Gelorakan Pemikiran

Kamis, 28 April 2011

PIAGAM MADINAH, HAM, DEMOKRASI DALAM UUD 1945

Salah satu perbedaan dua kutub pemahaman yang dominan tentang hubungan HAM dan UU negara. Demokrasi menganggap hubungan antara HAM dan UUD sebagai bentuk independensi yang dilakukan oleh rakyat dalam menentukan model kehidupan bermasyarakat. Hal itu beriringan dengan pengalaman pahit yang dialami Barat dalam masa renaisance, terlebih lagi dengan adanya doktrin dalam agama Kristen yang diyakini datang langsung dari Yesus yang mengatakan, “Serahkan hak kaisar pada kaisar dan hak Tuhan pada Tuhan”. Bercermin dari pengalaman pahit ketika agama (gereja) memberikan legitimasi penuh untuk raja sebagai Wakil Tuhan dalam menerapkan hukum, sehingga terjadilah masa traumatik yang menyebabkan mereka melakukan dekonstruksi doktrinal antara agama, kekuasaan (raja sebagai institusi), dan rakyat. Dalam perkembangan selanjutnya, rakyat yang terus menjadi korban dari hubungan yang tidak seimbang, melakukan penuntutan hak mereka, sehingga meletuslah beberapa gerakan rakyat, misalnya Revolusi Prancis dan penuntutan hak kemerdekaan di beberapa tempat. Masyarakat Barat akhirnya menemukan kembali suatu metode yang pernah dipraktekkan oleh masyarakat komunitas Yunani dan para filosofnya seperti Plato, Aristoteles dan lain-lain. Demokrasi dalam praktek yang dilakukan oleh penduduk Yunani dalam polis atau negara kota itu juga berbeda dalam banyak hal dengan yang dipraktekkan dibanyak belahan dunia sekarang. Praktek yang diterapkan di lapangan, misalnya dalam hal teknis, karena suatu paham juga dipengaruhi oleh kultur masyarakat, kontekss sosial, ruang dan waktu.
Doktrin prinsip HAM dalam demokrasi tentang pembagian kekuasaan, pemilihan wakil rakyat (parlemen), kesamaann di depan hukum, kekuasaan eksekutif, telah mengalami perkembangan seiring dengan praktek demokrasi dan perbaikan yang mengarah pada kesempurnaan dari prinsip demokrasi. Hubungan yang ada dalam paham demokrasi, antara penguasa dan rakyat adalah bahwa penguasa mendapat legitimasi dari rakyat (kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat) berupa pemberian mandat yang sah, dan penerima mandat tersebut haruslah dapat menjamin hak-hak yang berkenaan dengan rakyat. Kesepakatan-kesepakatan tersebut dituangkan dalam suatu perjanjian atau lazimnya kita sebut dengan konstitusi (Undang-Undang Dasar) yang tertulis. Di dunia sekarang ini hampir tidak ada sebuah negara pun yang tidak mempunyai sebuah konstitusi atau UUD. Sejarah menunjukkan bahwa kesepakatan yang ada dalam suatu komunitas masyarakat yang mengatur hubungan, hak, dan kewajiban juga pernah dipraktekkan oleh dan tercatat dalam sejarah perkembangan peradaban Islam. Komunitas masyarakat muslim yang saat itu belum kuat dan banyak, melakukan hijrah ke kota Madinah pada tahun 622 M. Di kota tersebut yang sebelumnya dikenal dengan Yatsrib, telah terdapat komunitas masyarakat yang heterogen yang terbagi dalam tiga kelompok yaitu ; Muslim , Yahudi dan Ateis.
”Nabi Muhammad memandang dan menganggap bahwa dalam kehidupan yang sangat beragam haruslah ada suatu aturan pokok tata kehidupan bersama yang menjamin keselarasan dan keharmonisan seluruh penghuni lembah tersebut (Madinah)”. Kesepakatan tertulis yang ada memuat dasar-dasar rumusan kebebasan beragama, hubungan antarkelompok, kewajiban mempertahankan kesatuan hidup, dan lain-lain. Para ahli banyak menyebutkan kesepakatan tersebut sebagai salah satu bentuk konstitusi tertulis pertama yang mengangkat masalah perjanjian kehidupan bersama. Analisis yang dapat ditarik, bahwa Nabi Muhammad telah meletakkan dasar ketatanegaraan yang sangat mengagumkan yang dibuat 14 abad yang lalu. Dapat disimpulkan, masyarakat muslim pada awal pemerintahan Muhammad selain menegaskan tentang keharusan beragama (menyeru kebaikan), juga telah meletakkan konsep pemerintahan yang itu tidak bisa lepas dari agama, karena Islam menganggap tidak ada garis yang dapat ditarik sebagai pemisah antara kehidupan beragama dengan kehidupan kenegaraan.
Banyak ahli yang memberi nama pada kesepakatan tertulis Madinah sebagai Piagam (selanjutnya penulis mengunakan kata piagam), tapi banyak juga yang menggunakan Charter, Agreement, dan Treaty. Perjuangan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia pada masa penjajahan Belanda maupun Jepang untuk membebaskan dan keiginan untuk mengatur hidupnya sendiri, tidak lepas dari peran menonjol umat Islam. Hal ini juga dibuktikan oleh para pejuang diseluruh Nusantara yang mengobarkan spirit Jihad. Proses transisi menuju kemerdekaan telah menetapkan pemuka golongan serta tokoh-tokoh Islam dalam peran yang sangat siknipikan dalam menentukan arah dan landasan sebuah negara misalnya dalam PPKI yang menghasilkan UUD 1945. Konstitusi negara Indonesia yang telah terbentuk dalam isinya ternyata memuat spirit keyakinan kepada Tuhan sama dengan isi dari Piagam Madinah, walaupun dalam Piagam Madinah, Spirit (semangat) KeTauhidan sangat menonjol. Serta proses dan latar belakang terbentuknya dokumen politik (Piagam Madinah dan UUD 1945) berawal dari kontrak sosial antargolongan yang ada (Teori Perjanjian). Sehinga sangat menarik kalau kita memperbandingkan kedua dokumen tersebut apalagi masih ada umat Islam mempermasalahkan kembalinya Piagam Jakarta dalam UUD 1945 melalui proses amandemen yang baru saja terjadi.
Pembentukan negara dan model negara yang pernah diperkenalkan oleh para ahli Barat maupun Islam sangatlah beragam. Dalam membicarakan tentang asal-usul negara dapat dikemukakan adanya beberapa teori yaitu: Teori spekulatif, yang dapat digolongkan dalam teori ini ialah ; teori perjanjian, teori teokrasi, teori kekuatan, teori daluarsa, teori organis, teori alami dan teori idealistis. Teori historis. Dinamakan teori historis dikarenakan teori tersebut dalam membicarakan perkembangan negara mengunakan alur berpikir kronologis sejarah timbulnya negara, sehingga dapat juga disebutkan sebagai teori evolusi. Teori Al-Maslahah Al-Mursalah. Dalam sejarah hukum Islam Al-Maslahat Al-Mursalah dikenal sebagai salah satu dari hasil ijtihad melalui al ra’yu (akal) manusia. Teori ini dikemukakan oleh Imam Malik atau Malik bin Anas (meninggal 759 M) dapat diterjemahkan ”untuk kepentingan umum”. Menurut imam Malik kepentingan atau kemaslahatan umum adalah salah satu dari sumber-sumber syari’ah, dengan tiga syarat yaitu; (1) kepentingan umum atau kemaslahatan umum itu bukan hal-hal yang berkenaan dengan ibadat. (2) kepentingan atau kemaslahatan umum harus selaras (in harmony with) dengan jiwa syari’ah dan tidak boleh bertentangan dengan salah satu sumber syari’ah itu sendiri dan (3) kepentingan atau kemaslahatan umum itu haruslah merupakan sesuatu yang esensial (diperlukan) dan bukan hal yang bersifat kemewahan. Hal-hal yang diperlukan atau dibutuhkan itu merupakan upaya yang berkaitan dengan lima tujuan hukum Islam sebagaimana yang dirumuskan oleh Al-Syatibi. Yaitu untuk melindungi agama, kehidupan, akal keturunan dan harta benda. S. Mahmassani mengungkapkan tiga contoh dari Al-Maslahah yaitu; (1) kewajiban membayar pajak bagi golongan hartawan untuk anggaran belanja negara (2) penyitaan barang-barang hasil curian atau hasil tindakan pidana dari seorang terhukum, dan (3) melenyapkan tawanan pihak Islam apabila mereka digunakan sebagai ”perisai” oleh pihak musuh yang non-Islam. Teori Al-Madinah Al-Fadilah yang dikemukakan oleh Al Farabi (870 M- 950 M) seorang filosop Islam yang hidup pada zaman Abbasiyah berkuasa yang juga mendapat gelar sebagai ”guru kedua” (Aristoteles mendapat gelar guru pertama). ”Kota utama adalah kota yang melalui perkumpulan yang ada di dalamnya bertujuan untuk bekerjasama dalam mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya". Al-Farabi juga menguraikan bahwa manusia tidak akan meraih kesempurnaan itu, kecuali melakukan asosiasi dalam banyak orang, yang bekerjasama, berkumpul bersama, masing-masing memasok orang-orang lain dengan Kebutuhan tertentu, sehinga, sebagai sumbangan seluruh komonitas. Demikian dari zaman ke zaman pun, ada bermacam-macam pengertian dari negara itu sendiri yang dikemukakan oleh para pakar, diantaranya; Plato mengemukakan bahwa negara ialah satu organisme (kesatuan) yang mempunyai dasar hidup sendiri. Negara layaknya manusia yang mempunyai kepala (kepala negara atau raja). Pengertian tentang negara ini didapat dalam bukunya yang berjudul “Republica” yang ditulis dalam timbal-cakap.
Aristoteles menganggap negara yang baik adalah negara hukum yang melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan (demokratis) sehingga menjamin keadilan. Bukunya “Politika” memuat tentang pandangannya tentang ketatanegaraan dan “Ethica”, buku ini memuat keadilan, kebenaran dan kebatilan, kepatutan dan hubungan antara ajaran kesusilaan dan ilmu negara. Zaman pertengahan adalah zaman dimana agama Kristen mengalami suatu masa puncak yang dalam prakteknya negara merupakan alat dari gereja, sehingga perkembangan tentang negara dan hukum menjadi sangat kurang. Agustinus pada tahun 413-426 telah menulis 22 buku yang membela agama Kristen, dengan nama De Civitate Dei (negara Tuhan). Agustinus memberikan dikotomi model pemerintahan yaitu negara Tuhan dan negara dunia (Iblis). Gereja mempunyai kedudukan yang istimewa karena ia merupakan bayang-bayang dari Tuhan atau wakil dari Civitas Dei di dunia. Perkembangan pemikiran tentang pemerintahan (negara) di dunia sebagai periode terakhir dari abad pertengahan hanya menyisakan Agustinus dengan konsepnya yang telah dinyatakan di atas, selanjutnya Eropa mengalami reposisi dalam kehidupan yang disandarkan pada doktrin dan perebutan antara kekaisaran Romawi dan Sasania sebagai dua imperium besar abad itu sampai Nabi Muhammad datang membawa visi Tuhan untuk komunitas awal muslim di Makkah dan Madinah.
Di Gua Hiro Muhammad diangkat sebagai Nabi dan utusan Tuhan pada tahun 610 M, dan setelah itu gerakan untuk merubah manusia mengantarkan mereka pada keselamatan yang rasional telah dimulai. Dakwah atau jalan untuk menyeru kepada kebaikan pada awalnya hanya populer bagi kaum muda dan para masyarakat miskin serta golongan budak. Islam yang mengajarkan tentang kesamaan hak di hadapan Tuhan dan membebaskan perempuan dalam menuntut hak atas dirinya sendiri baik dalam memilih suami maupun hak atas warisan orang tuanya yang sebelumnya dalam jaman jahiliah tidak ditetapkan, bahkan perempuan (istri) dapat diwariskan kepada anak laki-laki dari seorang ayah. “Keadilan sosial menjadi nilai kebaikan utama dalam Islam. Umat Islam diperintahkan memenuhi tugas pertama mereka membangun masyarakat (umat) yang memiliki sifat kasih sayang secara praktis, yaitu membagikan sedikit kekayaan mereka”. Tatanan masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pembentukan kesadaran pribadi karena hukum sosial yang mengatakan manusia tidak dapat hidup sendiri (zoon politicon) dan dapat membentuk kepribadiannya sendiri. Nabi Muhammad menginginkan para pengikutnya dapat membentuk pranata dan tatanan sosial yang mandiri dan otonom. Ketidakrelaan yang dicetuskan oleh para elit bangSAWan Quraisy yang khawatir akan tergesernya pengaruh dan hak-hak istimewa dalam masyarakat Makkah, telah membuat halangan dalam pembentukan masyarakat muslim yang independen dan diatur berdasarkan perintah Tuhan (syara’). Kondisi yang tidak kondusif telah membuat Nabi Muhammad mencari alternatif untuk menyelamatkan keyakinan akan janji Tuhan (iman) dengan cara migrasi (hijrah) kebeberapa daerah, sampai ada suatu perintah untuk hijrah kelembah Yatsrib (kemudian dinamakan Madinah). Dapat disimpulkan bahwa perubahan yang signifikan dari sejarah muslim dalam pembentukan tatanan masyarakat yang otonom dengan rujukan Al-qur’an dan pemerintahan yang mengatur perkara publik dan penegakan keadilan bagi orang lemah diawali dari sini.
Nabi Muhammad telah menciptakan sebuah pemerintahan yang baru, yang didirikan atas pandangan keNabiannya. Tetapi segera setelah itu pemerintahan tersebut mencapai dimensi internasional yang berjangkauan jauh. Dengan cepat ia telah menjadi kekuatan yang bersaing di Arabia bukan hanya dengan kaum Quraisy, tetapi juga dengan kekaisaran Bizantiyum dan Sasani. Dalam kenyataan bahwa Nabi Muhammad telah membuat suatu pemerintahan yang mengatur kegiatan publik secara sistematis dengan administrasi yang baik, tidak dapat dipungkiri lagi. ”Tidak ada keraguan di bawah (Nabi) Muhammad, yang telah membuat suatu lompatan ke depan yang menakjubkan dalam kecanggihan maupun politik. Ketika struktur yang mulai dibentuk di bawah Nabi kemudian dikembangkan oleh khalifah-khalifah pertama yang memberi suatu prinsip keorganisasian bagi suatu imperium dunia, hasilnya adalah sesuatu yang sama dan tempatnya sangat modern. Ia modern dalam tingkat yang tertinggi, komitmen, keterlibatan, dan partisipasi yang diharapkan dari semua susunan keanggotaan masyarakat . Ia modern dalam keterbukaan posisi kepemimpinannya terhadap kemampuan yang diuji berdasarkan alasan yang universalistik dan dikembangkan dalam usaha melembagakan suatu kepemimpinan yang tidak berdasarkan warisan.” Setelah Nabi SAW wafat dan pemerintahan beralih ke tangan para sahabat yang kemudian dikenal sebagai khulafa ’Rassyidin (632-661), yaitu Abu Bakar (632-634), Umar (634-644), Utsman (644-656), Ali (656-661), terjadilah perubahan-perubahan yang mendasar. Para khalifah bukan lagi rasul yang menerima wahyu. Yang berlaku bukan lagi perintah Tuhan melalui Rasul-Nya, tetapi pemerintahan manusia biasa. Hanya dalam menjalankan pemerintahan, para khalifah tunduk pada prinsip-prinsip dasar yang digariskan al-Quran dan Sunnah, disamping juga banyak melakukan musyawarah dengan para sahabat .
Menurut Abu A’la Al-Maududi, pemerintahan yang berjalan saat itu adalah Theo-demokrasi yang berarti Islam memberikan kedaulatan kepada rakyat, tatapi kedaulatan itu tidak mutlak karena dibatasi oleh norma-norma yang datangn dari Tuhanya dengan kata lain, kedaulatan terbatas dalam pengawasan Tuhan (a limited popular soverignty under suzairenty of God ). Beberapa teori yang penulis kemukakan lewat uraian yang sangat sederhana sekali di atas merupakan hasil pergulatan Negara atau ide tentang Negara dalam lingkaran historisitas dan tidak lupa juga dalam pergulatan normatifitas. Posisi umat Islam atau Islam di satu sisi sendiri ada di antara historisitas tersebut dalam kaitannya dengan sejarah yang tercatat dalam setiap lembaran-lembaran kehidupan manusia sejak empat belas abad yang lalu. Artinya, Islam juga turut memberikan andil dalam menciptakan tatanan dunia yang sampai sekarang ini masih kita rasakan eksistensi riilnya. Di samping itu, Islam juga ikut dalam pergulatan wacana tentang Negara ataupun pembentukan Negara itu. Para golongan Muhajirin yang datang ke Madinah dan Kaum Anshor (masyarakat Madinah yang membantu) telah membuat komposisi populitas kependudukan (demografi) Madinah menjadi berubah. Madinah sebelum Nabi Muhammad datang telah didiami oleh masyarakat Yahudi dan masyarakat yang tidak beragama (Ateis). Untuk menjamin kelangsungan para muslim yang baru Hijrah, ditambah sebagian besar mereka hanya membawa barang pribadi saja tanpa membawa harta. Sebagai langkah awal, Ia (Nabi Muhammad) “mempersaudarakan” antara muslim pendatang dengan muslim setempat. Ukhuwah Islamiah sebagai salah satu doktrin persatuan dan kemasyarakatan sebagai ikatan yang lebih kuat dari tradisi kekerabatan dalam zaman jahiliah betul-betul terbukti.
Kemudian diperluas dengan perjanjian hidup bersama dalam tatanan masyarakat yang toleran dan damai secara berdampingan di antara golongan yang ada di Madinah, baik antara golongan Islam dengan golongan Yahudi dan itu mengikat secara sah. Perjanjian itu dibuat secara formal dan tertulis, dalam naskah yang disebut sebagai Shahfah (Piagam). Tapi banyak para ahli dan ilmuwan memberi nama sebagai The Constitution of Medinah, Agreement, Treaty, dan sebagainya. Dapat dikatakan lahirnya piagam Madinah pada abad ke 7 M itu merupakan inovasi yang paling penting selama abad-abad pertengahan yang memulai suatu tradisi baru adanya perjanjian bersama antara kelompok-kelompok masyarakat untuk bernegara dengan naskah perjanjian yang dituangkan dalam bentuk yang tertulis. Piagam Madinah dapat dikatakan sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah umat manusia, meskipun dalam pengertiannya sebagai konstitusi modern yang dikenal dewasa ini, konstitusi Amerika tahun 1787-lah yang dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama. Peristiwa penandatanganan Piagam Madinah itu dicatat oleh banyak ahli sejarah sebagai perkembangan yang paling modern di zamanya. Dengan dilaksanakan perjanjian ini, Madinah dan daerah sekitarnya menjadi negara kompromistis; ibu kotanya adalah Madinah, pemimpinnya jika benar ungkapan ini adalah Rasulullah Shallallahu’alai Wassalam; dan kekuasaan yang berpengaruh di dalamnya adalah milik kaum muslim. Dengan demikian, Madinah benar-benar menjadi ibu kota bagi umat Islam. Sistematika isi dari Piagam Madinah yaitu; Pembukaan diawali dengan kalimat Bismillah al-Rahman al-Rahim, lalu pernyataan bahwa piagam ini dibuat oleh Muhammad SAW. Piagam Madinah memuat 47 pasal. Pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam Piagam Madinah antara lain; persatuan, pertahanan, persamaan mekanisme musyawarah dalam pengambilan keputusan, perdamaian, dan hak asasi manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai hak-hak mendasar pada diri manusia. Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM antara lain menyatakan bahwa pemahaman HAM bagi bangsa Indonesia adalah Hak asasi merupakan hak dasar seluruh umat manusia tanpa ada perbedaan. Mengingat hak dasar merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, maka pengertian hak asasi manusia adalah hak sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia. Setiap manusia diakui dan dihormati mempunyai hak asasi tampa membedakan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama, usia, pandangan politik, status sosial dan bahasa serta status lain. Pengabaian serta perampasanya, mengakibatkan harkat dan martabat sebagai manusia, sehingga kurang dapat mengembangkan diri dan perananya secara utuh. Bangsa Indonesia menyadari bahwa hak asasi manusia bersifat histories dan dinamis yang pelaksanaannya berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Menurut UU 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia definisi HAM diartikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Secara prinsip nilai-nilai HAM yang dikembangkan oleh dunia modern yang global dewasa ini mengacu pada konsep Barat yang berdasarkan tradisi Judeo-Cristian. Ini bermakna secara substansi konsep HAM yang ditawarkan adalah sempit dan terbatas, dengan menafikkan realitas dunia lain, terutama Dunia Ketiga. Dalam konteks inilah status universal HAM yang dikembangkan Dunia Barat saat ini dianggap tidak fair dan bahkan dicermati sebagasi upaya pelestarian dominasi Barat di dunia Internasional atau neo-impralism. Dalam perkembanganya, konsep HAM sangat bersifat lokal dan merupakan respon terhadap kondisi tertentu. Di sinilah kita menyaksikan bahwa pembentukan dan substansi hak-hak asasi tersebut cenderung berubah mengikuti dinamika sosial. Pada waktu yang sama, berbagai kemajuan dunia pengetahuan dan pembaharuan yang dilakukan terhadap institusi ekonomi dan sosial memberikan pengaruh tentang HAM itu sendiri. Secara etimologis, Hak Asasi Manusia terbentuk dari 3 kata, hak, asasi, dan manusia. Dua kata pertama, hak dan asasi berasal dari bahasa Arab, sedangkan manusia adalah kata dalam bahasa Indonesia. Kata haqq terambil dari kata haqqa, yahiqqu, haqqaan, artinya benar, nyata, pasti, tetap, dan wajib. HAM menurut Islam bukanlah hasil evolusi apapun dari pemikiran manusia, namun hasil dari Wahyu Ilahi yang telah diturunkan oleh para nabi dan rasul dari sejak awal eksestensi umat manusia di muka bumi ini. Kewajiban yang diperintahkan kepada umat manusia di bawah petunjuk Ilahi dapat dibagi dalam dua katagori, yaitu huquuquhlah dan huqquuquli-‘bad. Huquuquhlah (hak-hak Allah) adalah kewajiban-kewajiban manusia terhadap Allah SWT yang diwujudkan dalam berbagai ritual ibadah, sedangkan huqquuquli-‘bad (hak-hak manusia) merupakan kewajiban-kewajiban manusia terhadap sesamanya dan terhadap mahluk-mahluk Allah yang lain. Ada dua macam HAM jika ditinjau dari katagori huqquuquli-‘bad. Pertama, HAM yang keberadaanya dapat diselengarakan oleh suatu Negara (Islam). Kedua adalah HAM yang keberadaanya tidak secara langsung dapat dilaksanakan oleh suatu Negara. Hak-hak yang pertama dapat dikatakan sebagai hak-hak legal sedangkan yang kedua dapat dikatakan sebagai hak-hak moral. Cendikiawan Islam abad ke-20, Syed Maududi dalam ”Human Righ in Islam” menyatakan, HAM dalam Islam adalah karunia yang dianugerahkan Allah SWT kepada manusia. “HAM bukanlah suatu yang dianugerahkan oleh seorang raja ataupun lembaga legislatif yang kemudian mereka dapat menarik kembali dengan cara yang sama”. Menurut Syed Maududi, Barat selalu mengklaim bahwa konsep HAM Barat berasal dari Magna Carta (Piagam Besar). Sejatinya Magna Carta baru lahir setelah enam abad Islam menyebar di muka bumi ini. Menurut Syed Maududi, sebenarnya pula orang-orang Barat tidak mengenal konsep HAM dan hak kewarganegaraan sebelum abad ke-17. Konsep HAM dan kewarganegaraan di Barat baru muncul pada ahir abad ke-18 dalam proklamasi dan konstitusi Amerika dan Prancis.
Pada pertengahan abad ke-20 tepatnya pada Desember 1948, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kemudian mendeklarasikan Universal Declaration of Human Rights (UDHC) atau Deklarasi Universal HAM. Sayangnya, klaim Barat tentang HAM dengan tindakannya sangatlah berbeda dalam kenyataannya. Contoh yang paling terkini adalah invasi ke Afganistan dan Irak yang dilakukan Amerika secara sepihak dan dibantu oleh negara-negara pendukungnya walaupun hal tersebut bertentangan dengan konsep HAM yang mereka yakini dan dipromosikan ke negara-negara di belahan dunia lainnya. Syeh Muhamad al-Gazali mengklaim, HAM yang ditegakkan oleh Barat tidak mungkin terimplementasi karena HAM versi Barat tidak otentik. Beliau juga mengatakan HAM sebagai konsep yang harus ditegakkan dengan secara formal lewat kekuatan kawasan, lembaga atau merupakan pemberian dari pemerintah. Sementara Islam mengangap HAM sebagai konsep yang berasal dan bersumber dari Allah SWT. Bagi setiap muslim menjaga HAM adalah kewajiban bagi setiap muslim yang percaya kepada Allah. Dalam pandangan ulama dari Mesir, Yusuf Qordhowi, konsep HAM di negara Barat tidak sekuat konsep yang diajarkan dalam ajaran Islam. Alasannya barat memandang HAM sebagai hak, sedangkan Islam memandangnya sebagai kewajiban agama yang harus dilaksanakan. Sehingga dasarnya jauh lebih bisa dipercaya dan otentik berasal dari Tuhan. Islam adalah agama yang menghormati dan menghargai HAM. Sebagai pembawa kabar gembira dan pembebas manusia dari keterjajahan akan kebodohan, sejatinya Nabi Muhammad adalah pengajar dan yang menegakkan HAM dikalangan bangsa Arab saat itu. Pesan terakhir beliau pada saat menjalankan Haji Wada, sesungguhnya adalah cerminan dari begitu indahnya Islam dalam menggambarkan HAM yang teriplementasi dalam tingkah laku seorang Nabi Muhammad yang kita jadikan sebagai referensi tertinggi ajaran Islam.
Dalam Haji Wada’ Nabi Muhammad sabdanya tentang hak perempuan: “Wahai umatku, Kamu berhak atas diri kamu dan istri-istri kamu dengan penuh kasih sayang atas diri kamu. Perlakukanlah istri-istri kamu dengan penuh kasih sayang. Sesungguhnya kamu telah mengambil mereka atas hak Allah dan halal bagi kamu atas nama Allah”. Penghargaan Islam atas perempuan jauh lebih dulu ada 14 abad yang lalu daripada pengakuan hak perempuan yang dipraktekkan oleh Barat. Bahkan dalam masa itu perempuan-perempuan di belahan Dunia Barat sedang mengalami nasib yang tragis karena dominasi dan hegemoni laki-laki. Tidak seorang pun bisa menafikkan bahwa Islam adalah sesuai dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) ungkap Mery Robinsion semasa menjabat sebagai ketua komisi HAM PBB. Setelah menyelesaikan persidangan OKI yang ke-19 pada Agustus 1990. Tanggal 16 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada sekutu, pernyataan proklamasi bangsa Indonesia disiapkan di rumah perwira tinggi angkatan laut Jepang dan pada keesokan harinya jam 10.00 WIB, proklamasi itu dibacakan oleh Sukarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Junbi Inkai), bersidang dan mengambil keputusan yang sangat penting yaitu mengesahkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Setelah kita mempunyai konstitusi, maka PPKI menetapkan Ir. Sukarno dan Drs. Moh. Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Konsep yang mendasari format baku UUD 1945 adalah Piagam Jakarta yang disiapkan oleh BPUPKI dan pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil menetapkan Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang kita kenal sebagai Piagam Jakarta atau Jakarta Charter. Sejak awal berdiri, Indonesia telah mempunyai sebuah konstitusi. Sama halnya dengan negara yang terbentuk pada masa Nabi Muhammad SAW, sudah memiliki konstitusi, yaitu Piagam Madinah. Konstitusi bukan merupakan unsur pokok, tetapi merupakan unsur pembentukan negara. Pembentuk Piagam Madinah adalah Nabi Muhammad SAW, yang dibantu para sahabatnya. Setelah terlebih dahulu dilakukan pertemuan dan musyawarah dengan berbagai golongan yang ada di Madinah. UUD 1945 merupakan hasil kerja kolektif tokoh-tokoh bangsa Indonesia yang sebagian beragama Islam. Dilihat dari latar belakang sejarah mengenai terbentuknya Piagam Madinah dan UUD 1945 hampir mempunyai kesamaan yaitu keduanya sama-sama dibentuk oleh beberapa golongan yang berbeda yang mewakili konstitusinya yang duduk dengan semangat untuk membangun negara yang didasarkan semangat musyawarah persatuan dan perjanjian untuk hidup lebih baik dari kondisi sebelumnya.
Naskah UUD 1945 dari struktur jelas merupakan produk modern dari suatu model konstitusi suatu negara. Format UUD 1945 yang diputuskan oleh PPKI tersusun atas tiga bagian; pertama, mukadimah konstitusi yang dinamai sebagai pembukaan UUD. Kedua, batang tubuh yang memuat 15 bab dan terdiri dari 36 pasal. Ketiga, penutup konstitusi, yaitu bab 16 yang memuat pasal terakhir yaitu pasal 37. UUD 1945 ditambah dengan aturan peralihan dan aturan tambahan yaitu masing-masing; 6 pasal dan 2 ayat. Keberadaan Tuhan (Allah) dalam UUD 1945 sangat jelas kedudukannya, hal ini membedakan antara konstitusi dari negara Barat yang jelas menempatkan keterpisahan antara institusi Tuhan (agama, spirit keagamaan) dengan hukum dasarnya (konstitusi), misalnya; Amerika Serikat, Uni Soviet. Dalam pembukaan UUD 1945 dalam alinea ketiga tercantum, ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” dan pada alinea keempat, “berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa“ serta dasar hukum yang tercantum pada pasal 29 ayat (1), “Negara berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa” semakin menguatkan kedudukan bahwa manusia hanya sub ordinat dari keinginan Tuhan yang dominan. Pengakuan tersebut sangat jelas menunjukkan adanya spirit yang keagamaan yang mendorong pencantuman kata-kata tersebut dalam hirarkhi UU tertinggi dari sistem hukum Indonesia. Negara berbentuk negara kesatuan sesuai dengan pembukaan yaitu negara kesatuan Republik Indonesia dan kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat. Permasalahan kedaulatan menurut pendapat Ismail Suny yang dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, ”Karena itu sangat tepat jika dikatakan bahwa UUD 1945 itu, selain menganut ajaran kedaulatan rakyat, juga menganut kedaulatan Tuhan. Bahkan seperti yang dikemukakan oleh Ismail Suny, UUD 1945 menganut ajaran kedaulatan Tuhan, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan hukum sekaligus.” Pemahaman HAM di Indonesia sebagai tatanan nilai, norma dan konsep yang hidup di masyarakat dan acuan bertindak pada dasarnya sudah berkembang cukup lama secara garis besar Bagir Manan dalam bukunya “Perkembangan dan Pengaturan HAM di Indonesia“ (2001) membagi perkembangan pemikiran HAM di Indonesia dalam dua priode yaitu priode sebelum kemerdekaan (1908-1945) dan priode setelah kemerdekaan (1998 - sekarang). Pemikiran HAM dalam priode sebelum kemerdekaan dapat dijumpai dalam organisasi seperti dalam gerakan Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia, Sarikat Islam, Partai Komunis Indonesia, Indische Partij, Partai Nasional Indonesia dan perdebatan dalam BPUPKI. Sedangkan pemikiran HAM dalam priode setelah kemerdekaan dibagi dalam priode 1945-1950, priode 1950-1959, priode 1959-1966, priode 1966-1998 dan priode 1998 - sekarang.
Sebagai organisasi pergerakan, Boedi Oetomo telah menaruh perhatian terhadap HAM. Dalam konteks pemikiran HAM, para pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang diajukan kepada pemerintah kolonial maupun tulisan-tulisan yang dimuat dalam surat kabar Goeroe Desa. Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat. Selanjutnya, pemikiran HAM pada Perhimpunan Indonesia banyak dipengaruhi oleh tokoh organisasi seperti Mohammad Hatta, Nazir Pamontjak, Ahmad Soebarjo, A. A. Maramis, dan sebagainya. Pemikiran HAM para tokoh tersebut lebih menitikberatkan kepada hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination). Salah satu pemikiran dari perhimpunan Indonesia seperti dalam pidato Mohammad Hatta. “Semenjak pasifik menunjukkan perkembangan ekonominya, sejak itu masuk pada pusat politik dunia. Pertentangan kekuasaan sudah mulai, yang akan berkembang jadi drama-drama dunia yang hebat, yang dimasa sekarang kita belum dapat mengambarkannya. Karena peperangan pasifik berdarah antara timur dan barat, tetapi juga akan menyudahi kekuasaan bangsa-bangsa kulit berwarna. Dunia akan memperoleh wajah baru yang lebih baik kalau dari pertempuran itu kalau bagsa kulit berwarna mendapat kemenangan. Kerena kelembutan dan perasaan damainya bangsa kulit berwarna akan menjadi tanggungan bagi dunia, dengan sendirinya perhubungan dengan kolonial akan diganti oleh masyarakat dunia yang didalamnya hidup bangsa-bangsa yang merdeka yang berkedudukan yang sama”. Selanjutnya Sarikat Islam, organisasi kaum santri yang dimotori oleh Agus Salim dan Abdul Muis menekankan pada usaha-usaha untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan deskriminasi rasial. Sedangkan pemikiran HAM dalam partai komunis Indonesia sebagai partai yang berpaham Marxisme. Dari penjelasan tentang Piagam Madinah dan UUD 1945 terdapat beberapa kesamaan prinsip dan pokok-pokok pikiran secara umum misalnya; Pengakuan terhadap KeTuhanan Allah Yang Maha Esa. Dalam Piagam Madinah terdapat konsepsi keTuhanan yang terkandung pada mukadimah, pasal 22, 23, 42, dan pasal 47. Pada UUD 1945 terdapat pada mukadimah alenia keempat, pasal 9, 29. Kebebasan menjalankan agama masing-masing golongan dan perlindungan negara dalam menjalankan ibadah. Tersurat dalam pasal 25 Piagam Madinah, dan dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (1), (2), (3) dan 29 ayat (2). Persatuan dan kesatuan. Bisa kita temukan pada pasal 1, 15, 17, 25, dan 37 dari Piagam Madinah. Dalam UUD 1945 dalam pembukaan alenia keempat, pasal 1 ayat (1), pasal 25A, 35, 36, 37 ayat (5) Persamaan kedudukan dan kepastian keadilan Piagam Madinah Pasal 13, 15, 16, 22, 23, 24, 37, 40 dan dalam UUD 1945 pembukaan alenia keempat, pasal 27, 28D ayat (1, 2, 3), 28G ayat (1 dan 2), 28H ayat (4), 28I ayat (1, 2, 4 dan 5) 30 ayat (1), 31 ayat (1 dan 2), 33 ayat (1, 2, 4). Perdamaian dan kewajiban bela negara. Masalah perdamaian tercantum pada pasal 15, 17, 36, 39, 40, 41, 45, 47 Piagam Madinah. Dalam UUD 1945 sangat jelas bahwa bangsa Indonesia mengutamakan dan memperjuangkan perdamaian dunia yaitu pada pembukaan, pasal 11 dan pasal 30 ayat (1, 2, 3). Tolong menolong dan konsepsi kekeluargaan dalam kehidupan sosial. Tercantum dalam Piagam Madinah pada pasal 1, 2, 3, 11. UUD 1945 pada pasal 28G ayat (1, 2) dan 33 ayat (1).
Bagaimanapun antara Piagam Madinah dan UUD 1945 adalah dua produk yang dibuat oleh suatu konstelasi yang ada pada zamannya, maka tentulah ada perbedaan antar keduanya. Di antara perbedaan tersebut adalah: Piagam Madinah dibuat pada abad pertengahan yang tentu dari setingan sosial dan politik sangatlah berbeda dengan UUD 1945 yang dibuat pada awal abad dua puluh atau pada zaman modern. Karena bagaimanapun suatu produk hukum akan sangat ditentukan oleh setingan sosial yang terjadi saat itu. UUD 1945 dapat dikatakan memenuhi suatu standar dari suatu konstitusi modern yang dibuat untuk melengkapi suatu langkah awal berdirinya suatu negara modern yaitu pembukaan, isi dan penutup. Hak yang dipunyai oleh penduduk atau warga negara telah diatur secara sistematis misalnya; hak pendidikan, hak kebebasan berpendapat, hak mendapat penghidupan yang layak. Sedangkan Piagam Madinah sangat sederhana yang terdiri dari 47 pasal saja dan tidak tersusun sistematis. Dalam Piagam Madinah sangat jelah konsep ke-Tuhanannya yaitu Tauhid (Monotaisme dalam Islam) sedangkan dalam UUD 1945 hanya mengakui konsep ke-Tuhanan tapi ke-Tuhanan yang berdiri di atas semua agama. Kontekss sejarah yang mendasari pembentukan negara Indonesia yang menjadikan negara tersebut berada di atas semua golongan atau mengayomi semua kelompok masyarakat. Kesepakatan yang diwujudkan dengan perjanjian yang terwakilkan dalam Proklamasi dan UUD 1945 telah menempatkan negara ini sebagai pengayom dan pelindung segenap bangsa Indonesia baik dari suku maupun golongan yang berbeda.
Titik temu tersebut ditemukan dalam rumusan Pancasila. Menurut M. Qurays Shihab, “Kita bersyukur bahwa negara Pancasila ini, kita telah menemukan suatu kata sepakat yaitu semua warga negara Indonesia telah menerima Pancasila sebagai pedoman, penuntun, dan pegangan hidup bagi sikap dan tingkah laku kehidupan bermasyarakat dan bernegara.” Titik letak masuknya paham agama sebagai spirit menjalankan negara terletak pada sila pertama seperti yang dikatakan oleh M. Natsir pada The Pakistan Institute of World Affairs pada tahun 1952. “Tidak diragukan lagi bahwa Pakistan sebagai negara Islam karena penduduknya dan karena pilihan sebab ia menyatakan Islam sebagaimana agama negara. Begitu juga Indonesia adalah sebagai sebuah negeri Islam karena fakta bahwa Islam diakui sebagai agama rakyat Indonesia, sekalipun dalam konstitusi kami tidak secara tegas dinyatakan sebagai agama negara. Tapi Indonesia tidak mengeluarkan agama dari sistem kenegaraan. Bahkan ia telah menaruh kepercayaan tauhid (monothestik belief) kepada Tuhan pada tempat teratas dari Pancasila lima prinsip yang dipegang sebagai dasar etik, moral dan spiritual negara dan bangsa”. Para pendahulu umat Islam yang berjuang dalam menentukan bentuk dan arah sangat sadar bahwa musyawarah adalah keharusan dari tradisi Islam untuk menentukan pemecahan dari problem bersama. Dalam Al Qur’an Surat As Syura Ayat 38 yang artinya ”Dan (bagi) orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan mendirikan shalat; sedangkan urusan mereka (diputuskan dengan Musyawarah antar mereka)”. Dari macam-macam kepentingan dan golongan proses pengambilan keputusan melalui musyawarah adalah terbaik. Dan hasil dari musyawarah ini adalah bentuk negara Republik yang lebih menjamin kebersamaan dan kesetaraan. Sistem politik adalah demokrasi, dari banyak perdebatan yang terjadi apakah sistem demokrasi sesuai dengan model keislaman. Dari beberapa pokok-pokok nilai demokrasi memang ada beberapa kesamaan dengan Islam. Tapi demokrasi sebagai suatu isme tidaklah sejajar dengan Islam yang kita yakini sebagai ad-Dien. ”Memang bisa dikatakan bahwa sistem politik demokrasi itu dapat dikatakan sesuai dengan ajaran ‘Islam’, tapi harus ditegaskan bahwa Islam yang dimaksud adalah Islam minimalis. Islam minimalis adalah Islam yang karena keterpaksaan kondisi dan situasi dilaksanakan hanya bagian-bagiannya yang mungkin dilakukan saja. Islam maksimalis adalah karena keleluasaan kondisi dan situasi, maka ajaran Islam dapat dilaksanakan secara total (kaffah).” Umat Islam sebagai potensi bangsa yang terbesar harus dapat meningkatkan kondisi bangsa yang terpuruk dan membuktikan janji agama yang dapat membebaskan manusia atau merealisasikan (mengkontekstualkan isi Al-Qur’an) janji Tuhan di muka bumi ini. Sehingga tanah air ini lebih baik dari waktu ke waktu.