Gelorakan Pemikiran

Minggu, 03 Oktober 2010

NOVEL DAN PERCIKAN LENTERA HIDUP : KISAH PERJALANAN DALAM MELAWAN TAKDIR
OLEH : YANTO SAGARINO SAMAWA TARIANO

NASEHAT IDONG REFORMASI DI KAMPUNG TUAN TANAH
Tuan tanah yang tak bergeming ?, itulah kata yang bisa aku ucapkan ketika melihat panorama alam kampung yang nan indah di lihat, hijau bertaburan dedaunan yang sangat berwarna warni, ada yang hijau segar dan ada juga yang menguning. Saat itu aku menyusuri alam raya kampung itu dengan berkendaraan kuda sambil menunggangnya, penelusuran itu bukan hanya di dalam kampung namun sampai batas wilayahnya yang sangat luas. Panorama alam kampung itu nan jauh di pelupuk khayalan bahwa ternyata menyimpan rahasia keistimewaan yang menghidupi seluruh warga kampung.
Aku berfikir diatas kuda ku, “wah seandainya aku punya tanah seluas ini, mungkin cita-cita ku akan terkabulkan, tetapi sayang sekali aku tidak memiliki tanah seluas yang aku saksikan sekarang ini”. Aku pun berdoa di atas kuda “ya Allah engkau sesungguhnya Maha adil, berikan kami rezeki yang banyak dan tanah yang lapang, agar kami yang hidup miskin ini bisa menggapai cita dan harapan kami sekeluarga….amin”. Saat itu aku berdoa sejak berumur 13 tahun, masa-masa belajar keras untuk mengenal kehidupan dunia ini yang penuh dengan jalan berpasir dan berduri. Mungkin semua orang berkata, dengan umur 13 (tiga belas tahun) kok bisa berdoa seperti itu, padahal masih terhitung tingkat sekolah dasar. Ya begitulah kecerdasan manusia, terkadang kita tidak mengetahui apa yang akan kita ucapkan dan bicarakan untuk tahun kedepannya.

Lanjut cerita!!, Aku terus saja menyusuri wilayah kampung tersebut, di tengah perjalanan aku bertemu dengan seorang yang postur tubuhnya tinggi banget kulitnya hitam legam, rambutnya lurus berukuran kira-kira 19 (Sembilan belas) centi meter, dia adalah “Tuan Tanah” yang pemilik tanah di kampung tersebut. Kemudian kita bertemu saat itu, dia menengok aku sambil berkata “hai kau kaleng me dan me kena ke apa tujuan kenang jaran panungang mu nan ”. Kemudian aku menjawab “ku sakumpul kebo sarea tau des’a untuk maruma pang orong pa nawar ya tu tanam pade” .
Pembicaraan pun berlanjut, kemudian dia berkata lagi, “kamu itu siapa nama mu ?”, nama ku “yanto sagarino samawa tariano”, oh gitu yah nama mu, bagus sekali,,,dia menjawab ku. Aku pun bertanya sama dia “nama bapak siapa yah, kalau boleh saya tau ?”, lalu dia menjawab dengan lantang dan nada gertakan “tidak perlu kamu tau, tanya aja semua orang kampong, seluruh warga kampung bonto tau semua”. Kemudian aku kaget banget dengan suara lantangnya bapak itu, aku pun berfikir bapak ini siapa sih, kok saya tanya baik-baik di jawab kasar, kalau aku ajak kelahi berani ngak yah, ini kan aku ada parang di ikat pinggang samping kanan ku, masa ngak bisa”. Itu adalah pikiran sesat ku saat itu, lalu aku berfikir dari pada aku melawan bapak ini, lebih baik aku menanyakan nama serta latar belakangnya ke orang tuaku. Kemudian aku ingin pergi meninggalkan bapak itu dan disaat aku menggerakkan kuda ku sambil mulut ku berbunyi “he’..he’…herk..herk..herk, untuk berlari dengan gaya lomba pacuan, serentak bapak itu menyapa ku dari belakang “hoi..hoi…oi..oi kamu berhenti” dengan suara lantangnya. Dalam hati ku bergeming “Ah bapak ini maunya apa ya”. Kemudian aku menghentikan sejenak kuda ku “park..park..park..park..”sambil aku berkata “ada apa pak ya”. Kalau mau cari kerbau cari di tating sana”. Aku pun menjawab “oh ya pak, terimah kasih atas pemberitahuannya”.

Aku pun pergi dari situ, karena di sebabkan oleh pencarian kerbau yang sangat melelahkan dan bapak itu membuat penasaran, siapakah dia sebenarnya. Sehingga aku memutuskan pulang kerumah dan kebetulan hari sudah menjelang pukul 5 (lima) sore hari, karena aku juga menghitung waktu harus sampai di rumah sebelum magrib, sementara aku harus balik ke sawah barora tebal untuk kembali mengikat dan memberi makanan serta memandikan kuda peliharaan ku itu. Akhirnya aku dengan gaya pacuan kuda dan bertiarap di atas kuda dan memegang erat-erat bulu genangnya jaran sambil mengendalikan tali palebeknya, saat itu kuda ku sangat kencang larinya, kira – kira dengan suara kaki yang “gerubuk…gerubuk…gerubuk” kalau di hitung dalam 3 detik bisa 6 (enam) langkahnya. Aku pun sampai di sawah barora tebal hanya menempuh perjalanan sekitar 20 (dua puluh) menit dari tempat tuan tanah yang kejam itu. Kemudian aku memandikan kuda pake air sumur yang ada di sawah dan memberikan minum kuda ku, setelah itu baru aku mengikatnya di tempat tanah (lahan) kosong yang tidak ada tanamannya dan di penuhi rerumputan yang segar buat makan kuda ku.
Selesai mengurus makan dan minum kuda ku, sekitar pukul 17.21 menjelang magrib. Kemudian aku berjalan pulang menyusuri pematang sawah. Sebelumnya sawah itu, berawal dari gempang yang di penuhi oleh tumpukan pohon goal disana sini, yang bisa di bilang pohon goal itu hanya jaraknya berkisar 2 (dua) meter dan ladang itupun di tumbuhi rebu jaran yang tingginya berkisar 1 - 2 meter ke atas, kalau hitungan tinggi manusia saat berjalan sekitar tingginya rumput itu sampai leher, sangat ngeri kalau jalan di rerumputan seperti itu, kalau ada binatang buas seperti babi atau ular misalnya maka kita akan mati di sambarnya.

Walaupun di tengah tingginya rerumputan jaran tersebut, aku tetap berjalan dengan gagah berani, selain kebiasaan lewat jalan itu dan juga tidak ada jalan lain untuk menempuh jalan pulang kerumah. Kemudian aku pun berhasil keluar berjalan dari rerumputan tersebut dan bertemu dengan jalan besar yang beraspal di kisaran pabrik nce kui cabang karongkeng. Tidak terasa mulut aku mengucapkan “Alhamdulillah aku sudah melewati seramnya tanah barora tebal yang terkenal banyak penghuni jin dan setan itu, ya Allah terimah kasih, engkau telah menyelamatkan ku dari seramnya barora tebal, kalau misalnya aku di sambar binatang buas seperti babi atau ular, maka aku tidak akan bisa lagi melanjutkan sekolah ku, karena pasti akan mengalami musibah antara mati dan hidup”. Hati dan mulut ku berucap doa seperti itu.
Aku melanjutkan perjalanan ku lewat jalan besar tersebut, aku berjalan santai sambil menyanyikan lagu garuda pancasila dan Indonesia raya. Sebuah lagu yang di ajarkan oleh sebagian banyak guru di sekolah dasar negeri bonto, saat itu di antara sekian banyak guru yang ada ketika mengajari lagu kebangsaan Indonesia itu, hanya ada ibu ipok namanya seorang kepala sekolah. Beliau bisa di bilang didikan otoriter Suharto, kenapa seperti itu karena pada saat aku duduk di kelas 5 (lima) SDN Bonto itu, pagi-pagi ibu ipok masuk kelas menghimbau agar kami mengajak orang tua kami mencoblos partai golkar yang berlambang beringin itu pada saat pemilihan umum nantinya. Kami semua di kelas manut – manut saja, bagaimana tidak kita manut, saat itu kita belum tau tentang pemilihan umum dan kondisi Negara kita bagaimana. Akhirnya kalau kita pulang kerumah, sesampai di rumah kita sampaikan kepada orang tua kita agar kalau nyoblos harus tusuk nomor 2 yakni kuning (partai golkar). Pesan ibu ipok itu, aku sampaikan kepada bapak ku, bapak ku bilang jangan rebut-ribut kalau di tengar tentara bicara partai selain golkar kita akan di tangkap dan di bawa ke sel tahanan bahkan di suru merayap di aspal. Akhirnya aku berhenti bercerita. Kata bapak ku rahasia ngak boleh ada yang tau pilihan kita. Keseringan juga Ibu ipok itu kalau mengajarkan lagu kebangsaan Indonesia itu, condongnya main pukul dan memaksa kalau tidak tau, bahkan di hokum suruh berdiri di depan papan tulis dan angkat kaki satu. Namun aku tidak tau semenjak reformasi bergulir, krisis moral terhadap nilai-nilai pancasila itupun terjadi, maraknya korupsi bagi presiden, politisi, anggota dewan, parpol busuk, dan apalagi birokrasi banyak menyimpan keburukan yakni rata-rata mereka KKN kok. Sebenarnya nilai-nilai pancasila yang di ajarkan itu, di amalkan dulu oleh para pemimpin bangsa ini, baru di turunkan nilai – nilai tersebut ke khalayak rakyat, sehingga bangsa ini dapat menjadi bangsa yang berkarakter ddan berkepribadian baik, jkalau saja korupsi di mana,. Yah apa jadinya bangsa ini, cocoknya kita beri apreasiasi bahwa bangsa ini di jadikan kerbau yang di cocok hidungnya oleh bangsa lain, mau di bawa kemana juga bisa, di bawa ke penghianatan hak rakyat juga bisa. Ya ALLAH mau di jadikan apa bangsa ini akibat para koruptor.

Lanjut cerita!! Lagu itulah yang aku kumandangkan dalam perjalanan, tiba-tiba aku di sapa oleh sahabat ku seorang yang selama ini teman kelas ku di SDN bonto yakni Tarzan. Seorang Tarzan ini, adalah keturunan asli Lombok Barat Kuripan, dia sebagai pendatang di Sumbawa tepatnya di kampung Bonto saat itu, pekerjaan bersama orang tuanya adalah pembuat batu bata. Tarzan menyapa ku “Hai kamu dari mana sahabat ku ?, aku menjawabnya “dari gempang (ladang). Bagaimana besok, bisa kamu masuk ujian nasional (saat itu di kenal EBTA - EBTANAS) ?, Ya jelas lah aku akan ikut. Tarzan pun menyambut pembicaraan ku dengan wajah sedih dan muram hati….sambil berkata “Aku tidak bisa ikut kawan”, jawab ku “kenapa kawan ?”, Tarzan menjawab sambil mengusap air mata dan menangis “Aku tidak bisa ikut ujian karena ama ku tidak memberikan aku ijin untuk sekolah dan aku pun tidak bisa membaca sedikit pun”. “Wah melok kau,,,,harus ikut nawar, na no ikut e, pa ya no bau lulus mundi, harus ikut…beang kle no to membaca, asalkan ikut” Aku mengeluarkan kata-kata seperti itu ke seorang sahabat ku yakni Tarzan dalam keadaan gelisah dan hatiku menangis piluh bahwa “tarzan—kita adalah sama, jangankan kamu sebagai pendatang baru, kita yang sudah lama disini dan memiliki beberapa penghasilan, juga sangat memiskinkan belum cukup untuk belajar dan menuntut ilmu sampai titik harapan yang kita inginkan, hanya yang bisa sekolah di kampung kita ini adalah seorang yang kaya raya dan berkeluarga tuan tanah. Memang kenyataannya di kampong itu saya seperti itu, akan tetapi banyak juga diantara mereka yang tidak mau menyekolahkan anaknya karena menganggap mereka itu berada dan hidupnya sudah lebih dari cukup. Namun bagaimana dengan nasib kita yang serba kosong dan bisa di ibaratkan cari rezeki pagi makan pagi dan cari siang buat makan siang begitu seterusnya. Kelebihan tuan tanah juga di kampung aku adalah status sosialnya sangat tinggi, sebagian besar dan hampir 100 porsen masyarakat pada percaya dengan mereka dan menganggap mereka itu mampu. Selain itu juga, tuan tanah di kampung ku itu sistemnya sangat feodal, mereka biasanya memegang peranan seperti menjadi pengurus masjid kampung dengan latar belakang sekeluarga sendiri, mengurus dan menjadi pengurus remaja masjid keluarga mereka juga, dan menjadi pengurus adat juga dari kalangan mereka sendiri, dan seterusnya. Mereka itu dengan system feodalnya menganggap dirinya paling bisa dan kalaupun ada masyarakat yang meyangkal pasti tidak di sukai.

Setelah aku bercerita untuk memberikan motivasi kepada seorang Tarzan, aku pun melanjutkan perjalanan ku pulang kerumah, sesampai di depan rumah dan sambil beranjak menaiki anak tangga yang berjumlah 12 itu, aku pun mengucapkan “Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”, kakak Mastari pun menjawab “Waalaikum Mussalam Warahmatullahi Wabarakatuh….dari mana lama pulang ?”, kaleng orongk, tadi mencari kerbau untuk maruma besok di sawah tempat bercocok tanam padi”, Bapak ku pun bertanya “mepang ita ka sat jaran, kam paning ke beang ai ita” . Aku menjawab “pang gempang ua e”. Setelah bapak ku bertanya, baru aku cerita kejadian sebenarnya waktu aku menunggang kuda sambil mencari kerbau untuk maruma dan bertemu dengan bapak itu seorang pemilik yang di katakan “Tuan Tanah” di kampung ku itu. Aku bercerita kepada bapak dan aku bertanya tentang nama bapak itu serta apa kapasitas pengaruhnya di kampung ku itu ?. bapak aku pun bercerita bahwa seseorang yang kamu ceritakan itu namanya Jonrus Zaman yang dulunya di kenal Tuan Tanah di kampung ini. Bapaknya Jonrus Zaman itu bernama “Dea Cin baladewa”, seorang yang dulunya terkenal memiliki tanah seluruh di kampong itu, sepeninggalnya di bagikan kesemua anaknya (ahli warisnya) baik laki – laki maupun perempuan, aku pun bertanya kepada bapak ku “pengaruhnya dia dan keluarganya di kampong apa saja”, kemudian bapak menjawab dengan nada yang agak seram sekaligus mengeluarkan kalimat yang agaknya tidak simpatik juga adalah “wah kalau masalah pengaruh, dia itu sangat berpengaruh dan memiliki kekuasaan serta karoa yang sering membuat orang kecewa dan ngering ate”. Komentar bapak ku itu, membuat aku ingin bertemu lagi dengan bapak Jonrus Zaman itu, seorang yang begitu sombong dan angkuh karena memiliki harta banyak kemudian tidak memperhatikan nasib orang lain, padahal di dalam Islam segala sesuatu yang kita miliki harus kita keluarkan zakatnya, karena zakat itulah yang akan melindungi hartanya.

Lagi – lagi aku bertanya kepada bapak ku “Ua, apakah masyarakat kampung ini tidak mau mengganti pengurus masjid yang seperti itu, sekiranya kalau masjid kita tetap di pimpin oleh orang feudal dan otoriter seperti itu, maka masjid kita tidak akan makmur dan orang sholat pun pasti selalu berkurang, pasti keluarga mereka saja yang sholat di masjid itu, bagaimana ini pak, kok orang kampong kayaknya tidak berani untuk merubah imam masjidnya”. Bapak ku menjawab “Nak, bukan dalam arti tidak berani untuk merubahnya, akan tetapi kalau mereka rapat pengurus masjid itu hanya dari kalangan keluarga mereka sendiri, bapak kan uda bilang ke kamu mereka itu kan sangat feodal modelnya, sementara yang di besarkan dalam keluarga tersebut hanya pak Jonrus Zaman itu saja, sehingga orang kampung maupun keluarganya pun tetap memilih Jonrus Zaman untuk menjadi imam besar masjid Al Falah”. Bapak ku pun melanjutkan pembicaraannya “Nak, kamu itu no mo piker luk nya tau ana, piker luk keluarga kita tae ade telas miskin ta, lamen tu buya rawi kakan rawi, lamen tu buya siup kakan siup, lamen tu buya tangari kakan tangari, ba nan luk tu telas kita ta, ngka yam sara tau ana peno uma tana, kita tae anak tama pit orong lekeng tau, ete boat buya boat”. Itulah nasehat bapak ku, tetapi aku tidak mau mengalah soal pak Jonrus Zaman itu yang selalu menunjukkan kehartawannya, pada tidak berpendidikan sama sekali. Aku bilang ke bapak ku seperti itu. Kemudian aku melanjutkan pembicaraan dengan bapak ku begini “Ua dia itu telah mengertakkan saya waktu cari kerbau mau maruma naik kuda itu, dalam hati ku siapa sih dia itu, ternyata yang selama ini membanggakan dirinya karena banyak harta dan anaknya sekolah di jawa, padahal perlakuan mereka seperti itu sudah jelas melanggar hak orang lain juga”. Aku ngomong ke bapak dengan nada yang agak keras juga. “Ua yang penting aku besok kalau ketemu dia tidak akan tunduk sedikit pun sama bapak Dea Cin Baladewa itu, siapa sih dia,,kayak orang jagoan aja. Tidak perlu kita takut sama dia, yang sangat perlu kita takuti adalah Tuhan, kalau takut sama dia itu namanya siryik”. Itulah kata terakhir diskusi malam itu dengan bapak ku, bapak ku bilang “ya udah kita istirahat aja karena besok subuh jam 4 pagi kita jalan mengambil kerbau di tating sana untuk di giring ke sawah buat maruma selain itu juga kamu besok ikut EBTA – EBTANAS di sekolah mu, jadi ngak usah begadang, tidur aja”. Akhirnya diskusi bersama bapak ku berakhir juga, jam sudah menunjukkan pukul 20:56, aku pun belum bisa tidur lelap karena banyak yang aku pikirkan saat itu seperti aku mau EBTA – EBTANAS besok pagi mulainya jam 6:43 – 11.30, selain itu juga aku belum belajar sama sekali, kemudian aku memikirkan kata – kata bapak Jonrus Zaman itu yang kelihatan sombong banget tuh, apalagi juga aku pasti terlambat dari ke sekolah untuk EBTA – EBTANAS karena ambil kerbau di tating sangat menyita waktu banyak. Aku pun tidak bisa lelap, akhirnya aku bangun ambil secangkir kopi sambil belajar merokok, saat itu aku merokok kelas 6 SD, aku merokok dengan cara sembunyi takut ketahuan bapak ku, “wah kalau ketahuan merokok pasti habis badan pegal-pegal kalau di pukul”. Di tengah malam yang sunyi sepi, suntuk, sendiri, aku berfikir “kenapa ya ada manusia seperti pak Jonrus Zaman itu yah…?, Kenapa di ciptakan manusia ini kalau tidak saling memperhatikan ?, mengapa semua orang kampung ini pada berbuat syirik dengan bersenang-senag dengan mistikasi ?. Aku selalu berikir semalam suntuk !!!...bahkan aku mencoba mengorek sebuah kertas buku tulis harian sekolah ku dengan bahasa puisi, yang berisi “kondisi kampung ku tak ubahnya jeroan binataang yang tak pernah di bersihkan dari guratan jiwa yang hitam, tidak ada semangat untuk berubah, selalu menunggu perubahan, selalu menunggu keberhasilan orang lain, sebenarnya bonto adalah kampung yang memiliki peluang untuk pengembangan potensi apapun, namun potensi itu pudar dikala masyarakatnya banyak yang berfikir iri hati akan keberhasilan orang lain, membicarakan kejelekan orang lain, berkonflik di internal keluarga mereka, pemudanya tidak memiliki semangat untuk berubah, doktrin tidak usah sekolah begitu kuat, memfitnah keluarga orang miskin karena susahnya bersekolah. Aku harus berbeda dengan mereka, aku harus sekolah tanpa dorongan siapapun, aku harus pergi dari kampong ini untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya, aku harus menjemput perubahan itu, aku harus menyadarkan para keluarga ku dengan sikap dan omongan”.

Jam sudah menunjukkan pukul 3.46, saatnya saya harus membangunkan bapak ku untuk pergi mengambil kerbau di tating sana, kemudian bapak ku pun bangun dan segera berkemas – kemas untuk jalan. Setelah itu aku sama bapak ku pergi dari rumah ke tating, sesampai di tating kerbau yang kita ambil tidak ada nongol satu – satu karena kerbau itu kalau subuh –subuh pasti berlindung di bawah pohon besar. Kami berdua berusaha mencari tapi tidak membuahkan hasil, akhirnya aku dan bapak ku berdiskusi sedikit, diskusinya saat itu bahwa aku harus pulang ke rumah sebelum jam 06 pagi karena aku mau mengikuti ujian EBTA – EBTANAS dan bapak ku memutuskan untuk lanjut mencari kerbau. Kemudian aku balik pulang, dengan jalan yang sangat cepat karena mengejar waktu untuk mengikuti ujian, sementara sekolah ku agak jauh dengan rumah ku sekitar setengah kilo lebih. Ketika aku berjalan terasa pelan dan ketakutan terlambat, maka aku pun berlari sambil olah raga. Setiba di rumah ternyata ibuku sudah mempersiapkan aku tas, penggaris, penghapus, pensil 2B dan kaca alas kertas soal dan lembar jawaban karena pada saat itu kita sudah memakai system lingkaran yang di periksa oleh computer. Aku bergegas mandi seperti “maning gagak”, aku tidak memakai sabun. Bagaimana bisa aku memakai sabun waktu mandi saaat itu, karena memang di keluarga kita jangankan untuk mandi bisa kita beli untuk makan saja sangat susah mendapatkannya. Setelah aku mandi, aku mengganti baju merah putih yang telah di persiapkan oleh ibu ku, setelah itu ibu menyuruh ku sarapan “Nak yanto sarapan dulu”, aku menjawabnya “Ye Ma anti dunung ta masi sakena saluar” (Ya Mama, tunggu dulu masih pakai celana), setelah selesai memakai celana aku bergegas ke dalam untuk mengambil nasi, saat itu sempat aku bingung “Ma meee me sia”, (mama nasinya mana ya, untuk kata meee dan me berbeda penyebutannya, mungkin kata dan hurupnya sama, karena kalau di sebut sama orang baru belajar bahasa Sumbawa akan sulit di bedakannya. Kalau penyebutan kata meee artinya nasi dan kata me merupakan penyebutan pendek kata neme, neme itu menunjukkan kalimat “tempat” sementara kata me saja menunjukkan kalimat “dimana” ), mama ku menjawab sambil berlinang air matanya dan dengan wajah yang begitu sedih aku melihatnya “nak yanto basebo ke me baso dunung, endi tangari mole sekolah mo mangan ke me lotto, ndi po Ma beli lotto ta tu buya uang kenang tu beli beli lotto dunung” (nak yanto sarapan pakai nasi jagung aja dulu, ntar siang, pulang sekolah makan pakai nasi beras, ntar ibu beli beras dulu, ntar juga ibu cari uang untuk beli berasnya”. Aku pun ikut bersedih dengan ekspresi ibuku saat itu, sambil berkata “Ma sabar”, hanya kata dan ungkapan itu aku bisa menjawab ibu ku. Lalu nasi jagung itu pun aku makan satu piring, dalam hatiku enak juga yang rasanya ada keasinan sedikit karena di campur garam seadanya. Setelah aku menyantapnya, aku segera pamit ke ibu ku “Ma aku pergi dulu ke sekolah”, ibu ku menjawab “ya berangkat dah anak ku, hati-hati di jalan”, “ya Bu, sembari aku mencium tangannya ibuku”. Saat itulah sebelum berangkat ujian sampai sekarang ini, aku tidak pernah lupa sama nasi jagung yang di campur dengan kelapa yang di parut oleh ibu kemudian nasi jangung itu di taburi garam dalam jumlah sedikit. Sangat wajar saat itu aku pahami, aku sudah capai mencari kerbau dan juga memiliki semangat untuk berangakt sekolah dengan cepat, aku tidak peduli dengan nasi jagung itu, yang penting aku harus cepat ke sekolah karena takut terlambat, sementara ujian itu sangat menentukan kelulusan kami di sekolah dasar. Dengan modal semangat sekolah nasi pun tidak aku pedulikan prinsip ku dalam hati “masa Tuhan tidak melihat hambanya yang miskin ini”, aku yakin saja kepada Tuhan bahwa Tuhan membimbingku.

Sampailah di sekolah ku, aku tidak terlambat bahkan sampai di sekolah, aku keringatan karena aku lari dari rumah ke sekolah yang jaraknya hanya setengah kilo meter lebih itu, di sekolah aku ketemu teman – teman kelasku yang ikut ujian. Saat itu aku khawatir banget “dalam hati ku mudah – mudahan aku lulus ujian”, kenapa karena memang aku tidak bisa melihat jauh dan jelas berbagai tulisan di papan tulis maupun bulatan computer pada lembar jawaban soal ujian. Tidak lama kita semua masuk kelas, di samping ku ada duduk sukiman, seorang teman kelas ku yang jagoan saling pukul di kelas, tetapi dia ini sangat bodoh, jangankan membaca tulis menulis pun sangat susah di ajarkan sama guru-guru kelas ku, kemudian di belakang ku ada juga tarzan anak amaq tapuk, kalimat ama tapuk itu sebuah panggilan bapak kalau di tataran bahasa sasak/Lombok, tarzan itu lebih parah sekolahnya karena sering bolos, ganggu perempuan, bikin ribut dalam kelas, bandel, tidak tau membaca dan tulis menulis. Kemudian di depan ku itu ada yang namanya Andri Kosandri Anri seorang yang selama ini, tak pernah saya lupakan kecerdasannya terhadap mata pelajaran seperti matematika dan IPA, saat itu juga dia sebagai ketua kelas. Seorang Andri ini sangat di sayangi oleh semua guru kelas karena dia rajin dan cerdas, namun Andri orang miskin yang relatif kurang mampu untuk melanjutkan ke jenjang kuliah karena dia seorang anak yatim piatu. Akan tetapi akhirnya saya mendengar informasi waktu pulang ke Sumbawa tahun 2006 dia sudah kuliah jarak jauh.

Lanjut cerita ujian sekolah SD…soal pun mulai di bagikan, hati dan jantungku berdetak begitu keras, sampai tangan ku bergetar seperti orang ketakutan akan soal yang ada di depan. Tetapi dalam hatiku berkata “bismillahirrahmanirrahim tawakkal sudah, lulus atau tidak lulus urusan Tuhan”, bergetarnya tangan ku bukan karena takut, tetapi karena aku yang cacat penglihatan ini harus berjuang dan bersaing kuat dengan para teman-temanku yang penglihatannya normal dan jauh lebih baik. Tangan ku bergetar terus menerus dan keringatan, kadang keringat di telapak tangan ku, aku lap dengan meja di depan ku. Aku mengisi dan membaca soal sangat dekat penglihatan ku, saat itu datang seorang pengawas yang aku kenal baik yakni pak Ruslan. Beliau ini adalah guru olah raga ku. Dia menegurku “Yanto’ kenapa kamu melihat seperti itu, sangat dekat, emang ngak bisa melihat jauh sedikit ya”, setelah pak ruslan itu berhenti menegurku, serentak semua teman-teman ku menoleh kearah ku. Aku berfikir begitu sedih dan air mataku berlinang sedikit demi sedikit membasahi pipiku. Melihat aku begitu sedih dan menangis, akhirnya seorang sepupu satu ku namanya Sri Dewi, anak bibi Minasa Bidara ikut menjawab tegurannya pak ruslan “pak,,, yanto itu memang tidak bisa lihat jauh, dia sangat perlu bantuan bapak”. Sepupu ku itu menjawab teguran pak ruslan ikut menangis, karena melihat saya sedih dan menangis juga. Kemudian pak ruslan itu menghampiri ku sambil memegang kepala ku, hanya memegang saja, setelah itu meninggalkan ku begitu saja sambil keluar ruangan. Saya tahu betul sikap pak ruslan saat itu, karena memang peserta ujian nasional tidak boleh di bantu sedikit pun, karena kalau di bantu maka pak ruslan itu akan melanggar UU Negara tentang kerahasiaan negara.

Di tengah kesedihan ku aku berusaha mengisi soal tersebut tanpa peduli lagi dengan orang lain, dan aku harus bermental baja, sesuai dengan nasehat ibu guruku selama 6 tahun sekolah. Setelah aku tak peduli dengan teman-teman kanan kiriku di dalam kelas waktu mengisi soal, aku pun berhasil menyelsaikan soal yang aku jawab dengan durasi waktu yang pas. Aku termasuk nomor dua tercepat mengisi lembar jawaban, aku saat itu sudah tidak memikirkan lulus atau tidak yang penting aku lingkarkan sesuai dengan perintah soal saja. Kemudian aku keluar dari ruangan, sampai di luar kelas aku focus belajar, karena memang harus mempersiapkan diri untuk menghadapi mata ujian selanjutnya. Tidak lama kemudian jam kedua mata ujian pun masuk kelas, seperti itu juga. Bahkan aku yang tercepat menyelsaikan soal ujian ku. Kemudian aku keluar kelas, lari ke pintu gerbang keluar sekolah yang kemudian langsung pulang tanpa menunggu teman-teman kelasku. Lalu aku berjalan sejenak tanpa melihat kanan kiri ku, tepat sebelah kanan di jembatan bonto sebelum di perbaiki seperti sekarang ini. Nonggol seorang yang berbadan besar dan tinggi. Orang yang saya maksud adalah pak Jonrus Zaman itu, dia menegur ku “hoi,,,kamu anak mail itu ya”, jawab ku “ya,,saya anak mail”, kemudian dia lanjutkan pembicaraan “ooo,,pantasan kamu kayak bapak mu ya”. Setelah dia ngomong seperti itu, aku langsung dengan wajah merah dan ingin aku terkam pak Jonrus Zaman, sambil berkata “hei,,he,,,he apa salah, ada masalah dengan bapak ku, kamu juga mengertak saya waktu di sawah sebelah selatan tating itu, e..eee..eee..biar kamu Tuan tanah di sini, saya tidak takut sedikit pun sama kamu itu, walaupun tuan tanah”. Aku lanjutkan juga pembicaraan ku “pak Jonrus Zaman jangan mentang - mentang Tuan Tanah yang karena kamu kaya, terus kamu sombong dan tidak beri’tikad baik sama semua orang, padahal kamu itu seorang imam masjid yang sebenarnya selalu memberikan contoh, tetapi kamu perlakuan mu sama semua orang seperti itu, siapa yang akan menghargai mu, siapa yang akan mau mematuhi kamu…”. Kemudian dia juga rasanya egois untuk menerima kesalahan ngomong sama aku, terus dia mengatakan “coba sampaikan sama bapak mu itu, jangan lagi ada kritikan terhadap dewan masjid Al Falah karena masjid itu yang tahu dan hanya bisa mengerjakan itu hanya keluarga saya, kamu jangan mengada-ada”. Aku berfikir saat itu lebih baik aku sampaikan kepada bapak ku dari pada aku melawan seorang yang bertitle haji mabrur versi orang kampung, kemudian aku sberjalan kerumah, sesampai di rumah aku melihat bapak sudah ada pulang dari sawah tempat maruma itu yang mau di tanam padinya, bapak ku tepatnya duduk di kursi kayu berwarna biru, kursi itu sepertinya sudah ada sebelum aku lahir yakni sekitar tahun 1970-an. Sebelumnya aku menanyakan kepada terkait maslah maruma itu apakah sudah selesai apa blum, bapak ku saat itu menerangkan kepada aku bahwa marumanyaa sudah selesai tinggal besok di ntanam padinya dan ibu mu sekarang mencari orang sekitar 20 orang untuk menyelsaikan tanam padi di sawah itu. Kemudian aku mengiyakan dan ku ucapkan syukur Alhamdulillah kalau sudah selesai, berarti saya juga bisa fokus belajar lebih giat lagi karena masa waktu ujian masih tinggal 5 hari kedepannya. O..yah “Ua ita ne, kaji katemung ke Jonrus Zaman nan, suru sanapat lako sia agar nomo sering kritik tau pang masjid ana, ke nya ampo ita ngamuk ke kaji, ba kareng ntu ngamuk diri ba ngere ngamuk kaji, siong nya mesa sate ngamuk rua na”, Demikian saya sampaikan hal itu “bapak ku pun marah, untung saja bisa bersabar dengan mengatakan bahwa “Biarkan saja mereka seperti itu memfitnah kita, asalkan kita tidak memfitnah mereka, toh mereka akan tau sendiri jawabannya, dan fitnah itu akan kembali kepada mereka sendiri”. Aku bilang kepada bapak ku “saya tidak bisa menerima perlakuan mereka seperti itu, membicarakan dan menjelekkan orang lain serta tidak memberikan kesempatan orang lain untuk berinisiatif dalam rangka merubah wajah kampong ini, maunya mereka saja”. Di kirain mereka bisa semuanya ya. Bapak ku pun melanjutkan pembicaraannya “ya memang mereka seperti itu, tapi kita harus menghargai mereka dan secara otomatis mereka akan menghargai kita juga, kita lebih baik diam saja dari pada ribut – ribut sama orang yang ngak jelas”. Saat itu aku terdiam dan sangat kecewa sama pak Jonrus Zaman itu, dalam hatiku coba badan ku besar seperti dia itu sudah aku ajak berantam.

Kemudian ibu ku memanggil aku, Nak yanto masuk kedalam makan dulu, tadi pagi hanya makan nasi jagung aja, masukkan nasi putih nih nak biar kuat bisa bertahan kalau mau kerja lagi kesawah”. Kemudian aku pun makan dengan nasi putih, lauk pauknya hanya asam dan gara serta ada satu biji tomat kemudian aku sendiri yang membuat sambalnya. Kalau hidupnya orang miskin apa saja enak dan cara dapatnya pun halal. Tapi kalau orang kaya yang sering sombong dan perlakuan tidak baik terhadap sesama apalagi hanya melihat begitu saja orang miskin di kampung kemudian di olok – olok maka mereka lebih parah makan dan minumnya bahkan dalam agama Islam lebih katakan perusak atau pendusta agama Islam.

Hari – hari berikutnya aku melewati ujian nasional EBTA – EBTANAS seperti hari sebelumnya, namun di hari pertama ada kesan yang sangat menyedihkan dan hari terakhir ujian ada pesan yang di sampaikan oleh ibu Idong, pesan itu pun sampai saat ini aku ingat dan itu tidak pernah hilang dalam ingatan ku. Sangat membuat aku hidup sampai sekarang dan itu adalah ilmu yang sangat berharga selama aku sekolah dan kuliah. Pesan Ibu idong pada hari terakhir ujian ku, kurang lebih beliau berkata begini “Anak – anak ku sekalian, kalian lah generasi masyarakat, bangsa dan Negara yang akan dating, siapa diantara kita yang tahan akan sakitnya kehidupan baik karena kemiskinan maupun di sebabkan oleh maslah – masalah yang ada, itu semua adalah pelajaran yang harus kita ambil, karena pelajaran itu adalah sebuah ilmu yang tak pernah akan hilang di benak kita semua, maka anak – anak ku belajarlah lebih giat lagi, semoga kalian menjadi orang bukan manusia yang sedia kalanya berbuat jelek, mari kita senantiasa mengambil pelajaran dalam hidup keseharian kita, jangan terlena dengan segerombolan preman yang suka mabuk mabukkan di jalanan, karena di pundak kalianlah sebuah masa depan gemilang”. Saat ibu idong menasehati kita, mungkin aku adalah orang yang paling memperhatikan dan memaknai perkataannya, karena apa yang di ucapkan sesungguhnya di alami oleh keluarga besar ku selama ini.

Dengan nasehat Ibu Idong, sesungguhnya menjadi amunisi yang begitu kuat dalam batin ku untuk selalu bersemangat mengejar cita – cita ku sampai setinggi langit. Hati ku dari dulu hingga sekarang selalu mengatakan “aku tidak akan berhenti untuk bersekolah dan menuntut ilmu, apapun kondisinya entah miskin apalagi kaya”, ternyata apa yang aku hayati selama ini sambil belajar dan baca buku serta diskusi bahwa apa yang di sampaikan oleh ibu idong itu dengan apa yang di sampaikan oleh aristoteles seorang ilmuwan dari eropa dengan COGITO ERGO SUM (saya berfikir – saya ada), kemudian setelah besar ini pun saya berfikir bahwa melawan arus kehidupan yang hegemonik kemudian mengakibatkan kemiskinan, maka saya di tuntut harus bisa confident dan eksis dengan membangun jaringan kemanusiaan di mana – mana. Apalagi dengan lahirnya teori shaffan yang saya prakarsai bahwa memang manusia itu harus memiliki pilar – pilar kehidupan yang kuat sebagai bentuk kesadaran hakiki, pilar – pilar tersebut adalah kesadaran tauhid, kesadaran iqranisasi, kesadaran majelis dan kesadaran keislaman. Dari keempat kesadaran inilah yang membuat saya dewasa dalam berfikir bahwa ternyata manusia bukan menginginkan akherat, Tuhan, kekayaan, mati, dan lain sebagainya, akan tetapi manusia hanya satu yang dinginkannya yakni kehidupan yang bahagia dan damai karena Tuhan menciptakan dunia dan akherat maupun surga dan neraka adalah sebuah konsekwensi yang harus di terimah.

Bahkan nasehat ibu idong aku salin dalam sebuah kertas yang tidak begitu besar dan kertas itu berwarna biru, hijau, putih kekuning – kuningan. Aku tulis maknanya dengan bahasa ku sendiri saat itu, penulisan nasehat idong itu ketika aku belajar di hamparan tumpukan padi yang telah di sabit sebelumnya dan ada juga yang belum di sabit (masih berdiri), tulisan itu pun mengikis sebuah keegoisan jiwa ku untuk selalu belajar bersama alam dengan penghayatan yang sangat ku kagumi, dengan kekaguman akan alam Tuhan yang begitu luas hamparannya dan di penuhi dengan rahmatnya kepada manusia, sambil aku membaca buku kimia dan IPS setingkat sekolah pertama karena saat itu aku sudah di daftarkan oleh bapak ku di MTsN Empang, di situlah aku membumikan sebuah nasehat idong yang semakin aku membaca buku, nasehat itu pun semakin mengalir dalam desiran nalar fikir ku yang kemudian menimbulkan rangsangan fikiran yang begitu kuat, akhirnya aku menulis kembali nasehat itu dengan tujuan agar aku tak melupakannya yang aku tulis dalam bahasa ku sendiri “Ibu ku Idong yang baik, ibu telah membuka wahana berfikir ku untuk menjangkau dan menjengkalkan dunia ini dengan tangan ku sendiri, ibu telah memberikan suntikan semangat yang selalu bergelora dalam urat dan nadi ku untuk senantiasa berjuangan demi kehidupan yang bahagia, ibu telah mengeluarkan ku dari kesedihan yang selama ini aku langkahi, dengan nasehat mu, optimisme pun selalu berada dalam gengaman tangan ku yang setiap waktu, detik, menit, jam selalu aku ulang membacanya sebagai pengobat hati yang sedang kacau karena tekanan kemiskinan yang akhirnya meragukan cita – cita ku untuk sekolah”. Nasehat itulah telah membuat ku berani mengambil sikap dan tindakan untuk sekolah terus menerus dan berani pula melawan kemapanan berfikir seorang tuan tanah yang selalu sombong dan angkuh.

Lambat laun aku mulai mengenal bagaimana kerasnya dinamika kehidupan yang selalu menghempaskan nafas para petani, pedagang asongan, para pengendali gerobak, tukang dan kuli bangunan yang sehari-hari mereka tanpa ada gaji, mereka mencari sendiri, terkadang tidak mendapat uang saku untuk keluarganya setiap hari, mereka hanya bekerja dengan hati yang ikhlas serta berharap diberikan oleh pemiliki sawah atau yang menyuruhnya bekerja hanya sekedarnya saja tanpa ada permintaan tawar menawar. Dari generasi ke generasi seperti itu, aku telah merasakan dinamika itu. Apalagi di saat bekerja, tidak mengenal isu kenegaraan, tidak mendengar para pejabat korupsi, mereka hanya bisa berpasrah diri akan ketertindasan para pejabat dan pemimpin negaranya, namun sekarang mereka sudah cerdas dan pintar dalam mengambil sikap, mungkin karena mereka terus menerus di tindas oleh system negaranya sendiri, bagaimana tidak sertiap para pejabat maupun orang kaya sendiri ketika mereka mencoba menjadi calon legislatif atau calon presiden, para tim suksesnya berjalan ke seluruh perkampuangan menawarkan program dan uang saku kepada warga kampung yang termasuk pemilih. Warga berpendapat ini hak kami kalau di berikan, tapi kami belum tentu memilih mereka,,, toh mereka kalau jadi anggota dewan tidak akan memperhatikann kami semua. Bergitulah logika masyarakat kampung, padahal siapapun yang member dan menerima termasuk korupsi juga.

Tidak bisa di pungkiri dengan nasib kehidupan yang amat pedih, di kampung itu hanya berkuasa tuan tanah, akan tetapi aku tidak berhenti memberikan support kepada seluruh pemuda kampung terutama keluarga ku untuk selalu sekolah dan menuntut ilmu. Di satu saat kami berkumpul semua keluarga sehabis lebaran idul fitri, ketika itu banyak orang kampung berpendapat bahwa bersekolah itu bentuk penghabisan uang dan terkadang mereka selalu memfitnah keluarga kami dengan mengatakan “semua anaknya sekolah, tai yang keluar besok akan keluar sekarang”, bahasa ini membuat aku sangat terpukul, aku berfikir mungkin mereka belum tau nikmatnya menuntut ilmu sampai kenegeri manapun, aku selalu menasehati orang tua ku dan sanak saudara ku kewajiban berilmu adalah nomor satu sedangkan kewajiban nomor dua adalah beragama. Aku melanjutkan pembicaraan kepada bapak ku “Ua harus di ingat bahwa ilmu tanpa agama dan agama tanpa ilmu menjadi buta”. Jadi sekarang ini harus ada dari keluarga kita yang pergi sekolah tanpa biaya siapa pun dan dukungan siapa pun, karena sikap itu yang akan menolak semua fitnah orang, bahwa sebenarnya anak yang menuntut ilmu ke negeri manapun akan tetap di rahmati oleh Tuhan tanpa dukungan dan sokongan orang tuanya pun, dia akan selalu bisa, pada diri orang seperti ini akan di lihat sebuah keberhasilan yang gemilang. Di suatu pagi, matahari telah menyeruak ke atas, menyinari sudut rumah dan kehidupan kampung, pemuda pada keluar dari rumahnya berjalan hingga keluar jalan raya besar dan ketemu dengan tempat nongkrong yang biasa di pakai oleh anak – anak muda serta tua di situ. Tempat itu tepatnya depan rumah ku samping kiri jalan kalau dari arah timur, tempat nongkrong itu bernama nce bagedut. Di situlah berkumpul, di situ pula banyak cerita yang kami dapat, saat itu aku di tanya oleh natsir, sala satu teman kami duduk “yanto kamu mau sekolah”, jawab ku “aku harus sekolah”, natsir menlanjutkan pembicaraannya “kamu ngak usah sekolah, lebih baik kamu bertani dan beli tanah, itu lebih banyak uangnya, dari pada sekolah kamu mengeluarkan biaya terus tanpa ada pemasukkan yang tetap cdan membuat keluarga kamu tambah miskin”. Aku pun menyambut pembicaraannya natsir “aku harus sekolah, orang kampong di sinikan orang yang bertuan tanah dan memiliki banyak penghasilan untuk makan, kalau keluarga ku tidak tanah yang banyak seperti tuan tanah, semua keluarga ku harus menuntut ilmu, itu Tuhan yang mengatur rezeki kita, biar pun bertani serta banyak tanah kalau tidak ada rezeki dari tuhan maka miskin juga mereka”. Kemudian dia menjawab “ya betul Tuhan yang menentukan rezeki, tapi kita juga berusaha”, aku jawab dia belum selesai pembicaraannya “nah maka oleh karena itu, aku juga mau sekolah itu adalah usaha, biar Tuhan yang menentukan bisa apa ngaknya”. Natsir pun menyambut “Oke lah bro kamu harus membuktikannya ?”, “Ya aku harus buktikan bahwa keluarga kami dan semua saudara ku akan aku sekolahkan, dan harap di ingat aku kalau selesai sekolah tidak akan tinggal di kampung ini, aku akan tinggal dan mencari ilmu sebanyak – banyaknya ke negeri lain”. Natsir pun kaget ”Oya gitu, silah buktikan saya tunggu”. Semua teman kami bercerita di situ tercengang melihat diskusi kami berdua. Satu persatu mereka pergi dari situ,,, karena matahari juga telah meyeruak tinggi menyinari alam kampung, saat itu jam menunjukkan pukul 9. 21. Natsir pun bilang “terimah kasih ya, saya tunggu buktinya”, aku menjawabnya “oke boss..siap untuk di buktikan dan akan aku merubah semua penglihatan orang kepada ku bahwa semua keluarga bisa sekolah dan menuntut ilmu, bukan hanya tuan tanah yang bisa menyekolahkan keluarganya sendiri”. Aku mengatakan seperti itu kepada seorang natsir karena dia berasal dari keluarga tuan tanah, bahkan sangat dekat dengan tuan tanah atau keponakan tuan tanah Jonrus Zaman.

BONTO TARIANO
Saat itu, sekitar berumur 15 tahun, aku menemukan sebuah kertas majalah yang menceritakan kerajaan Sumbawa bala kuning, kertas majalah tersebut sudah sangat susah di baca karena orang tua ku menaruh kertas tersebut di atas alang – alang rumah, sementara alang – alang itu di penuhi tumpukan berbagai macam alat tradisional pembuat jajan dan juga kardus – kardus yang berisikan tumpukan buku – buku, selain itu juga ada rongsokan sepeda peninggalan bapak ku yang sering di pakai waktu produksi garam di padak dewa butil labuhan bontong. Di tempat itu lah aku menemukan secarik kertas itu yang mejelaskan tentang sejarah dan latar belakang kenapa bonto bisa ada sampai sekarang. Kertas itu pun sudah lusu, compang camping di tengah, samping kiri kanan, atas bawah di makan rayap dan tikus, tulisannya sudah terputus-putus, susah di baca, kalau di baca sangat perlu berfikir lama untuk mencari kata sambungnya. Kertas itu aku baca selama seperempat jam, kategori tidak lama, karena saat itu aku berfikir “ah kertas ini di buang aja, ngak ada gunanya”, tapi sempat aku baca seperdua halamannya, di sana tertera bahasa tulisan yang penuh dengan incunabula (tulisan yang penuh makna sejarah), tulisannya pun bertuliskan dengan tinta mesin tik (alat ngetik zaman bahula) yang menjelaskan bahwa “bonto dalam bahasa kerajaan dulu adalah sesuatu yang besar. Asal kalimat bonto yakni bon artinya besar dan to artinya penegasan, tegas, berani dan bijak. Itulah bahasa yang tertera dalam tulisan itu, lama sekali aku meresapi maksudnya karena tulisan dalam keadaan yang tidak baik kondisinya. Kemudian aku penasaran dan kurang yakin dengan interpretasi terhadap tulisan itu, lalu aku menlanjutkan investigasi ku ke berbagai teman – teman ku dan juga jajaran pemerintah serta orang tuaku, karena orang tua ku pernah menjadi kepala dusun bonto. Sementara kata Tariano merupakan rangkaian sejarah juga yang selama ini aku rekam jejaknya. Kata Tariano ini aku mengetahui klausulnya dari bren , karena bercerita kepada ku dengan mengatakan “hai kawan, daerah kita itu sekarang ini akan di resmikan menjadi kecamatan baru, kamu yanto sudah tau apa belum sih ?”, Aku menjawab “Wah asyik tuh kawan,,,daerah kami kan berpotensi untuk menjadi pusat perekonomian dan pengembangan budi daya laut”, maka karena itu, kamu harus rajin kuliah, jangan bolos karena organisasi terus, kamu itu jurusan ilmu pemerintahan, besok kalau pulang menjadi camat” kata si Bren…, kemudian aku ketawa ngakak “haha haha haha hahah…..aku kuliah bukan menjadi camat, tapi menjadi orang yang baik-baik”.

Kemudian aku melanjutkan pembicaraan ku “bentar dulu bro, kenapa mesti di namakan Tarano ?” si Bren pun menjawab “orang ini tambah lagi katro, kamu itu bro katro banget, masa ngak tau ?, “iya ngak tau bro ?” sontak aku menjawabnya sambil tersenyum ngekek. “Ah begini bro” katanya Bren “Bro sejarah tarano itu berasal dari kata tariano, kenapa asalnya seperti itu ?, karena pada masa kerajaan sumbawa dunung ana memperebutkan batas wilayahnya dengan kerajaan dompu bima. Aku pun bertanya “Bro hubungannya di mana dengan kalimat tariano ?”, “bentar dulu bro,,belum selesai pembicaraan ku, uda ngomong lho”, aku ngekek ketawa mencoba ngeledek si bren, tapi dia cepat-cepat melanjutkan pembicaraannya. “jadi hubungannya itu bro, kerajaan sumbawa itu berjalan ke wilayah timur kearah dompu bima, kemudian kerajaan sumbawa itu berhenti di tengah-tengah tanah lapang untuk melakukan penghadangan terhadap tentara penjajahan belanda dan tari ano itu merupakan sebuah tempat persinggahan para pedagang yang mau ke empang sambil menunggu matahari terbit. Tepatnya di wilayah tarano, raja sumbawa yang memimpin kerajaannya saat itu mengatakan “kita tari ano di sini’ (menunggu matahari terbit) kata Bren dalam menjelaskan sejarah tarano itu. Aku pun ngak mau kehilangan pertanyaan “bro kapan kamu tahu tentang hal itu ?”, “yah aku mengetahuinya karena aku selalu mengikuti perkembangan kecamatan tarano itu”. Penelusuran itu bisa terhitung sangat lama bertahun – tahun, setiap aku pulang ke rumah dari mataram ke bonto baru aku menanyakan lagi kepada para sespuh, namun bukan hanya di yang melakukan cari tau tentang sejarah wilayah tarano dan bonto itu, tapi investigasi ku melelahkan dari tahun ke tahun karena aku selama kuliah saat itu terhitung sangat jarang pulang, sehingga aku membuahkan hasil dalam investigasi itu.
Melihat penduduk kampung ku, mayoritas petani sangat sedikit pegawai, paling yang menjadi pegawai adalah para pendatang yang masuk dan berasal dari jawa, bali, Lombok dan bima. Kampung ku begitu plural yang terdiri dari berbagai macam budaya, namun budaya yang masuk harus menyesuaikan diri dengan budaya kampung ku. Dua nama wilayah ini antara bonto dan tariano adalah bisa di bilang memiliki relasi yang sangat kuat, aku dulu di ceritakan sama bapak ku bahwa bonto ini merupakan tempat perlawanan tentara jepang dan belanda yang masuk menjajah rakyat Indonesia khususnya samawa saat itu.

Bahkan pada suatu hari, tepatnya jam 14.00 siang itu, aku dan bapak ku berjalan pergi ke tambak dimana tempat pemeliharaan ikan bandeng ku, tambak ku tidak jauh dari tempat base came tentara jepang atau belanda untuk melaksanakan pertempuran dengan para gerilyawan rakyat. Kira – kira jauh dari tambak ke tempat base came itu, berjarak 3 kilo meter, sementara kalau jalan dari kampong yakni rumahku ke tambak ku itu, berjarak sekitar 9-10 kilo meter, sesampai di tempat wilayah base came tentara jepang maupun belanda saat itu, bapak ku bercerita “Nak yanto, disini tempat berkumpulnya tentara jepang dan belanda dulu, tapi mereka pisah tempat namun satu wilayah”. Kemudian aku bertanya kepada bapak ku “Ua, apa saja yang di berikan oleh jepang kepada rakyat sumawa terutama yang di sini”, “oh….oh….Jepang itu paling kurang ajar tuh, waktu itu jepang menjajah seperti kita ini hanya untuk mengambil rempah-rempah dan tanaman kita seperti padi dan palawija, kalau dulukan daerah ini terkenal dengan penghasilannnya” jawab bapak ku. Tapi aku tidak sampai di situ bertanya kepada bapak ku sambil berjalan “Ua,,,kemudian bagaimana caranya rakyat bonto dulu melawan tentara jepang atau belanda, sehingga sampai menyerah”. Bapak ku langsung menjawabnya “wah, dulu para orang tua kami dan kakek-kakek kami dulu, cara melawan jepang itu, adalah mencuri senjatanya, bahan makanannya, biasanya ada diantara rakyat samawa yang di jadikan ajudan, maka kami coba melalui dia untuk memberikan senjata kepada kami, kami pun tidak berhenti melakukan perlawanan terhadap tentara jepang, bahkan sampai banyak yang meninggal, karena jepang saat itu memberlakukan kerja rodi (tanam paksa), di situlah penyiksaan rakyat saadt itu”.
Di tengah keseriusan diskusi sambil berjalan dengan bapak ku, sontak dan spontan ada suara orang sedang mengejar babi yang memakan semua tanaman di sekitar sawah tempat kami berjalan, karena di sawah itu di Tanami ubi jalan. Suara itu semakin keras dan mendekati kita, bapak ku bilang “awas,,awas,,,awas yanto” cepat cari pohon kelapa. Aku pun berlari dengan cepat naiki pohon kelapa itu, kira-kira 10 meter keatas pohon kelapa tersebut sambil bersorak. Ternyata babi yang di kejar itu berhenti di bawah pohon kelapa yang aku naiki itu, babi itu melirik kesana kemari, aku pun diatas pohon kelapa diam tidak bisa bersorak karena takut, babi itu berhenti karena sudah di hadang oleh semua orang untuk di bunuh, babi itu mencoba menerabas barisan para pemburu, setelah babi itu lari baru aku berani sorak “yuai…yuai..yuai…yu. yu..yu..yu..”babi itupun di hadang dan di kejar anjing para pemburu,,,,gung…gung…gungungungung….gunguuuuuuuuuuuunng, suara anjing meraung mencari sebuah mangsa untuk melahapnya, aku tambah takut diatas pohon kelapa itu. Akhirnya babi itu mati di tangan pemburu di tengah sawah-sawah para pemburu tersebut. Aku pun belum berani turun, setelah datang bapak ku “nak yanto turun sudah babinya sudah mati di bunuh para pemburu”, oh..oh ye ua, saya turun, setelah sampai di bawah “aduh syukur Alhamdulillah babinya sudah mati”, dengan nafas yang tersengal-sengal, habis naik kelapa sangat mudah, mungkin karena di gandrungi oleh rasa takut, akan tetapi waktu turunnya sangat susah karena harus menahan dan menjepit pohon kelapa yang besar itu.

Perjalanan berlanjut ke tempat peternak ikan yakni tambak ikan bandeng yang ikannya masih berumur dua setengah bulan. Dalam perjalanan, aku bertanya kepada bapak ku “apakah babi yang lain juga tidak masuk ke tambak untuk makan ikan Ua”, biasanya malam – malam itu ada, tapi sering di sorakin aja pasti dia lari. Wah dalam hatiku mudah – mudahan Ua tidak menyuruhku untuk menjaga tambak malam ini, apalagi arung yang beratap taran ini, kalau hujan pasti kita basah karena atapnya tidak tebal.
Nah, aku punya ide sekarang…?.

“Begini aja,,,,aku ajak Ua diskusi lagi tentang sejarah yang sempat tertinggal karena ada kasus babi tadi itu. Wah ini ide cemerlang ku, agar Ua lupa untuk menyuruhku tidur di tempat ini untuk menjaga tambak”.
Aku pun mulai berdiskusi yang diawali dengan “Ua bagaimana sebenarnya desa kita itu, apakah bonto di bangun dulu dari keluarga dan keturunan yang satu ya ?”, kampung kita itu berasal dari keluarga satu dan nenek moyang satu, namun kalau pindah ke bonto pasti masing-masing membawa keluarga, entah itu satu dua orang atau lebih dan lebih sering juga adanya perkawinan antar keluarga yang saling di jodohkan oleh orang tuanya sendiri, sehingga tidak kemana-mana. Maka oleh karena itulah bonto itu di kenal dengan satu keluarga, satu kerabat dan satu pertalian darah. Dulu Bonto itu terkenal dengan berbagai ilmu mistiknya, termasuk nenek dan kakek aku, baik itu keluarga dari bapak maupun Ibu juga. Rata-rata bonto itu masyarakatnya serba tertutup dengan segala bentuk perubahan dan sangat lama untuk beradaptasi dengan berbagai perkembangan, sehingga bonto itu terkesan terlambat dalam segala hal yang menjadi kebutuhan masyarakatnya. Bonto Tariano sebenarnya memiliki banyak potensi yang bisa di kembangkan sebagai tempat perekonomian dan sebelumnya pun telah banyak pedagang yang mencoba melakukan barter di Tariano itu. Sebenarnya sejarah seperti ini tidak boleh hilang dalam konteks kulturnya sehingga perekonomian Bonto Tariano itu menjadi lebih baik adanya.

“Ua, dulu semua orang di kampong itu memiliki banyak tanah ya ?”. bapak ku menjawab “ya di kampung itu rata-rata semua memiliki banyak tanah, kerbau, kuda, sapi dan lain sebagainya, namun generasi keluarga mereka sangat jarang yang mau menuntut ilmu seperti kita sekarang ini. “Kenapa mereka begitu Ua ?, ya karena mereka selalu sayang terhadap harta bendanya. Ketika bapak ku ngomong seperti itu, aku teringat dengan perkataan seorang yang bergaya ustad dan sering memakai songkok hitam sholatnya ketika jalan dan dia sering memakai sarung yang berwarna merah cammpur merah putih kuning, dan dia pun sering memakai baju putih lengan panjang. Rupanya kulit orang itu adalah kuning langsat yang kelihatannya sangat bersih. Dia itu masih ada pertalian hubungan darah dengan bapak ku dan aku sendiri, pavoritnya dia adalah sepupu ku, namanya panggilannya Abek, akan tetapi nama sebenarnya adalah Muhammad. Saat itu ketemu dengan aku pada waktu pagi kira-kira jam setengah enam dan dia pun saat itu turun dari masjid Al Falah Bonto. Dia berkata kepada ku :

Abek “kamu dari mana pagi-pagi ?,
Aku menjawab “berentok pang orong“.
Abek “kuda rua siup-siup mole mo ?.
Aku menjawabnya lagi dengan nada agak keras “ya ku sekolah kak Abek e”.
Haa..haa kamu yanto mau sekolah……..eee..e kau ne man sekolah sasakit bapak ke ina mu, kau nopoda gantama, sekolah ne tu saboe uang baesi, nda boat-boat”. Saat itu aku sangat sedih dan menangis rasanya dalam hati ketika orang tua ku berusaha menyekolahkan anaknya semua, padahal kalau di pikirkan bahwa toh bukan duit mereka yang di habiskan untuk sekolah semua saudara-saudara ku. Dengan ingatan seperti itu, aku cerita kepada bapak ku. Namun bapak ku awalnya sedih ketika aku melihatnya, raut mukanya begitu mengerut ketika aku ceritakan, karena sudah banyak orang yang menganggap bapak ku orang untuk meyekolahkan anaknya semua. Akan tetapi di tengah kesedihan ku, aku pun melihat bapak ku yang kedua kalinya, bapak ku kembali memperlihatkan raut wajah dan mukanya yang berseri-seri sambil berkata “Nak yanto, biarkan mereka ngomong seperti itu, dunia ini akan berubah dan bukan begini saja, kalau kalian tidak sekolah, besok mau jadi apa”. Perasaan ku sangat lega, artinya aku bisa meraih cita-cita ku dengan tangan dan keringat ku sendiri, kalau pun orang tuaku tidak mampu meyekolahkan aku besok aku pasti akan berjuang sendiri untuk terus menuntut ilmu, karena memang sangat betul kata bapak ku, kalau aku tidak sekolah maka aku akan ketinggalan kereta dengan teman-teman ku. Jadi Nak yanto begitulah karakter semua orang di kampong jarang ada yang mau sekolah seperti kita ini, wajar mereka seperti itu karena mereka banyak uang, harta benda dan lain sebagainya. Kalau kita tidak memiliki apa-apa, yang kita miliki hanya semangat untuk berilmu. Itu nasehat sekaligus secercah harapan bapak ku kepada semua anaknya agar kelak nanti bisa menjadi orang yang berani, bijak, pemimpin dan tidak mudah terpengaruh oleh ajakan orang lain kepada hal-hal yang mungkar.

Memang bonto tariano dulu samapi sekarang memiliki penyakit akut yang sangat luar biasa baik di lihat dari masyarakatnya maupun kondisi cultural yang ada. Mengapa seperti itu, karena dari berbagai perkembangan kehidupan yang selama ini terjadi, masyarakat bonto sangat jarang memiliki inisiatif untuk menjemput sebuah perubahannya, apalagi dalam konteks pemudanya kebanyakan penganggur dan tidak memiliki pendapatan yang rill. Penghasilan pemuda biasa hanya waktu panen padi yang secara rutin pergi meyinggu gabah dan menjadi buruh angkutan padi dari sawah kesawah dan ada juga pemuda yang lebih bagus dengan mencari rejeki lewat laut atau mencari ikan dengan lanra. Keterbelakangan dalam segala hal, tak membuat kampung ku berkembang, hanya saja bonto untuk sementara waktu menjadi pusat ibu kota kecamatan yang tentunya satu saat akan berpindah ke desa ampu labuhan aji.
Tak lama kemudian, selesai saya diskusi dengan bapak ku. Akhirnya bapak ku mengajak pulang, tidak jadi menyuruh ku untuk menjaga tambak malam itu. Hari sudah sore jam menunjukkan pukul 17.00. Sore itu kami berdua berjalan begitu cepat karena, kami mengejar waktu untuk sampai rumah sekitar sebelum magrib, karena kalau lebih dari waktu magrib sampai rumah maka kami berdua sama bapak tidak bisa sholat magrib berjamaah di rumah. Kami berjalan terus saat itu, sampailah di sebuah lapangan bola yang selama ini di persengketakan oleh warga yang mengklaim bahwa lapangan itu tanahnya, padahal lapangan itu sudah dari zaman datu pale semit ada yang di wakafkan oleh pemilik tanah. Namun mereka yang mengklaim tanah ini sebenarnya, karena masalah sepele yakni di sebabkan kekalahan dalam bursa pencalonan kepala desa. Saat itu bursa calon kepala desa di menangkan oleh bapak Usman Mustapa seorang yang termasuk tokoh muda yang bervisi bagus, akan tetapi banyak juga kelemahannya dalam memimpin deso bonto. Kemenangan itu karena dianggap oleh masyarakat mampu memobilisir seluruh potensi perubahan dan memiliki daya tarik dalam kepemimpinannya.

Dalam persengketaan lapangan itu, bapak ku juga orang yang paling terdepan menjadi saksi atas pewakafan tanah itu, karena waktu dulu saat lapangan itu di wakafkan, bapak ku menjadi pengurus club bola di kampong ku, jadi sedikit banyaknya bapak ku sangat tahu akan hal itu. Namun bagi ku tidak habis pikir dari anak kecil sampai usia lanjut, bahkan ada yang sampai mau menceraikan istrinya karena membela sala satu calon kepala desa yang kalah. Hal ini sangat terasa bagi ku, begitulah dagelan politik orang kampung, bahkan tokoh-tokoh besar sekalipun dalam politik tetap bermain seperti setan yang terkena air panas berlagak marah dan blagcampaign serta memobolisasi massa untuk melakukan kerusakan seperti banyak studi kasus di dalam pemilukada setiap daerah.

Dari berbagai perkembangan yang ada sekarang ini, orang-orang kampung sudah bisa mengenal bagaimana proses berpolitik yang sopan, mereka belajar dari situasi dan kondisi yang mereka ciptakan sendiri tanpa bercermin terhadap proses pengalaman orang lain pula. Contoh misalnya waktu seorang Jufri Yusman menjadi caleg dari PKS dapilnya termasuk Bonto, karena selama dia di kampung menjadi guru mengaji para anak kecil dalam sebuah intitusi yang namanya TPA, saat itu dia mencalonkan diri menjadi legislatif, batyak orang yang mendukung karena di lihat keustadzannya, baik, jujur dan bijak. Namun ternyata sangat meleset dari perkiraan para warga kampong. Setelah dia naik menjadi anggota dewan dan terpilih dari dapilnya, dia pun balik paku dengan tidak pernah melihat warga kampung bonto lagi. Karena prinsipnya Jufri sudah berada diatas kursi dewan dan berbahagia hidupnya sementara warga kampong yang memilihnya tetap berharap kesejahteraan dari kebijakan yang akan dia turunkan ke warha kampong ku. Inilah studi kasus yang bisa kita petik dari proses politik masyarakat kampung tidak pandai melihat orang untuk perwakilannya, padahal saat itu ada orang kampong juga yang mencalonkan diri menjadi wakil rakyat di DPRD Sumbawa, masyarakat tidak memilihnya….wah..wah… ….wah. sangat fenomenal, memang tidak cerdas melihat siapa yang akan mewakili dan mampu memberikan kesejahteraan kepadanya.

Saat itu aku bertemu dengan nce maruf, kita pun berdiskusi di rumahnya……..
“Nce bagai potensi kepala sman ?”
“Sangat sedikit peluang untuk menang”
“kenapa, begitu ?”…
“karena ada Ustad Jufri, yang menghalanggi suaranya”
“kok bisa nce, jufri itukan orang jawa yang baru masuk, toh kalau jadi anggota dewan tidak menetap lagi dibonto ini”
Aku melanjutkan pembicaraan “nce hanya kepala sman yang bisa kita handalkan untuk membangun desa kita, kalau dia naik enak kita tagih, kita datangi rumahnya,,,toh selama ini juga bergaul sama kita…kok susah amat sih orang bonto ini”.
Memang konstelasi politik saat itu memanas di kampong karena antara PDIP dan PKS tidak berada dalam partai koalisi baik dari pusat hingga ke ranting. Mengapa karena calon presidennnya saat itu bersaing antara megawati, Amin Rais dan SBY. Jadi masing-masing mereka membawa visi dan platform partainya, sehingga tegangan dalam pemilu legislatif dan presiden tahun 2004 itu semakin nyata dalam drama dagelan politik para tikus berdasi yang tak punya rasa malu sama sekali.

Kembali ke cerita awal, angan-angan akan konflik lapangan antar kampong dan pelajaran berharga yang di tunjukkan oleh seorang Jufri Yusman ketika menjadi anggoda DPRD Sumbawa Besar yang tidak pernah memperhatikan warga kampong sebagai konstituennya. Angan – angan itu begitu menyedihkan rasanya di tengah perjalanan dari tambak menunju rumah. Kemudian aku keluar dari lapangan itu, dengan mulai masuk lorong gang-gang kampung bonto, tak ayal lagi ketika aku mengangkat kepala, tiba-tiba seorang teman menyapa ku yakni Rival yang sekarang dia menjadi polisi di sebuah daerah di hulu pulau moyo yaitu lantung yang letak posisinya sangat pedalaman.

Rival menyapa ku ….
“Yanto dari mana ?”
“Dari Tambak Bos”
“e,,Bos itu di betisnya ada lintah panjang banget tuh, nempel”
“Aku pun jingkrak-jingkrak, mana..mana….mana….mana Rival, O,,yah. Tolong rival di cabut”
“Cabut aja sendiri”. Kata Rival sambil tertawa terbaha-bahak kayak ma’lampir.
Rival tidak berhenti ketawa, sampai aku mau gosok betis ku ke benteng . Rival pun nyahut …
“Jangan-jangan gosok di benteng, ntar betis mu luka nanti, mana sini aku jepit pake kyu untuk menarik lintahnya biar segera pergi”
Saat di tarik sama Rival aku pun memejamkan mata karena aku tidak ingin melihat lintah yang sudah banyak menghisap darahku, semenjak dari tambak sampai kedepan rumahnya Rival.
“Wah yanto,,mungkin sudah habis darah mu di hisap sama lintah itu, waduh nanti segera kerumah sakit atau puskesmas siapa tau nanti kehabisan darah….Hahahahaha haahaaaaaaaaahhahha.
Rival tertawa terbahak-bahak, melihat aku pucat juga karena lintah, gi mana tidak tidak takut, lintah yang mirip hewan yang di film nanimal world itu yang tiba-tiba keluar dari tanah untuk memakan orang. Ihihihihihihihihi, sambil terkituk-kituk.
“Bos bagaimana dengan acara kita besok ahad itu, siapa-siapa saja yang pergi ?’ Aku bertanya kepada Rival.
“O..yah jadi acaranya, kita berangkat ke jemplung dan ketapang itu sama teman-teman juga sih,,ada Sharon, Yanto, Aron, James, Salum, Luken, Goes dan Joes.
“Oh Githu yah..Oke-Oke kawan”. Aku menjawabnya
“Syaratnya apa saja Rival ?”
“Syaratnya banyak, Insya Allah ntar malam kita ngumpul bareng yah”
“Di mana kita ngumpul Bos ?”
“Di Rumahnya James aja Yanto”
“Oke Bosssss..brengsek”
“Siiip, saya jalan pulang dulu yah”
“Ya Yanto”
“Assalamualaikum….”
“Eh tau aja salam lho, kayak ustad aja,,, padahal……..he he he he ?”
Saat itu aku mengucapkan salam sambil berjalan menuju rumah dari tempat pemberhentian depan rumahnya Rival teman ku itu. Waktu aku berjalan sudah magrib, bapak ku sudah meluncur duluan ke rumah sementara aku masih berbicara sama Rival. Aku memutuskan pulang dan berjalan itu, karena jam sudah menunjukkan puku 18:45, waktu dimana kita sebagai umat Islam untuk melaksanakan kewajiban kita kepada Tuhan yakni sholat dan beribadah.

“Sesampai di depan rumah, Aku di sambut oleh seorang cewe yang saat itu aku belum tau namanya”. Cewe itu begitu mempesona dan anggun sepertinya menyejukkan hati. Tak lama aku melihat cewe itu yang kemudian di sebelahnya ada kakak Rohani. Tapi cewe itu melihat aku berlalu sambil aku loncat dari selokan, karena palete yang ada di depan rumah itu rusak. Cewe itu tetap melihat ku sambil berkata…!!!!
“Bibi Roh Cowu mone ma nee ese ruma ka ..?.
“Weee..tode ta sodo sabela, no to to paman….?
“OOO…itu paman tadi..yang ke berapa bibi ?.
“Yang ketiga”. Kakak Rohani menjawabnya.
“Namanya siapa Bibi Roh….?
“Yanto Sagarino”
Aku pun tetap memanjat tangga rumah, sambil mendengarkan cewe itu berbicara dan bertanya kepada kakak Rohani. Sesampai diatas rumah aku bertemu dengan Ibu, aku pun ngak sabar untuk bertanya kepada tentang propile cewe itu. Aku penasaran banget sama dia, karena dia cantik dan menawan.
“Ma..Siapa cewe di bawah rumah yang sama kakak Roh itu ?”
“Cewe yang mana” …?
“Tadi itu tanya saya ke kakak Roh, siapa itu katanya, dia bahasa bima Ma”
“O, Dewi..itu anaknya kak Mala yang di dompu, Dewi itu cucunya Ma”
“Aaaa Aaaa…….Cucunya Ma, tumben kaji inggo papu sia nan rea,,padahal nopoda nantu e..”
“Tak lama kemudian Dewi pun naik keatas rumah, dengan semangat, sambil ngomong dan memanggil “nenek umi – nenek umi sampai beberapa kali”
“Kemudian ibuku pun menjawab “Iyo..Dewi, au nganggo sorak-sorak, nuntu dou toi”
“Nenek Umi sekarang saya mau pulang ke Dompu, sudah ada bus Jawa Baru”
“Ibu pun menyambut …..Kenapa kamu cepat pulang, baru kemaren kamu dating”
“Sudah di suru cepat pulang sama Ibu di Dompu”
“Emang kamu ngak di ketahui dan ngak minta ijin dulu ke sini … Dewi ?
“Ngak minta ijin nenek Umi, dating diam – diam”.
Dewi pun mulai turun dari atas rumah, untuk mulai perjalanan pulangnya dengan Bus Jawa Baru.. sambil berbalik dan mengatakan di bawah rumah….da da da da da da da da da semuanya…nais..nais kemai wali.

Ibu pun masuk lagi kedalam setelah mengantarkan kepergian sang Dewi menuju kampong halamannya. Karena itu segera melanjutkan pekerjaannya yakni pembuatan jajan mpaye, renggi dan tepung basa. Ibu ku membuat jajan adalah untuk bersedekah pada hari jum’at besoknya dengan berbagai acara yakni zikir, tahlil dan tahmid serta baca doa, acara tersebut bertujuan untuk beribadah kepada Allah, selain itu juga agar memudahkan rezeki. Mungkin wajar seperti ini ritual ibadah orang tuaku karena memang orang tua ku sangat percaya dengan mistikasi.

STUDI YANG DI FITNAH
Sebuah kondisi kehidupan yang tak pernah berpihak sedikit pun untuk ku, kondisi itu membuat ku penuh dengan rasa sakit, otak terasa pening, sepertinya di rongga pembulu darah ada berjalan sebuah kotoran darah yang akan menerjang ku untuk melakukan hal-hal yang tidak senonoh. Mata ku sudah seperti tidak baik lagi, apalagi sudah dari awal seperti itu, perasaan ku begitu tergilas dan menyedihkan. Rasa hidup ini sudah terperosok kedalam lubah penistaan yang begitu besar sehingga menyebabkan aaku dan keluarga ku kolap dalam status kemiskinan sejati. Perasaan pun bertambah sedih ketika itu, aku melihat seorang perempuan yang sedang pulang dari tempat menuntut ilmunya, yakni teman ku, dia waktu SD berada setingkat dengan ku. Akan tetapi waktu Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah kita selalu bersama-sama pergi dan pulang sekolah dan dia juga masih setingkat di atas ku. Nama teman ku itu adalah Murniati. Karena dia teman ku waktu sekolah dan dia sat itu baru pulang kira-kira sudah sehari berada di kampong, kemudian aku bertemu dengan dia di sebuah jalan besar, tujuan murni aku tidak tau, karena dia berjalan kearah barat. Namun saat itu aku berusaha menegurnya.

“Murni,,,kapan pulangnya ?.” Aku berhenti sejenak, murni pun terus saja berjalan tanpa menghiraukan pertanyaan ku. Hati ku berkata “kok begitu sombongnya kamu, baru saja kuliah di mataram, laga dan sikap sama temannya seperti itu. Ah peduli amat, tunggu aja aku kuliah seperti kamu” begitu hati ku berbicara. Tapi perasaan ku tetap tidak tenang kenapa sikap murni seperti itu. Ternyata begitulah sikap anak kota kalau pulang kampung, gayanya seperti kehilangan naluri bahwa mereka juga seorang petani dan buruh jalanan dalam mencari nafkah. Itulah awal aku menumbuhkan semangat lagi untuk kuliah atau studi lajut ke perguruan tinggi. Aku pun berjalan kearah rumah dan naik tangga sambil berfikir “apakah aku akan menjadi seorang petani selamanya yang selalu di hina oleh semua orang dan dianggap orang yang tak beres”. Semangat untuk kuliah tidak pernah pudar karena selama ini aku sudah muak dengan kondisi lingkungan kampong yang tidak bersahaja lagi. Maka aku harus memutuskan untuk kuliah.

Awalnya aku sampaikan kepada bapak ku ……….
“Ua, aku ingin kuliah…?”.
“Ya ..kamu kuliah besok,,tapi tunggu selesai kakak Tari mu, kuliah di Mataram ?”
Aku membayangkan kapan selesainya, yang aku fikirkan saat diskusi dengan bapak ku adalah bahwa tempat kuliah kakak ku itu tidak mengantonggi ijin perkuliahan dan penyelanggaraan perguruan tinggi, dan saat itu juga sudah aku bayangkan serta memperhitungkan matang-matang bahwa seandainya aku menunggu kakak Tari selesai kuliah, maka aku akan ketinggalan dan bahkan tidak bisa melanjutkan perkuliahan. Mengapa seperti itu, karena memang selesainya kakak Tari itu sekitar tahun 2006. Aku fikir ini waktu sangat lama. Maka aku putuskan bahwa kalaupun saya berontak untuk kuliah dan orang tua tidak mengijinkan dengan alasan tidak mampu keuangannya, aku akan tetap pergi kuliah walaupun cari sendiri. Niat ku itu, saya sampaikan ke orang tua ku, tapi mereka ngomong……..

“Bagaimana kamu mau biaya sendiri, kamu nekad mau kuliah tapi kemampuan kita tidak ada”
“Bukan begitu Ma Ua,, coba di fikirkan sekali lagi, seandainya Tari selesai lama, misalnya tahun 2005, maka saya akan tertinggal jauh dan fikiran saya semakin terbebani”
“terbebani apanya ?’ Ua dan Ma serempak menjawabnya…
“Ya terbebani karena saya ingin kuliah, kemudian terlama saya istirahat”
“Tidak jadi masalah kamu lama istirahad, asalkan kamu bantu dulu orang tua kamu mu di sawah dan menjadi petani dulu”
“Aku pun diam di situ..tidak komentar satu kata pun”
“kemudian aku bangun dari atas kursi kayu yang berwarna biru buatan lama, kira-kira umur kursi itu sudah puluhan tahun silam dan kelihatannya catnya sudah ketuaan dan kelupas dari kayunya. Setelah aku bangun dengan rasa hati yang sedih berduka dan bercampur perasaan semangat ingin menggapai cita-cita yakni ingin menuntut ilmu sebanyak-banyaknya. Hati ku semakin bergelora ingin melanjutkan pendidikan ku, sementara masa perdaftaran Perguruan Tinggi untuk mahasiswa baru mulai bulan agustus sampai september, yakni tiga bulan yang akan datang. Aku berfikir sejenak sambil turun dari rumah lewat tangga belakang rumah, karena kalau lewat pintu depan rumah pasti aku di tanya oleh kedua orang tua ku. Saat itulah aku mulai menanam rasa ketidakpercayaan terhadap pekerjaan menjadi petani, karena saya sangat merasakan bagaimana pahitnya dan getirnya menjadi petani, dari umur delapan tahun hingga besar dewasa tidak pernah luput dengan pekerjaan kantor sawah yakni menjadi petani. Baik dari semenjak belajar pikul noga sampai ranggala . Selain itu masih banyak sekali pekerjaan lain, biasanya pergi magar ke gempang dan orong agar tidak masuk babi, sapi, kuda dan kerbau kedalam sawah. Kemudian aku juga sering ke tambak omo dengan bapak ku untuk memperbesar slokan atau tempat ternak ikan bandeng. Memperbesar selokan tersebut biasanya pakai linggis dan skop, pekerjaan menggali tambak ini tidaklah mudah dan sangat melelahkan, tidak mengenal waktu hujan, panas dan angin. Aku setiap saat bekerja seperti itu, tanpa ada yang membuat banyak penghasilan dan bisa mengobati hatiku, ternyata semua pekerjaan itu yang sudah menyusahkan ku tidak membuahkan hasil banyak, hanya sekedarnya saja. Walaupun pekerjaan itu sangat melelahkan, tapi semangat untuk melanjutkan kuliah ku tetap berkobar bahkan aku kalau malam di rumah sendirian sering berhayal betapa indahnya dan tangguhnya orang berilmu. Terkadang khayalan itu yang membuat aku pusing dan kebablasan pusing sampai otak ku di benturkan dengan tiang tengah rumah panggung ku. Aku tidak tau saat itu mengapa semangat dan rasa ingin menggapai cita-cita ku semakin membara, dalam hati ku siapapun penghalang dalam menuntut ilmu itulah yang tidak menginginkan aku berhasil.

Suatu waktu tibalah saatnya aku pergi dari rumah dengan berbekal uang tujuh puluh lima ribu rupiah. Awal pelarian ku dari rumah ke Mataram bukan karena tidak suka menjadi orang petani atau tidak suka membantu orang tua, tapi aku berfikir lebih jauh bahwa seandainya aku tidak berilmu dan tidak pula di hargai oleh semua orang, yang jelas aku akan di pandang oleh semua orang sebagai orang yang bodoh serta akan ketinggalan dalam dunia pergulatan hidup. Begitu juga ke depannya, seandainya aku benar-benar menetap di kampung dan tidak lari dari tanah kelahiran ku maka aku termasuk orang yang paling tidak berguna, karena memang saat itu di kampung ku dalam realitasnya terjadi sebuah degradasi moral para generasi. Sikap aamoral yang ada di tingkat generasi kampung ku saat itu sangat tinggi dan aku ingin tidak mau terracuni oleh kondisi seperti itu. Satu saat, waktu siang menjelang sore hari, kalau tidak salah jam menunjukkan pukul 15.57, datang seorang perempuan yang besar dan gemuk, dia adalah seorang istri Pree Datu namanya Habibah, tujuan Ibu Habibah dating kerumahku adalah untuk memberikan secercah rejeki berupa panen padi di sawahnya.

“Umi dan Mail, Aku datang kesini untuk menawarkan kepada kalian, kalau besok bisa ngak kalian masuk di orong Papen Bere untuk nyinggu pade sekitar telu bangkat dan kira-kira bau sasudah seminggu si..apalagi kau peno dengan mu”. Penawaran Habibah ini menggiurkan bagi Ma dan Ua oleh karena pada prinsipnya untuk menyambung hidup keluarga yang sekian lama dalam kubangan kemiskinan dan ketertinggalan dalam segala hal dan ihwal perkembangan.
“Ema..menyambut baik penawaran Habibah itu, namun Ema meminta kesepakatan Ua lagi. Lalu Ema berkata kepada Ua “bagaimana Kak Mail bisa di kerjakan tiga petak padi di sawah Papen Bere itu ?.
“Ua pun menjawab “tergantung pertimbangan Yanto lagi, karena Yanto yang akan berperan untuk menyinggu padi itu, karena kalau kita sudah tidak kuat lagi. Aku sepertinya di hargai dalam mengambil keputusan untuk panen padi, sementara aku saat itu menjauh dari rumah karena memang aku tidak mau menjadi petani lagi. Aku pergi dari rumah dan menginap di rumah Sarmaji Syamsudin Saad di dalam kampung tepatnya di RT 07 dusun Bonto, pekerjaan ku sama Sarmaji Syamsudin Saad adalah pergi jarring ikan setiap hasri ke laut dengan memakai perahu buatan bapaknya Sarmaji Syamsudin Saad. Aku di rumah Sarmaji selama dua minggu kebih, karena kalau aku pulang kerumah rasanya teringat kata bapak dan ibu ku yang tidak menginjinkan aku kuliah. Ternyata waktu pulang dari laut yang seharian menangkap ikan, aku pergi mandi ke buin bulu dan di sela waktu mandi itu, Ibu Sarmaji namanya Sarifah pergi berdagang ikan hasil penangkapan itu kerumah, Ibu Sarmaji pun bercerita bahwa aku ada di rumahnya.
“O..ya...Umi…!!! Yanto ada di rumah sudah dua minggu lebih ?” kenapa dengan Yanto kok tidak mau pulang dan saya (Sarifah) menyuruhnya pulang, tapi yanto tidak mau.
“O gini kak Ifah (penggilan akrab Sarfah), kemaren itu di meminta untuk kuliah, kami tidak memberikan dia kuliah, karena yanto itu orangnya berfoya – foya dan kapal. Kata ibu ku ke Sarifah.

“Terus kenapa kalian tidak mau menyekolahkan anak kalian, coba anak saya seperti itu banyak kemauan pasti saya lanjutkan sampai jenjang yang paling tinggi. Kata Sarifah kepada Ibu ku, namun ibu ku memilih diam dari pada berkomentar lagi. Kemudian Ibu ku melanjutkan pembicaraan.
“Kak Ifah,,,berapa ikan jerejat ini ?
“Ambil sudah adik ku dengan apa aja, boleh dengan jagung, beras, uang kalau ada”, kata Ifah saat melakukan negosiasi harga ikan. Kemudian Ikan itu pun di tukarkan dengan beras dua kilo gram dengan banyaknya ikan bias di perkirakan sebesar empat jari telapak tangan yang berjumlah enam ekor.
Ibu ku pun melanjutkan pembicaraan kepada Sarifah bahwa “Kak Ifah suruh pulang Yanto itu karena besok mau masuk menyinggu padi kak Habibah pree Dadtu di sawahnya Papen Bere sana”
“Oke – oke nanti saya suruh pulang dan saya nasehati dulu, agar anakda Yanto mau pulang”, Itu saja Umi saya pamit dulu untuk menlanjutkan penjualan Ikan.
“Iyah ..kak Ifah……..hati – hati di jalan semoga tambah mulus rezekinya”.
“Iya adi, semoga saja seperti itu” Ifah pun berjalan turun dari rumah sambil berkata “ma beli Jangan ee – ma beli jangan ee - ma beli jangan ee – ma beli jangan ee……. Ifah pun berjalan dengan pelan –pelan sambil menjual ikannya.
Singkat cerita, Ikan Ifah habis di beli oleh semua orang kemudian Ifah pulang kerumahnya, sesampai di rumah, Ifah menegurku “Sudah makan anak ku”. Aku saat itu sudah pulang dari tempat permandian Buin Bulu dan sudah mengenakan baju bola berwarna merah hitam kuning bergaris dan celana lepis pendek yang sudah kusut berwarna agak kehijauan karena celananya sudah tua banget.
“Iye …Saya sudah makan”…!
Ifah pun naik ke atas rumahnya yang beranar batu , sambil meletakkan soan -nya dan setelah meletakkannya, kemudian Ifah memanggil ku…..”Yanto masuk ke dalam anak ku”. Kemudian aku bergegas masuk ke dalam, lalu aku duduk di samping.
“Sebaiknya kita duduk di luar aja”.
“Iya… Eya Ifah Lalu aku kembali keluar duduk diatas kursi yang berwarna hijau yang terbuat dari plastik”.
“Ifah pun memulai pembicaraannya.
“Begini, nak yanto,,lebih baik kamu pulang kerumah, karena saya tadi kerumah ibu kamu membawa ikan, dan ibu kamu bercerita kepada Eya Ifah. Kebetulan besok kamu juga di ajak pergi nyinggu gabah di sawahnya habibah Pree Datu.

Setelah berbicara Eya Ifah seperti itu, aku menjadi tambah lemas dan tidak bergairah, rasanya aku kembali seperti orang yang tidak memiliki semangat lagi. Aku juga bingung bagaimana aku harus pergi dari kampung Bonto ini agar aku terlepas dari paradigma kemiskinan seperti miskin uang, miskin ilmu, miskin bahan pokok, miskin makanan, miskin pergaulan dan lain sebagainya. Setelah aku berfikir seperti itu, aku menyambut baik apa yang di utarakan oleh Eya Ifah kepada ku, secara kebetulan aku juga masih ngungsi di rumah orang.

Tidak ada komentar: