Gelorakan Pemikiran

Minggu, 03 Oktober 2010

MECANDRA MODAL DASAR PENDIDIKAN MULTIKULTURAL MUHAMMADIYAH DALAM MENYONGSONG EKSISTENSI DI ABAD KEDUA
YANTO SAGARINO
SEKRETARIS DEWAN PIMPINAN PUSAT IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH

Mengapa harus judul diatas, ketika berdiskusi dalam jangka waktu yang relatif singkat dan padat dengan Syamsudin Anwar seorang Ketua Umum Pimpinan Wilayah Muhammadiyah ini, ada hal yang tersirat di dalam diskusi terbatas tersebut dengan saya, diskusi ketika itu berbicara tentang berbagai etnis dan perjalanan tokohnya dalam menyumbangkan pemikirannya. Diskusi tersebut begitu cepat mengalir dimana memposisikan Muhammadiyah sebagai organisasi yang multikultur dan juga mengapreasikan agama lainnya. Pada titik terakhir diskusi tersebut terucap dari nafas pemikiran beliau dengan mengatakan Islam dan Muhammadiyah dalam tanda kutif pluralisme dan multikultural. Namun ucapan ini tidak disertai penjelasan secara rinci dan akurat sehingga saya mencoba berfikir dari maksud dan tujuan seorang Syamsudin Anwar mengatakan itu. Ternyata Bapak Syamsudin Anwar ada agenda yang sangat mendesak saat itu, yakni berangkat ke Kupang menghadiri acara MCC sehingga tidak begitu pulgar untuk menjelaskan kalimat pluralisme dan multikultural tersebut. Nam dalam hal ini saya bertanggungjawab atas tulisan ini ketika menginterfretasikan pemikiran pak Syamsudin Anwar dalam kerangka metodologi yang luas. Multikulturalisme pertama muncul di Amerika dengan berbagai macam kebudayaan yang didominasi kaum imigran putih dengan budaya WASP, yaitu kebudayaan putih (White) dari bangsa yang berbahasa Inggris (Anglo Saxon), yang beragama Kristen Protestan, Nilai-nilai budaya WASKP (White Anglo Saxon Kristen Protestan) menguasai daerah Amerika Serikat. Dengan dominasi budaya WASKP tersebut terjadilah diskriminasi dalam bidang ras dan Agama maupun gaya hidup manusianya, Kelompok yang paling didiskriminasikan adalah kelompok Indian (Native America), kelompok Chicano (dari negara latin terutama Mexico), dan pada akhir abad ke 20 dari kelompok Asia-Amerika. Dalam menghadapi masyarakat yang bersifat melting pot tersebut telah dikembangkan berbagai praktik pendidikan yang berusaha mengikat suku bangsa tersebut di dalam suatu kebudayaan dengan mainstream gerakan yang didominasi oleh WASP.

Namun demikian, pendekatan pendidikan yang diskriminatif seperti ini berubah total paradigmanya, karena pengaruh perkembangan politik dunia. yang mengglobal. Perubahan pandangan terhadap proses pendidikan multikultural semakin meluas dan menyangkut pendidikan profetik atau elemen jeagamaannya yang ingin membongkar politik diskriminasi tersebut agar masyarakat yang selain budaya WASHKP bisa merasakan kebebasan untuk mendapatkan dunia pendidikan. Tidak lama kemudian politik diskriminasi terbongkar dengan merubah strateginya dengan memasukkan elemen untuk menjalankan kebudayaan dan spritualitas keagamaannya secara bebas dan ini secara langsung di cantumkan dalam piagam deklarasi kemerdekaan Amerika. Dalam deklarasi tersebut praktik pendidikan bertujuan untuk menanamkan rasa persatuan bangsa dan melaksanakan perdamaian serta keadilan meupun mengajarkan nilai – nilai keagamaan yang tidak meninggalkan nilai budaya yang bersipat positif. Dengan demikian metodologi pendidikan multikultural seharusnya memasukan nilai – nilai budaya yang sangat universal dengan tanggungjawab pemerintah, Konsep ini telah dicoba yang mempunyai nilai positif maupun negatif. Pada dekade tahun 1940-an dan 1950-an telah lahir suatu konsep pendidikan intercultural dan multikultur (inter cultural and multiculture education). Pada hakekatnya merupakan suatu upaya cross culture education, yaitu mencari nilai-nilai universal yang dapat diterima kelompok masyarakat. Pendidikan interkultural pada dasarnya mempunyai dua tema pokok, yaitu: (1) melalui pendidikan interkultural, seorang tidak malu terhadap latar belakang budayanya. Seperti diketahui, mainstream budaya di Amerika seperti WASP telah menyepelekan budaya kelompok minoritas. (2) perlu dikembangkan sikap toleransi dan moderatisme terhadap perbedaan ras, agama, dan budaya. Dalam rangka pengembangan sikap toleransi dan moderatisme tersebu dianjurkan program asimilasi budaya. Dalam kaitan ini adanya persamaan dan bukan meletakkan perbedaan-perbedaan kebudayaan.
Oleh sebab itu, program pendidikan dikembangkan dua hal, yaitu: (a) masalah prasangka (prejudice). Berbagai penelitian dan praktik untuk mencari akar dari prasangka, baik prasangka ras maupun prasangka agama; (b) mencari cara efektif untuk maengubah tingkah laku dalam mengatasi prasangka-prasangka tersebut. Berbagai upaya dari pendidikan interkultural ternyata dipusatkan kepada mengubah tingkah laku individu dan bukan mempelajari konflik antar kelompok. Padahal yang sering terjadi dalam kehidupan bersama multi ras adalah konflik kelompok. Hal ini harus ada elemen pendidikan Multikultur yang mengarahkan pada proses humanisasi dan internalisasi nilai–nilai keagamaannya agar pandangan terhadap cultur dan Agama tidak menjadi bagian dare konflik. Pendidikan dengan pendekatan multikultulr berarti membina hubungan baik antar manusia yang berlandaskan nilai keagaman dan menghormati perbedaan budaya. Masyarakat beragama yang memberikan nilai penting terhadap kehidupan. Tujuan kehidupan adalah kehidupan bersama yang harmonis. Maka ileh karena itu, program pendidikan Mulikultulr berkembang dengan pesat dan dilaksanakan dari jenjang pendidikan dasar termasuk didalam program pendidikan guru. Selain dari pada itu program pendidikan Multikultulr dapat memperkuat ketahanan dan identitas bangsa.

Multikultur berasal dari kata multi dan kultur. Multi artinya banyak, dan kultur biasa disamakan dengan kata budaya. Dengan demikian kata multikultur bermakna budaya yang banyak atau keberagaman budaya. kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak. Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang "berkebudayaan" disebut sebagai orang yang "tidak berkebudayaan"; bukan sebagai orang "dari kebudayaan yang lain." Orang yang "tidak berkebudayaan" dikatakan lebih "alami," dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran "manusia alami" (human nature). Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kultur yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dalam hal perilaku dan kepercayaan dari kebudayaan induknya. Munculnya subkultur disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan politik dan gender.

Di kebanyakan negara-negara dunia, sebagian besar dari mereka adalah bangsa-bangsa bekas jajahan, terdiri atas kelompok-kelompok etnik dan budaya yang sangat majemuk, multikulturalisme adalah sebuah gagasan yang terus diperjuangkan. Bahkan lebih dari itu, kebanyakan negara yang relatif muda usia ini, harus berjuang terlebih dahulu dengan gagasan nasionalisme. Gagasan nasionalisme negara-negara yang pada umumnya memperoleh kemerdekaannya setelah Perang Dunia II, dibangun melalui kesadaran para pemimpinnya akan kepercayaan bahwa negaranya amat majemuk, seringkali terdiri atas puluhan bahkan ratusan kelompok etnik, hanya mungkin dipersatukan dengan ikrar yang meneguhkan persatuan sebagai dasar untuk menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik. Dalam masyarakat multikultural itu telah terjadi interaksi dan dialog antar budaya. Secara tidak disadari telah terjadi dialog antar peradaban misalnya peradaban Islam dan Barat. Dalam komunitas seperti itu tidak terjadi apa yang disebut oleh Samuel Huntington, clash of civilization. Pendidikan multikultural pada umumnya diletakkan pada latar kewarganegaraan yang mengarah pada upaya perwujudan warga negara yang baik. Pembelajaran multikultural pada dasarnya merupakan program pendidikan bangsa agar komunitas kewarganegaraan dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya.
Secara meluas, pendidikan multikultural mencoba membantu menyatukan bangsa secara demokratis dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda. Pendidikan multuikultural didefinisikan sebagai sebuah kebijakan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa hormat antara seluruh kelompok budaya di dalam masyarakat. Esensi masyarakat multikultural telah digambarkan oleh Dufty (1996)4, sebagai gagasan masyarakat dimana kelompok dalam masyarakat mampu melakukan ko-eksistensi secara harmonis, bebas memelihara keyakinan mereka, bahasa dan kebiasaan serta tradisi yang dikembangkan, dilaksanakan dan dijunjung tinggi. Pendidikan multicultural didasarkan pada gagasan filosofis tentang kebebasan, keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia. Tujuan pendidikan multikultural adalah mengembangkan kemampuan siswa untuk memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap positif terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis. Sementara itu, Banks mengidentifikasi tujuan pendidikan multikultural, sebagai berikut:
1. Untuk memfungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa yang beraneka ragam;
2. Untuk membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap perbedaan kultural, ras, etnik, kelompok keagamaan;
3. Memberikan ketahanan siswa dengan cara mengajar mereka dalam mengambil keputusan dan ketrampilan sosialnya;
4. Untuk membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan lintas budaya dan memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan kelompok. Materi pembelajaran multikultural dengan pendekatan multiple perspectives, hendaknya diorganisasi dengan menggunakan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan kontribusi (contribution approach), pendekatan additive (additive approach), pendekatan transformasi (trasaformation approach) dan pendekatan tindatan sosial (social action approach) (banks, 1989).
5. Sedangkan pendekatan yang bisa dipakai dalam proses pembelajaran di kelas multikultural adalah pendekatan kajian kelompok tunggal (single group studies) dan pendekatan perspektif ganda (multiple perspektives approach).

Pendidikan Muhammadiyah Raksasa Multikulturalisme
Menyadari pendidikan merupakan sarana menumbuhkan ide-ide pembaharuan untuk menyelamatkan umat dari kemunduran. Oleh Karena itu, modal mendirikan Madrasah Muallimin (sekolah agama untuk pria) maupun Madrasah Muallimat (sekolah agama untuk wanita). Diharapkan dari kedua sekolah itu dilahirkan puluhan pendakwah yang mampu semakin menguatkan pembaharuan Islam. Ketika tahun 1912 dia mendirikan persyarikatan Muhammadiyah, Ahmad Dahlan mengonsentrasikan bidangnya pada pendidikan dan pengajaran. Karena pemerintahan Hindia Belanda membatasi kegiatan Muhammadiyah. Akan tetapi, lembaga pendidikan yang diprakarsai KH Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya terus berkembang. Memang kita semua sangat merindukan lembaga pendidikan yang memperhatikan dan memperjuangkan nasib orang tertindas yang berbasir pada bentuk Multikultural. Lembaga pendidikan Muhammadiyah tidak hanya mengajarkan pengetahuan umum dan Agama, tetapi mengembangkan semangat pembaharuan dan pendidikan untuk dijadikan core bussiness Muhammadiyah, selain bidang kesehatan dan pelayanan sosial. Oleh masyarakat, Muhammadiyah sangat diidentikkan dengan lembaga pendidikan dan kesehatan. Gerakan dakwah amar ma'ruf nahi munkar-nya sangat efektif dijalankan lewat pendidikan dan kesejahteraan sosial.

Muhammadiyah kini berusia 100 tahun. Mereka sudah 45 kali menggelar muktamar dilakukan setiap tahun, lalu dua tahun sekali, tiga tahun sekali dan akhirnya lima tahun sekali dengan menghasilkan kepemimpinan yang berkesinambungan. Lembaga pendidikan Muhammadiyah terus berkembang yang merupakan raksasa pendidikan orang miskin. Jumlah lembaga pendidikan yang mereka miliki barangkali hanya dapat dikalahkan oleh negara. Lembaga pendidikan Muhammadiyah pun menyebar dari Sabang sampai Merauke dengan jenjang yang sangat beragam, mulai dari taman kanak-kanak (TK) yang dikelola oleh Aisyiah sampai perguruan tinggi yang menyelenggarakan program strata satu, Dua dan tiga (doktoral). Dalam buku Muhammadiyah an Islamic Movement in Indonesia yang diterbitkan Pengurus Pusat Muhammadiyah, diungkapkan jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah di Indonesia dari TK sampai perguruan tinggi berjumlah tidak kurang dari 9.500 unit. Selain seluruh jenjang pendidikan sudah dirambah, lembaga pendidikan Muhammadiyah pun amat beragam mulai dari sekolah umum sesuai dengan [otensi keragaman budaya setempat, sekolah Al Quran, dan kejuruan yang amat spesifik. Jumlah maupun ragam lembaga pendidikan Muhammadiyah kemungkinan besar terus akan bertambah. Dengan beragamanya latar pendidikan Muhammadiyah tentu sangat berbeda orientasi penyelenggaraannya dan mencakup pada nilai – nilai perjuangan Muhammadiyah. Nilai perjuangan Muhammadiyah dan keragaman konsep pendidikannya merupakan bentuk pendidikan kultur atau yang berbasis Multikultur. Oleh karena pada Muktamar 2005 konsep Muhammadiyah mengajukan metode gerakan dakwah kulturalnya merupakan manifestasi yang harus diberdayakan sebagai penguatan kapasitas dakwahnya. Dengan demikian proses pendidikan Multikultural tersebut dijalankan dalam persfektif dakwah kultural Muhammadiyah dengan visi membumikan nilai keagamaan dalam keragaman.

Apalagi, SDM Muhammadiyah yang bertambah baik kader dan simpatisan yang tercatat + 28 juta. Menurut pemerhati pendidikan Mochtar Buchori, dalam buku Muhammadiyah dalam Sorotan (1993) mengakui, memperoleh dasar untuk memahami dunia modern dari sekolah Muhammadiyah dengan Landasan untuk mencintai demokrasi, saya merasakan dari sekolah Muhammadiyah. Karena di sekolah inilah saya merasa dibebaskan dari suasana diskriminatif kultural politik yang bersifat kolonial feodalistik," Justru pendidikan Muhammadiyah melakukan pengembangan umat manusia selama ini dari berbagai macam latar belakang budaya.7 Dalam pendidikan Muhammadiyah tumbuh dan besar serta pengembangan pribadi dan ilmu pengetahuan kepada institusi pendidikan Muhammadiyah, Jika dalam pendidikan Muhammadiyah tidak memperhatikan etika dan moralitas maka Muhammadiyah mungkin tergelincir dan terjebak dalam industrialisasi pendidikan. Akan tetapi, sampai hari ini pendidikan Muhammadiyah masih memperhatikan moralitas tersebut. Sekolah atau perguruan tinggi Muhammadiyah secara nasional diakui sebagai institusi pendidikan yang menjunjung tinggi akhlak dan tidak mengabaikan pendidikan kaum duafa (miskin). Karena itu, dalam laporannya Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah Prof Dr HM Yunan Yusuf bahwa Pendidikan Muhammadiyah mempertahankan eksistensinya dalam menghadapi berbagai tantangan ke depan dengan keterbatasan dan kemampuan pendidikan Muhammadiyah menghadapi persaingan dalam meningkatkan mutu kualitas pendidikan.8 Pada Muktamar Ke-44 Muhammadiyah, melaporkan peningkatan jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah. Begitu juga dengan PDM dan PWM mengungkapkan kegamangan menghadapi tantangan pendidikan ke depan. Bahkan sekolah Muhammadiyah memang banyak, tetapi kualitas pendidikan Muhammadiyah masih kalah dibanding dengan sekolah nonmuslim. Padahal Muhammadiyah mempunyai sumber daya manusia Muhammadiyah sangatlah banyak.
Bukan hanya di tingkat sekolah TK hingga SMA/SMK/MA dan PTM pun dinilai belum mampu mengimbangi perguruan tinggi swasta lain. Padahal, Muhammadiyah mempunyai banyak ahli kependidikan, Ini merupakan tantangan Muhammadiyah. Ahmad Syafi'i Maarif mengakui kualitas pendidikan Muhammadiyah secara keseluruhan masih relatif rendah.9 Itu karena jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah sangat besar, sehingga memang tidak gampang untuk meratakan kualitas pendidikan seperti yang diharapkan masyarakat. Namun, sebenarnya ada sejumlah sekolah maupun perguruan tinggi Muhammadiyah yang kualitasnya patut dibanggakan. Akan tetapi kondisi tersebut juga menimbulkan keprihatinan pada keluarga besar Muhammadiyah. Maka oleh karena itu dibutuhkan komitmen untuk meningkatkan kualitas itu yang merupakan tantangan baru Muhammadiyah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di lingkungan persyarikatan tersebut karena paradigma yang timbul kuantitas tidak selalu berjalan seiring dengan kualitas. Dengan misi mencerdaskan rakyat dan menyebarkan semangat pembaharuan Islam yang dapat dijalankan melalui pendidikan yang diamanatkan KH Ahmad Dahlan agar tidak terlupakan dan Idealnya berkualitas tinggi.

Dengan demikian paradigma pendidikan Muhammadiyah sangat perlu di tekankan pada kualitas penyelenggaraannya agar harapan dalam persaingan masa depan yang lebih baik menjadi bagian kompetitif baik juga. Dalam konteks perkembangan kebutuhan masyarakat Indonesia pendidikan Muhammadiyah tentu harus mengembangkan bentuk akulturasi pendidikan yang berbasis Mulikultur sesuai dengan khasanah dan strategi dakwah kultural agar nilai – nilai perjuangan Muhammadiyah dapat di rasakan oleh masyarakat Indonesia.

Modal Dasar Pendidikan Multikultural Muhammadiyah
Modal dasar pendidikan Multikultur Muhammadiyah merupakan sesuau hala masih tabu di kalangan Amal Usaha Muhammadiyah. Akan tetapi Isu dan konsep strategis pendidikan multikulturalisme itu ada baiknya menggali potensi nilai – nilai multikultur tersebut agar dapat mencapai tujuan bersama yang hendak di capai oleh Muhammadiyah. Hal ini setidaknya ada beberapa faktor yang harus di perhatikan yaitu, Pertama, Eksistensi budaya dan SDM Indonesia yang masih dianggap ompleks harus diseimbangkan dengan proses penyadaran akan pentingnya budaya atau etnisitas yang bersifat ada nilai tambah serta tidak memisahkan antara niali universal keagamaan dan uniknya sistem kebudayaan. Kedua, Budaya terdapat sebuah pesan yang bersifat religinya tinggi sehingga bisa dijadikan paradigma dalam pendidikan yang berbentuk multikultural agar sesuai dengan karakter dan identitas sebuah bangsa yang toleran, dan adaptif, maka ciri ini harus terus dipertahankan untuk melakukan dinamisasi kebudayaan. Dan ketiga, Budaya yang bersifat rasional bisa diperuntukkan sebagai basis ideal dalam memberikan modal dasar kependidikan sehingga ujuan pendidikan muli kulural tersebut dapat dipahami dengan konsep yang lebih efekif dan terjangkau akan keberadaan budaya tersebu, baik budaya lokal maupun nasional.11 Pendidikan Multikulturalisme Muhammadiyah haruslah dipahami secara sederhana dan kongkrit sebagai sikap bersama untuk mengakui adanya kekuatan tatanan budaya untuk mempengaruhi kondisi sosial kemasyarakatan, sehingga sistem tersebut dapat sejajar dengan sikap saling berinteraksi dan harmonis serta menghargai segala perbedaan yang ada. Kalau kita bercermin pada apa yang dikatakan oleh Franz Magnis Suseno, konflik yang sering terjadi dengan kedok ras dan agama bersumber pada empat hal pokok, yaitu pertama, modernisasi dan globalisasi yang telah masuk jauh ke masyarakat Indonesia menumbuhkan konflik primordial. Kedua, adanya akumulasi kebencian dalam masyarakat. Ketiga, berkembangnya budaya kekerasan secara massif dalam masyarakat Indonesia. Dan keempat, sistem politik yang dikembangkan. Faktor ini membentuk budaya masyarakat yang mudah tersulut konflik. Ini menjadi tantangan bagi Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah cultural yang memiliki tanggungjawab terhadap umat Islam dan manusia umumnya. Jika benturan dan konflik pendapat maupun pemikiran maka akan adanya sesuatu hal yang bersifat rasialis, dan tentunya kerugian Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah kultural yang apabila pemikiran dan tipologi pendidikan Islam di arahkan pada humanisasi umat Islam dan manusia pada umumnya.

Selama ini kita pahami bersama budaya Islam sebagai keyakinan utama yang sangat penuh dengan nilai – nilai multukultur dalam berbagai sumber hukum dan sejarah awal Islam maupun sekarang. Modal dasar pendidikan mulikulural Muhammadiyah adalah bercermin pada keillahianNya sebagai Tuhan yang universal dengan tidak membedakan hamba-Nya berdasarkan penampilan lahiriah atau budaya lainnya. Namun Tuhan menilai hambanya berdasarkan ketaqwaannya. Maka menjadi kewajiban Muhammadiyah maupun umat Islam seutuhnya untuk menyebarkan Islam sebagai agama yang toleran dan menebarkan rahmat kepada seluruh alam (QS 21: 107), berlomba - lomba dalam kebaikan (Fastabiq Al Khairat) serta pemihakan sosial kepada kaum mustadh’afin.13 Jika tidak dikelola dengan baik, perbedaan yang kita miliki akan menjadi sumber konflik sebagaimana terjadi selama ini. Sebaliknya, dengan kependidikan dan manajemen yang baik kekayaan kultur yang kita miliki akan menunjukkan karakter sebagai Agama yang mampu memberikan jalan keluar terhadap problem manusia. Karena Organisasi seperti Muhammadiyah yang besar adalah Muhammadiyah yang mampu menghargai perbedaan sebagai sebuah keniscayaan. Menyemaikan pendidikan Multikulturalisme dapat dilakukan secara dakwah kultural maupun structural (Organisasi dan AUM). Secara kultural, melalui pendidikan dan memperbesar ruang interaksi antara budaya di masyarakat dengan memfungsikan seluruh asset kekuatan dakwah pendidikan mulikulturalnya untuk digerakkan. Sedangkan secara struktural dilakukan dengan mempungsikan elemen masyarakat yang kemudian diberikan sebuah pemahaman tentang kondisi dan situasi sosial, budaya, ekonomi yang ada di masyarakat.

Walaupun ada perdebatan antara pemikir Adian Husaini dengan pemikir ternama yaitu Prof. Dr. Azyumardi Azra tentang proses pendidikan multicultural. Adian Husaini lebih jauh mengatakan bahwa pendidikan yang berbasis mulikulural dapat merusak pendidikan Agama itu sendiri.14 Adian Husaini lebih lanjut mengatakan bahwa pendidikan Agama berwawasan Multikultural bukan memberikan suatu pemahaman tentang Pendidikan Agama yang benar, tetapi justru menyuguhkan suatu pemahaman yang merusak aqidah Islam itu sendiri. Sebenarnya, istilah pendidikan Agama berwawasan multikultural, itu sendiri sudah bermasalah. Istilah itu mengesankan, seolah-olah selama ini, umat Islam tidak mengembangkan pendidikan agama yang menghormati keragaman budaya masyarakat. Makna multikulturalisme itu Badan Litbang Departemen Agama telah meluncurkan program pembinaan dai-dai multikultural dan menyebarkan buku-buku tentang multikulturalisme. Para santri dan kyai di berbagai pesantren, Adian Husaini juga mengindikasikan bahwa paham ini adalah agen liberal, seperti International Center for Islam and Pluralism (ICIP). Sebaliknya apa yang dikatakan oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra menyatakan, bahwa buku ini memiliki arti penting bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan agama. Azra mendefinisikan Pendidikan Multukultural sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Selain itu juga varian pendapat yang di kemukakan oleh Kita pernah membahas apa makna Multikulturalisme dalam pandangan Litbang Departemen Agama, yang merupakan hasil penelitian Litbang Depag tentang Pemahaman Nilai-nilai Multikultural. Dijelaskan, bahwa selain dapat menjadi faktor integrasi, agama juga dapat menjadi faktor disintegrasi. Konflik antar-umat beragama dapat terjadi karena salah satunya disebabkan oleh adanya pemahaman keberagamaan masyarakat yang masih eksklusif. Pemahaman ini dapat membentuk pribadi yang antipati terhadap pemeluk agama lain. Pribadi yang selalu merasa hanya agama dan alirannya saja yang paling benar sedangkan agama dan aliran lainnya adalah salah dan dianggap sesat. Jadi, dalam wacana multikulturalisme, klaim kebenaran (truth claim) terhadap agamanya sendiri dipandang sebagai sesuatu yang menjadi sebab terjadinya konflik antar-umat beragama. Logika selanjutnya adalah, agar umat beragama menghilangkan klaim kebenaran terhadap agamanya sendiri.

Dari kedua pendapat diatas sebenarnya harus ada paradigma baru tentang tata cara pengambilan kebenaran yang bisa dirasionalkan agar paham pendidikan multikulural dalam persfektif Agama dan sosial tidak mengalami benturan sehingga kebenaran yang dianggap oleh semua agama tetap terpisah dan berdiri sendiri tanpa ada diskriminasi multikultur teologis terhadap umat lain. Sebenarnya dalam pendidikan Multikulur harus mengembangkan dalam bentuk profetiknya sehingga paham akan mengarah pada monoteisme yaitu Tuhan Yang Satu. Semangat humanisme tanpa diskriminasi agama harus langgeng dalam pendidikan berwawasan Multikultural. Misinya membangun persaudaraan dan silaturrahmi universal tanpa membedakan sosial namun tetap membatasi factor Agama. Pendidikan Mulikultural sebagai risalah profetik, Islam pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia menuju satu cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan (unity of mankind) tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik dan kebudayaan. Pesan kesatuan ini secara tegas disinyalir Al-Quran: S 3:64 tentang perintah kepada Nabi Muhammad saw agar mengajak kaum Ahlul Kitab untuk kembali kepada ajaran Tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Disebutkan dalam ayat tersebut (yang artinya) Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuat upun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain daripada Allah”.

Paham Multikulturalisme berdasarkan pada tauhid dan akidah sebagai dasar keimanan dalam memahami pesan – pesan pendidikan Multikultural. Persoalan pendidikan berwawasan Multikultural yang diindikasi sesuatu hal yang merupakan komponen untuk mempermudah merusak nilai Aqidah Islam. Padahal pendidikan Multi cultural yang selama ini kita pahami merupakan mbasis penyadaran antara nilai Agama dan Budaya agar dapat memiliki daya tarik akan kekuatan pemahaman Mulikulturnya. Aspek strategis yakni pendidikan Multikultural yang harus direkonsruksikan bukan dalam konteks untuk mempelitisir Agama sebagai pondasinya, Akan tetapi justru Agamalah yang akan dijadikan rujukan dalam pelaksanaan pendidikan Mulikultural. terutama di Perguruan Tinggi dan organisasi cendekiawan Muslim. Kalau Pendidikan Multikultur ditafsurkan pada wilayah pluralisme maka pendidikan Multikultural bersifat syirik seperti apa yang dikatakan oleh Adian Husaini. Penulis sebenarnya sama persektifnya dengan Adian Husaini akan tetapi Pendidikan Multikultural sebagai jalan keluar dialektika penerapanya adalah menerapkan standar pendekatan serta metode yang mampu melakukan humanisasi. Kalau Azzumardi Azra mengatakan bahwa semua agama adalah totalitas sosiokultural yang merupakan jalan-jalan yang berbeda dalam mengalami dan hidup dalam relasi dengan Yang Ilahi. Yang menyebabkan perbedaan itu adalah bukan sesuatu yang mutlak sifatnya, namun hanya faktor-faktor partikular yang berhubungan dengan sejarah dan kebudayaan.

Lebih jauh menurut adian Husaini dijabarkan bahwa Pendidikan Multikultural mengandaikan suatu pengajaran efektif (effective teaching) dan belajar aktif (active learning) dengan memperhatikan keragaman kebudayaan. Dalam acara Kolokium Nasional Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Malang, 11-13 Februari 2008, tokoh Muhammadiyah Ustad Muammal Hamidy mengingatkan, bahwa para sahabat Rasulullah saw dan para ulama ahli tafsir senantiasa sangat berhati-hati menafsirkan Al-Quran. Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. dengan tawadhunya pernah menyatakan.16 Bumi manakah yang akan menyanggaku dan langit manakah yang akan menaungiku jika aku mengatakan sesuatu yang tidak aku ketahui tentang Kitabullah? Ibn Katsir juga mengutip hadits Rasulullah saw. Barangsiapa yang mengucapkan (sesuatu) tentang Al-Quran berdasarkan ra’yunya atau berdasarkan apa yang tidak dipahaminya, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka.17 (HR Tirmidzi, Abu Daud, Nasai). Abu Ubaid pernah juga memperingatkan : Hati-hatilah dalam penafsiran, sebab ia merupakan pemaparan tentang Allah.

Orientasi Pendidikan Multikultural Muhammadiyah
Pendidikan merupakan agen perubahan dan pembebasan sosial dari ketidakadilan dalam suatu masyarakat yang tidak terlepas dari budaya masyarakat tersebut. Nilai, pandangan dan norma merupakan integrasi dari budaya di mana pendidikan tersebut dilaksanakan dan internalisasikan kepada peserta didik. Pendidikan media yang tepat bagi usaha pelestarian dan penanaman nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan serta kesadaran terhadap perbedaan budaya pada masyarakat yang bersifat multikultural. Usaha menanamkan kesadaran multikultural keagamaan melalui pendidikan dikenal dengan pendidikan multicultural religius atau profetik. Pendidikan multikultural pada umumnya diletakkan pada latar keagamaan dan nasionalisme kewarganegaraan.
Pendidikan ini mengarah pada upaya mewujudkan manusia dan warga negara yang baik. Seperti apa yang dikemukakan oleh Cogan (1998) adalah mereka memiliki kemampuan untuk memahami dan menerima perbedaan Agama dan budaya, kemampuan berpikir kritis, kemampuan menyelesaikan konflik tanpa kekerasan, kemampuan bekerjasama dengan orang lain, kepekaan terhadap hak asasi dan keadilan manusia dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan politik lokal, nasional dan global.20 Pendidikan multikultural religi atau Profetik ini memainkan peranan penting dalam pengembangan pendidikan kewarganegaraan (Gay, dan Stanley: 1995 dalam Al Hakim, 2002).21 Pembelajaran multikultural pada dasarnya merupakan program pendidikan yang berbasis keagamaan dan mendidik anak bangsa agar dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan yang idealnya (Banks, 1993).22 Pendidikan multikultural mencoba menyatukan dan menekankan pada perspektif masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda agar nilai raligiusnya tetap ditanamkan sebagai dasar penggerak pendidikan Multikultural. Kurikulum menampakkan aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat, bahasa, dan dialek; dimana para masyarakat, individu, pelajar dan mahasiswa berbicara tentang rasa hormat dan menjunjung tinggi nilai-nilai kerjasama dari pada membicarakan persaingan dan prasangka di sejumlah komponen yang berbeda dalam hal ras, etnik, budaya dan status sosialnya. Pendidikan multikultural Religius adalah pendidikan yang berdasarkan pengakuan individu maupun budaya dan etnis terhadap perbedaan dan persamaan manusia. (Sleeter and Grant, 1988).23 Pendidikan multikultural Religius ini adalah suatu sikap keunikan manusia tanpa membedakan ras, budaya, jenis kelamin, kebiasaan, kondisi jasmaniah atau status ekonomi seseorang (Skeel, 1995).

Secara sederhana pendidikan multikultural didefinisikan oleh Azra (2007) sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Agar pengertian ini bermanfaat, maka didefinisikan kembali apa yang dimaksud dengan budaya dan kebudayaan.24 Upaya perumusan ini, jelas tidak mudah, karena perubahan-perubahan yang begitu cepat dan dramatis dalam kebudayaan itu sendiri, khususnya karena proses globalisasi yang semakin meningkat. Istilah pendidikan multikultural (multicultural education Religion) dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif maupun normatif. Pendidikan multikultural Religius ini sebagai platform keagamaan unuk merespon kondisi sosial kemanusiaan yang didasarkan pada prinsip-prinsip saling rasa hormat antara kelompok budaya di dalam masyarakat. sebagai gagasan masyarakat dimana kelompok dalam masyarakat mampu melakukan ko-eksistensi secara harmonis, bebas memelihara keyakinan mereka, bahasa dan kebiasaan serta tradisi yang dikembangkan, dilaksanakan dan dijunjung tinggi. Pendidikan multikultural didasarkan pada gagasan filosofis tentang kebebasan, keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia. Hakekat pendidikan multikultural mempersiapkan seluruh siswa untuk bekerja secara aktif menuju kesamaan struktur dalam organisasi dan lembaga sekolah.

Pendidikan multikultural mengarahkan pada pelembagaan masyarakat dalam konteks institusi pendidikan dan pengajaran secara eksklusif (terbuka) lewat kurikulum yang berperan dan berbasis kompetitif serta mengutamakan kepentingan religiusnya. Pendidikan multikultural digagas dalam sistem pendidikan representatif secara benar dan menyeluruh bagi kehidupan masa depan. Bagi penulis masyarakat multikultural religius atau profetik mempunyai karakteristik, antara lain sebagai berikut :
1. Masyarakat (Ummah) memiliki bentuk yang berbeda baik secara kelompok, dan budaya yang tidak terlepas pada struktur sosial yang tetap beraktivitas dalam lembaga sosial yang bersifat Inklusif tradisional.
2. Lemahnya semangat dalam rangka mengembangkan dan memberdayakan sejumlah anggota keluarga, lingkungan dan sosial kemasyarakatan tentang nilai-nilai sosial kemanusiaannya yang bersifat obyektif dan subyektif.
3. Lemahnya kesadaran dalam memahami realitas sosial positif untuk menumbuhkan proses humanisasi Interculture dan Multiculture.
4. Integrasi sosial secara obyekif tanpa adanya ketergantungan dalam aspek ekonomi dan menghilangkan dominasi politik terhadap satu kelompok dalam masyarakat multicultural tersebut dan setiap dominasi serta konflik sangat perlu dicarikan penyelesaian agar tidak terjadi disintegrasi.

Tujuan Pendidikan Multikultural Muhammadiyah
Pendidikan multikultural Muhammadiyah mengembangkan sikap saling menghargai, saling hormat dan tetap dalam sifar moderat di tengah – tengah pluralitas budaya masyarakat, Farris & Cooper (1994) mengemukakan bahwa tujuan pendidikan multikultural adalah mengembangkan kemampuan untuk memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki dan bersikap positif terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis.25 Sementara itu, Banks (dalam Skeel, 1995), mengidentifikasi tujuan pendidikan multikultural adalah : Kesatu, Untuk memfungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa yang beraneka ragam; Kedua, Untuk membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap perbedaan kultural, ras, etnik, kelompok keagamaan; Ketiga, Memberikan ketahanan siswa dengan cara mengajar mereka dalam mengambil keputusan dan ketrampilan sosialnya; dan Keempat, untuk membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan lintas budaya dan memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan kelompok.26 Begiu juga Dickerson, 1993 dalam Banks, 1994, bahwa pendidikan multikultural dibangun atas dasar konsep yang luas mengenai pendidikan untuk membebaskan manusia dare ketertindasan dan ketimpangan dan bertujuan : Kesatu, Mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk berpartisipasi di dalam masyarakat yang berbeda culure; Kedua, Memajukan kesadaran, kecakapan, keterampilan terhadap lintas batas budaya untuk berpartisipasi dalam kerja – kerja kemanusiaan. Melalui pembelajaran multicultural dapat mencapai kesuksesan untuk menghilangkan diskriminasi (Banks, 1996).

Para masyarakat, Mahasiswa dan Pelajar mampu menampilkan keterampilan secara obyektif dalam kurikulum. Sehingga menjadi individu yang bisa mengatur dirinya sendiri secara aktif. Tujuan ini merupakan metode mengembangkan visi sosial yang lebih baik dan memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan serta mengkonstruksinya dengan sistematis dan empatis. Secara konseptual pendidikan multikultural menurut Groski mempunyai tujuan dan prinsip sebagai tanggungjawab untuk mengembangkan prestasi akademiknya maupun institusi pendidikan tersebut. Sehingga kemampuan sumber daya manusia untuk melaksanakan proses pembelajaran sebagaimana belajar dan berpikir secara kritis dapat mendorong peran aktif dalam Institusi pendidikan dengan menghadirkan pengalaman dalam konteks belajar dan penerapan kurikulum yang berbasis humanis dan Mengembangkan sikap positif terhadap latar belakang berbeda, sehingga out puit untuk menjadi warga yang baik di sekolah maupun di masyarakat memiliki pengetahuan dari perspektif yang berbeda untuk mengembangkan identitas etnis, nasional dan global, serta mengembangkan ketrampilan dalam mengambil keputusan dan analisis secara kritis sehingga dapat membuat pilihan yang lebih baik dalam kehidupan sehari-hari.

Dakwah Kultural Dengan Sistem Pendidikan Multikultural Muhammadiyah
Ada beberapa hal yang menyangkut dimensi pendidikan multikultural dalam Muhammadiyah diperkirakan dapat membantu para pendidik dalam mengimplementasikan programnya yang mampu merespon terhadap perbedaan budaya masyarakat, mahasiswa dan pelajar yaitu sebagai bentuk integrasi budaya yang mencakup dakwah kultural sebagai kata kunci dalam proses pembelajaran dengan metode dakwah yang berbeda-beda strateginya. Pendekatan institusi sosial sebagai basis pengembangan kurikulum dengan melihat fakta sosial kemasyarakatan. Konstuksi pengetahuan tentang proses dakwah Kultural. untuk memahami beberapa perspektif dan rumusan yang akan dipengaruhi sebagai obyek dakwah. Hal ini berhubungan dengan perubahan pengetahuan pada masyarakat. Menunjukkan sikap arif dan bijak terhadap perbedaan pandangan diantara kelompok masyarakat tertentu. Strategi pembelajaran kooperatif dapat membantu para pendidik dan peserta didik untuk mengembangkan persepsi positif agar dapat memahami keuniversaslan maksud dare budaya tersebut. Pendidikan Multikultural ini harus bersifat adil (equitable pedagogy). Strategi yang digunakan sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil antara bentuk kerjasama (cooperatve learning) dan kompetitif (competition learning). Pemberdayaan budaya dan struktur sosial (empowering school culture and social structure). Penting sekali dalam memberdayakan budaya yang berbeda untuk menyusun struktur sosial yang memanfaatkan potensi budaya yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur Institusi. Hal ini dalam konteks memberdayakan budaya harus ada nilai – nialai keagamaan.

Pengembangan Pendidikan Multikultural Muhammadiyah
Gay (1995) mengemukakan empat tahap pengembangan pendidikan multikultural dalam Walsh & Agatucci, 2001 mengatakan bahwa ada beberapa hal yang harus di perhatikan yakni inclusion. Pada tahap ini kelompok etnis dipelajari secara tunggal, dan biasanya pelajaran berpusat pada tokoh pahlawan dari etnis yang bersangkutan. infusion. Pada tahap kedua ini pendidikan multikultural ditekankan pada pengintegrasian isi, konteks, contoh, dan pandangan yang berbeda ke dalam kurikulum. deconstruction, dimana pendidikan multikultural memberi kesempatan siswa untuk memandang konsep dari perspektif yang berbeda-beda sebagai bagian dari proses berpikir kritis dalam keanekaragaman budaya. transformation, yakni fokus pendidikan multikultural terletak pada proses memikirkan dan mengimajinasikan penjelasan-penjelasan baru tentang situasi sosial yang secara kultural berbeda-beda. Materi pembelajaran multikultural dengan pendekatan multiple perspectives, hendaknya diorganisasi dengan menggunakan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan kontribusi (contribution approach), pendekatan additive (additive approach), pendekatan transformasi (trasaformation approach) dan pendekatan tindatan sosial (social action approach) (Banks, 1989).

Sedangkan pendekatan yang bisa dipakai dalam proses pembelajaran adalah kajian tunggal (single studies) dan pendekatan ganda (multiple approach). Memang pendekatan pendidikan multikultural pada umumnya memakai pendekatan kajian tunggal. Pendekatan ini dirancang untuk membantu masyarakat, mahasiswa dan pelajar dalam mempelajari pandangan tertentu secara lebih mendalam. Menurut Azzumardi Azra (2007) terdapat lima tipologi pendidikan multicultural yang berkembang, yaitu : 1. Culture Difference, 2. Human Relation, 3. Singles Group Studies. 4. Multiculture Education 5. multiculture social rekonstruktion. Yang lebih dikenal dengan Critical Multicultural Education".

Tinjauan Teologis Pendidikan Multikulural Muhammadiyah Sebagai Pilar Abad Kedua
Pendidikan Muhammadiyah adalah laboratorium perpaduan antara Islam, iman, dakwah dan ilmu pengetahuan serta kebudayaan. Tinjauan teologis dititik beratkan pada sisi ilmiah dengan sasaran dan tujuan agar dapat mengatasi problem teologi moderatisme sebagai syarat pendidikan cendiakiawan dan intelektual dalam rangka menyampaiakan pesan Al Qu’an. Tep;pgi moderatisme ini merupakan metodologi yang mencoba mendialogisasikan antara Islam, dakwah, iman dan ilmu pengetahuan serta kebudayaan. Teori moderatisme ini bukanlah teori yang pada tataran konsepsional akan tetapi pada praksis konsep teologi tersebut untuk mengajak keluar dari realitas pergulatan doktrin ideologi masyarakat. Dengan demikian teologi sebagai refleksi iman di tengah masyarakat dan dunia memiliki tiga bentuk refleksi yang saling berkaitan : fundamental, sistematis dan praksis.

Degradasi moral, ekonomi, konflik sosial menjadi paradigma yang menakutkan bagi pendidikan bangsa Indonesia. Paradiga ini berawal dari sistem pendidikan yang jauh tatanan nilai – nilai humanisasi. Kapitalisasi dan liberalisasi pendidikan telah mencengkram sedemikian rupa sehinga pendidikan kita bagai dalam “pasungan zaman”. Konsep pendidikan yang diterapkan KH. Ahmad Dahlan adalah Amar Ma’ruf Dan Nahi Mungkar. Hal ini menjadi konsep dasar bagi pendidikan prguruan tinggi muhammadiyah. Akan tetapi kondisi saat ini pendidikan muhammadiyah beserta outputnya telah melenceng jauh dari keinginan founding father Muhammadiyah. Output pendidikan muhamadiyah saat ini, Meminjam istilah Thomas Hobbes kita benar benar menjadi “ Homo hommini lupus” (Manusia yang memakan orang yang lain). Pendidikan muhamadiyah sebenarnya melahirkan cendikiawan dan intelektual profetik yang mampu melakukan pembebasan manusia dare keterpurukan kehidupannya. Jusru dengan ha; seperti itu;ah kiprah pendidikan muhamadiyah sebagai sebuah laboratorium kader Islam, baik dalam penguasaan ilmu pengetahuan maupun orientasi sosial, bukanlah pendidikan muhamadiyah dirubah dalam bentuk kapitalisme dan alat pencari uang. Kalau pendidikan muhamadiyah paradigma kapitalis maka outputnya pun kapitalis. Produk pendidikan seharusnya memberi Kemaslahatan bagi bangsa dan tatanan sosial Negara kita tetapi malah memproduk kanibal-kanibal baru yang sangat mengerikan . Proses transformasi pendidikan saat ini dijauhkan dari nilai-nilai etika dan estetika pendidikan itu sendiri. Konsentrasi penuh pada nalar dan empirisme menyebabakan pendidikan kita tejebak pada sekulerisasi pendidikan dan mengalami kekosongan nilai yang luar biasa. Kekosongan nilai merupakan output dari sebuah proses panjang pendidikan muhammadiyah.

Dengan melakukan transedensi (menghadirkan Tuhan) secara utuh pada proses transformasi pendidikan yang sedang dijalankan dan pengokohan nilai-nilai etika serta estetika pendidikan. Pendidikan tersebut adalah pendidikan profetik yang berbasis moderatisme. Dr Naquib Al Attas dalam bukunya “the imperl land” mengatakan “ Pedidikan profetik adalah langkah awal untuk menciptakan tatanan dunia baru yang lebih bermoral hal ini menggambarkan bahwasanya pendidikan adalah jalan awal dalam perubahan arah gerak bangsa. Kaidah empirisme sekuler menjadi empirisme transedensi, Dari konsep bebas nilai menjadi konsep bermartabat.
Meninjau sistem pendidikan muhammadiyah perlu diarahkan pada kompetensi profesional dan kecakapan tertentu yang justru membutuhkan kontribusi semua kalangan unuk memperbaharui sistem pendidikan muhammadiyah dalam menghadapi persaingan global. Pendidikan dan pemerintah sebagai pemegang amanah dalam mendidik generasi penerus sesuai kebutuhan masyarakat adalah mempersiapkan mereka memiliki ilmu agama dan teknologi dalam rangka mendorong pembangunan sumber daya manusia handal agar mampu mengelola sumber daya alam tepat guna dan tepat sasaran. Pendidikan bukan warisan dan bukan tanpa arah, bahwa pendidikan diupayakan mampu melayani kebutuhan masyarakat masa depan perlu re-oreintasi berwawasan ke depan, Sistem pendidikan kita diarahkan kepada empat tinjauan perencanaan strategi program pendidikan yaitu ; Pertama, Persamaan sarana dan prasarana setiap PTM (equal of medium and infrastructure), aksebilitas, dan keadilan. Persamaan, berarti bahwa setiap sekolah maupun PTM sama-sama memperoleh sarana dan prasarana pendidikan setara, tidak membedakan letak geografis, kelengkapan SDM. Aksebilitas berarti setiap sekolah dan PTM memiliki akses dalam pendidikan. Keadilan mengandung implikasi pemenuhan kebutuhan menurut sekolah dan PTM. Sedangkan Persamaan, semua kriteria sama, maka mereka berhak dalam berkompetisi. Kedua, Peningkatkan mutu—berpangaruh pada efektifnya proses pelaksanaan pendidikan yang ditunjang oleh kualitas SDM tenaga pendidik, sehingga mampu berkompetensi dan mengembangkan logika, rasio, penalaran—reasoning—argumen. Gardner dalam Agus Nggermanto (2003:49) mengatakan, Multiple intelligences meliputi kecerdasan logis, matematis, kecerdasan linguistik-verbal, kecerdasan visual, kecerdasan musikal, kecerdasan kinesthetic, kecerdasan emosional, (intrapersonal-dan interpersonal), kecerdasan naturalistik, kecerdasan spritual dan lain-lain. Kecerdsan matematik dan linguistik biasanya diklasifikasikan sebagai IQ. Sedangkan kecerdasan intrapersonal dan interpersonal dimasukkan EQ dan kecerdasan spritual (SQ).

Ketiga; Relevansi pendidikan adalah menyesuaikan dengan sistem pendidikan yang berlaku agar dapat diharapkan memberikan kontribusi secara inovatif terhadap pengembangan pusat-pusat keunggulan yang sesuai dengan ciri dan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Ke-empat; peningkatan efisiensi pelaksanaan pendidikan muhammadiyah. Kepala/ ketua/Rektor/Direktur mempunyai nilai strategis kebijakan pengembangan pendidikan menyesuaikan kebutuhan pendidikan masa depan dan pemanfaatan keuangan tepat guna—mampu menghasilkan outcome para lulusan sesuai kebutuhan pasar sebagai aset investasi SDM, tidak mungkin prestasi instan dapat menjamin pendidikan masa depan

DAFTAR PUSTAKA
 Antropologi Papua (ISSN: 1693-2099) Volume 1. No. 1, Agustus 2002,
 Antropologi Papua (ISSN: 1693-2099) Volume 1. No. 1, Agustus 2002.
 Samuel Huntington, clash of civilization
 Dufty 1996
 Banks
 Danu Darwisy selasa, 2008 Oktober 14 Muhammadiyah, Raksasa" Pendidikan yang Gamang)
 Mochtar Buchori Muhammadiyah dalam Sorotan, 1993.
 Prof Dr HM Yunan Yusuf Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah bahwa Pendidikan Muhammadiyah mempertahankan eksistensinya dalam menghadapi berbagai tantangan ke depan dengan keterbatasan dan kemampuan pendidikan Muhammadiyah menghadapi persaingan dalam meningkatkan mutu kualitas pendidikan. Pada Muktamar Ke-44 Muhammadiyah,
 Komentar Ahmad Syafi'i Maarif pada muktamar Muhammadiyah ke 44 yang mengakui kualitas pendidikan Muhammadiyah secara keseluruhan masih relatif rendah. Itu karena jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah sangat besar, sehingga memang tidak gampang untuk meratakan kualitas pendidikan seperti yang diharapkan masyarakat. Namun, sebenarnya ada sejumlah sekolah maupun perguruan tinggi Muhammadiyah yang kualitasnya patut dibanggakan.
 Imam Prihadiyoko/Pepih Nugraha/Tri Agung Kristanto) Diposkan oleh F 1 ( FWan) di 21:03 0 pada tanggal 27 juli 2009
 Penulis berpendapat bahwa Modal Dasar Pendidikan Multikultural Muhammadiyah sangatlah penting untuk dilanjutkan karena sesuai dengan napas Muhammadiyah dalam melakukan pencerahan ummat
 Franz Magnis Suseno
 QS 21: 107
 Bahan Bacaan : Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah. Yogyakarta Suara Muhammadiyah, PSB-PS UMS www.muhammadiyah.or.id posted by Singosari Timur at 8:50 AM |
 Adian Husaini, Official/Site/http://insistnet.com_pdf_powered _pdf_generated 27 february, 2009, 05:59
 Adian Husaini dijabarkan bahwa Pendidikan Multikultural mengandaikan suatu pengajaran efektif (effective teaching) dan belajar aktif (active learning) dengan memperhatikan keragaman kebudayaan. Dalam acara Kolokium Nasional Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Malang, 11-13 Februari 2008.
 Ibn Katsir juga mengutip hadits Rasulullah saw. Barangsiapa yang mengucapkan (sesuatu) tentang Al-Quran berdasarkan ra’yunya atau berdasarkan apa yang tidak dipahaminya, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka.
 HR Tirmidzi, Abu Daud, Nasai
 Adian Husaini adalah Catatan Akhir Pekan CAP hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com/Insists. Official/Site/http://insistnet.com/pdf/powered /pdf/generated 27 February/2009/05/59/Depok/7/Juli/2008. Di posting oleh penulis pada tanggal 28 juli 2009.
 Cogan 1998
 Gay, dan Stanley: 1995 dalam Al Hakim, 200216
 Banks, 1993
 Sleeter and Grant, 1988
 Azra 2007
 Farris & Cooper 1994
 Banks dalam Skeel, 1995 Op. Cit
 Dickerson, 1993; Banks, 1994. Op. Cit
 Banks Op. Cit
 Groski Op. Cit
 Ibid Groski
 Penulis kira metode dakwah kultural dengan sistem pendidikan multikultural Muhammadiyah sebaga bentuk pengembalian indentitas budaya kepada otoritas dan nilai keislaman, Integrasi budaya yang mencakup dakwah cultural, Konstuksi pengetahuan tentang proses dakwah Kultural, sikap arif dan bijak, pendidikan secara adil (Justice learning) dan kompetitif (competition learning), Pemberdayaan budaya dan struktur sosial (empowering school culture and social structure).
 Gay 1995 dalam Walsh & Agatucci, 2001, inclusion, infusion, deconstruction, transformation.
 Banks, 1989, Beberapa pendekatan yaitu pendekatan kontribusi (contribution approach), pendekatan additive (additive approach), pendekatan transformasi (trasaformation approach) dan pendekatan tindakan sosial (social action approach).
 Azzumardi Azra (2007) Op. Cit. terdapat lima tipologi pendidikan multicultural yang berkembang, yaitu : 1. Culture Difference, 2. Human Relation, 3. Singles Group Studies. 4. Multiculture Education 5. multiculture social rekonstruktion. Yang lebih dikenal dengan Critical Multicultural Education".
 Muhammad Anggit NP (2008) Op. Cit Lembaga Pusat Pengkajian Filsafat (LP2F) Semarang.
 Lihat Grand Desig Intelektual Profetik dalam Transformasi Sosial (Formulasi DAM 2005)

Tidak ada komentar: