Gelorakan Pemikiran

Kamis, 28 April 2011

Agenda Deradikalisasi Islam

Pradana Boy ZTF
Penulis adalah Research scholar National University of Singapore (NUS)


Ketika Noordin M Top terbunuh pada September 2009, banyak kalangan meyakini hal itu sebagai salah satu titik terang pemberantasan terorisme di Indonesia. Sesungguhnya, keyakinan seperti ini terlalu menyederhanakan persoalan. Terbukti, setelah cukup lama tidak terdengar teror bom, beberapa hari belakangan ini Jakarta menjadi sasaran serangkaian teror yang ditujukan kepada tokoh-tokoh tertentu. Ini semua menunjukkan bahwa terorisme tidak akan mati seiring dengan kematian tokoh-tokoh kuncinya. Dalam kajian tentang terorisme dikenal sebuah teori yang disebut dengan “siklus vendetta”. Teori ini menyatakan bahwa memberantas terorisme adalah ibarat sebuah lingkaran setan yang tidak jelas dari mana titik mulanya dan kapan batas akhirnya. Dalam konteks ini, tokoh-tokoh teroris yang muncul ke publik dan berhasil dilemahkan sesungguhnya hanyalah bagian kecil dari lingkaran setan itu. Di samping itu, teori “siklus vendetta” juga meyakini bahwa kelompok teroris selalu berusaha membalas dendam terhadap kekalahan yang diderita oleh kelompok mereka. Karena itu, dalam perspektif ini, terbunuhnya seseorang atau sejumlah orang yang merupakan bagian dari jaringan terorisme justru mengentalkan ideologi kelompok-kelompok teroris ini. Petrus Reinhard Golose, dalam bukunya Deradikalisasi Terorisme bahkan meyakini bahwa hukuman mati bagi kelompok teroris merupakan sebuah kemenangan yang tiada bandingnya. Kematian bagi para teroris ini bukanlah sesuatu yang ditakuti tetapi justru merupakan salah satu tujuan yang hendak dicapai dan pada saat yang sama semakin mengkristalkan ideologi radikal mereka.
Atas dasar seperti inilah, menganggap kematian tokoh-tokoh utama teroris sebagai titik keberhasilan menjadi perlu dipertimbangkan ulang. Kepolisian pernah membeberkan, Noordin telah merekrut 437 orang selama dalam pelariannya. Bisa jadi, angka tersebut hanyalah pucuk gunung es. Begitu juga sel-sel jaringan Jamaah Islamiyah yang dibeber para pengamat. Di samping itu, keberadaan Dulmatin yang belum diketahui; kelihaiannya dalam meloloskan diri secara berulangulang dari penjara, dan belakangan dikabarkan meninggal, tetapi sejauh ini selalu tidak ada buktinya; merupakan bukti bahwa siklus vendetta ini merupakan sesuatu yang benar-benar patut diwaspadai. Adalah benar bahwa penumpasan tokoh-tokoh teroris merupakan sebuah prestasi besar, tetapi semua itu menjadi tidak signifikan ketika tidak diiringi dengan tindakan-tindakan pada level ideologis. Maka salah satu yang perlu dilakukan adalah melakukan deradikalisasi Islam. Deradikalisasi Islam adalah sebuah upaya redoktrinasi terhadap kelompokkelompok Islam radikal yang selama ini menjadi pelaku teror, bahwa Islam sesungguhnya merupakan ajaran agama yang mengajak kepada kedamaian dan keselamatan seluruh umat manusia. Deradikalisasi juga bermakna upaya untuk memahami Islam secara lebih komprehensif, sehingga seluruh potret ajaran Islam akan nampak sebagai satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisah satu sama lain.
Pemahaman terhadap Islam sebagai ajaran radikal yang melegitimasi kekerasan sebagai sarana untuk penegakan Islam sesungguhnya muncul dari cara pandang yang parsial ini. Di samping itu, radikalisasi Islam juga merupakan salah satu buah dari pertelingkahan antara ajaran agama yang pada dasarnya suci dan memihak kemanusiaan dengan kepentingan politik yang bersifat partikular memihak kepada kepentingan dan bukan kepentingan kemanusiaan secara umum. Maka, menjadi bisa dipahami bahwa aksiaksi teror di Indonesia sebenarnya merupakan akibat dari kepentingan politik yang sering diatasnamakan agama. Agama, dengan demikian, merupakan sumber legitimasi bagi kepentingan-kepentingan politik atau kepentingan keduniaan kelompok-kelompok tertentu. Maka pada konteks inilah, kita menjadi bisa memahami ketika Khaled Abou el- Fadl, ahli hukum Islam berkebangsaan Kuwait, menyebut kelompok-kelompok ini sebagai “para tentara Tuhan” yang seolah-olah paling berhak berbicara atas nama Tuhan.
Deradikalisasi merupakan agenda yang bisa dijalankan melalui lembaga-lembaga pendidikan Islam di berbagai tingkatan. Sebuah fakta yang patut disayangkan adalah bahwa belakangan ini gairah pengajian Islam begitu marak di berbagai tempat. Tetapi sedikit sekali di antara kelompok-kelompok pengaji Islam itu yang mempromosikan Islam sebagai ajaran yang damai dan toleran. Sebaliknya, kajian-kajian itu justru sering menjadi media penumbuhkembangkan rasa kebencian terhadap kelompok lain. Tidak hanya terhadap kelompok-kelompok di luar Islam, tetapi juga kelompok dalam Islam yang memiliki orientasi pemahaman keagamaan yang berbeda, tidak akan lepas dari sasaran kebencian itu. Maka, sekali lagi, pendidikan Islam formal memiliki peran sangat strategis dalam menyebarluaskan ajaran Islam yang toleran dan tidak radikal. Di samping itu, lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia yang selama ini dikenal sebagai Islam moderat, seperti NU dan Muhammadiyah, memiliki tanggung jawab yang sama besarnya dalam berusaha menekan gerakan Islam radikal dan pada saat yang sama mempersempit semaksimal mungkin ruang gerak Islam radikal ini. Harus pula diingatkan bahwa meskipun ideologi keagamaan sering memengaruhi sikap politik seseorang atau kelompok, dalam beberapa kasus, ideologi agama itu sama sekali tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap preferensi politik seseorang atau kelompok.
Adalah Ali Mazrui, seorang intelektual Muslim Afrika yang berkarier di Amerika Serikat, meyakini bahwa konservatisme sikap keagamaan tidak selalu bermakna konservatisme sikap politik tersebut. Untuk membuktikan tesisnya itu, Mazrui menyebut Arab Saudi sebagai sebuah contoh konkret. Dalam pandangan Mazrui, tidak ada orang yang bisa menyangkal bahwa Saudi adalah sebuah negara dengan paham keislaman yang ultra-konservatif. Seharusnya, sebagaimana terjadi dengan gerakan Islam radikal dan konservatif lainnya, Saudi akan bersikap anti-Barat dan khususnya Amerika. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, bahwa meskipun secara keagamaan ultra-konservatif, Saudi Arabia merupakan sekutu setia Amerika dalam bidang politik dan ekonomi. Ini menjadi bukti bahwa radikalisasi sesungguhnya merupakan kulminasi dari kepentingan politik yang tak tersampaikan, yang kemudian menjelma menjadi radikalisme yang mengancam. Di sinilah, deradikalisasi tidak hanya bertugas untuk meruntuhkan hegemoni pemahaman radikal atas Islam; tetapi juga secara sistematis dan terencana membebaskan Islam dari kungkungan kepentingan politik sesaat kelompok- kelompok tertentu. Selama ini tidak bisa dilangsungkan, maka siklus vendetta terorisme ini akan selalu menjadi bayangan hitam bagi kehidupan umat Islam, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia lainnya.

Sumber : Koran Jakarta Rabu, 23 Maret 2011