Gelorakan Pemikiran

Minggu, 26 September 2010

Kejujuran Tuhan Menegur—Manusia Harus Jujur

YANTO SAGARINO

Konsepsi ketuhanan adalah pandangan dunia (world veiw) tentang Tuhan yang menjadi landasan bagi pola pikir dan aktivitas lainnya yang di artikulasikan melalui gagasan akidah tauhid. Konsep ini sangat penting karena pola pikir dan aktivitas orang beriman dengan orang yang tidak beriman atau tidak bertuhan sangat berbeda dalam memberikan penilaian atas dasar sesuatu. Begitu juga dengan individu dan komonitas sosial tertentu, pasti akan berfikir dan mempunyai sikap berbeda konsepsinya tentang Tuhannya. Peradaban barat maju dalam segi ilmu pengetahuan dan sains, namun melahirkan krisis manusia modern yang tidak berusaha jujur akan sebuah keberhasilan dan justru mereka tidak konsisten dari apa yang mereka katakan, dalam aktivitas orang Barat selalu mengedepankan money tanpa ada waktu yang terlewatkan, padahal mencari money juga bentuk pencarian terhadap makana keberadaan ketuhanan. Maka dengan demikian, hal yang dipahami oleh mereka adalah merupakan hasil dari konsep materialisme yang mendasarkan basis ontologisnya kepada sesuatu yang empiris dan menolak keyakinan akan sesuatu yang ghaib dan transendental. Dengan pandangan yang materialistis ini mereka mengalami kekosongan jiwa dan menanggung tujuh dosa besar yakni ketidakpedulian, nafsu, angkara, iri hati, sombong, serakah, lahab dan rakus. Kata Lois A. Saa mereka mengalami skizovenia dengan kepribadian yang diingin, kaku dan tidak manusiawi atau mereka yang mengalami kekerigan spiritualitas. Begitu juga Islam mengalami kemunduran karena menganut sistem keTuhanan yang deterministik dan melemahkan kebebasan manusia yang bertumpu pada teologi As A’ariyah. Menurut Abdul Munir Mulkan dalam bukunya yang berjudul “Teologi Kiri” adalah dalam Islam, ketuhanan sangatlah mendasar dan fundamental. Keteguhan Iman Bilal Bin Rabah dalam menghadapi ujian dan siap menerima kematian, bukan karena mempertahankan “fiqih” tetapi mmepertahankan keyakinan bahwa Allah itu ahad. Begitu juga yang terjadi pada keluarga amar bin yasir. Sebagaimana revolusi Iman ala Imam Hussen dalam sistem masyarakat bukanlah pandangan haus kekuasaan, tetapi panggilan Tuhan yang di pahaminya dalam teologi Islam. Dengan demikian sekian banyak apa yang diperintahkan oleh Tuhan, sebanyak itulah peneguran Tuhan secara jujur kepada hambanya. Sebagaimana di sebutkan oleh Tuhan adalah; Hai orang-orang yang beriman mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. (QS. Ash Shaaf; 2).

Konsep tentang Tuhan yang disertai oleh keyakinan yang mendalam dan menghujam dalam jiwa pikiran adalah keniscayaan untuk mengetahui konsep Tuhan adalah kewajiban setiap muslim. Dalam masalah fiqih, umat Islam dilarang taqlid apalagi dalam masalah keTuhanan, karena eksistensi Tuhan bisa di buktikan oleh wahyu ataupun akal, Konsep tentang Tuhan sudah dirumuskan sejak dahulu baik oleh para Nabi seperti Ibrahim as, Muhamad saw, Isa as, Ismail as, maupun para pemikir yang berada dibawah panji-panji keislamannya. Dalam sejarah pemikiran Islam, para ulama muslim bukan lagi menjelaskan tentang keberadaan Tuhan tetapi bagaimana merumuskan keberadaan Tuhan dengan pemikiran mereka sendiri secara demonstratif dan argumentasi yang rasional supaya pengenalan Tentang Tuhan yang di lihat dalam praksis nyata merupakan manipestasi dari Ketuhanan. Penjelasan rasional tentang Keberadaan Tuhan sangatlah penting, ketika umat Islam dihadapkan pada problem pergulatan keilmuan dengan umat politeisme (yang berTuhan banyak) maupun ateisme (tidak bertuhan) sama sekali, yang sudah otomatis dan secara tersendiri mereka tidak akan menerima kebenaran wahyu Tuhan. Dengan wahyu, hakekat keTuhanan bisa dirasakan dan dilihat, Namun wahyu bukanlah suatu alat yang bisa membuktikan keberadaan Tuhan. Orang tradisional (awam, primitif) bisa menerima keberadaan Tuhan dan wahyunya. Namun bagi orang yang mengalami keraguan sehingga berkeyakinan banyak Tuhan atau tidak bertuhan sama sekali, maka jelas bagi mereka penjelasan wahyu tidak ada gunanya. Bagaimana bisa mempercayai wahyunya, yang menurunkan wahyu itu saja tidak dipercayai, maka semua hal seperti itu tergantung konsistensi umat Islam untuk menjalankan peneguran Tuhan yang kemudian manusia juga di minta untuk mengatakan sebuah kata yang benar dan menyampaikan kebenaran tersebut dengan apa adanya. Dalam satu riwayat ketika Khalifah Abu bakar memimpin, dikisahkan bahwa ada beberapa orang Nasrani dan Yunani Romawi datang ke Madinah, mereka bertanya kepada para sahabat Nabi tentang konsepsi keberadaan Allah swt. Pertanyaan mereka di berikan jaminan, apabila mereka bertanya, kemudian para sahabat bisa menjawab pertanyaan tersebut, maka orang Nasrani dan Yunani Romawi tersebut akan masuk Islam, Namun mereka juga meminta garansi dari pertanyaan mereka jangan sampai menimbulkan konflik dan pertentangan apalagi pertumpahan darah. Para sahabat berjanji dengan jujur akan memberi jaminan keamanan dan keselamatan bagi mereka. Kemudian sahabat membolehkan mereka bertanya dengan mengatakan bahwa “bertanyalah sesuka hatimu dan insya Allah kami akan menjawabnya”. Pertanyaan orang Nasrani dan Yunani Romawi tersebut adalah “Apa yang tidak dimiliki oleh Allah, Apa yang tidak diketahui oleh Allah, Apa yang tidak bisa di perbuat oleh Allah”.
Para sahabat kaget dengan pertanyaan mereka, para sahabat satu sama lain saling menatap kebingungan. Tiba-tiba ada sahabat yang tidak bisa menahan emosi dan lantang ia berkata : “Ini pertanyaan kaum zindik, seandainya aku tidak memberi jaminan sejak awal, pasti aku sudah memenggal kepala kalian”. Tersentaklah orang Nasrani, Yunani Romawi tersebut dan mereka mencibir agama yang dianut oleh para sahabat Nabi. “Inilah agama yang tidak rasional tidak memberi jawaban pada keraguan dan gampang menumpahkan darah”. Namun beberapa orang sahabat di antaranya Ibnu Abbas dan Salman Al Farisi dengan tenang mengajak orang Nasrani Yunani Romawi tersebut menemui Imam Ali Bin Abi Thalib, yang sedang berada di dalam masjid bersama kedua putranya, Hasan dan Husein. Orang Nasrani Yunani Romawi bertanya : “Siapa Kau ?”, Ali menjawab : “Ibuku memberiku nama adalah Haedar, kemudian Rasulullah memberiku nama Ali bin Abi Thalib dan orang seagamamu memanggilku dengan nama Hyan, Aku adalah sepupu sekaligus menantu Rasulullah saw”. Lalu Ali berkata, bertanyalah padaku sebelum aku pergi dari depan mu, dan bertanyalah sesuka hatimu, jangan ragu dan takut. Lalu orang Nasrani Yunani Romawi itu, bertanya kembali dengan pertanyaan sama. Dengan penuh kewibawaan dan senyuman, Ali menjawab; “Yang tidak di miliki oleh Allah adalah ibu dan anak, Yang tidak di ketahui oleh Allah adalah sekutu-nya dan Yang tidak bisa Allah perbuat adalah kezaliman kepada hamba-hambanya. Mendengar jawaban itu, orang Nasrani Yunani Romawi merasa puas, lalu masuk Islam. Lebih jauh lagi, Ali menjelaskan tentang Tuhan dalam Najhu Al Balagbah, beliau menerangkan; bahwa adapun pokok pangkal agama adalah pengetahuan tentang Allah. Namun takkan sumpurna tentang-Nya kecuali dengan pembenaran tauhid dan keikhlasan. Karena setiap sifat Allah dengan sifat manusia itu berbeda, bukan persamaan sifat Tuhan. “Maka barang siapa melekatkan suatu sifat kepada-Nya sama dengan seseorang yang menyertakan sesuatu dengan–Nya, maka ia telah menduakan—Nya yang berarti telah memilah-milah–Nya dan barang siapa memilah—milah—Nya, maka sesungguhnya dia tidak mengenal Allah (Bukan mengenal dalam arti melihat dengan nyata tapi sipat Allah dan keangungannya yang harus di ingat). Segala puji bagi Allah tak ada ahli pidato dan bicara yang dapat memuji-Nya dengan mengapai rahmat dan berkah-Nya yang tak terhingga oleh ahli hitung sekalipun. dia tak dapat di mengerti sepenuh-Nya—sekalipun di upayakan, dia tak dapat di capai oleh kecerdasan--sekalipun cerdas, sifat-sifat tak dapat di batasi oleh pembatas apa pun, tak ada kata yang menggambarkan-Nya dengan utuh.

Salah satu cucu Ali adalah Ja’far Ash-shadiq. Pada satu saat Ja’far Ash-shadiq bertemu dengan orang Zindik yang tidak percaya pada tuhan dan menganut paham materialisme,yang kemudian terjadi dialog. Imam Ja’far bertanya ; siapakah namamu ?, Orang zindik menjawab ; Abu Abdillah [Abdul Lahb berarti hamba Tuhan]. Imam Ja’far bertanya lagi; Raja siapakah yang kamu sembah, apakah termasuk raja di langit, bumi dan beritahukanlah kepada ku tentang anakmu, Apakah dia hamba Tuhan di langit ataukah di bumi ?’’. Orang sindik itu diam. Imam Ja’far berkata lagi; Silakan katakan apa saja sesuka hatimu, Imam Ja’far kembali bertanya ; Apakah kamu mengetahui bahwa bumi ini memiliki lapisan bawah dan atas. Orang zindik menjawab ’ya’. Imam Ja’far bertanya ; Apakah kamu pernah masuk ke bawahnya. Belum jawabnya, Apakah kamu mengetahui apa yang ada di bawahnya, Aku tidak tahu tapi aku menduga bahwa di bawahnya tidak ada sesuatu, Dugaan itu adalah ketidakberdayaan selama kamu tidak yakin, Lalu Ja’far bertanya, Apakah kamu pernah naik ke langit dan mengetahui yang ada di dalamnya. Tidak jawabannya, Imam Ja’far kemudian mengakhiri pembicaraan secara panjang lebar ; Sungguh kamu ini sangat aneh, kamu belum pernah pergi ke timur dan barat, kamu belum pernah turun ke bawah bumi dan naik ke atas langit dan kamu belum pernah melewati sehingga kamu tidak dapat menggetahui ciptaannya itu, Namun kamu dengan serta mengingkari apa yang ada di sana, Apakah orang yang bijak layak mengingkari apa yang tidak di ketahuinya.

Sesungguhnya kamu, berada dalam keraguan tetang wujud Allah, barangkali Tuhan ada atau tidak ada, Wahai kawan, Bukan argumentasi dari orang yang tidak mengetahui, terhadap orang yang mengetahui. Pahamilah dariku, karena sesunguhnya kamu tidak pernah meragukan tentang Allah sama sekali. Apakah kamu tidak melihat matahari, bulan, malam dan siang, keduanya hanya masuk pada tempat yang telah di tetapkan bagi keduanya ? Jika keduanya mampu untuk pergi dan tidak pulang, mengapa keduanya pulang ?. Jika keduanya tidak di tundukan oleh Allah, mengapa malam tidak menjadi siang dan sebaliknya siang menjadi malam ?, Demi Allah, Wahai Saudaraku, keduanya di tundukkan pada tempat perputarannya. Dan yang menundukkan keduanya lebih kuat dan lebih besar dari keduanya.; “Wahai Saudaraku, kamu beranggapan dan menduga bahwa waktulah yang membawa manusia kedepan, maka tidak membawa mereka kembali ke belakang ? Dan jika membawa kembali ke belakang, mengapa tidak membawanya ke masa depan.” Ketahuilah, bahwa langit dan bumi itu tunduk kepada kehendaknya, langit di tinggikan dan bumi di letakkan di bawahnya, Maka mengapa langit tidak roboh menimpa bumi ? Mengapa lapisan bumi tidak saling bertabrakan. tidak menumpuk ke atas untuk menimbun langit ?”, Penjelasan Imam ini yang panjang lebar, cukup untuk mengambarkan akan keharusan, adanya yang Maha Ada. Dan pada tahun selanjutnya, para pemikir muslim menjelaskan tentang konsepsi keTuhanan. Al-Kindi misalnya, menjelaskan tentang Tuhan sebagai wujud yang hak bukan asalnya tidak ada kemudian menjadi ada dan selalu ada, mustahil tiada, Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak didahului yang lain, tidak berakhir wujudnya kecuali dengannya. Lebih lanjut kata Al-Kindi, Tuhan itu Esa. Bukan benda (buyulah maddah), bukan form (saburah) tidak mempunyai kuantitas pun kualitas. Tidak berhubungan dengan yang lain (idhafab), tidak bisa di sifati dengan apa yang ada di dalam pikiran, bukan genus, bukan differentia (fasl), bukan proporium (khassah) bukan accident (aradl), tidak bertumbuh dan tidak bergerak. Untuk membuktikan wujud Tuhan Al-Kindi mengunakan tiga pendekatan yaitu Pertama, Alam Baru adalah, merupakan faktor kejadian yang terbatas pada permulaan waktunya, Oleh karena itu pasti ada yang menyebabkan Alam ini ada, Tidak mungkin ada benda dengan sendirinya, Maka semua itu di citakan oleh Tuhan pencipta dari ketiadaan. Kedua Al Kindi mengatakan bahwa, dalam alam tidak mungkin ada keragaman kalau tidak ada kesaragaman secara sistemik, Maka hal ini bukanlah kebetulan melainkan karena sesuatu sebab. Akan tetapi sebab ini bukan Alam sendiri, tetapi sebab itu berada diluar alam itu sendiri, lebih mulia, tinggi dan lebih dahulu dari alam. Karena kata “sebab” harus ada sebelum efeknya. Ketiga, adalah Alam lahir mungkin rapi dan teratur, kecuali karena ada zat yang tidak nampak dan diketahui melalui tanda-tanda alam ini, Pendekatan ini sering di sebut oleh Aristoteles sebagai istilah Final Causa.

Menurut Al Farabi, Hakekat dan wujud kejujuran Tuhan adalah hal yang paling sempurna dan tanpa suatu sebab, Tuhan adalah zat yang asasi yang selalu ada, Dengan zat itu sendirilah menjadi sebuah kebuktian akan kebenaran, wujud kejujurannya—peneguran kepada hambanya, Oleh karena itu, Tuhan tidak ada sekutunya dan ia menyendiri dalam keindahannya. Kalau sekiranya Tuhan lebih dari satu, Maka Tuhan-Tuhan tersebut akan terasing dengan kejadian realitas penciptanya dalam suatu sipat tertentu. Wujud kejujuran Tuhan yang sesungguhnya tidak bisa di jelaskan oleh pengetahuan manusia yang terbatas, Hal ini karena wujud kejjuran Tuhan adalah mutlak, sedangkan kesanggupan manusia serba terbatas. Layaknya sebuah cahaya yang menyilaukan mata, Manusia sukar menguraikan sipat-sipat sinar itu yang sebenarnya. Menurut Ibnu Sina menyebut Tuhan sebagai “wajibul wujud” untuk membedakan dengan wujud dan untuk menunjukkan bahwa wujud yang niscaya itu tidak bersebab dengan tidak juga menghindari rangkaian sebab yang tak terhingga. Ibnu Sina lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan sesungguhnya memiliki sipat “Kekuasaan Individu”. Jika eksistensi bukan suatu esensi-Nya yang sebenarnya, Maka eksistensi sesuatu yang ditambah dalam realitas pengaturan-Nya, Ketika hal itu dalam pengaturan dan terjadi itu karena sebab yang di ciptakan oleh-Nya. Begitu juga dengan Al Gazali, melakukan kritikan terhadap Ibnu Sina yang bergelar Hujjah Al Islam itu, kemestian wujud merupakan sebagai sebab pertama bukan berarti kekal, Sebagai gantinya menyatakan bahwa Tuhan mempunyai kehendak yang yang sangat jujur dan sesuai dengan Zat-Nya. Dengan kehendak itulah dia memprakarsai, menciptakan apapun bentuk dan kapanpun dia kehendaki. Menurut Gazali di dalam diri Tuhan ada esensi ekuiditas dan ekuivalen dengan eksistensinya. Yakni Tuhan bebas dari yang tidak berwujud (Non Wujud) dan kekurangan, Akan tetapi, Eksistensinya merupakan tambahan bagi esensinya, Tidak ada agen yang menghasilkan eksistensi Tuhan yang tidak berakhir dan kekal tanpa sebab yang membatasi. Ibnu Rusyid menjelaskan lebih jauh tentang wujud kejujuran Tuhan dengan dalil-dalil Syar’iah, yaitu dalil penciptaan dan pemeliharaan yang ada dalam Al Qur’an. Dalam Al Qur’an dijelaskan tentang Inayah, Ikhtiar dan gerak. Dalil Inayah dapat dibuktikan ketika memperhatikan alam yang ada didalamnya sesuai dengan kehidupan manusia dan mahluk lainnya. Kesesuaian ini bukan terjadi secara kebetulan, tetapi menunjukkan adanya penciptaan yang rapi dan teratur. Dalam Al Qur’an Surat An Naba : 6-16 mengatakan bahwa : “Bukankah kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan ? dan gunung-gunung sebagai fasak ? dan kami jadikan kamu berpasang-pasangan dan kami jadikan tidurmu untuk istirahat dan kami jadikan malam sebagai pakaian dan kami jadikan siang untuk penghidupan dan kami bangun atas kamu tujuh langit yang kokoh dan kami jadikan pelita yang sangat terang (Matahari), dan kami turunkan air dari awan yang banyak dan kami berikan tumbuh-tumbuhan serta biji-bijian lebat maupun kebun yang besar ?”. Dalil Ikhtiar, adalah mahluk yang lahir dengan berbagai macam bentuk dan warna dengan memiliki gejala hidup terhadap mahluk lainnya dengan corak yang berbeda-beda. Perbedaan mahluk pada jenis kelamin dan pola kerjanya, menunjukkan adanya pencipta yang menghendaki supaya mahluknya lebih tinggi dari pada yang lainnya dan bukan karena keinginan sendiri. Sedangkan dalil gerak, adalah alam semesta yang bergerak dengan gerakan yang abadi dan mengandung daya penggerak yang tidak bergerak dan tidak berbadan yaitu Tuhan. Sementara ada beberapa pemikir, mengunakan istilah wujud untuk memudahkan pemahaman tentang Tuhan, Wujud dalam pandangan As Syirazi, dibagi dalam tiga kategori yaitu : (1). Wujud mutlak ialah keberadaannya tidak memerlukan sebab karena yang lain dan merupakan wujud dari segala sebab akibat. (2). Wujud Mungkin yaitu : Wujud yang disebabkan oleh kehendak mutlak, (3). Wujud Mustahil yaitu sesuatu yang kemaujudannya tidak mungkin ada (As syirazi, 1994). Sekarang ini terlepas dari pergulatan dan perdebatan tentang itu semua, oleh karena kalau kita akan memperdebatkannya sampai kapan pun, maka akan tergelincir pada kalam klasik. Dalam Al Qur’an menjelaskan tentang keberadaan Allah swt. Manusia menyebutkan tentang Tuhan dengan sadar atau tidak, itu sudah pasti manusia merindukan Allah sebagai pelindung dari segala macam musibah, Saat itulah manusia tunduk dan pasrah kepada Tuhan tanpa mengingkarinya, hal seperti ini di jelaskan dalam al Qur’an adalah; Dan apabila manusia itu di timpa kemudharatan, dia memohon pertolongan kepada Tuhannya dengan kembali kepadanya; dan apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya, maka lupalah dia akan kemudharatan yang pernah mohon kepada Allah untuk menghilangkannya sebelum itu, dan dia mengadakan sekutu bagi Allah swt untuk menyesatkan manusia dari jalannya. Katakanlah bersenang-senaglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu; sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka. (QS. Az Zumaar : 8). Disisi lain manusia terkadang lupa akan nikmat yang telah di berikan oleh Tuhan kepadanya. Sehingga membuat mereka menjadi tamak dan kikir terhadap saudara mereka sendiri.

Manusia Harus Konsisten

Tugas utama manusia adalah mengembalikan jiwanya untuk menjadi manusia yang jujur, amanah dan bertanggungjawab, Untuk mengembalikan jiwanya manusia untuk menjadi seorang hamba Tuhan yang murni harus mengenal dirinya yang sejati, hakekat aku dan siapa aku ?. Dalam catatan “aku” menulis “Aku Bukanlah Aku yang mandiri seperti dibisikkan oleh seorang Gieer Kegar ”aku bukanlah aku yang lahir dari ubun-ubun masyarakat yang diwariskan secara tidak sadar sebagaimana di teriakkan seorang Saussure dan para pemikir struktiralisme. Siapakah Aku ? siapakah kamu ? siapakah kita ? siapakah manusia. Alexis Carel dalam bukunya Man The Unknow, mengakui dengan kerendahan hati bahwa pengakuan manusia tentang manusia itu sendiri masih terlalu kecil di bandingkan dengan pengakuan terhadap Tuhannya sebagai mikrokosmos kompleks yang sedemikian rupa namun beberapa orang menerangkan hakekat manusia dengan pendekatan dan keputusan yang berbeda. Melihat manusia dari unsur kejiwaannya dan raganya di anggap mendahului pra—eksistensinya, disinilah eksistensi manusia. Maka manusia dalam taraf berfikirnya adalah jiwa itu sendiri. Sedangkan raga hanya berguna sebagai alat sewaktu masi hidup di dunia ini, tapi selain berguna bagi raga juga sekaligus memberi usaha pada jiwa manusia untuk kembali ke dunia nalar dannarasi humanistik ide dan mencapai kesempurnaan. Thomas Aquinas membantah pendapat plato dan menolak pra—eksistensi jiwa sebelum di persatukan oleh badan. Menurutnya pribadi manusia adalah mahluk individual yang di anugerahkan kodrat rasional. Yang di maksud bahwa makluk individual adalah mahluk hidup yang merupakan kesatuan antara jiwa dan badan, maka sejauh jiwa sudah bersatu dengan raga, yaitu hidup meskipun belum dapat disebut sebagai individu. Dengan demikian, pribadi adalah wujud individual manusia secara kongkrit dan rill. Manusia adalah suatu subtansi yang terdiri dari raga dan jiwa yang membentuk kesatuan yang utuh antara jiwa dan raga, tetapi tidak setiap kesatuan jiwa dan raga boleh disebut peribadi. Seorang Forme dari mengatakan setiap benda hidup di dunia di sebut jiwa rasional. Maka peribadi adalah makhluk individual yang mempunyai kodrat rasional. Sementara Dafid Home mencoba mengunakan paradigma positivisme empirik yang meyakini bahwa pribadi hanya kumpulan persepsi yang berbeda-beda dan saling mengantikan secara berurutan dengan kecepatan yang luar biasa. Peribadi selalu mengalir dan bergerak dengan pikiran, lokus dan identitas diri. Eksistensi taraf berfikirnya manusia tidak dapat di temukan dimanapun bahkan tidak juga dalam jiwa karena manusia di pengaruhi oleh kondisi da lingkungannya.

Immanuel kant berpendapat tentang bahwa konsep pribadi merupakan sesuatu yang sadar akan identitas numerik yang mengenai dirinya sendiri dan mengenai waktu yang berbeda-beda. Jiwa itu sebenarnya sadar dalam berbagai posisi kekuatan insting manusia yang menentukan segala bentuk tindakannya, maka hal dapat dikatakan konsep kepribadian. Identitas diri pribadi mengandaikan kesadaran diri dan identitas numerik mengisyaratkan dimanapun dan kapan pun manusia tetap menunjukkan rasa keinginnannya. Namun demikian Immanuel kant meyakini bahwa keyakinan manusia tidak dapat di buktikan secara ilmiah ketika ada kekuatan di balik unsting berfikirnya mereka sebagai individu, meskipun begitu ia tetap mengakui bahwa kepribadian berfungsi sebagai syarat formal bagi gagasan–gagasan dan sipat koheren mereka karena identitas diri tidak bisa di buktikan secara ilmiah. Immanuel kant percaya bahwa identitas diri pun tidak dapat di pergunakan untuk menyanggah keyakinan bahwa segala sesuatu di dunia selalu mengalir dan bergerak. Immanuel Kant juga meyakini bahwa pengakuan terhadap identitas diri tetap syah, sejauh menyangkut kesadaran orang yang bersangkutan dan tergantung kondisi dalam sebuah sistem, Identitas diri yang syah ini terefleksi pada diri sendiri bukan orang lain. John Stuart Mill, melihat pribadi sebagai manusia individual yang mempunyai kebebasan mutlak dalam hubungannya dengan masyarakat, Individu mempunyai dukungan dan kedudukan yang lebih tnggi dari pada masyarakat. Individu harus di prioritaskan dan kepentigan individu tidak boleh di korbankan demi kepentingan masyarakat. Sementara John Dewey, melihat seseorang yang bertindak sebagai wakil dari suatu komonitas dan masyarakat. Sedangkan para pemikir barat yang lain mengatakan bahwa manusia tidak berbeda dengan binatang sebagaimana di ungkapkan oleh Jalaluddin Rahmat dalam pengantar bukunya bahwa manusia dan agama seperti binatang yang digerakan oleh persepsi. Menurut Hartley, manusia layaknya binatang karena sesunguhnya manusia sebagai mahluk yang tunduk pada hukum gerak, manusia adalah mesin ototmatis tanpa jiwa. Sedangkan menurut Thomas Hobbes dan Freud bahwa manusia adalah mahluk yang di gerakan oleh naluri ideologis dan mengajarkan tentang kesenangan dan menghindari hal–hal yang tidak menyenangkan. Kemudian menurut Ungkap Watson, bahwa manusia adalah mahluk yang seluruh prilakunya di atur oleh prinsip-prinsip kondisional dan situasional. Menurut pendapat lainnya, seperti yang di kemukakan oleh Skinner bahwa manusia memiliki kesadaran diri, kehendak bebas dan ruh manusia adalah konsep hayati yang diciptakan oleh kesombongan manusia juga. Hal ini berbeda dengan kaum humanis seperti Rene Descartes, Franklin, Sartre, Buber dan Tillich yang menyatakan bahwa manusia berbeda dari binatang karena ia mampu menyadari akan pertanggungjawaban terhadap tindakan-tindakan yang dilakukannya. Manusia berbeda dengan binatang, Manusia adalah mahluk yang unik, rasional, bertanggungjawab dan memiliki kesadaran. Dari dinamika pemikiran yang dikemukakan oleh pemikir-pemikir barat, hanya satu pertanyaan yang tersisa buat kita adalah apa benar manusia itu rasional ?, Bagaimana dengan sikap para politisi dan aktivis mahasiswa yang meminta tuntutan dengan tidak rasional ? bagaimana dengan para ekonomi yang membeli barang dan menumpukkannya tanpa akal yang sehat dan tidak sesuai dengan kebutuhan, Apa benar manusia itu bertanggunjawab dan memiliki kesadaran ?. Bagaimana dengan induk ayam yang mengilingi anaknya dari ancaman, Begitu juga dengan pimpinan yang melarikan diri dari tanggungjawabnya, melakukan korupsi, penghianatan serta acuh tak acuh dengan pimpinan lainnya (penzoliman), padahal kolektif itu kelanjutan masa depan organisasi ?, Bagaimana juga bagi Ibu yang membuang anaknya dan kakek yang memperkosa cucunya ?, bagaimana dengan orang tua bersama 4 orang anak di jawa timur melakukan bunuh diri karena ekonomi mendesak ?, bagaimanakah dengan pimpinan dan kader IMM yang tidak konsisten pada dakwahnya dan berfikir kaku ?, bagaimanakah dengan pimpnan persyarikatan Muhammadiyah dan AUMnya hanya mencari makan di Muhammadiyah ?. apakah manusia itu baik atau jahad ?.

Dengan tegas Sigmund Freud mengatakan bahwa kata jahat di ilustrasikan lewat tulisannya dengan mengatakan bahwa ”Manusia bukanlah mahluk yang lemah lembut, bersahabat, ingin menyayangi diri sendiri dan mempertahankan diri apabila diserang. Tetapi sejumlah keinginan yang kuat untuk bertindak agresif dan progresif harus diakui sebagai watak dasar manusia”. Lebih jauh Sigmund Freud menegaskan bahwa manusia digerakkan oleh nafsu seksual (Libido seksuality). Kata Toynbee, Tabiat manusia adalah adanya kekerasan dan kekejaman. Kata Robert Ardry, Manusia adalah binatang buas yang naluri alamiahnya membunuh dengan senjata. Sikap agresif ini di sebabkan manusia memang sudah di program secara filogenetis, Kata Konrad Lorenz, Selain agresif manusia juga rakus dan mementingkan diri sendiri. Ungkapan Mill juga bahwa Manusia bertindak untuk mencari kesenagan. Thomas Hobbes juga berpendapatnya bahwa kaum humanis seperti Rogers, Maslow, Allfort, John Rousseau, bahwa mereka manusia yang bersahabat, bercinta dan berdebat untuk kepentingan orang lain. Sedangkan menurut Gordon Allfort Manusia menolak peperangan dan penindasan atau anti penjarahan. Diantara keduanya ada paham yang berada di tengah-tengah, Manusia bersipat baik dan jahat. Kata seorang Watshon, Skinner dan Bandura aliran behafioristik bahwa “bukanlah ligkungan manusia itu yang menentukan, tapi pilihan yang di ambilnya untuk menentukan wataknya, bagi para pakar eksistensialis terdiri dari Sartre, Jasvers dan Ortegga Y. Gasset, Alvotret Coise, Alvotret Wisse dan seorang kakabau de laire, yaitu manusia ingin berkehendak bebas dan lepas dari tekanan serta di tunjukkan oleh kekuatan lain yang telah di tentukan oleh dirinya sendiri. Menurut Thomas Hobbes seorang teorotis filsafat empirisme membagi pemikiran para pemikir barat dalam berbagai teori dan pemikirannya seperti, Harley dan Hume (Asosialisme), Jremmy Bentham, Mill (Utulitarianisme), Wathson dan Skinner (Behaviorisme) serta Freud “tidak berpihak, Hobbes melanjutkan pendapatnya bahwa manusia berkehendak dan tidak ada determinisme apapun sebagaimana yang dikatakan oleh Immanuel Kant (positivisme Transendental) dan Sartre (Eksistensialisme). Kemudian ada juga yang mengambil pembelaan diri atas pendapat tentang manusia seperti Erric Fronn, Eric Sonn (Neofreudian), Maslow dan Rogers (Humanis), Descartes (Rasionalis), May Franklin (Humanis eksistensial), Buber, Tillich, serta Fournier (Eksistensial Teistik). Semua hal itu merevisi pendapatnya tentang tabiat dan sifat dasar manusia. Menurut pandangan mereka dalam kemasan barat dan pemikir eropa pun tidak ketinggalan untuk memperdebatkan tentang bagaimana dan siapa yang sebenarnya manusia sesungguhnya. Maka oleh karena itu, mereka berpendapat dengan mengambil kesimpulan pada sisi kebenaran penciptaan baik secara historis maupun teologisnya bahwa mereka percaya pada kebenaran Tuhan satu dan Esa sebagaimana pesan-pesan universal para dewa yang mengakui kebenaran satu. Pergulatan pemikiran tersebut memang harus dikedepankan, namun senantiasa di refleksikan pada kekuatan illahiah sebagai manifestasi kebenaran hakikinya. Bagi kalam Allah (Al Qur’an) ingin memberikan sebuah definisi yang lebih gamblang dan spesifik sehingga membantu pembaca agar tidak terjebak pada apa yang di pahami oleh para pemikir barat. Allah swt tidal menempatkan hambanya sebagai manusia yang jahat dan tidak baik. Namun Allah swt memiliki hak dan wewenangnya untuk mengadili pada saat hari pembalasan di akhirat nantiya. Dengan konsekwensi bahwa manusia itu harus menerima apa yang telah di perbuatnya. Akan tetapi untuk tidak mengurangi landasan berfikir penulis, maka penulis ingin menjelaskan dengan lebih rinci dalam konsep manusia yang tertera dalam Al Qur’an. Maka oleh karena itu, sebelum diadili manusia itu terlebih dahulu Tuhan memperingatkan kepada mereka ntuk mengatakan sebuah situasi yang benar dan membenarkan sebuah kebenaran tanpa tindakan diluar kaidah pembicaraan, seperti orang menjadi hakim dan loyer dari setiap persoalan hukum selalu menjadi pembohong, kadang yang benar di salahkan dan yang salah di benarkan. Sebagaimana Tuhan menyebutkan adalah: Hai orang-orang yang beriman mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. (QS. Ash Shaaf; 2).

Dalam kalam Tuhan (Al Qur’an) manusia memiliki arti hidupnyayakni tidak terpengaruh terhadap godaan apapun yang bersifat buruk, agar tidak terjadi kekufuran, hal dapatlah di jelaskan dalam al Qur’an sebagai berikut : ”Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak adam, kami angkat mereka dari daratan dan dilautan, kami beri meeka rezeki dari yang baik dan kami lebihkan mereka kepada kelebihan yang smepurna atas kebanyakan mahluk yang telah kami ciptakan. (Al Qur’an Surat Al Isra : 70), Maksud dari ayat ini adalah Allah memudah bagi hambanya atau mahluknya atau anak adama untuk mengangkut semua kebutuhan mereka dalam kehidupannya dalam mencari keridhoan Tuhan, sehingga dengan pengangkutan itulah semua manusia akan mudah dalam transaksi perdagangan juga. Begitu juga di jelaskan lebih lanjut oleh Tuhan, mengatakan bahwa; ”Katakanlah; Aku berlindung kepada Tuhan yang memelihara dan menguasai manusia, raja manusia, sembahan manusia, dari kejahatan dan bisikan syaitan yang pernah bersembunyi, yang membisikkan kejahatan kedalam dada manusia, dari golongan jin dan manusia. (Al Qur’an Surat An Naas : 1-6), “Dan ingatlah ketika Tuhan mu berfirman kepada para malaikatr; sesungguhnya aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang di beri bentuk”. (Al Qur’an Surat Al Hijr : 28),
Dengan demikian manusia ini juga memiliki dua sipat utama yakni negatif dan positif. Sipat negatif manusia dijelaskan dalam Al qur’an adalah: ”manusia mendoa untuk kejahatan dan manusia juga mendoa untuk kebaikan, sesngguhnya manusia itu tergesa-gesa. (Al Qur’an Surat Al Isra : 11), Maksud ayat di atas juga, di sambung oleh Tuhan untuk memperjelas posisinya, yakni; Dan apabila manusia di timpa bahaya dia berdoa kepada kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia kembali melalui jalan yang sesat, seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada kami untuk menghilangkan bahaya yang telah menimpanya. begitulah orang-orang yang telah melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan. (Al Qur’an Surat Yunus : 12), Maka oleh karena itu, untuk menanggulanggi sikap manusia yang kikir seperti itu, Tuhan menyediakan peringatan dan perhatian kepada manusia untuk memperhatikan semua apa yang telah di perintahkan kepada manusia, oleh karena sesungguhnya Tuhan tidak pernah memerintahkan manusia untuk berbuat jahat dan bersifat kikir atau iri hati. sebagaimana di sebutkan oleh Tuhan dalam kalamnya adalah; Sesungguhnya manusia di ciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir, apapbila di timpa kesusahan maka ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan maka ia akan bersifat kikir terhadap saudaranya, kecuali orang-oran yang mengerjakan sholat. (Al Qur’an Surat Al Ma’aarij : 19-22), Maksud dari ayat ini, sangat jelas ketika melarang manusia bersifat kikir dan tamak. Percuma juga kita melaksanakan sholat apabila yang kita kerjakan justru di luar sholat kita, banyak tabiat manusia yang memperlihatkan kebengisannya seperti ada yang mejelekkan temannya padahal sesama dosen dan kader Islam, ada yang memutuskan silaturrahmi antar muslim, ada yang menghina teman atau sahabatnya sendiri, ada yang mengatakan kepada kolega kerjanya’aku tidak suka dengan dirimu’ padahal temannya tidak ada kesalahannya. manusia seperti itu selalu mencari kesalahan orang lain dngan cara apapun tanpa memperhitungkan bahwa Tuhan juga bersama mereka. Dari dasar ini Tuhan melanjutkan pembicaraannya dalam kalamnya yang mengatakan bahwa; ”sesungguhnya manusia itu sangat ingkar tidak berterimah kasih kepada Tuhannya, dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan sendiri keingkarannya itu. (Al Qur’an Surat Al Adiyaat : 6-7), Ketika manusia sudah terpenuhi hasrat dan tujuannya, maka mereka akan lupa dengan persahabatan, lupa akan kekuatan saudaranya, lupa akan bantuan sahabatanya ketika dia dalam kesulitan. Maka orang-orang seperti ini adalah tidak lain orang yang bersifat tamak dan sikap yang sangat jahat yang di benci oleh Tuhan. Dalam kalamullah di jelaskan adalah; ketahuilah sesungguhnya manusia selalu melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. (Al Qur’an Surat Al Alaq : 7), Kemudian, sipat positif manusia dijelaskan dalam Al qur’an adalah : Ketika manusia di ciptakan, manusia sudah dikatakan sebagai khalifah, sebagaimana Al Qur’an menjelaskan adalah : Ingatlah ketika Tuhan mu berfirman kepada malaikat: sesunguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan engkau?” Tuhan berfirman sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (Al Qur’an Surat Al Baqarah : 30), Manusia di bandingkan dengan semua mahluk yang lain manusia mempunyai kapasitas intelektual yang sangat tinggi, di jelaskan dalam Al Qur’an adalah sebagai berikut : ”Dan di amengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukkannya kepada para malaikat lalu berfirman; ”sebutkanlah kepada Ku nama-nama bnda itu jika kamu memang orang-orang yang benar. Mereka menjawab maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Al Qur’an Surat Al Baqarah : 31-32), Setelah manusia mengaku akan hal yang diajarkan oleh Tuhan, maka dengan kapasitas ilmu dan intelektualnyalah harus memiliki dimensi ketauhidan yang kuat untuk mengimbangi antara ilmu dan dan keinginan akan mengetahui kebenaran Tuhan yang sesungghnya. Ketauhidan merupakan dimensi yang sangat fundamental yang harus di pahami oleh manusia sebagai pondasi dasar untuk menjadi manusia paling hebat. seperti penjelasan kalam Tuhan adalah; Dan ingatlah ketika Tuhan mu mengeluarkan anak adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman); ”Bukankah Aku ini Tuhan mu?”, mereka menjawab; betul, Engkau adalah Tuhan kami, kami menjadi saksi”. kami lakukan yang demikian itu agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan; ”sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan). (Al Qur’an Surat Al A’raf : 172), Mengapa Tuhan mengatakan seperti itu kepada manusia, karena itu itu juga merupakan sebuah peringatan yang harus ditaati. Karena Tuhan memperingatkan dalam bentuk yang lebih keras, sebagaimana Tuhan mengatakan adalah; Oleh karena itu, hadapkanlah wajah mu kepada Islam sebelum datang dari Allah suatu hari yang tak dapat di tolak, kedatangannya; pada hari itu mereka terpisah-pisah. (Al Qur’an Surat Ar Rum : 43),

Kemudian manusia bersipat bebas dan merdeka, mereka diberi kepercayaan penuh oleh Tuhan di berkahi dengan risalah yang diturunkan dan dikaruniai rasa tanggungjawab, mereka diperintahkan untuk mencari nafkah dari usahanya sendiri. Mereka juga bebas memilih kesejahteraan atau kesengsaraannya. Di jelaskan ”sesungguhnya kami telah mengemukakkan amanat, kepada langit, bumi dan gunung, maka semuanya enggan untuk memikul semua amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya, dan pikulllah amanat itu oleh manusia. sesungghnya manusia itu amat zolim dan amat bodoh. (Al Qur’an Surat Al Ahsab : 72), Manusia dikarunia pembawaan yang mulia dan bermartabat. Tuhan pada kenyataanya telah menganugerahi manusia dengan keunggulan akal diatas mahluk lain. Manusia akan menghargai dirinya sendiri jika mereka mampu merasakan kemuliaan dan martabat tersebut, serta mau melepaskan diri pada kehambaan hawa nafsu. Namun kehambaan hawa nafsu terkadang terjadi ketika ada penjarahan pada dirinya maupun sikap orang lain yang berusaha mengatakan dirinya paling hebat, menjaustifikasi orang lain dengan bahasa tidak sopan seperti kamu penghianat dan komparador, maka kalau hal seperti ini keluar dari rongga mulut manusia maka yang terjadi adalah konflik serta perlawanan dalam bentuk apapun. Oleh karena manusia memiliki naluri yang bersifat baik dan buruk, ketidak diantara kedua sifat ini tidak bisa membedakannya maka akan ada penolakan pada diri mereka sendiri. Manusia memiliki kesadaran moral dengan melakukan hal yang baik dan buruk melalui inspirasi alami. Dijelaskan ”Demi matahari dan cahanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringginya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaanya (di ciptakannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya. (Al Qur’an surat Asy Syams : 1-10), Jiwa manusia tidak akan pernah damai kecuali dengan mengingat Allah. Dilanjutkan juga dengan penjelasan ”(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah, ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (Al Qur’an Surat Al Arrad : 28), Manusia dikaruniai untuk memanfaatkan dunia secara syah, Setiap realitas yang tersembunyi dihadapkan pada manusia setelah mereka meninggal dan selubung ruh mereka di singkapkan, Manusia tidaklah tersentuh oleh motivasi-motivasi duniawi saja dengan kata lain kebutuhan materialisme bukanlah satu-satunya stimulasi baginya. Manusia sesungguhnya memiliki piramida berfikir untuk mengharmonisasikan antara doktrin ketuhanan dengan nilai spiritualitas maupun materialismenya, sehingga tidak akan terjadi sebuah pertentangan baik yang bersipat ideologis maupun teologis. Maka yang dibutuhkan dalam hal ini adalah harmonisasi sebuah nilai dalam manusia itu baik keberadaannya secara individual maupun dalam konsep sistemiknya.
Dengan demikian manusia memiliki sipat kehewanan dan kemanusiaan. Sekaligus bisa membedakan manusia itu sendiri dengan mahluk lainnya atas dasar ilmu dan iman, Manusia mempunyai kecendrungan kearah kebenaran-kebenaran dan wujud sucinya. Manusia tidak bisa hidup tanpa mensucikan diri dengan konsep ketauhidan. Manusia memiliki kecenderungan untuk memahami alam semesta, mencari sesuatu yang ada di luar lingkungannya. Karena Iman dan ilmu adalah inspirasi yang berkarakteristik kemanusiaan, maka kalau ada pemisahan diantara keduanya justru akan membuat itu kerdil dan tidak bermartabat. Iman tanpa Ilmu akan mengakibatkan anarkisme, antagonisme, kemunduran, tahayul dan kebodohan. Ilmu tanpa iman akan digunakan untuk memuaskan kerakusan, kesombongan, ekspansionisme, ambisi, penindasan, perbudakan, penipuan, penjarahan dan kecurangan. Selain itu, manusia adalah mahluk paradoksal yang melekat dalam dirinya, selalu terdapat sifat baik dan jahat, akan tetapi sifat itu hanyalah hal-hal yang potensial. Berdasarkan potensi yang dimilikinya, manusia harus membentuk dirinya secara khas berdasarkan pendalam keagamaannya. Dalam hal kebebasan pun sangat berkaitan dengan takdir. Takdir ada 2 macam ”takdir defenitif (mua’alaq/dapat di ubah) dan takdir tidak defenitif (mubram/tak dapat diubah).

Dialam semesta ini setiap akibat harus didahului oleh sebab oleh karena itu merupakan prinsip dasar yang sudah definitif, tetapi kemampuan untuk memilih diantara keduanya, manusia cenderung ada rasa takut terhadap sesuatu yang telah ditakdir dan manusia pun mendasarkan insting atau alur berfikir dalam konsep takdir adalah pada kekuatan ikhtiarnya. Kemudian takdir yang tidak definitif, manusia berkecenderungan memiliki sikap berbeda dan terjadi pembedaan tafsiran sebagai bentuk gagasan yang bersipat bebas dari pertentangan jabariyah dan kadariyah. Akan tetapi berbeda dengan teori mu’tazilah yang meniadakan kuasalitas manusia dengan menghadirkan keabsolutisme Tuhan. Selain itu, dalam Islam ada istilah yang dapat mempengaruhi manusia yaitu di kenal dengan alam pikiran tinggi dan rendah. Dalam hal ini pun manusia menandakan dirinya bahwa ada pengaruh yang tersirat dalam sebuah takdir. Penjelasan diatas adalah teoritis dan definitif tentang manusia. Lalu bagaimana penjelasan praktisnya, Ali Syariati membedakan manusia dalam konteks basyar dan Insan. Basyar di lihat dari sisi eksistensi manusia, sisi biologis dan visiologis, sedangkan insan adalah manusia yang memiliki kesadaran diri, kesadaran materialis, kemamouan untuk memilih dan kemampuan untuk berkarya. Penulis ingin mengutif apa yang dikatakan oleh Ali Syari’ati dalam teori humanismenya bahwa Insan adalah mahluk yang sadar yakni satu-satunya mahluk di dunia yang memperoleh kesadaran, merasakan kualitas dan tabiat sendiri, Merasakan alam semesta dan merasakan hubungan dirinya dengan alam semsta ini”. Manusia merupakan mahluk yang mampu melawan tabiat dan hukum, memberontak terhadap kebutuhan naluri fisik maupun fsikologisnya. hanya manusialah yang dapat melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kecendrungan alamiahnya, Manusia adalah mahluk yang mampu menciptalan tafsiran sebagai manifestasi Tuhan di dalam tabiat mereka sendiri. Muhammad iqbal menulis dalam sebuah sya’irnya ‘siapa yang mengenal pribadinya sendiri maka ia tahu di mana Tuhan”. Ini adalah ungkapan sufistik-eksistensialis, yang melihat eksistensi manusia dari sisi filsafat dan tasawuf. artinya bahwa manusia itu ada karna keberadaannya itu dibimbing oleh jiwa yang memiliki nilai hidup sebagai obyek (ma’ful) terhadap Tuhan dan manusia pun sekaligus menjadi subyek (fa’il) terhadap dirinya sendiri. Manusia dikatakan sebagai obyek karena manusia tunduk dan tergantung pada Tuhannya dalam bentuk penghambaan yang total. Sedangkan manusia dikatakan sebagai subyek ia memiliki potensi hidup (inner potensi) yang memiliki tangung jawab terhadap diri, masyarakat, alam dan Tuhannya. Tuhan menciptakan alam semesta secara alami dan sederhana bukanlah untuk menyia-yiakan kemampuan Tuhan itu sendiri akan tetapi manusialah di manifestasikan untuk bertangungjawab dan menyumpurnakanya. Manusia memiliki martabat khusus. tugas khusus dan misi khusus. Manusia bertangungjawab untuk menyumpurnakan dirinya dan memperbaharui masyarakatnya. Sebagai khalifah Allah, manusia di takdirkan oleh Allah untuk merdeka dan bertanggungjawab terhadap nasipnya sendiri. selain itu, manusia mempunyai beban dan fungsi kenabian.

Dengan konsep ini manusia adalah mahluk yang berakal dengan beragam potensial. Pengekangan terhadap potensi manusia adalah penindasan dan penjarahan fitrah kemanusiaan. Sehingga pembatasan terhadap kebebasan kreasi manusia merupakan tindakan yang bertentangan dengan nilai dasar manusia, begitu juga dengan penyerangan psikologis dan fisik manusia terhadap manusia lainnya, itu semua merupakan kejahatan moral terhadap niali-nilai humanisme kemanusiaan. Sebagaimana kita mengambil contoh ketika kasus penyerangan HMI terhadap saya sendiri dan kawan-kawan (Rusdianto, Ruslan, Agusdianto, Imanullah dan Edi Kurniawansyah) sebagai kader IMM dikampus Universitas Muhammadiyah Mataram pada tanggal 25 oktober 2008 dengan metode black campaign atau menjelekkan IMM via sms dan memukul (anarkisme) terhadap orang lain oleh Mahbub Syuaib, Iwan Wijaya Dewantara dengan mengatasnamakan HMI bersama kawan lainnya, itu merupakan sebuah penghianatan maupun penjarahan yang tak pernah akan hilang dalam naluri dan benak kader IMM. Bentuk penindasan dan penistaan ini adalah sesuatu yang melanggar norma atau asusila dan harus dilakukan perlawanan, padahal mereka (Mahbub Syuaib) bersama kawannya adalah orang-orang intelektual dan bisa dibilang generasi Islam, akan tetapi justru mereka seperti setan yang kesurupan melakukan hal yang demikian jeleknya, maka boleh kita katakan mereka tidak lain adalah seorang individu yang penghianat, komparador dan penyair disiang bolong. Manusia bukanlah penguasa tunggal yang dapat berbuat sekehendak nafsu dan ambisi keuasaan. Manusia bukanlah manusia jagoan seperti yang dijelaskan jean paul Sartre dengan pemikirannya yang di gambarkan oleh Nietzsche bahwa jenis manusia yang pengidap paranoid seperti Mahbub dan kawan lainnya selalu curiga terhadap orang lain di sekitarnya. Dalam pandangan teori syafrilisme manusia adalah individu yang keberadaannya tidak terlepas dari egoisme yang kreatif, bukan egoisme penghianat. Maka oleh karena itu, bukanlah angan–angan yang menuntun dan menjadi suluh bagi hidup dalam kehidupan manusia, melainkan cahaya dan petunjuk Illahi. Tafsir penjelasan dan interpretasi teori syafrilisme sebagai ingin mengambil bagian dalam pembangunan SDM intelektual untuk mereduksi radikalisasi kepribadian manusia melalui penanaman sisi moral (humanism value) dan prilaku yang baik. Maka oleh karena itu, egoisme kreatif dan humanism value pada manusia akan melahirkan pribadi generasi yang baik. Teori syafrilisme berpandangan bahwa seharusnya segenap egoisme kreatif, kemampuan indrawi dan potensi adikodratinya dengan kehendak Illahiah sesungguhnya akan menikmati kebahagiaan dan mendapatkan sumber cinta illahiah, ilmu pengetahuan, hikmah dan keadilan yang sejati. Jika manusia gagal dalam segala usahanya maka manusia akan berada dalam kenisbian yang tak terbantahkan. Meskipun demikian, bagi teori syafrilisme tidak berarti manusia harus pasif, stagnan, hedonisme dan fatalistilk. Bahkan manusia harus mampu menjadi penjelmaan wujud sang illahiah yang ego kreatif itu untuk menaburkan benih cinta, pengetahuan, hikmah dan keadilan di dunia ini. Lebih jauh dalam pandangan syafrilisme bahwa manusia bukanlah seorang pemberontak terhadap Tuhan yang memasung kreatifitas dan kehendak bebas dalam menaklukan alam dan terpateri dalam hikayat promothean sebagaimana yang di ungkapkan dalam mitologi yunani. Mitologi yunani suatu mitos yang mempengaruhi sartre, Nietsche dan para filosof eksistensialisme atheistik. Selain itu juga IMM memandang manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini yang mewakili Tuhan yang bertugas memikul amanah dan tanggungjawab dimuka bumi untuk melakukan pengelolaan alam, penabur rahmat bagi alam semesta. Oleh karena itu Tuhan, menghiasi manusia dengan seperangkat titisan karakternya agar manusia mampu menjadi insan khamil. Yaitu manusia sejati yang memiliki kebaikan, kesadaran illahiyah (tauhid), kesadaran iqra, kesadaran majelis dan kesadaran harakah fil Islam atau populernya teori syafrilisme yang digagas oleh Rusdianto (penulis sendiri) dan senantiasa mengambil inspirasi ma’ruf dan contoh gerakan kenabian sebagaimana yang tercatat dalam sepanjang sejarah dan risalah para Nabi (kenabian).

Predikat Baik Dan Ucapan Baik

Manusia senantiasa mencari lingkungan dan tempat hidup yang tenang, aman, gembira, dan membina persahabatan. Meskipun merindukan keadaan demikian, manusia sangat jarang menyuburkan nilai-nilai kedamaian tersebut, manusia sendiri menjadi penyebab terjadinya konflik dan kesengsaraan. Sering kali orang mengharapkan agar ada ketenangan, kedamaian, dan bersahabat. Hal ini berlaku dalam hubungan keluarga, hubungan antarpegawai di perusahaan, hubungan kemasyarakatan, maupun persoalan internasional. Namun, untuk membina persahabatan dan menciptakan kedamaian dan keamanan dibutuhkan sikap mau mengorbankan diri. Konflik dan keresahan tidak dapat dihindari jika orang-orang hanya bersikukuh pada ucapannya, jika mereka hanya mementingkan kesenangannya sendiri tanpa bersedia melakukan kompromi atau pengorbanan. Bagaimanapun, orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan tidak bersikap seperti itu. Orang yang beriman tidak mementingkan diri sendiri, suka memaafkan dan sabar. Bahkan ketika mereka dizalimi, mereka bersedia mengabaikan hak-hak mereka. Mereka menganggap bahwa kedamaian, keamanan, dan kebahagiaan orang lain lebih penting dibandingkan dengan kepentingan pribadi mereka, dan menunjukkan sikap yang santun. Ini merupakan sifat mulia yang diperintahkan Allah kepada orang-orang beriman: "Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar." (QS. Fushshilat: 34-5). "Ajaklah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. An-Nahl: 125). Sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut, sebagai balasan atas perbuatan baiknya bagi orang-orang yang beriman, Allah mengubah musuh mereka menjadi "teman yang setia". Ini merupakan salah satu rahasia Allah. Bagaimanapun juga, hati manusia berada di tangan Allah. Dia mengubah hati dan pikiran siapa saja yang Dia kehendaki. Dalam ayat lainnya, Allah mengingatkan kita tentang pengaruh ucapan yang baik dan lemah lembut. Allah memerintahkan Nabi Musa dan Harun a.s. agar mendatangi Fir'aun dengan lemah lembut. Meskipun Fir'aun itu zalim, congkak, dan kejam, Allah memerintahkan rasul-Nya agar berbicara kepadanya dengan lemah lembut. Allah menjelaskan alasannya dalam al-Qur'an: "Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut." (QS. Thaha: 43-4). Ayat-ayat ini memberitahukan kepada orang-orang yang beriman tentang sikap yang harus mereka terapkan terhadap orang-orang kafir, musuh-musuh mereka, dan orang-orang yang sombong. Tentu saja ini mendorong kepada kesabaran, kemauan, kesopanan, dan kebijakan. Allah telah mengungkapkan sebuah rahasia bahwa Dia akan menjadikan perbuatan orang-orang beriman itu akan menghasilkan manfaat dan akan mengubah musuh-musuh menjadi teman jika mereka menaati perintah-Nya dan menjalankan akhlak yang baik.

Banyak orang yang tidak beriman kepada al-Qur'an sekalipun mereka mengaku sebagai orang yang beriman. Mereka menghabiskan hidup mereka dengan berpegang pada khayalan, dan kehidupan mereka menyalahi al-Qur'an, bahkan mereka menolak al-Qur'an sebagai pembimbing mereka. Padahal, hanya al-Qur'an yang memberikan pengetahuan yang benar dalam masa kehidupan ini kepada setiap orang, dan al-Qur'an menjelaskan rahasia-rahasia penciptaan Allah dengan penjelasan paling benar dan paling murni. Informasi apa pun yang tidak berdasarkan pada al-Qur'an adalah informasi yang tidak benar, dengan demikian informasi tersebut merupakan tipuan dan khayalan. Dengan demikian, orang-orang yang tidak berpegang pada al-Qur'an hidupnya dalam keadaan mengkhayal. Di akhirat, mereka akan dilaknat selama-lamanya. Dalam al-Qur'an, juga dalam shalat, perintah, larangan, dan akhlak yang baik, Allah menjelaskan berbagai rahasia kepada umat manusia. Sesungguhnya semuanya ini merupakan rahasia penting, dan mata yang mau memperhatikan dapat menyaksikan rahasia-rahasia ini di dalam hidupnya. Tidak ada sumber lain selain al-Qur'an yang dapat menjelaskan rahasia-rahasia ini. Al-Qur'an adalah sumber istimewa bagi rahasia-rahasia ini, sehingga siapa pun orangnya, betapapun ia orang yang cerdas dan melek huruf tidak akan pernah menemukan rahasia-rahasia ini di tempat lain. Jika sebagian orang tidak dapat memahami pesan-pesan yang tersembunyi dalam al-Qur'an, sedangkan orang lain dapat memahaminya, ini merupakan rahasia lain yang diciptakan oleh Allah. Orang-orang yang tidak mengkaji rahasia-rahasia yang diwahyukan dalam al-Qur'an hidup dalam keadaan menderita dan berada dalam kesulitan. Ironisnya, mereka tidak pernah mengetahui penyebab penderitaan mereka. Dalam pada itu, orang-orang yang mempelajari rahasia-rahasia dalam al-Qur'an menjalani kehidupannya dengan mudah dan gembira. Sebabnya adalah karena al-Qur'an itu jelas, mudah, dan cukup sederhana untuk dipahami oleh setiap orang. Dalam al-Qur'an, Allah menyatakan sebagai berikut: "Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. Kami telah menurunkan kepadamu cahaya yang terang benderang. Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada-Nya, niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya dan limpahan karunia-Nya, dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus." (QS. an-Nisa': 174-75). Namun demikian, kebanyakan manusia, meskipun mereka sanggup memecahkan masalah yang sangat sulit, memiliki pemahaman dan mampu mempraktikkan filsafat yang sangat membingungkan, ternyata tidak mampu memahami hal-hal yang jelas dan sederhana yang terdapat dalam al-Qur'an. Sebagaimana tetah dijelaskan dalam buku ini, persoalan ini merupakan rahasia yang penting. Di samping tidak mampu memahami sifat dunia yang sementara, hari demi hari orang-orang seperti ini semakin dekat kepada kematian yang tak dapat dielakkan. Rahasia-rahasia dalam al-Qur'an merupakan rahmat bagi orang beriman, dan di sisi lain, al-Qur'an memberikan ancaman bagi orang-orang kafir, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Allah menjelaskan kenyataan ini dalam sebuah ayat sebagai berikut: "Dan Kami turunkan dari al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur'an itu hanyalah menambah kerugian bagi orang-orang yang zalim." (QS. al-Isra: 82). Buku ini membicarakan tentang persoalan-persoalan yang berhubungan dengan ayat-ayat yang telah diwahyukan Allah kepada manusia sebagai suatu rahasia. Ketika seseorang membaca ayat-ayat ini, dan perhatiannya tertuju kepada rahasia-rahasia yang terkandung dalam ayat ini, maka yang harus ia lakukan adalah berusaha mengetahui maksud Allah di balik berbagai peristiwa, lalu memikirkan segala sesuatunya berdasarkan al-Qur'an. Maka, orang-orang pun akan menyadari dengan kesadaran yang mendalam tentang rahasia-rahasia tersebut, sehingga al-Qur'an akan mengendalikan kehidupan mereka dan kehidupan orang lain. (Harus Yahya, edit link, bookmark & kompilasi ke file chm oleh : www.pakdenono.com pakdenono@yahoo.com, Di nduh oleh Penulis pada Tanggal 06 Januari 2010).

Semenjak orang bangun pada pagi hari, wujud dari rahasia-rahasia yang diciptakan Allah ini dapat dilihat. Untuk memahami rahasia-rahasia ini, yang ia perlukan hanyalah selalu memperhatikannya, berpaling kepada Allah, dan bertafakur. Maka, ia akan menyadari bahwa hidupnya sama sekali tidak tergantung pada hukum-hukum yang merugikan sebagaimana yang dipakai banyak orang, dan ia akan menyadari bahwa satu-satunya kekuasaan dan hukum yang dapat dipercaya hanyalah hukum Allah. Ini merupakan rahasia yang sangat penting. Tidak ada kebaikan di dalam aturan-aturan dan praktik-praktik yang digunakan kebanyakan orang selama berabad-abad yang dianggap sebagai kebenaran yang pasti. Sesungguhnya, orang-orang ini telah tertipu. Kebenaran adalah apa yang dinyatakan dalam al-Qur'an. Siapa pun yang membaca al-Qur'an dengan ikhlas, lalu memikirkan berbagai peristiwa berdasarkan al-Qur'an dan iman, dan mendekatkan diri kepada Allah, ia akan melihat dengan jelas rahasia-rahasia ini. Perbuatan inilah yang akan memberikan pemamahan yang lebih baik bahwa Allah adalah Yang Maha Esa Yang mengendalikan setiap makhluk, hati, dan pikiran, sebagaimana pernyataan Allah dalam sebuah ayat: "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur'an itu benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?" (QS. Fushshilat: 53).

Surat Ash Shaaf : 4 dan 11 Tentang Jihad Islam Dengan Harta Dan Jiwa Sebagai Proses Pemaknaan Ulang Tentang Konstruksi Pemahaman Masyarakat Islam

Penjelasan dan interpretasi awal tentang tafsir surat Ash Shaaf ayat kesatu sampai ketiga, merupakan dasar yang paling fundamental yang sangat menentukan arah dari teori ini. Karena memang setiap gagasan akan melahirkan hal yang penomenal ketika mampu mentransformasikan kedalam tatanan kehidupan yang memiliki peran sangat vital. Peran itulah yang membutuhkan manusia ekstra ketat untuk menjaga sikap dan model interaksi antara habluminallah dan hablum mina naas serta dengan alam semesta. Untuk mencari relasi dan mengkomonikasi dua makna ayat empat dan sebelas dari Ash Shaaf ini merupakan suatu hal yang sangat sulit bagi penulis, oleh karena seperti yang penulis jelaskan sebelumnya, bahwa dari item pertama yang membahas tentang bagaimana seharusnya manusia bersikap, bertindak dan bertauhid kepada Tuhan. Oleh karena dengan sikap da tindakan itulah yang menjadi dasar analisis pada proses pemaknaan jihad dalam persfektif perintah Tuhan. Akan tetapi penulis ingin memulai menjelaskan dan menginterfretasikan maksud dari surat Ash Shaaf ayat kesebelas. Mengapa harus mulai dari ayat kesebelas, oleh karena hal-hal yang harus diingat dalam berjihad adalah bagaimana merekonstruksi kehidupan umat menjadi masyarakat Islam yang damai dan sejahtera. Maka dengan demikian proses iqranisasi dan rekonstruksi pemaknaan jihad dalam masyarakat sangat penting untuk dilakukan, oleh karena banyak sempalan dan pemahaman yang membuat wajah Islam menjadi bengis dan menakutkan bagi manusia yang lainya. Seharusnya dalam jihad harus mengedepankan sebuah azas perdamaian dengan melakukan berbagai hal yang bersifat positif.
Dengan langkah positif itulah, kehidupan manusia dibawah panji keislaman menjadi damai. Bagi penulis memaknai jihad ini sangat berhubungan langsung dengan kata Islam, yang dimana kata Islam menginginkan sebuah kesatuan yang terintegrasi kedalam satu nangan. Namun ssekarang ini banyak memaknai jihad tapi melupakan makna Islamnya, sehingga dimensi keislaman jarang memberi arti dalam kehidupan manusia oleh karena hanya di sebabkan pola pikir yang salah memaknai jihad itu. Dalam Islam, salah satu amal ibadah yang terpenting untuk membersihkan kotoran jiwa sehingga dapat mencapai derajat akan ridha Tuhan adalah membelanjakan harta di jalan Allah. Allah telah berfirman kepada Nabi saw. agar mengambil zakat dari harta benda orang-orang beriman untuk membersihkan dan menyucikan harta tersebut. "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka." (QS. At-Taubah: 103). Meskipun demikian, perbuatan membelanjakan harta yang dapat membersihkan dan menyucikan jiwa manusia adalah jika dilakukan berdasarkan ketentuan yang telah disebutkan dalam al-Qur'an. Manusia berusaha memberikan makna hidup sebagai bentuk jihad mereka, misalnya dengan memberikan sejumlah uang kepada pengemis, pakaian bekas kepada orang miskin, atau memberi makan kepada orang lapar, maka tindakan itulah merupakan suatu hal yang bersifat positif dan tetap akan memperoleh pahala dari Allah jika niatnya untuk mencari ridha Allah. Sebagaimana al Qur’an surat Ash Shaaf menjelaskan bahwa; Apabila kamu beriman kepada Allah dan Rasulnya dan berjihad dijalan Allah dengan harta dan jiwa, itulah yang lebih baik bagi kamu apabila kamu mengetahuinya. (QS. Ash Shaaf : 11).

Manusia hanya memerlukan sedikit saja untuk memenuhi keperluan hidupnya di dunia. Harta benda yang di luar keperluan seseorang adalah harta yang berlebih. Yang terpenting bukan jumlah yang diberikan, tetapi apakah ia memberikannya dengan ikhlas atau tidak. Allah mengetahui segala sesuatu dan Dia telah memberi hati nurani kepada manusia untuk menetapkan hal-hal yang sesungguhnya tidak diperlukan. Menginfakkan harta benda merupakan bentuk ibadah jihad yang mudah bagi orang-orang yang tidak dihinggapi ketamakan terhadap dunia, tetapi merindukan akhirat. Tuhan telah memerintahkan kita untuk menginfakkan sebagian dari harta kita untuk menjauhkan cinta dunia dan memperkuat pemahaman jiwa tentang jihad. Menginfakkan harta benda merupakan sarana untuk membersihkan diri dari sifat tamak. Tidak diragukan lagi bahwa bentuk ibadah jihad ini sangat penting bagi orang-orang yang beriman. Rasulullah saw. juga bersabda bahwa orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah akan dirahmati Allah: "Dua manusia akan dirahmati: Yang pertama adalah orang yang diberi oleh Allah al-Qur'an dan ia hidup berdasarkan al-Qur'an itu. Ia menganggap halal apa saja yang dihalalkan, dan menganggap haram apa saja yang diharamkan. Yang lain adalah orang yang diberi harta oleh Allah, dan harta itu dibelanjakannya kepada sanak keluarga dan dibelanjakan di jalan Allah. (Harus Yahya, edit link, bookmark & kompilasi ke file chm oleh : www.pakdenono.com pakdenono@yahoo.com, Di nduh oleh Penulis pada Tanggal 06 Januari 2010).
Sekarang ini kita melihat penomena yang sangat luar biasa terkadang ada yang keluar dari pemahaman tentang jihad itu sendiri , ada juga yang berhati-hati. Dengan demikian, kita seringkali melihat orang memberikan segala sesuatunya jika tidak merugikan kepentingannya. Kebanyakan sekarang ini juga, dalam proses memberikan harta kepada orang miskin, terkadang yang diberikan itu sesuatu yang tidak lagi disukainya, sudah ketinggalan mode, atau tidak layak pakai. Tampaknya orang merasa berat untuk memberikan harta benda yang dicintainya, padahal sesungguhnya kedermawanan seperti ini sangat penting untuk membersihkan diri dan agar mencintai amal kebajikan. Ini merupakan rahasia penting yang diungkapkan Tuhan kepada umat manusia. Tuhan telah menyatakan bahwa tidak ada cara lain untuk mencapai kebajikan bagi manusia kecuali melalui: "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan sebelum kamu menafkahkan sebagian dari harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya." (QS. Ali Imran: 92). "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (QS. Al-Baqarah: 267). Bagi orang yang beriman, tidak ada sesuatu pun yang lebih dirindukan daripada memperoleh keridhaan Tuhan dan dicintai oleh-Nya. Orang beriman berusaha mencari asbab untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dalam hidupnya. Tentang hal ini, Allah menyatakan: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan." (QS. Al-Ma'idah: 35). Sebagai sebuah berita gembira, Tuhan mengungkapkan bahwa apa yang dibelanjakan akan menjadi kekuatan untuk mencapai kedekatan dengan-Nya. Maka dengan demikian, memberikan apa yang ia cintai dan melebihi keperluannya kepadaorang miskin tidaklah sulit. Kesempatan berharga untuk membuktikan bahwa kita semua adalah orang yang taat dan cinta kepada Tuhan. (Ibid Harun Yahya).

Rahasia lain yang diungkapkan tentang membelanjakan harta seseorang di jalan Tuhan bahwa apa saja yang dinafkahkan itu pasti akan memperoleh balasan. Ini merupakan janji Tuhan. Orang-orang yang menafkahkan harta mereka di jalan Allah tanpa takut akan menjadi miskin, akan memperoleh rahmat yang menakjubkan dalam kehidupan mereka. Apa saja yang dibelanjakan di jalan Allah akan diganjar sepenuhnya. Tuhan pun mengatakan bahwa: "Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allahlah yang memberi petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, maka pahalanya itu untuk dirimu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikit pun tidak akan dianiaya." (QS. Al-Baqarah: 272). "Apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya." (QS. Al-Anfal: 60). "Katakanlah, 'Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya.' Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya, dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya." (QS. Saba: 39). Orang-orang yang beriman hanya mengharapkan keridhaan Allah dan surga ketika mereka memberikan harta mereka; tetapi sebagai rahasia yang diungkapkan oleh Allah, apa saja yang mereka nafkahkan akan dikembalikan lagi kepada mereka. Pengembalian ini merupakan rahmat di dunia, dan di atas segalanya, Allah menyediakan surga bagi orang-orang yang beriman. Dalam pada itu, berkebalikan dengan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, Allah akan mengurangi rezeki orang-orang yang bakhil dalam menafkahkan kekayaan mereka, atau orang yang suka mengumpulkan kekayaan yang lebih banyak dan mengabaikan batasan-batasan Allah. Salah satu ayat yang berkaitan dengan masalah ini menceritakan tentang keadaan orang-orang yang memakan riba: "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa." (QS. Al-Baqarah: 276). Allah memberitahukan tentang keberuntungan yang akan didapatkan oleh orang-orang yang memberikan harta mereka sebagai berikut: "Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir ada seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 261). Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakitinya, seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah ia bersih. Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. "Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat." (QS. Al-Baqarah: 265). Dalam setiap ayat tersebut terdapat rahasia yang diungkapkan Allah kepada orang-orang yang beriman dalam al-Qur'an. Orang-orang yang beriman memberikan harta benda mereka hanya untuk mencari keridhaan dan rahmat Allah dan surga-Nya. Namun, menyadari tentang rahasia-rahasia yang diungkapkan dalam al-Qur'an, mereka juga mengharapkan rahmat dan karunia Allah. Semakin banyak mereka memberikan hartanya di jalan Allah, dan semakin mereka memperhatikan apa yang diharamkan dan yang dihalalkan, Allah akan semakin menambah kekayaan mereka, tugas-tugas mereka dijadikan mudah, dan Allah memberikan kesempatan yang semakin banyak untuk menafkahkan hartanya di jalan Allah. Setiap orang beriman yang bertakwa kepada Allah dan dalam hatinya tidak ada kekhawatiran terhadap masa depan, ia akan memahami rahasia ini dalam kehidupannya. (Ibid Harun Yahya).

Seperti apa yang saya dijelaskan sebelumnya bahwa situasi dan kondisi mapun lingkungan tidak bersifat statis, kehidupan selalu bergerak maju tanpa mengenal tapal batas. Oleh karena manusia dilandasi pada kesadaran untuk mencapai kebahagiaan sebagai tujuan individu maupun kolektif. Maka oleh karena itu, pemaknaan jihad tergantung dari pola bagaimana lingkungan sosial kemanusiaan yang terjadi. Tahapan yang mempengaruhi bentuk jihad adalah kesadaran manusia secara individu dengan kekuatan pola pemikiran dan interaksinya dalam kehidupan itu sendiri yang menghasilakn berbagai dinamika baik secara idiologis maupun sosiologisnya. Dinamika masyarakat (Gerak masyarakat secara terus menerus yang menimbulkan perubahan dalam tata hidup masyarakat yang bersangkutan, Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III (Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 265). adalah suatu proses perubahan dalam tatanan kehidupan yang meliputi perubahan sikap, pola pikir, dan tingkah laku. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupam Masyarakat (Cet. XI; Bandung: Mizan, 1995), h. 245-246. Dengan dinamika tersebut cenderung berakeses pada pergeseran-pergeseran nilai dalam tatanan kehidupan masyarakat, yang berimplikasi pada terciptanya sebuah tatanan baru dalam kehidupan. Dinamika tersebut merupakan konsekuensi yang terjadi dalam suatu kelompok masyarakat bahkan kepada seluruh manusia. Masyarakat Masyarakat adalah sejumlah masnusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama., Ibid., h. 721. Bandingkan masyarakat adalah sejumlah individu yang terjalin karena adanya interaksi dan saling mempengaruhi, Lihat Doyle Paul Johnson, Sociological Theory Classical Founders and Contemporary Perspective, yang dialih bahasakan oleh Robert M.Z. Lawang dengan judul Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (Cet. I; Jakarta: PT. Gramedia, 1986), h. 257-258. memiliki kecenderungan selalu berubah dan berkembang, dan perubahan tersebut akan selalu berlaku pada semua manusia, setiap saat di manapun mereka hidup dan berada. Kadangkala perubahan itu berlangsung secara tiba-tiba dan serentak, misalnya suatu sistem pemerintahan dihancurkan oleh revolusi dan kemudian digantikan oleh pemerintahan yang berbeda dengan tatanan atau orde sebelumnya. Kadangkala secara lambat gradual yang sukar diterima masyarakat, malahan anggota masyarakat tersebut tak sadar atau tak memperhatikan akan berlakunya perubahan yang telah melanda kehidupan mereka. Akan tetapi untuk memberikan dinamika masyarakatyang luas, maka pembangunan kesadaran tentang proses jihad yang dibentuk dari kesadaran tadi menjadi frame harakah yang damai. Paradigma frame harakah yang damai ini harus dilalui dengan pengorbanan yang besar yang termaknai dalam naluri material dan jiwa. Seruan Tuhan tentang proses jihad dengan berbagai harta dan jiwa merupakan bentuk pola yang strategis untuk melakukan pembangnan masyarakat yang lebih baik. Manusia yang hidup bermasyarakat ialah subyek serta obyek perubahan. Proses perubahan mungkin berlangsung dalam berbagai jenis kemajuan, yang lambat-sedang dan cepat, atau secara evolusi dan revolusi. Perubahan dapat menyangkut tentang berbagai hal, perubahan fisikal oleh proses alami dan perubahan kehidupan manusia oleh dinamika kehidupan itu sendiri. Prof. Judistira K. Garna, Ph.D., Teori-teori Perubahan Sosial (Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjajaran Press, 1992), h. 1.

Apabila ditinjau dalam perspektif Islam, Muhammad sebagai pembawa risalah dengan melakukan berbagai perubahan-perubahan dalam masyarakat Jahiliyah, dari masyarakat yang politeis (sebagai penyembah berhala) Lihat Dr Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam (Cet. XII; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), h. 9. ke monoteis (menyembah hanya kepada Allah), dan selanjutnya berlanjut dari masa ke masa hingga sekarang. Perjalanan dari waktu ke waktu tersebut dengan proses terjadainya perubahan adalah merupakan sebuah dinamika. Perjalanan waktu dengan berbagai peristiwa yang terjadi di dalamnya adalah merupakan dinamika yang secara mutlak akan terjadi dan mengisi kehidupan umat manusia itu sendiri. Oleh karena itu, dalam makalah ini, penulis akan mencoba mengkaji suatu pokok masalah yaitu Dinamika Masyarakat Modern dalam Perspektif Islam, dengan sub hahasan; (1) dinamika dalam masyarakat Islam, (2) dinamikan dalam masyarakat modern, dan (3) implikasi kemajuan modern terhadap masyarakat Islam. Berbicara tentang masyarakat, maka tidak lepas pula kita membicarakan tentang kebudayaan, karena hubungan antara kebudayaan dan masyarakat telah menjadi tersimpul, bahwa masyarakat adalah pendukung kebudayaan. Drs. Sidi Gazalba, Masyarakat Islam; Pengantar Sosiologi dan Sosiografi (Cet. II; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989), h. 30. Begitu pula berbicara tentang masyarakat Islam, tidak lepas dengan kebudayaan Islam, karena kebudayaan tidak dibangun atas dinamika masyarakat itu sendiri. Islam dalam arti agama yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw., lahir bersama dengan turunnya al-Qur'an lima belas abad yang silam. Masyarakat Arab Jahiliyah adalah masyarakat pertama yang bersentuhan dengannya, serta masyarakat pertama pula yang berubah pola pikir, sikap, dan tingkah lakunya sebagaimana dikehendaki oleh Islam. Dinamika dan perubahan masyarakat adalah sebuah konsekuensi kehidupan, di mana manusia akan mengalaminya. Dinamika tersebut merupakan hukum-hukum sejarah, M. Quraish Shihab, loc. Cit. yang pasti akan terjadi selama manusia itu berinteraksi antara satu dengan lainnya.

Perubahan terhadap apa yang disebut masyarakat Islam, Masyarakat Islam ialah kelompok manusia di mana hidup terjaring kebudayaan Islam yang diamalkan oleh kelompok tersebut sebagai kebudayaan. Lihat Zidi Gazalba op. cit h. 102. dapat dilihat dalam perspektif kewaktuan, yakni dahulu, kini dan masa akan datang. Pada masa-masa awal perkembangan Islam, masyarakat Islam menampilkan diri sebagai masyarakat alternatif yang memberi warna tertentu pada kehidupan kemanusiaan. Karakter paling penting yang ditampilkan oleh masyarakat ketika itu adalah kedamaian dan kasih sayang. Masyarakat model ini tampil di tengah kehadiran Rasulullah, baik di Mekah maupun di Madinah, yang banyak disebut sejarawan sebagai model masyarakat ideal, Nanih Machendrawaty, M.Ag., Agus Ahmad Safei, M.Ag., Pengembangan Masyarakat Islam; Dari Ideologi Strategi Sampai Tradisi (Cet. I; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h. 21., lihat Kaelany HD, M.A., Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan Edisi II, (Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 165. dengan sejumlah karakteristik yang diperlihatkan, di antaranya masyarakat memiliki akidah kuat, konsistensi dalam beramal, yang semua itu dipandu oleh kepamimpinan yang penuh wibawa. Nanih Machendrawaty, M.Ag., Agus Ahmad Safei, M.Ag., loc. cit. Keteladanan Nabi dalam membangun komunitas muslim terlihat jelas terutama saat periode Madinah. Sejumlah langkah yang ditempuh Nabi dalam membangun sebuah komunitas yang beradab, di antaranya sebagai berikut:
1. Pebangunan masjid Quba sebagai langkah awal simbolis bahwa pengembangan masyarakat Islam harus dimulai dari masjid. Karena masjid bukan semata sebagai tempat sholat, melainkan juga sebagai pusat peradaban manusia.
2. Pembentukan lembaga ukhuwah antara kalangan, karena betapa masyarakat Islam membutuhkan basis organisasi yang kukuh dan tangguh demi integritas umat. Ini yang kemudian diambil oleh dunia menejemen modern yang meniscayakan adanya teamwork untuk meraih sesuatu yang jauh lebih besar.
3. Piagam Madinah mengajarkan bahwa pembinaan masyarakat Islam memerlukan semacam memorandum of agreement sebagai landasan politis yang menjamin integritas sosial.

Perjalanan waktu kemudian membawa masyarakat Islam untuk berinteraksi dan berdaptasi dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Pertemuan budaya dengan masyarakat lain melahirkan tarik-menarik asimilasi kebudayaan antara masyarakat Islam dan masyarakat lainnya. Hal ini terjadi pada periode Khulafaurrasyidin. Sejarah mencatat, bahwa pada masa ini khususnya pada masa khalifah Usman dan Ali, umat Islam mulai mengalami disintegrasi persatuan dan persaudaraan, nilai-nilai persaudaraan, saling menghormati antar sesama seperti yang diajarkan oleh Nabi mulai dilupakan. Hal tersebut dapat dilihat saat terjadinya perseteruan antara Usman dan kelompok-kelompok yang menentangnya akibat kebijakan-kebijakan yang sektarian memprioritaskan keluarganya menduduki jabatan di pemerintahan sehingga mengakibatkan kematiannya pada tahun 656 oleh gerombolan sekitar 500 orang Arab dari Fustat. Lihat Ira M, Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Ed. I (Cet. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), h. 82-86. Kemudian Ali bin Abi Thalib menggantikan Usman, pada masa pemerintahan Ali inilah merupakan awal terjadinya perpecahan dan sejarah suram dalam umat Islam. Perang Jamal adalah perang saudara pertama yang terjadi di kalangan umat Islam yaitu antara Ali dan kelompok yang dipimpin oleh Aisyah istri Nabi, Thalhah dan Zubair. Selain itu, kelompok Muawiyah menuntut kepada Ali atas kematian Usman, agar menghukumnya. Karena merasa tidak mendapat respon dari Ali, maka mereka memberontak yang dipimpin langsung oleh Muawiyah sendiri yang dikenal dengan perang Siffin. Lihat Ibid. Selanjutnya Islam dari masa ke masa berkembang hingga ke puncak kejayaannya khususnya pada masa Bani Abbasiyah yang berpusat di Bagdad sebagai sentral peradaban dunia, Lihat Ibid, h. 103-122. kemudian berubah dan menjadi mundur dengan hancurnya Bagdad, sampai sekarang Islam menjadi komunitas yang terkebelakang bila dibandigkan dengan dunia Barat dengan berbagai kemajuan yang dicapai dan sebagai dominasi peradaban dunia khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dialektika Masyarakat Modern

Masyarakat modern ialah struktur kehidupan masyarakat yang dinamis, kreatif untuk melahirkan gagasan-gagasan demi kepentingan manusia dalam berbagai sektor kehidupan di mana daya berpikir dan daya cipta semakin berkembang untuk memformulasikan makna kehidupan dalam konteks yang nyata, yang mengakibatkan pergeseran nilai-nilai budaya yang setiap saat berlangsung walaupun secara lamban, maupun pasti A.M. Saefuddin., et al., Deserkularisasi Pemikiran; Landasan Islamisasi (Cet. III; Bandung: Mizan, 1993), h. 157. Menurut Emile Dukheim bahwa masyarakat modern merupakan satu kesatuan organis yaitu adanya perbedaan individu (pluralisme) membuat mereka bermasyarakat, saling membantu dan saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Menurutnya, dalam masyarakat modern, kebebasan individu dan toleransi terhadap keyakinan individu dan caranya mengatur hidupnya semakin menonjol. Saat yang sama, bidang-bidang kehidupan yang dikuasai oleh kesadaran kolektif semakin tersingkir dan menyempit. Masyarakat diandaikan tidak berhak mencampuri urusan-urusan pribadi yang makin meluas. Lihat Ridwan al-Makassary, Kematian Manusia Modern; Nalar dan Kebebasan menurut C. Wright Mills (Cet. I; Yogyakarta: 2000), h. 40-43.
Dalam kehidupan yang semakin lama semakin mengglobal, perubahan itu akan dianggap sebagai suatu kebiasaan karena perkembangan teknologi, transportasi dan komunikasi yang cepat. Menurut Willbert E. Moore, bahwa sifat perubahan sosial merupakan suatu the normality change, walaupun kekacauan kontemporer adalah ciri yang paling menonjol di permukaan abad ini dan menyebabkan perubahan yang cepat dibanding awal abad ke-20. Terjadinya perubahan sosial dalam dunia modern ini memang tidak dapat di sangkal lagi dan seringkali tidak dapat ditolak, bagi masyarakat atau kebudayaan mana pun. Perubahan terus berlangsung secara cepat Judistira K. Garna, Ph.D. op.cit. hal. 2 baik secara evolusi maupun revolusi. Ibid., h. 1. Pada awal ke-21 sekarang ini, dunia masih terus mengalamai perubahan-perubahan cepat dan mendasar di berbagai bidang yang pada gilirannya mengakibatkan berlanjutnya proses transformasi global. Dalam tranformasi global ini, diharapkan akan melahirkan sebuah tatanan baru dalam kehidupan masyarakat dunia yang lebih damai, adil dan sejahtera. Akan tetapi kenyataan menunjukkan lain bahwa masyarakat dunia akan diperhadapkan kepada keadaan dunia yang di samping mencatat kemajuan-kemajuan nyata juga masih sarat dengan konflik dan kemelut, ketidakpastian dan ketidakadilan. Ali Alatas “Tatanan Politik Dunia Abad 21” dalam Indonesia Abad 21; di Tengah Kepungan Perubahan Global (Cet. I; Jakarta: Kompas, 2000), h. 3. Fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat modern dewasa ini dengan sebuah fenomena baru yang mewarnai kehidupan mereka disebut era global, di mana akan diwarnai dengan gaya kehidupan masnusia yang serba modern, baik cara berpakaian, cara makan, cara berbicara, kebebasan belanja, pilihan restoran, pilihan hiburan, tata rambut, tata busana dan sebagainya. Gaya hidup seperti ini merupakan kombinasi dan totalitas dari cara, tata, kebiasaan pilihan serta obyek-obyek yang mendunkungnya. Yasraf Amir Pialiang, Sebuah Dunia yang Dilipat; Realitas Kebudayaan Menjelang Millenium ketiga dan Matinya Posmodernisme (Cet. II; Bandung: Mizan, 1998), h. 209

Salah satu bentuk dominasi dunia modern saat ini adalah dengan kemajuan IPTEK yanag akan membawa perubahan pada sendi-sendi kehidupan, etika dan moralitas masyarakat dunia, M. Amien Rais, Tauhid Sosial; Formula Menggempur Kesenjangan (Cet. III; Bandung: Mizan, 1998), h. 145. bahkan akan membawa fenomena transformasi sosio-kulutral di semua negara, bangsa, semua orang menjadi kosmopolit, dan hampir tidak adal lagi kejadian sekecil apapun di sebuah negara kecuali segera menyebar di pelosok dunia, batas-batas sistem nasional di semua negara hampir hilang, dan orang di seluruh dunia saling mempengaruhi meskipun tidak bertemu muka. Abd. Rahim Arsyad, “Problem Dakwah dalam Menghadapi Era Globalisasi” Jurnal Dakwah, Edisi 02/Mei/2000 (Fakultas Dakwah IAIN Alauddin Makassar, 2000), h. 1.Akibat dari hilangnya batas-batas sistem territorial tersebut mengakibatkan terjadinya interaksi yang serba melintasi antar wilayah dan sektor kehidupan secara menyeluruh atau mendunia. Dari perkembangan yang semakin mendunia tersebut akan tampak dalam pola-pola hubungan antar bangsa dan negara yang cenderung menjadi makin bebas, kompetitif dan transparan, bahkan dalam pola-pola kehidupan antara manusia. Abd. Rahim Arsyad, “Problem Dakwah dalam Menghadapi Era Globalisasi” Jurnal Dakwah, Edisi 02/Mei/2000 (Fakultas Dakwah IAIN Alauddin Makassar, 2000), h. 1. Oleh karena itu, salah satu bentuk dan dinamikan kehidupan masyarakat modern, adalah mereka mampu menciptakan kemajuan dengan berbagai metode yang mereka lakukan sehingga mampu merobah pola, tatanan, dan gaya hidup manusia itu sendiri, dengan berbagai kemudahan-kemudahan yang ditawarkan dan mereka ciptakan. Akan tetapi di sisi lain sekaligus juga ancaman bagi kehidupan mereka sendiri.

Jihad Masyarakat Islam Dan Kemajuan Modern

Istilah globalisasi adalah sebuah fenomena baru yang terjadi di abad ke-21 saat ini, yaitu ditandai dengan kemajuan IPTEK dan transparansi dalam kehidupan. Proses globalisasi terus mengalir deras dalam kehidupan dunia dengan membawa berbagai implikasi dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat dunia yang bersifat mulit-dimensi, Ibid. dengan sejumlah perwujudan yang telah membawa kepada berbagai perubahan pada kebudayaan manusia. Abd. Rahim Arsyad., Ibid. Bahkan dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang teradopsi dari kemajuan IPTEK, sejumlah gagasan dari berbagai sudut dunia terutama gagasan berasal dari masyarakat negara-negara maju, bagaikan gelombang besar datang menyerbu kehidupan masyarakat dunia, khususnya masyarakat Islam yang berimplikasi pada terjadinya pergeseran nilai baik itu positif maupun negatif. Salah satu nilai-nalai positif yang bisa dilihat yaitu dengan perpaduan kebudayaan antara kebudayaan Islam dan kebudayaan Barat yang menjadikan Islam semakin kaya akan nilai-nilai kebudayaan, meskipun di lain pihak tidak dapat disangkal yang juga membawa dampak pada merosotnya nilai-nilai moralitas sebagian umat akibat mereka tidak mampu mengimbangi laju perkembangan dan kemajuan tersebut, sehingga mereka cenderung hanya menerima dan mengadopsi nilai-nilai budaya Barat tanpa filtrasi yang baik yang justru sangat bertolak belakang dengan Islam. Salah satu dampak yang kita rasakan sekarang ini adalah seperti yang digambarkan oleh John Naisbit dalam Mega Trend 2000 menyebutkan kecenderungan masyarakat dalam 3F : fun (hiburan), food (makanan), fashion (pakaian). Lain halnya dengan Jalaluddin Rahmat yang meramalkan dalam 5F : faith, fear, acts, fiction dan formulatilation. Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual (Cet. IX; Bandung: Mizan, 1996), h. 71. Baik yang digambarkan oleh John Naisbit maupun Jalaluddin Rahmat tersebut adalah sebuah konsekuensi logis yang akan menjadi warna kehidupan manusia, khususnya kepada masyarakat Islam. Adalah sebuah realitas yang terjadi saat ini, bahwa apa yang menjadi prediksi John Naisbit, kini telah terjadi. Sejumlah negara-negara maju kini tidak lagi malu-malu mempertontonkan dirinya dengan pakaian ‘seadanya’ bahkan tanpa busana dia tampil di depan orang-orang dengan gaya dan tari yang erotik, (segi fashio), belum segi-segi yang lain yang cukup kontratradiktif dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh Islam. Hal inilah yang perlu diantisipasi bagi generasi muda Islam, agar jangan terjebak dengan kesenangan yang sifatnya sesaat tersebut, tapi bukan berarti, karena sejumlah implikasi negatif tersebut lalu hanya pasif, berpangku tangan dan tidak mau berperan aktif di dalamnya, di samping sebagai subyek harus ada filtrasi yang akan mengakomodir nilai budaya-budaya yang dianggap relevan dengan Islam dan yang kontradiktif dibuang jauh-jauh. Meskipun dari sejumlah implikasi negatif yang bisa muncul dari kemajuan ilmu pengetahuan modern, akan tetapi juga terdapat sejumlah nilai-nilai positif yang akan memberikan khasanah baru dalam kemajuan dan perkembangan Islam ke depan, dengan sebuah tatanan masyarakat yang berperadaban yang tinngi.
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang mengedepankan nilai-nilai moralitas, yang menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan, kebersamaan, dan ketaatan. Masyarakat dalam pandangan Islam merupakan alat atau sarana untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang menyangkut kehidupan bersama. Karena itulah masyarakat harus menjadi dasar kerangka kehidupan duniawi bagi kesatuan dan kerja sama umat menuju adanya suatu pertumbuhan manusia yang mewujudkan persamaan dan keadilan. Dengan kemajuan IPTEK yang telah menjadi nafas kehidupan manusia, diterima atau tidak, ia harus ikut ambil bagian di dalamnya, termasuk Islam, meskipun dengan sejumlah dampak yang akan ditimbulkan kemajuan tersebut, namun tidak ada pilihan lain kecuali harus ikut mengarungi samudera globalisasi dan berkompetisi di dalamnya untuk mengambil nilai-nilai yang dibawa globalisasi tersebut, tentunya nilai-nilai yang relevan dengan kehidupan masyarakat Islam, dengan melakukan filter terhadap nilai-nilai tersebut. Maka dengan demikian, jihad yang harus di kedepankan bagi masyarakat Islam adalah penyatuan bersama yang terintegrasi dalam kesadaran Iqra, majelis dan harakah fil Islam sebagai basis penciptaan masyarakat yang lebih utama.

Surat Ash Shaaf : 5-10 Tentang Harakah Profetik (Kenabian) : Memprolamirkan Ad Dinul Islam Dan Ajaran Moral Al Qur’an Keseluruh Dunia

Kita melihat bukti untuk direnungkan dengan memahami kekuasaan dan kebesaran Tuhan. Mengapa Tuhan memberikan kemampuan dan menyuruh kita berpikir untuk mencari asbabun nuzulnya segala sesuatu ?. Tuhan menurunkan memperkenalkan diri-Nya melalui kitab suci dan Tuhan memperjelas yang dikehendaki-Nya dalam kitab suci tersebut. Tuhan melantik dan mengirim orang yang akan memimpin dan mengajarkan manusia dengan amal perbuatan yang terpuji. Melalui manusia yang diutus oleh Tuhan itulah, pesan sesungguhnya dan wahyu dari Tuhan menjadi regulasi, juklak, juknis serta petunjuk yang bersifat umum untuk manusia. Manusia yang diutus oleh Tuhan itu sangat sulit bagi kita untuk mengindentifikasikan jumlahnya berapa, meskipun ada hadits yang menyebutkan bahwa ada 313 rasul, sedangkan nabi jumlahnya lebih besar sepanjang sejarah. Kita hanya tahu nama-nama nabi yang disebutkan di dalam Al Qur’an. Tuhan memberikan pengetahuan untuk kita tentang kehidupan para nabi agar kita bisa memahami amal perbuatan mereka yang benar dan bersikap baik di dunia ini sebagai cerminan layaknya utusan Tuhan. Dengan demikian, kita manusia biasa tentu ada persamaan dan perbedaan antara manusia biasa dengan utusan Tuhan, persamaannya mungkin sama-sama ciptaan Tuhan yang di bekali sikap mulia dan akal, sedangkan perbedaanya utusan Tusan lebih istimewa karena secara langsung mendapat dan penerima wahyu. Bagaimana manusia seharunsya bersikap, tentu dari utusan Tuhan dan bersama wahyunya, kita bisa mengetahui bagaimana kita bersikap yang lebih baik dan sesuai dengan nilai-nilai Al Qur'an. Oleh karena melalui nilai al Qur’an itulah kita bisa mengetahui mana yang salah dan benar. Di dalam Al Qur'an, Tuhan memberi tahu kita bahwa sepanjang sejarah, Dia mengutus rasul-rasulnya kepada seluruh umat untuk menyampaikan dan memberi mereka peringatan. Para rasul ini mengajak manusia untuk bertuhan satu dan melebur dalam barisan Islam satu, demi melaksanakan perintah-Nya. Singkatnya, para nabi dan rasul memperingatkan orang-orang tak beriman bahwa akan diberi balasan dengan syarat memilih balasan itu yakni surga dan neraka.

Wahyu-wahyu Tuhan sebelum Al Qur'an sudah tidak asli lagi, karena orang-orang bodoh dan berperilaku tercela mengubahnya dengan kata-kata mereka sendiri serta menambah bagian-bagian kitab tersebut berdasarkan kemauan mereka. Oleh sebab itu, kitab asli sebenarnya, mula-mula disampaikan kepada para rasul, sudah tidak ada lagi saat ini. Akan tetapi, Tuhan telah menurunkan kepada kita Al Qur'an, kitab yang mustahil bisa diubah-ubah. Nabi Muhammad saw, dan orang Islam yang hidup setelahnya menjaga Al Qur'an dengan sangat baik. Al Qur'an begitu jelas sehingga semua orang bisa memahaminya. Ketika kita membaca Al Qur'an, kita bisa segera memahami bahwa ini adalah perkataan Tuhan. Al Qur'an, yang sepenuhnya tetap terjaga keasliannya, berada dalam perlindungan Tuhan dan merupakan satu-satunya kitab wahyu yang akan dipertanggungjawabkan oleh manusia pada hari keadilan. Saat ini, umat Islam di mana pun berada, membaca Al Qur'an yang sama dan tidak ada satu perbedaan yang ditemui dalam satu kata atau hurufnya sekalipun. Al Qur'an yang diwahyukan pada Rasulullah saw dan dibukukan oleh Kalifah Abu Bakar ra dan dituliskan oleh Kalifah Usman ra yang hidup 1.400 tahun yang lalu, dan Al Qur'an yang kita baca sekarang adalah sama. Semenjak Al Qur'an diwahyukan tetap terjaga seluruhnya, karena Tuhan melindungi Al Qur'an dariorang jahat yang berniat mengubahnya atau menambahkan bagian tertentu. Tuhan memberi tahu kita bahwa Tuhan secara langsung menjaga Al Qur'an; “Sesungguhnya kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al-Hijr: 9). Kata ”Kami” dalam ayat ini berarti Allah sendiri. Tidak ada Tuhan selain Allah, dan Allah tidak punya sekutu. Dialah Allah Yang Maha Perkasa, Pencipta segalanya dan Zat Yang meliputi segala sesuatu dalam pengetahuan-Nya. Dalam beberapa bagian Al Qur'an, Allah menyebut diri-Nya dengan kata ”Aku”, dan dalam beberapa bagian lain dengan kata ”Kami”. Dalam bahasa Arab, yaitu bahasa Al Qur'an, kata ”Kami” juga digunakan untuk menyebutkan satu orang dengan tujuan menambahkan kesan berkuasa dan rasa hormat pendengarnya. Dalam Bahasa Indonesia, kita pun kadang-kadang menyebutkan ”kami” meskipun yang kita maksud adalah ”saya” untuk lebih terkesan sopan. Semuanya adalah kata-kata yang paling benar karena merupakan kata-kata Tuhan, Yang mengetahui diri kita lebih baik, bahkan dibandingkan diri kita sendiri.

Dalam Al Qur'an, Allah menginginkan agar kita belajar dari kehidupan para nabi. Salah satu ayat itu berbunyi: Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal” (QS. Yusuf : 111). Orang yang dimaksud Tuhan dalam ayat ini adalah orang yang mengetahui bahwa Al Qur'an adalah perkataan Tuhan, sehingga mereka berpikir, menggunakan akalnya, dan berusaha keras untuk mempelajari Al Qur'an dan hidup menurut petunjuknya. Jika Tuhan mengutus rasul kepada suatu umat, maka umat itu bertanggungjawab untuk melaksanakan perintah-Nya. Setelah menerima wahyu Tuhan, umat tersebut tidak bisa lagi memberi alasan pada Hari Keadilan. Ini karena para rasul Tuhan telah menyampaikan kepada umat mereka pengetahuan tentang adanya Tuhan satu dan apa yang dikehendaki oleh Tuhan dari mereka. Jika seseorang telah mendengarkan petunjuk ini, dia pun bertanggungjawab untuk melaksanakannya. Hal ini disebutkan di dalam Al Qur'an sebagai berikut: (Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan supaya tidak ada lagi alasan bagi manusia sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan Allah adalah Maha perkasa lagi Maha bijaksana. (QS An-Nisaa : 165). Allah telah menciptakan banyak bangsa di dunia ini. Beberapa di antara bangsa-bangsa ini, menolak apa yang disampaikan oleh para rasul kepada mereka dan bahkan mengingkari bahwa mereka itu adalah para rasul. Karena umatnya tidak mendengarkan perkataan para rasul itu, dan tidak menjalankan perintah Allah, mereka pun dihukum. Melalui rasul-Nya, Allah juga memperingatkan orang-orang yang membangkang dengan kehidupan yang sulit di dunia. Meskipun demikian, mereka terus saja menentang para rasul dan memfitnah para rasul. Bahkan, mereka begitu kejam, dan pernah pula membunuh para rasul itu. Oleh sebab ini, Allah memberi mereka hukuman yang layak mereka terima, dan di waktu berikutnya, umat yang baru menggantikan mereka. Dalam Al Qur'an, keadaan umat seperti ini diceritakan sebagai berikut: Apakah mereka tidak memperhatikan betapa banyaknya generasi-generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu) telah kami kuatkan kedudukan mereka di muka bumi? Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan kami jadikan sungai-sungai mengalir dibawah mereka. Kemudian kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri dan kami ciptakan setelah mereka generasi yang lain. (QS. Al-An’am : 6). Dalam bab-bab berikutnya, kita akan membahas contoh-contoh teladan dari para rasul yang berjuang melawan umat yang membangkang. (Harun Yahya; www.pakdenono.com; di unduh oleh penulis pada 21 januari 2010).

Di dalam al-Qur’an, kita berkali-kali menemukan frasa “sunnatullah.” Ini adalah sebuah ungkapan yang berarti cara Allah. Menurut al-Qur’an, hukum-hukum ini selamanya valid. Sebuah ayat menyatakan: Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah. (QS. al-Ahzab : 62). Salah satu hukum Allah yang tidak berubah adalah, sebelum dimusnahkan, umat-umat diberi peringatan dulu oleh seorang pemberi peringatan. Fakta ini diwahyukan dalam firman-firman ini: Dan Kami tidak membinasakan sesuatu negeri pun, melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberi peringatan. (QS. asy-Syu‘ara : 208). Di sepanjang sejarah, Allah telah mengutus seorang pemberi peringatan kepada tiap-tiap umat yang telah berbuat kerusakan, menyeru mereka agar mengikuti jalan yang benar. Akan tetapi, orang-orang yang tetap berkeras dalam kezaliman mereka dimusnahkan setelah tiba saat yang ditentukan bagi mereka, dan menjadi contoh bagi generasi-generasi setelahnya. Bila kita pikirkan dengan mendalam hukum Allah ini, sejumlah misteri yang penting pun terkuak bagi kita. Hari Kiamat adalah bencana terakhir yang menimpa dunia ini. Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan untuk memberi nasihat kepada umat manusia, yang petunjuknya tetap bertahan hingga akhir dunia. Dalam salah satu ayatnya, dikatakan, “al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala umat.” (QS. al-An’am: 90). Orang-orang yang punya pikiran bahwa al-Qur’an hanya berbicara untuk suatu masa atau tempat tertentu sungguh-sungguh telah keliru, karena al-Qur’an adalah sebuah seruan umum kepada seluruh “alam”. Semenjak zaman Nabi saw., kebenaran al-Qur’an telah disampaikan ke seluruh penjuru dunia. Karena perkembangan-perkembangan teknologi yang tiada taranya pada zaman kita sekarang, perintah-perintah al-Qur’an dapat diproklamirkan kepada seluruh umat manusia. Pada hari ini, sains, pendidikan, komunikasi, dan transportasi sudah hampir mencapai titik puncak perkembangannya. Berkat adanya komputer dan teknologi Internet khususnya, orang-orang yang berada di tempat-tempat yang jauh di dunia ini dengan cepat dapat berbagi informasi dan membangun komunikasi. Revolusi dalam sains dan teknologi telah menyatukan seluruh bangsa di dunia ini; ungkapan-ungkapan seperti “globalisasi” dan “kewarganegaraan dunia” telah masuk ke dalam perbendaharaan kosa kata kita. Singkatnya, semua penghalang yang merintangi persatuan manusia di seluruh penjuru dunia kini sedang dihapuskan dengan cepat. Dengan menilik dari berbagai fakta ini, dengan mudah dapat dikatakan bahwa pada “zaman informasi” kita ini, Allah telah memberikan segala macam perkembangan teknologi sebagai alat untuk kemaslahatan kita. Adalah tanggung jawab kaum muslimin guna menggunakan dengan sebaik-baiknya peluang-peluang yang telah ditawarkan oleh Allah ini, dan untuk mengajak manusia dari berbagai kalangan agar menerima ajaran moral al-Qur’an. (Ibid Harun Yahya).

Kami telah menyebutkan hukum-hukum yang tidak berubah yang telah ditetapkan oleh Allah semenjak diciptakannya dunia ini. Salah satu hukum ilahiah tersebut adalah bahwa Allah tidak akan menghukum suatu kaum yang belum didatangkan seorang utusan-Nya kepada mereka. Janji ini diungkapkan dalam ayat-ayat berikut ini: Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum, Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman. (QS. Al-Qashash: 59). Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. Al-Isra : 15). Dan Kami tidak membinasakan sesuatu negeri pun, melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberi peringatan untuk menjadi peringatan. Dan Kami se-kali-kali tidak berlaku zalim. (QS. Asy-Syu‘ara : 208-209). Ayat-ayat ini memperlihatkan bahwa Allah mengirimkan para rasul ke kota-kota besar untuk memberi peringatan kepada manusia. Para rasul ini menyampaikan perintah-perintah Allah, namun golongan orang-orang kafir dari kaum-kaum di setiap zaman ini telah mengolok-olok mereka, menuduh mereka berdusta, penipu atau gila, dan melemparkan berbagai fitnah terhadap mereka. Allah menghancurkan kaum-kaum yang terus-menerus hidup dalam kezaliman dan kefasikan melalui beberapa bencana besar, pada saat mereka hampirhampir tidak menyangkanya. Kehancuran yang dialami oleh kaum Nuh, Luth, ‘Ad, Tsamud, dan lain-lain yang tersebut di dalam al-Qur’an adalah contoh-contoh dari bentuk pemusnahan ini. Di dalam al-Qur’an, Allah mewahyukan mengapa Dia telah mengutus para nabi: guna menyampaikan kabar gembira kepada umat-umat, untuk memberikan kesempatan yang penting bagi umat mereka agar meninggalkan kepercayaankepercayaan palsu mereka, dan menjalani hidup mereka sesuai dengan agama Allah dan akhlak yang mulia, dan untuk memberi peringatan kepada manusia sehingga mereka tidak akan memiliki dalih pada Hari Kiamat nanti karena tidak mengindahkan peringatan-peringatan yang disampaikan kepada mereka. Dalam sebuah ayat, tujuan-tujuan ini dinyatakan sebagai: (Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. (QS. An-Nisa : 165). Sebagaimana dikatakan di dalam ayat 40 Surat al-Azhab, Nabi Muhammad saw. adalah nabi terakhir. Muhammad saw. adalah “Rasul Allah dan penutup nabi-nabi” (QS. Al-Azhab: 40). Dengan kata lain, melalui perantaraan Nabi Muhammad saw., rangkaian wahyu Allah kepada umat manusia telah lengkap. Walaupun demikian, tanggungjawab untuk menyampaikan dan mengingatkan manusia akan al-Qur’an yang disampaikan oleh Nabi saw. berada di pundak setiap orang Islam hingga akhir dunia.

Salah satu fakta penting sehubungan dengan eksodus bani Israil dari Mesir, sebagaimana diceritakan di dalam Al Quran, bahwa mereka mengingkari agama yang diturunkan Allah kepada mereka walaupun Ia telah menyelamatkan mereka dari kekejaman Fir'aun melalui Musa. Bani Israil tidak mampu memahami ajaran tauhid yang disampaikan Musa kepada mereka, dan terus cenderung kepada penyembahan berhala. Al Quran menggambarkan kecenderungan yang aneh ini pada ayat berikut: “Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai pada suatu kaum yang tetap meyembah berhala mereka, Bani Israil berkata: "Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)". Musa menjawab: " Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)". Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Al A'raaf, 7: 138-139) Walau telah diperingatkan oleh Musa, bani Israil tetap dalam penentangan mereka, dan ketika Musa meninggalkan mereka, mendaki Gunung Sinai seorang diri, penentangan itu tampak sepenuhnya. Dengan memanfaatkan ketiadaan Musa, tampillah seorang bernama Samiri. Dia meniup-niup kecenderungan bani Israil terhadap keberhalaan, dan membujuk mereka untuk membuat patung seekor anak sapi dan menyembahnya. “Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. Berkata Musa: "Hai kaumku, bukankah Tuhanmu telah menjanjikan kepadamu suatu janji yang baik? Maka apakah terasa lama masa yang berlalu itu bagimu atau kamu menghendaki agar kemurkaan dari Tuhanmu menimpamu, lalu kamu melanggar perjanjianmu dengan aku?". Mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak melanggar perjanjianmu dengan kemauan kami sendiri, tetapi kami disuruh membawa beban-beban dari perhiasan kaum itu, maka kami telah melemparkannya, dan demikian pula Samiri melemparkannya", kemudian Samiri mengeluarkan untuk mereka (dari lobang itu) anak lembu yang bertubuh dan bersuara, maka mereka berkata: "Inilah Tuhanmu dan Tuhan Musa, tetapi Musa telah lupa." (QS. Thahaa, 20: 86-88) Mengapa ada kecenderungan yang gigih di kalangan bani Israil untuk membangun berhala dan menyembahnya? Dari mana kecenderungan ini bersumber? Sudah tentu, suatu masyarakat yang sebelumnya tidak pernah menyembah berhala tidak akan secara tiba-tiba berkelakuan bodoh seperti membangun patung dan menyembahnya. Hanya mereka yang memiliki kecenderungan alami terhadap berhala yang akan memercayai omong kosong semacam itu. Namun, bani Israil dahulunya adalah kaum yang mengimani satu Tuhan semenjak masa leluhur mereka Ibrahim. Nama "bani Israil" atau "Anak-Anak Israil" pertama kali diberikan kepada putra-putra Ya'kub, cucu Ibrahim, dan setelahnya semua bangsa Yahudi merupakan keturunannya. Bani Israil telah menjaga iman tauhid yang mereka warisi dari leluhur mereka Ibrahim, Ishak, dan Ya'kub, 'alaihim salam. Bersama Yusuf as., mereka pergi ke Mesir dan memelihara monoteisme mereka dalam jangka waktu yang panjang, walaupun faktanya mereka hidup di tengah keberhalaan Mesir. Jelaslah dari kisah yang disebutkan di dalam Al Quran bahwa ketika Musa datang kepada mereka, bani Israil adalah kaum yang mengimani satu Tuhan. (Harun Yahya; www.pakdenono.com; di unduh oleh penulis pada 21 januari 2010).

Satu-satunya penjelasan untuk ini adalah bahwa bani Israil, betapapun banyaknya mereka menganut kepercayaan Monoteistik, terpengaruh oleh kaum pagan yang hidup bersama mereka, dan mulai meniru mereka, menggantikan agama yang dipilihkan bagi mereka oleh Allah dengan penyembahan berhala dari negeri-negeri asing. Ketika kita mengkaji masalah ini di bawah keterangan catatan sejarah, kita amati bahwa sekte pagan yang memengaruhi bani Israil adalah yang terdapat di Mesir Kuno. Sebuah bukti penting yang mendukung kesimpulan ini adalah bahwa anak sapi emas yang disembah bani Israil saat Musa berada di Gunung Sinai, sebenarnya adalah tiruan dari berhala Mesir, Hathor dan Aphis. Dalam bukunya, Too Long in the Sun, penulis Kristen Richard Rives menulis: Hathor dan Aphis, dewa-dewa sapi betina dan jantan bangsa Mesir, merupakan perlambang dari penyembahan matahari. Penyembahan mereka hanyalah satu tahapan di dalam sejarah pemujaan matahari oleh bangsa Mesir. Anak sapi emas di Gunung Sinai adalah bukti yang lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa pesta yang dilakukan berhubungan dengan penyembahan matahari. Pengaruh agama pagan bangsa Mesir terhadap bani Israil terjadi dalam banyak tahapan yang berbeda. Begitu mereka bertemu dengan kaum pagan, kecenderungan ke arah kepercayaan bidah ini muncul dan, sebagaimana disebutkan dalam ayat, mereka berkata, “Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka memunyai beberapa tuhan (berhala).” (QS. Al A'raaf, 7: 138) Apa yang mereka ucapkan kepada Nabi mereka, "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang." (QS. Al Baqarah, 2: 55) menunjukkan bahwa mereka memiliki kecenderungan untuk menyembah benda nyata yang dapat mereka lihat, sebagaimana yang terdapat pada agama pagan bangsa Mesir. Kecenderungan bani Israil terhadap paganisme Mesir Kuno, yang telah kita gambarkan di sini, penting untuk dipahami dan memberi kita wawasan tentang perubahan dari teks Taurat dan asal usul dari Kabbalah. Jika kita pikirkan kedua topik ini dengan hati-hati, kita akan mencermati bahwa, pada sumbernya, ditemukan paganisme Mesir Kuno dan filsafat materialis.

Semasa Musa masih hidup, bani Israil telah mulai membuat tiruan dari berhala-berhala yang mereka lihat di Mesir dan menyembahnya. Setelah Musa wafat, makin sedikit yang menghalangi mereka dari penyelewengan lebih jauh ke kedurhakaan. Tentu saja, hal ini tidak terjadi pada semua orang Yahudi, tetapi sebagian mereka memang mengadopsi paganisme bangsa Mesir. Tentu saja, mereka meneruskan doktrin-doktrin kependetaan Mesir (para ahli sihir Fir'aun), yang menjadi pondasi bagi kepercayaan kaum itu, dan merusak keimanan mereka sendiri dengan memasukkan doktrin-doktrin ini ke dalamnya. Doktrin yang dimasukkan ke dalam agama Yahudi dari Mesir Kuno adalah Kabbalah. Seperti sistem dari para pendeta Mesir, Kabbalah merupakan sistem esoterik, dan berlandaskan pada praktik sihir. Yang menarik, Kabbalah memberikan penuturan yang sangat berbeda tentang penciptaan daripada yang ditemukan di dalam Taurat, yakni penceritaan materialis, yang berdasarkan kepada gagasan Mesir Kuno tentang keberadaan kekal dari materi. Murat Ozgen, seorang Freemason berkebangsaan Turki, membahas topik ini sebagai berikut: Jelaslah bahwa Kabbalah disusun bertahun-tahun sebelum keberadaan Taurat. Bagian paling penting dari Kabbalah adalah sebuah teori tentang pembentukan alam semesta. Teori ini sangat berbeda dengan kisah penciptaan yang diterima oleh agama-agama ketuhanan. Menurut Kabbalah, pada awal penciptaan, muncullah benda-benda yang disebut Sefiroth, artinya “lingkaran-lingkaran” atau “orbit-orbit”, yang mengandung baik sifat material maupun spiritual. Benda-benda ini berjumlah 32. Sepuluh yang pertama merepresentasikan massa bintang-bintang di angkasa. Keistimewaan Kabbalah ini menunjukkan bahwa ia berhubungan erat dengan sistem kepercayaan astrologis kuno. Jadi, Kabbalah jauh dari agama Yahudi dan berhubungan erat dengan agama-agama kuno yang misterius dari Timur. Dengan mengadopsi doktrin-doktrin materialis dan esoterik dari bangsa Mesir Kuno yang berlandaskan ilmu sihir ini, bangsa Yahudi mengabaikan larangan Taurat tentang hal itu. Mereka mengambil ritual sihir dari bangsa pagan lain dan seterusnya, Kabbalah menjadi doktrin mistis di dalam agama Yahudi, tetapi bertentangan dengan Taurat. Di dalam buku berjudul Secret Societies and Subversive Movements, penulis Inggris Nesta H. Webster menyatakan: Seperti kita ketahui, Ilmu sihir telah dipraktikkan oleh bangsa Kanaan sebelum pendudukan Palestina oleh bani Israel; Mesir, India, dan Yunani juga memiliki tukang tenung dan peramal. Walaupun di dalam Hukum-Hukum Musa terkandung pelarangan atas ilmu sihir, bangsa Yahudi, dengan mengesampingkan peringatan ini, tertular dan mencampurkan tradisi suci yang mereka warisi dengan pemikiran-pemikiran yang sebagian dipinjam dari bangsa lain dan sebagian karangan mereka sendiri. Secara bersamaan, sisi spekulatif dari Kabbalah Yahudi meminjam dari filsafat Persia Magi, Neo-Platonis, dan Neo-Phytagorean. Maka, terdapat justifikasi bagi pendapat kelompok anti-Kabbalah bahwa apa yang kita kenal sebagai Kabbalah saat ini tidaklah murni asli dari Yahudi. (Harun Yahya; www.pakdenono.com; di unduh oleh penulis pada 21 januari 2010).

Dalam Al Quran Allah berfirman bahwa bani Israil mempelajari ritual persihiran setan dari sumber-sumber di luar agama mereka sendiri. “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” (QS. Al Baqarah, 2: 102) Ayat ini memperlihatkan bahwa kalangan tertentu bangsa Yahudi, walau mengetahui bahwa akan celaka di hari akhirat, mempelajari dan mengambil praktik-praktik sihir. Dengan demikian, mereka menyimpang dari hukum yang telah diturunkan Allah kepada mereka. Karena telah menjual jiwa mereka sendiri, terperosoklah mereka ke dalam paganisme (doktrin-doktrin sihir). “Mereka telah menjual diri” untuk sesuatu yang jahat, dengan kata lain, meninggalkan keimanan mereka. Fakta-fakta yang diungkapkan dalam ayat ini menunjukkan sifat utama dari sebuah konflik penting dalam sejarah Yahudi. Pertarungan ini, pada satu sisi, adalah antara nabi-nabi yang dikirimkan Allah kepada bangsa Yahudi dan golongan Yahudi yang beriman yang menaati mereka, dan pada sisi lain, golongan Yahudi yang durhaka yang mengingkari perintah-perintah Allah, meniru-niru budaya pagan dari kaum di sekitar mereka, dan mengikuti praktik-praktik budaya tersebut, bukannya hukum Allah. (Harun Yahya; www.pakdenono.com; di unduh oleh penulis pada 21 januari 2010).

Penting untuk dicermati bahwa dosa-dosa dari kaum Yahudi yang ingkar seringkali diceritakan di dalam kitab suci Yahudi sendiri, Perjanjian Lama. Di dalam kitab Nehemiah, sebentuk kitab sejarah di dalam Perjanjian Lama, kaum Yahudi mengakui dosa mereka dan menyesal: Keturunan orang Israel memisahkan diri dari semua orang asing, lalu berdiri di tempatnya dan mengaku dosa mereka dan kesalahan nenek moyang mereka. Sementara mereka berdiri di tempat dibacakanlah bagian-bagian daripada kitab Taurat Tuhan, Allah mereka, selama seperempat hari, sedang seperempat hari lagi mereka mengucapkan pengakuan dan sujud menyembah kepada TUHAN, Allah mereka. Di atas tangga tempat orang-orang Lewi berdirilah Yesua, Bani dan Kenani. Dengan suara yang nyaring mereka berseru kepada Tuhan, Allah mereka. (Mereka berkata:) “Mereka (nenek moyang kami) mendurhaka dan memberontak terhadap-Mu. Mereka membelakangi hukum-Mu dan membunuh nabi-nabi-Mu yang memperingatkan mereka dengan maksud membuat mereka berbalik kepada-Mu. Mereka berbuat nista yang besar. Lalu Engkau menyerahkan mereka ke tangan lawan-lawan mereka, yang menyesakkan mereka. Dan pada waktu kesusahan mereka berteriak kepada-Mu, lalu Engkau mendengar dari langit dan karena kasih sayang-Mu yang besar Kau berikan kepada mereka orang-orang yang menyelamatkan mereka dari tangan lawan mereka. Tetapi begitu mereka mendapatkan keamanan, kembali mereka berbuat jahat di hadapan-Mu. Dan Engkau menyerahkan mereka ke tangan musuh-musuh mereka yang menguasai mereka. Kembali mereka berteriak kepada-Mu, dan Engkau mendengar dari langit, lalu menolong mereka berulang kali, karena kasih sayang-Mu dan mereka berdosa terhadap peraturan-peraturan-Mu, yang justru memberi hidup kepada orang yang melakukannya. Mereka melintangkan bahu untuk melawan, mereka bersitegang leher dan tidak mau dengar. Tetapi karena kasih sayang-Mu yang besar Engkau tidak membinasakan mereka sama sekali dan tidak meninggalkan mereka, karena Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang. Sekarang, ya Allah kami, Allah yang Mahabesar, kuat, dan dahsyat, Tetapi Engkaulah yang benar dalam segala hal yang menimpa kami, karena Engkau berlaku setia dan kamilah berbuat fasik. Juga raja-raja kami, pemimpin-pemimpin kami, imam-imam kami, dan nenek moyang kami tidak melakukan hukum-Mu. Mereka tidak memerhatikan perintah-perintah-Mu dan peringatan-peringatan-Mu yang Kauberikan kepada mereka. Dalam kedudukan sebagai raja mereka tidak mau beribadah kepada-Mu, walaupun Engkau telah mengaruniakan kepada mereka banyak kebaikan dan telah menyediakan bagi mereka tanah yang luas dan subur. Mereka tidak berbalik dari perbuatan-perbuatan mereka yang jahat.” (Nehemiah, 9: 2-4, 26-29, 31-35) Bagian ini mengungkapkan keinginan yang dimiliki segolongan kaum Yahudi untuk mengembalikan keimanan mereka kepada Tuhan, tetapi dalam perjalanan sejarah Yahudi, segolongan lain perlahan meraih kekuatan, mendominasi kaum Yahudi dan kemudian sepenuhnya mengubah agama itu sendiri. Karena inilah, di dalam Taurat dan kitab-kitab lain pada Perjanjian Lama, terdapat elemen-elemen yang berasal dari doktrin pagan yang bidah, di samping yang disebutkan di atas, yang mengajak untuk kembali kepada agama yang benar. Misalnya: Pada kitab pertama dari Taurat, disebutkan bahwa Tuhan menciptakan seluruh alam semesta dari ketiadaan dalam enam hari. Ini benar dan berasal dari wahyu asli. Tetapi, kemudian disebutkan bahwa Tuhan beristirahat di hari ketujuh, dan ini merupakan pernyataan yang benar-benar palsu. Ini merupakan ide jahat yang berasal dari paganisme yang memberikan sifat manusia kepada Tuhan. Pada sebuah ayat di dalam Al Quran, Allah berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya dalam enam masa, dan kami sedikitpun tidak ditimpa keletihan.” (QS. Qaaf, 50: 38) ! Pada bagian-bagian lain dari Taurat, terdapat gaya penulisan yang tidak menghormati kemuliaan Tuhan, terutama pada bagian-bagian di mana kelemahan manusia disifatkan kepada-Nya (Tuhan sudah pasti di atas itu semua). Antropomorfisme ini dibuat untuk menyerupai kelemahan-kelemahan manusia yang diberikan penganut pagan kepada tuhan-tuhan buatan mereka sendiri. Salah satu pernyataan yang menghina itu adalah klaim bahwa Ya'kub, nenek moyang bani Israil, bergulat dengan Tuhan, dan menang. Ini jelas sebuah cerita yang dibuat-buat untuk memberi bani Israil keunggulan rasial, untuk menyamai perasaan rasial yang berkembang luas di antara masyarakat pagan. (atau, di dalam kata-kata Al Quran: “kesombongan jahiliyah”). Terdapat kecenderungan di dalam Perjanjian Lama untuk menampilkan Allah sebagai tuhan kebangsaan bahwa Dia hanyalah tuhan bagi bani Israil. Namun, Allah adalah Tuhan dan Penguasa semesta alam serta seluruh umat manusia. Pemikiran tentang agama kebangsaan ini, di dalam Perjanjian Lama, bersesuaian dengan kecenderungan paganisme, di mana setiap suku menyembah tuhannya sendiri. Pada sebagian kitab dari Perjanjian Lama (misalnya, Yosua) berbagai perintah diberikan untuk melakukan kekejaman terhadap orang-orang non-Yahudi. Pembunuhan massal diperintahkan, tanpa memandang wanita, anak-anak, atau orang tua. Kekejaman tanpa belas kasihan ini sepenuhnya bertentangan dengan keadilan Tuhan, dan mengingatkan kepada kebiadaban budaya pagan, yang menyembah dewa-dewa perang yang mistis. Berbagai pemikiran pagan yang disusupkan ke dalam Taurat ini tentu mempunyai asal muasal. Pastilah ada orang Yahudi yang mengambil, menghormati, dan menghargai suatu tradisi yang asing bagi Taurat, dan mengubah Taurat dengan menambahkan ke dalamnya pemikiran-pemikiran yang berasal dari tradisi yang mereka ikuti. Asal usul tradisi ini merentang jauh hingga ke para pendeta Mesir Kuno (para ahli sihir rezim Fir'aun). Ialah, tak lain, Kabbalah yang dibawa dari sana oleh sejumlah orang Yahudi. Kabbalah mempunyai bentuk yang memungkinkan Mesir Kuno dan doktrin pagan lainnya menelusup ke dalam agama Yahudi dan berkembang di dalamnya. Para penganut Kabbalah, tentu saja, menyatakan bahwa Kabbalah hanyalah memperjelas secara lebih rinci rahasia-rahasia yang tersembunyi di dalam Taurat, tetapi, pada kenyataannya, sebagaimana dikatakan oleh ahli sejarah Yahudi tentang Kabbalah, Theodore Reinach, Kabbalah adalah "suatu racun teramat halus yang menyusupi dan memenuhi nadi agama Yahudi." Maka, sangat mungkin untuk menemukan di dalam Kabbalah jejak-jejak nyata dari ideologi materialis dari bangsa Mesir Kuno. (Harun Yahya; www.pakdenono.com; di unduh oleh penulis pada 21 januari 2010).

Salah satu tema yang senantiasa diangkat di dalam al-Qur’an adalah mengenai orang-orang yang telah dihancurkan oleh Allah, karena kezaliman dan kedurhakaan mereka, dan contoh yang bisa diambil dari mereka itu. Tentu saja, terdapat sebuah sisi yang sangat besar di antara persamaan umat pada masa lalu dan pada masa kita sekarang. Pada zaman kita, ada orang-orang yang sikap dan cara hidupnya bahkan melampaui penyimpangan seksual yang dilakukan oleh kaum Luth, kecurangan penduduk Madyan, kesombongan dan kepongahan kaum Nuh, kedurhakaan dan kezaliman kaum Tsamud, rasa tidak tahu terima kasih kaum Iram, beserta tingkah laku dari berbagai macam umat lainnya yang telah dimusnahkan. Alasan yang jelas dari semua kerusakan moral ini adalah orang-orang tersebut telah melupakan Allah dan maksud penciptaan diri mereka. Pembunuhan, ketidakadilan sosial, pengkhianatan, penipuan, dan kerusakan moral pada zaman di mana kita hidup ini bahkan telah mendorong sebagian orang untuk berputus asa. Namun, janganlah dilupakan bahwa al-Qur’an memerintahkan agar kita tidak berputus asa dari pertolongan Allah. Putus asa dan patah semangat adalah cara berpikir yang tidak dapat diterima bagi orang-orang yang beriman. Allah memberitahukan bahwa mereka yang mengabdi kepada-Nya dengan tulus—dengan tanpa menyekutukan-Nya dengan makhluk-makhluk-Nya yang mana pun sebagai tuhan-tuhan di samping-Nya—dan beramal saleh guna mendapat keridha-an-Nya, akan mendapat kekuatan dan kekuasaan. Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benarbenar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (Q.s. an-Nur: 55). Dalam sejumlah ayat, juga dikatakan bahwa adalah sebuah hukum ilahiah bahwa hamba-hamba yang setia dan menjalankan agama yang haq di dalam hatinya akan dijadikan sebagai para pewaris atas dunia ini: Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lawh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai oleh hamba-hamba-Ku yang saleh. (Q.s. al-Anbiya’: 105). Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) ke hadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku. (QS. Ibrahim: 14).

Dan sesungguhnya kami telah membinasakan umat-umat yang sebelum kamu, ketika mereka berbuat kezaliman, padahal rasul-rasul mereka telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, tetapi mereka sekali-kali tidak hendak beriman. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat dosa. Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat. (QS. Yunus: 13-14). Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; diwariskan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa. Kaum Musa berkata: “Kami telah ditindas (oleh Fir’aun) sebelum kamu datang kepada kami dan sesudah kamu datang.” Musa menjawab: “Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi(-Nya), maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu.” (QS. al-A‘raf: 128-129). Allah telah menetapkan: “Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang.” Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa. (Q.s. al-Mujadalah: 21). Bersamaan dengan kabar gembira yang disampaikan pada ayat-ayat di atas, Allah telah memberikan sebuah janji yang sangat penting kepada orang-orang beriman. Dia berfirman di dalam al-Qur’an bahwa agama Islam diturunkan kepada umat manusia untuk mengatasi segala agama. Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. Dialah yang telah mengutus rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Qur’an) dan agama yang benar untuk dime-nangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai. (QS. At-Taubah: 32-33). Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. (QS. Ash-Shaff: 8-9). Tak ada keraguan bahwa Allah akan memenuhi janji-janji-Nya. Akhlak mulia yang akan menaklukkan filsafat-filsafat yang menyimpang, ideologi-ideologi yang terdistorsi, dan pemahaman agama palsu adalah akhlak Islam ini. Ayat-ayat yang dikutip di atas menandaskan bahwa orang-orang kafir dan penyembah berhala tak mampu menghindari terjadinya hal ini. Periode ini, di mana akhlak Islam akan tegak, akan menjadi saat di mana setiap waktu ada cinta, pengorbanan, kedermawanan, kejujuran, keadilan sosial, keamanan dan kesejahteraan pribadi. Periode ini telah disebut sebagai Zaman Keemasan karena kemiripannya dengan gambaran-gambaran tentang Surga, namun, sejauh ini, zaman seperti itu belum sempat terwujud.

Isa a.s. Kembali Ke Bumi (Maulana Abdul Haque Vidyarthi (1888 - 1978) kompilasi ke format CHM: pakdenono-www.pakdenono.com)

Isa a.s. adalah seorang nabi pilihan Allah. Beliau adalah salah satu nabi yang paling banyak disebut-sebut dalam sejarah dunia. Puji syukur kepada Allah sehingga ada sebuah sumber di mana kita dapat memeriksa mana yang benar dan mana yang palsu tentang apa yang telah dikatakan selama ini tentang diri beliau. Sumber tersebut adalah al-Qur’an, satu-satunya wahyu Allah yang tetap tidak berubah dan tidak mengalami distorsi. Tatkala kita merujuk kepada al-Qur’an untuk mengungkap kebenaran sejati tentang Nabi Isa a.s., kita melihat bahwa: Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang terjadi dengan) kalimat-Nya. (QS. an-Nisa’:171). Allah memberinya nama al-Masih Isa putra Maryam. (QS. Ali Imran : 45). Dia jadikan beliau sebagai tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya : 91). Isa a.s. berbicara kepada manusia dalam buaian dan dia memiliki sekian banyak mukjizat. (QS Ali Imran : 46), Mukjizat lainnya adalah bahwa dia akan kembali lagi ke bumi pada Akhir Zaman dan berbicara kepada manusia. (QS. Ali Imran: 46: QS. Al-Maidah : 110). Isa a.s. diberi Injil. (QS. Al-Hadid : 27). Orang-orang yang menuhankannya telah berbuat kesalahan dan menjadi kafir. (QS. Al-Maidah: 72). Orang-orang kafir membuat tipu daya untuk membunuh beliau, namun Allah membalas tipu daya mereka. (QS. Ali Imran : 54).

Allah tidak mengizinkan orang-orang kafir membunuh Isa as., namun mengangkat beliau ke hadirat-Nya, dan mengumumkan kabar gembira kepada umat manusia bahwa beliau akan datang kembali suatu hari nanti. Al-Qur’an memberikan informasi tentang kembalinya Isa a.s. dalam sekian banyak ayat: Salah satu ayat mengatakan bahwa orang-orang kafir yang memasang jebakan untuk membunuh Isa a.s. tidak berhasil; Dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, Isa putra Maryam, rasul Allah,” padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa a.s. benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. (QS. An-Nisa : 157). Salah satu ayat lain mengatakan bahwa Isa as. tidaklah wafat, namun diangkat dari ruang lingkup manusia ke hadirat Allah. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Qs. An-Nisa : 158). Di dalam ayat ke-55 Surat Ali Imran, kita mempelajari bahwa Allah akan menempatkan orang-orang yang mengikuti Isa di atas orang-orang yang kafir hingga Hari Kebangkitan. Adalah sebuah fakta historis bahwasanya, 2.000 tahun yang lalu, murid-murid Isa tidak memiliki kekuatan politik. Orang-orang Nasrani yang hidup di antara periode itu dengan zaman kita telah mempercayai sejumlah doktrin palsu, yang puncaknya adalah doktrin Trinitas. Oleh sebab itu, sebagaimana telah begitu gamblang, mereka tak dapat disebut sebagai para pengikut Isa a.s., karena, sebagaimana dinyatakan dalam sekian banyak tempat di dalam al-Qur’an, mereka yang meyakini Trinitas telah tergelincir ke dalam kekafiran. Dalam kasus yang demikian, pada waktu sebelum Hari Kiamat, para pengikut Isa a.s. yang sejati akan mengalahkan orang-orang yang ingkar dan menjadi manifestasi dari janji Allah yang terkandung di dalam Surat Ali ‘Imran. Tentu saja, kelompok yang diberkahi ini akan dapat dikenali tatkala Isa a.s. kembali lagi ke bumi.

Sekali lagi, al-Qur’an menyatakan bahwa para Ahli Kitab akan beriman kepada Isa as. sebelum mereka meninggal. Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa as) sebelum kematiannya. Dan pada Hari Kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka. (QS. An-Nisa : 159). Kita dengan jelas mengkaji dari ayat ini bahwa masih ada tiga janji yang belum dipenuhi tentang Isa a.s. Pertama, sebagaimana halnya setiap manusia lainnya, Nabi Isa a.s. akan wafat. Kedua, semua orang dari kalangan Ahli Kitab akan melihat beliau dalam wujud jasmaniah dan akan menaatinya sewaktu beliau hidup. Tak ada keraguan bahwa kedua prediksi ini akan dipenuhi tatkala Isa a.s. datang kembali sebelum Hari Kiamat. Prediksi ketiga tentang Isa a.s. yang menyampaikan kesaksian terhadap para Ahli Kitab akan dipenuhi pada Hari Kiamat. Ayat lain dalam Surat Maryam membahas kematian Isa a.s. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali. (QS. Maryam : 33). Tatkala kita bandingkan ayat ini dengan ayat ke-55 Surat Ali Imran, kita dapat menemukan sebuah fakta yang sangat penting. Ayat di dalam Surat Ali Imran berbicara tentang Isa as. yang sedang diangkat ke hadirat Allah. Dalam ayat ini, tak ada informasi yang diberikan tentang apakah Isa as. telah meninggal ataukah tidak. Namun dalam ayat ke-33 Surat Maryam, kematian Isa as. disebut. Kematian kedua ini hanya mungkin bila Isa as. kembali lagi ke bumi dan wafat setelah hidup di sini selama beberapa waktu. Ayat lain yang menyinggung kembalinya Isa as. ke bumi berbunyi: Dan Allah akan mengajarkan kepadanya al-Kitab, Hikmah, Taurat, dan Injil. (QS. Ali Imran : 48). Guna memahami penyebutan kata “Kitab” yang disebut dalam ayat ini, kita harus melihat ke ayat-ayat lainnya di dalam al-Qur’an yang relevan dengan pokok pembahasan ini: bila Kitab itu dinyatakan dalam satu ayat bersama-sama dengan Taurat dan Injil, maka ia harusnya berarti al-Qur’an. Ayat ketiga Surat Ali ‘Imran memberikan sebuah contoh yang demikian: Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi senantiasa berdiri sendiri. Dia menurunkan al-Kitab (al-Qur ’an) kepadamu dengan sebenar nya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil, sebelum al-Qur’an, menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan al Furqan pembeda antara yang haq dan bathil. (QS. Ali Imran : 2-4). Dalam kasus ini, kitab yang dimaksud dalam ayat 48, yang dipelajari Isa a.s., hanya dapat berarti al-Qur’an. Kita tahu bahwa Isa a.s. sudah mengenal Taurat dan Injil pada masa hidupnya, yaitu, kira-kira 2.000 tahun yang lalu. Apa yang ditawarkan di dalam al Qur’an sangatlah menarik: “Sesungguhnya (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam”. (QS. Ali Imran : 59)

Al-Qur’an mengatakan berikut ini tentang Isa as : Dan sesungguhnya Isa a.s. itu benar-benar memberikan pengetahuan tentang Hari Kiamat. Karena itu janganlah kamu ragu-ragu tentang Kiamat itu dan ikutilah aku. Inilah jalan yang lurus. (QS. Az-Zukhruf : 61). Kita mengetahui bahwa Isa as. hidup enam abad sebelum al-Qur’an diturunkan. Dengan demikian, ayat ini haruslah menunjuk, bukan pada kehidupan pertamanya, namun pada kedatangannya kembali pada Hari Akhir. Baik dunia Kristen maupun Islam menanti-nantikan kedatangan Isa as. yang kedua kalinya ini dengan penuh harap. Kehadiran tamu mulia yang diberkahi ini ke muka bumi akan menjadi tanda penting. Bukti lebih jauh tentang kedatangan kedua kalinya Isa as. dapat ditemukan dalam al Qur’an, tentang perintah-perintah kepada kita bahwa : ”(Ingatlah), ketika Allah mengatakan: “Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruhul qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa (wakahlan)” (QS. Al-Maidah : 110). Dan dia berbicara kepada manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa (wakahlan)dan dia adalah salah se-orang di antara orang-orang yang saleh. (QS. Ali Imran : 46). Kata ini terdapat hanya pada kedua ayat tadi dan hanya merujuk kepada Isa as. Kata ini dipakai untuk menggambarkan usia Isa as. yang lebih dewasa. Kata tersebut merujuk pada usia antara 30 dan 50, yaitu pada akhir masa muda dan menjelang usia tua. Para ulama sepakat dalam menerjemahkan kata ini untuk merujuk pada kurun waktu usia 35. Para ulama berpegang pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra. tentang kesimpulan bahwa Isa as. diangkat kehadirat Allah sewaktu masih muda, yaitu pada awal usia 30an dan tatkala beliau kembali lagi ke bumi, beliau tinggal memiliki sisa umur 40 tahun. Isa as. akan menjalani masa tuanya setelah beliau kembali ke bumi, maka ayat ini dapat dikatakan sebagai suatu bukti akan kedatangan Isa as. untuk yang kedua kalinya ke bumi. Sebagaimana telah disebutkan, bila kita telaah al-Qur’an dengan cermat, kita pun melihat bahwa kata ini hanya dipakai untuk merujuk kepada Isa as. Semua nabi telah berbicara kepada manusia dan mengajak mereka untuk menerima agama. Mereka semua telah menyampaikan risalahnya tatkala mereka telah berusia dewasa. Akan tetapi, al-Qur’an tidak mengatakan hal yang serupa itu mengenai nabi lainnya. Kata ini hanya dipakai untuk Isa as., dan suatu mukjizat. Frasa “dalam buaian” dan “setelah beranjak dewasa” merujuk pada dua mukjizat yang sangat besar. Adalah sebuah mukjizat bahwasanya Isa a.s. berbicara ketika beliau masih berada dalam buaian. Ini adalah suatu hal yang belum pernah terlihat sebelumnya, dan al-Qur’an berulang kali berbicara tentang peristiwa yang ajaib ini. Setelah kata-kata ini segera diikuti dengan frasa “dan berbicara kepada manusia ketika sudah dewasa.” Kata-kata ini pun merujuk pada sebuah keajaiban. Bila kata-kata “ketika sudah dewasa” merujuk pada kehidupan beliau yang sebelumnya pada waktu sebelum diangkat kehadirat Allah, maka berbicaranya Isa a.s. tidak akan menjadi sebuah keajaiban. Dan karena bukan suatu keajaiban, maka tidak akan dipakai setelah berbicara ketika masih dalam buaian atau dengan cara yang sama dalam suatu situasi yang ajaib. Dalam kasus demikian, sebuah ungkapan seperti “dalam buaian dan ketika sudah dewasa” akan dipakai dan akan mengungkapkan komunikasi yang berlangsung semenjak dari waktu Isa a.s. mulai berbicara dalam buaian hingga saat beliau diangkat kehadirat Allah. Namun, ayat tadi menarik perhatian kita pada dua peristiwa yang amat sangat ajaib. Yang pertama adalah berbicara ketika masih dalam buaian; yang lainnya, pembicaraan Isa a.s. pada usia dewasanya. Dengan demikian, ungkapan “ketika sudah dewasa” merujuk pada suatu waktu yang merupakan sebuah keajaiban. Yaitu waktu di mana Isa a.s. akan berbicara kepada manusia dalam usia dewasanya setelah beliau kembali lagi ke bumi menyampaikan informasi tentang bahwa Allah telah mengutus Nabi Muhammad saw. kepada umat manusia sebagai nabi pamungkas. Allah telah mewahyukan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw., dan membebankan atas semua manusia tanggungjawab dalam menaati al-Qur’an hingga Hari Pengadilan. Keterangan Nabi Muhammad bahwa Isa as. akan kembali secara ajaib ke dunia pada Akhir Zaman, namun Isa as. tidak membawa agama baru selain dari Islam. (Maulana Abdul Haque Vidyarthi (1888 - 1978) kompilasi ke format CHM: pakdenono-www.pakdenono.com) Sekarang sangat perlu bermuhassobah, oleh karena selama ini mungkin kita semua sebagai hasil ciptaan Tuhan yang kebanyakan menolak akan kebenaran Islam dan tidak berusaha nerealisasikan nilai-nilai moral al-Qur’an. Di dalam al Qur’an sangat jelas ditunjukkan bahwa ayat-ayat al-Qur’an diabaikan, penilaian penilaian yang non-Islami diberikan dengan memakai nama Allah, agama menjadi bahan pertikaian dengan segala bentuk motif yang buas, ibadah dilakukan untuk riya, tamak, syirik, tahayul, bid’ah dan agama dipolitisir untuk mendapat keuntungan penjualan barang. Proses inilah yang kita rasakan sekarang ini, iman tidak lagi menjadi bagian solus dari problem kemanusiaan, akan tetapi nilai-nilai iman dan moral sudah menjadi dagangan dan sarana bertaklid. Masa globalisasi sekarang ini predikat yang disandang sebagai muslim diatas kualitas dan bahkan mayoritas, namun sangat naif dari mayoritas ini tidak menunjukkan porsentase yang lebih. Baik itu para ulama dan cendikia muslim yang sejatinya pemikir justru menjadi tidak berkualitas dan minoritas di tengah kemayoritasannya. Menurut al-Qur’an, bahwa; ”pada Hari Akhir nanti Nabi Muhammad saw. akan berkata bahwa umatnya akan meninggalkan al-Qur’an: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan al-Qur’an ini suatu yang tidak diacuhkan” (QS. Al Furqan : 30). Akan tiba suatu masa pada umatku, tatkala tak ada yang tersisa dari al-Qur’an kecuali bentuk lahirnya, dan tak ada yang tersisa dari Islam kecuali namanya dan mereka akan menyebut diri mereka dengan nama ini walaupun mereka adalah orang-orang yang paling jauh darinya.(Ibnu Babuya, Tsawab al-A‘mal). Sebuah perbandingan yang dibuat di dalam al qur’an mengatakan bahwa: “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya (menerapkan sesuai dengan hukumnya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.” (QS. Jumu’ah : 5) Tak ada keraguan bahwa ayat ini merupakan sebuah peringatan bagi kaum muslimin, yang mengingatkan mereka agar berhati-hati supaya tidak terperosok ke dalam kesalahan besar yang sama. Al-Qur’an diturunkan sebagai kitab suci yang menjadi hidayah bagi manusia untuk dikaji. Al-Qur’an adalah ilmu dan hikmah yang terkandung di dalamnya yang harus dipikirkan secara mendalam. ”Akan tiba suatu masa pada umat ini tatkala orang-orang akan membaca al-Qur’an, namun al-Qur’an itu tidak akan jauh—menuju kalbu mereka, melainkan—sebatas (dari tenggorokan mereka). (HR. Bukhari) Rasulullah saw. berbicara mengenai sesuatu dan bersabda: mana ilmu tidak ada lagi.” (Ziyad) bertanya: “Ya Rasulullah, bagaimana ilmu akan lenyap padahal kami masih membaca al-Qur’an dan mengajarkan bacaannya kepada anak-anak kami, dan anak-anak kami pun akan mengajarkannya kepada anak-anak mereka hingga Hari Kebangkitan?” Beliau saw. bersabda: “Ziyad, tidakkah orang-orang Yahudi dan Nasrani membaca Taurat dan Injil namun tidak berbuat sesuai dengan apa yang terkandung di dalamnya?” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Tirmizi) Ayat 26 Surat al-An‘am berbicara tentang orang-orang yang menjauhkan orang lain dari al-Qur’an. Kita dapat memahami bahwa akan ada cara berpikir korup yang merajalela sebelum tibanya Hari Kiamat, dan bahwa sistem-sistem yang akan muncul tersebut jauh dari kebenaran dan keadilan, yang hanya akan mengakibatkan perselisihan besar dan menyeret orang-orang untuk menjauh dari jalan Allah. Rasulullah saw. bersabda: Sebelum Hari Kiamat akan ada huru hara bagaikan bagian-bagian dari suatu malam yang gelap gulita. (HR. Abu Dawud).

Kembalinya Nabi Isa a.s. Setelah Kemunculan Nabi-Nabi Palsu (Maulana Abdul Haque Vidyarthi (1888 - 1978) kompilasi ke format CHM: pakdenono-www.pakdenono.com)

Sepanjang sejarah, telah banyak bermunculan nabi-nabi palsu. Demi mencari keuntungan bagi diri mereka sendiri, para pendusta ini telah melakukan cara-cara penipuan, dengan mengeksploitasi keluguan orang-orang. Nabi-nabi palsu tersebut akan muncul sebelum Hari Pengadilan. Saat Terakhir tak akan tiba sebelum muncul 30 Dajjal (para pendusta), yang masing-masing mengaku sebagai nabi Allah. (HR. Abu Dawud) Coba kita refleksikan sejarah umat Islam Islam dalam perkembangan dan poros kemunculan Nabi palsu dengan memberi harapan kepada umat Islam, sejumlah penipu telah mengaku sebagai nabi dan kadang menimbulkan penderitaan yang besar. Para pakar telah mencatat bahwa telah bertambahnya jumlah dari apa yang disebut sebagai para messiah yang mulai bermunculan pada tahun 1970an, dan yang semenjak saat itu telah meningkat secara substansial. Menurut para pakar ini, terdapat dua alasan mendasar peningkatan ini. Pertama adalah runtuhnya komunisme, dan kedua adalah peluang-peluang yang disediakan oleh teknologi Internet. Kutipan-kutipan yang telah dipilih berikut ini adalah contoh yang membantu kita agar lebih baik lagi dalam memahami fenomena tersebut. Kematian yang tampaknya dilakukan dengan antusias di perkampungan Cabang Davidian di Waco, Texas, yang telah merenggut nyawa David Koresh dan paling sedikit 74 orang pengikutnya. Pekan kemarin di dua tempat di Swiss dan satu tempat di Kanada di mana 53 orang pengikut Jouret beserta anakanak mereka mati. Para polisi di kedua negara tersebut berusaha mencari tahu apakah kematian tersebut disebabkan oleh bunuh diri massal, pembunuhan massal, atau suatu kombinasi yang tidak lazim dari keduanya. Sun Myung Moon, pendiri Gereja Unifikasi, menyebut dirinya sebagai sang Messiah pada Kedatangan Kedua dan bahwa keluarganya adalah keluarga pertama yang sejati dalam seluruh sejarah! Gereja Unifikasi secara resmi didirikan pada tahun 1954 oleh Moon, yang menyatakan bahwa pada tahun 1936, tatkala dia berusia 16 tahun, Isa as. muncul kepadanya di lereng gunung di sebelah barat laut Korea dan mengatakan kepadanya bahwa Tuhan telah memilihnya untuk menjalankan misi menegakkan Kerajaan Surga di muka bumi. Bukti mengerikan tentang pembantaian terburuk suatu sekte Sampai 1.000 orang pengikut tewas sementara makin banyak lagi kuburan yang ditemukan di Uganda. Ada suatu kejadian yang mengguncangkan seluruh penjuru dunia—bunuh diri massal terburuk dalam sejarah modern. Lebih dari 900 orang, anggota sebuah sekte, ditemukan bersama-sama dalam jarak yang rapat di hutan Amerika Selatan. Orang-orang yang tewas tersebut adalah para pengikut Pendeta Jim Jones, pemimpin People’s Temple (Anak-anak Sekte Kuil) di San Francisco. (Maulana Abdul Haque Vidyarthi (1888 - 1978) kompilasi ke format CHM: pakdenono-www.pakdenono.com)

Al-Qur’an juga menerangkan kemunculan nabi-nabi palsu. Salah satu ayat yang bertalian dengan topik ini adalah sebagai berikut: Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: “Telah diwahyukan kepada saya,” padahal tidak ada diwahyukan sesuatu pun kepadanya, dan orang yang berkata: “Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah.” Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanantekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawamu.” Di hari ini kamu dibalas dengan penyiksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya. (QS. al-An’am: 93). Sebagaimana yang dapat ditegaskan setelah memahami ayat ini, orang-orang tersebut tentu akan menerima balasan atas dusta yang telah mereka buat-buat. Tak ada keraguan bahwa akan tiba suatu masa di mana semua kebohongan dari semua nabi palsu ini akan dihapuskan. Nabi Muhammad saw. memberitakan bahwa, setelah para pendusta tersebut lenyap, Isa a.s. akan kembali. Kami telah menyebutkan sebelum ini bahwa al-Qur’an memberitakan tentang kembalinya Isa as. ke bumi, dan baik orang-orang Islam maupun Nasrani sama-sama sangat menunggu-nunggu peristiwa ini. Ada beberapa hadis dari Nabi Muhammad saw. yang merujuk tentang kedatangan Isa a.s. untuk yang kedua kalinya ini, dan bahwa informasi yang terkandung di dalam hadis-hadis ini tak dapat dipalsukan. (Ibnu Majah) Terdapat bahan informasi penting lainnya yang sampai kepada kita melalui hadis-hadis ini. Kembalinya Isa a.s. akan terjadi pada fase kedua Akhir Zaman, dan akan menjadi sebuah tanda penting Hari Pengadilan. Dalam hal ini, hadis-hadis berikut ada kaitannya: Saat Terakhir tak akan tiba hingga kalian menyaksikan turunnya Isa putra Maryam. (HR. Muslim) Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, putra Maryam, Isa a.s., tak lama lagi akan turun di tengahtengah kalian (orang-orang Islam) sebagai seorang pemimpin yang adil. (HR. Bukhari) As-Sa‘ah (Hari Kiamat) tak akan tiba hingga putra Maryam (yaitu Isa as.) turun di tengah-tengah kalian sebagai seorang pemimpin yang adil. (HR. Bukhari) Nabi Muhammad saw. memberitahukan apa yang akan dilakukan oleh Isa as. tatkala beliau kembali: Pada waktu (menjelang) kematiannya, Isa as. akan muncul kembali di bumi ini selama empat puluh tahun. (HR. Abu Dawud) Isa a.s., putra Maryam, akan turun, memerintah selama 40 tahun dengan kitab Allah dan sunnahku, lalu wafat (Al-Muttaqi al-Hindi, Al-Burhan fi ‘Alamat al-Mahdi Akhir az-Zaman) Isa as., putra Maryam, akan menjadi hakim yang adil dan pemimpin yang adil (di tengah-tengah umatku), mematahkan dan menghancurkan salib dan membunuh babi Bumi ini akan dipenuhi oleh kedamaian sebagaimana bejana dipenuhi dengan air. Seluruh dunia ini akan mengucapkan dan mengikuti satu kalimat yang sama dan tak seorang pun yang menyembah selain Allah. (HR. Ibnu Majah) As-Sa‘ah (Hari Kiamat) tak akan tiba hingga putra Maryam (yaitu Isa as.) turun ke tengah kalian sebagai seorang pemimpin yang adil, dia akan mematahkan salib, membunuh babi. (HR. Bukhari) Dengan demikian, tatkala Isa as. kembali, doktrin-doktrin sesat seperti Trinitas, salib dan kependetaan, dan perbuatan perbuatan dosa seperti makan babi, akan disapu bersih, orang-orang Nasrani akan diselamatkan dari keadaan bid’ah yang mereka buat-buat, dan semua orang akan diseru agar hidup sesuai dengan agama yang haq dan nilai-nilai moral yang terkandung di dalam al-Qur’an. Pada saat ini, terdapat sebuah pokok persoalan yang harus kita renungkan. Di dalam al-Qur’an dan hadis, tak ada keraguan bahwa Isa as. akan kembali ke bumi pada Akhir Zaman. Hari ini, di sisi lain, sebagian orang Islam meremehkan bukti-bukti yang terang benderang tentang kedatangannya itu, dan mengemukakan bahwa mungkin saja Isa as. akan kembali setelah kedatangan Nabi Muhammad saw. Akan tetapi, orang-orang Islam yang punya pikiran seperti itu hendaknya berusaha agar menginterpretasikan ayat-ayat dan hadis-hadis yang relevan secara obyektif dan tanpa prasangka. Dan, kedua, tak ada kontradiksi antara fakta bahwa Nabi Muhammad saw. adalah nabi terakhir dan Isa as. akan kembali ke bumi. Tatkala Isa as. datang untuk yang kedua kalinya, beliau tidak akan membawa agama baru namun akan tunduk pada agama yang haq yang disampaikan oleh al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw. Seorang ulama besar Imam Rabbani berkata: “Isa as. akan turun dari langit, namun dia akan mengikuti jalan Nabi Muhammad saw.” (Imam-i Rabbani, Letters of Rabbani, Volume II, Letter 67); Iman Nawawi berkata: “Beliau (Isa as.) akan datang dan menerapkan sunnah Muhammad saw.” (Al-Qawl al-Mukhtashar fi ‘Alamat al-Mahdi al-Muntazhar) Pada topik ini; Qadhi ‘Iyad berkata: “Isa a.s. akan memerintah dengan hukum Islam dan akan menghidupkan kembali sunnah-sunnah yang telah diabaikan oleh umatnya.” (HR. Ibnu Majah).

Ulama besar abad yang lalu, Bediuzzaman Said Nursi telah memberikan pemaparan yang menarik tentang perkara ini dalam kitabnya Risale-i Nur Collection. Menurut analisa Bediuzzaman, Isa a.s. akan kembali ke bumi dengan tubuh fisiknya pada Akhir Zaman dan akan menentang dan menepis ideologi-ideologi anti-agama yang mewakili filsafat materialisme dan naturalisme. Di bawah pemerintahannya, orang-orang Nasrani dan Islam akan bersatu dan kekuatan-kekuatan anti-agama akan disapu bersih. Kristenitas akan dibersihkan dari berbagai keyakinannya yang keliru, bid‘ah-bid‘ah dan mitos-mitosnya, dan menjadi tunduk pada al-Qur’an. Bediuzzaman mengatakan bahwa, dalam menyampaikan pemberitahuan ini, Nabi Muhammad saw. berlandaskan pada firman-firman Allah yang Mahabesar dan dengan demikian maka hal itu pasti akan terjadi. Kini sampailah kita pada sebuah pertanyaan yang menarik. Bagaimana orang-orang bisa mengenali Isa as.? Tentu saja, indikasi paling jelas adalah bahwa beliaulah orang yang akan memiliki semua ciri yang umumnya ada pada diri seorang nabi sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’an. Di samping itu, beliau akan membawa sebuah tanda penting untuk menunjukkan bahwa beliaulah Isa as. Tatkala beliau tiba, tak akan ada seorang pun yang pernah melihat Isa a.s. sebelumnya secara pribadi dan dengan demikian tak ada seorang pun yang akan mengenalnya. Tak seorang pun yang akan dapat mengenalnya dengan penampilan fisiknya atau dengan suaranya. Tak seorang pun yang akan dapat mengatakan bahwa dia kenal Isa as. secara pribadi, atau melihatnya pada suatu waktu; tak seorang pun yang akan pernah mengetahui keluarga atau sanak kerabat beliau. Semua orang yang pernah mengenal beliau telah wafat 2.000 tahun yang lalu. Maryam as., Zakariyya as., murid-mu-rid beliau, yang telah hidup selama bertahun-tahun bersama beliau, serta orang-orang yang dulu pernah mendapat dakwah Isa as., telah wafat. Dengan demikian, tak akan ada seorang pun yang akan melihat kelahiran beliau, masa kanak-kanaknya, masa remaja atau dewasanya tatkala beliau datang untuk yang kedua kalinya. Tak seorang pun yang akan tahu apa pun tentang beliau. Atas perintah Allah, “Jadilah,” Isa as. telah hadir ke dunia ini tanpa seorang ayah. Jelaslah, setelah sekian abad, dia tidak akan memiliki sanak kerabat yang masih hidup. Dalam hal ini, Allah membandingkan situasi Isa as. dengan penciptaan Adam as : Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia. (QS. Ali Imran : 59). Ayat ini mengungkapkan bahwa Allah berfirman “Jadilah” dan Adam as. pun tercipta. Isa as. pun telah diciptakan dengan perintah yang sama. Adam as. tidak memiliki ibu dan ayah sementara Isa as. hanya memiliki ibu tatkala beliau hadir ke dunia ini. Namun, manakala beliau hadir kembali untuk yang kedua kalinya, ibu beliau tidak akan hidup lagi. Dengan demikian, kebingungan yang ditimbulkan oleh para messiah palsu yang akan muncul dari waktu ke waktu tidak mendatangkan hasil. Tatkala Isa a.s. kembali lagi ke dunia, tak akan ada peluang untuk menuding keraguan apa pun atas fakta bahwa orang itu adalah beliau. Tak seorang pun akan mampu menemukan alasan tepat untuk mengatakan bahwa beliau tidak mungkin adalah Isa as. akan dikenali dengan satu karakteristik yang akan memisahkan diri beliau dengan setiap orang lainnya: tak seorang pun di dunia ini yang akan mengenali beliau. Kesimpulan, informasi yang disajikan di sini hendaknya mengarahkan kita agar mengenali bahwa datangnya waktu dari janji-janji yang berkenaan dengan kedatangan Isa a.s., dan hal-hal yang akan beliau lakukan, sudah dekat. Tentu saja, sudah menjadi tugas kita untuk mempersiapkan diri dengan sebaikbaiknya guna menyambut orang yang diberkahi ini yang telah begitu lama kita tunggu-tunggu kedatangannya. (Maulana Abdul Haque Vidyarthi (1888 - 1978) kompilasi ke format CHM: pakdenono-www.pakdenono.com)

Tidak ada komentar: