Gelorakan Pemikiran

Minggu, 03 Oktober 2010

KHAZANAH KEILMUAN ISLAM DAN REFORMASI EPISTEMOLOGI SEBUAH KAJIAN DI ABAD KEDUA MUHAMMADIYAH
YANTO SAGARINO DPP IMM

Islam sangatlah lengkap ketika dibicarakan dalam konteks kelahirannya, namun Islam tidaklah lengkap ketika umatnya sendiri membatasi makna Islam pada koridor yang salah. Kesalahan memaknai Islam merupakan sebuah konsekwensi akan ketidakpahaman manusia. Maka dengan problem seperti ini Tuhan telah memberikan keluasaan dan menentukan bahwa kesadaran dan pemahaman manusia justru datang secara mutawatir sesuai dengan perkembangan peradaban masyarakat. Berangkat dari sini, pemikiran H. Syamsudin Anwar memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat realitas baik secara historitas maupun masa kini Dalam beberapa hal H. Syamsudin Anwar mencoba mengembalikan khazanah berfikir umat Islam kepada sesuatu yang tidak dikatakan mutlak, oleh karena terdapat otoritas keillahian dalam penciptaan manusia. Apapun yang dikatakan benar, sesungguhnya belumlah secara mutlak itu benar. Sesuatu hal adalah benar menurut anggapan teori relativitas pada momen tertentu karena pada periode berikutnya terdapat bukti yang dapat memperbaiki kebenaran yang telah dianggap benar tadi. Kini segala sesuatu harus dirubah dan disempurnakan lagi. Karena, kebenaran ilmiah bukanlah kata akhir dari segalanya, proses ilmiah hanya tahap baru yang pernah dicapai dalam suatu waktu untuk memperoleh pengertian.
Tingkat keberhasilan dari pencaharian segala sesuatu harus terukur dengan tahap kesepakatan antara pernyataan dan kenyataan atau antara realitas dan idealitas maupun antara Islam dan ilmu pengetahuan tentang sesuatu yang abstrak dan nyata pula. Kebenaran ilmiah yang ingin dibuktikan oleh Syamsudin Anwar adalah ingin melihat sejauh mana bukti nyata yang telah dicapai oleh suatu zaman. Bukanlkah Tuhan yang menentukan nasib dan ramalan manusia atas berbagai penyelidikan dalam lapangan tertentu. Perubahan dan peningkatan terdapat dalam ilmu pengetahuan tentang hukum agama untuk mengatur masyarakat. Namun apa yang terkandung dalam AlQur'an telah mutlak benar karena dia bukan karangan manusia, tetapi diturunkan oleh Allah yang menentukan perkembangan peradaban masyarakat. Oleh karena Al Qur'an bisa dinyatakan berfungsi sampai akhir zaman, apabila masyarakat dan manusia seutuhnya mau melakukan iqranisasi yang sangat sesuai dengan perkembangan dunia kemasyarakatan, tentulah banyak sekali pokok ilmu yang masih asing bagi manusia pasca peninggalan abad 14 Hijriah. Maka oleh sebab itu, bukanlah suatu keanehan bilamana kesadaran manusia abad 15 lebih meningkat daripada generasi sebelumnya tentang rangkaian ilmu pengetahuan yang terkandung dalam Al Qur'an. Drs. H. Syamsudin Anwar dalam berbagai pandangan maupun pentafsiran, sebaiknya jangan terpaku pada penterjemahan Al Qur'an berdasarkan hasil teksnya saja, akan tetapi harus dikonstruksi dalam sebuah makna teori yang bisa mengcover seluruh makana Al Qur’an dalam kehidupan sehari–hari. Sebab sekarang ini bagi Syamsudin Anwar, seiring perkembangan struktur dan fungsi tata bahasa beserta pengertiannya, maka tentu banyak juga berbagai istilah-istilah yang lebih tepat didalam pengartian suatu ayat tersebut. Dalam berbagai tulisan Syamsudin Anwar, secara pasti kita akan menjumpai berbagai model dan bentuk yang dihasilkan dalam kepemimpinan Muhammadiyah NTB adalah postulat gerakan [tajdid] pembaharuan Islam amar ma’ruf nahi mungkar yang berpendapat bahwa setiap orang diperkenankan mengungkapkan makna kitab suci. Karenanya penafsiran Al Qur'an bukan monopoli para imam dan mudjtahid (pemimpin agama dan pemegang wewenang tertinggi dalam bidang hukum).

H. Syamsudin Anwar seorang yang telah terbentuk oleh situasi kondisi aktivismenya baik ketika aktiv di Himpunan Mahasiswa Islam maupun dalam menjalankan kepemimpinan Muhammadiyah wilayah Nusa Tenggara Barat bahwa H. Syamsudin Anwar memandang dan menempatkan Al Qur'an sebagai sumber sejati dari segala keilmuan yang tidak perlu kita permasalahkan lagi. H. Syamsudin Anwar juga mengungkapkan sedikit banyaknya kaum intelegensia Muslim yang berbicara bagaimana penemuan-penemuan ilmiah yang paling mutakhir dalam berbagai keragaman teori, sebelumnya telah diungkapkan dengan berbagai bahasa simbolik dalam Al Qur'an. Secara apriori mengasosiasikan Al Qur’an dengan Sains modern adalah sesuatu yang heran bagi dunia barat, namun bagi Islam justru setiap zaman, bahasa Al Qur’an telah memenuhi semua kebutuhan ilmu pengetahuan, tidak ada lagi perselisihan antara Al Qur’an dan Sains. Bagi semua orang yang memiliki keterbatasan untuk menghadapkan kitab suci dengan pemikiran-pemikiran yang tidak ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, itu semua sudah menjadi bagian yang sangat paradoks bagi kebanyakan orang. Oleh karena, sesungguhnya orang membaca Al Qur'an secara teliti dalam upaya memahami dalam proses penjelasan terhadap Sains, maka orang tersebut akan menemukan sekumpulan ayat-ayat yang sangat jelas. Menurut H. Syamsudin Anwar ada empat bagian yang semuanya mengarah pada masalah keilmiahan Al Qur’an yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut :
1. Mengungkapkan masalah yang berkaitan dengan hakikat sains, arah dan tujuannya mengenai apa yang dapat dijadikan bahan pemikiran dalam reformasi epistemologi ilmu keislaman.
2. Identifikasi metode pengungkapan tentang hakikat keilmiahan ilmu keislaman.
3. menjelaskan secara detail tentang proses penciptaan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan fisika, geografi, ilmu sosial politik dan lain sebagainya
Pandangan H. Syamsudin Anwar, memberikan sebuah sinyal yang komunikatif dalam keilmuan Islam, karena beliau melihat dari sisi Al Qur’an baik secara teks maupun kontekstualnya bahwa Al Qur'an diturunkan sangat bermakna dan mengandung hal-hal yang logis sesuai dengan tempat dan zamannya diturunkan, lagi pula Al Qur’an diturunkan sangat sesuai dengan kondisi yang ingin di capai oleh manusia, dan Al Qur'an itu sangat bagus dan mantap dijadikan pelajaran atau bahan pemikiran bagi manusia yang mau memikirkannya sebagaimana yang disebut dalam Surah Al-Qamar : 17 : "Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran ?"[1] (QS. 54 : 17), selain itu juga, membuat saya teringat, ketika H. Syamsudin Anwar diatas mobil dinas PWM NTB dalam perjalanan menuju Kabupaten Lombok Tengah dalam acara menghadiri Milad 100 tahun (Satu Abad) Muhammadiyah yang dilaksanakan oleh PDM Lombok Tengah bahwa beliau mengatakan “zaman seperti ini dalam proses dakwah amar ma’ruf dan nahi mungkar, kita sebenarnya harus mampu melakukan iqranisasi terhadap kondisi masyarakat kita, ketika kebanyakan masyarakat sangat jarang membaca Al Qur’an apalagi menafsirkan dan memaknai Al Qur’an baik dalam penjelasan teks maupun kontekstualnya. Kalau Al Qur’an ini dipahami hanya pada tataran teksnya saja maka kita akan dihinggapi penyakit TBC modern, sehingga yang terjadi adalah kesulitan dalam memandang dan merekonstruksi nilai-nilai ketauhidan serta kemanusiaannya dan akan diperparah oleh krisi ilmu keislamannya. Sesuai dengan firman Tuhan yang mengatakan bahwa "Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Kitab kepada mereka, Kami jelaskan dia (kitab itu) atas dasar ilmu pengetahuan; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman."[2] (QS. 7 : 52),

Begitu juga dalam Al Qur'an terbagi atas dua babak : Muhkamat dan Mutasyabihat. Yang Muhkamat adalah petunjuk hidup yang mudah dimengerti yang terdapat didalam Al Qur'an, termasuk didalamnya masalah halal-haram, perintah dan larangan serta hal-hal lainnya dimana ayat-ayat tersebut dapat dipahami oleh siapa saja secara gamblang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran-pemikiran yang berat. Sedangkan Mutasyabihat adalah hal-hal yang susah dimengerti karena berupa keterangan tentang petunjuk banyak hal yang mesti diteliti dan merangkaikan satu sama lain hingga dengan begitu terdapat pengertian khusus tentang hal yang dimaksudkan, termasuk di dalamnya diungkapkan melalui kemajuan teknologi dan cara berpikir manusia.
Sekarang mulailah kita berfikir bahwa seandainya Al Qur'an diturunkan dalam keadaan muhkamat, maka justru disitulah akan hilang hikmah yang berupa ujian sebagai pembenaran dan sebaliknya sebagai usaha untuk memunculkan makna berdasarkan tempat turunnya. Begitu juga dengan sebaliknya, apabila kita hanya berpegang hanya pada ayat mustasyabihat saja dan mengabaikan Muhkamatnya, maka akan menimbulkan perbedaan yang mencolok di kalangan umat Islam. Juga seandainya Al Qur'an itu seluruhnya mutasyabihat pastilah hilang fungsinya sebagai pemberi keterangan dan petunjuk bagi umat manusia. Cukup banyak selama ini orang yang mencoba menguak sisi keilmiahan Al Qur'an dengan mengandalkan ayat-ayat yang bersifat mutasyabihat semata, namun sangat sering mereka terjebak didalam pemahaman mereka sendiri akibat berbenturan dengan hal-hal yang memang non-ilmiah yang terdapat didalam Al Qur'an, sehingga pengungkapannya seringkali berkesan rancu dalam teori mereka. Menurut H. Syamsudin Anwar ada terdapat dalam Al Qur'an model untuk memahami tentang proses penjelasan tentang:ketuhanan, Al Qur’an dan ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut :

Pemaknaan hakekat penciptaan manusia oleh Tuhan seperti mengenai hakekat sifat-sifat Allah, meskipun kita tahu makna dari sifat-sifat itu. Dalam hal ini Allah telah berfirman : "Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya."[3] (QS. 20 : 110), sebagian orang mempelajari ilmu pengetahuan tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu baik secara abstrak maupun nyata, pencarian akan pandangan dan eksistensi keilmuan Islam bukanlah diserahkan pada diktrinal teks saja, akan tetapi keilmuan Islam di bangun atas konsep nalar intelektual yang kritis sesuai dengan lingkungan yang ada sebagai bentuk pengamatannya. Tuhan berfirman : "(AlQur'an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa." [4] (QS. 3 : 138). Al Qur'an merupakan petunjuk yang sebaik-baiknya untuk membina kehidupan umat, itulah kewajiban kaum Muslimin untuk membuktikan kebenarannya. Bukan kewajiban Allah untuk membuktikan kebenaran firman-Nya, Sebab firman itu benar dengan sendirinya dibuktikan oleh Tuhan. Dengan modal kejujuran, kita bisa membaca sikap kita selama ini: meminta, menuntut agar Tuhan membuktikan kebenaran firman-Nya. Oleh karena, kita tidak mengerti apa makna ajaran Tuhan tersebut. Dalam hal ini H. Syamsudin Anwar memberikan analogi, untuk menyuruh kita berfikir dan mencoba belajar seperti yang dilakukan oleh orang Jepang tentang ilmu membuat mobil dan orang Jepang akan memberikan buku serta rumus-rumusnya. Tugas kita semua adalah untuk membuktikan kebenaran ilmu-ilmu yang kita terima dari Jepang, dan bukan menagih agar orang Jepang membangun industri mobil di Indonesia dengan ilmu-ilmu mereka itu, serta bukan pula dengan jalan menghapalkan dan melagukan ilmu-ilmu rumus membuat mobil dengan harapan kita semua akan menjadi pintar dengan sendirinya, sehingga tiba-tiba kita bisa menciptakan mobil tersebut seperti main sulap di malam hari. Al Qur'an sebagai satu sarana untuk menghadapi ujian Allah tentang keimanan (Tauhid), kita harus belajar (Iqra), bermusywarah dan berkumpul silaturrahi dalam rangka memperkuat kaderisasi Islam (majelis), dan berjuang untuk membumikan nila-nilai keuniversalan Al Qur’an (harakah fil Islam). Sungguh tidak mungkin jikalau ilmu Allah termuat dengan rinci dan ditulis dalam Al Qur'an, karena Al Qur'an itu sendiri melukiskan bahwa ilmu Allah itu tidak bisa ditulis ataupun di ketik dengan tinta sebanyak air dilaut sekalipun.
Al Qur'an hanyalah satu petunjuk yang menunjukkan bahwa Ilmu Allah terdapat dimana-mana, diluar dan dalam diri manusia itu sendiri. Suatu petunjuk yang sempurna yang harus dikaji dengan otak, perasaan dan logika pengetahuan rasionalnya. Bukanlah menagih kepada Tuhan untuk merealisasikan janji-Nya kepada kita semua tanpa ada sikap ikhtiar dan fatonah (sami’na wa’ato’na). Dengan segala kerendahan hati dan bermodalkan semangat dan kemampuan yang belum begitu sempurna juga, pas-pasan, baik dalam berpikir maupun memberikan pandangan pengetahuan, saya justru memahami pandangan dan pemikiran H. Syamsudin Anwar dengan berbagai bentuk dan keragaman berfikir, kemungkinan besar juga terbentuk dari kultur pemikiran pembaharuan Muhammadiyah selama ini, sehingga saya pun mencoba lebih peelan – pelan menelisik kembali apa yang tersirat, entah sedikit banyak ilmu yang di pahami sebagai kapasitas berfikirnya. Namun, terus terang melihat sosok H. Syamsudin Anwar baik ketika menyampaikan pidato, ceramah, khotbah jum’at, khotbah Idul Fitri maupun dalam tarap diskusi kecil yang sangat sering kami lakukan baik di rumah beliau maupun di PWM NTB dan lain sebagainya, pemikirannya terkandung dalam sebuah sikap yang santun dan anggun yang sangat jarang juga dimaknai oleh semua orang. Pada surah 9 : 122 menjelaskan bahwa "Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu keluar semuanya. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama ? dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya ?" [5] (QS. 9 : 122). Arah pendapat H. Syamsudin Anwar ini yang mengutif Al Qur’an menyampaikan dalam konteks mencari dan menggali ilmu keislaman (ad dinul ilmi) yang terkandung dalam Al Qur'an.
Kita pelajari dan membaca Al Qur'an yang kita baca selama ini merupakan fakta ilmiah dan memuat segala bentuk peristiwa baik yang telah terjadi maupun masa depan yang dinyatakan dalam ayatnya. Al Qur’an hanya dapat di telusuri dengan kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang di kuasai. Al Qur'an adalah teologi umat Islam dalam memahami seluruh realitas perkembangan yang bersipat abstrak maupun nyata. [6] Rusdianto,. Naskah Buku : Teori Shafrilisme : Rekonstruksi Dunia Yang Damai. Hl. 200) Dalam sebuah ayat, Allah menyatakan "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an ? Kalau kiranya Al Qur'an itu bukan dari Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." [7](Al Qur’an Surat An Nisaa : 82) Setiap informasi yang terdapat pada Al Qur'an selalu mengungkapkan keajaiban dan kebenaran Sebagaimana Allah mengatakan kepada kita semua : "Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir." [8](QS Al Kahfi : 29). Sesungguhnya ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan, maka barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya." [9](Al Qur’an Surat Abasa : 11-12).

Karakter Ilmu Pengetahuan dalam Al Qur’an tidak bersifat kekal dan harus diakui keilmiahannya di abad modern ini. Pandangan keilmiahan ilmu pengetahuan Islam bukan hanya satu pembahasan saja, akan tetapi berbagai macam cabang ilmu pengetahuan lainnya yang akan di jelaskan secara menyeluruh oleh Al Qur’an. Maka oleh karena itu, cara berfikir H. Syamsudin Anwar untuk mengajukan sebuah proses penguatan akan wacana keilmiahan Al Qur’an adalah dengan metode mengkomparasikan dan mengkolaborasikan kekuatan ilmiah ilmu keislaman dengan ilmu induknya yaitu Al Qur’an. Pada masa sekarang ini Al Qur’an bukan hanya menorehkan Ilmu tekstual saja akan tetapi menyumbangkan pemikiran dan kekuatan keilmiahannya pada abad 21 sekarang ini, seperti teori–teori barat yang terbantahkan oleh Al Qur’an dan ilmuwan Islam. Dalam pandangan H. Syamsudin Anwar akan mengemukakkan beberapa teori yang mengalami keruntuhan, akibat keilmiahan mereka juga dengan tidak bisa membuktikan bahwa gagasan teori adalah hanyalah faktor sejarah saja. Sehingga sejarah inilah mengakibatkan manusia mengalami perpecahan paham, tentu para pengusung teori ini harus bertanggungjawab terhadap nilai–nilai kemanusiaan itu sendiri.

Demikian juga, dari berbagai pendalaman kita sejauh ini dalam menganalisis dan menghadirkan pemikiran Syamsudin Anwar dalam kancah pergulatan ilmu pengetahuan merupakan sebuah cerminan akan dinamika keilmuan Islam itu sendiri. Sehingga ilmu pengetahuan dan tahap pengilmiahan Al Qur’an dalam persfektif pembangunan kesadaran iqranisasi masyarakat, agar senantiasa mengetahui sejauh mana sifat-sifat alam semesta yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan dengan menunjukkan keberadaan dan kebenaran Allah dan Kitabnya. Syamsudin Anwar memberikan sebuah paradigma berfikir pada wilayah Ilmu pengetahuan dengan konstruksi yang berbeda dan mencoba mengarahkan kita kepada kesimpulan bahwa alam semesta memiliki sang penciptanya yang sempurna dalam hal kekuasaan, kebijaksanaan dan pengetahuan. Bagi Syamsudin Anwar Islam telah memperlihatkan jalan kita untuk mengenal Allah dengan memfungsikan kitabnya melalui proses pemakanaan dan penta’wilan pada wilayah keilmuan Islam. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan adalah metode untuk melihat dan menyelidiki lebih baik fakta-fakta empirik yang disebut oleh Al Qur’an itu sendiri untuk dibuktikan secara akurat dan rinci. Namun demikian, beberapa ilmuwan yang progresif dengan konstruksi ilmu pengetahuan mencoba mengambil sudut pandang berbeda dalam konteks penelitian ilmiah dengan tujuan menjelaskan kekuasaan Tuhan dengan metodologi studi alam semesta sebagai hasil ciptaan-Nya. Bagi penulis menggambarkan pandangan dan pemikiran Syamsudin Anwar ini bisa kita bedah dalam analisis peran Tuhan, fungsi ciptaan Tuhan sendiri seperti manusia, alam semesta dan lain sebagainya. Basic metodologi dan penjelasan keilmiahan ciptaan-Nya merupakan sebuah konsep yang sangat terjangkau dan terukur. Namun penulis juga senantiasa membandingkan antara kekuatan terbatas manusia yang memiliki ilmu pengetahuan dengan kekuatan Tuhan, mustahil akan dapat menjangkau keilmuan Tuhan melalui beberapa data ilmiah, tetapi haruslah di ingat bahwa setiap ijtihad pemikiran dengan kesadaran ilmu pengetahuan merupakan bagian yang terintegrasi dengan ilmu agama, bukanlah dua pandangan yang berbenturan anta ilmu pengetahuan dengan doktrin agama.

Rentang usia Syamsudin Anwar telah berkiprah selama 10 tahun memimpin Muhammadiyah NTB, dalam dunia akademik dan kemasyarakatan sudah selayaknya membuat syamsudin Anwar layak ditokohkan karena bersikap dewasa (mature) dan sekaligus tumbuh dalam tradisi kritik. Tingkat maturitas Syamsudin Anwar sangat penting ketika dihadapkan dengan pergulatan wacana dan persaingan kompetensi pemikiran dan khasanah keilmuan di tengah pasar bebas dunia saat ini. Wacana keilmuan dan keislaman adalah kerangka besar yang harus diterjemahkan dalam konteks sosial religius yang relevan. Dialektika keilmuan dan keislaman dalam ruang publik menjadi faktor determinan sebagai ladang penyemaian pemikiran dan kekuatan intelektualnya yang berjiwa profetik dan selalu menyuarakan emansipasi sosial dan keadilan. Dinamisasi wacana yang dilakukan oleh Syamsudin Anwar ketika menjadi Rektor Universitas Muhammadiyah melalui struktur birokrasi kampus (rektorat, fakultas/dosen, karyawan) yang dipadu dengan ketegangan kreatif (creative tension) dikalangan mahasiswa adalah basis konstruksi yang berperan dalam mewarnai corak intelektualisme dan gerakan radikalisasi di kampus.

Menyoal jilbabisasi kampus UMM merupakan hasil refleksi dan potret pergumulan aneka wacana keagamaan dan liberalisasi aspek kehidupan di level birokrasi kampus dengan memakai pendekatan integritas personal yang dikombinasikan dengan berbagai macam kritik antara relasi kuasa dalam analisis wacana kritis. Berdasarkan ragam mainstream pemikiran keagamaan yang survive dalam pergulatan dan pertarungan wacana epistemologis setidaknya ada empat arus wacana yang meramaikan gemuruh wacana dalam struktur birokrasi kampus UMM. Pertama, arus wacana yang meyakini Islam sebagai ideologi universal (Islam kaffah). Bagi pemikiran pertama ini Islam tidak mengenal aplikasi dan historisitas pemahaman teks keagamaan. Universalisme Islam dan sakralitas teks menjadi prinsip dasar aplikasi Islam dalam ranah duniawiyah-empirik. Pemikiran ini menjadi simpul bagi varian-varian wacana sejenis yang muncul, baik pada skala ekstrim maupun moderat. Fenomena ini membuka ruang bagi simpatisan gerakan-gerakan keagamaan alternatif (harakah) untuk mengekspresikan isu-isu dan wacana identitas perjuangannya seperti islamisasi kampus (jilbabisasi). Kedua, arus wacana yang mentahbiskan Muhammadiyah sebagai ideologi (tunggal) dalam bidung gerak wacana keagamaan kampus. Pendekatan yang dipakai oleh arus ini sarat dengan rona ideologis dalam menyikapi wacana dan gerakan pemikiran yang muncul. Mainstream ini memiliki basis (massa) birokrasi cukup mapan dalam struktur birokrasi serta cenderung mampu mengontrol penguasaan wacana kampus.
Ketiga, garis pemikiran yang mengambil pendekatan tentatif bercorak sufistik/tharikat dalam menerjemahkan Islam pada konteks kekinian. Lambat laun gejala pemikiran ini berubah menjadi kekuatan wacana yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Kemampuan wacana ini dalam membangun basis (massa) birokrasi dalam tenggang relatif cepat menjadi semacam kekuatan ancaman bagi kemapanan arus wacana yang kedua, katakan saja bahasa Arab dan embrio Fakultas Agama. Keempat, riak wacana dengan komitmen kritisisme terhadap persoalan agama dan sosial melalui berbagai mazhab kritis Muhammadiyah melaju di antara berbagai arus pemikiran diatas. kalangan yang mengakomodasi wacana liberasi Islam ini lebih banyak melakukan individuasi dalam proses pewacanaannya dibanding arus-arus pemikiran lain yang justru melakukan pembasisan massa birokrasi. Mazhab kritis ini mengedepankan kritik sosial dalam menyikapi fenomena dan isu-isu keagamaan, khususnya dalam spektrum kampus. Edward Said dalam karya provokatifnya, Orientalism, memperkenalkan cara pandang baru yang radikal-kritis terhadap fenomena hegemonik Barat. Pembongkaran citra-citra imajiner Barat dalam relasinya dengan Islam dikemudian hari melahirkan teori poskolonial yang menelanjangi hegemoni dan dominasi Barat terhadap Islam. Foucault melihat relasi Barat dan Islam yang kolonialis ini sebagai sebuah relasi kuasa; relasi yang dibangun diatas kepentingan ideologi, politik dan kekuasaan dengan menempatkan pihak lain sebagai entitas yang harus ditundukan. Perspektif ini digunakan dalam tulisan ini untuk melahirkan daya kritik terhadap wacana dan asumsi-asumsi yang telah mapan yang terus dikembangkan dan wacana demikian menggurita menjadi bentuk “imperialisme” dalam memori publik. [Fajar Riza Ul Haq, op.cit. www.fajar.com]

Analisis wacana kritis atas pemetaan diatas menyingkap adanya relasi ideologis dibalut jaringan struktural dalam menciptakan dominasi mainstream wacana bahwa Muhammadiyah sebagai ideologi resmi dalam wacana keagamaan. Arus wacana ini berhasil membangun dominasinya atas wacana lain karena ditopang jaringan struktural. Kepentingan ideologis Muhammadiyah sebagai ideologi predator atas nama kepentingan persyarikatan memiliki kekuatan yang tak tertandinggi. Potret ini terlihat jelas bagaimana kuatnya intervensi “atas nama” persyarikatan dalam penguasaan arah dan wilayah kajian serta pengembangan wacana keagamaan. Jaringan struktural wacana dominan tersebut seolah mesin verifikasi institusi untuk mengamankan otentisitas ideologi Muhammadiyah. Dominasi arus wacana Muhammadiyah sebagai ideologi tunggal dalam mengembangkan, memaknai dan menilai pergulatan wacana keilmuan dan keislaman seakan tidak memberi ruang bebas bagi munculnya arus wacana lain sebagai kekuatan wacana tanding. Menguatnya kemapanan arus wacana bercorak sufistik/tharikat dalam dialektika wacana keagamaan melahirkan masalah tersendiri bagi kekuatan ideologi Muhammadiyah. Grafik naik skala kolektivitas massa arus wacana baru ini tanpa terasa memupuk benih-benih dominasi tandingan yang akan mengikis kemapanan dominasi arus Muhammadiyah sebagai ideologi resmi. Akibatnya, kekuatan wacana terakhir ini mencoba mengurung ruang gerak arus wacana bercorak sufistik/tharikat tersebut. Mekanisme yang rapi namun sistemik dalam mengebiri dan memangkas kekuatan wacana sufistik/tharikat adalah melalui prosedur struktur birokrasi. Operasi “sapu jagat ” untuk mengamankan ideologi persyarikatan dari gangguan dan tantangan ideologi lain ini memiliki preseden historis pada masa Bani Abbassiyah yaitu peristiwa mihnah atau inkuisisi. Kala itu ideologi Mu`tazilah atas nama penguasa mengintrogasi dan menyingkirkan kelompok ideologi lain dalam upaya penguatan dan pelestarian dominasi ideologi Mu`tazilah. Dalam sejarah perkembangan teologi Islam nama Imam Hambali dikenal salah satu orang yang teguh walau diintimidasi oleh penguasa untuk mengakui kemahlukan Al Quran sebagaimana keyakinan Mu`tazilah. Upaya marjinalisasi secara struktural wacana bercorak sufistik/tharikat oleh aparat ideologi arus wacana dominan ini tidak atau belum menimpa arus wacana lain karena dipandang belum merupakan ancaman nyata terhadap kemapanan dominasi ideologi Muhammadiyah. Sehingga mereka nampak masih diberi sedikit ruang toleransi. Secara sistemik kognisi publik civitas akademika digiring (paksa) kepada satu pemahaman bahwa memang sudah selayaknya ideologi Muhammadiyah menjadi mazhab resmi pemikiran keagamaan dalam ranah civitas akademika. [Fajar Riza Ul Haq, op.cit. www.fajar.com]

Tidak ada komentar: