Gelorakan Pemikiran

Minggu, 26 September 2010

Liberalisme Tanpa Liberasi

Islam Liberal dimaksudkan sebagai upaya mengartikulasikan Islam yang kritis, progresif dan dinamis; yakni yang menjunjung nilai-nilai keterbukaan, pluralisme, toleransi dan sikap inklusif. Islam Liberal juga menggarisbawahi pentingnya rasionalitas dan fleksibilitas teologis yang terkandung dalam konsep ijtihad. Karena itu, pendukung JIL didorong untuk otonom dalam melakukan interpretasi, dan tidak tergantung pada siapapun untuk menetapkan mana yang baik dari masa lalu dan mana yang semestinya ditinggalkan karena tak sesuai lagi dengan kondisi masa kini. Para sarjana Islam klasik juga harus dipandang secara sangat kritis. Bagi JIL, ijtihad adalah penafsiran kreatif atas Islam yang amat krusial untuk menjadikan Islam tetap relevan dalam ruang dan waktu. Ijtihad yang bagi JIL dipandang esensial mendorong kelompok ini terus berupaya agar Islam tetap menjadi agama yang relevan bagi dunia modern-kontemporer. Seperti halnya kalangan modernis, kaum liberal juga mendukung kecocokan antara Islam dan demokrasi, harmoni antar-agama, hak-hak kelompok minoritas etnis dan agama, pentingnya sekularisme bagi masyarakat Muslim, serta promosi hak asasi manusia. Konsekuensinya, seseorang yang mengaku liberal dituntut untuk senantiasa mencari kesesuaian antara nilai-nilai modern dan nilai-nilai keislaman. Kaum liberal, karenanya, dalam hal ini sama dengan kaum modernis. Gerakan Islam Liberal, mengutip pendapat Kurzman tampaknya bukan sekadar modern dalam pengertian mencomot begitu saja nilai-nilai modern, namun juga modernis dalam arti mendukung modernitas. Pendapat ini didukung oleh genealogi gerakan tersebut. Meski beberapa di antara mereka menyatakan berutang pada kaum rasionalis dan gerakan teologi liberal Mu’tazilah abad ke-8, banyak pula yang menganggap bahwa benih gerakan ini ditemukan dalam pemikiran intelektual Muslim seperti Muhammad Abduh, Rashid Ridha, Hasan al-Banna, dan juga Sayyid Qutb. Menariknya, banyak pendukung gerakan radikal dan literal Islam yang merupakan “musuh” Islam Liberal, juga merasa berutang secara intelektual dan menemukan akar gerakan mereka kepada tokoh-tokoh yang sama. Oleh karena itu bisa dikatakan – meskipun memang bisa diperdebatkan – bahwa pembagian liberal dan literal hanya superfisial dan performatif. Sebagai contoh, baik kaum liberal maupun literal, tampaknya memiliki pendekatan serupa terhadap teks [sakral]. Keduanya sama-sama setuju bahwa teks dapat dipahami hanya dengan akal. Keduanya pun sepakat bahwa pintu ijtihad harus selalu dibuka dan bahwa semua orang boleh melakukan ijtihad dan, dengan demikian fatwa bisa saja dikeluarkan oleh siapa saja. Kemerdekaan dari kungkungan otoritas tradisi serta kebebasan untuk melakukan penafsiran merupakan prinsip yang sama-sama dipegang teguh baik oleh kaum literal maupun liberal. Kalau boleh disimpulkan secara kasar, maka baik kaum liberal maupun literal sama-sama tekstual dan sama-sama kontekstual. Keduanya adalah anak kandung modernitas dengan bias logosentrisme yang masing-masing mengandung bibit-bibit fundamentalismenya tersendiri. Lebih jauh, meski kalangan intelektual JIL ingin menghapus kesan bahwa liberalisme yang mereka suarakan melekat dengan liberalisme Barat, banyak dari program politik mereka yang mau tidak mau bersinggungan dengan agenda politik liberal Barat. Pada awal kelahirannya Islam Liberal menyatakan bahwa apa yang secara umum disebut sebagai hak politik merupakan suatu anathema terhadap Islam Liberal. Agenda-agenda liberal dan progresif JIL dirancang sedemikian hingga menyerupai gerakan progresif kaum kiri – sesuatu yang umumnya dipahami sebagai liberal progresif dalam taksonomi politik Amerika. Menurut Luthfi Assyaukani, jika dalam pemikiran Barat liberalisme selalu diidentikkan dengan kanan, dalam wacana pemikiran Islam Indonesia, “Islam liberal” lebih dekat dengan gerakan kiri. Namun perlahan tapi pasti kebijakan politik JIL mengalami transformasi, hingga bergeser ke arah sebaliknya. Penekanan pada hak-hak liberal (sipil dan politik) telah menjadikan Islam Liberal kurang peduli terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Ini adalah perbedaan yang sangat nyata dengan gerakan progresif “liberal” lainnya yang dijumpai dalam Kristen, yakni gerakan teologi pembebasan. Teologi pembebasan mempertimbangkan dengan cermat berbagai perspektif mengenai proses pemiskinan serta ketertindasan. Ini, pada gilirannya, memberikan mereka kekuatan untuk menyuarakan perspektif yang berseberangan dari yang dimiliki penguasa dan orang-orang kaya, yang karena pengaruhnya menyebabkan suara mereka tidak hanya diterima tapi bahkan dianggap normal. Sebaliknya, gerakan Muslim liberal di Indonesia tampaknya tidak peka terhadap penderitaan yang dialami masyarakat miskin dan terpinggirkan. Kemajuan politis yang dicapai tidak diterjemahkan menjadi perbaikan politik yang menguntungkan kaum miskin.Kata “liberal” dalam frasa Islam Liberal kelihatannya menandai melemahnya kekuatan liberasi agama atau pendekatan hermeneutik yang membawa kabar baik bagi kalangan marginal, dan sebaliknya lebih memperkuat penyesuaian politis terhadap kemapanan. Politik diraih dengan mengorbankan etika dan hak. Implikasi politik dari gerakan Muslim Liberal Indonesia bergaung semakin keras dan mengundang polemik tajam ketika sejumlah pendukung utama Islam Liberal membubuhkan tanda tangan mereka dalam sebuah iklan yang mendukung kebijakan pemerintah mengurangi subsidi bahan bakar minyak pada bulan Februari 2005. Naiknya harga BBM adalah salah satu keputusan politik paling sensitif yang dibuat oleh pemerintah Indonesia. Pemotongan subsidi dipastikan akan meningkatkan biaya hidup jutaan rakyat yang selama ini telah mengalami pemiskinan, hingga bahkan skema kompensasi yang ditawarkan sebagai penggantinya tidak akan banyak membantu. Banyak ekonom nasionalis serta aktivis kemanusiaan menilai naiknya harga BBM yang diikuti oleh beragam dampak pengurangan subsidi dipicu oleh pendukung kebijakan ekonomi neo-liberal yang memang mengehendaki pemerintah memotong berbagai subsidi. Akibatnya kemampuan Indonesia untuk mengeksploitasi dan mengolah sendiri minyaknya menjadi hancur. Industri lainnya di Indonesia pun tidak lagi akan mendapatkan proteksi di pasar internasional. Dalam hal ini pemerintah tampaknya sedang membuat perjanjian Faustian dengan IMF, dengan menjual kemandirian bangsa secara amat murah dan membuat rakyat miskin semakin menderita. Dengan memberikan dukungan moral dan politik terhadap kebijakan semacam itu, JIL sebenarnya tengah secara sukarela masuk ke dalam perangkap neo-liberalisme. Maka sebenarnya yang sedang terjadi adalah transfigurasi gerakan liberal menjadi neo-liberal; atau dari gerakan budaya kepada gerakan politik. Akibatnya jelas: Islam Liberal di Indonesia harus menghadapi kecurigaan dari gerakan pro-demokrasi, terkucil dari perhatian masyarakat, dan semakin tidak relevan. Gagasan bahwa Islam secara tradisional mendominasi ruang publik masyarakat Muslim, juga berarti bahwa Islam sekaligus menjadi subjek dan objek wacana. Islam seringkali dipilih sebagai medan pertempuran persaingan politik dari berbagai kepentingan yang memakai selimut simbol-simbol Islam. Tidak ada elemen, atau aktor, di ruang publik negara-negara Muslim yang bebas dari aplikasi dan persaingan simbolisme keagamaan. Sejak sebelum kelahirannya, Jaringan Islam Liberal telah dimanja oleh berbagai perusahaan dan teknologi media. Debat serta diskusi seputar Islam liberal disebarkan ke masyarakat luas melalui berbagai artikel dan polemik yang dimuat oleh berbagai media berpengaruh seperti Kompas, Tempo atau Jawa Pos. JIL juga mengadakan kegiatan serupa melalui situs mereka di internet dan milis yang populer, serta menggelar diskusi reguler melalui bekerja sama dengan stasiun radio miliknya. Melalui ruang publik semacam itu, identitas dan gagasan masyarakat dibentuk dan diarahkan. Tapi, meski tampaknya Islam Liberal menikmati keuntungan dari penguasaan terhadap ruang publik, ada jarak yang tak terjembatani antara mereka dengan publik. Sekadar perbandingan, kalangan “Islam literal” memanfaatkan media yang tak secanggih JIL, namun mereka memakai pendekatan yang lebih intim, lebih personal, dan lebih menyentuh kesadaran. Pendekatan tersebut dipakai untuk merekrut kader-kader baru melalui keterlibatan personal yang intens. Islam Literal juga lebih menguasai mimbar masjid – suatu keahlian yang tampaknya kurang dimiliki oleh Islam Liberal. Gagasan yang diadvokasikan oleh JIL hanya cocok dikonsumsi oleh kalangan menengah-terdidik, oleh karenanya terus saja mereka menjadi elitis; sementara Islam literal lebih berhasil mendapat perhatian publik secara umum dan menerapkan pendekatan yang lebih personal serta akrab dengan kesadaran publik. (Yudi Latif Mewujud Misi Agama Publib Melampaui Pemikiran Islam liberal Sumber : http://groups.yahoo.com/group/anggotaicmi/message/4825)
Babak baru perkembangan liberalisme pemikiran adalah penghujatan terhadap Al-Qur'an. Arus sekularisasi dan liberalisasi yang kini digelindingkan, telah menemukan bentuknya yang mendekati apa yang terjadi di dunia Kristen. Gagasan liberalisasi yang ratusan tahun lalu digelindingkan di dunia Yahudi dan Kristen kini dipaksakan kepada Islam. Salah satu isu penting adalah isu otentisitas al-Quran. Kaum Liberal yang menganut paham pluralisme agama tampaknya tidak rela, kalau kaum Muslim masih saja mengklaim hanya al-Quran yang benar. Sesuai paham pluralisme agama, maka semua agama harus didudukkan pada posisi yang sejajar, sederajat, tidak boleh ada yang mengklaim lebih tinggi dan benar. Begitu juga dengan pemahaman tentang Kitab Suci, tidak boleh ada kelompok agama yang mengklaim hanya kitab sucinya saja yang suci. Proyek liberalisasi Islam tidak akan lengkap jika tidak menyentuh aspek al-Quran. Mereka berusaha keras untuk meruntuhkan keyakinan kaum Muslim, bahwa al-Quran adalah Kalamullah, bahwa al-Quran adalah satu-satunya Kitab Suci yang suci, bebas dari kesalahan. Mereka mengabaikan bukti-bukti al-Quran yang menjelaskan tentang otentisitas al-Quran, dan kekeliruan dari kitab-kitab agama lain. Jadi, mereka tidak mau mengakui al-Quran adalah satu-satunya Mukjizat yang masih tersisa di zaman akhir ini. Padahal, begitu banyak ayat al-Quran yang menjelaskan tentang otentisitas al-Quran dan tindakan kaum Yahudi dan Kristen yang telah mengubah kitab sucinya sendiri, sehingga menurut al-Quran, kitab suci mereka itu sekarang menjadi tidak suci lagi. Misalnya, Allah SWT berfirman: "Sebagian dari orang-orang Yahudi mengubah kalimat-kalimat dari tempatnya." (An Nisa: 46) Juga firman-Nya: "Maka apakah kamu ingin sekali supaya mereka beriman karena seruanmu, padahal sebagian mereka ada yang mendengar firman Allah, lalu mengubahnya sesudah mereka memahaminya, sedangkan mereka mengetahuinya." (Al Baqarah: 75) Dan firman-Nya: "Sungguh celakalah orang-orang yang menulis al-kitab dengan tangan mereka, lalu mereka katakan: "Ini adalah dari Allah." (mereka lakukan itu) untuk mencari keuntungan sedikit. Sungguh celakalah mereka karena aktivitas mereka menulis kitab-kitab (yang mereka katakan dari Allah itu), dan sungguh celakalah mereka akibat tindakan mereka. (Al Baqarah: 79) Itulah penjelasan al-Quran tentang kitab-kitab kaum Yahudi dan Kristen. Semestinya, sebagai orang yang mengaku Muslim, tentu ayat-ayat al-Quran itu menjadi pegangan hidup dan pedoman berpikirnya. Sebab, al-Quran adalah landasan utama keimanan seorang Muslim. Jika tidak mau mengakui kebenaran al-Quran, untuk apa mengaku Muslim. Konsistensi berpikir semacam ini sangat penting, sehingga tidak memunculkan kerancuan dan ketidakjujuran dalam beragama. Fenomena menghujat al-Quran seperti dilakukan oleh para sarjana dari kalangan Muslim semacam ini adalah fenomena baru dalam sejarah Islam Indonesia. Selama 350 tahun dijajah Belanda, fenomena semacam ini tidak pernah ada. Hal semacam ini sudah begitu lumrah dalam tradisi Kristen. Kritik terhadap Bibel sudah menjadi hal biasa. Mereka sudah mengembangkan satu bidang ilmu yang dikenal dengan nama "Biblical Criticism". Tradisi Kristen semacam ini sekarang dibawa masuk ke dalam tradisi Islam oleh orang-orang dari kalangan Muslim sendiri, yang terpengaruh oleh tradisi Kristen. Jika kita simak sebuah buku berjudul "Penafsiran Alkitab dalam Gereja: Komisi Kitab Suci Kepausan" (Yogyakarta: Kanisius, 2003), tampak bagaimana pengaruh studi Bibel telah merasuk ke dalam studi al-Quran di perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia. Para penyerang al-Quran sebenarnya hanya menjiplak ide-ide dan bukti-bukti yang disodorkan oleh para orientalis Yahudi dan Kristen. Bisa jadi, mereka juga mengambil fakta-fakta yang telah ditulis oleh para ulama Muslim. Tetapi, dianalisis dalam perspektif sesuai kepentingan orientalis. Jauh sebelumnya, pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Iraq dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris, sudah mengimbau bahwa "sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani. Imbauan pendeta Kristen dan tokoh studi Islam itulah yang kini diikuti oleh begitu banyak sarjana dari kalangan Muslim. Fenomena penyerangan terhadap al-Quran ini harusnya menjadi perhatian paling serius oleh para ulama dan cendekiawan Muslim. (Jakarta, 29 April 2005/www.hidayatullah.com).

Didukung dana yang melimpah, diramaikan oleh para tokoh, ditambah dengan pemahaman yang memang sesuai dengan selera hawa nafsu, gerakan Islam Liberal makin mulus melenggang. Meski mereka mengatasnamakan Islam, terbukti orang luar yang justru menangguk untung. Mereka telah berjasa besar menggolkan program misionaris kristen. Bagaimana alurnya? Perseteruan antara haq dan bathil, permusuhan Iblis beserta antek-anteknya terhadap orang-orang yang mentauhidkan Allah telah berlangsung sejak Iblis menolak bersujud kepada Adam. Namun rupanya, Islam liberal bersikeras mendamaikannya. Mereka tidak membedakan antara pasukan iblis dan pasukan Allah. Seperti yang dikatakan Ulil pengerek bendera JIL: "Setiap doktrin yang hendak membangun tembok antara 'kami' dengan 'mereka', antara hizbullah (golongan Allah) dan hizbusy syaithan (golongan setan) adalah penyakit sosial yang akan menghancurkan nilai dasar Islam itu sendiri, nilai tentang kesederajatan umat manusia, nilai tentang manusia sebagai warga dunia." Dengan statemen tersebut sepertinya Ulil ingin menganulir firman Allah yang membagi manusia menjadi dua golongan, hizbullah dan hizbusy syaithan. "Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya hizbullah (pengikut agama Allah) itulah yang pasti menang." (al-Maidah: 56) Dan firman-Nya: "Setan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah hizbusy syaithan (golongan setan). Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan setan itulah golongan yang merugi." (al-Mujadalah: 19) Bagi Islam liberal, semua manusia sama, tidak ada mukmin dan tidak ada kafir. Tidak ada manusia taat dan tidak ada pula manusia bejat. Ketika tapal batas antara haq dan bathil telah dirusak, segalanya dianggap sebagai kebenaran. Pada titik ini Islam liberal telah berpartisipasi mengangkat partai-partai sesat kepada kedudukan mulia yang sejajar dengan agama tauhid. Sifat antipati terhadap kesesatan pun sirna sudah, karena penganutnya juga manusia yang pantas dimanusiakan. Paham ini jelas bertolak belakang dengan agama tauhid yang memerintahkan beribadah kepada Allah sekaligus mengkufuri thaghut. Bahkan Islam meletakkan wala' dan bara' (cinta dan benci) karena agama sebagai 'autsaqu 'ural iman', ikatan iman yang paling kuat. Kompilasi ke CHM: pakdenono 2006 : www.pakdenono.com Sebagaimana hadits Nabi: "Sesungguhnya ikatan iman yang paling kuat adalah engkau mencintai karena Allah dan benci karena Allah." (HR Ahmad) Islam liberal yang menganut paham pluralisme, mengakui semua agama benar dan semua agama sama. Tak ada perbedaan antara Islam dengan Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Konghucu ataupun yang lain, yang berbeda hanyalah bajunya. Demikian menurut Ulil ketika gerah dengan penganut Islam Fundamentalis (baca: Islam asli bukan liberal): "Amat konyol umat manusia bertikai karena perbedaan baju yang dipakai, sementara mereka lupa inti memakai baju adalah menjaga martabat manusia sebagai makhluk berbudaya. Semua agama adalah baju, sarana, wasilah, alat untuk menuju tujuan pokok: penyerahan diri kepada yang maha benar." Nampaknya penyakit rabun pikiran yang diderita Ulil dan konco-konconya sudah demikian kronis, mereka menyamakan antara Allah dengan Isa, Sang Budha, atau Bethara Guru, Roro Kidul, Dewa Siwa dan sesembahan yang lain, mereka tak lagi mengenal terminologi syirik dan musyrik, kata yang memadati Al-Qur'an yang katanya masih menjadi kitab suci mereka. Mereka juga menutup mata terhadap sunnah Nabinya yang bersabda: "Demi yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tiada seorangpun yang mendengar seruanku dari umat ini, baik dia Yahudi ataupun Nasrani, kemudian dia mati dalam keadaan tidak mengimani apa yang aku bawa dengannya kecuali pastilah dia menjadi penghuni neraka." (HR Muslim) Seruan Nabi adalah seruan untuk Islam.
Ahli kitab belum dianggap beriman sebelum masuk Islam. Oleh karena itulah ketika Mu'adz diutus Nabi ke Yaman beliau bersabda: "Kamu akan mendatangi ahli kitab, maka pertama kali yang kamu serukan kepada mereka adalah syahadat bahwa tidak ada ilah yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah." (HR Muslim), kalaulah mereka telah dianggap beriman oleh Nabi tentulah Nabi tidak memesankan hal itu. Dampak selanjutnya, ketika kedua agama tersebut dianggap sama, tidak ada beda selain tata cara dan bajunya, maka umat yang 'sendiko dawuh" (taat) dengan himbauan pluralis tersebut tak lagi memiliki ghirah (kecemburuan) dalam beragama. Baginya tidak ada yang istimewa pada Islam bila dibandingkan dengan Kristen, tak ada kelebihannya seorang Muslim dibandingkan dengan penganut Kristen, karena semua agama sama. Pada saat yang bersamaan, secara finansial para misionaris Kristen lebih menjanjikan keuntungan seperti yang menjadi misi unggulan mereka. Terutama di daerah-daerah yang masih dibilang miskin. Logika manusia normal, ketika harus memilih antara dua agama yang sama-sama dianggap benar tentunya variabel lain yang dijadikan alat timbang adalah keuntungan materi. Maka dengan ringan mereka mau melepas baju Islamnya untuk mendapatkan materi dengan bergabung dengan jema'at Kristen, toh tak ada nilai lebih Islam sehingga harus dipertahankan dengan menanggung lapar dan kemiskinan. Di sinilah kontribusi Jaringan Islam Liberal terhadap Misinonaris Kristen terbukti. Lebih jauh lagi, andil Islam Liberal untuk memperbanyak kuota golongan murtadin nampak jelas ketika dalam banyak kesempatan para kampiun Islam liberal mempromosikan perbandingan antara Islam dan Kristen. Masih dalam kerangka globalnya, pluralisme agama. Ini adalah langkah yang mulus bagi mereka, mengingat ada hubungan historis antara keduanya dan keduanya menempati rangking pertama dan kedua secara kuantitas di Indonesia. Ayat-ayat yang muhtamal (memungkinkan beberapa makna) sengaja ditampilkan dengan versi mereka, sedangkan ayat-ayat yang telah 'qath'i dilalah'nya (telah pasti arti yang dimaksud di dalamnya) disembunyikan dan diselewengkan. Seperti ayat-ayat yang menyebutkan secara gamblang kekafiran ahli kitab dan orang musyrik. Kompilasi ke CHM: pakdenono 2006 : wewewepakdenonodotkom Bahkan para tokoh liberal bersikap diametral dengan para kristolog muslim yang memiliki kebiasaan mencari bukti kebenaran Islam dalam injil. Yang mereka lakukan justru mengais bukti kebenaran Kristen di dalam Al-Qur'an. Secara psikologis, para misionaris dan penginjil merasa tersanjung dan terbantu misinya, karena tokoh yang berbicara memakai baju Islam, apalagi dianggap sebagai cendikiawan (padahal cendawan?). Sumbangan berharga lain yang dipersembahkan Islam Liberal untuk misionaris adalah wacana halalnya menikah beda agama. Seorang muslimah halal dinikah laki-laki-laki kristen. Seperti yang dikemukakan oleh Dr. Zainun Kamal, tokoh liberal yang dipromosikan oleh Ulil. Mereka tak peduli harus menabrak ayat: "Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka." (al Mumtahanah: 10) Padahal kita tahu bahwa posisi suami sangat strategis untuk mempengaruhi keyakinan istri. Jelas dia memang posisi, bisa menekan dan bahkan mengancam. Taruhlah ketika pernikahan muslimah itu masih eksis, namun ketika hamil apa yang bisa dilakukan ketika sang suami yang Kristen mengancam hendak menceraikannya jika tidak mau masuk Kristen? Bayang-bayang anak lahir tanpa bapak tentunya lebih dominan di benak istri, apalagi secara psikologis seringkali kaum wanita mengedapankan rasa atau emosi daripada ilmu. Kitapun tahu, sebelum statemen Zainun muncul telah santer berita bahwa strategi misionaris untuk mengkristenkan muslimah adalah dengan mendekatinya dan menjadi pacarnya. Tidak sedikit di antara mereka yang dihamili lalu si laki-laki mau bertanggung jawab dengan syarat muslimah menukar agamanya. Di saat para ulama dan pemerhati umat Islam mengkhawatirkan bahaya tersebut, justru Islam Liberal memberi angin segar kepada misionaris untuk memuluskan misinya. Melihat banyaknya aksi menggemaskan dari kaum liberal tersebut wajar jika kita pasang kuda-kuda, jangan-jangan mereka adalah musuh yang menyusup untuk merusak Islam dari dalam. Mengingat cara itu lebih efektif daripada mereka berbicara tentang Islam di luar ring Islam. Dengan tetap menyandang baju Islam mereka mempolitisir ayat, mengebiri sunnah dengan dalih 'ijtihad', dengan alasan 'kebebasan menafsirkan'. Berbeda halnya jika mereka memakai baju lain seperti Kristen misalnya -tentunya mereka juga tidak keberatan menyandangnya lantaran semua agama sama dalam pandangan mereka-, tentulah sudah babak belur sejak dahulu karena dianggap mengobok-obok pekarangan tetangga. ”Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci." (At-Taubah:32).

Apakah kaum liberal, seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), mempunyai ushul fiqih? Pertanyaan ini harus dijawab dulu. Jangan-jangan setelah capek-capek mengkritik secara serius, ternyata mereka tidak memilikinya. Ini sama saja dengan memasak pepesan kosong. Untuk itu, patut diketahui dulu pengertian ushul fikih serta apa saja yang menjadi cakupan studi ushul fikih. Menurut ulama ushul fikih mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, ushul fikih adalah kaidah-kaidah (qawâ’id) yang dapat mengantarkan pada penggalian (istinbâth) hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci (asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 3; Wahbah az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, jld. I, hlm. 23-24). Sedangkan menurut ulama mazhab Syafii, ushul fikih adalah pengetahuan mengenai dalil-dalil fikih yang bersifat global, tatacara pengambilan hukum dari dalil-dalil itu, serta keadaan orang yang mengambil hukum (al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, jld. I, hlm. 10). Dari berbagai definisi itu, topik (mawdhû’) ushul fikih menurut Muhammad Husain Abdullah (Abdullah, Al-Wadhîh fî Ushûl al-Fiqh, hlm. 29), meliputi 4 (empat) kajian, yaitu: (1) Kajian tentang dalil-dalil hukum yang bersifat global (al-adillah al-ijmâliyyah), misalnya al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma, Qiyas, dan seterusnya. (2) Kajian tentang hukum syariat (al-hukm asy-syar’î) dan hal-hal yang terkait dengannya, seperti definisi hukum syariat dan macam-macamnya. (3) Kajian tentang cara memahami dalil (fahm al-dalîl) atau pengertian kata (dalâlah al-alfâzh), misalnya tentang manthûq (makna eksplisit) dan mafhûm (makna implisit). (4) Kajian tentang ijtihad dan taklid, termasuk tatacara melakukan tarjîh (analisis) untuk memilih yang terkuat dari sekian dalil yang tampak bertentangan (ta’ârudh). Nah, kalau definisi ushul fikih dan cakupan kajiannya itu diterapkan pada ide-ide ushul fikih kaum liberal, apakah mereka memang punya ushul fikih sendiri? Seorang pakar dan kritikus ide liberal, Dr. Busthami Muhammad Said, menyimpulkan, ijtihad dalam ushul fikih di kalangan kaum liberal—mulai dari Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, Thaha Husain, dan lainnya— tidak lebih dari sekadar teori belaka, tanpa kenyataan (Said, Mafhûm Tajdîd ad-Dîn (terj.), hlm. 268). Jadi, kaum liberal sebenarnya tidak mempunyai ushul fikih, dalam definisi yang sesungguhnya. Karya mereka tidak pernah menerangkan dengan jelas, apa sebenarnya dalil syariat (sumber hukum) itu. Buktinya, perilaku pejabat yang suka menghadiri perayaan hari raya non-Islam dijadikan dalil bagi bolehnya merayakan hari raya agama selain Islam (Madjid dkk., 2004: 85-88). Mereka juga tidak pernah menerangkan dengan tuntas, bagaimana metode penggalian hukum dari dalilnya, selain mengklaim bahwa metodenya adalah hermeneutika (Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, hlm. 35). Padahal metode ini aslinya adalah untuk menafsirkan Bible (Perjanjian Lama dan Baru); tentu tidak cocok untuk menafsirkan al-Qur’an, karena Bible dan al-Qur’an sangat jauh berbeda, seperti bumi dan langit. Tidak aneh jika Norman Daniel (Daniel, Islam and The West: The Making of an Image, hlm. 53) menegaskan, “The Quran has no parallel outside Islam (Al-Qur’an tidak mempunyai kesejajaran dengan [kitab lainnya] di luar Islam).” (Adian Husaini, “Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal”, www.insistnet.com). Walhasil, ushul fikih kaum liberal sangat diragukan eksistensinya. Akan tetapi, barangkali ada yang bertanya, bukankah mereka kadang menyampaikan gagasan seputar ushul fikih? Hasan at-Turabi, misalnya, dikenal menyerukan pembaruan (tajdîd) di bidang ushul fikih (At-Turabi, Fiqih Demokratis, Bandung: Mizan, 2003). Jauh sebelum itu, pada 70-an, Jamaluddin Athiyah dalam Majalah Al-Muslim al-Mu’âshir edisi Nopember 1974, juga Ahmad Kamal Abul Majid, tokoh liberal lainnya, dalam majalah Al-‘Arabi edisi Mei 1977, telah mengajak umat Islam untuk berijtihad dalam ushul fikih, bukan hanya dalam fikh (Said, 1995: 266). Kaum liberal Indonesia pun kadang menggembar-gemborkan ushul fikih baru. Nurcholish Madjid dkk, misalnya, pernah mengklaim mengikuti metode ushul fiqih Imam asy-Syatibi dalam kitabnya, Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm, ketika menggagas bukunya yang gagal, Fiqih Lintas Agama (2004). Abdul Moqsith Ghazali (aktivis JIL) mencetuskan beberapa kaidah ushul fikih ‘baru’, semisal: (1) Al-‘Ibrah bi al-maqâshid lâ bi al-alfâzh (Yang menjadi patokan hukum adalah maksud/tujuan syariat, bukan ungkapannya [dalam teks]); (2) Jawâz naskh nushûsh bi al-mashlahah (Boleh menghapus nash dengan maslahat); (3) Tanqîh nushûsh bi ‘aql al-mujtama’ (Boleh mengoreksi teks dengan akal [pendapat] publik) (www.islamlib.com, publikasi 24/12/2003).

Mengapa ushul fikih mereka palsu ? Sebab, paradigmanya bukan Islam, melainkan sekularisme, yang menjadi pangkal peradaban Barat; peradaban kaum penjajah. Ini tampak dalam upaya mereka menjadikan ushul fikih tunduk di bawah nilai-nilai peradaban Barat. Jadi, secara sengaja, ushul fikih diletakkan sebagai subordinat dari peradaban Barat yang sekular. Karenanya, tidak aneh, Hasan at-Turabi menyerukan fikih demokratis, sebagai hasil dari adaptasi ushul fikih dengan nilai-nilai demokrasi. Abdul Moqsith Ghazali juga begitu. Kaidah baru yang diusulkannya, seperti tanqîh nushûsh bi ‘aql al-mujtama’ (Boleh mengoreksi nash dengan akal [pendapat] publik), tidak lain berarti bahwa demokrasi (suara publik), harus menjadi standar bagi teks-teks ajaran Islam. Kalau suatu ayat atau hadis cocok dengan selera publik (baca: demokrasi), bolehlah diamalkan, tetapi kalau tidak cocok, bisa dibuang ke selokan. Paradigma sekular ini memiliki akar sejarah panjang, bermula dari kondisi umat Islam yang memuncak kemundurannya pada abad ke-18 M lalu. Karena sangat mundur, Khilafah Utsmaniyah dan umat Islam saat itu mendapat julukan The Sick Man of Europe. Di sisi lain, Barat mengalami kebangkitan dengan sekularismenya. Nah, untuk mengobati ‘si sakit’ itu, lalu muncul 2 (dua) macam upaya ‘penyembuhan’ dengan dua paradigma yang sangat berbeda: Pertama, paradigma sekular, yaitu mengambil ‘obat’ dari peradaban Barat yang sekular. Itulah yang dilakukan oleh mereka yang disebut dengan kaum modernis atau kaum liberal, seperti Sayyid Ahmad Khan, Ameer Ali, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, dan sebagainya (Busthami M. Said, 1995: 127-161). Mereka berpendapat, umat Islam akan bangkit dan sehat kembali jika meminum ‘obat’ peradaban Barat dan mengikuti nilai-nilainya, seperti sekularisme, liberalisme, demokrasi, dan nasionalisme (Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir, 2004: 19). Ajaran-ajaran Islam harus ditundukkan dan disesuaikan dengan nilai-nilai peradaban Barat (William Montgomery Watt, 1997: 147-256). Kedua, paradigma Islam, yaitu mengambil ‘obat’ dari peradaban Islam. Itulah yang dilakukan oleh para aktivis kebangkitan dan revivalis Islam, seperti Hasan al-Banna, Abul A’la al-Maududi, Taqiyuddin an-Nabhani, Sayyid Quthb, Baqir ash-Shadr, dan sebagainya (Hafizh M. al-Jabari, Gerakan Kebangkitan Islam, 1996: 115). Menurut mereka, kebangkitan umat Islam berarti kembali secara murni pada ideologi Islam, serta lepas dari ideologi Barat yang kufur. Dari pemetaan ini, tampak bahwa paradigma kaum liberal adalah paradigma sekular tersebut. Tujuannya sangat jelas, yaitu bagaimana agar Islam dapat diubah, diedit, dikoreksi, dan diadaptasikan agar tunduk di bawah hegemoni peradaban Barat sekular. Sekularisme dan ide-ide Barat lainnya seperti demokrasi, HAM, pluralisme, dan jender, dianggap mutlak benar dan dijadikan standar; tidak boleh diubah. Justru Islamlah yang harus diubah dan dihancurkan. Kompilasi ke CHM: pakdenono 2006 : www.pakdenono.com
Modus kaum liberal dikemas dengan berbagai istilah yang keren dan terkesan hebat, seperti reinterpretasi, dekonstruksi, reaktualisasi, dan bahkan ijtihad. Ketua Tim Pengarusutamaan Gender Depag, Siti Musdah Mulia, tanpa malu berani mengklaim bahwa draft CLD KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam) adalah hasil ijtihad (Tempo, 7/11/ 2004, hlm. 47). Padahal draft tersebut—konon menggunakan ushul fikih alternatif—telah melahirkan sejumlah pasal yang justru bertentangan dengan Islam; misalnya mengharamkan poligami (pasal 3 ayat 2), menyamakan bagian waris pria dan wanita (pasal 8 ayat 3), menghalalkan perkawinan dalam jangka waktu tertentu (pasal 28), menghalalkan perkawinan antaragama secara bebas (pasal 54), dan sebagainya. Ini semua terjadi karena para penyusun CLD KHI telah menundukkan ushul fikih di bawah nilai-nilai peradaban Barat, yaitu konsep jender, pluralisme, HAM, dan demokrasi. Mengapa semua itu terjadi ? Karena ushul fikih kaum liberal adalah ushul fikih palsu yang didasarkan pada paradigma sekular, mengikuti kaum penjajah yang kafir. Mungkin niatnya baik, tetapi mereka pada dasarnya telah melakukan kejahatan intelektual dan penyesatan opini yang luar biasa. Fenomena ini harus dipandang dari dua sisi, sisi ideologis dan politis. Secara ideologis, kaum liberal bertujuan menundukkan Islam pada peradaban dan ideologi Barat. Ini dari perspektif ideologis. Kalau dari sisi politis, JIL dan semacamnya adalah alat politik Barat untuk mendominasi umat Islam. Sebab, faktanya kekuatan politik yang mendominasi dunia adalah Barat yang sekular, sedangkan JIL, ideologinya juga sekular. Kesamaan ideologi ini jelas akan memunculkan kesamaan visi, misi, dan agenda. Di posisi ini kaum liberal itu sebenarnya adalah agen penjajah. Sebab, penjajah selalu ingin agar umat Islam mengikuti Barat dalam segala hal. Tapi, itu sulit terjadi karena bagaimanapun merosotnya, umat Islam masih tidak mau mempraktikkan sesuatu kalau tidak mendapat pengesahan agama. Maka di sinilah, kaum liberal datang untuk membujuk umat agar mau mengikuti peradaban Barat itu, dengan memperalat agama Islam sebagai landasan pembenarannya. Itulah kerjaan kaum liberal. Masyarakat kita sekarang ini, cenderung sekular dan liberal. Maka kalau ‘habitat’-nya demikian, wajar lahir kaum liberal. Maksudnya, dalam konteks sekarang, kemunculan kelompok liberal justru banyak difasilitasi dan dipicu oleh sistem yang ada, seperti sistem politik, ekonomi, dan pendidikan. Semuanya adalah impor dari Barat sekular. Masalahnya, semua sistem itu tak akan bisa berjalan baik tanpa budaya yang sekular. yang ada dalam sistem-sistem itu baru prosedur formalnya, tanpa budaya sekularnya. Di sinilah kaum liberal lalu lahir menanamkan budaya sekular agar sistem sekular itu bisa berjalan baik. Dalam bahasa mereka, sekarang ini yang ada baru ‘demokrasi prosedural’ semisal tahapan Pemilu, belum disertai ‘demokrasi substansial’ seperti kebebasan berpendapat. Kaum liberal ingin agar sistem sekular yang ada menjadi kâffah, yaitu bukan sekular sebatas prosedur formal, tapi juga disertai budayanya. Itulah hakikat demokratisasi yang jadi tujuan mereka. Pada prinsipnya, Barat memiliki metode khas untuk menyebarkan ideologinya di negeri-negeri Islam, yaitu penjajahan; bisa militer, ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya. Setelah menjajah, mereka mengeksploitasi. Untuk masing-masing bidang penjajahan itu, Barat punya agennya sendiri-sendiri dari kalangan umat Islam yang berkhianat. Nah, kaum liberal itu adalah agen Barat di bidang budaya (tsaqâfah) yang bergerak di bidang pemikiran atau ideologi. Tujuannya adalah menghancurkan Islam di satu sisi dan memenangkan sekularisme di sisi lain. Saya kira benar. konon draft CLD KHI dibiayai The Asia Foundation sebesar Rp 6 miliar. JIL sendiri mendapat support dana The Asia Foundation sebesar Rp 14 miliar pertahun. Jadi, ada simbiose mutualisme di sini. Sebab, Barat itu ingin mensekularkan umat Islam. Lagi pula, mereka punya banyak uang hasil dari mengeksploitasi umat Islam. Tapi, saya kira, uang bukan satu-satunya motif. Ada motif lainnya, semisal motif ketenaran, motif ilmiah, dan motif spiritual. Ulil Abshar Abdalla pernah menyatakan, JIL ingin mewujudkan “sekularisme yang mantap dan spiritual yang kokoh.” Cukup menggelikan, sebab, spiritualitas macam apa yang bisa diwujudkan dalam tatanan sekularisme.
Motif utama kaum Muslim liberal itu adalah motif ideologis. Sebab, ideologi Kapitalisme sekular tampaknya memang telah merasuk ke dalam jiwa mereka. Bahkan, di situs mereka dikatakan bahwa sekularisme itu berkah bagi agama-agama, karena, katanya, sekularisme bisa meredakan berbagai ekses jika agama dan negara menyatu. Padahal setelah menjadi sekular, Barat tidak menjadi lebih baik. Setelah ada sekularisme, dunia makin mengerikan dan hancur-hancuran, karena ada imperialisme, Perang Dunia I dan II, pemboman Hiroshima dan Nagasaki, dan sekarang kebijakan unilateral AS yang arogan di Afghanistan dan Irak. Kaum liberal pura-pura tak tahu semua itu, dan karena fanatik, seenaknya berkata, “Sekularisme berkah bagi agama.” Nah, fanatisme yang ekstrem terhadap sekularisme inilah yang hendak mereka tularkan kepada generasi muda Islam. Mereka bisa digolongkan sebagai pengemban ideologi Kapitalisme, bukan pengemban ideologi Islam. Islam hanya dijadikan ‘kosmetik luar’ saja. Di bagian dalamnya adalah ideologi Barat. Jadi, segala macam pemikiran kaum liberal harus dikategorikan sebagai pemikiran bukan Islam. Sangat tidak betul kalau ada anggapan ide-ide mereka merupakan bagian dari khazanah pemikiran atau pemahaman Islam. Sebab, berbagai mazhab atau aliran dalam Islam, walau pun berbeda-beda pemahaman cabangnya, tetap sepakat akan hal-hal pokok dalam akidah dan syariat Islam. Kaum liberal seperti JIL tidak sepakat. Dalam masalah akidah, mereka mengadopsi teologi inklusif yang mengatakan semua agama benar. Apa itu masih bisa dianggap akidah Islam? Dalam hal syariat Islam, JIL secara ekstrem dan sombong mengatakan, syariat Islam itu tidak ada. Kaum liberal memang ada yang sebelumnya mempunyai pengetahuan Islam yang luas. Ilmu kalam, fikih, tasawuf, tafsir, hadis, dan macam-macam lah. Tapi, semua itu dipelajari secara dogmatis, tanpa daya pikir kritis, dan cenderung dalam bentuk hapalan. Akibatnya, hati sebenarnya tidak puas. Sebaliknya, ketika bersentuhan dengan ide Barat, mereka memikirkannya secara sadar, tahu benar berbagai argumentasinya, latar belakangnya, dan seterusnya; lalu mereka mengadopsinya secara sepenuh hati. Maka di sinilah, mereka terpeleset. Lalu terjerembab. Mereka menerima Islam bukan secara rasional, tetapi secara dogmatis. Ketika belajar Islam, proses berpikir yang cerdas tidak difungsikan. Mungkin karena literatur Islam yang mereka baca tidak cukup argumentatif. Sebaliknya, mereka menerima ideologi Barat secara sadar, melalui proses berpikir yang rasional. Menurut saya, pembelajaran Islam harus memenuhi 3 aspek. Pertama, harus rasional, maksudnya pengkajian materi ajaran Islam harus melibatkan proses berpikir bagi pengkajinya, bukan bersifat dogmatis atau doktriner. Kedua, harus ada pembenaran terhadap materi yang dikaji itu. Artinya, materi yang dikaji hendaknya menjadi keyakinan, bukan sekadar pengetahuan. Ketiga, materi yang dikaji harus praktis, bukan teoretis yang tidak ada faktanya dalam kenyataan empiris. Untuk menghadapi mereka, ada dua langkah. Pertama, melakukan pergolakan pemikiran (ash-shirâ’ al-fikrî) untuk menentang ide mereka dan menyadarkan umat. Intinya, ide mereka dalam satu masalah harus dibongkar kebobrokannya, dan di sisi lain harus dijelaskan bagaimana konsep Islam yang sahih dalam masalah itu. Kedua, melakukan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî) untuk membongkar posisi mereka sebagai antek-antek penjajah yang bertujuan untuk menghancurkan Islam dan mengokohkan sekularisme di Dunia Islam. Umat harus tahu dan sadar, kaum liberal itu bergerak untuk kepentingan penjajah, bukan demi kemaslahatan Islam. Kalau kaum liberal mengklaim mereka hendak memajukan Islam dan umat Islam, itu adalah omong-kosong dan hanya bualan saja. Dengan dua langkah itu, umat akan tahu apa dan bagaimana pemikiran kaum liberal itu, sekaligus tahu siapa-siapa mereka itu. Dengan begitu, umat bisa memblokir ide-ide mereka, dan dua langkah tadi harus ditambah satu lagi, yaitu jalur hukum (al-qadhâ). Maksudnya, jalur peradilan dalam negara. Kompilasi ke CHM: pakdenono 2006 : www.pakdenono.com

Teori Pluralisme Agama

Pluralisme muncul sarat muatan politis, yang tak lebih sebagai respons politis terhadap kondisi masyarakat Kristen Eropa akibat perlakuan dikriminatif dari gereja. Menelusuri lahirnya gagasan liberalisme dan pluralisme agama merupakan ide dan gagasan gagasan protestanistik yang kini digandrungi sebagian pemikir muslim. Proses liberalisasi sosial politik, yang menandai lahirnya tatanan dunia abad modern, semakin marak. Disusul dengan liberalisasi atau globalisasi (baca: penjajahan model baru) ekonomi. Wilayah agama pun, pada gilirannya, dipaksa harus membuka diri untuk diliberalisasikan. Sejak era reformasi gereja abad ke-15, wilayah yurisdis agama telah direduksi, dimarjinalkan, dan didomestikasikan sedemikian rupa. Hanya boleh beroperasi di sisi kehidupan manusia yang paling privat. Saat ini, agama masih dianggap tidak cukup kondusif bagi terciptanya tatanan dunia baru yang harmoni, demokratis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan HAM seperti toleransi, kebebasan, persamaan, dan pluralisme. Seakan-akan semua agama adalah musuh demokrasi, kemanusiaan, dan HAM. Oleh karenanya agama harus mendekonstruksikan diri agar, menurut bahasa kaum liberal, merdeka dan bebas dari kungkungan teks-teks dan tradisi yang jumud serta tak sesuai lagi dengan semangat zaman. Proses liberalisasi sosial politik di Barat telah melahirkan tatanan politik yang pluralistik yang dikenal dengan pluralisme politik". Liberalisasi agama harus bermuara pada terciptanya suatu tatanan sosial yang menempatkan semua agama pada posisi yang sama dan sederajat, sama benarnya dan sama relatifnya, orang menyebutnya sebagai pluralisme agama.

Tidak ada komentar: