Gelorakan Pemikiran

Minggu, 26 September 2010

EPISTEMOLOGI DAN METODOLOGI TEORI ShAFRILISME

Epistemologi Dan Metodologi (Pergeseran Wacana Konflik Menuju Integrasi Keislaman).

Kita semua mungkin memahami atau tidak paham dengan judul yang saya sodorkan kepada pembaca semuanya. Akan tetapi bukanlah maslah kita tidak tau, namun kita yang tidak berusaha tau. Judul yang saya ajukan ini mungkin membuat orang tertawa oleh karena dikatakan wajah wacana dahulu atau sudah usang. Namun harus diketahui secara bersama bahwa melihat dan menggapai Islam yang baik dan benar sama dengan kita duduk tenag dihadapan Tuhan. Maka oleh karena itu, maksud apa yang saya katakan ini bahwa manusia sesungguhnya ingin berbahagia dan mendapat pujian Tuhannya, dengan niat iulah manusia berlomba-lomba kepada kebaikan dan berdakwah secara baik pula. Dibalik kebaikan dan perlombaan itu juga terdapat proses dan sesuatu yang kontraproduktif didalam diri manusia.

Perdebatan dan pergulatan manusia diantara realitas perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (sains) selalu terbuka dan berkembangkan, diverifikasi dan difalsifikasikan, serta berkorespondensi dengan tingkat pengetahuan manusia. Segala bentuk konsumsi dan distribusi pemikiran maupun kekuatan akal pikiran manusia memiliki tolak ukur dan perkembangan yang dibumbuhi dengan berbagagai persoalan-persoalan pengetahuan juga. Konflik dan dinamika pengetahuan ini terjadi ketikan muncul nafas ilmu filsafat yang berkembang dari masa ke masa, seumpamanya perkembangan pengetahuan filsafat yang titik fokusnya dari Rane Descartes, Immanuel Kant dan David Rume. Menurut M. Amin Abdullah mengatakan bahwa memiliki banyak problem epistemologi sebagai akibat wacana dan pengetahuan konflik oleh pola pikir manusia, problem-problem berikut: Sejauh manakah kekuatan akal pikiran manusia (mind) dalam usahanya untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia luar (exsternal wprld) ?, seberapa jauhkah kemampuan dan kekuatan akal pikiran dapat menembus struktur fundamental dari realita ?, seberapa tepatkah ide dan konsep-konsep yang telah berhasil dirumuskan oleh akal pikiran dalam menggambarkan dan menjelaskan hakekat dan struktur penjelasan fundamental akal pikiran dari pada realitas waca tersebut ?, apa batas-batas kemampuan akal pikiran manusia dalam upayanya untuk memperoleh dan mencapai kebenaran ? ketiga istilah kunci tersebut diatas yakni hakekat dan kekuatan akal pikiran manusia (the naturs and limits of the power or fakultiers of the mind). Dunia luar (the exsternal world) dan sampai batas mana tingkat ketepatan ide-ide dan konsep-konsep yang disusun oleh akal pikiran dan menggambarkan serta menjelaskan hakekat struktur fundamental dari dunia luar (the extents to which the mind’s ideas adequately refresen the external world), menggigatkan kita pada cara yang digunakan secara tradisional oleh epistemologi modern. Problem semacam itulah yang kita jumpai dalam tulisan Descartes dan Leibnitz untuk aliran rasionalis dan Locke, Berkeley, Hume untuk golongan empirisme, atau bahka juga dengan Immanuel Kant dan pengikutnya sampai akhir abad ke 19. persoalan-persolan tersebut dapatlah dikatakan, dalam beberapa hal tertentu bahwa masih terus mendominasi cara berfikir dari beberapa pemikir abad ke 20. Disini banyak terdapat perbedaan penting dalam corak epistemologi cara berfikir dan dan aliran serta golongan rasionalis eropa, empirisme inggris dan kant dengan orang-orang yang memiliki pandangan dualistis—dikotomis dalam berbagai model keragamannya berfikir dan penomenalis dalam memepertahankan perbedaan corak epistemologi yang mereka kemukakan dalam pengetahuan. Akan tetapi walaupun banyak perbedaan diatas epistemologi mereka, namun mereka tetap komitmen untuk menyamakan visi dalam konteks problem pengetahuan yang akan dipecahkan. Walaupun ada penyamaan visi bagi mereka sendiri memiliki orientasi yang berbeda juga dalam mengungkapkan dialektis pemikiran untuk dipecahkan. (Prof. Dr. M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan integratif dan Interkonektif; 2006 : 119 Pustaka Pelajar Yogyakarta) Epistemologi sudah tentu tidak terlepas dari kajian filsafat ilmu karena ia merupakan bagian dari pengetahuan ilmiah. Menurut Jujun S. Suriasumantri filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Lebih lanjut Jujun mengatakan bahwa semua sistem kefilsafatan selalu berkisar pada masalah Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi karena, ketiga sub sistem tersebut selalu berkaitan satu sama lain. Ontologi ilmu terkait dengan Epistemologi ilmu, dan Epistemologi ilmu terkait dengan Aksiologi ilmu. Menurut William S. Sahakian epistemologi merupakan “pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan : apakah sumber pengetahuan ? Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan ? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan ? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia. Secara terminologi, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan. Dalam hal ini ada beberapa persoalan pokok yang secara garis besar terbagi dua. Pertama, persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomena/appearance) versus hakikat (noumena/essence): Apakah sumber pengetahuan ? Dari mana sumber pengetahuan yang benar itu datang ? Bagaimana cara diketahuinya ? Apakah sifat dasar pengetahuan ? Benarkah ada realita di luar pikiran kita ? Apakah kita mengetahuinya ?. Kedua, tentang mengkaji kebenaran atau verifikasi: Apakah pengetahuan kita itu benar (valid) ? Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dan yang salah ?.

Sejarah filsafat Barat mencatat ada dua aliran pokok dalam epistemologi. Pertama, idealism atau rasionalism (Plato), yaitu suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran “akal”, “idea”, “category”, “form”, sebagai sumber ilmu pengetahuan, dan mengesampingkan peran “indera”. Kedua, adalah realism atau empiricism (Aristoteles), yaitu aliran pemikiran yang lebih menekankan peran “indera” sebagai sumber sekaligus alat memperoleh pengetahuan, serta menomorduakan akal. Kedua aliran tersebut lahir pada zaman Yunani antara tahun 423 sampai dengan tahun 322 sebelum Masehi. Selain kedua aliran tersebut masih ada beberapa aliran lain diantaranya, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, fenomenologi dan lain sebagainya. Kesemuanya lahir setelah masa renaissans di Barat. Dalam percaturan pencarian kebenaran, masing-masing aliran berada pada kutub ekstrim yang berbeda, terjadi perselisihan, pertentangan bahkan saling melemahkan.Tetapi hal yang mendasar dan menjadi garis besar epistemologi Barat adalah ditandai oleh desakralisasi atas pengetahuan yang bersifat ketuhanan. Filsafat menjadi benar-benar sekular, dan alam pun selanjutnya dikosongkan dari keberadaan Tuhan. Selanjutnya dalam sejarah filsafat Islam tercatat aliran epistemologi yang menekankan pentingnya integrasi metode rasionalism dan empiricsm yang melahirkan metode eksperimen. Dalam metode ini pertentangan antara penalaran rasio dan empiri seperti yang dianut Barat dihilangkan. Metode ini dikembangkan oleh sarjana-sarjana Muslim pada abad keemasan Islam, yaitu ketika ilmu dan pengetahuan lainnya mencapai titik kulminasi antara abad IX dan XII Masehi. Kemudian diperkenalkan di dunia Barat oleh filsuf Roger Bacon (1214-1294) serta dimantapkan sebagai paradigma ilmiah atas usaha Francis Bacon (1561-1626). Fakta ini diperkuat oleh H.G. Wells yang menyatakan bahwa “jika orang Yunani adalah bapak metode ilmiah, maka orang Muslim adalah bapak angkatnya”. Dalam perjalanan sejarah maka lewat orang Muslimlah dunia modern sekarang ini mendapatkan kekuatan dan cahayanya, dan diakui telah memberi sumbangan besar bagi lahirnya renaissans dalam peradaban Barat.
Dalam teori filsafat Descartes lebih jauh kalau kita memikirkan tentang diri kita saja merupakan sebuah keyakinan. Namun ketika descartes mencoba mengajukan epistemologi modern dengan berorientasi pada subyek dan obyek yakni perbedaan tajam serta mencolok pada pola pikiran kepentingan manusia yang selalu dijumpai dalam kehidupan sehari-hari tanpa memeperhitungkan keberadaan illahiannya. Dalam konteks pengetahuan manusia yang universalitas bahwa kefilsafatan Descartes telah banyak membuka jalan lebar bagi dinamika pengetahuan yang berhubungan khusus dengan epistemologisnya. Pemikiran Descartes mengajukan sebuah epistemologi mengacu pada keyakinan manusia yang dapat di pahami dan dilihat dengan seyakin-yakinnya atau mengalami keraguan pada manusia itu sendiri tentang keberadaanya (Cogito Ergo Sum). Sistem dasar filsafat yang di ajukan oleh Descartes sebenarnya untuk menguji kemampuan manusia dalam sebuah penomena yang ada pada dirinya baik secara eksternal maupun internal. Kemudian dengan pandangan seperti itu, ingin memperkuat keyakinan manusia melalui bangunan dasar yang kuat sebuah keyakinan yang dapat di pertanggungjawabkan di depan Tuhan. Namun dalam dinamika pengetahuan modern yang lahir dari rahim ide dan gagasan renaisanse tidak lepas berbagai pandangan kritis di kalangan para ahli pengetahuan dan kefilsafatan. Mereka menyadari bahwa pengetahuan modern baik yang diajukan oleh descartes, Kant, berkeley dan David Hume memiliki sisi keterbatasan dan perkembangan cacat yang sangat serius, oleh karena pemikiran yang mereka ajukan baik obyektifitas, subyektifitas, empirisme dan rasionalisme dianggap belum mampu mengakomodasi permasalahan dunia dan manusia dengan analisis pengetahuan modernnya.

Banyak diantara pemikir pasca mereka mengatakan bahwa penyebab terjadinya konflik pengetahuan modern dengan berimplikasi pada krisis global yang dialami oleh masyarakat global atau manusia itu sendiri. Berhubungan dengan analisis wacana konflik epistemologi yang melekat pada manusia, tentu sangat menarik kalau kita mengutif statement sorang Gregory Bateson yang mengatakan bahwa: “Sudah jelas bagi banyak orang bahwa banyak bahaya mengerikan telah tumbuh dari kekeliruan-kekeliruan epistemologi Barat. Mulai insektisida sampai polusi, malapetaka atomik, ataupun kemungkinan mencairnya topi es antariksa”. Ungkapan tersebut kita lihat dalam dalam realitas perkembangan pengetahuan modern, baik itu berdasarkan sebab akibatnya maupun kesadaran manusia yang melahirkan penyangkalan atas klaim objektifitas pengetahuan modern yang membuat manusia miskin dalam keyakinannya. Teori ilmu objektif yang dikembangkan Descartes yang tersebut tadi menggambarkan pada berbagai pola pembebasan realitas sains (netralisasi) dari berbagai hal termasuk keyakinan (sekularisasi). Namun persyaratan keobjektifan demikian sudah dimustahilkan karena menurut David Hume, ilmuwan bekerja dalam kerangka berpikir yang telah dahulu disandarkan pada kepercayaan atau paradigmanya sendiri. Lebih tegas M. Amin Abdullah menyatakan bahwa klaim ilmu pengetahuan yang netral atau bebas nilai dan objektif memungkinkan adanya praktek manipulasi dengan proses rekayasa yang mengarah pada konflik di segala sisi kehidupan manusia.

kalau kita berada dalam analisis wacana keilmuan, maka gagasan-gagasan yang dipoles oleh Descartes dan David Hume dengan teorinya skeptisisme Hume berserta Immanuel Kant yang mengkritik bangunan epistemologi yang di gagas oleh David Hume. Dalam filsafat intelektual dan pemikiran mereka bahwa praktek wacana epistemologi pemikiran mereka, sesungguhnya memiliki hubungan pada konstruksi kekuasaan, keyakinan, dan postsosial manusia dalam sebuah realitas. Pendekatan dalam analisis wacana epistemologi mereka memakai pola pendekatan teori kesamaan—persamaan dan teori konflik yang dianggap memiliki kemampuan untuk menciptakan subjek dan objek yakni kekuatan sebuah keyakinan diri sendiri yang cenderung dipaksakan kepada orang lain. akan tetapi pendekatan tersebut membuat banyak ilmuwan menyadari bahwa pengetahuan modern beserta konstruksi keilmuannya bukanlah sebuah pilihan dalam proses internalisasi dan pengayaan keilmuan baik secara akademis maupun sosial. Kewacanaan kritis mereka mengkonstruksikan refresentasi dunia global pada perbedaan-perbedaan mencolok antara pendekatan yang mereka gunakan baik dalam pemahaman keyakinan manusia (ideologi), dan sosial historis. Maka harus kita pahami dan mulai kita berangkat dari keyakinan bahwa paradigma teoritis wacana epistemologi mereka yang memiliki perbedaan tersebut tentu berimplikasi pada entitas keilmuan yang berbeda pula. Maka ketika perbedaan tersebut dirasakan, kemudian mencoba melegalisasikan—rasionalitas pengetahuan modern sebagai agenda pencarian alternatif-alternatif epistemologi baru. Pencarian tersebut menembus batas prediksi pengetahuan modern yang tergabung berbagai kelompok humanis radikal, Marxisme hingga kelompok dunia mitologis.

Eksistensi wacana ilmu pengetahuan modern secara terus menerus mengalami kemajuan dan perkembangan pesat dengan semangat rasio dari antagonisme—mitologis, sehingga kemudahan pemaknaan terhadap revolusi sains sekularismenya atas konspirasi pendekatan objektif dan subjektif yang didukung oleh teori rasionalitas negatif dengan mengarah pada lahirnya antagonisme pada diri manusia. Namun progresifitas ilmu pengetahuan modern merupakan revolusi sains yang mendasarkan ide pembebasan, mengakibatkan manusia lupa dan meninggalkan doktrin agama—ketuhanan sebagai dasar fundamental keyakinan manusia. Klaim cara pandang mereka dalam memandang kekuatan akal pikiran manusia memungkinkan untuk menyuarakan pencarian mereka dari epistemologi baru dengan metodologi pendekatan tradisional bahwa mereka akan mengetahui secara utuh tentang segala sesuatu yang bersifat materil yakni tentang dunia, Tuhan, kebebasan, keabadian jiwa. Akan tetapi argumentasi Immanuel Kant mengakui seluruhnya bahwa manusia membutuhkan segala sesuatu yang tidak bisa manusia tampung dan dapatkan sepenuhnya sehingga tidak bisa untuk direalisasikan secara bersamaan. Immanuel Kant berpendapat bahwa semua hal seperti itu, manusia harus masuk dalam transendent yang bersifat kuasa dan tidak dapat diketahui kebijakan, pertimbangan dan kehendak-Nya. Pemecahan konflik wacana epistemologi oleh pandapat Immanuel Kant meupakan pertanda kebaikan perkembangan pengetahuan modern yang sangat menentukan dalam event sejarah epistemologi pengetahuan modern. meskipn demikian, kita dapat melihat bahwa alam ini dalam satu aspek saja yang berorientasi pada pencitaannya bersama manusia. Hal ini diakui oleh Immanuel Kant dengan berbagai kekuatan untuk menjawab keraguan david Hume dan para penganut teori yang beraliran dualisme. Dengan pemikiran epistemologi Immanuel Kant atas pengakuan akan adanya transendent maka hampir semua teori Kant didistribusi dalam pemikiran para pemikir filsafat dan epistemologi modern serta memaknai andil transenden (Tuhan) dalam proses pengetahuan melalui struktur religion dan kalamnya. (Immanuel Kant dalam Prof. M. Amin Abdullah Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan integratif dan Interkonektif; 2006 : 125 Pustaka Pelajar Yogyakarta).

Kalau kita mengamati sebelumnya bahwa semua epistemologi pengetahuan yang mereka anggap mampu mengakomodasikan seluruh kepentingan kehidupan manusia dengan berpusat hanya pada pemaknaan keberadaan manusia secara fisik (antroposentris). Dan mereka menganggap bahwa kekuatan akal pikiran-lah yang mampu mendapatkan penegasan segala pengetahuan (rasionalisme), mereka sebelumnya menempatkan Ilmu pengetahuan tetap diposisi netral dengan memisahkan kontribusi doktrin agama dan ilmu pengetahuan. Dengan peran kebudayaan ilmu bersama epistemologi utopisnya sebagai sebuah refleksi dunia Barat yang telah menciptakan struktur sosial imperialisme yang mapan dengan slogan epistemologinya. Masyarakat dunia kemudian percaya bahwa kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan hanya dapat terlaksana jika mampu membebaskan diri dari ikatan-ikatan agama, karena hampir semua cabang ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat muncul dari pendekatan non agama (anti agama). Tentu paradigma itu pada dasarnya bertentangan dengan cita-cita Islam, Al-Qur’an dan Tuhan. Ketiga hal tersebut merupakan petunjuk yang mengandung berbagai macam ilmu pengetahuan yang bersifat positif dan normatif. Ilmu pengetahuan modern dalam Al Qur’an yang bersifat positif dan normatif tersebut dapat ditransformasikan sebagai teori ilmu pengetahuan yang telah teruji oleh zaman untuk kemudian diaktualkan dalam setiap dimensi kehidupan. Maka oleh sebab itu hal inilah yang menjadi konstruksi bangunan epistemologi pemikiran keislaman yang mampu mendasari dan mengintegrasikan berbagai cabang disiplin ilmu dengan konsepsi Islam—Al Qur’an yang sama sekali tidak ada pertentangan.

Tugas utama pemikiran dan para pemikir Islam harus memperkuat dan memperlebar kajian epistemologi Islam kontemporer agar kita dapat keluar dari keraguan, ketakutan, ketidaktahuan dan mengganti kepercayaan yang masih mentah dengan kepercayaan yang sehat; mencapai kemajuan dalam ilmu pengetahuan baik yang terkait dengan perluasan dan perkembangan ilmu pengetahuan maupun dalam hal penjernihan dan perbaikan kepercayaan kita terhadap dunia dalam berbagai cabang dan bidang yang tak terbatas. Sehingga epistemologi dalam konteks keislaman bersentuhan dengan masalah logika baik secara luas maupun kompleksitas penggunaannya. Semua yang berbentuk logika—akan berhubungan dengan manusia dengan kemampuan yang secara khas dimilikinya adalah kemampuan berbicara, kemampuan untuk mengambil kesimpulan, kemamouan tauhidnya, kemampuan beriqra (membaca), kemampuan mejelis dan kemamouan bergerak (ikhtiar), kemampuan menusun konseptual pemikiran sendiri, dan kemampuan rasionalitas dalam mencari kebenaran. Mengapa harus demikian, oleh karena memahami epistemologi Islam atau filsafat Islam harus lebih terbuka yang menyerap segala yang bersifat teoritis, sehingga tidak terjebak pada disiplin ilmu yang bersifat tertutup dan tidak longgar. Epistemologi Islam harus terbuka oleh karena selama ini teelah dikonstruksikan oleh filsafat Eropa—Yunani yang sangat kental sekularismenya, maka oleh karena itu epistemologi Islam sudah saatnya keluar dari kontruksi—dinamika atau maenstream tersebut menuju integrasi keislaman dan memoperasikan nilai ketuhanan dalam berbagai disipli ilmu maupun kehidupan seutuhnya.

Menurut Kuntowijoyo, eratnya pertalian antara ilmu dan agama Islam terkait dengan konsep mengenai agama Islam itu sendiri. Konsep agama Islam tidak mengenal panteologisme atau pemikiran serba teologi yang cenderung mengalienasi rasio. Hal tersebut tercermin dari ketegasan Al-Qur’an untuk senantiasa menggunakan akal, observasi empiris, pengalaman bahkan intuisi, untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran. Konsep seperti itu tidak ditemukan di agama lain. Kristen misalnya yang cenderung panteologis memang sulit menerima sistem pengetahuan rasional dan mengakibatkan konflik besar antara ilmu dan agama. Namun ironinya, kenyataan sekarang ini, “pembaharuan-pembaharuan di seluruh dunia Islam lebih dipacu untuk membangun tiruan-tiruan terhadap tonggak intelektual Barat daripada membentuk kembali sumber ‘aql-nya sendiri”. Kenyataan tersebut menurut Ziauddin Zardar adalah merupakan dampak dari pesatnya imperialisme epistemologis Barat terhadap alternatif pemikiran-pemikiran lainnya sejak sekitar 300 tahun yang lalu. Sehingga terciptalah cara-cara pengetahuan yang didominasi oleh citra orang Barat. Epistemologi alternatif adalah Islam yang mampu menjawab semua problem pemikiran keislaman maupun sosio kultural serta metologi berfikir serta sikap yang terilhami dalam Al Qur’an dan As sunnah. Epistemologi Islam mempunyai citra tersendiri yang tak kalah dan sudah tentu tingkat pemahaman, interpretasi, penghayatan dan pelaksanaan norma-norma tersebut terdapat dalam Al Qur’an dan As sunnah. Dimanapun dan kemana pun serta bagaimana pun kondisinya bagi masyarakat muslim tetap berpedoman pada Al Qur’an dan As sunnah sebagai sumber utama kehidupannya.

Ide dan gagasan besar epistemologi ilmu pengetahuan dalam Islam harus terletak pada konsep perubahan filsafat konvensional menuju filsafat keislaman yang dapat diterangkan berdasarkan tafsiran nilai-nilai al Qur’an dan sunnah yang sesuai dengan realitas kultural dan sosial kemanusiaan dan merekonstruksi pemikiran keislaman dengan metode refleksi historis—kritis yang berhubungan langsung dengan sosio culture. Rekonstruksi tersebut bermaksud agar semua kita paham dengan teks-teks al Qur’an dan nas-nas yang bersipat terbatas dan penuh dinamika dalam doktrin, sementara perkembangan alam semesta, kehidupan manusia terus mengalami perubahan baik itu dalam ilmu pengetahuan maupun teknologi tanpa mengenal batas-batasan finalisasinya. Teks-teks dan nash al Qur’an yang berarti matannya tidak bisa kita merubahnya untuk menjadi berbeda, tetapi pemaknaan kita terhadap al Qur’an dalam konteks ilmu pengetahuan memiliki otoritas untuk menafsirkan dan memaknau baik itu dalam sebuah kelompok, ras, suku, cultural, mazhab, sosial ekonomi, bahkan politik. Dalam konteks seperti ini al Qur’an perlu disentuh dengan pemahaman yang bersifat terbuka dan ditafsirkan maknanya sebagai bentuk ide pembaharuan—pembaharuan ide atau gagasan. al qur’an dan sunnah tanpa proses pembaharuan ide atas makna yang dikandungnya maka akan terpotong dalam doktrinnya, sehingga pada era tertentu mengalami pembekuan dan bersifat totalistik—eksklusif dengan mengalami paranoid atau kehilangan kerelevansiannya terhadap pola hidup. Maksud dari pemaknaan tersebut bukanlah diarahkan pada doktrin liberalis—sekularisme, freedom—pluralisme, akan tetapi pemaknaan interpretasi tersebut sebagai bagian penyegaran doktrin al Qur’an dan sunnah dengan berbagai tantangan pergulatan pengetahuan dalam zaman yang berbeda dan terus menerus mengalami perguliran secara cepat, apalagi perbenturan tradisi keagamaan dalam era modern atau globalisasi saat ini.

Al-Iqra Al-Ilmiy : Epistemologi Dan Metodologi Keilmuan Islam Mengaktualisasikan Paradigma Penafsiran Al Qur’an.

Sangat menarik untuk diungkapkan daam tuisan ini, bagaimana pola keberagaman dalam beragama dan khususnya pola umat Islam memiliki fenomen ayang sangat menarik untuk di kaji. Fenomena tersebut baik pada tataran kaum Islam tradisional, rasionalisme, modernisme, neomodernisme, fundamentalusme, revivalisme dan salafiyah. Mereka semua selalu terlibat dalam perangkat sistem berfikir yang terilhami dari al Qur’an dan sunnah (teks dan nash) serta terhantung pada literatur kajian keagamaan yang mereka miliki baik literatur yang berhubungan dengan persoalan ibadah maupun tata hubungan sosial, eknomi, politik, dan kebudayaan. Hal tertentu yang tidak bisa dilupakan adalah ketika umat Islam memiiki masalah baik dalam ritualitas atau proses pembangunan Islamic center yang berpolemik di internal umat Islam misalnya, maka hal tersebut terlebih dahulu membicarakan dan meyelsaikan atau meminta petuah dan nesehat kepada para ustadz, ulama, petuah, fatwa atau organisasi Islam, kelompok masyarakat yang notabee mereka ditokohkan dalam suatu komonitas masyarakat. Kemudian para tokoh-tokoh tersebut tentu mencari jala keluar maslah keagamaan harus mempertimbangkan apa yang yang terkandung didalam teks al Qur’an dan nash tanpa mereka mengetahui bagaimana al Qur’an tersebut ditulis dan dibaca dalam proses yang telah bersejarah selama keberadaannya. Maka oleh karena aktualisasi bukan dalam tidak ada perubahan penafsiran dalam konteks kandungan dan makna al Qur’an, akan tetapi yang harus di kedepankan adalah paradigma pemikiran dan metodologi pemecahan segala bentuk persoalan keagamaan yang bisa kita dapat dari berbagai pengalaman para orang-orang intelektual seperti para guru, dosen, organisasi, kiyai, tuan guruh, ulama, pemikir, penulis kreatif, kitabullah, buku-buku keislaman, muballigah, bikhu, pastur, paulus dan berbagai rujukan lainnya yang bisa memberikan jalan keluar dari berbagai persoalan keagamaan. Rujukan-rujukan buku keislaman yang ditulis oleh para penulis memiliki kekuatan yang sangat luar biasa dan setiiap tulisan menawarkan sebuah jalan keluar dari fenomena dan dinamika problem keagamaan, sehingga dapatlah teridentifikasi seberapa jauh kekuatan penafsiran yang dipandang dalam logika teks dan konteks.

Sangat menarik untuk berada dalam ruang pergulatan pemikiran epistemologi keislaman atau sebagai khazanah pemikiran yang diterapkan dalam penafsiran al Qur’an dan sunnah. Pandangan para pemikir kreatif Islam, mencoba mencari sebuah entitas kelemahan dan aspek kematian teks al Qur’an, aka tetapi mereka tidak menemukannya sehingga berkesimpulan bahwa al Qur’an harus ditafsirkan dalam konteks berfikir secara tasional dan empirik pula, bukanlah pada tataran pengugatan terhadap Tuhan yang telah mengirim berita al Qur’an sebagai bentuk intervensi Tuhan kepada umat manusia atau memang al Qur’an bersifat kekal, abadi sehingga memiliki paralelitas dengan sifat Tuhan itu sendiri ?. Sesungguhnya cara berpikir rasional dan empirik merupakan bagian yang sah dari epistemologi Islam dan filsafat Ilmu, bahkan menjadi unsur oenting dan dasar permanen dalam sistem epistemologi Islam itu sendiri. Metode eksperimen misalnya adalah produk kultur otentik dari budaya berpikir logis dengan bukti-bukti empiris yang dikembangkan sarjana-sarjana Muslim. Sejarah membuktikan dengan ditemukannya aljabar, manthiq, ilmu falak matematika al Qur’an, sosiologi al Qur’an dan Islam, Ilmu antropologi dan masyarakat Islam, ilmu kedokteran, ilmu fisikan Islam dan lain-lain di dunia Islam jauh sebelum Eropa mengenal metode eksperimen dan memang kenyataanya eropa—Yunani hanya terkungkung pada corak berpikir monolinear antara rasionalisme atau empirisme dan mereka menjauhkan diri serta memuat dikotomi dengan ilmu maupun peran ajaran agama. Pemisahan tersebut dengan sistem sekularisme. Padahal seluruh manusia, apalagi sarjana-sarjana muslim maupun orientalisme sepakat tentang konsepsi universal al Qur’an yang memuat tentang hukum kekekalan dan keabadian yang tidak di ciptakan oleh manusia. Ini berarti bahwa pesan tertulis dalam al Qur’an merupakan kemahakaryaan yang memuat message-message yang diturunkan kebumi tanpa ada seleksi alamiah dan ilmiah manusia yang telah teruji oleh zaman dan kemunculannya mengkonstruksikan kehidupan manusia dari berbagai problem baik itu sosial ekonomi, kebudayaan, politik dan moralitas (ilmu etika sosial). Kita juga harus ingat bagaimana sejarah turunnya ayat al Qur’an yang dimana saat itu terjadi sebuah sakralisasi teks dan nash al Qur’an yang dipandang melalui kacamata sejarah dunia arab saat itu, Sehingga apa yang terjadi dari akibat sakralisasi penafsiran adalah menerima kenyataan yang pahit ketika dihadapkan oleh realitas ilmu pengetahuan dari modern ke kontemporer yang tidak berbasis keislaman. Begitu juga sebaliknya ketika ada inisiatif para pemikir muslim dalam menyoroti konsepsi penafsiran al Qur’an maka cenderung berlebihan dengan melakukan desakralisasi terhadap al Qur’an dengan tinjauan dasarnya diletakan pada metodologi diluar al Qur’an sehingga terjadi pendefinisian yang bersifat pemisahan antara doktrin internal al Qur’an dengan hubungan kausalitasnya dari peristiwa-peristiwa sejarah yang berbasis sosial budaya dan politik. Akibat dari sakralisasi teks mendorong adanya desakralisasi teks juga dengan bangunan dasar epistemologinya pemisahan Islam dengan realitas sosial kebudayaan.

Padahal tafsir berasal dari kata al-fusru yang mempunyai arti al-ibanah wa al-kasyf (menjelaskan dan menyingkap makna segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia dan Tuhannya). Menurut pengertian terminologi, bahwa ilmu untuk memahami kitab Tuhan yang diturunkan kepada Nabi dan Rasulnya, dengan penjelasan maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum itu sendiri. Al-Qur’an diturunkan dengan segala macam kekayaan dialektika bahasa yang terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah hukum, asas perilaku, menuntun manusia ke jalan lurus dalam berpikir, berilmu dan beramal. Namun, Tuhan tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al-Qur’an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafas yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan yang berupa tafsir Al-Qur'an. Adapun bentuk-bentuk tafsir Al-Qur'an secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga: pertama, Tafsir bi al-Matsur, kata atsar berarti sunnah, hadits, jejak dan peninggalan, karena dalam melakukan penafsiran dan menelusuri makna dari sejarah al Qur’an. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, Al-Qur'an dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah. Kedua, Tafsir bi ar-Rayi, seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur'an, hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain dan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada. Ketiga, Tafsir Isyari, setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah isyarat yang tersembunyi dibalik makna al Qur’an yang dapat diketahui oleh ahlinya.

Al-Quran adalah kalam Ilahi yang memiliki kelebihan dari sekian banyak kitab suci, al-Quran laksana batu berlian yang bisa memancarkan sinar dari berbagai sisinya. Manusia tidak akan merasa puas setelah membaca satu ayat yang ada di dalamnya, karena ia akan menemukan semkain banyak keajaiban pengetahuan setelah mengkomparasikannya dengan ayat yang lain. Salah satu bukti keajaiban al-Quran adalah banyaknya tafsir yang muncul di setiap generasi dengan metode terbaru. Hal ini membuktikan kerelevanan al-Quran yang baru disadari, karena keterbatasan kemampuan manusia itu sendiri. Berikut ini akan diuraikan sekelumit tentang metodologi tafsir, mulai dari pengertian sampai dengan pembagian-pembagiannya. Pengertian Metodologi berasal dari bahasa Yunani method dan logos. Dalam bahasa Indonesia methode dikenal dengan metode yang diartikan dengan cara yang teratur dan terpikirkan baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Dalam bahasa Arab istilah metode dikenal dengan manhaj. Sedangkan logos berarti ilmu pengetahuan. Tafsir berasal dari kata fassara-yufassiru-tafsir yang berarti menjelaskan, membuka dan menampakkan makna yang ma¡¦qul. Sudah kelaziman dalam bahasa Arab, bahwasanya bentuk mashdar sering diberi makna isim maf¡¦ul. Sehingga pemgertian tafsir dibedakan atas 2 macam:
1. Tafsir sebagai mashdar berarti menguraikan dan menjelaskan apa-apa yang dikandung al-Quran berupa makna-makna, rahasia-rahasia, dan hukum-hukum.
2. Tafsir sebagai maf¡¦ul berarti ilmu yang membahas koleksi sistematis dari natijah (hasil) penelitian terhadap al-Quran dari segi dilalahnya yang dikehendaki Alah sesuai dengan kadar kemampuan manusia.

Tapi tentu saja, yang dikehendaki dalam uraian ini adalah pengertian pertama. Tegasnya tafsir dalam artian metode, bukan tafsir al-Quran dan bukan pula ilmu tafsir (ilmu-ilmu al-Quran). Ada beberapa perbedaan ahli ilmu agama dalam mengartikannya. Pada dasarnya, perbedaan tersebut terletak pada sudut pandang, dimana menitikberatkan tafsir sebagai ilmu dan alat sedangkan pandangan lainnya lebih menekankan keberadaannya sebagai ilmu pengetahuan terhadap petunjuk-petunjuk al-Quran. Demikian juga di kalangan mufassir bahwa ada persamaan dalam hal tujuan tafsir namun berbeda mengenai hakikatnya. Sebenarnya ilmu tafsir terlebih dahulu di bicarakan dalma satu majelis dengan terma-terma ilmiah. Metodologi tafsir dapat diartikan sebagai pengetahuan mengenai cara yang ditempuh dalam menelaah, membahas dan merefleksikan kandungan al-Quran secara apresiatif berdasarkan kerangka konseptual tertentu sehingga menghasilkan suatu karya tafsir yang representatif (yang dimaksud di sini tidak mesti dalam bentuk kitab tafsir komprehensif yang menyodorkan seluruh kandungan kitab suci dari awal hingga akhir).
Metodologi Tafsir yang selama ini dilakukan dalam ruang lingkup yang normatif saja, tanpa memandang lebih jauh bagaimana kondisi umat manusia. Ada beberapa hal yang harus di perhatikan dalam metodologi tafsir adalah sebagai berikut; Pertama; Metode Tahlili (Analitik), metode yang menafsirkan dan menjelaskan Al-Qur'an dengan menguraikan berbagai ruang lingkup serta seginya dari apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur'an. Tafsir ini secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur'an, menjelaskan kosa kata dan lafazh, arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur i’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, hukum fiqih, dalil syar’i, serta mengartikan secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya. Tujuan utama adalah untuk meletakkan dasar-dasar pemahaman rasional dalam Al-Qur'an. Metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah dan bahasannya sangat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat, hal ini terlalu “mengikat”. Kedua, Metode Ijmali (Global); Metode ini berusaha menafsirkan Al-Qur'an secara global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud dalam tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas. Ketiga, Metode Muqarin, metode tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu. Keempat, Metode Maudhu’i (Tematik), Metode ini berusaha mencari jawaban Al-Qur'an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan satu dan bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya,tentu hal itu dibicarakan dalam satu majelis. Kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan, keterangan dan hubungannya dengan ayat lain dan mengambil hukum-hukum darinya.
Dari berbagai macam Tafsir Al-Qur'an akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar belakang ilmu pengetahuan, aliran kalam, mahzab fiqih, sehingga tafsir yang dihasilkan akan mempunyai berbagai corak. Diantara berbagai corak itu antara lain adalah : Corak Sastra Bahasa: munculnya corak ini diakibatkan banyaknya orang yang memeluk Islam serta akibat kelemahan di bidang sastra sehingga perlu menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur'an di bidang sastra. Corak Filsafat dan Teologi : corak ini muncul karena adanya penerjemahan kitab-kitab filsafat yang mempengaruhi beberapa pihak serta masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang pada akhirnya menimbulkan pendapat yang dikemukakan dalam tafsir mereka. Corak Penafsiran Ilmiah: akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka muncul usaha-usaha penafsiran Al-Qur'an sejalan dengan perkembangan ilmu. Corak Fikih: akibat perkembangan ilmu fiqih dan terbentuknya madzhab fiqih, maka berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran mereka terhadap ayat-ayat al Qur’an yang menyangkut hukum. Corak Tasawuf : akibat munculnya gerakan-gerakan sufi maka muncul pula tafsir-tafsir yang dilakukan oleh para sufi yang bercorak tasawuf. Corak Sastra Budaya dan kemasyarakatan: corak ini menjelaskan petunjuk ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, usaha untuk menanggulangi masalah berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan dalam bahasa yang mudah dimengerti dan enak didengar. Perkembangan, Ilmu tafsir Al Qur'an terus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman dan suatu keharusan agar Al Qur'an dapat bermakna bagi umat Islam. Pada perkembangan terbaru mulai diadopsi metode-metode baru guna memenuhi tujuan tersebut. Dengan mengambil beberapa metode dalam ilmu filsafat yang digunakan untuk membaca teks Al-Qur'an maka dihasilkanlah cara-cara baru dalam memaknai Al-Qur'an. Diantara metode-metode tersebut yang cukup populer adalah Metode Tafsir Hermeneutika dan Tafsir Semiotika.
Selain metodologi penafsiran al Qur’an, terdapat juga bagaimana caranya pendekatan yang harus dilakukan dalam memahaminya. maka oleh karena itu, sangat perlu metode pendekatan. Adapun metode-metode pendekatan tafsir yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan Bahasa (Filologis)

Penafsiran dengan mengggunakan pendekatan kebahasaan dalam menjelaskan maksud ayat yang terkandung dalam al-Qur'an muncul karena selain al-Qur'an sendiri memberi kemungkinan-kemungkinan arti yang berbeda. Juga menurut M. Quraish Shihab, akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman kandungan al-Qur'an di bidang ini (M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, Cet. XVI; Bandung: Mizan, 1997, h. 72). Perlu dimaklumi bahwa seseorang tidak bebas untuk memilih pengertian yang dikehendakinya atas dasar pengertian satu kosa kata pada masa pra Islam, atau yang kemudian berkembang. Seorang mufasir disamping harus memperhatikan struktur serta kaidah-kaidah kebahasaan serta konteks pembicaraan ayat, juga harus memperhatikan penggunaan al-Qur'an terhadap setiap kosa kata. Sebagai contoh, kata 'alaq dalam wahyu pertama "Dia (Tuhan) menciptakan manusia dari 'alaq" mempunyai banyak arti, antara lain: segumpal darah, sejenis cacing (lintah) sesuatu yang berdempet dan bergantung, kebergantungan dan sebagainya (Ibid., h. 81-82). Di sini seseoarang mempunyai kebebasan memilih salah satu dari arti-arti tersebut dengan mengemukakan alasan-alasannya. Perbedaan dalam memilih arti harus dapat ditoleransi selama ia dikemukakan dalam batas yang bisa dipertanggungjawabkan. Dalam kasus yang lain, sering al-Qur'an menggunakan lebih dari satu kali kata yang sama secara simultan dalam satu kalimat namun pengertiannya berbeda satu sama lain. Sebagaimana firman Allah swt., dalam QS. al-Rum [30] : 54: "Allah yang menciptakan mereka dari kelemahan, kemudian menjadikannya kuat sesudah lemah, kemudian sesudah kuat jadi lemah dan beruban (Depag, op. cit., h. 105)." Menurut Manna' al-Qaththan, bahwa yang dimaksud dengan da'f yang pertama itu adalah ketika masih seperti nuôfah dan pengertian yang kedua adalah ketika masih kanak-kanak, dan yang ketiga ketika sudah tua renta (Manna' al-Qaththan, Mabahits fi 'Ulum al-Qur'an, Cet. XVI; Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993, h. 201).

2. Pendekatan Historis

Seseorang yang ingin memahami al-Qur'an secara benar misalnya maka yang bersangkutan harus memperlajari sejarah turunnya al-Qur'an yang disebut sebagai ilmu Asbàb al-Nuzùl. Dengan pendekatan ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu, dan ditujukan untuk memelihara syari'at dari kekeliruan memahaminya Lihat: Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Cet. III; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 48.

Dengan mengetahui latar belakang turunnya ayat, orang dapat mengenal dan menggambarkan situasi dan keadaan yang terjadi ketika ayat itu diturunkan, sehingga hal itu memudahkan untuk memikirkan apa yang terkandung di balik teks-teks ayat itu. Selain dari itu, mengetahui Asbàb al-Nuzùl adalah cara yang paling kuat dan paling baik dalam memahami pengertian ayat, sehingga para sahabat yang paling mengetahui tentang sebab-sebab turunnya ayat lebih didahulukan pendapatnya tentang pengertian dari satu ayat, dibandingkan dengan pendapat sahabat yang tidak mengetahui sebab-sebab turunnya ayat Depag, op. cit., h. 105. Bahkan Imam al-Wahidi dengan tegas mengemukakan pendiriannya, yaitu: "Tidaklah mungkin (seseorang) mengetahui tafsir dari suatu ayat tanpa mengetahui kisahnya dan keterangan sekitar turunnya ayat tersebut Ibid." Namun ulama berbeda pendapat tentang kedudukan asbàb al-nuzùl. Ada yang menganggap penting keberadaan riwayat-riwayat asbàb al-nuzùl di dalam memahami ayat dan ada pula yang tidak memberikan keistimewaan karena yang penting bagi mereka ialah apa yang tertera di dalam redaksi ayat Azyumardi Azra (ed.), Sejarah dan Ulum Al-Qur'an (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 89-90. Berdasarkan uraian di atas, maka pendekatan historis dalam menafsirkan ayat adalah sangat penting khususnya asbàb al-nuzùl, karena dengan pendekatan ini seseorang dapat menerapkan ayat-ayat pada kasus dan kesempatan yang berbeda. Tegasnya menafsirkan al-Qur'an tanpa mempertimbangkan aspek historisnya, yang jelas akan mengacaukan pemaknaan kandungan al-Qur'an, sebagai contoh penafsiran Usman bin Mazin dan Amr bin Ma'adi terhadap ayat QS. al-Maidah (6): 93: "Tidak ada dosa bagi orang-orang beriman dan beramal shaleh terhadap apa-apa yang mereka makan apabila mereka bertakwa dan beriman serta beramal shaleh Depag, ibid., h. 190." Sehubungan dengan ayat ini, mereka membolehkan minum khamar. Al-Syafi'i berkomentar bahwa sekiranya mereka mengetahui seluk beluk ayat ini, tentunya mereka tidak akan mengatakan demikian. Sebab, Ahmad bin al-Nasai, dan lainnya menyatakan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah orang-orang yang ketika khamar diharamkan mempertanyakan nasib kaum muslimin yang terbunuh di jalan Allah, sedangkan mereka dahulunya minum khamar. (Ahmad Syadali dan Ahmad Raofi'i, Ulum Al-Qur'an, Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2000, h. 113).

3. Pendekatan Filosofis dan Teologis

Pendekatan ini dilakukan akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka (M. Quraish Shihab, op. cit., h. 72). Muhammad Husain al-Òahabi mengemukakan bahwa para filosof yang berusaha mempertemukan antara agama dan filsafat mempunyai dua cara yang mereka tempuh, yaitu: Pertama, dengan cara mentakwilkan naê-naê al-Qur'an agar sesuai dengan pendapat filosof atau dengan menyesuaikan naê-naê al-Qur'an dengan pendapat filosof agar dapat sejalan. Kedua, menjelaskan naê-naê al-Qur'an dengan pendapat-pendapat atau teori-teori filsafat, dengan kata lain pendapat filsafat yang mengendalikan naê-naê al-Qur'an (Lihat Muhammad Husain al-Òahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Cet. I; Kairo: Wahabah, 1995, h. 452-453). Pendekatan-pendekatan seperti ini dalam penafsiran al-Qur'an menimbulkan pro dan kontra. Golongan yang kontra beranggapan apabila seorang mufasir menafsirkan al-Qur'an, kemudian tafsiran tersebut bertentangan dengan teori-teori filsafat, maka hendaknya seorang mufasir memaparkan dalam tafsirnya, apakah dengan jalan mendukung teori-teori tersebut kemudian menjelaskan bahwa teori tersebut tidak bertentangan dengan nas al-Qur'an, dan jika teori tersebut memang benar dan dapat diterima, ataukah dengan jalan menolak teori tersebut mentah-mentah kemudian menjelaskannya bahwa teori itu tidak sejalan dengan nas al-Qur'an. Yang melakukan hal seperti ini adalah Imam Fakhr al-Razi dengan tafsirnya Mafatih al-Gaib (Ibid). Adapun golongan yang pro terhadap filsafat, dimana mereka mempercayai segala apa yang terdapat dalam filsafat, ketika mereka menafsirkan al-Qur'an mereka mengambil pendapat filosof, sehingga dapat dilihat tafsir mereka cenderung mendukung filsafat dengan mengatasnamakan al-Qur'an, seperti karangan al-Farabi (Ibid).

4. Pendekatan Sosiologis

Sebagaimana diketahui bahwa dalam al-Qur'an banyak ayat yang berkaitan dengan masalah sosial. Seorang mufasir berusaha memahami naê-naê secara teliti, lalu menjelaskan makna yang dimaksud dan berusaha menghubungkan naê-naê al-Qur'an yang dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat. Pendekatan seperti ini bermula pada masa Syaikh Muhammad Abduh, dimana perhatian lebih banyak tertuju kepada penafsiran yang menjelaskan petunjuk ayat-ayat al-Qur'an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat (M. Quraish Shihab, op. cit., h. 73). Karena al-Qur'an mempunyai ajaran dengan proporsi terbesar berkenaan dengan urusan muamalah dengan perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus, untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah (Abuddin Nata, op. cit, h. 40). Maka untuk memahami ayat-ayat muamalah serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari diperlukan pendekatan sosiologis.

5. Pendekatan Fiqh dan Hukum

Al-Qur'an yang diturunkan mengandung ayat-ayat yang berisikan hukum-hukum fiqhi yang menyangkut kemaslahatan seorang hamba. Umat Islam pada masa Rasulullah sebagian besar memahami ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan fiqhi. Hal tersebut didukung oleh pemahaman bahasa Arab yang mereka miliki, adapun yang sulit mereka pahami ditanyakan langsung kepada Rasulullah. Ketika Rasulullah wafat muncullah kejadian-kejadian baru yang belum ada ketetapan hukumnya. Pertama-tama sahabat mencari dalam al-Qur'an sendiri, apabila tidak ada, maka dicari pada sunnah Nabi, apabila juga tidak ditemukan, maka mereka melakukan ijtihad, sehingga tidak jarang ditemukan, maka mereka melakukan ijtihad, sehingga tidak jarang ditemukan hasil ijtihad berbeda. Penafsiran al-Qur'an dengan melalui pendekatan fiqhi dan hukum pada masa awal turunnya al-Qur'an sampai munculnya mazhab fiqhi yang berbeda-beda, para mufasir ketika itu jauh dari sikap fanatik yang berlebihan, atau ada tujuan-tujuan tertentu dalam menafsirkan al-Qur'an. Namun pada saat munculnya aliran-aliran teologi, maka penafsiran cenderung mendukung aliran mereka masing-masing, sehingga setiap golongan berusaha mentakwilkan ayat-ayat al-Qur'an sesuai dengan aliran yang mereka anut atau paling tidak mentakwilkan ayat agar tidak bertentangan dengan aliran mereka (al-Zahabi, op. cit., h. 471). Sebagai hasil dari pendekatan semacam ini dapat dilihat pada kitab Ahkam al-Qur'an yang ditulis oleh Abu Bakar al-Razi, juga pada kitab yang ditulis oleh Abu Hasan al-Thabari yang berjudul Ahkam al-Qur'an.

6. Pendekatan Ilmiah

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka usaha penafsiran pun makin berkembang. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya kajian tafsir dengan melalui pendekatan ilmiah untuk menyingkap makna ayat-ayat dalam al-Qur'an. Ajakan al-Qur'an adalah ajakan ilmiah, yang berdiri di atas prinsip pembebasan akal dari takhyul dan kemerdekaan berpikir. Al-Qur'an menyuruh manusia untuk memperhatikan alam. Allah swt., di samping menyuruh memperhatikan ayat-ayat yang tertulis, juga memerintahkan untuk memperhatikan ayat-ayat yang tidak tertulis, yaitu alam (Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu'i, diterjemankan oleh Suryan A. Jamrah dengan judul Metode Tafsir Maudhu'i, Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, h. 22). Sampai sekarang ini tafsir belum dapat diterima oleh sebagian ulama. Mereka menilai penafsiran al-Qur'an semacam ini keliru, sebab Allah tidak menurunkan al-Qur'an sebagai sebuah kitab yang berbicara tentang teori-teori ilmu pengetahuan. (Lihat Abdul Hayy al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu'i, diterjemankan oleh Suryan A. Jamrah dengan judul Metode Tafsir Maudhu'i, Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, h. 22). Meskipun ayat-ayat kauniyyah tidak secara tegas dan mengkhusus ditujukan kepada para ilmuan, namun pada hakekatnya mereka itulah yang diharapkan untuk meneliti dan memahami ayat-ayat kauniyyah tersebut, karena mereka mempunyai sarana dan kompetensi untuk dibanding pada pakar di bidang lain. Dalam bagian terakhir uraian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Metode pendekatan tafsir adalah sudut pandang seorang mufasir dalam mengkaji makna-makna yang terkandung dalam al-Qur'an. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penafsiran yaitu: pendekatan bahasa, historis, filosofis/teologis, sosiologis, fiqih/hukum dan pendekatan ilmiah. Kesemuanya itu dimaksudkan agar dalam penafsiran maksud isi kandungan al-Qur'an dapat dengan mudah dipahami, sekaligus pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.

Itu semua hal yang sudah terjadi, sekarang ini bagi pemikir muslim harus mampu merekonstruksi penjelasan asbab al nuzulnya al Qur’an yang dapat diterima sehingga bisa mengarah pada pola penafsiran normatifitas—positif yang menghubungkan antara pesan serta norma al Qur’an dengan realitas sosial kebudayaan, politik, ekonomi, dan hukum. Akan tetapi, bagi penulis gagasan penafsiran secara positif pasti banyak umat Islam yang mengatakan gagasannya kurang Islami (religius) dan melanggar keabadian dan sifat illahiah Tuhan, namun haruslah kita berani mengungkapkan sebuah fenomena yang sangat menarik ini tanpa ada penghakiman individual terhadap pemikiran epistemologi Islam oleh karena hal seperti itu hanya sebagai bentuk pencarian kebenaran tanpa meninggalkan ritualisme dan karakteristik kemuslimannya. Sementara Tuhan saja menciptakan alam semesta dan manusia merupakan sebuah manivestasi penafsiran akan keuasaan-Nya secara normatif—positip tanpa meninggalkan pemaknaan teks yang sesungguhnya. Maka oleh karena itu, salah satu karakteristik terpenting dari epistemologi Islam sebagai antitesis epistemologi Barat yang sekularis adalah memasukkan nilai-nilai ajaran normatif agama secara signifikan sebagai prinsip-prinsip dalam epistemologi Islam. Wahyu (Al-Qur’an dan Al-Hadits) diyakini memiliki peran sentral dalam memberi inspirasi, mengarahkan, serta menentukan ruang lingkup kajian ke arah mana sains Islam itu harus ditujukan. Konsepsi ini mempunyai akibat-akibat penting terhadap metodologi sains dalam Islam. Sehingga tidak heran bila kemudian wahyu diletakkan pada posisi tertinggi sebagai cara, sumber dan petunjuk pengetahuan Islam. Permasalahannya, mengapa epistemologi Islam masih harus disandarkan pada wahyu apabila dengan metode eksperimennya telah dicapai titik sebuah kebenaran logis-empiris ?. Kita sebagai manusia yakin memiliki keterbatasan kemampuan untuk mengetahui hakikat ilmu pengetahuan. Kenyataan membuktikan paradigma yang telah dibangun manusia terus menghadapi dilema-dilema besar yang semakin sulit dipecahkan. Dalam konteks ini manusia memerlukan petunjuk sebagai premis dari kebenaran. Premis kebenaran itu pastilah bersumber dari yang Maha Benar, yaitu Tuhan. Tuhan telah mewahyukan kebenarannya lewat Al-Qur’an. Namun begitu, Kuntowijoyo mengatakan bahwa penerimaan premis kebenaran yang bersumber dari wahyu ini bersifat observable, dan manusia diberi kebebasan untuk mengujinya. Kemudian yang sesungguhnya dasar paling sentral dari nilai-nilai ajaran Islam yang menjadi prinsip-prinsip epistemologi dan metodologi Islam itu sendiri adalah konsep tauhid (iman), al Iqra—al Ilmiy, al Mejelis, al Harakah fil Islam yaitu konsep sentral yang menekankan keesaan Allah, Allah tunggal secara mutlak, tertinggi secara metafisis dan aksiologis, dan bahwa Allah adalah pusat dari segala sesuatu, berawal dan berakhir pada-Nya. Dia-lah sang pencipta, dengan perintah-Nya segala sesuatu dan peristiwa terjadi. Implikasi doktrinalnya yang lebih jauh adalah bahwa tujuan kehidupan manusia tak lain kecuali menyembah kepada-Nya. Dalam Al-Qur’an, fenomena alam sering dilukiskan sebagai tanda-tanda Allah; bahwa semua yang terjadi, pada akhirnya menuju kepada satu pencipta yang menciptakan, pengatur dengan suatu sistem tunggal dan penggerak dengan keteraturan tunggal. Konsep tauhid (iman) inilah yang kemudian dipakai oleh ilmuwan muslim dalam berusaha menjabarkan kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran, kesatuan pengetahuan, kesatuan hidup, dan kesatuan umat manusia serta dijadikan dasar sentral dari landasan epistemologi Islam.

Mengapa harus bertitik tolak pada penafsiran asbab al nuzul yang harus bersifat terbuka yang memiliki makna kandungan yang sangat luas, oleh karena al Qur’an sebagai kitab suci manusia seluruhnya dengan pengkajiannya yang bersipat nomatif—historis sehingga seluruh komponen isi al Qur’an memiliki peluang yang sebesar-besarnya untuk di dialogiskan secara adil. Namun kenyataan dalam realitaspemikiran keislaman asbab al nuzul sering kita jumpai kebuntuan dalam penafsiran teksnya dan sangat sulit untuk bisa kita pahami dalam hubungan sebab akibat (kausalitanya) sehingga al Qur’an berimplikasi pada konsekwensi metafisis yang tidak terbuka. Aspek dan dimensi keduniaan dalam penjelasan al Qur’an mengalami pereduksian dan berakibat pada doktrin tekstual saja yang terjebak pada kesucian transendenya. memang sangat sulit dalam mencari sebuah entitas harmonisasi makna yang terdapat dalam teks al Qur’an dan kesulitan dalam mengaktualisasikan nilai-nilai yang penting, bahkan hal-hal yang di anggap penting di tinggalkan seperti merekonstruksi teks dengan metodologi normatif—positif yakni tauhid (iman), al Iqra—al Ilmiy, al Mejelis, al Harakah fil Islam dan justru mengedepankan metodologi doktrin kesucian yang bersifat tertutup tanpa mengambil makna dari sisi duniawiannya.
Menurut Prof. M. Amin Abdullah mengatakan bahwa penafsiran al Qur’an harus bersifat lexiografis, kata perkata, kalimat perkalimat, ayat perayat—tanpa memperdulikan konteks sosial, ekonomi, dan budaya ketika ayat itu turun dan bagaimana konteks sosial, eknomi, politik dan budaya pada era sekarang adalah pola dan metodologi penafsuran yang cocok untuk semua kitab suci yang dianggap sebagai corpus tertutup. Corak penafsiran kitab suci tersebut harus diwarnai oleh penafsiran yang bersifat produktif bukan re-produktif. Kalau penafsiran al Qur’an yang bersifat re-produktif sering mengulanggi makna klasik dan khazanah intelektual Islam klasik juga yang dianggap sakral, sedangkan corak penafsiran al Qur’an yang bersifat produktif lebih menyesuiakan diri dengan perkembangan dan perubahan sosial, ekoomi, politik dan kebudayaan yang melingkupi umat Islam kontemporer tanpa meninggalkan misi utama makna moral dan pandangan hidup manusia dan al Qur’an. Mengapa harus metodologi penafsiran tersebut, kita harus bisa mencermati aktivitas pemikiran keislaman yang didapat dari institusi pendidikan yang cenderung terbuka dan produktive seperti lembaga pendidikan Muhammadiyah, maka corak penafsiran yang akan pergunakan adalah yang bersifat produktif dan akan mewarnai pergumulan dan pergulatan dialog pemikiran keislaman pada abad-abad mendatang. (Prof. M. Amin Abdullah Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan integratif dan Interkonektif; 2006 : 125 Pustaka Pelajar Yogyakarta).

Dr. Mahdi Gulsyani menulis “Suatu keyakinan kokoh pada prinsip tauhid membuat sang peneliti melontarkan pandangan menyeluruh kepada alam, bukannya hanya melihat alam secara sepotong-sepotong. Hal ini membuatnya mampu menerangkan keselarasan dan tatanan dunia fisik. Tanpa suatu keyakinan kokoh pada kehadiran tatanan dan koordinasi pada alam, penelitian ilmiah tidak akan memiliki makna universal; dan paling banyak nilainya hanya bersifat sementara. Beberapa ilmuwan percaya pada keberadaan tatanan dan koordinasi pada alam, tanpa mempercayai atau memperhatikan prinsip tauhid; namun, menurut kami, tanpa mempercayai at-tauhid, tidak akan ada keterangan memuaskan tentang tatanan kosmis” (Gulsyani, 1984) Sampai di sini ilmuwan muslim bersepakat bahwa konsep tauhidlah yang menjadi prinsip pokok dalam epistemologi Islam. Dengan begitu semakin jelas bagi kita, bahwa epistemologi Islam berupaya untuk menunjukkan arah kepastian kebenaran, di mana epistemologi ini berangkat dan berawal dari kepercayaan, serta selanjutnya memantapkan kepercayaan itu melalui perenungan-perenungan, penalaran, pemikiran, dan pengamatan yang disandarkan pada wahyu Tuhan (Al-Qur’an dan Al-Hadits), dan diyakini bahwa kebenaran wahyu tersebut merupakan kebenaran tertinggi, mengandung ayat (bukti), isyarat, hudan (pedoman hidup) dan rahmah (rahmat).

Sebenarnya konsep tauhid dalam Islam ini hampir serupa dengan konsep panteologisme yang dianut agama lain. Yaitu sama-sama berakar pada pandangan teosentris. Namun, paradigma teosentris yang dianut Islam berbeda dengan teosentris agama lain dengan alasan bahwa sistem tauhid memiliki arus balik kepada manusia. Paradigma teosentris Islam (iman) selalu dikaitkan dengan amal manusia. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Pusat dari perintah zakat–misalnya–adalah iman kepada Allah, tapi ujungnya adalah terwujudnya kesejahteraan sosial. Dengan demikian, dalam Islam, konsep teosentris bersifat humanistik. Artinya, manusia harus memusatkan diri kepada Allah (iman), tetapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia sendiri (amal). Dalam formulasi lain, Islam mengenalkan konsep dualisme manusia; sebagai hamba (abdun) yang menyembah Penciptanya (beriman), dan sebagai wakil Tuhan (khalifah) di muka bumi yang harus senantiasa bersosialisasi dengan jenis dan lingkungannya (beramal). Lantas, apabila prinsip epistemologi Islam adalah tauhid, bagaimanakah bentuk kongkrit dari epistemologi Islam dalam mengkaji ilmu pengetahuan? Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa, pada awalnya diakui jika epistemologi Islam dipengaruhi oleh epistemologi yang berkembang di Yunani. Aliran pokok yang diikuti oleh ilmuwan muslim adalah aliran rasionalism yang dikembangkan oleh Plato (423-347 SM) dan aliran realism yang dikembangkan oleh Aristoteles (384-322). Namun karena didapati antara keduanya saling memposisikan aliran “dirinyalah” yang paling benar, maka ilmuwan muslimpun mencari alternatif pemecahannya dengan cara menggabungkan antara keduanya sehingga lahirlah metode eksperimen. Metode ini telah dikembangkan oleh ilmuwan muslim antara abad ke-9 dan ke-12 Masehi, diantaranya adalah Hasan Ibn Haitsam – biasa disebut Alhazen di Eropa –yang melahirkan karya tentang teori-teori fisika dasar, Jabir Ibn Hayyan atau Al-Jabar – biasa disebut Geber di Eropa – yang lahir pada pertengahan abad ke-8, melahirkan karya tentang kimia secara konfrehensif, dan masih banyak ilmuwan lainnya.

Selain metode eksperimen di atas, Islam mengakui intuisi sebagai salah satu bentuk epistemologinya. Terlepas dari kontroversi yang digencarkan ilmuwan Barat yang menyatakan bahwa pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi tidak dapat dijelaskan melalui proses logis-empiris, yakni tanpa pengamatan (observasi), tanpa deduksi (logis), bahkan tanpa spekulasi (rasional), ilmuwan muslimpun meyakini intuisi sebagai sumber kebenaran paling tinggi. Dan sumber kebenaran ini hanya berada di bawah otoritas wahyu Tuhan (al-Qur’an), termasuk tradisi kenabian (Al-Hadits). Selain dinisbahkan kepada wahyu, metode intuisi sering juga disebut dengan istilah lain yang subtansinya relatif sama, di antaranya adalah ilham (kasfy). Terminologi tersebut dimaksudkan untuk membedakan antara pengetahuan intuitif yang berbentuk wahyu (Al-Qur’an dan Al-Hadits) yang diterima oleh Nabi, dengan pengetahuan intuitif yang berbentuk ilham yang diterima oleh manusia. Pembedaan tersebut adalah implikasi dari keyakinan Islam bahwa kemampuan pengetahuan antara Nabi dan manusia biasa berbeda. Pada perkembangan epistemologi Islam selanjutnya, lahirlah metode lain seperti nadzr, tadabbur, tafakkur, bayyinah, burhan, mulahadzah, tajrib, istiqra’, qiyas, tamsil, ta’wil, dzati, hissi, khayali, ‘aqli, syibhi dan lain sebagainya. Namun pada dasarnya dalam diskursus dunia pemikiran Muslim setidaknya ada tiga aliran penting yang mendasari teori pengetahuannya. Yaitu, (1) pengetahuan rasional, (2) pengetahuan inderawi, dan (3) pengetahuan kasfy lewat ilham atau intuisi.

Gagasan Kritis : Mendorong Epistemologis Islam—Mengusung Paradigma Syafrilisme Menggapai Perdamaian Pada Era Millenium Ketiga

Menurut M. Amin Abdullah, apabila dilihat dari aspek epistemologis, kemunduran ilmu pengetahuan dalam dunia Islam setelah masa keemasannya pada abad ke-8 sampai ke-12 Masehi lebih disebabkan karena titik tekan epistemologi Islam cenderung mengarah secara tajam ke wilayah idealisme dan rasionalisme, tanpa peduli terhadap empirisme kalau tidak juga dikatakan lebih menajam ke arah normativitas ajaran wahyu - sebagai salah satu bentuk kongkrit dari intuisi–dari pada rasionalisme atau empirisme. Padahal sejarah membuktikan bahwa kemampuan Islam dalam meretas kevakuman filsafat Yunani serta lahirnya metode eksperimentasi dari dinamika pemikiran Islam diakui sebagai pencetus awal dari perkembangan ilmu pengetahuan. Di mana akhirnya metode ini diadopsi oleh ilmuwan barat hingga melahirkan revolusi sains pada masa renaissans. Banyak pemikir Muslim kemudian berpendapat bahwa awal dari titik tolak pergeseran paradigma ilmuwan Muslim terhadap epistemologinya tersebut lebih disebabkan oleh gelombang anti filsafat sebagai akibat dari kesalahpahaman terhadap pemikiran al-Ghazali dalam bukunya Tahafutul Falasifah. Padahal beliaupun adalah seorang filusuf. Namun, meski telah ditentang serta dijelaskan oleh Ibnu Rusyd dalam bukunya, Tahafut al- Tahafut, bahwa tidak ada pertentangan dari filsafat dengan agama, pemikir Islampun tetap saja terjebak ke dalam pemikiran monolinear, antara rasionalis, empiris, atau intuitif. Dampak logis dari fenomena tersebut adalah semakin jauhnya pemikiran Islam dari nilai-nilai ilmiah, sebagaimana yang telah menjadi ciri khas pengembangan ilmu pengetahuan. Melihat realitas di atas, maka, apabila kejayaan Islam ingin dikembalikan dan dapat diraih kembali kemajuan ilmu pengetahuaannya, yang perlu serta harus segera dilakukan adalah reorientasi epistemologi Islam sebagaimana yang tergambar dari kejayaan pada masa tradisi Islam klasik. Yaitu, epistemologi yang berupa perpaduan antara aspek rasionalisme, empirisme, kasfy, rasionalisme kritis, positivisme dan fenomenologi dengan tetap berpangkal tolak pada Al-Qur’an sebagai keterangan dan petunjuk atas segala sesuatu.

Gagasan kritis tentang epistemologi Islam harus menjadi kajian pokok ilmu kalam yang nenukuju synber pokok pada agama. Epistemologis Islam dikentalkan dalam pola pengambilan pemaknaan dan pemikiran sampai menembus batas-batas kejumudan berfikir yang selama ini menjadi bagian yang ditinggalkan oleh para sarjana muslim. Artinya pemikiran keislaman harus mendominasi dalam pemuatan bentuk, corak, fungsi, dan materi metodologi kajian keislaman sehingga penafsiran dan perbandingan dalam konteks fiwih, kalamullah, mazhab, jinayah—siyasah, falsafah, ulum al tafsir, ulum al Hadis dan kajian teori serta praktek dakwah dan pendidikan Islam bahkan samapi pada persoalan ekonomi harus dikaji sebagai bagian penting dalam mempertahankan kekuatan pemikiran keislaman. Demikian banyak ilmu kalam Tuhan yang telah teridentifikasi dalam sebuah kitabullah baik melalui kajian teoritis maupun tafsir yang memperkuat otoritas keilmuan Islam. Namun realtas menunjukan bahwa gagasan kritis sebenarnya sangat perlu diungkapkan oleh karena kita melihat secara bersama bahwa kajian ilmu kalam Tuhan yang diaktualisasikan dalam kehidupan manusia nyaris kehilangan vitalitas dan otoritas—historis bangunan pola pikir, logika, metodologi dan sistematikan keilmuan Islam itu sendiri. Pada era sekarang ini, terjadi sebuah persaingan dan pasar bebas (globalisasi) agama dan unsur kebudayaan umat Islam secara alamiah yang bersentuhan langsung dengan pola keislaman dan kebudayaan agama lainnya. Sehingga akibat seperti itu, umat Islam mengalami kegagalan yang sangat luar biasa baik secara individu maupun kelompok dalam menghadapi perubahan dan perkembangan budaya yang terjadi sekarang ini. Kita harus memiliki perangkat keilmuan, metodologi dan sistematika berfikir tentang bagaimana menjadi seorang agawan yang baik dan benar dalam menghadapi cara berfikir, bergaul, bersentuhan, berinteraksi, bergumul, berhubungan dengan penganut agama lainnya, berdialog antar agama, sikap prkatisi sosial ekonomi, budaya dan politik. Maka oleh karena itu, mendorong secara progres terhadap keterbukaan epistemologi Islam seperti tersebut diatas, sangat penting untuk dilakukan, agar bangunan epistemologi Islam itu sendiri, tidak terjebak dalam tiruan-tiruan sains modern yang telah banyak diperdebatkan. Hanya saja, yang perlu dirasionalisasikan terlebih dahulu adalah menjelaskan tentang proses terjadinya gap antar teori dan praktik dalam ilmu kalam, antara idealitas dan realitas, antara teks dan kontekstual. Oleh karena semua perbedaan itu sebagai penyebab tidak berkembangnya disiplin keilmuan Islam baik dari segu maeri dan metodologinya walaupun banyak pendekatan metodologi yang diberikan. Memang hal ini bukanlah pekerjaan mudah, masih banyak tantangan dan pengaruh tang masuk dalam ranah kajian. Akan tetapi semua itu akan berhasil ketika pemaknaan dalam konteks kesadaran Tauhi, iqra, majelis dan harakah fil Islam ditafsirkan secara sosiologis dalam dimensi kesejarahan sebagai bentuk kerja untuk merombak bangunan berpikir sejak pasca zaman klasik.

Kemudian kita mencoba merefleksikan sekilas apa yang dikatakan oleh Muhammad abed al Jabiri dalam resensi penelitiannya mengatakan bahwa Indikasi kelesuan berfikir dan kelemahan berijtihad dalam ilmu kalam berlangsung selama 400 tahun, seluruh khasanah intelektual muslim yang berbasis pada kalam selalu menyerang dan memojokan filsafat baik metodologi, pendekatanya dan praktik disiplinnya. Sehingga arah dan bangunan dasar keilmuan Islam kurang dikenal yang mengakibatkan pada kebuntuan berfikir da sangat sulit berkembang dalam era kontemporer. Namun demikian, betapapun sulitnya untuk membangun pondasi dasar keilmuan Islam dalam rangka memperkuat epistemologi adalah merupakan tugas mulia yang harus segera dimulai dengan membubuhkan sense of empirical studies, mentalitas yang ‘haus” akan data-data historis empiris dan mempunyai greget keingintahuan (curiosity) yang tinggi serta berupaya mengamalkannya. Perlu juga dikembangkan epistemologi-epistemologi lain, namun tetap harus diposisikan pada satu keutuhan dimensi yang bermuatan spiritualitas dan moralitas, sehingga akan dimungkinkan terlahir ilmu pengetahuan yang seimbang antara kebutuhan aspek jasmani dan rohani manusia. Maka oleh karena itu ilmu kalam harus bias adi perankan untuk memecahkan persoalan keummatan baik problem sosial kekinian maupun tatanan kemasyarakatan yang bersipat aktual dan konkrit. Ilmu kalam bersama bangunan epistemologinya harus bisa mendorong pola perdamaian diatas peristiwa pertentangan konsep, ideologi maupun mazhab yang ada, sehingga perbedaan yang terjadi tidak sedemikian meruncing. Tentu hal ini dikembangkan melalui jalinan kolektif—kerjasama (As Syaff [syafrilisme]) dengan pendekatan kritik sosial ilmu pengetahuan dan humaniora berdasarkan ilmu dan doktrin kalam. Jika hal ini tidak terindentifikasi dan tidak terlaksana juga maka akan berimplikasi pada pemaknaan yang bersifat esoteris dan metafisis, apalagi kalau tidak ada kepeduliannya. Yang terpenting sekarang ini jangan sampai kita terlibat dalam perdebatan isu-isu sosial yang bersipat nonintegratif dan melanggar khazanah dialog. Sebuah fenomena menarik, pada awal abad ke 20 ini, di Indonesia dengan tidak menafikan negara-negara Islam lainnya–telah muncul pemikir-pemikir Islam yang cukup berani dengan kemampuannya mengungkap warisan ilmu pengetahuan Islam dengan pendekatan epistemologi Islaminya. Terus terang penulis sangat bersyukur mendapat training spiritualitas, emosional dan intelektual oleh kawan-kawan ISQ dibawah pengasuhnya Ary Ginanjar Agustian, banyak hal yang saya petik pada training tersebut, termasuk seorang Ary yang boleh penulis katakan adalah seorang yang berusaha mencari entitas keislaman dan mengembalikan semua manusia dengan tujuan menuju pada Tuhan yang satu yakni Allah swt. Penulis juga mengkategorikan seseorang yang telah membangun falsafah keislaman dalam milenium ketiga ini sebagai anti tesis dinamika keilmuan dunia yang sedang bergumul terutama falsafah Islam dan falsafah Barat. Ary Ginanjar Agustian bersama ESQnya, mampu memperkenalkan paradigma baru yang mensinergikan sains, sufisme dan psikologi dengan tetap berpijak pada ajaran-ajaran Qur’ani serta penekanannya pada prinsip Tauhid. Ada lagi Agus Musthofa, seorang sarjana teknik nuklir lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yoqyakarta, dengan cukup berani ia mencoba menyingkap fenomena-fenomena spiritual yang dianggap sulit dicerna oleh indra manusia dengan argumen-argumen logis-empiris namun tetap berpijak pada koridor ajaran wahyu (Al-Qur’an dan Al-Hadits). Dan masih banyak lagi ilmuwan Muslim dari berbagai penjuru dunia yang tidak mungkin dipaparkan dalam ruang yang terbatas ini. Namun demikian, tantangan terbesar bagi ilmuwan Muslim saat ini adalah, bagaimana menemukan formulasi yang konfrehensif tentang berbagai macam teori ilmu pengetahuan yang dapat diterima oleh semua kalangan, baik Islam maupun non Islam, sehingga sains Islam pun bukan hanya akan terbebas dari bayang-bayang imperialisme epistemologi barat, tetapi juga mampu mencerminkan secara kongkrit konsep Islam sebagai ‘rahmatan lil ‘alamin’.
Untuk memberikan argumentasi agar bisa dipahami, penulis ingin memberikan sebuah masukan metodologi sebagai bentuk wacana dan gagasan kritis dengan tujuan menyelamatkan epistemologi Islam serta memperbaiki prestise, nilai cara berfikir maupun wibawa keilmuan Islam agar dalam menghadapi segala model perubahan sosial dan perkembangan problem sosial, budaya dan politik yang berhubungan dengan eksistensi nilai kemanusiaan, adalah sebagai berikut; pertama, Culture al Iqra al Kalamullah dan moralitas, dengan upaya berusaha mentransformasikan sebagai bingkai keilmuan Islam dalam praksis kebudayaan dan kematarakatan. Oleh sebab itu, manusia tidak bisameragukan akan kokohnya kepercayaan terhadap pola beragama umat Islam terhadap eksistensi ketuhanan. Pembacaan (al Iqra) terhadap realitas sosial dengan iman dan ketakwaan merupakan alat yang efektif untuk memberikan solusi yang bersifat aplikatif dan analisi isu keislaman umat Islam. Kedua, Kemerdekaan religious dan dialog lintas culture—agama, kemerdekaan beragama sama arti memahami tauhid kepada Tuhan secara menyeluruh. Paradigma dan konsep gagasan kemerdekaan dan dialog lintas culture dalam umat beragama memang sangat perlu untuk dilakukan, mengingat banyak budaya yang konversikan dalam ritualitas beragama, terkadang penggunaannya benar dan terkadang juga pelaksanaannya salah serat emiliki problem yang sering berlebihan dalam menjalankan ritualitas agama. Memang ini merupakan gagasan baru yang coba dimunculkan sebagai manuvestasi dakwah kultural melalui even dialog dengan berbagai komponen agama lainnya. Di dalam al Qur’an memang terdapat lakum di nukum wa lii iadin (Bagimu adalah agama mu dan bagiku adalah agama ku), bagi penulis konsep ini menandakan sebuah jiwa dan naluri kemerdekaan manusia dalam memilih agama tanpa ada intervensi dari pihak lainnya, namun sangatlah perlu diketahui bahwa agama yang paling benar berdasarkan pendapat Tuhan adalah Islam, dikatakan Islam oleh karena bersifat terbuka dan menganut paham perdamaian tanpa ada penjarahan dalam konteks umat beragama. Konsep kemerdekaan ini juga bersinergis dengan konsep kemerdekaan dalam beragama, oleh karena manusia memiliki prinsip dan nalar serta keinginan untuk mendapat perdamaian dan hak merdekanya sehingga umat beragama terbebas dari belenggu kolonial, imprealisme, globalisasi dan lain sebagainya sebagai bentuk penjarahn baru. Kemerdekaan dan dialog culture beragama ini muncul kepermukaan setelah mengalami terapi bebasnya dalam konteks pemikiran dan berbagai macam reflektif sejarah yang tak kunjung membaik namanya. katakan saja kerusuhan agama yang terjadi di ambon dan poso kemudian merembet ke mataram pada tahun 2001 serta prilaku manusia dalam beragama dengan tidak meyakini Muhammad sebagai rasul dan tidak mengakui Tuhan Allah swt itu satu, kemudian akhir-akhir ini dalam situasi gegap gempitanya bangsa indonesia lahir berbagai aliran sesat yang merupakan bagian dari fenome yang tak lepas dari ketidak puasan dalam beragama dan bertuhan satu. Kemudian bagaimana dengan mbah marijan dengan berkata dalam media bahwa saya bisa memberhentikan gunung merapi meletus, inikan merupakan hal yang sangat kontra dalam jiwa umat Islam mauppun keresahan yang terjadi dalam umat beragama lainnya. Semua masalah tersebut butuh sentuhan tangan dingin para pemikir terutama sarjana muslim untuk segera membangun Islam ini diatas hak kemerdekaan umat beragama melalui berbagai dialog tentang sebuah kebenaran Tuhan bersama penjelasan kitabnya baik Zabur, Injil, Taurat dan al Qur’an. Sesungguhnya semua kitab ini mengandung pelajaran baik dan al Qur’an sebagai penyempurna dan telah dijaga keistimewaanya oleh Tuhan, maka yang patut di cermati adalah bagaimana membumikan semua kitab ini dalam konteks mengharmonisasikan penafsirannya dan merekonstruksi kebenaran yang ada dalam kandungannya.

Gagasan ini memang sangat sulit untuk bisa di pahami, oleh karena siapaun baik itu ulama, kiyai, tuan guru, fastor, bikhu, paulus dan nabi ssekalipun tetap memiliki konsep yang berbeda oleh karena memang kita semua manusia mempunyai nalar keislaman dan metode interpretasi yang berbeda pula. Lebih-lebih cara berfikir sikap dan mental serta agneda yang dimunculkan melalui kedua konsep tersebut sngatlah berbeda, namun keduanya memiliki kesamaan visi untuk mencapai masyarakat yang damai dan mendorong epistemologi Islam untuk memperkuat basis keilmuan tanpa terikat oleh sejarah Islam klasik. Jika konsep kemerdekaan dan dialog culture—agama, memiliki perbedaan dan praktik langkahnya dilapangan harus banyak menampilkan sikap yang toleran dan damai agar makna Islam yang baik dapat tercerminkan dalam sebuah komonitas yang diukur dengan cara berfikir dan bertindak yang lebih santun, toleran dan menahan sikap egoisme dan arif mengahadapi realitas keberagaman umat beragama. kemerdekaan beragama harus dibalut dengan pemahaman dan pola pikir ketauhidan kepada Tuhan agar menjadi pandangan hidup dunia dalam berprilaku dan menjamin mentalitas yang tidak mudah berpengaruh sedangkan dialog cultur agama adalah menivestasi kemerdekaan sebagai corong dalam menciptakan masyarakat yang damai dan sejahtera. Dialog lintas culture dalam beragama dalam teori syafrilisme merupakan sebuah keyakinan yang mendalam untuk mencapai kedamaian dan menolak sisi gelap prilaku beragama. Kita sebagai mahluk manusia yang beriman berdasarkan ketauhidan harus tergerak untuk melakukan pembacaan baik secara tekstual mapun kontekstual, sehingga menjadi bagia refleksi keberimana kita dalam keberagaman beragama, tentu hal seperti kita lakukan dalam ruang lingkup majelis yang memiliki struktur paham nilai kemanusiaan dan ketuhanan yang kuat tanpa terkontainasi oleh paham yang bersifat radikal dan ekstrem. Jadi kedamaian serta keselamatan yang selalu kita inginkan merupakan barang mahal untuk dapat kita capai, artinya pemahaman dan tawaran konsep dan agendayang ditawarkan bukanlah dalam bentuk saling memperolok dan mencaci maki atau merebut umat agama satu dan di pindahkan keagama lain. kalaupun ada manusia yang ingin memeluk suatu agama itu tanpa harus ada paksaan, harus didasarkan pada kesadaran paling dalam dan bukan karena bayaran atau tekanan dari pihak luar. Agenda dialog tersebut lebih di pahami pada proses pemaknaan keinginan dan kebutuhan akan ketuhanan serta memudahkan saling berinteraksi satu sama lain untuk menukar informasi sebagai bentuk pengalaman pembelajaran doantara perbedaan tradisi keagamaan atapun budaya tersebut. Harakah fil Islam (gerakan damai) melalui proses dialog mencoba memberikan harapan kebahagiaan dan perdamaian yang telah ada dalam agama, hanya saja memiliki perbedaan seperti ritulitasnya, cara, metode, sistem ajaran, syariah dan kosepsi tentang sebuah kekuasaan Islam atau sering di sebut negara Islam. Proses dalam dialog tersebut di larang saling hujat menghujat, memperolok orang lain, salah menyalahkan, bahkan kafir—mengkafirkan orang lain. Hal-hal yang demikianlah sudah tidak bolae dalam beragama pada era mellenium ketiga ini. Dalam masa millenium ketiga ini kita harus menempatkan orang lain pada posisi diri kita sendiri, tanpa ada keraguan untuk merubah keyakinan dirinya. namun kalau didalam Islam ada perintah untuk berdakwah, nah berdakwa amar ma’ruf nahi mungkar ini bukanlah diartikan pada proses pemaksaan dan memaksakan kehendak agama lainnya, akan tetapi kita perlu mengajak mereka kepada kebaikan agar hidup mereka lebih damai, aman, sentosa dan sejahtera. Justru harapan seluruh umat manusia, bagaimana agama itu bisa menjadi sebuah reason jalan keluar setiap problem manusia dari nestapa kehidupan era mellenium ini. Agama sebagai nafas yang meyejukan terutama Islam bukanlah harus menjadi nafas yang terengos—engosan untuk berjalan pada jalan kebathilan. Tampaknya sekarang ini tinggal harapan saja dalam sebuah naluri keberimanan dan ketuhanan, jika umat ini tidak bersedia merekostruksi dan memahami ulang substansi beragama dan memiliki keberanian untuk berubah konsep agama menuju kedamaian.

Kita menyaksikan perang Irak, terorisme, Amerika Serikat melawan dunia Islam dan sebaliknya di berbagai media televisi, radio dan koran. Masyarakat Islam dan Kristen sekarang saling menyerang di banyak daerah seluruh dunia. Sudah lama sekali masyarakat Islam dan Kristen hidup berdampingan berdasarkan prinsip pancasila yang memperbolehkan setiap orang beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha atau Konghucu. Somboyan Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika” harus berlaku kalau Indonesia akan tetap satu negara tanpa perang sipil di setiap daerah. Sejak lengsernya Soeharto pada tahun 1998, beberapa konflik muncul di Indonesia. Konflik terjadi di Poso (dan daerah sekitarnya di Sulawesi Tengah), Ambon, Maluku, Jawa Timur dan beberapa daerah lain di Indonesia. Pembakaran rumah ibadah, penyerangan, pemboman, penembakan, pembunuhan sering terjadi di daerah tersebut. (Daftar kejadian kekerasan di Poso dan Maluku terlihat di International Crisis Group, Weakening Indonesia’a Mujahidin Networks: Lessons from Maluku and Poso, dalam Asia Report, no. 103, 13 Oktober 2005, hal. 27-29 dan International Crisis Group Indonesia Backgrounder: Jihad in Central Sulawesi, dalam Asia Report, no. 74, 3 Februari 2004, hal. 28-33). Pandangan stereotip baik tentang orang Indonesia maupun masyarakat dunia adalah bahwa orang Islam dan Kristen tidak mungkin hidup di satu daerah bersama tanpa konflik. Islam sekarang dianggap musuh Kristen dan sebaliknya. Karena konflik yang sudah terjadi dan stereotip ini lebih terlihat di Indonesia. Selain stereotip kekerasan ini dalam media Barat orang Kristen sering dianggap didiskriminasikan di negara yang mayoritas masyarakatnya Islam. Asumsinya adalah bahwa orang Islam tidak mungkin baik kepada orang Kristen dan pasti menanggap orang Kristen sebagai kafir yang harus dikuasai. Pers Barat jarang menggambarkan hubungan antara orang Kristen dan Islam sebagai hubungan yang baik dan saling menghormati. Di Australia tidak banyak yang dimengerti tentang orang Islam. Oleh karena itu lebih mudah lagi untuk masyarakat Australia ikut stereotip bahwa orang Islam semuanya mau menyerang orang non Islam dan tidak mau bergaul sama orang non Islam. Sering sekali hanya orang fanatik yang dilihat oleh masyarakat Australia dan orang ini yang menjadi bayangan kalau ‘Islam’ disebutkan. Satu konsep mengenai bagaimana bisa memperbaiki hubungan antara orang Kristen dan Islam adalah dialog antaragama untuk “merajut persaudaraan sejati, berpartisipasi untuk membangun perdamaian”, membangun hubungan yang harmonis dan menjaga perbedaan masing-masing. Hidup bersama pada kehidupan "satu dunia" sebagai tempat kita bergerak, bertahan dalam keterasingan hingga merubah ketenangan dunia, Bilamana hendak hidup bersama maka harus menerima aspek-aspek kultur dunia dan berikhtiar memperlihatkan kepada umat beragama lain, bagaimana nilai-nilai keagamaan Islam itu mengimbangi kultur yang tetap dipenuhi dengan ekspresi Islam pada terma-terma ilmu pengetahuan dan filsafat. Umat Islam harus memberi andil penuh pada kehidupan politik satu dunia. Secara luas dipegangi bahwa Islam itu lebih sukses ketimbang Kristen dalam membawa nilai nilai moral dan keagamaan yang lahir pada kehidupan politik. Sudah banyak yang dahulu dilakukan dalam merumuskan moralitas politik bagi abad 21 sampai kepada ukuran kontrol yang dapat digunakan atas individu-individu dan kelompok-kelompok yang mempunyai kekuasaan luas, baik secara ekonomis maupun secara politis.
Bagi umat Islam, hidup berdampingan secara damai dengan agama-agama lain, maka harus menghilangkan eksklusifisme. Ini berarti mengakui adanya jalan-jalan yang dapat melengkapi untuk mengungkapkan kebenaran ini, sungguhpun Islam mempunyai semua kebenaran yang diperlukan oleh semua bangsa manusia sampai akhir zaman. Begitu nampak tugas bahwa kaum muslimin hendaknya menafsiri kembali konsepsinya tentang finalitas Islam, oleh karena adanya serentetan wahyu yang turun dari Tuhan secara murni dan sempurna, serta seharusnya mengakui agama-agama lain seperti agama Hindu dan Buddha yang juga menerima wahyu dari Tuhan, walaupun bukan dalam bentuk yang menyerupai turunnya wahyu kepada Muhammad. ada yang esensial bahwa umat Islam adalah menerima kesejarahan Bibel dan menolak ajaran korupsinya dan ketidakmurniannya. Rupanya ada kasus bahwa para pengikut tiap agama itu menganggap agamanya sendiri lebih unggul dari semua agama yang lain. Sebagian pengikut agama, khususnya sebagian pengikut agama Kristen dan Islam, berfikir bahwa agamanya sendirilah yang dianggap sebagai agama dalam arti yang sebenarnya, sementara semua agama yang lain itu tidak ada sama sekali. Kepercayaan demikian diberikan sebagai landasan bagi penegasan pernyataannya, misalnya "hanya agama saya sendirilah satu-satunya yang dari Tuhan" atau "agama saya sendirilah satu-satunya agama yang mempunyai kebenaran ilahiah yang asli, sementara semua agama-agama lain tidak asli lagi." Pandangan-pandangan eksklusivis ini tidak dapat dipertahankan ke dalam kultur dunia yang timbul, sebab ilmu pengetahuan sosial merupakan bagian dari pandangan intelektual barat, dan observasi sosial-ilmiah agama-agama menunjukkan bahwa agama-agama tersebut semuanya kurang atau lebih melakukan hal-hal yang sama, mirip dengan tujuan dan dengan ukuran kesuksesan. Solusi-solusi utama dari problema-problema kontemporer itu terletak pada tema-tema misi dan dialog. Tiap-tiap agama berikhtiar untuk mengajak dialog. Misi Islam disebut da'wah, memanggil atau mengajak kepada Islam, untuk tunduk menyerahkan diri kepada Allah;
Bilamana agama-agama itu hidup berdampingan secara damai, dapatkah konversi agama diperbolehkan? Mungkin harus disepakati bahwa perbuatan menarik pemeluk agama untuk masuk ke suatu agama itu seharusnya dilarang, maksudnya, kegiatan-kegiatan yang tujuan utamanya mengganggu orang yang beragama lain agar tidak mampu hidup lebih penuh dan mencapai kehidupan yang lebih berarti; namun tujuan utamanya adalah berusaha untuk menambah jumlah pemeluknya agar masuk ke kelompok agamanya sendiri. Tiap aktifitas acapkali melibatkan apa yang dipandang agama lain sebagai memanfaatkan faktor-faktor komunal secara tidak jujur. Pada sisi ini, misi digantikan oleh dialog. Dialog dapat dilakukan dengan berbagai tingkatan formalitas dan informalitas. Kondisi esensial dialog ini adalah dari para peserta akan bertemu sebagai sama, dan bahkan sama sejajar. Tujuan dialog adalah agar masing-masing golongan agama tertentu hendaknya mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap agama lain. Ada landasan berfikir bahwa suatu dunia agama yang tunggal ini, apabila bersifat monolitik maka tidak dikehendaki, karena tujuan kita menuju masa depan yang paling jauh akan menjadi kenyataan yang telah dijelaskan di atas sebagai sikap hormat kepada agama-agama. Tujuan ideal itu merupakan kata pamungkas yang dapat diberikan kepada kaum muslimin yang mengidam-idamkan terwujudnya kenyataan seperti itu: Islam akan dapat menolong manusia mencari jalan keluar mengatasi kesulitannya dari kerusakan dan keterasingan, Tantangan Islam sebagaimana agama yang dilembagakan adalah intisari jiwa Islam yang mendalam dan pasrah kepada Allah. Inilah keteguhan untuk menyebut Allah menjadi Allah dalam urusan-urusan kehidupan individual, sosial dan dunia kita sehari-hari. Ini adalah tantangan bukan hanya bagi umat Islam sendiri, melainkan bagi seluruh makhluk ciptaan Allah.

Tidak ada komentar: