipta.
Kansil, C. S. T. dan Christine S.T. Kansil. 2002. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta : Rineka Cipta.
Kelsen, Hans. 1961. General Theory of Law and State. New York : Russell & Russell.
Kusuma, RM. A. B. 2004. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Manan, Bagir. 2003. Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta : Ull Press.
MD, Mahfud. 2007. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Perubahan Konstitusi. Jakarta : LP3ES.
Meny, Yves and Andrew Knapp. 1998. Government and Politics in Western Europe: Britain, France, Italy, Germany, 3rd edition, Ofxord University Press.
Mertokusumo, Sudikno. 2004. Penemuan Hukum. Yogyakarta : Liberty.
Mutiar’as, D’. 1955. Ilmu Tata Negara Umum, Jakarta : Pustaka Islam.
Nasution, S. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung : Tarsito. 1992.
Osborne, David and Peter Plastrik. 1997. Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government. A Plume Book.
Piliang, Indra J. dan Bivitri Susanti. 2007. Untuk Apa DPD RI. Cetakan ketiga. Jakarta. Kelompok DPD di MPR RI.
Poerbopranoto, Koentjoro. 1987. Sistem Pemerintahan Demokrasi. Bandung : Eresco.
Skhlar, Judith N. 1996. Montesquieu: Penggagas Trias Politica. Jakarta : Midas Surya Grafindo.
Stoker, Gerry. 1991. The Politics of Local Government. 2nd edition. London: The Macmillan Press.
Suharto, Susilo. 2006. Kekuasaan Presiden Republik Indonesia dalam Periode Berlakunya UUD 1945. Graha Ilmu : Yogyakarta.
Sumali. 2003. Kedudukan Perpu dalam TAP No. III/MPR/2000 dan Problem Implementasinya. Buku S2 Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia.
Suny, Ismail. 1987. Pembagian Kekuasaan Negara: Suatu Penyelidikan Perbandingan Dalam Hukum Tata-negara Inggris, Amerika Serikat, Uni Sovyet dan Indonesia. Jakarta : Aksara Baru.
Thaib, Dahlan. 1993. Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut Undang-Undang Dasar 1945. Yogyakarta : Liberty.
Utrecht, E. 1990. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Jakarta : Ichtiar Baru.

A.Perundang-Undangan
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3889).
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4250).
Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4252).
Undang-Undang NO.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 33,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3817), Keppres No. 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingah Usaha.
Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4429).

Tidak ada komentar: