Gelorakan Pemikiran

Sabtu, 23 Oktober 2010

DEMOKRASI YANG BERPIJAK DAN BERPIHAK
Oleh: Emka Muttaqin

Pasca kolonial berturut-turut kita meyakini dan menganut sistem demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan pemahaman dan pelaksanaan yang beragam. Dimulai dari masa orde lama revolusi kemerdekaan (1945-1949), demokrasi parlementer (1950-1957) dan demokrasi terpimpin (1957-1965). Kemudian dilanjutkan proyek demokrasi Pancasila (1966-1998) oleh orde baru dan terakhir masa perjuangan reformasi total atau transformasi (1998-sekarang) kita menempa demokrasi yang sulit disebutkan kategorinya. Inilah sejarah panjang bangsa Indonesia yang memiliki konsep demokrasi dan sistem pemerintahan masih amburadul.
Sebagian kalangan meyakini bahwa demokrasi bukanlah satu-satunya jalan ideal untuk menyelesaikan persoalan bangsa ini. Namun, dibutuhkan kearifan menerima takdir bahwa peradaban manusia hingga saat ini belum mampu menawarkan sistem berbangsa dan bernegara seideal demokrasi. Tentu saja demokrasi yang bukan sekedar di-atasnama-kan dan di-demi-kan, melainkan demokrasi yang memiliki pijakan akar budaya dan dibudidayakan, serta demokrasi yang manusiawi dan beradab.



Keraguan Demokrasi

Ada pertanyaan mendasar yang membuat kita dihadapkan pada kegelisahan besar tentang proyek demokrasi di dunia. Mengapa demokrasi dikampanyekan oleh negara yang dikenal paling demokratis dengan cara-cara yang tidak demokratis? Negara-negara dunia ketiga adalah sasaran setiap saat dari proyek demokratisasi global yang dilancarkan pemerintahan Amerika mulai dari diplomasi, tekanan politik dan ekonomi, intervensi kebijakan sampai perang secara terbuka. Pada skala nasional-lokal, demokrasi diterapkan lewat proses homogenisasi secara paksa menggunakan perangkat hukum atau brainwashing massif lewat media. Wacana tunggal "Pancasila, stabilitas dan pembangunan berkelanjutan serta isu sara" adalah program politik efektif orde baru untuk mengukuhkan kekuasaannya yang berimplikasi merapuhkan bangunan demokrasi sekaligus memberangus kecerdasan kreatif rakyat.

Edmund Burke (1729-1797) mengungkapkan bahwa “demokrasi yang paling sempurna sebagai hal yang paling tidak tahu malu”. Setidaknya ada lima keraguan yang melatari ungkapan tersebut. Pertama, mengapa kita selalu mesti berasumsi bahwa demokrasi akan menciptakan hasil yang kondusif pada kebebasan? Sebagaimana dia mengatakan, “bentuk-bentuk dari suatu kebebasan dan tujuan-tujuan dari pemerintahan arbiter sering dapat dikombinasikan”.

Kedua, sebagaimana kalangan demokrat abad kesembilan belas kuatir, demokrasi dapat menjadi ancaman pada individualitas. Tuntutan bahwa segala tindakan dapat dijustifikasi berdasarkan pada altar opini publik dapat menciptakan semacam kompromi dan ancaman pada kebebasan individual; mayoritas yang keracunan kekuasaan dapat menjerumuskan kalangan minoritas dalam resiko. Ketiga, demokrasi tidaklah sinonim dengan aturan hukum (rule of law). Praktik-praktik otorisasi popular dapat bercampur secara acak yang berakibat pada institusionalisasi aturan hukum. Keempat, demokrasi memerlukan mediasi dalam segala bentuk. Ia dapat bekerja dengan baik melalui representatif, tidak secara langsung. Ia memerlukan institusi-institusi yang dapat memecah kekuasaan agar supaya ia tidak menjadi tunggal atau tirani. Ia juga memerlukan institusi-institusi dan pemimpin-pemimpin yang memiliki pandangan jangka panjang yang deliberatif dan tidak tunduk pada sikap dan pandangan jangka pendek yang praktis. Dan kelima, demokrasi memerlukan suatu kontra-aksi guna mengimbangi kecenderungan-kecenderungan mereka sendiri, guna memelihara adanya suatu ruang untuk pencarian distingsi yang murni dan ideal yang sering bersifat anti tesis pada sikap egalitarian yang impulsif.

Sebenarnya, tidak ada alasan logis untuk berasumsi bahwa praktik-praktik otorisasi popular seperti pemilu akan selalu menciptakan rezim atau ideologi yang bersahabat dengan kebebasan (liberty): Fasisme dan fundamentalisme, nasionalisme etnis dan populisme yang destruktif dapat juga menjadi hasil dari prosedur demokratis. Demokrasi perlu diletakkan dalam suatu percampuran yang kompleks dari sejumlah nilai dan institusi: penyebaran (distribusi) kekuasaan, pemberian kebebasan individual, institusionalisasi hukum, dan di atas segalanya kemampuan untuk membedakan, di mana demokrasi itu tepat untuk diaplikasikan dan di mana yang tidak. Pembelaannya yang langka terhadap politik tingkat tinggi (high politics) bukanlah pemujaan terhadap elitisme, tetapi sebagai pengingat bahwa menyamakan sikap-sikap impulsive kalangan pro-demokrasi jauh lebih berbahaya pada demokrasi daripada perjuangan untuk mencapai distingsi (Fareed Zakaria, 2003).

Menyadari perspektif diatas, kuasa demokrasi perlu diwaspadai secara kritis terus-menerus dengan mendorong ruang dialog diseluruh tingkat bangunan stakeholder untuk meramu, menemukan dan menyempurnakan pranata dan prosedur demokrasi berkonteks ke-Indonesiaan. Kuasa demokrasi secara otoritatif akan menjebloskan demokrasi pada kebekuan dan berakhir pada kematiannya. Demokrasi mati akibat kelahirannya.



Perspektif yang Berpijak dan Berpihak

Proses transisi demokrasi di Indonesia berjalan tertatih-tatih dan terancam gagal jika tidak ada kesabaran dan sikap saling percaya (trust) antar sesama anak bangsa untuk merealisasikan sebuah proyek besar "menjadi bangsa dan negara yang demokratis". Tidak cukup sekedar menawarkan konsep pluralisme dan liberalisme untuk meniti demokrasi. Ancaman transisi demokrasi tidak sekedar disintegrasi (lepasnya wilayah tertentu dari negara), lebih dari itu pudarnya kerekatan sosial (social bond) dapat berlanjut menjadi social distrust dan melahirkan tawuran massal (war of all against all) dimana-mana. Ditambah kenyataan bahwa masyarakat Indonesia terbagi dalam berbagai kesukuan, keagamaan dan kedaerahan. Ketika segmentasi horizontal tersebut berubah menjadi kesadaran sejarah, sistem nilai budaya, pengelompokan sosial dan kepentingan kelompok yang saling berbeda, maka masalahnya lebih dari sekedar untuk dapat disebut sebagai kenyataan, melainkan telah menjadi potensi konflik. Tidak mudah mengatasi konflik horizontal, karena pada dasarnya kesukuan, keagamaan dan kedaerahan merupakan faktor yang bersifat tetap (fixed) dan kefaktaan yang membatasi (faclicity).

Beruntunglah Indonesia, meski banyak mereduksi sistem nilai budaya dari barat sebagai trend tradisi modern namun potensi kultural sebagai identitas budaya timur masih cukup tersisa untuk meramu dan menjadi modal sosial demokrasi, diantaranya: musyawarah untuk mufakat, gotong royong, tepo seliro (toleran), ngéngér (berbagi), dan sebagainya. Dalam hal ini pijakan tradisi lokal dalam konteks ke-Indonesiaan menjadi dipentingkan agar kita tidak serta merta tercerabut dari akar tradisi yang sesungguhnya menjadi prasyarat untuk berdemokrasi. Menghadirkan kekuatan nasional-lokal yang sekedar dijadikan landasan etis-normatif harus dirubah sebagai politik identitas dan identitas politik yang mentradisi, sehingga mampu menjadi sebuah paradigma, perspektif, jargon, spirit, bahkan argumentasi naratif yang mencukupi untuk menghadapi hegemoni otoritarian global.

Problem mendasar dari pemahaman dan praktek politik identitas adalah ketika ditarik dalam fundamentalisme sempit. Secara hati-hati Thomas Meyer menjelaskan fundamentalisme berikut tantangannya yang tak pelak terjebak pada pemahaman sebagai respon perlawanan, sesuatu yang reaktif. Fundamentalisme sebagai aksi tentu dapat menyodorkan pertimbangan-pertimbangan baru sebagai budaya sebuah bangsa, bukan semata ditempelkan terus pada pemahaman dan praktek keagamaan kerdil. Heroisme kebangsaan merupakan praktek fundamentalisme sebuah bangsa (nasionalisme) yang kini sangat kendur dan sulit dibangkitkan. Bukankah semangat fundamentalisme ini adalah semangat pembebasan? Pembebasan (liberation) dalam konteks ke-Indonesiaan adalah keberpihakan terhadap kaum buruh pabrik, buruh tani dan petani, nelayan tradisional sebagai bentuk solidaritas kepada yang tertindas menjadi landasan etis terhadap pemahaman dan praktek demokrasi.

Kekerasan wacana yang dibangun narasi Barat bahwa negara-negara Timur yang kebanyakan adalah negara-negara dunia ketiga, adalah negara-negara yang jauh dari nilai-nilai demokrasi, feodal-paternalistik. Alasannya karena negara-negara ini bukanlah penyokong dan penganut negara demokrasi. Tidak cukup mudah menolak anggapan ini, tetapi tak susah pula bahwa negara-negara yang sistem kenegaraannya menganut demokrasi justru berpotensi menjadi negara-negara yang tidak demokratis, saat mengukuhkan demokrasi sebagai satu-satunya sistem politik yang ideal. Akar-akar budaya yang anti-demokrasi, memungkinkan lebih memiliki nilai-nilai demokratis jika disodorkan ke ruang publik secara terbuka dan dialektis.

Tidak ada komentar: