Shaffan : Menggugah Keislaman (Kedamaian)
Yanto Sagarino DPP IMM
Berbicara wahyu, tentu juga kita akan berbicara Al Qur’an sebuah kitab sebagai narasi intelektual yang hidup sekarang ini. Al Qur’an tidaklah diartikan secara literal sebagaimana orang-orang ortodok dan selalu ada klaim kebenaran yang bersipat radikal, tidak bersipat positif yang harus di sesuaikan dengan perkembangan akal manusia. Kecuali Al Qur’an itu, kalau di cetak atas persetujuan kerajaan saudi Arabia, maka model cetakannya pun bermodel literal dari kertas hingga arti dari ayata-ayat Al Qur’an. Akan tetapi kita menafsirkan Al Qur’an tersebut melalui metode Iqra, iman, dan Amal. Namun sebelum itu penulis ingin menjelaskan kata As Syaf diatas bahwa kalimat As Syaff bagi penulis menunjukkan suatu kelompok orang yang lebih dan saling tergantung satu sama lainnya baik dia menegakkan yang benar maupun melawan kemungkaran, itu semua merupakan manifestasi dari manusia yang dikatakan rakyat (As Syaff), karena rakyat juga manusia yang mengadakan kesepakatan untuk mendirikan sebuah negara yang berbais keberimanan, kesalehan sosial dan membangun peradaban kedamaian dunia. Hal itu bukanlah sesuatu hal yang tidak logis, bahasa tersebut sangat logis karena kata As Syaff ini di ambil dari nama surat Al Qur’an yang artinya jamaah atau keleompok ataupun perkumpulan besar. Mungkin kita bertanya semua kepada apa yang saya bilang ini, sekarang ini kita bandingkan dalam sebuah proses sistem demokrasi yang selama ini di kendalikan oleh Amerika Serikat bersama ideologi kapitalisme dan bukan hanya itu saja konspirasi yang dibangun oleh peradaban barat yang mengatasnamakan rakyat. Bahasa rakyat bagi mereka sebuah doktrin yang ratusan aabad yang lalu telah digunakan baik sebagai bahasa sehari-hari maupun bahasa dunia namun penyebutannya saja berbeda di setiap Negara. Bahasa dan kalimat rakyat pun kalau kita artikan sesuatu yang mengandung kekacauan dan keributan sebuah sistem sehingga melahirkan banyak tuntutan dan oposisi misalnya. Mengapa penulis berani mengatakan seperti itu, sekarang ini kita definisikan kata rakyat dalam persfekitf bahasa Indonesia yaitu rakyat yang berasal dari kata rak sesuatu yang tersusun dengan sangat rapi. Kemudian yat adalah kebutuhan yang harus terpenuhi sebagai hak dan kewajibannya. Berarati kata rakyat ini adalah sebuah komonitas yang tersusun rapi dan sistematis untuk menuntut hak dan kewajibannya sebagai bentuk kebutuhannya. Dari pengertian ini dalam narasi politik kritis mengisyaratkan bahwa kecenderungan manusia ini yang terdapat dalam berbagai kelompok memiliki kepentingan tertentu yang sangat berbeda orientasinya. Sehigga dalam komonitas tersebut ada suatu persaingan kebutuhan yang bersipat mendesak ataupun jangka panjang yang harus terpenuhi. Tentu untuk memenuhi kebutuhan mereka ini, memiliki konsekwensi politik atas dasar kekuasaan terhadap masyarakat baik memobilisasi kekuatan melalui berbgai bentuk paham (ideologi) maupun proses rasionalisasi realitas politik. Maka dengan demikian, bahasa rakyat dan kekuasaan sangat sulit untuk mengatakan kedua-duanya kalimat itu memiliki keterpisahan kepentingan.
Padahal bukti ril dari realitas yang terjadi bahwa bahasa dan propaganda kekuasaan telah menanam benih konflik yang terkadang konflik itu bisa terselesaikan dan ada juga yang tidak. Artinya pendekatannya antara rakyat dan kekuasaan sangat berbeda, perdekatan yang dilakukan oleh rakyat adalah dengan pendekatan pragmatis—progresif. Pendekatan ini, merupakan hasil dari kajian-kajian ilmu sosial dari Eropa dan Yunani, Pendekatan ini juga sangat keliru dalam pemahaman para penganut mazhab perdamaian, mengapa karena semua teori kerakyatan yang bersipat pragmatis—revolutif hanya menjadi bagian dari eksploitasi hak manusia sebagai alat yang gila. Satu contoh penulis ingin mengilustrasikan bagaimana bahasa rakyat demokrasi dan kekuasaan yang di pelopori oleh yunani yaitu ”vox vovuly vox dei” yang artinya suara rakyat suara Tuhan. Bahasa inilah yang ditafsirkan oleh bangsa yunani untuk menenangkan hati manusia dan mencari titik ytemu antara politik kekuasaan dengan kemamuan manusia itu sendiri karena bagi para ilmuwan dari eropa dan yunani manusia hanya satu yang di cari adalah kebahagian. Namun kebahagiaan sangat kontradiktif dari yang di pahami manusia, tentu untuk meraih kebahagiaan tanpa ada realitas politik keuasaan yang bersifat menindas. Dalam bahasa inggris pun ”democraecy” yang berarti sistem kekuasaan yang mengalami kegilaan dan tidak menghargai nilai kemanusiaan. Mengapa penulis mengatakan hal seperti itu oleh karena sistem demokrasi ini mengalami kebuntuan dalam memperbaiki struktur masyarakat yang terbaik sebagai cita-cita bersama manusia yaitu menginginkan keislaman (kedamaian) yang sejatinya tanpa ada hegemoni.
Kemudian, pendekatan model negara power—demokrasi, bagi pendekatan ini sekarang mengalami kerancuan dalam berbagai hal, seperti misalnya reformasi hukum, ekonomi, kesejahteraan, pertanian, budaya dan lain sebagainya, semua dari sisitem sosial tersebut mengalamai realitas yang amoral. Ketika semua sistem ini sudah tidak bis amenghargai nilai kemnausiaan maka resiko besar dalam lapangan politik dan kekuasaan adalah konflik, pertentangan yang bersipat revolutif—negatif, kemudian pada akhirnya melahirkan anomali-anomali keuasaan tiranik. Kalau sudah tiranik esensi demikrasi mengalami kehancuran tanpa bisa berbuat keadilan yang bersipat distributif—economic. Artinya demokrasi bukanlah harapan kita untuk mencapai keislaman (kedamaian) yang baik, oleh karena sesungguhnya kita semua mengidam-idamkan sebuah sistem yang damai, menghargai segala perbedaan, berkeadilan, berkemajuan serta berjiwa ketuhanan. Sistem ini untuk menjamin sebuah nilai universal kemanusiaan tanpa ada yang membedakan diri, semua menyatu dalam sistem keislaman (Negeri yang damai), memiliki kepentingan bersama. Kepentingan bersama inilah yang dikatakan dalam teori syafrilisme adalah As Shaff yang artinya berjamaah dan barisan yang satu, sebagai kalimat dan kata pengganti bahasa rakyat. Selain itu juga untuk memudahkan As Syaff ini bekerja secara kolektif, maka sistem Negara Makkiyah (Makkiyah of state) dan sistem Negara Madaniyah (Madaniyah Of State), sebagai antitesa dari sistem negara Kapitalisme—Demokkrasi dan sistem negara Komonis—Sosialisme yang akan mengawal suatu proses masyarakat dan As Syaff ini mendapatkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan, sistem ini pula terintehrasi dalam satu paradigma yaitu Syafrilisme (kesadaran tauhid, kesadaran Iqra, kesadaran majelis, kesadaran harakah fil Islam). Untuk regulasi sistem ini selanjutnya saya akan menjelaskan lebih detail dan sistematis sesuai dengan teori syafrilisme dan paradigma kesadarannya pada bab ke VI nantinya..
Kemudian sekarang kita kembali oada pembahasan sebelumnya, karena mengapa kalimat As Syaff sanga perlu di jelaskan oleh karena agar semua orang bisa memahami maksud saya dalam menulis buku ini. Sebagaimana wahyu yang diturunkan pada Muhammad saw, Al Qur’an memiliki fungsi sebagai pedoman dan rem bagi umat manusia umumnya dan Islam khususnya. Demikian banyak bahasa pesan yang disampaikan oleh Al Quran bahkan teori apapun yang sedang ditulis maupun di fikirkan oleh manusia, terlebih dahulu Al Qur’an menjelaskan kemana manusia itu berfikir dan bagaimana masa depan manusia itu sendiri, Al Qur’an telah menrincikan pngrtian itu maksudnya. Sentralisasi fungsi Al Qur’an sebagai sebuah doktrin untuk mengarahkan umat ke jalan yang dinaungi cahaya ilahiah. Pesan yang ada didalamnya mengakomodir semua problematika eskatologis “urusan-urusan langit”, dan ritual ibadah. Tetapi, Al Qur’an memberi penerangan seputar “kesalehan sosial” (muamalah). Al Qur’an pun memiliki korelasi antara kewajiban manusia kepada penciptanya dan menjelaskan hasil ciptaan Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap ada terma dalam proposisi Al Qur’an ditujukan sebagai pesan bagi pembentukan karakter yang shaleh dan beramal sebagai bentuk manivestasi nilai Al Qur’an. Sebelumnya penulis ingin menernagakan bahwa didalam Al Qur’an telah memberi gambaran yang sangat baik tentang proses manusia itu mencapai sebuah kedamaian (keislaman) yaitu shalat dan seruan zakat. Kemudian pada bagian ini, penulis hendak mengajak untuk melihat ulang korelasi kesalehan ritual dengan kesalehan sosial melalui sebuah jendela hikmah bernama Al- Ma’un.
Al- Ma’un adalah sebuah surat Al Quran yang terdapat pada juz ke 30. Didalamnya, ia memuat pesan-pesan tentang kepedulian sosial dan mengayomi kepentingan jamaah (kolektif) sebagaimana digaungkan oleh kaum As Syaff Al Mustad’afin (Baca : Madaniyah sosialis Islam) yang hendak membebaskan mereka dari ketertindasan. Sejatinya Al Quran sudah terlebih dahulu berteriak tentang hak kaum mustad’afin yang diantaranya dipersonifikasi sebagai anak yatim dan orang miskin. Dari ayat pertamanya kita dapat melihat betapa ketidakpedulian sosial dalam Islam dianggap sebagai perilaku yang mendustakan nilai Asma—Nya (agama). Bagaimana tidak, bicara Asma (agama) berarti bicara logis yang ada di dalam komponen antara kedustaan kaum Asma (agama), para ulama, ustadz, guru, pegawai negeri, khalifatul fil siyasah (pemimpin pemerintahan), presiden, menteri kabinet, para hartawan, pengusaha, pebisnis, mahasiswa, pastur, paulus satu sampai sekian paulus, biarawati, uskup patikan, uskup roma, biksu, taoisme, dan lain sebagainya. Komponen itu semua sangat banyak yang telah mendustakan Asma—Nya (agama) mereka sendiri karena memang cara berfikir kita semua sebagai umat beragama dan khalifah di setiap negeri—dunia mu sendiri, di tengah kita semua paling banyak menjadi orang yang tidak ihklas untuk membantu anak yatim piatu, orang miskin jalanan, kaum miskin di kota-kota besar. Maka patutlah Allah menempatkan kita semua di neraka, mengapa di tempat du tempat oleh Allah di neraka, oleh karena kita semua sombong dan congkak serta tidak mau menafkahkan sebagian dari gaji bekerjanya kita semua, padahal kalau kita secara jama’ah berkomitmen untuk memberantas kemiskinan melalui menafkahkan sebagian harta kita maka di setiap negeri manapun akan makmur, sejahtera dan damai. Inilah kondisi yang diharapakan oleh teori syafrilisme. Dalam hal ini setiap perbuatan manusia memiliki konsekuensi logis yang kelak akan dihitung di akhir kehidupan ini sebagai ganjaran. Perbuatan menghardik anak yatim dan tak ambil peduli pada nasib orang miskin merupakan suatu sikap yang pengingkaran terhadap Ad- Dinul Islam (kebenaran sebuah Asma [Agama]). Secara etimologis ad-din diartikan sebagai agama, namun sebagian mufasir mengartikanya sebagai Al-Quran dan Seorang Al Lamah Kamal Faqih dalam tafsirnya menyebutkan ad Din sebagai final justice atau pengadilan (agung) terakhir. Artinya bahwa Al Quran menggambarkan ketidakpedulian ini akan ada pada tiap zaman dan menjadi tugas siapapun yang peduli pada tiap-tiap zaman itu, untuk memberi peringatan. (Okky Tirtoadhisoerjo, 2009 op.cit.).
Tidak hanya kepedulian fisik dengan memberikan bantuan material bahkan allamah mengisyaratkan kepedulian itupun harus berdasar pada perlakuan manusiawi yang penuh dengan nilai cinta dan spiritualitas[1]. Mereka yang tak peduli secara material apalagi spiritual terhadap nasib anak yatim dan orang miskin ini dimaknai sebagai orang yang tak mengimani apa yang ada dalam al quran, termasuk konsekuensi dosa yang dihitung di hari pengadilan agung, sebagai implikasinya, mereka tak memperhitungkan dosa akibat pelanggarannya terhadap apa yang ada dalam al quran. (Okky Tirtoadhisoerjo, 2009 op.cit.). Maka ketika mereka ibadahpun, itu bukan berdasar atas suatu kesadaran akan keharusan apalagi kebutuhan, tapi lebih kepada ritual rutinitas atau kebiasaan semata. Ini digambarkan sebagai kelalaian dalam beribadah, yang membuatnya celaka di hari pengadilan agung oleh karena seluruh ibadahnya tak bernilai, fa wailul lil mushallin alladzinahum an shalatihim sahun. Kemudian dalam tata pergaulan sosial, orang semacam ini digambarkan sebagai orang yang berorientasi penghargaan dunia an sih, artinya apa yang ia lakukan termasuk ibadah diharapkannya akan mendapat pengakuan publik sehingga berimplikasi pada status sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat, ini yang kemudian disebut sebagai Yura’un dalam alladinahum yura’un. Artinya bahwa yang ada hanyalah bentuk kemunafikan karena sejatinya tak ada kepedulian terlebih memberi apa yang berguna bagi orang yang membutuhkan, wayamna’una al ma’un. Sebuah hadits Nabi agaknya tepat sebagai penutup dan sekaligus mengingatkan kita guna memiliki keshalehan sosial,nabi mengatakan: “orang yang menolak untuk memberikan kebutuhan-kebutuhan tetangganya, pada hari kiamat Allah akan menolak untuk memberikan kebaikanNya dan meninggalkan orang itu sendirian, dan alangkah buruknya bagi siapapun yang Allah tinggalkan sendirian” (Nur Ats Tsaqalain, jilid 5 hal. 679). Sangat penting bagi kita semua untuk mengenal Islam dengan sebanar-benarnya pengetahuan. Bahwa Islam mengajarkan bagaimana umatnya menjadi seoarang yang memiliki kesalehan sosial. Bukan hanya teologi horor yang bicara teror-teror akhirat akibat dosa ritual dan masalah furu lain yang tak mengenyangkan. Mereka yang kelaparan, tak membebaskan kaum mustadhafin dari rantai penindasan. Islam yang harus ditampilkan dengan nyansa keislaman yang menjadi solusi bukan bagian dari masalah, maka seorang muslim harus me”Muhammad”kan dirinya agar tak hanya pandai berkhotbah, namun juga bisa membela mereka yang tertindas. (Okky Tirtoadhisoerjo, 2009 op.cit.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar