Gelorakan Pemikiran

Kamis, 28 April 2011

UNDANG – UNDANG DASAR 1945 DAN KETATANEGARAN

RUSDIANTO


Definisi Dan Konsepsi Negara Hukum Berdasarkan Ceks And Balances
Sejarah telah tertoreh dalam dekapan darah dan politik darah pula, semenjak naluri perjuangan oleh berbagai komponen rakyat, mahasiswa dan pelajar untuk menuntut segala hak dan kewajiban mereka dengan harapan agar Negara ini hadir dalam wajah keadilan dan mengedepankan nilai kemanusiaan. Ketika gerakan reformasi berhasil meruntuhkan pemerintahan orde baru tahun 1998, banyak hal yang dikemukakan oleh masyarakat terutama kalangan akademisi, berkaitan dengan gagasan untuk merubah Undang-Undang Dasar (UUD) agar mampu membangun sistem politik dan ketatanegaraan yang demokratis. Gagasan ini menjadi relevan karena selama berlakunya UUD 1945 dalam tiga periode sistem politik Indonesia hampir tidak pernah lahir sistem politik yang demokratis sehingga selalu timbul patologi social yang sangat membunuh karakter generasi bangsa dan melemahkan penyelenggaraan hukum negara, misalnya maraknya korupsi dan penjarahan di berbahai belahan Negara di dunia ini.

Secara historis negara lahir dari perkembangan suatu keluarga yang bersifat patriakal yang menempati suatu daerah, yang karena kejadian-kejadian sejarah dan persamaan nasib, kebutuhan dan lain sebagainya, maka kemudian lahirlah bangsa yang kemudian membentuk negara.8) Meskipun kemudian dalam perkembangannya negara kembali dilahirkan melalui suatu kesepakatan dalam masyarakat, seperti yang menjadi pemahaman dari Immanuel Kant yang menerima pandangan bahwa negara itu terjadi karena adanya perjanjian masyarakat. Pemahaman tersebut sesuai dengan pendapat Roelof Kranenburg bahwa “negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan atau bangsanya”. Namun demikian batasan pengertian mengenai negara tersebut masih terasa sempit manakala organisasi negara harus mulai menjalankan isi dari perjanjian masyarakatnya, dalam pengertian untuk kebutuhan tersebut negara membutuhkan apa yang disebut dengan kekuasaan berupa kedaulatan, yang oleh JJ Rousseau dinyatakan bahwa kedaulatan itu ada pada rakyat, dan kemauan umum itu menjelma menjadi perundang-undangan negara. Sejalan dengan hal tersebut Miriam Budiarjo lebih melengkapi adanya unsur kekuasaan dalam mendefinisikan negara yakni “sebagai organisasi yang dalam satu wilayah dapat melaksanakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu”,12) yang mana pengertian yang serupa juga disampaikan oleh O. Notohamidjojo bahwa negara adalah “organisasi masyarakat yang bertujuan mengatur dan memelihara masyarakat tertentu dengan kekuasaannya”.
Pada kelanjutannya memang definisi negara lebih diperdalam lagi dengan ide adanya hak azasi warga negara untuk mendapatkan perlindungan, hal mana tersirat dari pemahaman George Wilhelm Friedrich Hegel yang menyatakan, bahwa “negara adalah merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal”. Kekayaan definisi negara bertambah ketika JC. Simorangkir dan Woerjono Satropranoto memberikan batasan pengertian mengenai negara sebagai suatu “persekutuan hukum yang letaknya dalam daerah tertentu dan memiliki kekuasaan tertinggi untuk menyelenggarakan kepentingan umum dan kemakmuran bersama”. Secara khusus dapat pula dikatakan bahwa pengertian negara memiliki dua pakem penting yakni kekuasaan dan hukum, artinya bahwa negara dan alat kekuasaannya (yang disebut pemerintah) tak dibenarkan bertindak atas dasar kekuasaannya belaka, melainkan harus ditumpukan pada dasar kebenaran hukum yang telah dipositifkan; ialah undang-undang, yang pada gilirannya bertegak di atas kebenaran hukum undang-undang yang paling dasar, ialah undang-undang dasar atau apabila dipahami dari kedua sisi Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum, sehingga timbullah disini mengenai pemahaman “negara hukum”, yang secara fungsi menyelenggarakan ketertiban dan kemakmuran bagi warga negaranya.
Terkait dengan definisi negara terkhusus pada pemahaman negara hukum, konsepsi negara hukum dalam kajian teoritis dapat dibedakan dalam dua pengertian, yakni yang pertama adalah negara hukum dalam arti formal. Immanuel Kant menyatakan bahwa dalam konteks negara hukum formal peranan negara hanya sebagai penjaga ketertiban hukum dan pelindung hak dan kebebasan warga negara, tak lebih dari “nightwatcher” atau penjaga malam, negara tidak turut campur dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian tujuan negara didirikan hanya menjaga agar jangan sampai ada pelanggaran terhadap ketentraman dan kepentingan umum, seperti yang ditentukan oleh undang-undang, yakni hanya bertugas melindungi jiwa, benda, atau hak azasi warganya secara pasif, tidak campur tangan dalam bidang perekonomian atau penyelenggaraan kesejahteraan rakyat. Pengertian yang kedua adalah negara hukum dalam arti materiil, yang bertugas menjaga keamanan dalam arti kata seluas-luasnya, yaitu keamanan sosial dan menyelenggarakan kesejahteraan umum berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang benar dan adil sehingga hak-hak azasi warga negaranya benar-benar terjamin. Dalam hal ini menurut Kranenburg tujuan negara bukan hanya sekedar memelihara ketertiban hukum, melainkan juga aktif mengupayakan kesejahteraan warganya yang meliputi berbagai bidang yang luas cakupannya, sehingga selayaknya tujuan negara itu disebut secara plural; tujuan-tujuan negara, yang dalam pencapaiannya dilandasi oleh keadilan secara merata dan seimbang. Dalam pemahaman negara hukum modern, Jimly Asshiddiqie merumuskan tiga belas prinsip pokok negara hukum, yang salah satunya adalah “Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechsstaat)”, yang dalam konteks negara Republik Indonesia, negara hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara Indonesia itu.

Cukup relevan dalam pembahasan ini apabila dikutip apa yang menjadi tujuan negara Republik Indonesia dalam rangka memberikan definisi lengkap mengenai tujuan sebuah negara, dan tujuan negara Indonesia secara definitif tertuang di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang meliputi : Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; Memajukan kesejahteraan umum; Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dari beberapa definisi tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam model negara modern tujuan negara tidak saja sebagai “nightwatcher”, tetapi juga berfungsi untuk mewujudkan hak azasi warga negaranya secara utuh termasuk hak-hak ekonomi dan kebudayaannya, dalam bentuk konkritnya adalah terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan secara umum.
Ide pemikiran amandemen Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sebuah titik tolak dari dimensi reformasi yang telah berjalan sebelumnya dengan memaksimalkan peran sentral dari Undang-Undang tersebut untuk memberikan bentuk materil regulation atau mekanisme pengawasan dan pertimbangan di dalam sistem politik ketatanegaraan Indonesia. Hal ini dilakukan karena posisi politik Indonesia pasca reformasi belumlah menunjukkan kearah keteraturan bebas aktif sehingga harus di butuhkan kerangka akademis sebagai argumentasi dari regulation yang ada dalam konteks memberikan pijakan mendasar pada perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, Petisi perubahan ini sangat penting oleh karena pada dua dekade pemerintahan sebelumnya, bahwa mekanisme checks and balances mengalami keterputusan dalam proses dan system bernegara. Akibatnya terjadi pengkroposan dalam system politik yang disebabkan oleh semakin menurun dan memburuknya trust (kepercayaan) diri pemerintah baik legislative maupun eksekutif untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai pelayanan rakyat dalam memberikan kesejahteraan yang maksimal. Tahapan perubahan Undang-Undang Dasar harus diikuti dengan aspirasi dari bawah untuk memaksimalkan arah pembangunan kesejahteraan rakyat dan tercapainya kepentingan negara. Maka oleh sebab itu, dalam tahapan perubahan maupun pembentukan peraturan perundang-undangan harus ada balances antara eksekutif dan legislatif, sehingga memiliki output perubahan secara mendalam dan mampu menaunggi kepentingan rakyat. Selama beberapa puluh tahun yang lalu bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) tidaklah berasal dari kolektifitas rapat paripurna DPR. Namun RUU itu justru berasal dari eksekutif dengan naskah akademisnya yang belum baku dan masih dalam tahapan analisis. Hal ini bisa dilihat dari konstruksi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran, yang ketika masih menjadi RUU sempat ditolak pengesahannya oleh presiden karena beberapa pasal dianggap tidak mungkin dapat dilaksanakan sehingga DPR dan pemerintah perlu membahas ulang mengenai keberadaan isi dan pasal-pasal tersebut.

Cek And Balances dalam perubahan dan pembentukan UU tidak terlepas dari peran eksekutif, leislatif dan masyarakat umum yang menjadi sangat kuat di dalam sistem politik dan dapat memperkuat executive heavy (kekuasaan eksekutif yang kuat). Namun bisa saja rapat paripurna DPR menolak RUU tersebut dengan berbagai alas an rasionalitas. Pada decade sebelumnya tidak ada peluang mengajukan judicial review/constitutional review terhadap UU seperti sekarang ini. Namun sekarang ini memiliki otoritas penuh baik kelompok, individu maupun partai politik sekalipun untuk melakukan yudicial Review atas Undang-Undang dengan menyodorkan kepada lembaga yang berwewenang. Itulah sebabnya, ketika reformasi membuka pintu yang sangat luas bagi pemangku kepentingan untuk dilakukan dimensi perubahan terhadap konstitusi bangsa ini. Selain itu juga bersama dengan adanya amandemen UU tentu tidak bisa terlupakan juga adalah harus ada mekanisme checks and balances antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dalam hal hubungan antara Eksekutif dan Legislatif, maka menurut Pasal 20 ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945 hasil perubahan, dominasi presiden dalam proses legislasi digeser ke DPR. Jika dalam waktu 30 hari sejak di sahkan di DPR sebuah RUU belum ditandatangani (disahkan) oleh presiden, maka RUU tersebut sah sebagai Undang-Undang dan wajib diundangkan tanpa harus ditandatangani oleh presiden. Ketentuan ini meneguhkan kedudukan dan peranan DPR sebagai lembaga legislatif dalam membentuk undang-undang dengan otoritas penuh dan menjaga keutuhan kepentingan rakyatnya. Dengan demikian, ketentuan ini dengan jelas memindahkan titik berat kekuasaan legislasi nasional yang semula berada di tangan presiden beralih ke tangan DPR.

Kemudian hubungan antara yudikatif dan legislatif memiliki gagasan checks and balances yang diusulkan agar lembaga yudisial diberikan wewenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD. Ini pun kemudian diterima dan dituangkan di dalam Pasal 24 UUD 1945, bukan saja isinya yang di uji akan tetapi juga prosedur (uji formal). Mahkamah Konstitusi (MK) menguji undang-undang terhadap UUD sedangkan Mahkamah Agung (MA) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan yang di atasnya. Dalam kaitan dengan checks and balances itu pula diajukan gagasan perubahan terhadap sistem parlemen. Supremasi MPR yang terdiri dari tiga unsur (DPR, Utusan Daerah, dan Utusan Golongan) disusulkan perubahan menjadi parlemen sistem bikameral (dua kamar) yang terajut dalam mekanisme checks and balances dengan lembaga Negara lainnya khususnya dengan lembaga Eksekutif dan Yudikatif. Gagasan ini menghendaki agar parlemen terdiri dari lembaga perwakilan politik yakni DPR dan lembaga perwakilan territorial yakni DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Pada mulanya, kedua lembaga ini digagas dengan fungsi seperti parlemen yang memiliki DPR dan Senat yang mempunyai fungsi legislasi dan fungsi-fungsi parlemen lainnya seperti fungsi pengawasan dan fungsi anggaran.