Harmonisasi Nilai—Dari Konflik Teori Menuju Integrasi Dalam Satu Wilayah Keislaman Dan Perdamaian
Mungkin semua orang apabila berusaha menyelsaikan persoalan hidupnya berdasarkan prinsip-prinsip Al Qur'an, maka sayakin seseorang itu akan dapat menyelesaikan persoalan hidupnya dan pasti akan bertindak bijaksana. Akan tetapi dunia sekarang ini tidak berfikir seperti itu, mungkin semua orang sekarang selalu berfikir dengan kepentingan sendiri tanpa menghiraukan nilai sebuah kepentingan yang positif agar semua orang bisa menikmati bersama kita. Demikianlah, orang yang hidup dengan prinsip tersebut tak pernah merasakan frustasi, bagaimana pun rumit keadaan yang dihadapi. Karena itulah, dalam masyarakat yang menjunjung tinggi ajaran keislman, tak seorang pun dari mereka yang tak dapat menyelesaikan masalahnya. Ketika nilai keislaman mengalami kekosongan, maka konsekwensi logisnya manusia tidak akan menunjukkan nilai-nilai kemanusiaannya dan semua permasalahan tidak akan terselesaikan secara bijak dalam masyarakat tak beragama. Mari mencoba kita melihat masyarakat Midanau di philifina yang mengalami konflik kepanjangan antara suku yang berkuasa dan itupun melibatkan para penguasa, di Mindanau para masyarakatnya sampai anak kecil pun di ajak berperng dan memegang senjata, tewas dalam peristiwa perang itu ada ratusan ribu manusia yang terkena peluru senjata api akibat dari peperangan. [Siaran Langsung TVONE Pukul 02:30 Wta Malam kamis] Kasus ini sebenarnya sampai sekarang belum begitu aman dan masih begrulat dalam perang tanpa ada kemuan secara kolektif dari pememrintah Filipina untuk mengamankan daerah konflik tersebut. Kasus tersebut mungkin membuat kita risih dan merasa takut akan sebuah konflik. Namun semua orang bisa menghindari konflik dan ingin hidup berbahagia bersama keluarganya dan begitu juga dengan masyarakat tentu tidak ingin mengahadapi kesukaran terus-menerus sepanjang hidupnya. Namun sekarang ini kebanyakan manusia, jangankan mencari penyelesaian, justru mencari masalah dalam kesehariannya, seolah-olah itu adalah malapetaka yang tak mungkin terselesaikan. Karena tak sanggup menyelesaikan masalah yang bertubi-tubi dalam setiap segi kehidupannya, kemudian berputus asa dan menggugat. Sementara itu, karena gagal mempertahankan alasan, mereka tak mendapatkan satu pun pemecahan. Bahkan jika mereka mendapatkannya, hal itu terbukti tidak rasional, karena yang mereka dapatkan berasal dari pemikiran dangkal. Alasan utama mengapa konflik senantiasa tak terselesaiakan dalam masyarakat yang jauh dari agama adalah anggota masyarakat sendiri tidak mampu menyelesaikan persoalan pribadinya. Seseorang yang tidak menyandarkan dirinya pada prinsip-prinsip Islam akan mengatasi persoalannya dengan cara-cara sendiri. Dalam hal ini, dia berusaha memuaskan diri sendiri tanpa mempertimbangkan kepentingan orang banyak. Dalam setiap tindakannya, dia tak mau menghadapi resiko, dan tak mau menghabiskan tenaga dan biaya, atau mengambil tanggung jawab yang bermanfaat bagi kepentingan orang lain. Bahkan hal sepele yang gampang diatasi menjadi teka-teki baginya. Setiap orang ingin mempengaruhi orang lain, bertindak menjilat atasannya, ingin kedudukannya diakui, atau paling tidak ingin menjadi orang yang selalu memberi keputusan. Kepribadian yang demikian menyebabkan orang lain tak bisa memberikan sumbangsih pemikiran. Alasan dibalik kedunguan orang yang tak mau hidup dengan prinsip-prinsip agama yang ingin membawa kesimpulan yang memuaskan dinyatakan dalam ayat berikut ini: ”permusuhan antara sesame mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka terpecah belah. Yang demikiann itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti. (QS. Al-Hasyr: 14).
Contoh paling sering terlihat dalam program diskusi terbuka yang ditayangkan di televisi. Peserta mendiskusikan suatu hal selama berjam-jam. Karena setiap orang cenderung mengeluarkan bantahan, didapatlah ketidaksepakatan yang bersifat umum. Para peserta barangkali membenarkan pemikiran lawan bicaranya, akan tetapi kesombongan mencegah mereka mengakuinya, dan yang paling penting bagi mereka semata-mata menunjukkan perlawanan. Hal ini dikarenakan, yang sesungguhnya ingin dicapai bukanlah kebenaran, akan tetapi menjadi orang yang memberikan keputusan akhir. Yang mengherankan, selama diskusi, berbagai masalah, konflik dan perbedaan cenderung meningkat. Sesungguhnya, dari awal mereka memang tak berniat untuk menemukan solusi. Mereka membangun dan bernaung dalam kesombongan philosophi, berpedoman bahwa materi sesungguhnya adalah berdiskusi, berekspresi, dan mengubah cara pandang orang. Mereka berpikir bahwa wajar saja ketika tidak mendapat solusi setelah bediskusi berjam-jam. Orang-orang beriman, menyadari bahwa Allah memperhitungkan segala sesuatu, mengharuskan orang bertindak bijaksana dan hati-hati dalam setiap keadaan. Mungkin saya dapat mencontohkan orang seperti iut yakni ketika Darwan menjadi Ketua Umum DPD IMM NTB periode 2008 – 2010 beberapa surat yang telah di palsukan tanda tangannya seperti surat mandat organisasi yang mengesahkan mereka sebagai peserta forum muktamar di lampung, surat permohonan dana ke bapak Nasibun sebesar empat juta rupiah, dan masih banyak surat lainnya yang di palsukan sampai Darwan melahirkan hutang di LPMP karena tidak mampu membayar biaya penyewaan ruangan untuk kegiatan pelatihan anti korupsi pada bulan Juni 2008 kemarin. Hal lain juga yang di lakukan oleh Darwan adalah mengatakan kepada orang lain dengan bahasa yang mungkin menurut saya sangat tidak rasional dan menjijikan seperti ”kamu penghianat, kamu komparador” apalagi menjelekkan orang lain di belakang bersama saudara Ayatullah Hadi, pertanyaanya ”inilah pekerjaan mereka sebagai manusia” ?, dimanakah ketauhidannya ?, dimanakah nilai sholat yang mereka kerjakan ?, apakah mereka dapat dikatakan manusia beriman. wallahuwalam bissawab....serahkan saja kepada Allah. Kalau diserahkan kepada Tuhan mungkin akan tetap diadili di hari pengadilan Tuhan, akan tetapi sikap dan bentuk apa yang mereka lakukan adalah menumbuhkan benih-benih konflik dan membuat semua orang kecewa akan prilaku mereka.
Sebenarnya mereka membuat keputusan harus paling tepat dan menemukan solusi terbaik. Mereka dapat memutuskan segala permasalahan dengan cepat tanpa terhalang apapun, karena mereka dituntun oleh moral terbaik, tanggung jawab, dan kemampuan berpikir yang diilhami oleh ajaran Alqur'an. "Urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka" (QS. Asy Syuura: 38). Setiap saat harus mengambil pilihan yang paling diridloi Allah. Tak satupun hal yang bertentangan dengan keadilan dan kebenaran, meski barangkali itu berlawanan dengan kepentingan atau kepuasan pribadi mereka dengan hanya mengabdi pada Allah dan mengharap imbalan dari-Nya, orang mukmin tak pernah mencari pengakuan dari orang lain, mencari gelar di mata manusia ataupun disanjung. Oleh karenanya, dalam setiap keputusan yang mereka ambil, mereka senantiasa menerima dukungan, bimbingan, ilham, dan hikmah dari Allah. Orang beriman memiliki ketakutan dan ketundukan pada aturan Allah, sehingga ia diberi "furqaan" untuk membedakan yang hak dan yang bathil (QS. Al Anfal: 29) sehingga ia tiba pada keputusan yang tepat. Mereka pun akan mendapatkan "jalan keluar" (QS. Ath Thalaq: 2) dan "kemudahan dalam segala urusan" (QS. Ath Thalaq: 4).
Maka oleh karena itu harmonisasi nilai menjadi tawaran yang bisa diketengahkan dalam upaya mendorong harmonisasi di tingkat masyarakat baik secara idiologis, ekonomis, politik dan kultur itu sendiri. Dari berbagai paparan dan analisa kewacanaan teori siatas merupakan bagian yang sangat membahayakan bagi dunia karena memang sudah banyak yang mengidap penyakit marxisme, freemasonry, liberalisme, pluralisme, illuminatif, sekulerisme dan humanisme. Dari semua teori sebagai bagian dari penyakit manusia karena telah banyak mengundang kontroversi dan sekaligus bertentangan dengan keyakinan masyarakat. Selain itu juga teori diatas sesuatu hal yang sangat santer di bicarakan sejkaligus penolakan, akan tetapi dalam penolakan tersebut memang relaistis dan obyektif kita bahas anpa tendensi apapun karena memang itulah bungkusan teori yang ada untuk di besarkan. Maka oleh karena Islam sebuah agama yang sangat benar dan di jamin kebenarannya oleh Tuhan dan kitabnya pun bukan hanya milik umat Islam akan tetapi milik umat manusia di dunia ini. Dengan demikian harmonisasi nilai yang dimaksud dalam teori ini adalah mengarahkan persoalan dunia pada dua bentuk yakni ritualisme ketuhanan dalam bingkai keagamaan dan muamalah dalam bingkai sosial kehidupan. Dua bingkai ini merupakan cerminan aktivitas masyarakat dalam kehidupannya baik untuk memenuhi kebutuhan perekonomian maupun kebutuhan spiritualitasnya. Maka dari dua bentuk harmonisasi nilai tersebut, guna untuk mengcover baik pemikiran teori yang bertentangan dalam konteks bangunan teorinya secara filosopis, bahasa, dialektik, karangan, tujuan, dan arah dari teori tersebut, maka sebaiknya kita akan mengetengahkan teori tersebut dalam tiga banguna dasar yang sangat perl di populerkan adalah Intelektualitas, spiritualitas dan materialitas. Tiga model ini sebagai corak dari harmonisasi nilai, tentu dengan tujuan untuk meleburkan teori tersebut dan menghindari dalam pertentangan idiologisnya. Karena memang ketika terjadi pertentangan idiologis maka fungsi teori tersebut akan kehilangan integritasnya. Oleh karena itu penulis ingin menjelaskan secara rinci model dan corak harmonisasi nilai dalam pandangan teori syafrilisme sebagai tanggungjawab dalam memberikan dan menyumbangkan kedamaian diatas dunia ini, karena memang tujuan manusia seutuhnya adalah ingin damai, keadilan dan kebahagiaan, dimensi corak dan model harmonisasi nilai tersebut adalah sebagai berikut;
Intelektualitas
Ada satu hal yang menarik sebagai implikasi dari berbagai pergulatan teori yang yang terjadi selama ini. Yakni ada pendikotomian pengertian tentang sebuah idiologi dan gerakan kepentingan manusia sebagai makom untuk mencapai tujuannya. Protes simbolik para intelektual, akademisi, seniman, ilmuan, dan kalangan elit dunia Islam kepada Uni Eropa atas kasus penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw, penistaan, dan penyebaran kebencian terhadap nilai-nilai Islam. Merupaka sebuah protes kultural dan etis yang memandang isu-isu kebudaayan dunia dengan perspektif logis dan legal mass media, amat heran dan kebanyakan umat Islam kecewa atas sikap tidak beradab yang justru dilakoni oleh sejumlah pemerintah, media, dan kelompok politik di negeri Eropa. Berbagai pencitraan buruk, lontaran dusta, dan propaganda anti-Islam dan anti-Nabi Muhammad yang bernada fasisme untuk menjunjung tinggi kebebasan sepihak, serta menafikan sensor dan penistaan terhadap Islam. nah kasus seperti ini akibat adanya determinasi kebebasan kekuasaan yang menguasai kebijakan kepentingan manusia, sehingga pola yang mereka lakukan adalah pemetaan terhadap potensi idiologi yang selalu ditafsirkan bahwa di dunia ini ateis, padahal kalau kita mengkaji kembali khasanah keilmuan dari beberapa teori diatas secara ilmiah sebenarnya pengkajiannya berakhir pada konstruksi keilmuan teori tersebut untuk membagi wilayah kekuasaan manusia tanpa dilandasi dengan spiritualitas dan nalurinya. keberlangsunganya dari setiap ketidakadilan tentu memiliki sarat kekerasan dan pasti melawan. Proyek memproduksi, menyebarkan kebencian dan ketakutan kepada manusia yang beragama, melancarkan perang urat syaraf dan propaganda liar melawan sosok suci, utusan agung Tuhan, yang mengajarkan moral dan spiritualitas. Dalam konteks kasus tersebut juga seharusnya sebagai manusia harus bisa meyakini walaupun tidak mengomani dari sisi naluri jiwa intelektual mereka, bahwa Muhammad pembawa kabar gembira, rasionalitas, dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Budaya kekerasan dan cara-cara kebencian yang berkedok 'kebebasan berekpresi' ini, bukan hanya menjadikan Muhammad sebagai sasarannya, tapi terkadang juga menyerang figur-figur suci lainnya, seperti: Isa, Maryam, Musa, dan Ibrahim, baik dalam bentuk romantika, karikatur, maupun tulisan yang menyebarkan kebencian, dan terorisme kultural. Kekuasaan selalu bergandengan dengan idiologi yang bersifat provokatif dan memiliki baisis inntervensi yang kuat,
Lahirnya konsepsi kekuasaan ditinjau dari politik yang gerakkan oleh para intelektual sering menimbulkan perdebatan. Penjelasan tentang intelektual yang hijrah keberbaai ranah justru diawali dengan kesulitan untuk mengatakan siapa yang pantas dikatakan sebagai intelektual. Berbagai perbedaan pandangan muncul tentang siapa yang bisa dikatakan intelektual. Apakah intelektual itu menurut pengertian kamus atau menurut pendapat orang yang punya kepentingan dengan kata tersebut. Apakah semua sarjana lulusan perguruan tinggi bisa dikatakan intelektual ? Apakah setiap orang di antara kita yang bisa berbicara lancar dan punya ide brilian bisa dikatakan sebagai intelektual ? Ataukah kata intelektual itu cuma sebutan bagi sebagian kecil masyarakat yang merasa dirinya bisa berpikir lebih dibandingkan dengan sebagian besar lainnya ? Terlepas dari perdebatan tentang siapa yang bisa dikatakan sebagai intelektual itu, dalam tulisan ini akan dibatasi pada mereka yang berasal dari kalangan akademisi. Dalam wacana masyarakat madani yang selama ini bisa memberikan bentuk harmonisasi nilai, kaum intelektual ini sering dimasukkan ke dalam bagian masyarakat publik yang akan berhadapan dengan kekuasaan. Menurut Pramoedya, kaum intelektual bukan sekadar bagian dari nasionnya. Mereka juga nurani nasionnya karena bukan saja dalam dirinya terdapat gudang ilmu dan pengetahuan, terutama pengalaman nasionnya, juga dengan gagasan yang terbaik untuk dikembangkan.
Potret Auguste Comte, Sejak awal masehi hingga abad 19, Eropa dapat dikatakan menjadi pusat tumbuhnya peradaban dunia, Para ilmuwan itu kemudian berupaya membangun suatu teori sosial berdasarkan ciri-ciri hakiki masyarakat pada tiap tahap peradaban manusia. Comte menyebutkan ada tiga tahap perkembangan intelektual, yang merupakan dari tahap sebelumya. Tiga tahapan itu adalah : Tahap teologis; adalah tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia. Tahap metafisis; pada tahap ini manusia menganggap bahwa didalam setiap gejala terdapat kekuatan tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Oleh karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita terkait pada suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam. Tahap positif; adalah tahap dimana manusia mulai berpikir secara ilmiah. Rintisan Comte tersebut disambut hangat oleh masyarakat luas, tampak dari tampilnya sejumlah ilmuwan besar di bidang sosiologi antara lain Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, Ferdinand Tönnies, Georg Simmel, Max Weber, dan Pitirim Sorokin (semuanya berasal dari Eropa). Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam pendekatan untuk mempelajari masyarakat yang amat berguna untuk perubahan sosial dan perkembangan atau konstruksi sosiologi. Herbert Spencer memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang memahami masyarakat seperti tubuh manusia, sebagai suatu organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang tergantung satu sama lain. Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yang menganggap konflik antar-kelas sosial menjadi intisari perubahan dan perkembangan masyarakat. Emile Durkheim memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yang berupaya menelusuri fungsi berbagai elemen sosial sebagai pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial. Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman), yang berupaya menelusuri nilai, kepercayaan, tujuan, dan sikap yang menjadi penuntun perilaku manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar