Gelorakan Pemikiran

Minggu, 03 Oktober 2010

PENEGUHAN JATI DIRI DAN IDENTITAS BERMUHAMMADIYAH STRATEGI PENANAMAN IDIOLOGI DI LINGKUNGAN PTM
YANTO SAGARINO DPP IMM

Semenjak Muktmar Muhammadiyah di Malang Jawa Timur tahun 2005 kurang lebih mengambil tema tentang peneguhan idiologi untuk pencerahan bangsa. Tema ini merupakan sebuah bahasa yang sangat kuat dalam batin kita, setiap mendengar kata pencerahan disitulah mengingat tema Muhammadiyah, setiap membaca buku kemudian ketemu dengan kalimat idiologi, rasanya ingin mengatakan kepada pimpinan Muhammadiyah ”sesungguhnya kalian membebani generasi selanjutnya”. kedua bahasa dan anak kalimat tersebut terkadang membuat kita bahagia, oleh karena orang besar layaknya seorang pimpinan yang menentukan arahnya Muhammadiyah kedepannya. Mereka merumuskannya karena memikirkan kemaslahatan Muhammadiyah dalam arus globalisasi dan ekspansi pertandingan sebuah rezim. begitu juga sebaliknya, kalau sebelumnya kita gembira dengan gerakan idiologis Muhammadiyah dari apa yang dirumuskannya, tetapi tidak pernah kelihatan hasilnya untuk melakukan peneguhan idiologi, bahkan banyak di amal usaha para kader Muhammadiyah yang cenderung progresif menjadi melemah, kader yang benar-benar mau berjuang di Muhammadiyah—terkadang menjadi amukan sebuah sikap dari kader yang lain, mungkin karena kader tersebutterlalu kritis dengan berbagai kesalahan yang ada di Muhammadiyah. Dan kebanyakan di Muhammadiyah maupun di ORTOM sendiri terkadang orang kreatif menulis dan hobi dalam gerakan keilmuan itu di buang jauh-jauh, sehingga berakibat pada matinya khazanah intelektual Muhammadiyah itu sendiri, dan sekarang pun binggung mau kita cari kemana kader-kader yang senang bergelut dalam dunia keilmuan.

Kembali pada tema awal, KH. H. Ahmad Dahlan berpesan kepada semua kadernya sebelum beliau meninggalkan kita semua, beliau mengatakan; ”jangan sekali-kali menduakan Muhammadiyah—karena Muhammadiyah terlalu besar buat kalian”, Mengurus Muhammadiyah ini sangatlah susah—sebesar dan sekecil apapun, kalau orang yang mengurusnya tidak ihklas dan tak mau beramal, Mengurus Muhammadiyah ini sangat nyaman dan enak—apabila yang mengurusnya mau menuntun diri dalam keikhlasan dan beramal untuk dunia akherat. KH. H. Ahmad Dahlan meninggalkan amal usaha Muhammadiyah bukanlah semata-mata untuk membiayai semua orang yang mengurusnya, akan tetapi Ahmad Dahlan justru berharap dengan amal usaha itulah warga Muhammadiyah bisa bekerja dengan istiqomah dan membesarkan Muhammadiyah, agar dapat mencapai cita-cita dan tujuannya yakni menciptakan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Kalau sekarang ini berbicara tentang masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, tentu banyak sekali hal-hal yang perlu kita refleksikan semua, mengingat Muhammadiyah sekarang seperti gajah yang tak mampu bergerak, jangankan mau bergerak menjadi payung gerakan dakwah umatpun belum bisa maksimal, terkadang molotop kemana-mana—arahnya ngelantur. Problem inilah harus segera di pahami dan di perbaiki, karena kondisi sekarang ini sudah semakin membesar dan merambah keakar, jantung dan uluh hati para kader Muhammadiyah. Apalagi dalam konteks idiologi Muhammadiyah belumlah jelas, mengapa bisa terjadi seperti itu. Mungkin faktor pertama kita ungkapkan adalah pertama; malasnya orang Muhammadiyah mempelajari buku panduan bermuhammadiyah, kedua; adanya pereduksian idiologis dari pemahaman lain kedalam kepribadian kader Muhammadiyah; ketiga; Kebanyakan kader Muhammadiyah sudah keluar dari habitat berfikirnya Muhammadiyah baik dalam kehidupan sehari-hari bersama keluarga dan sanak familinya maupun dalam berdakwah; keempat; seringkali para pimpinan Muhammadiyah seperti warga NU yang sering main fatwa tanpa menanyakan yang bersangkutan mengapa masuk keorganisasi lainnya. Kelima; Dakwah Muhammadiyah tidak terintegrasi kedalam kepribadian kader Muhammadiyah, sehingga membuat dakwah Muhammadiyah di pandang sebelah mata oleh semua orang, karena memang di kader Muhammadiyah sendiri tidak ada konsistensi secara idiologis dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar. Keenam; Muhammadiyah hanya mampu membangun sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, dan panti asuhan, tetapi didalamnya tidak tersentralisasi gerakan dakwah dan idiologi Muhammadiyah sehingga terjadi sebuah proyek kepentingan yang lebih besar dan tidak terkontrol oleh semua pimpinan persyarikatan Muhammadiyah itu sendiri.

Dengan demikian berbagai problem yang melanda identitas dan karakter bermuhammadiyah baik dari dari dalam maupun luarnya. Problem-problem seperti ini tidak harus di sembunyikan dan tersendar-sendar untuk di selesaikan, harus dengan segera melakukan reviralisasi da oeneguhan kembali ide dan gagasan bermuhammadiyah, agar kita dapat mengembalikan habitat Muhammadiyah seperti generasi awal yang memiliki konsistensi dalam mengurus Muhammadiyah tanpa harus ada kepentingan. Kalau kita semakin memperkuat hati dan gagasan kita sendiri dalam kepentingan pribadi, maka kita sebenatanya menjadi kader Muhammadiyah yang tolol dan tak mau memberikan sinar kedamaian akan kebesaran panji Islam Muhammadiyah itu sendiri. Tentu Kita semua, baik yang menjadi pimpinan tigabelas Muhammadiyah maupun pimpinan amal usaha harus mulai dari sekarang mempersiapkan diri dengan karakter dan identitas keislaman yang mampu memberikan solusi kepada seluruh komponen umat Islam. Oleh karena sekarang ini berbicara umat Islam, sungguh sangat memprihatinkan baik dari idiologi keislamannya maupun pemahaman tentang Islam itu sendiri sungguh minim dan ini juga merupakan sebuah tanggungjawab bersama dalam mengatasinya. Mengatasi hal seperti ini tidaklah mudah dan membutuhkan komitmen bersama untuk meningkatkan pola gerak maju kita dalam memantapkan gerakan dakwah amar ma’ruf dan nahi mungkar Muhammadiyah. Dengan segala kelemahan yang ada dalam Muhammadiyah untuk menjangkau dan memenuhi kebutuhan spiritual umat Islam dalam berbagai aspek, porsentase umat Islam sekarang ini masih sangat tinggi terhitung 88,22%. [Ahmad Syafii Ma’arif, Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan Dan Kemanusiaan; 2009; Pebervut kerjasama Mizan dengan Maarif Institut]. Indikator kelemahan umat Islam juga banyak kemungkinan untuk beroindah agama baik yang dirasakan oleh kaum terdidik mapun kaum masyarakat mulsim yang lemah, seperti ketika anggota Pemuda Muhammadiyah Bima masuk agama kristen dan sekarang pun dia menjadi seorang missionaris. Sekarang ini masalah yang harus dicemaskan bagi seluruh warga Muhammadiyah adalah bilaman kualitas kita sebagai warga Muhammadiyah sangat mengalami kekurangan dalam hal idiologi dan paham Islam Muhammadiyahnya dan itu kita alami secara keseluruhan sehingga kualitas tersebut masih di bawah standar. Ini juga merupakan akibat tertinggalnya pemaknaan gerakan Ilmu dan pembaharuan manhaj Muhammadiyah, sehingga tak ayal lagi, kebodohan dan keterbelakangan dalam pemikiran dakwahnya pun yang dialami oleh kader Muhammadiyah menjadi penyebab utama kemiskinan kader dan krisis otak pikir umat Muhammadiyah.

Jadi sekarang ini pekerjaan yang paling berat dan terbesar umat Muhammadiyah adalah mengembalikan khasanah keilmuan Islam dan budaya pemikiran sebagai pondasi penopang dakwah Muhammadiyah di masa kini dan masa akan datang. Selain itu juga Muhammadiyah harus mampu mengembalikan habitat idiologis para kader oleh karena sekarang hampir di seluruh daerah mengalami kemacetan dan tersumbatnya idiologi Muhammadiyahnya sehingga arah dakwah tidak mencapai sasaran dan tidak terpenuhi apa yang menjadi harapan para masyarakat kita di kelas bawah. Maka oleh karena itu, sangat di perlukan bentuk peneguhan jati diri dan karakter identitas bermuhammadiyah melalui tahapan tersebut. Begitu juga dengan proses bermuhammadiyah di PTM harus bisa memaksimalkan niat yang tulus dan istiqomah sehingga aktivitas kita dalam mengurus Muhammadiyah ini ada terintegrasi sebuah nilai yang lebih dan kita jadikan amal dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi mungkin sangat sulit merubah secara total layaknya revolusi karena menganggap semua apa yang saya sebutkan diatas tadi adalah sebuah sikap intervensi untuk Me-muhammadiyah-kan orang Muhammadiyah. Bagi saya meskipun itu sulit dan susah, maka harus ada pemaksaan baik secara individu maupun kolektif untuk memaham idiologi Muhammadiyah secara keseluruhan sebagai sebuah perangkat nilai dalam beraktivitas dengan tujuan mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sekarang ini yang terpenting dalam mengurus Muhammadiyah adalkah menunjukkan sikap terbaik, tentu dengan kesadaran yang dilandasi dengan tauhid, iqra, majelis dan harakah fil Islam. Apabila dalam pelaksanaan kehiatan apapun di Muhammadiyah dengan bentuk aksentuasi kesadaran seperti ini maka unsya Allah Muhammadiyah akan menjadi sebuah mesin dakwah yang vioner tanpa bisa di intervensi oleh berbagai pihak luar dan sudah saatmya Muhammadiyah mulai menentukan sikap istiqomah berdasarkan militansi intelektualnya dengan memperkuat jati diri dan identitas Ke-muhammadiyahan-nya.

Gurita Amar Mungkar di PTM
Mari kita pikirkan secara bersama bagaimana mengislamkan dan memuhammadiyahkan seluruh mahasiswa dan dosen di setiap PTM di seleuruh nusantara ini. Kita mengetahui dari hal terkecil sampai hal terbesar yang terjadi di PTM, dari pembofongan administrasi, laporan keuangan dan proses pencarian proyek yang fiktif selalu saja terjadi. apakah ini proses bermuhammadiyah dengan baik ? wallahualam kami tidak tau, akan tetapi mari kita belajar dari setiap pengalaman yang ada, mungkin ni adalah sebuah kesalahan yang telah mengurita semenjak kita berproses dalam kelemahan. Berkembangnya pragmatisme dengan menempatkan perjuangan Muhammadiyah di nomorduakan, maka hal ini sudah mengalahkan nilai dakwah Muhammadiyah di tengah kampus sebagai basis pencerahan masyarakat. Dengan menganggap kerja-kerja dakwah Muhammadiyah tidak konsisten lagi, maka konsekwensi yang mereka ambil adalah hanya menjadikan PTM sebagai tempat pencarian nafkah semata. Pandangan tersebut bukanlah sebagai sikap negatif dan antipati terhadap gerakan dakwah Muhammadiyah, namun kita tentu harus berusaha menghidupkan Muhammadiyah dengan hati nurani yang tulus. jangan sampai kita membebani dakwah Muhammadiyah dengan sesuatu nilai yang tak berharga sama sekali sehingga bisa menyebabkan potensi dakwah di PTM sendiri kehilangaan arah dan sasarannya. Disinilah menjaga keseimbangan dan merenungkan secara mendalam mengenai konsepsi dakwah di PTM. Cobalah kita bayangkan seandainya seluruh PTM se-Nusantara ini menjaga keseimbangan dakwah maka Muhammadiyah tidak akan kehilangan arah. Gagasan dakwah dalam internal PTM sangat mudah, yang terpenting komitmen untuk melaksanakan itu semua bisa kita handalkan.

Penomena yang terpenting harus di soroti sekarang ini dalam PTM adalah menguritanya aktivitas kampus Muhammadiyah yang tidak karuan dan tidak jelas. Sehingga pengembangan lingkungan PTM jauh dari faktor Islam. Pandangan akan faktor Islam inilah menjadi pokok pembicaraan kita bersama di internal PTM yang belum tuntas baik dalam memahami Islam maupun nilai Muhammadiyahnya. Kita lihat saja bebasnya kampus IAIN tidak sebebas PTM, dengan ranah lingkungan yang bebas inilah segala potensi paham di luar idiologi Muhammadiyah menjadi semakin berkembang. Pada tahun 2005-2008 bahkan sekarang di Universitas Muhammadiyah Mataram, kita telah saksikan sebuah drama sejarah tentang pergulatan mahasiswa dalam mempertahankan idiologi Muhammadiyah di satu sisi (katakan saja IMM) dan dipihak lain beusaha masuk melalui berbagai lembaga ekemen mahasiswa (katakan saja elemen kiri). Namun anehnya terkadang banyak pimpinan PTM yang membela elemen kiri untuk eksis, orang yang membela tersebut katakanlah orang yang tak pernah dikader melalui ORTOM dia hanya masuk ke-Amal Usaha Muhammadiyah hanya dengan modal mengurus NBM dan mereka inipun direkomendasikan jadi pimpinan. Inikan letak kesalahannya di pimpinan persyarikatan dengan berbagai kepentingannya atau gagalnya pimpian persyarikatan menanamkan paham Muhammadiyah pada orang seperti itu. Dari sinilah kelihatan geliatnya bagi kader-kader IMM untuk melawan intervensi idiologi kekirian tersebut di dalam PTM. Namun dalam perlawanan tersebut terkadang semangat kader IMM melemah, oleh karena dari rektor hingga pimpinan dan dosen tidak memiliki karakter dan ketegasan dalam idiologi Muhammadiyah. Sehingga lawan-lawan IMM kadang gusar sambil mengatakan ”kita capai melawan mereka toh orang besar di Muhammadiyah ini dari PPM hingga PDM tidak konsisten terhadap perjuangan Muhammadiyah dan tidak mau memeperhatikan perjuangan kita bersama”.

Bagi penulis yang sudah merasakan perjuangan tersebut, tentu merasa prihatin terhadap kondisi terbaru Muhamadiyah, bagaimana mau melanjutkan risalah kenabian kalau semua yang bertolak belakang dengan kita masih kuat dalam mengintervensi idiologi Muhammadiyah, itu masih dalam ruang lingkup gerakan mahasiswa, namun bagaimana kalau sikap dan idiologi berlawanan itu terjadi ditingkat negara dan bangsa ini. wallahualam bissawab.

Yang terpenting untuk menanam idiologi Muhammadiyah sekarang ini harus mengunakan logika hukum persyarikatan yang harus ditaati bersama. namun sebelum itu penulis ingin menyoroti beberapa persoalan yang berhubungan dengan paham yang berkembang d PTM. Selama ini kita mengenal statuta Perguruan Tinggi Muhammadiyah, disana menjelaskan tentang organisasi yang hanya boleh ada di PTM adalah IMM saja. Akan tetapi mengapa di PTM selama ini maraknya organisasi mahasiswa yang bersifat ekstra dan intra. Katakan saja kalau yang ekstra itu ada HMI dan mereka ini sangat besar basisnya daripada basis IMM. Mungkin logikanya karena rektornya orang HMI atau dekannya HMI juga sehingga mereka memiliki bargaining yang dilindungi oleh rektor dan dekannya. Selain itu juga sekarang ini sedang maraknya organisasi ekstra lainnya memasang bendera dan mendirikan komisariat maupun mengunakan fasilitas kampus tanpa memperhattikan kaidah yang ada. Kemudian kalau intra kampus, kita ketahui bersama bagaimana maraknya Unit Kegiatan Mahasiswa dari yang sekuler sampai ke liberal. Biasanya mereka ini banyak mendapat sokongan dana dari PTM dan yang aktif di UKM ini kebanyakan mendapat dana tetapi kegiatannya tidak direalisasikan kemudian LPJnya pun di palsukan, padahal kalau kita pikir sungguh minim bahkan bisa di bilang tidak ada kontribusi ke Muhammadiyah, yang dimaksud dengan kontribusi adalah mereka kebanyakan tidak paham dengan Muhammadiyah apalagi mau mempelajarinya atau berpartisipasi dalam dakwah Muhammadiyah. Lebih parah lagi, banyak pimpinan PTM yang menganggap IMM tidak kreatif, mungkin pandangan ini mereka gunakan sebagai tameng untuk mengkritisi IMM, oleh karena kader IMM tidak kenal kompromi apabila ada pimpinan PTM yang membuat kesalahan atau korupsi uang PTM. Belum lagi masalah dosen yang kualifikasi Strata Satu yang mengajar S1 juga, selain itu juga banyak diantara dosen yang saling memfitnah untuk mencari posisi jabatan pimpinan PTM. Semua masalah ini tentu menjadi pekerjaan rumah seluruh kader Muhammadiyah untuk mengembalikan khasanah bermuhammadiyah dengan baik dan melakukan proses penanaman idiologi dengan bak dan benar pula.

Strategi Terapi Idiologi Di PTM
Dari berbagai macam persoalan diatas, maka untuk mengintegrasikan sebuah pemaknaan idiologi secara total dan keseluruhan sebagai bentuk pandangan yang menyeluruh dan sistematis dalam kehidupan persyarikatan serta dapat menjadi basis dakwah Muhammadiyah yang nantinya dapat di implementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Maka oleh karena itu, usulan penulis ini sebagai sebuah strategi terapi idiologi Muhammadiyah di PTM, adalah sebagai berikut :
1. Transpormasi kader ke ranah AUM secara efektif dan simultan yang ditandai dengan kartu identitas ORTOM atau Muhammadiyahnya
2. Mengurus kartu Muhammadiyah harus memiliki syarat yang ketat dan tidak mudah di bohongi.
3. mengintehrasikan pola dakwah Muhammadiyah ke PTM dengan metode dan strateginya melalui mata kuliah Al Islam Kemuhammadiyahan, Mata Kuliah Dakwah Kultural, Mata kuliah Idiologi Muhammadiyah.
4. Merubah paradigma Lembaga Pengabdian Masyarakat dalam proses mengurus KKN dengan tujuan dapat bekerja untuk Muhammadiyah dengan bentuk dakwah kulturan dan pendirian cabang dan ranting Muhammadiyah.
5. Menggantikan UKM-UKM yang ada di PTM dengan Lembaga Semi Otonom Muhammadiyah dan ORTOM, Misalnya MAPALA di ganti dengan Lembaga Pecinta Alam Muhammadiyah, Sasentra dengan Lembaga Seni Dan Budaya Muhammadiyah, Resimen di ganti dengan KOKAM. UKM karate diganti dengan TSPM dan lain sebagainya.
6. Membuat Lembaga Koordinasi Kaderisasi Perguruan Tinggi Muhammadiyah di bawah instruksi dan koordinasi PWM tapi pusat lembaganya ada di PTM
7. Melaksanakan program dakwah dengan intensif dengan mengkoordinir semua lembaga yang ada di PTM khususnya mahasiswa.
8. Melaksanakan program lainya secara efektif dan simultan berdasarkan paradigma Muhammadiyah.

Role Of Law Persyarikatan
Kalau dalam persyarikatan ada kekalutan, timbul fitnah memfitnah, mudah kemasukan pihak ketiga yang tidak bertanggungjawab, itu akibat karena tidak mengindahkan hukum persyarikatan. [Dikutif dari SM yang di muat pada Rabiul Awwal 1374/November 1754 Tahun XXX; No 45 dan di perbaharui dalam hal di muat lagi oleh SM pada 4-18 Rabiul Awwal 1430/1-15 Maret 2009]. Kalau melihat faktaneka yang terjadi dipersyarikatan tentu harus banyak berfikir dan istiqomah serta sabar dalam menanganinya, karena selama ini walaupun persyarikatan telah menetapkan hukumnya sesuai dengan apa yang menjadi kesepakatan warga Muhammadiyah, tentu konsekwensinya harus dijalankan sesuai dengan kaidah tersebut. Namun alangkah pemberani semua baik pimpinan persyarikatan, pimpinan Amal Usaha, dan pimpinan ORTOM sendiri terkadang banyak pelanggaran yang terjadi sehingga menyebabkan tidak ada konsistensi dalam menjalankan amanah persyarikatan.

Mungkin sudah cukup maklum bahwa pendirian persyarikatan Muhammadiyah memiliki aturan dan UUDPM (Undang-Undang Dasar Persyarikatan Muhammadiyah) yang harus di hargai baik oleh anggota Muhammadiyah yang ada didalamnya, maupun oleh Badan atau Lembaga atau Organisasi Otonomnya dan orang-orang yang ada di luar Muhammadiyah. Bahkan pemerintah sekalipun dan harus mengakuinya tentang ekistensi dan keberadaan Persyarikatan Muhammadiyah sebagai sebuah badan yang hak yang dapat menuntut dan dituntut dalam sebuah pengadilan negara. Pendiria persyarikatan ini oleh karena ada dorongan dari Al Qur’an Surat Ali Imran ayat 110 yang membahas tentang bahwa harus ada satu golongan yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kepada yang mungkar. Sedangkan rasulullah menganjurkan umatnya untuk berorganisasi didalam usaha kebaikan yang dijamin akan mendapat pertolongan dari Allah swt, sebagaimana Al Qur’an surat Al Maidah ayat 2. Sedangkan tafsir KH. Ahmad Dahlan tentang persfektif tolong menolong dalam kebaikan merupakan perintah Tuhan kepada umat manusia agar menciptakan sebuah kemakmuran melawan kemunafikan dan kemiskinan, menciptakan saling hormat menghormati, toleransi antar umat beragama, saling menghargai, berdialog antar umat beragama demi perdamaian (Baca : Rusdianto Tafsir Dan Teori Syafrilisme) dan KH. H. Ahmad Dahlan sendiri dalam setiap ceramahnya segala sesuatu untuk menjadi baik harus di awali dengan kekuatan iman, Islam, ketakwaan dan amaliah. Menurut penulis juga sebagaimana tertera dalam teori syafrilisme bahwa KH. H. Ahmad Dahlan berkeinginan besarmerubah umat Islam dari hal-hal yang bersifat TBC dan melakukan praxsis gerakan untuk memajukan umat Islam agar tidak merasa mengalami keterbelakangan mapun kebodohan dengan bentuk pendirian amal usaha sebagai bentuk gerakan pencerdasan (kesadaran Iqra). Maka oleh karena itu yang melandasi hal tersebut tentu dengan kesadaran Tauhid, kesadaran Iqra, Kesadaran Majelis dan Kesadaran harakah fil Islam, KH. H. Ahmad Dahlan mampu mengelaborasi maksud dan tujuan al Qur’an surat Ali Imram : 110 dan Al Maiah : 2.

Berbicara hukum persyarikatan di tentukan bukanlah untuk pribadi, akan tetapi itu semua demi kepentingan umat manusia baik Islam maupun di luar Islam. Mengapa kedua surat Al Qur’an tersebut diatas sebagai landasan untuk mengerakkan umat Islam karena inngin merekonstruksi kesadaran keislamannya dalam nuansa satu padu dalam perdamaian dan membangun sinar Islam sebagaimana sinar matahari 12 Muhammadiyah. Begitu juga dengan sikap para warga persyarikatan Muhammadiyah yang harus berdiri kokoh tanpa bisa di terabas oleh bendera dan identitas organisasi dan umat lainnya, agar Muhammadiyah ini tetap utuh dalam barisan yang satu (shaffan) sebagaimana anjuran Tuhan dalam al Qur’an surat Ash Shaaf : 4 dan 11. Dengan demikian, sangat penting bagi persyarikatan Muhammadiyah yang di dalamnya terdapat warga yang berpaham Muhammadiyah sekian juta orang dan terdiri dari kader ORTOM sekian puluh ribu jiwa di seluruh nusantara, ini menandakan sebuah kapal besar yang siap berlayar dengan sikap dan karakter yang berani untuk memberikan pelayanan dan gerakan pencerahan maupun pencerdasan terhadap seluruh komponen umat Islam. tentu kapal tersebut akan berjalan dengan baik dan mulus serta melewati rintangan ombak yang besar ketika Muhammadiyah baik pimpinan, kader, simpatisan, dan umat Muhammdiyah memiliki komitmen bersama dalam menjaga eksistensi dakwah dan kaderisasi sebagai investasi masa depan dalam melawan arus kemungkaran yang sangat deras sekali.

Mengingat ayat al Qur’an dan Hadist Nabi yang dikutif oleh KH. H. Ahmad Dahlan tersebut diatas, pada dasarnya membentuk sebuah organisasi dalam rangka bekerjasama dalam kebaikan, itu di perintahkan oleh ad dinul Islam dan tidak dilarang. sedangkan yang di tentukan oleh ad dinul Islam adalah mengenai situasi, kondisi, ciri-ciri dan waktu suatu kejadian atau peristiwa yang di tentukan oleh Tuhan. Dalam hal persyarikatan Muhammadiyah bahwa UUDPM itu adalah hukum, ketentuan yang harus di junjung tinggi sepenuhnya oleh semua anggota lebih-lebih warga dan pengurus persyarikatan. Siapa lagi yang akan menjalankan AD/ART UUDPM ini kalau bukan kita pengurus, pimpinan AUM, warga dan anggota biasa Muhammadiyah. marilah kita jalankan UDDPM secara lebih baik dan nyata serta transparan. [Dikutif dari SM yang di muat pada Rabiul Awwal 1374/November 1754 Tahun XXX; No 45 dan di perbaharui dalam hal di muat lagi oleh SM pada 4-18 Rabiul Awwal 1430/1-15 Maret 2009]. Menurut Drs. Lukmanul Hakim ”orang Indonesia senang mengkomsumsi sifat katak dan orang Jepang senang mengkomsumsi udang sebagai makanannya” maksud dari perkataan ini adalah jangan sampai aturan persyarikatan ini dipakai bukan pada tempatnya dan melakukan hal–hal yang melanggar hukum persyarikatan, oleh karena semua hal seperti itu dapat mengakibatkan persyarikatan Muhammadiyah di pandang tidak berprilaku seperti Nabi Muhammad saw (tidak : jujur, amanah, sabar dan istiqomah) (Ketika saya berbicara dan berdiskusi pada malam senin tanggal 10 Januari 2009 di PWM NTB dari masalah dakwah kultural dan karakter lokalitas etnik di berbagai daerah di NTB yakni Sumbawa, Bima, dan Sasak sampai pada klimaksnya berbiicara tentang masalah Susno Duaji yang akan diminta keterangan mengenai statemen Wiliardi Wizar dalam sidang perkara Antasari Azhari pada Kasus pembunuhan Nazarudin direktur PT Putra Banjaran sehingga paa saat terakhir terucaplah kalimat ” ”orang Indonesia senang mengkomsumsi sifat katak dan orang Jepang senang mengkomsumsi udang sebagai makanannya”). Kalau ada hal-hal tang kurang cocok dan tidak berkenan sebagaimana yang tersebut dalam AD/ART atau berbeda dengan apa yang dimaksudkan, janganlah dirubah, dan disalahkan semuanya. kalau masing0masing berprilaku demikian, tidak mengindahkan lagi putusan bersama, akan bubarlah persyarikatan itu. Tunduklah pada keputusan yang telah diambil. Dan keputusan hasil kesepakatan itulah yang benar. selama belum di ubah dan diganti. [Dikutif dari SM yang di muat pada Rabiul Awwal 1374/November 1754 Tahun XXX; No 45 dan di perbaharui dalam hal di muat lagi oleh SM pada 4-18 Rabiul Awwal 1430/1-15 Maret 2009]. Namun kita harus melihat bagaimana ketika aturan persyarikatan di perjelas di Muktamar oleh Majelis DIKTI PP Muhammadiyah dan disesuaikan dengan STATUTA PTM mengenai organisasi kemahasiswaan yang ada di PTM, pimpinan Muhammadiyah atau Rektor PTM yang termasuk pimpinan Muhammadiyah di tingkat wilayah, sering melnggar aturan persyarikatan. Misalnya aturan yang mengatakan ”Organisasi yang di perbolehkan di PTM, pertama; bersifat ekstra dan intra yakni IMM dan kedua; bersifat intra yakni senat Mahasiswa”. Akan sangat berbeda dari aplikasi aturan ini, ternyata banyak organisasi yang aktif di PTM baik BEM, UKM dan ekstra lainnya seperti HMI, FMN, SMI, LMND dan lain sebagainya. Ini merupakan bentuk pelanggarannya dan tidak konsistennya pimpinan Muhammadiyah, padahal nota benenya di semua organisasi intra dan ekstra itulah di PTM corong berkembangnya paham selain idiologi Muhammadiyah. Faktor terpenting tumbuh dan berkembang paham di Muhammadiyah sehingga idiologi Muhammadiyah tertinggal, karena tidak knsisten terhadap hukum persyarikatan.

Kalau ada sesuatu hal yang belum tuntas dalam Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah, diserahkan kepada masing-masing atau menurut kebijakasanaan dan keputusan pimpinan berdasarkan tingkat levelnya, agar dapat dudukkan bersama dalam suatu kesadaran majelis tanpa mendengarkan informasi sepihak. Padahal segala sesuatu yang telah ada di AD/ART Muhammadiyah itu, tidak boleh di tawar lagi. kecuali dilaksanakan sebagaimana mestinya. Apalagi saat ini, dimana ada tempat kondisi yang baik dan yang tidak baik alias amburadul administrasi selalu dilanggar dalam mengurus amal usaha maupun menjadi pimpinan, Maka wajiblah hukum persyarikatan itu di jalankan, dan di kerjakan secara seksama. Pengurus Muhammadiyah baik di Pusat, Wilayah, Daerah, Cabang, Ranting, , Majelis, Lembaga, keoanitiaan kegiatan harus mengindahkan segala yang diatur dan di tentukan dalam AD/ART, anggota-anggota Muhammadiyah pun harus demikian pula, mematuhi dan menghargai AD/ART Muhammadiyah sehingga kuat dan bermanfaat dalam bermuhammadiyah dan menuju maksud serta cita-cita Muhammadiyah. Bagaimana hubungan antara badan otonom yang satu dengan badan otonom yang lainnya, lembaga satu dengan lembaga lainnya, pimpinan persyarikatan dengan lembaga dan badan otnom tersebut, begitu juga seterusnya tinggal menjalankan sebagaimana mestinya. Dengan demikian akan berjalanlah hukum persyarikatan Muhammadiyah itu dengan baik, bertambah luas geraknya dan semakin bertambah manfaatnya. Kalau dalam persyarikatan ada kekalutan, timbul fitnah memfitnah, mudah kemasukan pihak ketiga yang tidak bertanggungjawab, itu akibat karena tidak mengindahkan hukum persyarikatan. Untuk itu marilah kita selesaikan, kita marilah kita hilangkan, dan kita hapus semua yang tidak beres itu, kembali kepada hukum persyarikatan dan kita jalankan dengan sebaik-baiknya. [Dikutif dari SM yang di muat pada Rabiul Awwal 1374/November 1754 Tahun XXX; No 45 dan di perbaharui dalam hal di muat lagi oleh SM pada 4-18 Rabiul Awwal 1430/1-15 Maret 2009].
Yang terpenting bagi seluruh warga persyarikatan Muhammadiyah adalah berkomitmen membangun Muhammadiyah, oleh karena KH. H. Ahmad Dahlan telah menitipkan Muhammadiyah kepada kita semua, sebagaimana dalam ungkapannya ”Aku Titipkan Muhammadiyah Kepada Mu”. Jadi perkataan itu memang sangat berat bagi kita untuk melaksanakannya, sehingga kita kebanyakan berkeluh kesah terhadap kondisi yang ada, tanpa bisa berbuat apa-apa untuk berdakwah dan membesarkan nama baik Muhammadiyah dengan sinar Muhammad—iyah untuk merebut kembali harapan awal kita bersama yakni masyarakat Islam dan dunia Islam sepenuhnya.

EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM MUHAMMADIYAH

Spiritual Etik Ilmu Pendidikan Muhammadiyah
Transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi keniscayaan bagi negara berkembang, memunculkan masalah yang sangat luar biasa dalam dunia pendidikan. Hal ini di tandai dengan penyiapan SDM yang sebenarnya diharapkan mampu mengakses dan mengakomodasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Jika dunia pendidikan tetap pada posisi mempertahankan paradigma lama yang telah di anggap merugikan, apalagi mengalami penurunan respon positifnya maka tuntutan perkembangan IPTEK, sangat sulit dan tidak mungkin menghasilkan SDM yang lebih baik. Padahal harapan bagi seluruh komponen agar dunia pendidikan mampu menghasilkan SDM yang beroutput baik dan mampu mengakses tuntutan IPTEK, tentu hal ini yang perlu dibangun adalah dasar dunia pendidikan tersebut adalah metodologi dan epistemology berfikirnyadalam suatu ilmu yang dikembangkan serta aspek aksiologi yang inheren dalam setiap aktivitas keilmuan. Jika hal seperti ini diperhatikan dan ditingkatkan, maka akses IPTEK akan lebih mantap. Selama ini kita epistemologi keilmuan barat yang pada kenyataannya memunculkan problem bagi kehidupan manusia. Alternatifnya yang bisa di ajukan adalah adanya pengembangan akses IPTEK berdimensi spiritual etik. Konsep ini menanggapi perkembangan dunia pendidikan yang banyak menimbulkan problem dan kekhawatiran karena semakin menipisnya rasa kemanusiaan dan hilangnya semangat religius dalam segala aktivitas kehidupan manusia. Pesatnya perkembangan sains dan teknologi di satu sisi memang telah menghantarkan manusia untuk meningkatkan kesejahteraan materiilnya. Tetapi di sisi lain, paradigma sains dan teknologi modern dengan berbagai pendekatan non-metafisik dan netral etik telah menyeret manusia pada kegersangan dan kebutaan spiritual religiusitasnya (Hamruni, 2007; http;www.pendidikankita.indonesia/20/review/008 ).

Terminologi budaya, sebagai manifestasi empirik dari interaksi hidup manusia, baik dengan sesama maupun dengan alam lingkungannya, yang seharusnya didasarkan pada nilai-nilai normatif Ilahiyah, semakin lama semakin nampak mengalami pergeseran yang signifikan. Nilai-nilai altruistik (cinta kasih) mulai berganti menjadi nilai individualistik dan hal ini memacu tumbuhnya kompetisi hidup yang amat tajam. Penyikapan terhadap realitas alam pun bergeser. Alam dipandang sebagai sesuatu yang mutlak harus dimanfaatkan dan ditaklukkan demi kepentingan manusia. Dimensi spiritual alam tidak lagi menjadi pertimbangan manusia dalam pengeksploitasiannya. Pemaknaan hidup tidak lagi sebagai manifestasi pengabdian suci untuk menata kehidupan berkebudayaan secara harmonis, melainkan telah mengukuhkan suatu tatanan hukum rimba yang sangat meracuni budaya yang berwawasan kemanu¬siaan. Orientasi pendidikan diposisikan tidak jauh dari mainstream perkembangan sains dan teknologi modern, yang secara akademis akan dijadikan asset kemodernan dengan bahasa pembangunan. Pergeseran-pergeseran tersebut nampaknya merupakan konsekuensi logis dari kecenderungan pendidikan yang ada saat ini dan landasan yang dipakainya. Menurut Cyril Edwin Black dalam "Change as Condition of Modern Life", abad mutakhir ini berdaya kuat merombak struktur nilai-nilai (social values) yang akhirnya memberi peluang akan hadirnya nilai-nilai baru, pilihan-pilihan baru dan pandangan-pandangan baru yang kemudian mengkristal dalam pranata budaya yang cenderung tidak manusiawi. Kristalisasi budaya tersebut sangat melekat dengan perkem¬bangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditransformasikan melalui proses pendidikan yang berwawasan parsial dan tidak lagi berpijak pada nilai-nilai normatif Ilahiyah. Kondisi ini pada akhirnya memunculkan konsekuensi-konsekuensi baru sebagai problematika kemanusiaan secara universal. Dalam transformasi nilai yang amat krusial itu, orientasi pendi¬dikan memegang peranan penting sebagai suatu harapan dalam meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam pranata sosio-kultural, personal (individual) yang berkenaan dengan persepsi ilmu dan implementasinya dalam kehidupan praktis manusia. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dan seperti apa konsep pendidikan yang akan memberikan gambaran orientasi yang utuh sebagai jalan keluar dalam upaya memanusiakan manusia dengan menekankan harmonisasi hubungan, baik dengan sesama maupun dengan lingkungan alamnya, yang ditopang oleh nilai-nilai normatif Ilahiyah. Suatu hal yang pasti adalah bila pendidikan didasarkan atas tuntutan ilmu pengetahuan dan kebutuhan teknik, maka pendidikan tersebut akan mengutamakan perkembangan ratio semata-mata. Pendidikan yang mempunyai dasar demikian, bisa saja akan menghasilkan orang-orang cerdik pandai yang mempunyai pikiran brilian, akan tetapi dalam pandangan jagadnya (world view) mempunyai asas-asas pikiran yang salah. Pikiran yang salah dan falsafah yang mengandung kekhilafan, walaupun sangat kecil, dapat menimbulkan kerusakan dan kelumpuhan di dalam organisasi kosmos, masyarakat dan tatanan politik suatu negara. (Hamruni, Op.Cit. 2007 http;www.pendidikankita.indonesia/20/review/008)..
Mengutip pesan Albert Einstein : "Mengapa ilmu yang sangat indah ini, yang menghemat kerja dan membikin hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit kepada kita ? Ilmu yang seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan yang melelahkan malah menjadikan manusia budak-budak mesin...." Pernyataan dan komentar dari tokoh-tokoh pemikir dan ilmuwan di atas bisa dikatagorikan sebagai reaksi terhadap fenomena dunia empiris (budaya manusia) yang dihayatinya. Dunia dirasakan semakin tak harmonis, terlepas dari idealisasi hidup yang dituntunkan Tuhan. Pendidikan, dan muatan-muatan ilmu yang ditransformasikan sebagai sesuatu yang dinamis, penuh daya kreatif, mendorong tercapainya kesejahteraan materiil berkat kemajuan teknologi industri, tetapi tak menjanjikan hadirnya kebahagiaan sejati pada diri manusia. Dalam kekhawatirannya, Karl Jaspers menyatakan bahwa dunia benar-benar mengalami despiritualisasi yang tunduk pada regim kemajuan teknologi (despiritualization of the world and its subjection to a regime of advance technique). Manusia tampaknya tidak mampu menghindari kehilangan jati dirinya serta mendapat kepuasan dalam keadaan yang impersonality (tanpa kepribadian). Kita sedang dalam perjalanan menuju ditelannya ma¬nusia secara fungsional ke dalam mesin.
Miskinnya wawasan nilai spiritual-etik pada seluruh dimensi keilmuan yang dikembangkan manusia nampaknya menjadi penyebab munculnya kekacauan budaya dan krisis lingkungan hidup, yang jelas tak bisa ditutup-tutupi sebagai wujud kekejaman manusia modern. Kekejaman manusia dengan senjata ilmu dan teknologinya, tidak bisa dilepaskan dari pandangannya terhadap makna keberadaan dirinya dalam alam ini, yang notabene dibentuk melalui proses pendidikan dengan paradigma yang hanya berpijak pada pengembangan aspek kognisi manusia dengan melepaskan keterikatannya pada aspek yang lebih bersifat transenden. Pengembangan spiritualitas manusia menjadi sesuatu yang asing dalam proses pendidikan. Paradigma sistem pendidikan yang dikembangkan disesuaikan dengan perkembangan paradigma ilmu pengetahuan kontemporer (modern) yang memiliki kadar rasionalisme dan empirisme yang tinggi dalam upayanya mentransfer ilmu-ilmu obyektif. Hal ini telah memaksa konsep pendidikan bergeser ke arah paradigma sistem pengajaran semata. Peserta didik tidak lagi diajak dan diperkenalkan secara intens cara-cara untuk dapat menghayati makna dan kearifan hidup, tetapi lebih ditekankan sekadar untuk dapat merespon kehidupan secara mekanik. Ini tak berbeda dengan pengajaran terhadap binatang, yakni trans¬fer pengetahuan atau ketrampilan yang sangat mekanik, yang membuat pendidikan kehilangan dimensi spiritual-etik dan moralitasnya. Barangkali itulah yang menjadi dasar keluhan --setidak-tidaknya ketiga ilmuwan di atas, bahwa banyak orang pintar, tetapi menjadi budak-budak mesin. Ilmu yang diserap menjadi tak sebanding dengan kebahagiaan yang diperolehnya. Kekacauan semacam ini jelas berawal dari orientasi keil¬muan yang dibangun dalam proyek modernisme. Kondisi ini harus segera dipulihkan. Untuk itu perlu dibangun paradigma pendidikan yang lebih acceptable dalam konteks kemanusiaan, yakni paradigma yang mengacu pada wawasan kemanusiaan secara utuh dengan mencoba mencari dan menggali dasar-dasar etik pada seluruh dimensi keilmuan. Dengan kata lain, harus segera dicari konsep pendidikan yang lebih humanistik, yang memandang seluruh potensi (fitrah) manusia secara komprehensif dalam upayanya menyerap seluruh wawasan keilmuan dan dimensi spiritual-etiknya. (Ibid Hamruni, 2007 http;www.pendidikankita.indonesia/20/review/008).

Paradigma Pendidikan Islam Muhammadiyah Antara Profetik Dan Deprofetik Hegemonik
Perkembangan awal dimulainya pendidikan muhammadiyah adalah ingin membumikan pesan–pesan Al Qur’an dan As Sunnah melalui tahapan proses pendidikan sebagai bentuk kerja humanisasi masyarakat sehingga dapat menjadi manusia yang memiliki keberhasilan dan keluar dari TBC dunia pendidikan. Dalam proses transformasi ilmu pengetahuan dan nilai dalam sistem pendidikan muhammadiyah adalah hubungan guru dan murid, hubungan personality dengan muhammadiyah (kader) yang memiliki keterikatan idiologis baik secara universal maupun struktural apa;agi hierarki teologisnya yang harus dimiliki baik oleh seorang dosen, pengajar, guru dan pelajar serta pimpinan muhammadiyah dengan subyek dan obyek dakwah. Karena proses mendidik merupakan kerja untuk memanusiakan manusia, Paradigma sistem pendidikan muhammadiyah seharusnya mengenal obyek dan objek untuk menanamkan aspek ideologis dan teologisnya agar memudahkan konsolidasi struktural dan gerakan pembebasan manusia. Dalam sistem pendidikan muhammadiyah hanya satu tujuan memuhammadiyahkan orang muhammadiyah dan orang bermuhammadiyah. Hal ini tentu membutuhkan sistem pengajaran baik unsur obyek, sasaran (peserta didik) maupun obyek materi (isi pengajaran). Hubungan yang dibangun harus searah dari pengajar ke pelajar. Batasan-batasan lain yang membedakan antara sistem pengajaran dan pendidikan muhammadiyah adalah lebih menekankan pada usaha pembinaan kemampuan berpikir. sedangkan sistem pendidikannya lebih menekankan pada pembinaan kesadaran sebagai dasar dari proses berpikir itu sendiri.

Dalam seluruh aspek kehidupan manusia, pendidikan merupakan sebagai lokomotif pembentukan karakter dan masa depan manusia, selain itu pendidikan berfungsi menjadi central movement sosial dan proses pencerahan manusia. Pendidikan Islam Muhammadiyah sebagai sala satu penunjang dalam alur lingkar kebingungan epistemologi perguruan tinggi Islam lainnya dan selalu terlibat dalam pergulatan atmosfir modernisasi dan globalisasi, Berangkat dari persoalan tersebut, pendidikan Muhammadiyah dalam kacamata masyarakat sekarang ini antara kepentingan pribadi, kelompok, liberalisasi swasta, dan hegemoni, oleh karena mungkin pendidikan Muhammadiyah sudah banyak bekerjasama dengan kapitalisme asing atau lembaga donor asing melalui departemen pendidikan nasional RI, sehingga pendidikan Muhammadiyah terkesan melanjutkan sebuah situasi yang buram sebelumnya. Akan tetapi disisi lainnya, harapan semua orang tertuju kepada Muhammadiyah agar dapat memainkan peran secara dinamis, proaktif dan elok dalam kancah ketidakpastian masa depan pendidikan Islam. Harapan tersebut sebagai sebuah masukan dan ingin menanam kontribusi yang selama ini dirindukan oleh semua orang yang berarti perbaikan karakter dan identitas umat Islam sangat penting, baik pada dataran intelektual teoritis maupun praktis. Fenomena dunia pendidikan nasional belakangan ini adakalanya menggembirakan sekaligus mencemaskan. Menggembirakan, karena banyak upaya serta program pengembangan sekolah yang lebih terukur kualitas dan kemajuannya, maka lahirlah sekolah-sekolah unggulan. Mencemaskan, sebab dunia pendidikan sebagai gerbang pencerahan anak-anak bangsa, kini dihantui oleh banyak konflik horisontal di masyarakat, tawuran antarpelajar, narkoba di kalangan remaja. Pendidikan Islam Muhammadiyah, barangkali dapat menjadi harapan di masa depan. Sebuah proses pembelajaran yang meneguhkan arti pentingnya pencerahan mental spiritual semua stakeholder pendidikan, sehingga martabat dan hati nurani manusia benar-benar dihargai maknanya. Maka oleh karena itu diantara penilaian tersebut dialamatkan kepada lembaga pendidikan Muhamadiyah, maka seharusnya pendidikan Islam Muhammadiyah bukan sekedar proses penanaman nilai-nilai moral untuk membentengi diri dari ekses negatif globalisasi. Tetapi yang paling urgen adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam Muhammadiyah tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan sosial budaya dan ekonomi (Komentar Syafi’i Ma’arif: http://km3community.wordpress.com). Pendidikan Islam Muhammadiyah harus keluar dari model yang bersifat ortodoksi. Oleh karena akan mengakibatkan adanya kesalahpahaman dalam memahami konsep pendidikan Islam Muhammadiyah. Justru kalau terjadi kesalahan tersebut maka tak terhindarkan pasti akan bersifat dikotomis; yakni pemilahan antara pendidikan agama dan pendidikan umum (sekuler), dan lebih parah lagi kalau mendudukan sistem itu kedua-duanya secara diametral, maka sistem pendidikan Islam Muhammadiyah sudah tidak jelas arahnya bahkan keluar dari historis dan kepentingan cita dan tujuan Muhammadiyah itu sendiri. Sekarang ini paradigma yang harus menjadi bagian terpenting dalam pelaksanaan pendidikan Islam Muhammadiyah adalah harus keluar dari kecenderungan yang bersifat dikotomis tersebut, yakni pendidikan yang bersipat terbuka akan tetapi lebih dittekankan pada wilayah transendental dan memberi ruang gerak pada dimensi humanisasi serta liberasi (Moh. Shofan, “Pendidikan Berparadigma Profetik (Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam)”, IRCiSoD, Yogyakarta, Hal.131) Pendidikan Oslam Muhammadiyah ini harus memiliki mentalitas spiritual individual yang siap menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan ketidakadilan. Secara definitif, pendidikan Islam Muhammadiyah mendeskripsikan dan mentransformasikan nilai–nilai intelektual dan religiusitas demi menata perubahan masyarakat kearah cita-cita etiknya. Pendidikan Islam Muhammadiyah memiliki visi yang berorientasi pada basis keislaman agar apa yang menjadi titik kelemahan dalam keilmuan Islam bisa sesuai dengan perkembangan masyarakat. Sebagaimana Kuntowijoyo menginginkan sebuah proses ilmuisasi Islam, terutama dalam sejarahnya Islamisasi Ilmu itu dengan rumusan luntowijoyo mempertanyakan mana lebih penting menerima atau menolak ketika harus ada pemisahan antara ilmu dan Islam. Kuntpwijpyp mengatakan bahwa: “saya kira keduanya tidak realistik dan akan membuat jiwa kita terbelah antara idealitas dan realitas, terutama bagi mereka yang belajar ilmu sosial barat. Bagaimana nasib ilmu yang belum di Islamkan? Bagaimana nasib Islam tanpa Ilmu ?”. (Pendidikan Profetik Versi Kuntowijoyo http://km3community.wordpress.com /2008/07/02/ Ditulis pada Juli 2, 2008)

Pendidikan Islam Muhammadiyah harus memiliki beberapa pilar utama sebagai pondasi dan paradigmanya yang memiliki satu kesatuan yaitu; pertama; Amar ma’ruf (humanisasi), dimensi ini ada dua kategori yaitu; memanusiakan manusia sebagai mahluk Tuhan dan Memuhammadiyahkan orang Muhammadiyah. Kedua; Nahi munkar (liberasi), dimensi ini berarti lebih menekankan pada menolong satu sama lainnya dan melakukan pembebasan dengan memberikan hak pendidikan orang miskin semampunya sebagai misi Muhammadiyah. dan Tu’minuna bilah (transendensi), dimensi ini memprioritaskan pendidikan Islam Muhammadiyah pada aspek keimanan manusia agar yang menjadi lulusan para pendidikan Muhammadiyah dapat menyampaaikan misi dan tujuan serta dakwah Muhammadiyah di dalam masyarakat. Selain itu juga, sesuai dengan misi persyarikatan Muhammadiyah bahwa hendaknya pendidikan Islam Muhammadiyah melahirkan para cendikiawan Muslim yang mengemban misi persyarikatan. Sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an surat Al Imran : 110. Inspirasi dan isyarat dari ayat tersebut diatas terdapat beberapa konsep; Pertama, konsep tentang umat terbaik (The Chosen People), misi persyarikatan mengemban misi dan cita-citanya untuk menciptakan masyarakat utama dan peradaban Islam yang universal atau mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. [AD/ART Muhammadiyah] Umat Islam tidak secara otomatis menjadi The Chosen People, karena umat Islam dalam konsep The Chosen People ada sebuah tantangan untuk bekerja lebih keras dan berfastabiqul khairat. (Pendidikan Profetik Versi Kuntowijoyo http://km3community.wordpress.com /2008/07/02/ Ditulis pada Juli 2, 2008) Kedua, kesadaran syafrilisme. Nilai-nilai pandidikan Islam Muhammadiyah akan menjadi bagian yang terintegrasi dengan budaya dan sosial kemasyarakatan ketika didalamnya ada konsistensi sebagai landasan rasionalitas nilai bagi setiap praksisme gerakan dan membangun kesadaran umat, terutama umat Islam. Kesadaran dalam pendidikan Islam Muhammadiyah harus berorientasi pada kesadaran tentang tauhid ilmu, iqranisasi ilmu, majelis ilmu, dan harakah fil Ilmu, sebagaimana teori syafrilisme yang saya ungkapkan sebelumnya. (Rusdianto,.sip; Teori Syafrilisme; Naskah Buku. hal 66) Ketiga, Praksisme Harakah Fil Islam, Sebagaimana amanah KH. H. Ahmad Dahlan menekankan kepada para kadernya bahwa untuk melaksanakan misi dakwah harus banyak bekerja dan tidak bentak bicara serta konsisten dalam beribadah. Bekerja keras dan berfastabiqul khairat ditengah-tengah umat manusia (ukhrijat Linnas) berarti idealnya umat Islam harus terlibat dalam percaturan gerakan Islam dan menciptakan sejarah baru. Para intelektual dan pemikir Muhammadiyah harus menekankan pada kesadaran tauhid ilmu atau kecerdasan dengan tujuan bergelut dengan realitas sosial. (Rusdianto,.sip; Teori Syafrilisme; Naskah Buku. hal 66) Keempat, paradigma Al Quran bagi Kunto adalah "konstruksi pengetahuan" yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana dimaksud oleh Al Quran itu sendiri. Ini artinya, Al Quran mengonstruksi pengetahuan yang memberikan dasar bagi kita untuk bertindak. Konstruksi ini memungkinkan kita untuk mendesain sistem, termasuk di dalamnya sistem pengetahuan (M Syafii Anwar: 1997). Kelima; etika profetik, ayat tersebut mengandung etika yang berlaku umum atau untuk siapa saja baik itu individu (mahasiswa, intelektual, aktivis dan sebagainya) maupun organisasi (gerakan mahasiswa, universitas, ormas, dan orsospol), maupun kolektifitas (jama’ah, umat, kelompok/paguyuban). (Pendidikan Profetik Versi Kuntowijoyo http://km3community.wordpress.com /2008/07/02/ Ditulis pada Juli 2, 2008)

Pendidikan Islam Muhammadiyah sebagai bagian dari sistem pembangunan karakter dan ahlak bangsa ini. Secara ideal, pendidikan Islam Muhammadiyah bertujuan memanusiakan manusia seutuhnya. Dengan demikian, pendidikan Islam Muhammadiyah harus diarahkan untuk mengembangkan segenap potensi manusia seperti; fisik, akal, ruh dan hati sebagai bangunan kehidupan manusia yang meliputi aspek spiritual, intelektual, rasa sosial, imajinasi dan akhir tujuannya adalah pencapaian kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Pengertian yang lebih luas, pendidikan Islam Muhammadiyah ingin membentuk manusia yang menyadari dan melaksanakan tugas-tugas ke-khalifahan-nya dan terus memperkaya diri dengan khazanah ilmu pengetahuan tanpa batas serta menyadari pula betapa urgennya ketaatan kepada Allah swt sebagai Sang Maha Mengetahui dan Maha Segalanya. Dalam Surat Al-Baqarah disebutkan pada ayat: 269 yang artinya: ”Tidaklah berdzikir kecuali ulul albab”. Disini, ada proposional antara dzikir dan fikr dalam sebuah cita-cita pendidikan Islam Muhammadiyah. Artinya, hakikat cita-cita pendidikan Islam Muhamadiyah adalah melahirkan manusia-manusia beriman dan berilmu pengetahuan, yang satu sama lainnya saling menunjang (S.S, Husein dan S.A, Ashraf: 1979). Dalam mewujudkan cita-cita pendidikan Islam Muhamadiyah, muncul berbagai problematika diantaranya krisis epistemologi antara Ilmu agama (akhirat) dan ilmu umum (dunia), antara Ilmu modern barat dan Ilmu tradisional Islam. Selain itu, disebabkan pula oleh sistem pendidikan Islam Muhammadiyah hanya dilaksanakan untuk memenuhi tuntutan yang bersifat formal dan mengabaikan idealisme yang mencerminkan proses-proses pemenuhan tugas-tugas kemanusiaan.

Menurut Prof. M. Athiyah Al-Abrasyi menyimpulkan lima tujuan umum yang asasi. Diantaranya yaitu; Pertama. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, dan untuk mencapai akhlak sempurna adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya. Kedua, persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan diakhirat. Pendidikan Islam menaruh penuh untuk perhatian kehidupan tersebut, sebab memang itulah tujuan tertinggi dan terakhir pendidikan. Ketiga, persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Islam memandang, manusia sempurna tidak akan tercapai kecuali memadukan antara ilmu pengetahuan dan agama, atau mempunyai kepedulian (concern) pada aspek spiritual, akhlak dan pada segi-segi kemanfaatan. Keempat, menumbuhkan roh ilmiah (scientific spirit) pada pelajar dan memuaskan keinginan arti untuk mengetahui (co-riosity) dan memungkinkan untuk mengkaji ilmu sekedar ilmu. Kelima, menyiapkan pelajar dari segi profesional. Pendidikan yang berwawasan kemanusiaan mengandung pengertian bahwa pendidikan harus memandang manusia sebagai subjek pendidikan. Moh. Shofan, “Pendidikan Berparadigma Profetik (Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam )”, IRCiSoD, Yogyakarta, Hal.131 Starting point dari proses pendidikan berawal dari pemahaman teologis-filosofis tentang manusia, yang pada akhirnya manusia diperkenalkan akan keberadaan dirinya sebagai khalifah dimuka bumi. Pendidikan yang berwawasan kemanusiaan tidak berpretensi menjadikan manusia sebagai sumber ikatan-ikatan nilai secara mutlak (antroposentris), karena di Eropa pada abad pertengahan menjadikan ilmu murni dan teknologi teistik justru membawa malapetaka di abad modern ini, dimana kepribadian manusia menjadi terpisah-pisah di dalam jeratan dogma materialisme yang mengaburkan nilai kemanusiaan. Padahal pendidikan itu sarat akan nilai dan harus berarsitektur atau landasan moral-transendensi. Jika kegagalan pendidikan dalam rangka memaksimalkan perannya karena tidak dapat menempatkan manusia sebagai subjek pendidikan dalam setting teologis-filosofis. Jadi bukan sebagai objek pendidikan, yang menurut Paulo Freire dikatakan sebagai konsep bank. Paulo Freire, “Pendidikan Kaum Tertindas”, Cet. 2 LP3ES, Jakarta, 1991, hal.49. Oleh karena itu, pendidikan harus kembali pada misi profetik, yaitu memanusiakan manusia (Humanisasi), berijtihad/pembebasan (liberasi), dan keimanan manusia (transendensi). Pendidikan pada hakekatnya merupakan pross memanusiakan manusia (humanizing human being). Karena itu, semua treatment yang ada dalam praktek pendidikan mestinya selalu memperhatikan hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan dengan fitrah, sebagai mahkluk individu yang khas, dan sebagai mahluk sosial yang hidup dalam realitas sosial yang majemuk. Untuk itu, pemahaman yang utuh tentang karakter manusia wajib dilakukan sebelum proses pendidikan dilaksanakan. Namun demikian, dalam realitasnya banyak praktek pendidikan yang tidak sesuai dengan missi tersebut. Kenyataan bahwa proses pendidikan yang ada cenderung berjalan monoton, indoktrinatif, teacher-centered, top-down, mekanis, verbalis, kognitif dan misi pendidikan telah misleading. Tidak heran jika ada kesan bahwa praktek dan proses pendidikan Islam steril dari konteks realitas, sehingga tidak mampu memberikan kontribusi yang jelas terhadap berbagai problem yang muncul. Pendidikan (khususnya agama) dianggap tidak cukup efektif memberikan memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah. Karena itu, banyak gagasan muncul tentang perlunya melakukan interpretasi dan reorientasi, termasuk melakukan perubahan paradigma dari praktek pendidikan yang selama ini berjalan. Pendidikan harus dimaknai sebagai upaya untuk membantu manusia mencapai realitas diri dengan mengoptimalkan semua potensi kemanusiaannya. Dengan pengertian ini, semua proses yang menuju pada terwujudnya optimalisasi potensi manusia, tanpa memandang tempat dan waktu, dikategorikan sebagai kegiatan pendidikan. Sebaliknya, jika ada praktek yang katanya disebut pendidikan ternyata justru menghambat berkembangnya potensi kemanusiaan dengan berbagai bentuknya, maka ini justru bukan praktek pendidikan. Hanya saja, harus disadari bahwa memang ada perbedaan metode atau strategi antara satu dengan lainnya, namun mestinya perbedaan tersebut hanya sebatas teknis pelaksanaan, bukan pemaknaan tentang pendidikan itu sendiri. (Pendidikan Profetik Versi Kuntowijoyo http://km3community.wordpress.com /2008/07/02/ Ditulis pada Juli 2, 2008)

Sistem Pendidikan Dan Pengajaran Muhammadiyah.
1. Bahan baku : Pengetahuan Keagamaan (Al Islam dan Kemuhammadiyahan).
2. Prinsip Metodologi : Membangun peradaban ilmu dan mengintegrasikan kemuhammadiyahan dalam lingkungannya baik secara pribadi maupun lingkungan sosial.
3. Ideologi dan Teologisnya : Ilmu ketuhanan (ketauhidan) dan praksisnya dalam kehidupannya.
4. Kepribadian : Penghayatan dan pengendalian diri, moral, MKCHM, PHIWM, Khittah perjuangan Muhammadiyah, sejarah Muhammadiyah, Dakwah Kultural Muhammadiyah dan muamalah.
5. Ilmu obyektif : rasional empirik. fenomena Ilmu subyektif, supra rasional dan supra empirik eksistensial
6. Gerakan : Dakwah, humanisasi, pembebasan dan mensejahterakan.
7. Keyakinan : Ilmu, Iman, dan Ihsan.
8. Wawasan : kepemimpinan, keuletan, amanah, jujur dan berkarakter.
Tabel di atas memperlihatkan sistem pendidikan secara ideologis diametral yang berjalan seiring dengan sistem pengajarannya. Sistem pengajaran merupakan paradigma ilmiah kontemporer. Sedangkan sistem pendidikan muhammadiyah berparadigma ilmu pengetahuan kontemporer. Terminologi pendidikan, sebagaimana umum diketahui, adalah sebagai medium bagi terjadinya transformasi nilai dan ilmu pengetahuan yang berfungsi sebagai pencetus corak kebudayaan dan peradaban manusia. Secara imperatif, pendidikan bersinggungan dengan upaya pengembangan dan pembinaan seluruh potensi manusia tanpa terkecuali dan tanpa prioritas dari sejumlah potensi yang ada. Dengan pengembangan dan pembinaan seluruh potensi tersebut, pendidikan diharapkan dapat menghantarkan manu¬sia pada suatu pencapaian tingkat kebudayaan yang menjunjung harkat kemanusiaan. Pendidikan berwawasan kemanusiaan, atau yang memiliki visi kemanusiaan yang ditawarkan dalam makalah ini mengetengahkan pengertian, bahwa pendidikan harus memandang manusia sebagai subyek pendidikan, bukan sebagai obyek per obyek dengan model pembinaan yang memilah-milah potensi (fitrah) manusia. Artinya, pendidikan adalah suatu upaya memperkenalkan manusia akan eksistensi dirinya, baik sebagai diri pribadi yang memiliki ”huriyatui iradah” (kebebasan berkehendak), maupun sebagai hamba Tuhan yang terikat oleh hukum normatif {syari'at/dinullah), dan sekaligus sebagai “wakil Tuhan” yang dibebani suatu tanggungjawab. Pendidikan yang akan mencetak manusia dengan kesadaran etik tentu akan melahirkan cara pandang hidup yang konstruktif bagi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan. Demikian pula halnya dengan struktur ilmu pengetahuan sebagai materi isi, yang selalu mengalir dalam setiap proses pendidikan membawa implikasi pada model formasi kebudayaan masyarakat. Mengenai konseptualisasinya dalam proses pendidikan adalah suatu pendekatan yang merupakan kerangka dasar dalam upaya memperjelas dan meluruskan cara pandang manusia, baik terhadap dirinya, alam maupun terhadap campur tangan Tuhan dalam penataan kosmos beserta hukum-hukum-Nya yang bersifat imperatif dan eternal itu. Pendekatan ilmu itulah akan memberikan pengertian hakekat ilmu yang mencakup perbandingan suatu ilmu dengan pengetahuan lain mengenai apa (ontologis), bagaimana (epistemologis) dan untuk apa (aksiologis) dari suatu ilmu. Dengan demikian, konseptualisasi ilmu pengetahuan bermaksud menyatukan antara ilmu obyektif kealaman dengan ilmu subyektif metafisik, antara empirik dengan metaempirik, antara akal dengan wahyu, antara ilmu umum dengan ilmu agama.

Kesadaran manusia sepenuhnya merupakan faktor lingkungan dan psikosomatik. Kesadaran manusia memiliki dasar apriori yang berisi iman, taqwa, tauhid dan tidak mengenal kemutlakan kausalitas dan prima causa. Kemutlakan kausalitas merupakan keharusan dan Allah merupakan prima causa yang harus di tegakkan dalam pemikiran ilmiah. Demikian penting untuk dikemukakan bahwa dalam rangka mengembangkan nelali – nilai humanisasi kemanusiaan dengan memperhatikan seluruh potensi (fitrah)-nya dan membantu upayanya memahami berbagai dimensi pengetahuan dan kebenaran, maka kedua sistem pendidikan dan pengajaran harus diletakkan pada satu kesatuan paradigma pendidikan muhammadiyah yang holistik, mencakup pengertian yang lebih luas. Tidak ada altematif lain untuk memperbaiki paradigma sistem pendidikan muhammadiyah, kecuali merombak dan mencari alternatif paradigma ilmu pengetahuan modern, religius (teologis), ideologis dan dakwah. Mencermati alternatif paradigma keilmuan, maka peranan pendidikan, harus menempatkan ilmu naqliyah sebagai pokok pijakan pembinaan mental, intelektual, moral dan ethos kerja manusia. Tidak sekadar memberi justifikasi atas perkembangan ilmu-ilmu aqliyah dengan ilmu naqliyah semata, tetapi harus menyusun suatu kurikulum yang tidak sekadar mencampur aduk kedua macam ilmu itu menjadi satu paket, tetapi harus merupakan suatu sintesa yang mengintegrasikan keduanya menjadi satu kesatuan paradigma keilmuan. Peserta didik tidak bisa diajari dan dipahamkan dengan ilmu-ilmu agama di satu sisi, dan ilmu-ilmu 'sekuler' di sisi lain, yang se¬cara konsepsional terpisah dengan harapan akan terbangun dengan sendirinya suatu cara pandang dan wawasan yang utuh mengenai nilai dan ilmu dari peserta didik.

Epistemologi Pendidikan Islam Muhammadiyah
Problem yang amat sulit sekaligus rumit dialami oleh para konseptor pendidikan Islam Muhammadiyah maupun pimpinan Muhammadiyah itu sendiri adalah sulitmya efektifitas dan kemampuan membedah, merefleksikan dan memahami pendidikan Islam Muhammadiyah sebagai basis pengembangan ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan Islam Muhammadiyah yang membentuk kepribadian manusia yang Islami juga. Untuk memberikan pengertian masing – masing antara basis pengembangan ilmu pengetahuan sebagai suatu sistem berfikirnya manusia dengan pendidikan Islam Muhammadiyah sebagai Institusi pendidikan islam tidak semudah khayalan biasa yang kita fikirkan sehari – hari. Maka oleh karena iu, pijakan berfikir kita harus pada objek ilmu bersifat mendasar (empirik) sedangkan Insiusi pendidikan Muhamadiyah bersifat fisik dan manajerial yang mendukung proses pelaksanaan pendidikan. Namun, faktanya kita melihat realitas pendidikan Muhammadiyah saat ini hanyalah bersifat peningkatan fisik (Fasilitas) tanpa memperhitungkan output SDM yang menjamin individu manusia ntuk memiliki basis keilmuannya (sistem ilmu pengetahuan). Maka pada akhirnya disadari atau tidak disadari pendidikan Islam Muhammadiyah sebagai suatu lembaga demikian canggih tanpa melahirkan ilmuwan yang handal. Pertanyaanya, apa sesungguhnya yang menjadi kendala dan faktor pembedaan antara sistem Ilmu Pengetahuan (empirik) dengan struktur fisik kelembagaan pendidikan ? Lalu, apa wujud implikasinya terhadap realitas kehidupan ? Kemudian bagaimana pengaruh konsep pendidikan Islam Muhammadiyah sampai dengan sekarang ini ?. Berkaitan dengan berbagai pertanyaan tersebut diatas, konsep pendidikan sebagai suatu proses rancang bangun sistem ilmu pengetahuan yang dimaknai dalam suatu institusi pendidikan dengan prinsip meletakan epistemologi pendidikan Islam Muhammadiyah sebagai dasar pengembangannya.

Tentu hal ini harus berkorelasikan dengan filsafat ilmu dan filsapat pendidikan Islam. Apalagi di institusi kelembagaan Muhammadiyah sangat banyak para teoritis ilmu pendidikan yang mencoba membedakan antara epistimologi, filsapat ilmu dan filsafat pendidikan Islam, sangat sulit. Oleh karena muncul istilah dan hipotesanya bahwa ilmu berdiri sendiri. Padahal pendidikan Islam Muhammadiyah sebagai salah satu basis yang sangat konkrit yang memiliki rancang bangun untuk memberikan kontribusi pada sistem ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi keberlangsungan gagasan pemikiran intelektual Muhammadiyah, yang sudah tentu memberikan dorongan kekuatan akan menguatnya kapasitas sruktur dan sistem kelembagaan pendidikan Islam Muhammadiyah maupun tradisi dakwah Muhammadiyah itu sendiri.. Dari ketiga problem pendidikan Muhammadiyah tersebut yaitu epistemology Ilmu, Filsafat Ilmu dan Filsapat Ilmu pendidikan Islam, penulis ingin memberikan sebuah gambaran dalam tulisan ini tentang konsep epistemology Ilmu, filsafat ilmu dan Filsapat Ilmu Pendidikan Islam.

Konsep Epistem (Epistemologi, Ilmu, Pendidikan Islam) sangat sedikit perbedaannya. Dapatlah di buktikan dengan apa yang dikatakan oleh Jasa Ungguh Muliawan bahwa ketiga konsep tersebut menimbulkan keraguan untuk membedakan ketiganya secara terpisah dan berbeda. Satu penjelasan pada akhirnya sama maknanya yang terintegrasi sebagai bagian dari penjelasan ketiganya.. Namun demikian, pengetahuan ilmiah tetap saja mengharuskan adanya pembedaan. Tanpa adanya pembedaan yang jelas dan tegas antara satu objek dengan objek yang lain, maka masing-masing objek telaah tidak dapat direpresentasikan, lebih khusus lagi bagi kelompok ilmu-ilmu humaniora. Jasa Ungguh Muliawan melanjutkan pendapatnya bahwa Kelompok ilmu humaniora lebih bersifat subjektif dibandingkan kelompok ilmu-ilmu kosmologi yang cenderung bersifat objektif. Ada banyak cara dan pendekatan untuk membedakan ketiga konsep tersebut, antara lain melalui pendekatan aspek substansial dan aspek struktural. Pendekatan aspek substansial berusaha membedakan ketiga telaah tersebut melalui pembedaan isi atau kandungan makna masing-masing. Sedangkan pendekatan struktural lebih pada susunan atau kerangka konsep ketiga istilah tersebut. Pendekatan dalam telaah ini cenderung menggunakan pendekatan kedua, yaitu pendekatan struktural konsep. Menurut penulis, dari kerangka konsep yang di jelaskan oleh Jasa Ungguh Muliawan, maka dapatlah penulis memberikan definisi sebuah kalimat epistemologi. Epistemologi ini menurut istilah adalah episteme yang berarti pengetahuan sedangkan logos berarti Ilmu. Jadi, epistemologi memiliki pengertian yang sangat luas yaitu ilmu yang mempelajari tentang sebuah nalar ilmiah berdasarkan ilmu pengetahuan baik yang bersifat abstrak maupun nonabstrak seperti kebenaran Tuhan dan realitas alam semesta.

Pemakaian dan penyebutan kalimat epistemologi tidak meluas di pakai sebagaimana dengan filsafat Ilmu dan lembaga pendidikan itu sendiri. Sedangkan dari pengertian antara epistemelogi dengan filsafat ilmu sama artinya, juga mempelajari tentang ilmu pengetahuan. Pengertian konsep ini, sama–sama keduanya memiliki persamaan pengertian namun tetap mempunyai perbedaan makna dan interpretasi yang pada masing–masing wilayah kajian ilmunya. Perbedaan tersebut, penulis mencoba mengutif pemikiran C.Verhaak dan R.Haryono dalam tulisan yang disusun oleh Jasa Ungguh Muliawan, bahwa perbedaan kedua konsep tersebut terletak pada sifat teratur dan sistematis antara pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Pengetahuan seringkali dianggap sebagai suatu bentuk penggambaran manusia terhadap suatu objek tanpa adanya unsur keteraturan dan sistematika tertentu, ia diandaikan begitu saja tanpa kaidah atau aturan-aturan logis pengetahuan. Sementara ilmu lebih pada konsep pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan hasilnya secara teoritik dan reflektif, dibandingkan pengetahuan pada umumnya. Di dalam proses pembedaan antara pengetahuan dengan ilmu pengetahuan sebagai analogi pembedaan antara konsep ‘epistemologi’ dengan filsafat ilmu yang terdapat dalam struktur konsep dan perangkatnya. Konsep pengetahuan lebih bersifat umum dan universal, sedangkan konsep ilmu pengetahuan lebih bersifat sistematis, metodologis dan terbatas pada objek tertentu. Epistemologi memiliki peringkat kepadatan konsep yang lebih tinggi dibandingkan dengan filsafat ilmu. (Jasa Ungguh Muliawan, Op. Cit; http:www.madinah.com/02/artikel/0258/2007)
Namun bagi penulis, wilayah kajian dalam buku ini tidak diperlebar pada pembahasan tentang filsafat ilmu dengan ilmu, walaupun pengertiannya sangat berbeda dalam konteks hakekatnya. Akan tetapi penulis akan berbicara tentang hubungan epistemologi dengan ilmu pengetahuan. Oleh karena, sebelumnya pada bab 3 sudah menguraikan tentang hubungan filsapat ilmu dengan ilmu itu sendiri maupun dengan filsafat islam. Masalah yang akan kita lanjutkan dalam pengkajian ini adalah epistemologi ilmu pendidikan Islam, lebih khusus lagi pada wilayah pendidikan Islam Muhammadiyah. Penulis ingin memperjelas bahasa sebelumnya bahwa substansi ilmu telah dijadikan bahan kajian teoritis dan objek telaah secara ilmiah, yang suatu waktu menjadi sebuah konsep bersama dalam satu kumpulan ide, gagasan dan pemikiran tentang objek eksperimennya yang bisa dipresentasikan. Untuk memperkuat argumentasi kita tentang epistemologi pendidikan Islam, maka penulis sebelumnya ingin memberikan pijakan sebagai dasar pemikiran. Sebagaimana apa yang di ungkapkan oleh seorang Jasa Ungguh Muliawan bahwa Konsep filsafat ilmu lebih tinggi dibandingkan konsep ilmu. Berangkat dari pendapanya, secara struktural paradigmatik, Jasa Ungguh Muliawan memberikan kesimpulan, bahwa perbedaan konsep epistemologi, filsafat ilmu dan ilmu antara lain terletak pada tingkat kepadatan dan atau keluasan cakupan konsepnya. Lebih lanjut jasa Ungguh Muliawan menjelaskan mumpuni, bahwa semua konsep tersebut memiliki rangka bangun sejenis dengan struktur konsep : Illata, abstrakta dan konkreta. Struktur konsep illata, abstrakta dan konkreta dibangun dari sumber inspirasi struktur ontologis realitas alam semesta (kenyataan). Seluruh konsep merupakan hal abstrak namun karena kedekatannya dengan realitas kenyataan konkrit disebut konkreta. Sementara semakin tinggi abstraksinya disebut abstrakta, dan yang tertinggi adalah illata. Peringkat ini juga berkaitan ruang-waktu cakupan konsep dimana semakin tinggi berarti semakin umum dan universal. Selain itu, semakin tinggi juga semakin teoritis dan semakin rendah semakin praktis.
Berkaitan dengan objek penjelasan di atas, tentu kajian epistemologi pendidikan Islam Muhammadiyah harus disesuaikan dengan paradigma struktur konsep yang berlaku di Muhammadiyah itu sendiri. Telaah epistemologi pendidikan Islam Muhammadiyah memposisikan diri pada konsep illata (Illahiah) yang di narasikan dalam sebuah terapan teoritis, sedangkan filsafat ilmu pendidikan Islam Muhammadiyah berada dalam konsep abstrakta (alam nyata) yang di atur dalam konteks kependidikanan. Kedua pengertian diatas berkorelasi antara teoritis dengan praktek kependidikan, sedangkan ilmu pendidikan Islam Muhammadiyah berada dalam konsep konkreta yang membahas konsep praktis pendidikan. Secara keseluruhan kelompok ilmu yang diterapkan dalam pendidikan Islam Muhammadiyah memiliki kedudukan, fungsi, peranan dan perangkatnya yang terikat, yang kemudian menghubungkan dengan ilmu yang berada di luar kaidah ilmu Muhammadiyah. Oleh sebab itu dalam pandangan epistemologi pendidikan Muhammadiyah, pada hakekatnya sistem ilmu pengetahuan adalah satu, berakar dari konsep illahiah yang di teraokan oleh manusia berdasarkan realitas kehidupan. Sehingga konsep epistemologi pendidikan Islam Muhammadiyah adalah membangun peradaban ilmu di tengah keragaman ilmu pengetahuan dengan visi pengilmuan Islam, Islamisasi ilmu pengetahuan dan Imunisasi Ilmu Islam.
Senada dengan pemikiran kuntowijoyo, yang mengatakan bahwa imunisasi Ilmu Islam dan pengilmuan Islam lebih penting, karena kebudayaan ilmu Islam sudah terpecah – pecah oleh paradigma di luar dari pada Islam. Dengan demikian untuk memperkuat konsep epistemologi pendidikan Islam Muhammadiyah tentu harus dibagi teritorial epistemologisnya. Pembagian teritorial ini berdasarkan pada Illahiah dan Duniawiyah. Wilayah Illahiah menjelaskan dan mempertegas doktrin serta nilai – nilai Ketuhanan. Sedangkan duniawiyah mempertegas pada realitas dengan sistem melembagakan ilmu pengetahuan. Mengenai dasar pijakan duniawiyahnya, maka kita akan membagi dua bentuk yaiu bersifat fisik dan non fisik. Pengertian fisik dalam wilayah kajian pendidikan adalah lembaga/insitusi pendidikan sedangkan non fisik berarti ilmu pengetahuan. Maka oleh karena itu Pendidikan Islam Muhammadiyah (PIM) membagi kajian epistemologi pendidikan Islam Muhammadiyah menjadi beberapa hal yaitu sebagai berikut : 1. PIM sebagai sistem kerja teologi ideologis, 2. PIM sebagai basis kaderisasi dan peneguhan gerakan dakwah (bil ma’ruf nahi munkara) Muhammadiyah, 3. PIM sebagai laboratorium doktrinasi Islam Idiologis dan Islam Persfektif Muhammadiyah, 4. PIM sebagai lahan Imunisasi Islam, Pengilmuan Islam dan belajar-mengajar ilmu pengetahuan, dan 5. PIM sebagai lembaga/institusi penyelenggara Pendidikan Muhammadiyah. Institusi Pendidikan Islam Muhammadiyah sebagai sistem yang menggerakkan peradaban ilmu pengetahuan untuk mensemestakan alam ide, gagasan dan pemikiran tentang sebuah pendidikan Islam Muhammadiyah yang memiliki kemampuan untuk merepresentasikan kaidah-kaidah intelektual dan lagam pemikiran secara sistemik, sistematis dan metodologis. Hal ini bertujuan untuk membentuk kepribadian Muhammadiyah secara teologis ideologis melalui kelembagaan pendidikan Islam Muhammadiyah sebagai suatu sistem yang terencana dan rapih, sehingga proses integrasi dan praksis pengilmuan islam dapat berjalan dan tercapai dengan baik. Sistematika, metodologi, dan kaidah-kaidah pemikiran Muhammadiyah merupakan refresentasi ilmiah dari setiap proses pengilmuan. Bahasan pendidikan Islam Muhammadiyah yang disajikan dalam mematuhi persyaratan ilmiah, maka ia menduduki peringkat tertinggi dalam sistem ilmu pengetahuan. Bahasan yang disajikan itu berhak disebut ‘ilmu pendidikan Islam’. Sementara semakin toleran dan bebas satu bahasan pendidikan Islam terhadap persyaratan ilmiah menduduki peringkat terendah, dan ini dapat disebut sebagai ‘pengetahuan pendidikan Islam’. Berangkat dari dasar pemikiran tersebut, wilayah telaah pendidikan Islam sebagai suatu sistem ilmu pengetahuan menjadi sangat luas dan membentang seluas ide, gagasan dan pemikiran manusia. Semesta realitas kenyataan dari pelikan, tumbuhan, hewan, manusia bahkan Tuhan sebagai sumber inspirasi yang mampu melahirkan konsep pendidikan Islam masuk di dalamnya. Dalam pandangan filsafat ilmu, persyaratan ilmiah tersebut juga harus tersusun menurut urutan dan syarat-syarat tertentu. Filsafat ilmu memandang, persyaratan ilmiah ilmu pendidikan Islam tersebut juga harus disusun dan direpresentasikan menurut persyaratan ilmiah tertentu sesuai objek yang dikaji. Di sini, kebanyakan orang bingung dan kesulitan membedakan kedua konsep tersebut. Pembahasan tentang objek tersebut masuk wilayah telaah substansi epistemologi. Berdasarkan pendekatan struktural, wilayah epistemologi pendidikan Islam sebagai suatu sistem ilmu pengetahuan dibatasi pada penjelasan yang ditentukan pada kadar kepatuhan bahasan pengetahuan yang direpresentasikan pada persyaratan ilmiah. Beberapa persyaratan ilmiah tersebut antara lain : 1. Punya Objek yang Jelas dan Tegas, 2. Melalui Metode Ilmiah Tertentu, 3. Sistematis (ada bentuk dan urutan yang jelas) 4. Bersifat Koheren, 5. Saling Berhubungan (korelevan) dan 6. Reflektif (dapat dipertanggungjawabkan kesesuaiannya dengan objek).

Wujud Konkrit Epistemologi Pendidikan Islam Muhammadiyah
Persoalan mendasar yang ingin disampaikan adalah apa dan bagaimana pengaruh pemetaan wilayah epistemologi pendidikan Islam Muhammadiyah, kemudian bagaimana implementasi konsep konkrit dari pemetaan wilayah epistemologi pendidikan Islam tersebut dalam merumuskan konsep ideal pendidikan Islam. Untuk itu, bahasan wujud konkrit epistemologi pendidikan Islam sebagai anak cabang pemetaan wilayah epistemologi pendidikan Islam dibedakan pula dalam 3 (tiga) kelompok sub tema pokok. Tiga kelompok sub tema tersebut adalah; 1. pemetaan studi ilmu dalam proses pendidikan Islam, 2. wilayah kerja ilmu pendidikan Islam, dan 3. konseptualisasi lembaga pendidikan Islam. Sub tema pemetaan studi ilmu dalam proses pendidikan Islam merupakan anak cabang pengetahuan pendidikan Islam sebagai suatu sistem ilmu pengetahuan. Sub tema wilayah kerja ilmu pendidikan Islam sebagai anak cabang pengetahuan pendidikan Islam sebagai suatu proses belajar-mengajar. Sedangkan konseptualisasi lembaga pendidikan Islam merupakan anak cabang pengetahuan pendidikan Islam sebagai suatu lembaga/institusi pendidikan. Ketiga sub tema tersebut akan disajikan pada pembahasan berikut ini.

Pemetaan Studi Ilmu Dalam Proses Pendidikan Islam Muhammadiyah.
Dalam sejarah filsafat kuno, orang pertama peletak dasar objek belajar manusia yang memandang kesatuan realitas semesta “ada” terbagi dalam dua bentuk adalah Plato. Dua dunia realitas itu adalah “dunia jasmani” dan “dunia ide”. Dunia jasmani diakui sebagai dunia yang selalu dalam bentuk perubahan, sebaliknya dunia ide tidak pernah ada perubahan. Berdasarkan pendekatan substansial, dunia jasmani kemudian kita kenal sebagai realitas fisik yang terdiri dari empat kelompok realitas yaitu: pelikan, tumbuhan, hewan dan manusia. Sementara dunia ide yang kita kenal perannya sebagai meta-fisik atau realitas kenyataan objek yang berada “diluar” objek fisik oleh Noeng Muhadjir dipetakan dalam tiga kelompok ilmu, yaitu: realitas alam yang disebut meta-science, realitas manusia yang disebut meta-ideologi dan realitas Tuhan yang disebut meta-fisik. Dasar pemetaan objek fisik dan meta-objek itulah sesungguhnya inti dari seluruh pemetaan susunan objek ilmu pengetahuan. Setelah itu, seluruh objek ilmu pengetahuan tidak lain adalah pengembangan lebih detail dan rinci realitas-realitas objek partikular ilmu di dalamnya. Satu-sama lain saling terikat dan berhubungan. Sedangkan berdasarkan pendekatan struktural, ilmu pengetahuan dibedakan dalam dua kelompok yaitu : ilmu empiri dan ilmu murni. Pemetaan ilmu kedua lebih menekankan pada pendekatan cara dan atau proses yang digunakan dalam pembentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Dua pendekataan dalam pemetaan studi ilmu inilah yang menjadi pedoman dasar pemetaan studi ilmu dalam proses pendidikan Islam.

a. Pemetaan Studi Ilmu Berdasarkan Pendekatan Aspek Substansi.
Berdasarkan pendekatan substansinya, ilmu dibedakan dalam 3 (tiga) kelompok yaitu meta science, meta ideologi dan meta fisik. Meta science karena memfokuskan diri pada penelitian tentang alam semesta yang bersifat benda bermateri dan bereksistensi dalam ruang dan waktu. Sifat kebendaan bermateri menjadi unsur utama, dan ini dikenal dengan istilah kosmologi. Kosmologi (ilmu pengetahuan alam) adalah ilmu yang membicarakan realitas jagat raya, yakni keseluruhan sistem alam semesta. Kosmologi terbatas pada realitas yang lebih nyata, yakni alam fisik yang sifatnya material. Istilah “alam” digunakan untuk menunjuk lingkungan objek-objek yang terdapat dalam ruang dan waktu. Dalam arti yang sangat luas “alam” ialah hal-hal yang ada di sekitar kita yang dapat kita cerap secara inderawi. Objek kosmologi berwujud benda-benda yang bereksistensi. Benda yang mampu di kenal melalui indera manusia, memiliki bentuk dan materi (wahana wujud). Ia tidak memiliki jiwa dan inteleki seperti halnya makhluk hidup. Tak mampu berpikir dan tak memiliki kesadaran. Wujudnya tetap selama tidak dipengaruhi oleh unsur atau energi pengerak lain, bagi makluk hidup penggerak tersebut dikenal dengan ruh/jiwa. Objek material ksomologi adalah semesta wujud; pelikan, tumbuhan, hewan dan manusia. Objek tersebut dipelajari dari satu sisi parsial yaitu perwujudan eksistensi kebendaannya, baik dalam gerak dan diamnya. Berikutnya meta ideologi. Meta ideologi adalah ilmu yang mempelajari realitas manusia dengan segala atribut yang melekat pada dirinya, secara khusus yang membedakan realitas kelompok manusia dengan realitas kelompok lain. Kelompok ilmu ini juga disebut dengan kelompok ilmu antropologi.

Antropologi terdiri dari dua istilah yaitu Antropo yang berarti “manusia” dan logos yang berarti “ilmu pengetahuan tentang”. Antropologi berarti ilmu tentang manusia. Antropologi menunjuk pada studi-studi yang memberlakukan manusia sebagai suatu keseluruhan. Berupaya menghindari atau mengatasi pendekatan-pendekatan yang memandang manusia tidak lebih dari sebuah objek ilmu. Contoh sikap seperti ini, misalnya, dari gerakan-gerakan Fenomenologi, Eksistensialisme dan Personalisme. Manusia tidak hanya objek tetapi juga subjek ilmu. Manusia dipelajari dari fisik dan metafisika, pikiran dan perasaan. Dunia sebagaimana ilmu memandangnnya dan ilmu ada sebagaimana manusia menciptakannya. Yang ontologi, - tanpa adanya manusia, tidak ada ilmu, karena ilmu adalah bentukan manusia. Ilmu pengetahuan tentang manusia menjadi lebih rumit dan kompleks karena ia mempelajari objek dimana dirinya adalah bagian dari objek itu sendiri. Di sini juga muncul konsep ilmu pengetahuan, kebersamaan hidup manusia dan personaliti yang pada akhirnya mendorong munculnya cabang-cabang ilmu filsafat, sosiologi dan psikologi. Segala cabang ilmu pengetahuan yang terkait dengan pemikiran, perilaku kemasyarakatan dan kepribadian manusia dipelajari dalam cabang ilmu tersebut. Terakhir, meta fisik. Meta fisik menurut pengertiannya sesuatu yang berada “di luar” yang fisik. Pengetahuan semacam ini bersifat abstrak, gaib, mistis dan cenderung tidak rasional. Meta fisik adalah pengetahuan yang berusaha mencari tahu realitas yang ada di luar yang fisik dan tak terjangkau indera jasmaniah manusia. Kelompok ilmu ini dalam beberapa versi sering disebut pula dengan stilah pengetahuan transenden. Transenden digunakan untuk menyatakan apa yang selamanya melampaui pemahaman terhadap pengalaman biasa dan penjelasan ilmiah. Pengetahuan transenden berada diluar jangkauan akal. Dalam struktur ilmu pengetahuan, pengetahuan transenden tidak termasuk di dalamnya. Namun perlu dibedakan, ada pengetahuan yang “kelihatannya” transenden tetapi tidak transenden. Seperti pengetahuan yang berusaha menjelaskan “hal-hal terakhir, kebaikan Tuhan atau hidup mati manusia” sebagai refleksi atas objek pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah empiris. Oleh sebab itu transenden dibedakan menjadi dua, transenden relatif dan transenden absolut. Transenden relatif merupakan bidang kajian filsafat. Transenden absolut adalah refleksi manusia atas sesuatu yang tak terjangkau pengetahuan dan akal ilmiah biasa, oleh sebab itu ia tidak bisa direpresentasikan atau dapat dikatakan “tidak ada”. Transenden absolut tidak seperti angka nol (0), sesuatu yang dikatakan ‘tidak ada’ tetapi dapat diungkapkan. Karena, sesuatu yang dapat dikatakan “tidak ada”, berarti sesuatu itu ada. Ilmuwan Arab berhasil menemukan angka 0 (nol) sebagai representasi sesuatu yang tidak ada. Angka nol (0) bukan transenden absolut meskipun artinya “kosong / tidak ada”. Transenden absolut benar-benar sesuatu yang tak terjangkau akal pikiran manusia. Perlu dipertanyakan Tuhan itu transenden absolut atau relatif. (Jasa Ungguh Muliawan, op.Cit: http:www.madinah.com/02/artikel/0258/2007)

b. Pemetaan Studi Ilmu Berdasarkan Pendekatan Aspek Struktur
Sistem ilmu pengetahuan menurut strukturnya dibedakan dalam dua kelompok, ilmu empiri dan ilmu murni. Pertama, ilmu empiris. Empiris dalam bahasa latin adalah experientia yang berarti pengalaman. Istilah ilmu empiris berarti ilmu yang terkait dan berhubungan erat dengan pengalaman manusia. Empirisme beranggapan bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman, dengan jalan observasi atau penginderaan. Pengalaman identik dengan pengetahuan inderawi. Ilmu pengetahuan empiris ialah ilmu yang terikat dengan objek tertentu yang terdapat dalam pengalaman seperti ilmu alam, sejarah dan kesusasteraan. Dalam penjelasannya, Sutari Imam Barnadib mengatakan bahwa ilmu pengetahuan empiris terdiri dari dua bentuk yaitu ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan rokhani. Pengalaman bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan akal melainkan melibatkan akal sebagai bagian integral dari pengalaman. Ilmu empiri memandang bahwa pada hakekatnya, ilmu adalah hasil bentukan manusia atas pengalaman hidupnya. Oleh sebab itu “hanya ahli ilmu yang bertanggung jawab” atas terbentuknya suatu ilmu pengetahuan. Pengalaman manusia dipandang sebagai satu-satunya unsur penyebab terbentuknya ilmu. Kedua, ilmu murni. Ilmu murni atau ilmu pengetahuan murni adalah ilmu yang mendahului pengalaman atau bebas pengalaman. Dunia ide dalam pandangan Plato adalah sebagai wujud kebendaan ilmu murni. Dunia yang terdiri dari susunan konsep, ide atau pemikiran manusia tentang realitas objek kenyataan, oleh sebab itu ia bersifat abstrak atau kita kenal dengan istilah metafisika. Objek telaah metafisika tak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ia membentang seluas ‘yang ada’ yang universal. Menampilkan pemikiran semesta universal meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.

Ilmu murni memasuki suatu kancah diskusi yang tidak dapat dikendalikan bahkan diraihpun tidak dalam bentuk wujud eksistensi kenyataan. Ilmu murni adalah ilmu yang selamanya berada diluar jangkauan indera jasmaniah manusia. Mungkin satu-satunya unsur yang membedakan ilmu murni dengan ilmu empiri adalah etika. Etika tidak berpengaruh pada ilmu murni itu sendiri. Ilmu murni bersifat objektif, apa adanya dan bebas nilai (baca etika). Etika muncul setelah ilmu selesai terbentuk. Etika adalah refleksi manusia atas peranan atau pengaruh suatu ilmu terhadap diri manusia. Wajar, bila orang mengatakan etika itu sangat tergantung pada manusia yang menciptakan tata nilai atau kaidah tertentu dalam kelompok masyarakat belum tentu berlaku sama bagi tata nilai atau kaidah dalam kelompok lain. Kritik etika mendasar yang muncul adalah bahwa sesungguhnya etika berkaitan dengan kepentingan manusia, oleh sebab itu seharusnya tidak ada ilmu etika bersifat absolut ataupun mutlaq. Semua dikembalikan pada penilaian benar-salah, baik-buruk atau tepat-tidak tepat menurut subjektifitas manusia. Ilmu empiri karena terikat dan berhubungan erat dengan pengalaman inderawi manusia, maka objek kajiannya adalah realitas kenyataan yang dapat dihayati (bereksistensi). Dalam pandangan ilmu kajiannya cenderung pada aspek subtansi “bereksistensi”, alasan ini berdasarkan besarnya sumbangan teori yang terkandung atau yang diberikan dalam studi ilmu ini adalah aspek isi atau substansi material suatu objek ilmu. Ilmu empiri sangat tergantung pada aspek penilaian dan ukuran subjektifitas manusia sebagai pengamat. Terlebih bila dikaitkan dengan unsur keterbatasan indera manusia, ilmu empiri menjadi semakin jauh dari sifat objektifitas ilmiah.

Sebaliknya ilmu murni. Karena ilmu murni dikategorikan sebagai ilmu yang bebas dari pengalaman atau lebih tepat dikatakan masukan pengalaman inderawi lebih kecil dibandingkan aspek berpikir dalam ‘ber-ilmu’ itu sendiri, maka kecenderungan ilmu murni lebih bersifat objektif. Manusia sejauh mungkin diletakkan ‘diluar pagar’ ilmu. Di samping itu, perbedaan ilmu empiri dengan ilmu murni adalah kecenderungan aspek kajiannya. Bila ilmu empiri lebih pada kajian materi substansi objek, maka ilmu murni lebih pada aspek instrumen / struktur / bentuk suatu ilmu. Ilmu murni adalah ilmu yang dibentuk dan diciptakan diatas teori-teori/konsep ilmu yang telah ada. Artinya bukan bersumber langsung pada kenyataan empiris yang diamati itu sendiri. Proses berilmu juga dapat digunakan sebagai alternatif lain menjelaskan hubungan ilmu empiri dengan ilmu murni. Ilmu menurut proses pembentukannya terjadi dalam diri manusia. Manusia memiliki sifat dasar ingin tahu, maka ia berusaha mengamati dan meneliti objek yang ingin diketahuinya. Objek tersebut sudah barang tentu berasal dari tangkapan indera manusia. Indera manusia hanya dapat menerima kenyataan yang berwujud/bereksistensi yang tidak lain adalah kenyataan empiris. Hasil dari pengamatan dan penelitian ini kemudian disebut pengetahuan. Pengetahuan yang sistematis dengan dasar-dasar kaidah tertentu kemudian disebut ilmu. Ilmu yang bersumber dari objek bereksistensi yang diterima indera manusia ini kemudian disebut ilmu empiri. Bila ditinjau dari sumbernya, ilmu empiri bersifat langsung dari objek realitas kenyataan. Kumpulan-kumpulan dari teori / konsep ilmu empiri ini dalam jumlah besar menghasilkan bentuk-bentuk ilmu pengetahuan empiri yang beragam. Manusia dengan keingintahuan yang besar dan kekuatan berpikirnya berusaha mencari ‘persamaan, kemiripan dan perbedaan’ terdalam dalam beragam macam bentuk-bentuk ilmu empiri tersebut. Maka dibuatlah beberapa pengelompokkan berdasarkan karakter, sifat atau ciri khusus objek ilmu empiri yang memiliki persamaan, kemiripan atau perbedaan untuk mendefinisikan secara lebih rinci. Setelah persamaan, kemiripan atau perbedaan satu kelompok ilmu empiri dengan kelompok ilmu empiri lain didapat, kemudian dibentuk dan diciptakanlah suatu teori/konsep ilmu baru yang disebut ilmu murni. Bila dilihat berdasarkan sumber ilmunya, ilmu murni berasal dari teori-teori atau konsep-konsep ilmu empiri dan tidak langsung berasal dari objek material bereksistensi yang diamati ilmu empiri. Ilmu murni benar merupakan ciptaan atau bentukan teori / konsep yang ada di dalam pikiran manusia. Oleh sebab itu ia dikatakan bebas dari pengalaman. Ilmu murni adalah ilmu yang dibentuk dari sekumpulan konsep ilmu-ilmu empiris. Pada akhirnya kesimpulan singkat yang kita dapat dalam kajian ini mengarah pada bentuk struktur hierarki ilmu sebagai kesatuan ilmu dalam Islam yaitu konkreta, abstrakta dan Illata. Ilmu-ilmu empiri cenderung berada dalam wilayah konsep konkreta, dan ilmu-ilmu murni berada dalam wilayah Illata. Sementara seluruh ilmu yang berada diantara ilmu empiri dan ilmu murni masuk dalam wilayah abstrakta.

Wilayah Kerja Ilmu Pendidikan Islam Muhammadiyah
Seperti telah disebutkan, pendidikan adalah suatu proses. Sebagai suatu proses, ilmu pendidikan tentu mempunyai objek yang menjadi pusat telaahnya, demikian pula dengan pendidikan Islam. Dalam pandangan Islam, pendidikan pada hakekatnya khusus diperuntukkan bagi manusia. Pelikan, tumbuhan, dan hewan dalam batas-batas tertentu tidak bisa dikatakan mendapatkan pendidikan. Meskipun pada fakta-fakta tertentu kita sering melihat perilaku hewan dapat diarahkan sesuai dengan kehendak yang dinginkan manusia, contohnya hewan-hewan dalam sirkus, tetapi konsep pendidikan yang dihadirkan tidak sesempurna konsep pendidikan yang diterapkan pada manusia. Hewan benar dapat berubah menjadi lebih baik dan ideal dalam pandangan manusia, tetapi tidak bagi dirinya sendiri. Bentuk yang ideal dan baik bagi hewan seharusnya adalah sesuai dengan kodrat dan ketetapan hukum alam yang berlaku dalam dirinya. Pendidikan yang dilakukan oleh manusia terhadap hewan tidak lebih dari pemaksaan kehendak ras manusia terhadap kelompok hewan. Manusia dengan kemampuan akal pikiran yang dimiliki mampu menciptakan perubahan di luar dirinya untuk tunduk dan patuh padanya. Akibatnya, kedudukan manusia seringkali dipandang lebih tinggi dari makhluk lain. Di samping itu, pendidikan yang dilakukan manusia pada hewan tidak akan sampai pada taraf ‘berpikir’, ‘kesadaran’ apalagi sampai pada sikap ‘kebijaksanaan’. Kemampuan yang dapat dicapai hewan dalam suatu proses pendidikan khusus, umumnya bersifat pembiasaan dengan berbagai macam cara seperti belas kasih, pengkondisian ataupun hukuman fisik. Hal ini menjadi ketetapan ontologis yang sulit untuk dirubah. Sedangkan ilmu pengetahuan terbentuk dari ketetapan yang ontologis tersebut. Pendidikan Islam secara konseptual diciptakan, diolah dan digunakan khusus bagi manusia bukan untuk kelompok pelikan, tumbuhan ataupun hewan. Berdasarkan beberapa alasan tersebut, ilmu pendidikan Islam sebagai salah satu disiplin ilmu secara tegas dan jelas menempatkan manusia sebagai sentral objek studinya. Penentuan objek studi ilmu penting untuk menentukan wilayah kerja ilmu pendidikan Islam. Telaah wilayah kerja ilmu pendidikan Islam pada prinsipnya memberikan gambaran pokok tentang unsur-unsur dalam diri objek yang menjadi pusat studi pembahasannya. Unsur-unsur dalam diri objek yang menjadi wilayah kerja ilmu pendidikan Islam tersebut adalah :

a. Wilayah Kerja Unsur Motorik (Psikomotor)
Istilah motorik umumnya lebih dikenal dengan istilah psikomotor, tetapi dalam penelitian ini digunakan istilah motorik dengan alasan; istilah psikomotor mengandung makna menyimpang dari yang dimaksud. Psikomotor mengandung arti suatu gaib (jiwa) penggerak jasmaniah atau suatu dorongan metafisik munculnya gerakan-gerakan jasmaniah. Jiwa penggerak dan dorongan metafisik bersifat abstrak, dan memiliki kedudukan lebih tinggi dari motorik bahkan afeksi maupun kognisi. Sedangkan yang dimaksud dengan motorik disini adalah hal atau keadaan, dan kegiatan yang melibatkan otot-otot juga gerakan-gerakannya. Motorik disini lebih terarah pada meningkatkan atau menghasilkan stimulasi/rangsangan terhadap kegiatan organ-organ fisik dalam belajar. Motorik terkait erat dengan kemampuan dria manusia dalam belajar. Motorik lebih menekankan pada ketrampilan gerak fisik, seperti kegiatan belajar yang melibatkan pengalaman (empiris). Dalam dataran praktis pendidikan, motorik terbagi dalam 7 tingkat menurut tingkatan kesulitan yang terkandung. Tahap pertama, tahap yang paling sederhana disebut persepsi, tahap ini berkenaan dengan penggunaan organ indra untuk menangkap isyarat yang membimbing aktifitas gerak. Tahap kedua adalah kesiapan yaitu kesiapan untuk melakukan tindakan tertentu. Berikutnya adalah gerakan terbimbing sebagai tahap awal dari mempelajari ketrampilan yang kompleks. Tahap gerakan terbiasa berkenaan dengan kinerja dimana gerakan subjek belajar sudah menjadi suatu kebiasaan. Gerakan kompleks menunjukan gerakan yang sangat trampil dengan pola-pola gerakan yang sangat kompleks. Gerakan pola penyesuaian berkenaan dengan ketrampilan yang dikembangkan dengan baik sehingga seseorang dapat memodifikasi pola-pola gerakan untuk penyesuaian terhadap tuntutan tertentu atau menyesuaikan situasi tertentu. Tahap terakhir adalah kreatifitas yang menunjukan kepada penciptaan pola-pola gerakan baru untuk menyesuaikan situasi tertentu atau problem khusus. (Ibid Jasa Ungguh Muliawan : http:www.madinah.com/02/artikel/0258/2007)

b. Wilayah Kerja Unsur Emosional
Tingkatan tertinggi berikutnya adalah afeksi. Afeksi berasal dari bahasa latin affectio yang berarti “keadaan tersentuh, tergerak”. Afeksi umumnya disertai gerakan-gerakan ekspresif, dan sentakan serta reaksi-reaksi vokal (jeritan, teriakan). Sebaliknya, terkadang afeksi diikuti mati rasa. Ekspresi lahiriah dari afeksi dan kedalamannya sebagian besar tergantung pada sifat-sifat individual, khususnya pada kehendak-kehendak dan segi-segi tipologis dari kegiatan syaraf yang lebih tinggi. Afeksi ikut mencampuri perjalanan proses intelektual dan melemahkan kontrol atas perilaku. Afeksi hanya dapat diatasi oleh kekuatan kemauan yang besar. Afeksi lebih mengarah pada perbuatan yang dilakukan atas dorongan perasaan dan emosi individu, dalam proses pendidikan afeksi sering diterjemahkan sebagai minat, sikap dan penghargaan dalam belajar. Bloom’s membagi afeksi dalam dalam lima tingkat, sama seperti dalam ranah kognitif tersusun bertingkat dari yang sederhana kearah yang lebih sulit. lima tahap tersebut adalah dari yang kurang sulit yaitu penerimaan, partisipasi, penentuan sikap, organisasi, dan pembentukan pola hidup. Penerimaan menunjuk pada kesediaan terdidik mengikuti fenomena atau stimulus tertentu. Partisipasi menunjukkan pada peran serta secara aktif peserta didik. Penentuan sikap berhubungan dengan nilai yang melekat pada terdidik (subjek) terhadap suatu objek, atau fenomena, atau tingkah laku. Organisasi ialah penggabungan beberapa nilai yang berbeda-beda, menyelesaikan konfliks diantara nilai-nilai tersebut, serta membangun sistem nilai yang konsisten secara internal. Pembentukan pola menunjukkan kemampuan mengendalikan perilaku dalam waktu yang cukup lama sehingga membentuk karakter gaya hidup. Pengaruh afeksi dalam proses subjek belajar terletak pada pembentukan kepribadian psikologis individu. Jika dikatakan afeksi mampu mencampuri perjalanan proses intelektual, berarti afeksi juga mampu mengarahkan fungsional pembentukan ilmu pengetahuan terhadap individu. Aspek kognisi menjadi sangat tergantung pada arah perkembangan afeksi. Secara sistemik, afeksi mendahului kognisi dalam proses pembentukan pengetahuan manusia. Meskipun demikian, penyempurnaan aspek afeksi dalam diri manusia tetap berada dibawah kontrol “berpikir” manusia yang dalam hal ini disebut aspek kognitif.

c. Wilayah Kerja Unsur Kognitif
Kognisi dalam bahasa latin cognitio (pengenalan). Istilah ini mengacu baik kepada perbuatan atau proses mengetahui maupun pengetahuan itu sendiri. Proses perkembangan kognisi manusia mulai berlangsung sejak ia baru lahir. Semua bayi manusia sudah berkemampuan menyimpan informasi-informasi yang berasal dari penglihatan, pendengaran, dan informasi-informasi yang diserap oleh indera-indera lain. Umumnya, kognisi dipandang cenderung pada transfer atau masuknya ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya dalam diri subjek belajar, namun sesungguhnya tidak demikian. Kognitif menekankan pada tujuan/kemampuan intelektual, seperti pengetahuan, pemahaman, dan ketrampilan berpikir. Berpikir itu sendiri merupakan suatu proses pembentukan pemahaman, pengetahuan sekaligus pencarian solusi segala sesuatu yang dihadapi manusia. Dalam hal ini, kognisi berperan sebagai “sentral kontrol” atas perilaku motorik yang diakibatkan atau hasil pengaruh afeksi dalam diri manusia. Oleh sebab itu, kedudukannya lebih tinggi dari dua tahap pertama. Dalam sistem pembelajaran, aspek kognisi seringkali dimaknai secara terbatas seperti yang tampak dalam taxonomi Blom’s. Ranah kognitif dipandang memiliki struktur aspek bertingkat dari sederhana (kurang sulit) meningkat kearah yang lebih sulit. Pada tingkat pertama adalah pengetahuan, meningkat pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan paling sulit pada ranah kognitif adalah evaluasi. Tingkat pengetahuan didefinisikan sebagai suatu ingatan terhadap materi yang dipelajari. Pemahaman adalah kemampuan menangkap makna suatu bahan ajar. Penerapan menunjukkan pada kemampuan menggunakan bahan ajar yang telah dipelajari pada situasi yang baru dan konkret. Analisis didefinisikan sebagai kemampuan memilah-milah suatu bahan ajar pada bagian-bagian komponennya sehingga struktur bahan tersebut dapat dipahami. Sintesis menunjuk pada kemampuan menghimpun atau menyatukan bagian-bagian atau elemen untuk membentuk pola baru. Evaluasi merujuk pada kemampuan untuk memutuskan atau menentukan nilai suatu materi (Pernyataan, novel, puisi, laporan penelitian) untuk suatu tujuan yang telah ditentukan.
Meskipun demikian, dalam perspektif pemahaman yang lebih luas, aspek kognisi tidak hanya terbatas pada tahapan/tingkatan seperti yang disebutkan dalam taxonomi Blom’s, tetapi lebih kompleks dan luas. Kognisi merupakan suatu unsur yang digunakan untuk menyebutkan kawasan kemampuan manusia dalam menggunakan akal pikiran, dan itu tidak terbatas pada bentuk-bentuk hapalan, pengetahuan atau pemahaman, tetapi lebih dari itu, tahapan kemampuan menggunakan akal pikir manusia dalam memahami semesta diri, alam dan segala sesuatu yang berada diantaranya. Dari sini muncul apa yang disebut kesadaran diri. Kesadaran diri adalah awal pemahaman totalitas semesta yang pada puncaknya sampai pada satu objek yang tak mungkin tersentuh yang disebut Tuhan. Tanpa melalui tahapan kognisi, pemahaman tersebut mustahil dilakukan, kecuali sebatas keyakinan yang dibentuk dari alam dan lingkungannya. Keyakinan “ada”-nya Tuhan yang tanpa didasari maksimalisasi akal, pikir dan budi manusia seperti ini, hanya akan melahirkan bentuk-bentuk aliran sesat, fanatisme, dan skeptisisme.

d. Wilayah Kerja Unsur Spiritual
Spiritual mengacu pada nilai-nilai manusiawi yang non material / imaterial. Dalam konteks ilmu pengetahuan, spiritual lebih cenderung pada kemampuan-kemampuan lebih tinggi (mental, intelektual, estetik, religius) dan nilai-nilai pikiran. Keindahan, kebaikan, kebenaran, belas-kasihan, kejujuran dan kesucian merupakan unsur-unsur yang terkandung didalamnya. Spiritual berakar pada kemampuan hati nurani dan “kata hati”. Kombinasi antara afeksi dan spiritual dipandang sebagai unsur pokok yang mengantarkan seseorang mencapai kesuksesan hidup sejati. Menurut Jalaluddin Rakhmat, spiritual inilah yang menghubungkan rasio dan emosi, pikiran dan tubuh. Kecerdasan spiritual menjadikan manusia ‘luwes’, berwawasan luas, atau spontan secara kreatif. Kecerdasan spiritual membawa seseorang ke jantung segala sesuatu, ke kesatuan dibalik perbedaan, ke potensi di balik ekspresi nyata. Seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi mungkin menjalankan agama tertentu, namun tidak secara picik, ekslusif, fanatik, atau prasangka. Demikian pula, seseorang yang berkecerdasan spiritual tinggi dapat memiliki kualitas spiritual tanpa beragama sama sekali.

Manusia menjadi sadar diri, lebih arif dan bijaksana dalam memandang segala persoalan. Mengambil keputusan tidak hanya berdasarkan fakta kuantitatif, kualitatif dan gejala fenomena yang ada, tetapi memandang segala permasalahan sebagai satu kesatuan korelasi yang universum. Tingkat tertinggi paling abstrak dan teoritis dalam konsep metodologi pendidikan Islam adalah spiritual. Spiritual memiliki banyak persamaan dengan afeksi karena melibatkan pengalaman, pemahaman, dan perasaan dalam diri individu. Perbedaannya adalah afeksi lebih pada penguasaan perasaan dan emosi yang cenderung pada unsur naluri biologis manusia dan sedikit mempengaruhi pembentukan kemampuan nalar berpikir. Spiritual lebih dari itu. Ia tidak hanya berfungsi mempengaruhi tetapi “menentukan arah” pembentukan nalar berpikir dan “pembentukan kepribadian manusiawi”. Spiritual adalah penghubung dari semua kesenjangan bipolaritas kutub berlawanan dalam diri manusia seperti; material dan imaterial, keteraturan dan kekacauan, batas masa lalu dan masa datang, makna dan eksistensi, individu dan sosial, Tuhan dan manusia. Kesucian hati nurani dan “kata hati” yang terproses melalui kemampuan berpikir membuat manusia menjadi “manusiawi”. Akal dan budi yang membedakan manusia dengan makhluk lain berfungsi secara sempurna. Metode pendidikan spiritual sulit untuk diaplikasikan tetapi bukan berarti tidak mungkin. Di sinilah wilayah/bidang keilmuan Agama khususnya agama Islam dikembangkan. Yaitu mengembangkan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Dalam sejarah hal ini telah dibuktikan bangsa Arab dengan penemuan angka nol (0)-nya.

Pendidikan Islam Sebagai Suatu Proses Belajar Mengajar.
Pendidikan adalah suatu proses. Proses interaksi antara pendidik dan peserta didik (terdidik). Dalam interaksi tersebut, peserta didik mengalami proses pembelajaran, sedangkan pendidik memerankan fungsinya sebagai pengajar dengan cara membantu peserta didik agar dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya lewat kegiatannya terhadap fenomen dan objek yang ingin diketahui. Pendidikan Islam sebagai suatu proses belajar-mengajar mengarah pada pengertian kajian pendidikan Islam yang memfokuskan diri menelaah apa, bagaimana dan kemana tujuan proses pendidikan, serta unsur-unsur apa saja yang ikut mempengaruhi penyelenggaraannya. Wilayah telaah pendidikan Islam sebagai suatu proses belajar mengajar berisi penjelasan tentang apa yang disebut pendidikan, bagaimana seharusnya aktifitas belajar-mengajar dilakukan, tujuan apa yang ingin dicapai melalui proses belajar mengajar, serta unsur-unsur apa saja yang terlibat dalam proses kependidikan tersebut. Penjelasan tentang apa yang disebut pendidikan, bagaimana seharusnya aktifitas belajar-mengajar dilakukan dan tujuan apa yang ingin dicapai melalui proses belajar mengajar masuk dalam wilayah substansi ilmu pendidikan Islam, sedangkan unsur-unsur apa saja yang mempengaruhi proses belajar mengajar masuk wilayah telaah struktur ilmu pendidikan Islam. Unsur-unsur yang mempengaruhi proses pendidikan Islam serta untuk menentukan kedudukannnya dalam struktur hirarki ilmu harus ditelusuri dari konsep paling dasar proses kependidikan Islam yaitu akar ilmu atau hubungan subjek-objek. Subjek dalam hal ini adalah manusia yang mencari tahu tentang objek. Kegiatan mencari tahu ini disebut sebagai proses belajar yaitu proses hubungan antara peserta didik (subjek) dengan ilmu pengetahuan (objek). Proses hubungan subjek-objek ini yang melahirkan tujuan atau arah dari proses belajar. Oleh sebab itu, tujuan adalah unsur ketiga setelah adanya hubungan subjek-objek. Sifat ketidakberdayaan, ketergantungan dan ketidak-mampuan peserta didik dalam menyempurnakan hubungan sebagai subjek ataupun objek dalam dirinya itulah muncul konsep pendidik/guru. Sementara proses hubungan subjek dan objek itu sendiri pasti menggunakan metode atau cara tertentu yang sekaligus menempati ruang dan waktu. Artinya, proses pembelajaran itu sendiri pasti melibatkan unsur lingkungan. Lingkungan dalam hal ini menempati kedudukan kelima, setelah peserta didik (subjek), ilmu pengetahuan (objek), tujuan, dan pendidik. Dalam konteks luas, lingkungan tersebut mencakup lingkungan konkret maupun abstrak. Dikatakan konkret karena terlibat langsung di dalam proses pembelajaran itu sendiri, dan abstrak karena tidak terlibat secara langsung tetapi turut mempengaruhi perkembangan, peranan dan arah pembelajaran dalam pendidikan Islam. Secara hirarkis, unsur-unsur dalam pendidikan Islam dapat disusun berturut-turut adalah; (1) peserta didik, (2) ilmu pengetahuan (materi Pendidikan), (3) tujuan pendidikan, (4) Pendidik/guru dan
5) Lingkungan.
Dilihat dari perwujudan kebendaannya, konsep pendidikan Islam mengarah pada lembaga atau institusi pendidikan. Proses pendidikan dalam arti semesta mengarah pada semesta realitas material yang mengalami atau mampu melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Unsur terpenting dalam konsep tersebut adalah segala wujud benda yang mengalami atau mampu melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Unsur tujuan pendidikan kearah yang lebih baik menjadi unsur pertama dan utama untuk dapat disebut sebagai lembaga pendidikan Islam. Keluarga, sekolah, lingkungan masyarakat, tempat-tempat peribadahan, maupun diri manusia dapat dipandang sebagai bagian dari objek pendidikan Islam sebagai suatu lembaga pendidikan ‘jika’ mengalami atau mampu melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Wilayah telaah pendidikan Islam sebagai suatu institusi atau lembaga pendidikan menjadi sangat luas. Semua benda bermateri yang mengalami atau melakukan perubahan kearah yang lebih baik dalam pandangan manusia, - dapat disebut sebagai pendidikan Islam. Dari sini persoalan yang muncul adalah konsep “lebih baik” dalam pandangan manusia satu sama lain tidak sama bahkan tidak jarang berseberangan. Oleh sebab itu, konsep ‘lebih baik’ itu dibangun berdasarkan prinsip; “ untuk mencapai ketertiban ataupun keteraturan semesta itu memerlukan persamaan persepsi dan tujuan yang jelas. Dengan adanya persamaan persepsi dan tujuan yang jelas, maka dapat dirumuskan konsep pendidikan menjadi ‘lebih baik’ secara lebih signifikan. Konsep ‘lebih baik’ dalam pandangan Islam bersumber dari nilai dan norma yang terkadung dari sumber ajarannya yaitu: Al Qur’an, Hadits dan Ijtihad. Berangkat dari alasan subjektifitas, bahwa tidak semua manusia beragama, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan ajaran Islam untuk menjadi ‘lebih baik’, maka konsep pendidikan Islam mengarah pada lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola, dilaksanakan dan diperuntukkan umat Islam. Oleh sebab itu, konsep lembaga pendidikan Islam menjadi lebih konkrit, jelas dan tegas, - yaitu menunjuk pada lembaga-lembaga seperti : sekolah Islam, madrasah, pesantren, majlis ta’lim, umat Islam, muslim-muslimah dan seterusnya.

Konseptualisasi Pendidikan Islam Muhammadiyah.
Seperti telah disebutkan, lembaga pendidikan Islam adalah lembaga penyelenggara pendidikan yang bertujuan melakukan perubahan kearah yang ‘lebih baik’. Konsep lebih baik dibangun dan dikembangkan dari dasar persamaan persepsi dan tujuan. Sedangkan pendidikan Islam sebagai suatu lembaga menunjuk pada lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola, dilaksanakan dan diperuntukkan bagi umat Islam. Dua unsur yang harus dijelaskan pada sub bab ini adalah apa dan bagaimana objek benda yang disebut dengan pendidikan Islam, kemudian bagaimana visi dan misi yang dibawa oleh lembaga pendidikan tersebut. Objek benda mengacu pada lembaga-lembaga pendidikan Islam, sedangkan visi dan misi tidak lain konkritisasi konsep mencapai tujuan yang “lebih baik” dalam proses pendidikan Islam. Objek benda dari pendidikan Islam mengacu pada semua benda bermateri yang disadari sebagai bagian atau milik umat Islam. Oleh sebab itu, penjelasan ini mengacu pada lembaga-lembaga pendidikan seperti: sekolah Islam/madrasah, pesantren, TPA, Majlis Ta’lim dan seterusnya. Persamaan persepsi dan tujuan konsep “lebih baik” yang dihasilkan umat Islam bersumber dari tata nilai dan norma ajaran Al Qur’an, hadits dan Ijtihad. Dari sini kita dapat menarik kesimpulan, ciri khusus bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah lembaga-lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan dengan berpedoman dan berpegang teguh pada sumber tata nilai dan ajaran yang terkandung dalam Al Qur’an, hadits dan Ijtihad terlepas dari kesemestaan tritunggal sumber tata nilai dan ajaran Islam itu sendiri. Berpegang pada prinsip tersebut, konsep visi dan misi lembaga pendidikan Islam dapat dirumuskan dengan bersumber dari Al Qur’an, Hadits dan Ijtihad. Visi berhubungan dengan rumusan konsep tujuan pendidikan Islam dalam rentang waktu yang panjang, idealis dan bersifat filosofis. Sedangkan misi berhubungan dengan rumusan tujuan pendidikan Islam dalam rentang waktu relatif pendek dan dengan standar tingkat keberhasilan tertentu. (Ibid Jasa Ungguh Muliawan http:www.madinah.com/02/artikel/0258/2007) Konsep misi suatu lembaga pendidikan Islam umumnya dirumuskan dalam bentuk tujuan-tujuan praktis dan atau fungsional. Inti bahasan dari dua unsur konseptualisasi pendidikan Islam tersebut akan sedikit dibicarakan dalam sub tema berikut ini :

a. Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga pendidikan Islam adalah lembaga penyelenggara proses kependidikan yang dikelola, dilaksanakan dan atau diperuntukkan bagi umat Islam. Bentuk-bentuk lembaga penyelenggara pendidikan yang termasuk dalam kategori tersebut antara lain :

1) Sekolah/Darul Arqam Dasar Muhammadiyah
Darul Arqam Dasar adalah lembaga penyelenggara kegiatan belajar mengajar secara terpadu dan sistematis. Prosedur pendidikannya diatur sedemikian rupa, ada guru, ada siswa, ada jadwal pelajaran yang berpedoman pada kurikulum, silabus dan Program Pengajaran), ada jam-jam tertentu waktu belajar serta dilengkapi dengan sarana dan fasilitas pendidikan, baik perangkat keras maupun perangkat lunak. Semua sistem pengajaranbnya berdasarkan pola manajemen dan doktrin idiologis Muhammadiyah. DAD ini setingkat dengan SD/MI. Darul Arqam Dasar sebagai lembaga pendidikan Muhammadiyah yang sengaja dibentuk untuk memfasilitasi kader-kader ORTOM dan Muhammadiyah untuk melakukan proses belajar mengajar bagi umat Islam bersifat terencana, tersusun dan dioperasikan secara lebih tertib. Baetul Al Arqam menurut pengertian kebahasaan berarti mendidik, tempat perkaderan generasi Islam atau perguruan, perkumpulan dan ikatan. Di tanah Air Indonesia sudah banyak sekolah Muhammadiyah yang dinamakan Baetul Al Arqam sebagai bentuk lain nama sekolah/madrasah sendiri untuk semua sekolah secara umum. Bagi sebagian orang pengertian sekolah sering dibedakan dengan madrasah, oleh sebab itu mereka cenderung menambahkan istilah ‘Islam’ menjadi ‘sekolah Islam’ sebagai otentikasi kepemilikan. Terlepas dari persoalan tersebut, secara ontologis istilah yang digunakan lembaga penyelenggara pendidikan Islam Muhammadiyah dan sejenis sekolah adalah Baetul Al Arqam.

2) Baetul Al Arqam Muhammadiyah
Baetul Arqam Muhammadiyah sesungguhnya sistem yang terukur dari DAD yang setingkat dengan SMA/MAN/SMK/STM. Berdasarkan konsep tersebut dapatlah dipahami bahwa baetul arqam berasal dari kata Arqam yang berarti rumah tempat dialog dan diskusi atau perkaderan generasi Islam sedangkan baetulnya berarti tempat suci dan ziarah imat Islam dan dipergunakan secara umum untuk pendidikan Muhammadiyah dan pengajaran Islam, Sekarang, konsep baetul arqam dimaknai sebagai asrama dan tempat murid-murid mengaji, diskusi, belajar-mengajar khususnya dengan tujuan meningkatkan kekuatan (Islam power) Islam. Sebagai suatu lembaga pendidikan jelas sekali, bahwa baetul arqam adalah lembaga pendidikan Islam Muhammadiyah yang berada di luar dan didalam sistem pendidikan konvensional. Ia tidak terikat oleh sistem kurikulum, perjenjangan, klas-klas atau jadwal pembelajaran terencana secara ketat. Baetul arqam merupakan suatu sistem pendidikan di luar dan di dalam sekolah yang berkembang di masyarakat. Oleh sebab itu dalam banyak hal lembaga pendidikan ini bersifat merakyat. Baetul arqam dapat dianggap sebagai lembaga yang khas Indonesia (indegeneous). Sekarang baetul Arqam telah berdiri dan dinamakan di dalam persyarikatan Muhammadiyah sebagai manifestasi perkaderan Mauhammadiyah telah menyebar ke beberapa wilayah di Indonesia. Seperti di Sulawesi Selatan, Bogor, Jawa Barat, DIY dan semarang.

3). Baetul Masjidil Islam
Suatu lembaga masjid yang digunakan sebagai proses belajar mengajar, komunikasi antara generasi Islam. Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan umat Islam dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para generasi Islam, terutama dalam praktek sembahyang Jama’ah, dan pengajaran kitab-kitab Al Qur’an. Masjid merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam.

4) Al Arqam Islamic Center
Lembaga pendidikan Islam berikutnya adalah Arqam Islamic Center (AIC). AIC adalah lembaga pendidikan Islam yang berperan di luar pendidikan formalnya. Pesertanya secara umum memang ditujukan pada semua kalangan dari anak usia 10 tahun sampai dewasa. Lembaga ini harus berperan besar sampai ke pelosok desa. Agar bisa dipastikan dimana AIC ini merupakan sebuah lembaga yang berperan dalam pemberdayaan ummat dan pembinaan generasi. Sifat pendidikannya pun lebih populis, demokratis, egaliter, dan materi yang memadai. AIC adalah lembaga pendidikan di luar sekolah berfungsi sebagai pengajaran dasar-dasar pelaksanaan ibadah dalam agama Islam, oleh sebab itu bersifat alamiah. Sangat perlu untuk menghindari bentuk-bentuk pemaksaan dalam pembelajarannya. Karena menjauhkan generasi dari sifat malas. (Ibid Jasa Ungguh Muliawan http:www.madinah.com/02/artikel/0258/2007)

5) Majlis Iqra
Majlis Iqra adalah salah satu sarana pendidikan dalam Islam. Majlis Iqra lebih kita kenal dengan istilah pengajian-pengajian atau sering pula berbentuk thifatul Qulub. Umumnya berisi ceramah, khotbah keagamaan Islam. Tetapi dalam perkembangannya, majlis Iqra sering juga digunakan sebagai wahana diskusi ilmiah, sosiologis, politik, hukum dan seterusnya. Ini sangat terlihat pada masjid-masjid di lingkungan perguruan tinggi.

Visi dan Misi Pendidikan Islam Muhammadiyah
Seperti telah disebutkan, salah satu perbedaan mendasar antara konsep visi dan misi adalah rentang waktu pencapaiannya. Visi berhubungan dengan rumusan tujuan pendidikan Islam dalam rentang waktu yang panjang, sedangkan misi relatif berhubungan dengan rumusan tujuan pendidikan dalam jangka waktu pendek. Tulisan ini tidak bermaksud merumuskan secara spesifik konsep visi maupun misi suatu lembaga pendidikan Islam, tetapi lebih menekankan pada dasar pemikiran untuk merumuskan konsep visi dan misi lembaga pendidikan Islam itu sendiri. Rumusan visi dan misi spesifik dan konkrit dari suatu lembaga pendidikan Islam sangat erat hubungannya dengan status sosial, fungsi lembaga atau pedoman filosofis lembaga pendidikan yang bersangkutan. Rumusan spesifik dan konkrit suatu lembaga pendidikan Islam satu dan lainnya bisa menjadi beraneka-ragam. Satu lembaga pendidikan Islam tertentu belum tentu memiliki rumusan visi dan misi yang sama dengan lembaga pendidikan Islam lainnya. Atau ada kemungkinan, satu rumusan visi dan misi suatu lembaga pendidikan Islam mengalami perubahan atau pembaharuan. Hal itu sah dan wajar. Kehidupan adalah suatu proses, dan proses kehidupan selalu mengalami perubahan. Perubahan/pembaharuan itu tidak selalu berjalan seiringan, bisa jadi berurutan atau terpisah, namun pada prinsipnya dalam pandangan Islam perubahan tersebut harus mengarah/menuju kearah yang “lebih baik”. Konsep ‘lebih baik’ itu termasuk segala sesuatu yang “benar” dan “tepat”. Dasar-dasar pemikiran untuk merumuskan konsep visi dan misi suatu lembaga pendidikan Islam akan dibicarakan berikut ini :

1) Rumusan Visi Pendidikan Islam Muhammadiyah
Secara substansial maupun eksistensial manusia berbeda dengan Tuhan. Manusia diciptakan di muka bumi untuk beribadah pada-Nya.(QS. 51:56) Sebagai modal dasar, manusia diberikan kesempurnaan bentuk penciptaan dibandingkan makhluk lain.(Q.S.95:4) Dengan dasar kemampuan yang dimilikinya itulah manusia diharuskan menuntut ilmu melalui proses pendidikan. Oleh sebab itu, pada hakikatnya tujuan pendidikan Islam adalah “memanusiakan manusia” agar ia benar-benar mampu menjadi khalifah di muka bumi. Sebagai khalifah manusia dituntut untuk menjaga, memanfaatkan dan melestarikan alam semesta sebaik-baiknya. Untuk dapat menjalankan tugas dan kewajibannya tersebut manusia harus memiliki kemampuan sifat-sifat ketuhanan dalam dirinya. Melalui proses kependidikan itulah manusia belajar mengenal dan mengamalkan sifat-sifat ketuhanan yang pada dasarnya telah dimiliki dan memiliki potensi pengembangan. Potensi pengembangan sifat-sifat ketuhanan dalam diri manusia tergantung pada masing-masing pribadi. Pendidikan mampu mengantarkan manusia mencapai kesempurnaan hidup baik dalam hubungannya dengan Al Khalik, sesama manusia dan dengan alam. Kesempurnaan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia dan alam semesta hanya mungkin dicapai jika manusia memiliki keseimbangan orientasi antara kehidupan di dunia dan di akherat.

Di sinilah pentingnya konsep tujuan pendidikan Islam yang dirumuskan dengan istilah pendewasaan jasmaniah dan rokhaniah. Dalam proses pendewasaan jasmaniah dan rokhaniah ini hanya akan memberikan arah, tujuan dan hasil yang baik jika dilandasi oleh niat baik. Niat baik dalam penyelenggaraan pendidikan biasanya terlihat dengan adanya usaha yang dilakukan secara sadar. Oleh sebab itu, proses pendewasaan dalam pendidikan Islam disebut sebagai usaha secara sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan peserta didik di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup. Dalam dataran riil, lembaga pendidikan Islam harus mampu melahirkan cendikiawan-cendikiawan yang “utuh” dalam arti mempunyai keluasan ilmu dan keluhuran akhlak. Keterpaduan keluasan ilmu dan keluhuran akhlak ini yang dapat menghindarkan terjadinya keterpecahan pribadi (split personality). Untuk itu, tujuan pendidikan Islam juga harus disusun secara utuh. Tujuan pembelajaran di dalam pendidikan Islam tidak hanya menekankan pada kemampuan mencerdaskan kehidupan, tetapi juga meningkatkan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Satu sisi berorientasi pada kehidupan duniawi, di sisi lain berorientasi pada kehidupan akherat. Orientasi kehidupan di akherat dirumuskan dalam tujuan pembelajaran iman yang mencapai taraf tauhid “tidak ada Tuhan selain Allah”. Sedangkan orientasi keduniawian dirumuskan dengan konsep; sehat jasmani-rohani, trampil, cerdas, kreatif (inovatif), bijaksana (waskitha). Pada tingkat ‘kebijaksanaan’ itulah terjadi pertemuan dengan nilai-nilai tauhid dalam Islam. Dari dasar-dasar pemikiran tersebut, konsep visi suatu lembaga pendidikan Islam seharusnya dibangun dan kembangkan. Visi suatu lembaga pendidikan pada intinya bertujuan mencapai kesempurnaan hidup sebagai manusia. Kesempurnaan manusia sebagai manusia seringkali diidentikkan dengan tercapainya keseimbangan titik tolak bipolaritas semesta.

2) Rumusan Misi Pendidikan Islam Muhammadiyah
Misi suatu lembaga pendidikan Islam dalam arti tertentu berhubungan dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai dan dapat diukur tingkat keberhasilanya. Harus diakui, konsep misi berhubungan erat dengan tujuan subjektif dari lembaga pendidikan Islam yang bersangkutan. Rumusan misi suatu lembaga pendidikan Islam umumnya disusun oleh para pendidik atau pengelola lembaga pendidikan. Mereka dipandang sebagai satu-satunya konseptor yang berhak merumuskan misi lembaga pendidikan Islam yang mereka jalankan. Dalam hal ini, peserta didik cenderung menempati kedudukan sebagai suatu objek pendidikan. Memang terkesan tidak adil, namun satu hal yang perlu disadari, pendidikan sebagai suatu proses yang direkayasa merupakan bentukan manusia. Oleh sebab itu, wajar bila hasil proses tersebut disesuaikan dengan keinginan dan tujuan para perekayasa proses pendidikan itu sendiri. Langkah yang harus dilakukan untuk menghindari hal tersebut adalah memberikan kesadaran pada para konseptor misi suatu lembaga pendidikan Islam bahwa; - anak didik bukan hanya sebagai objek, tetapi juga subjek pendidikan. Artinya, pendidikan tidak seharusnya memaksakan tujuan idealis suatu lembaga pendidikan pada peserta didik, tanpa menyadari sepenuhnya hak dan kemampuan anak didik sebagai subjek pendidikan. Misi suatu lembaga pendidikan Islam seharusnya disesuaikan berdasar negoisasi konsep ideal lembaga dengan potensi kemampuan instrumen sistem pendidikan maupun kecenderungan tuntutan sosial kemasyarakatan tempat lembaga pendidikan tersebut diselenggarakan. (Jasa Ungguh Muliawan http:www.madinah.com/02/artikel/0258/2007)

Misi suatu lembaga pendidikan Islam seharusnya berakar pada tuntutan filosofis atas diri manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi, meskipun secara konkrit hal tersebut mustahil dilakukan mengingat keterbatasan kemampuan manusia. Bahkan malaikat sendiri-pun mempertanyakan kemampuan manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi.(Q.S. 2 : 3) Namun bukan berarti tidak mungkin. Dalam pandangan ilmu pengetahuan tidak ada hal yang tidak mungkin dilakukan manusia. Tujuan proses pendidikan Islam disamping untuk memfungsikan kelebihan kemampuan manusiawi dalam dirinya yang tercermin sebagai optimalisasi kemampuan berpikir, juga tuntutan untuk berbuat adil ( Q.S. 5 : 153; 4 : 135; 5 : 8) terhadap seluruh ciptaan Tuhan di alam semesta. Untuk dapat berbuat dan bertindak secara adil, manusia harus miliki pengetahuan keaneka-ragaman karakter maupun kekhususan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Di sinilah segala sesuatu menjadi mungkin dilakukan bagi manusia. Dalam sudut pandang manusiawi, pengetahuan tentang perbedaan-perbedaan tradisi, tingkah laku, adat-istiadat, budaya, kesukuan, sistem pemikiran, kemasyarakatan dan seterusnya menjadi pedoman pengenalan dan pemahaman satu sama lain. (Q.S. 49 : 13). Dalam sudut pandang kosmologis terlahir sebagai suatu bentuk tuntutan terhadap pengetahuan sunatullah alam semesta. Dengan kemampuan pengenalan dan pemahaman satu sama lain, perbaikan, perubahan dan pembaharuan sistem sosial kemasyarakatan dapat dilakukan dengan lebih baik. Tuhan tidak akan merubah suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang berusaha merubahnya.(Q.S. 13 : 12) Proses perbaikan, perubahan dan pembaharuan baik dalam sistem pemikiran, sosial budaya maupun kosmologi yang secara metodologi menuntut manusia pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan melalui jalan ‘rekayasa’. Dalam kehidupan bermasyarakat, sistem pendidikan Islam memiliki fungsi dan peran nyata yang besar. Setiap sistem pendidikan pasti akan selalu dihadapkan dan berada di antara tekanan-tekanan konflik seperti pengaruh tradisi dan tuntutan perubahan terhadap tatanan sosial kemasyarakatan. Dalam hal ini khususnya disebabkan kompleksitas sistem pendidikan. Pendidikan Islam secara fungsional dituntut juga untuk dapat menjadi lembaga pembaharu sistem sosial, budaya dan kemasyarakatan disamping sebagai lembaga pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi. Tuntutan sosiologis, ilmiah dan teknologis yang diemban lembaga pendidikan Islam tentu saja berakibat pada keharusan restrukturisasi dan rekonstruksi orientasi, keilmuan dan sistem kelembagaan pendidikan Islam secara terus menerus dan berkesinambungan. Oleh sebab itu lembaga pendidikan Islam harus meningkatkan sistem metodologi, produktifitas maupun publikasi kelembagaannya. Keseluruhannya harus disusun diatas kerangka dasar filosofi dan keilmuan yang kuat dan kokoh. Dari dasar-dasar pemikiran tersebut misi suatu lembaga pendidikan Islam dapat disusun dan dirumuskan secara lebih spesifik. Unsur-unsur yang terlibat dan mempengaruhi keberhasilan pendidikan seharusnya dijadikan bahan pertimbangan sekaligus umpan balik dalam menilai tingkat keberhasilannya. Misi suatu lembaga pendidikan Islam tidak hanya dengan memperhatikan tujuan filosofis yang ingin dicapai lembaga, namun juga pemenuhan tuntutan riil kondisi masyarakat, kemampuan lembaga pendidikan Islam yang bersangkutan sekaligus kemampuan pragmatis pendidik maupun peserta didik sebagai individu yang disiapkan secara lahir dan batin melalui proses kependidikan untuk terjun ke dalam lingkungan masyarakat dimanapun ia berada.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapatlah kita mengambil sebuah intisari dari pendidikan Islam Muhammadiyah adalah sebagai berikut : Salah satu perbedaan mendasar antara konsep epistemologi, filsafat Ilmu dan ilmu pendidikan Islam adalah tingkat kepadatan konsep dan peringkat hierarkisnya dalam sistem ilmu pengetahuan. Berdasarkan pendekatan struktural subjektif, epistemologi menduduki peringkat dan memiliki kepadatan konsep tertinggi dibandingkan dengan filsafat ilmu, demikian pula filsafat ilmu dengan ilmu. Pendidikan Islam sebagai salah satu objek konkrit dari pendidikan memiliki rangka bangun konsep sejenis dengan struktur ilmu pengetahuan tersebut. Dalam pandangan eistemologi, pengetahuan tentang pendidikan Islam itu dapat dibedakan dalam 3 (tiga) bentuk. Tiga bentuk dari pendidikan Islam tersebut adalah; 1) pendidikan Islam sebagai suatu sistem ilmu pengetahuan, 2) pendidikan Islam sebagai suatu proses belajar-mengajar, dan 3) pendidikan sebagai suatu lembaga/institusi pendidikan. Masing-masing bentuk telaah pendidikan Islam berhubungan erat satu sama lain. Bahkan pada akhirnya akan disadari bahwa satu penjelasan bentuk objek merupakan bagian dari penjelasan bentuk objek lain. Keberadaan satu bentuk pendidikan Islam mengharuskan keberadaan bentuk lain dari pendidikan Islam. Karena sifatnya yang mendekati konsep riil rumusan pendidikan Islam, maka disebut wujud konkrit epistemologi pendidikan Islam. Wujud konkrit epistemologi pendidikan Islam sebagai anak cabang pemetaan wilayah epistemologi pendidikan Islam dibedakan dalam 3 (tiga) kelompok sub tema pokok. Tiga kelompok sub tema tersebut adalah; 1. pemetaan studi ilmu dalam proses pendidikan Islam, 2. wilayah kerja ilmu pendidikan Islam, dan 3. konseptualisasi lembaga pendidikan Islam. Sub tema pemetaan studi ilmu dalam proses pendidikan Islam merupakan anak cabang pengetahuan pendidikan Islam sebagai suatu sistem ilmu pengetahuan. Sub tema wilayah kerja ilmu pendidikan Islam sebagai anak cabang pengetahuan pendidikan Islam sebagai suatu proses belajar-mengajar. Sedangkan konseptualisasi lembaga pendidikan Islam merupakan anak cabang pengetahuan pendidikan Islam sebagai suatu lembaga/institusi pendidikan. (Jasa Ungguh Muliawan http:www.madinah.com/02/artikel/0258/2007)

DAFTAR PUSTAKA
 Ahmad Syafii Ma’arif, Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan Dan Kemanusiaan; 2009; Pebervut kerjasama Mizan dengan Maarif Institut
 Dikutif dari SM yang di muat pada Rabiul Awwal 1374/November 1754 Tahun XXX; No 45 dan di perbaharui dalam hal di muat lagi oleh SM pada 4-18 Rabiul Awwal 1430/1-15 Maret 2009
 Baca : Rusdianto Tafsir Dan Teori Syafrilisme
 Dikutif dari SM yang di muat pada Rabiul Awwal 1374/November 1754 Tahun XXX; No 45 dan di perbaharui dalam hal di muat lagi oleh SM pada 4-18 Rabiul Awwal 1430/1-15 Maret 2009
 Ketika saya berbicara dan berdiskusi pada malam senin tanggal 10 Januari 2009 di PWM NTB dari masalah dakwah kultural dan karakter lokalitas etnik di berbagai daerah di NTB yakni Sumbawa, Bima, dan Sasak sampai pada klimaksnya berbiicara tentang masalah Susno Duaji yang akan diminta keterangan mengenai statemen Wiliardi Wizar dalam sidang perkara Antasari Azhari pada Kasus pembunuhan Nazarudin direktur PT Putra Banjaran sehingga paa saat terakhir terucaplah kalimat ” ”orang Indonesia senang mengkomsumsi sifat katak dan orang Jepang senang mengkomsumsi udang sebagai makanannya”
 Dikutif dari SM yang di muat pada Rabiul Awwal 1374/November 1754 Tahun XXX; No 45 dan di perbaharui dalam hal di muat lagi oleh SM pada 4-18 Rabiul Awwal 1430/1-15 Maret 2009
 Dikutif dari SM yang di muat pada Rabiul Awwal 1374/November 1754 Tahun XXX; No 45 dan di perbaharui dalam hal di muat lagi oleh SM pada 4-18 Rabiul Awwal 1430/1-15 Maret 2009.
 Ali, A. Mukti, Ibnu Khaldun dan Asal-Usul Sosiologinya, Yogyakarta: Yayasan Nida, 1970.
 Abdullah, M.Amin, Antara Al Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, Mizan, Bandung, 2002
 Arifin, M., Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1994
 Azra, Azyumardi, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1998
 Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999
 Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996
 Bakar, Osman, Hierarki Ilmu (Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu), Mizan, Bandung, 1997
 Bakker, Anton, dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1990
 Barnadib, Sutari Imam, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, Andi Offset, Yogyakarta, 1993
 Bertens, K., Sejarah Fisafat Yunani, Kanisius, Yogyakarta, 1999
 Daulay, Haidar Putra, Historisitas Dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 2001
 Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren StudiTentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta, 1994
 Gie, The Liang, dan Andrian The, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu, Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB) dan Andi, Yogyakarta, 1998
 Indar, Djumberansjah, Filsafat Pendidikan, Karya Abditama, Surabaya, 1994
 Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat, Soejono Soemargono (terj.), Tiara Wacana Yogya, Yogyakart, 1992
 Langgulung, Hasan, Asas-Asas Pendidikan Islam, Pustaka Al Husna Baru, Jakarta, 2003
 Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Dalam Abad 21, Safiria Insani Press dan MSI UII, Yogyakarta, 2003
 Mudyahardjo, Redja, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, PT.Remaja Rosdakarya Bandung, Bandung, 2002
 Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu, Rake Sarasin, Yogyakarta, 2001, Edisi II
 Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Pusat Studi Agama, Politik dan Masyarakat (PSAPM) Surabaya dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003
 Mulkhan, Abdul Munir, dkk., Religiusitas Iptek, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998
 Mulkhan, Abdul Munir, Humanisasi Pendidikan Islam, dalam Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan : Tashwirul Afkar, Edisi No.11, LAKPESDAM dan TAF, Jakarta, 2001
 Mulkhan, Abdul Munir, Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 2002
 Mulkhan, Abdul Munir, Peran Konsorsium Pendidikan Islam Dalam Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam Dan Peta Ilmu Pengetahuan, makalah yang disusun dan disampaikan dalam Semiloka Ilmu Pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh Konsorsium Pendidikan Islam IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 21-26 Februari 2000
 Muslih, Muhammad, Filsafat Ilmu, Belukar, Yogyakarta, 2004
 Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997
 Peursen, C.A.Van, Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, J.Drost (terj.), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993
 Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1982
 Rais, Amin, Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta, Mizan, Bandung, 1989
 Sadulloh, Uyoh, Pengantar Filsafat Pendidikan, Alfabeta, Bandung, 2003
 Suharsono, Melejitkan IQ,IE & IS, Inisiasi Press, Jakarta, 2001
 Suparno, Paul, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Kanisius, Yogyakarta, 1997
 Supriyadi, Dedi, Antara Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar: Di Balik Kebijakan Ada Konstruk Berpikir, dalam Jurnal Analisis CSIS, tahun XXIX, No.3, h.365-366
 Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1995
 Tibawi, A.L., “Islamic Education” Its Tradition and Modernization Into The Arab National Systems, Luzac & Company LTD, London, 1979
 Tilaar, H.A.R, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000
 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Media Wacana Press Jogjakarta, Yogyakarta, 2003
 Usa, Muslih, (editor), Pendidikan Islam Di Indonesia Antara Cita dan Fakta, PT Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1991
 Verhaak, C., dan R.Haryono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, PT.Gramedia, Jakarta, 1989
 Zaini, Hisyam, dkk, Desain Pembelajaran Di Perguruan Tinggi, Center for Teaching Staff Development (CTSD) IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2002
 Zohar, Danar, dan Lan Marshall, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan.”, Rahmani Astuti,dkk. (terj.), Mizan, Bandung, 2002