Gelorakan Pemikiran

Sabtu, 23 Oktober 2010

HUTANG SEBAGAI PERSOALAN BANGSA
YANTO SAGARINO

Indonesia menghadapi - persoalan yang amat serius. Hutang. Ini dapat menjad borgol yang membelenggu bangsa ini di masa sekarang dan datang. Sudah terbukti banyak sekali kebijakan yang merugikan rakyat karena para pemimpin terbelenggu oleh hutang negaranya. Kebijakan yang merugikan rakyat itu didektekan oleh negara kaya emberi hutang. Para pemberi hutang itu sering diberi kehormatan sebagai yang pemberi bantuan, negara donor. Padahal apa yang mereka berikan tidak gratis, berbunga, mengancam keseimbangan sebuah APBN misalnya Tapi memang begitulah masalah yang kini melilit dan menghimpit kita. Drs Haedar Nashir, M.Si yang berbi­cara sebagai Keynote speaker seminar tentang hutang yang diselenggarakan Suara Muhammadiyah bersama Al-Ma'un Institute di kantor PP Muhammadiyah lalu melihat hutang sebagai bagian dari persoalan bangsa kita. Tesis kemiskinan sebagai persoalan nasib sebagaimana pendekatan kaum konservatif sudah lama ditinggalkan orang ketika kemiskinan menjadi persoalan masif. Muncul pen­dekatan kedua yang melihat kemiskinan bukan hanya sebagai persoalan men­talitas tapi melihat kemiskinan sebagai akibat mesin struktur yang menimbulkan proses kemiskinan. Pendekatan kedua ini yaitu pendekatan struktural. "Pendekatan ini dalam konteks nasio­nal terjadi karena konteks negara yang merumuskan kebijakan nasional yang tidak berpihak pada orang miskin dan memporakporandakan sistem di mana orang miskin sesungguhnya punya hak untuk hidup," katanya Sekarang tengah terjadi pelipatgan­daan orang miskin di negeri ini dari 36 juta jadi 56 juta. Kalau kita melihat ke­dhu'afaan dalam konteks Islam, ke­miskinan dalam Islam bisa dilihat sebagai orang yang tertindas secara struktur. Pro­ses ini disebut Istidl'af, ini adalah proses yang memperlemah, ini ada pelaku yang disebut mustadl'if. Ada korelasi lain yaitu Mustadl'af, yaitu orang yang tertindas se­cara ekonomi, sosial, budaya. Dalam kon­teks Islam ada beberapa kondisi untuk melihat kedhuaafaan. Ada fenomena Fir'aun simbol kekuasaan yang tiran dan tidak adil. Disebut juga Yastadl'ifu, yaitu pelaku yang selalu menciptakan proses penindasan rakyat, ini adalah perusakan sistem. Ini bukan hanya kejahatan per­sonal, dia adalah simbol kejahatan tiran yang awet berkuasa.

Kedhua'fa'an, ini ada dalam fenomena agama yang tidak peduli pada orang mis­kin, ini ada dalam teologi Ahmad Dahlan, kalau kamu beragama maka pedulilah pa­da orang miskin. Teologi Almaun, ini orang Islam kan tidak cukup untuk ber­ibadah saja jika dalam saat yang sama dia tidak pemah menangisi orang yang dimis­kinkan oleh sistem, karena juga muncul gerakan elit agama yang juga tergoda oleh mimpi kekuasaan hingga abai pada arang miskin. Ini kan kita bisa melihat bahwa persoalan kemiskinan harus di­pecahkan dari semua jalan. Dr. Purwo Santoso dari Fisipol UGM yang berbicara kemudian mengatakan, Umat Islam sudah terlibat dengan hutang piutang dan sayangnya ini dianggap tidak ada urusannya dengan agama. Sehinga ada wilayah yang hilang pada wilayah ke­beragamaan kita. Untuk bebicara pada wilayah good governance, pemerintahan yang baik standamya bukan sifat Nabi na­ mun World Bank, filsafati yang ada bukan menjadi wilayah agama, namun politik Itkonomi dan lainnya. Software untuk me­ngendalikan pikiran orang banyak itu bu­kan wacana keagamaan. Ini kan analisis struktural. "Problem hutang dalam teologi Mu­hammadiyah dan Islam adalah ketika membicarakan kemaslahatan struktural bukan dilihat sebagai umat tapi individu. Padahal dalam konteks Indonesia, yang berhutang adalah negara. Nah kalau yang terlibat dalam hutang piutang adalah lembaga maka siapa yang harus menye­hatkan lembaga yang bernama lembaga publik? Obatnya itu apa? World Bank atau teologi Islam? Teologi Islam itu disebut Tauhid sosial karena substansi persoalan Islam itu struktural," katanya.

Masalah hutang adalah meminjam waktu di mana manfaat di masa depan dinikmati sekarang. Problemnya adalah ternyata kita tidak punya solusi untuk pe­ngembalian hutang. Tapi ada yang dilupakan orang. Sum­ber persoalan hutang piutang bukan ha­nya Indonesia. Negara industri maju de­ngan ilmu dan teknologi bisa mengha­silkan produksi tinggi. Nah kemampuan sistem untuk menghasilkan produksi ting­gi menciptakan tabungan yang tinggi. Namun ketika tabungan itu tidak mudah diserap oleh negara, malah menciptakan konsumsi masa. Kemampuan orang untuk menikmati konsumsi dibatasi oleh daya beli. Inilah gejala yang oleh kalangan kiri disebut gejala krisis kapitalisme. Ada ke­terbatasan sistem ekonomi global untuk inenyerap uangnya sendiri. Kalau kita mudah ngutang itu apa artinya? Kalau kita menerima utang kita sedang membantu politik ekonomi global. Saya agak gelisah kalau kepala daerah kampanye selalu menjanjikan investasi. Menjadi sangat penting bagi kita untuk mencermati bah­wa banjir hutang itu artinya kita sulit un­tuk menghadapi kekuatan luar. Kita me­lihat negara yang berhutang bukan nega­ra yang membutuhkan hutang, namuri yang punya prospek untuk meningkatkan daya beli, dengan kata lain kita hidup di negara yang mensubsidi negara maju. "Nah, di masa lalu pasien Muham­madiyah dan NU adalah individu, tapi se­karang pasiennya adalah negara. Bagai mana mengobati pasien itu, sungguh per­soalan penting," tambahnya. Mgr Suharyo, Pr dari Keuskupan Agung Semarang menyatakan hal yang senada dengan yang dikatakan Haidar Nashir. Pertama ada peran liberatif agama dan peran profetik agama. "Saya rasa ini merangkum prinsip yang harus diperjuangkan. Dalarn perspektif gereja Katholik diyakini agama punya peran yang sangat penting dalam kehidupan pribadi atau sosial. Kalau saya membatasi diri dalam istilah penguasa kalau dituntut untuk melaksanakan prinsip, moral dalam agama tidak serta merta dilaksanakan. Agama ya, perintah moral ya pikir-pikir dulu. Seolah modal lebih kuat dibanding moral. Sekarang monotheisme sudah diganti dengan moneytheisme," katanya. Sejauh yang ia baca masalah orang miskin sudah ada sejak manusia ada. Dan menurut dia, globalisasi merupakan feno­mena politik yang memungkinkan lem­baga supra state mengambil alih peran negara. Masalahnya jadi tidak sederhana, makin lama makin rumit. "Kita boleh berfikir global, namun ke­tika bertindak harus konkret clan lokal. Ini yang bisa dilakukan," tambahnya. Tahun 1970 gereja Katholik mengadakan aksi pua­sa pembangunan 40 hari di mana uang yang akan digunakan untuk makan dikum­ pulkan untuk menjadi dana tidak hanya untuk gereja namun untukpengembangan masyarakat. "Kita dengan latar belakang agama yang berbeda, mungkinkah dalam menghadapi realitas kemiskinan ini kita mampu bekerjasama untuk mengatasi, du­duk bersama dan berbuat?" tutumya. Drs Revrisond Baswir, MBA, Direktur Pusat Studi Eknomi Pancasila UGM ketika berbicara menyebutkan, " Kalau kita bi­cara soal agama, hutang luar negeri dan kemiskinan sebenamya kita sedang bicara tentang tiga tataran yang sangat berbeda. Bicara soal agama seolah moralitas agama ada di tingkat individu, agama itu tatarannya universalitas. Keimanan itu mengatasi segalanya. Ada semangat uni­versalitas. Hutang luar negeri bicara soal hutang luar negeri hubungannya secara internasional dengan negara lain. Ada en­titas nation state terikat dalam hubungan hutang piutang dengan negara lain. "Jadi kalau kita sudah mulai menata 3 lapis analisis intemasional, nasional, lokal maka problem berikutnya adalah dalam studi umat beragama. Karena teologi ke­agamaan yang berkembang lebih mem­prioritaskan teologi yang lokal individual tadi akibatnya kita sulit mencari landasan fikih yang sifatnya global. Hal-hal yang adil clan zalim, tidak zalim gampang untuk dikomunikasikan. Namun bicara tatanan nasional yang berkeadilan kita sudah mu­lai gagap. Masalahnya kalau kita bicara dalam konteks hutang selalu saja hutang antar individu, jelas saja fikihnya wajib untuk dibayar. "Pertanyaannya apakah hutang yang dibuat oleh elit negera bisa dianalogkan dengan hutang dalam konteks individu? Apakah ada fikih yang berkaitan dengan hutang dalam konteks negara dalam Is­lam? Ini harus diperjelas apakah tanggung jawab seluruh warga atau tidak?'Sebab bicara hutang luar negeri yang berhutang kan para presiden. Jangan-jangan umat jadi korban praktek berhutang. Bagai­mana dengan rakyat banyak yang jadi kor­ban praktek hutang dari institusi negara? Nah, ketika bicara globalisasi kita akan bicara tentang institusi global, IMF clan lain-lain. Pertanyaannya, IMF itu halal atau haram? Dalam Islam kalau ragu-ragu ya ditinggalkan. Fungsi, govemance-nya kabur. Gimana umat tidak kacau balau kalau gak jelas gambaran aturannya," tu­tur Revrisond. Baswier.'

UTANG NEGARA YANG MEMISKINKAN RAKYAT

Setiap anak yang lahir di bumi Indonesia secara otomatis langsung dibebani utang -sebesar Rp. 6,8 juta, komentar Cornelis Lay mengawali diskusi sesi kedua dalam Seminar Menyoal Kedou(aton Bongso; Agama, Kemiskinan, dan Penghapusan Utang Luar Negeri tanggal 27 Maret di Gedung PP Muhammadiyah Yogyakarta. Cukup mengejutkan. Sebab Rp. 6,8 juta yang dibebankan kepada setiap warga jauh di atas pen­dapatan per kapita. Kenyataannya cukup sederhana, na­mun implikasinya paling serius bagi negara-negara dunia ketiga, khususnya Indonesia. Pasal ini penting karena 1 SM NO. 09 TH. KE-91 // 1 - 15 MEI 2006 M berkaitan dengan masa depan bangsa Indonesia yang berstatus `pengutang.' Sistem yang Kacau Cornelis Lay menganalisis dari pers­pektif politik, bagaimana keberanian pemerintah mengatasi ketergantungan pada utang. Bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah menghindari `amukan badai utang' yang terus memperpuruk kondisi bangsa. Menurutnya, arti penting mem­perhatikan utang bukan pada soal skala, di samping besarannya, namun yang lebih fundamental bahwa setiap warga dibebani utang sebesar 6,8 juta per-orang. Ada se­buah persepsi publik yang mengatakan bahwa sumber utang adalah globalisasi. Persisnya bukan ini saja, namun lebih pa­da kapitalisme. Globalisasi praktis tidak bisa kita hindari. Sebab, ini sangat ber­kaitan dengan kebutuhan untuk ber­interaksi dengan dunia lain yang sangat fundamental. Kemudian mengapa menja­di sebab penting dari utang, karena pro­ses globalisasi didriven oleh kekuatan pasar. Kemudian, ada juga kecenderungan umum yang bicara soal kapitalisme global dikontestasi secara ideologis. Hanya diba yangkan semata sebagai persoalan na­sionalisme dan kedaulatan.
"Saya ajak untuk memandang dengan lebih detail. Saya mau lihat implikasi utang dari desain kelembagaan politik Indone sia," paparnya. "Enam tahun ini ada per­ubahan fundamental seluruh desain kel2mbagaan kita. Ini ditujukan untuk menyebarkan kekuasaan, check balance, akan jalan. Dari 14 lembaga yang baru berbagi komisi negara. Tetapi seluruh desain kelembagaan bermaksud menciptakan kelembagaan yang madzy, kacau." Kekacauan sistem dia lukiskan berdasarkan kasus di Brazil. "Di Brazil ada deadlock democracy, desain kelembagaan tadi dipaksakan melalui kelembagaan utang. Ada korelasi yang sangat kuat antara persoalan demokrasi dan utang luar negeri. Kebutuhan masuknya modal asing lebih banyak ditentukan oleh UU. Sekarang, ditentukan oleh lembaga negara yang kacau-balau," jelasnya.
Comelis Lay kemudian melihat fakta tersebut dalam konteks bangsa Indone­sia. Menurutnya, desentralisasi peme­rintahan kita melalui pemekaran wilayah, kebutuhan untuk mendesentralisasikan kekuasaan, semuanya adalah benar untuk itu. Namun geologi dalam pemekaran wi­layah Papua menjadi 14 kabupaten baru,
seluruh daerah kekuasaan yang dipecah dalam struktur baru bukan karena per­soalan politik, namun ekonomi. Yang dipersoalkan sekarang Perda banyak yang menghalangi investasi di bawah. Review Perda ada sekitar 5000-an yang tertahan di Jakarta dan isinya tidak ber­sahabat dengan investor.

Proses berlangsung melalui perubah­an di tingkat nasional. Implikasinya tidak semata-mata melalui perubahan secara fundamental, namun secara kelembaga­an. Neo-liberalisme seolah-olah ingin memusnahkan negara, padahal yang ada hanya kewajiban publik negara. Apakah negara sekarang tidak lebih perkasa, struktur monopoli terhadap sumberdaya tidak berubah, budget negara di seluruh dunia naik? Di negara yang sudah dikuasi pasar sekalipun, budget berlipat lipat. Penggunaan instrument kebijaka hanya untuk memangkas kewajiban ne gara. Dayanya bahkan masuk ke wilaya tJtJD. Namun yang harus diperhatikan bt kan hanya pada level kebijakan pert bahan dipaksakan, bahkan pada instn mentasi.

Utang yang Memiskinkan

Salah satu penyebab kemiskinan adE lah tingginya pembayaran Wang. Stru} tur utang yang banyak mensubsidi yan sedikit, kata Chris Wangkay (INFID; Dalam diskusi Sesi II Chris Wangkay merr berikan analisis bahwa kemiskinan c Indonesia akibat pembayaran utang. Dalam APBN 2006, pendapatan negara diharapkan mencapai 625 trilyun, sementara belanja mencapai 647 trilyun. Selisih utang sebesar 35 trilyun. Pemerinta menginginkan utang sebesar 35 trilyu dengan cicilan bunga 76 pokok sebesa 63 trilyun. Totalnya menjadi 139 trilyur Sementara besar subsidi 79 trilyur Prosentase antara utang clan subsic adalah 21 % dan 12%. Pendapatan pajak yang diharapka pemerintah sebesar 164 triliun (64%) dalam hal ini, orang miskin ditingkatkan. pajaknya. Sementara pemerintah hanya rnemberi dana, bantuan sosial sebesar 27 trilyun atau sekitar 4 % dari APBN. Itulah yang kemudian menyebabkan kemiskin­an. Selisih pendapatan dan pemasukan 35 trilyun atau i/3 dari pembayaran utang. Pembayaran bunga cicilan sebesar 76 tril­yun pada hakekatnya adalah utang swas­ta dalam negeri paket IMF tahun 1997. Dari sini sudah jelas, ada ketidakadilan dari sisi APBN: "Bicara utang ada 2 program dan pro­yek. Jogja menikmati DAK dan DAU. Untuk utang proyek, maka menggunakan ahli dari negara saya. Di beberapa parle­men internasional merasakan 70% kem­bali ke negara pemberi utang," jelasnya.
Chris Wangkay memberikan contoh kasus Tsunami melalui hibah Pentium Aid menjadi persoalan. Dana hibah 70% kembali ke negara penghibah. Dari APBN kita transfer negatif, proyek kita kembali Banyak syarat dalam konteks liberalisasi seperti presure atas nama utang clan penarikan investasi. Melihat kondisi yang demikian, Chris Wangkay berpendapat bahwa jelas akan sulit bagi bangsa Indonesia untuk bicara soal kemandirian selagi masih ada utang. Indonesia harus memanfaatkan kasus Tsunami. Seluruh dunia melihat kasus Aceh secara global dan 3 hari kemudian Sri Mulyani membuat utang batu. Dalam kesempatan tersebut, Haryo­no, salah seorang peserta diskusi berta­nya, apakah negara kita negara berkem­bang atau negara miskin?
Peserta lain, Buzirman (UIN) mem­berikan apresiasi terhadap pemaparan Cornelis Lay. "Saya tertarik statement ba­pak di mana negara masih sangat kuat. Saya belum bisa menerima logika itu. Negara ada pergeseran fungsi di mana negara menjadi pengaman pemodal. Yang dikatakan Pak Cony-sapaan akrab Cornelis Lay-bahwa represifitas negara itu bukti kelemahan negara. Justnz nega­ra tidak punya kekuasaan yang kuat."
Aktivis INFID, Chris Wangkay, me­lengkapi uraian Corelis Lay "Midle In­come Countrie, di atas negara miskin. GNP 1000-an di bawah. Pemerintah beri dana utang untuk KUT 1,9 trilyun. Pada saat yang sama memberi bantuan BLBI bebe­rapa kali lipat. Saya pikir Indonesia tidak kaya, rasio utang terhadap ekspor masih besar."
Aktivis INFID ini memberi contoh dampak penghapusan utang. "Kuba di­isolir seluruh penjuru dunia, tetapi ter­ nyata masih bisa memberi pelayanan gratis. Artinya, kenapa mereka bisa? In­vestasi dan utang Indonesia punya la­pisan, dana pertama tidak cukup untuk menarik investasi. Lapis kedua itu utang, tapi argo jalan terus. WTO menyatakan tidak boleh ada hambatan investasi, akuntabilitas, dll. Itu hanya untuk memu­luskan investasi."Secara kritis Chris Wangkay mengritik Sistem Keuangan Nasional. Kita pernah sekali menghadiri rapat di Bappenas un­tuk mengatasi utang. Forestry ujung­ujungnya menjadi solusi. Alasannya butuh uang, maka utang lagi sama luar negeri. UU Keuangan menempatkan Depkeu lebih kuat daripada Bappenas. Mulyani melihat utang hanya bagian/ instrumen pembangunan saja. Dia tidak melihat paket kebijakan dari utang. Itu paket yang memiskinkan kita, paket Neo­lib! Solusi dari pemerintah persoalan ha­nya di dalam negeri. Padahal kita melihat ada invisible hand. Tuntutannya adalah bagaimana mendelegitimasi peranan voting power dari Amerika. Menurutnya, "Indonesia solusi utang akan selesai 2020, kalau tidak berutang terus.

Tidak ada komentar: