HUTANG SEBAGAI PERSOALAN BANGSA
YANTO SAGARINO
Indonesia menghadapi - persoalan yang amat serius. Hutang. Ini dapat menjad borgol yang membelenggu bangsa ini di masa sekarang dan datang. Sudah terbukti banyak sekali kebijakan yang merugikan rakyat karena para pemimpin terbelenggu oleh hutang negaranya. Kebijakan yang merugikan rakyat itu didektekan oleh negara kaya emberi hutang. Para pemberi hutang itu sering diberi kehormatan sebagai yang pemberi bantuan, negara donor. Padahal apa yang mereka berikan tidak gratis, berbunga, mengancam keseimbangan sebuah APBN misalnya Tapi memang begitulah masalah yang kini melilit dan menghimpit kita. Drs Haedar Nashir, M.Si yang berbicara sebagai Keynote speaker seminar tentang hutang yang diselenggarakan Suara Muhammadiyah bersama Al-Ma'un Institute di kantor PP Muhammadiyah lalu melihat hutang sebagai bagian dari persoalan bangsa kita. Tesis kemiskinan sebagai persoalan nasib sebagaimana pendekatan kaum konservatif sudah lama ditinggalkan orang ketika kemiskinan menjadi persoalan masif. Muncul pendekatan kedua yang melihat kemiskinan bukan hanya sebagai persoalan mentalitas tapi melihat kemiskinan sebagai akibat mesin struktur yang menimbulkan proses kemiskinan. Pendekatan kedua ini yaitu pendekatan struktural. "Pendekatan ini dalam konteks nasional terjadi karena konteks negara yang merumuskan kebijakan nasional yang tidak berpihak pada orang miskin dan memporakporandakan sistem di mana orang miskin sesungguhnya punya hak untuk hidup," katanya Sekarang tengah terjadi pelipatgandaan orang miskin di negeri ini dari 36 juta jadi 56 juta. Kalau kita melihat kedhu'afaan dalam konteks Islam, kemiskinan dalam Islam bisa dilihat sebagai orang yang tertindas secara struktur. Proses ini disebut Istidl'af, ini adalah proses yang memperlemah, ini ada pelaku yang disebut mustadl'if. Ada korelasi lain yaitu Mustadl'af, yaitu orang yang tertindas secara ekonomi, sosial, budaya. Dalam konteks Islam ada beberapa kondisi untuk melihat kedhuaafaan. Ada fenomena Fir'aun simbol kekuasaan yang tiran dan tidak adil. Disebut juga Yastadl'ifu, yaitu pelaku yang selalu menciptakan proses penindasan rakyat, ini adalah perusakan sistem. Ini bukan hanya kejahatan personal, dia adalah simbol kejahatan tiran yang awet berkuasa.
Kedhua'fa'an, ini ada dalam fenomena agama yang tidak peduli pada orang miskin, ini ada dalam teologi Ahmad Dahlan, kalau kamu beragama maka pedulilah pada orang miskin. Teologi Almaun, ini orang Islam kan tidak cukup untuk beribadah saja jika dalam saat yang sama dia tidak pemah menangisi orang yang dimiskinkan oleh sistem, karena juga muncul gerakan elit agama yang juga tergoda oleh mimpi kekuasaan hingga abai pada arang miskin. Ini kan kita bisa melihat bahwa persoalan kemiskinan harus dipecahkan dari semua jalan. Dr. Purwo Santoso dari Fisipol UGM yang berbicara kemudian mengatakan, Umat Islam sudah terlibat dengan hutang piutang dan sayangnya ini dianggap tidak ada urusannya dengan agama. Sehinga ada wilayah yang hilang pada wilayah keberagamaan kita. Untuk bebicara pada wilayah good governance, pemerintahan yang baik standamya bukan sifat Nabi na mun World Bank, filsafati yang ada bukan menjadi wilayah agama, namun politik Itkonomi dan lainnya. Software untuk mengendalikan pikiran orang banyak itu bukan wacana keagamaan. Ini kan analisis struktural. "Problem hutang dalam teologi Muhammadiyah dan Islam adalah ketika membicarakan kemaslahatan struktural bukan dilihat sebagai umat tapi individu. Padahal dalam konteks Indonesia, yang berhutang adalah negara. Nah kalau yang terlibat dalam hutang piutang adalah lembaga maka siapa yang harus menyehatkan lembaga yang bernama lembaga publik? Obatnya itu apa? World Bank atau teologi Islam? Teologi Islam itu disebut Tauhid sosial karena substansi persoalan Islam itu struktural," katanya.
Masalah hutang adalah meminjam waktu di mana manfaat di masa depan dinikmati sekarang. Problemnya adalah ternyata kita tidak punya solusi untuk pengembalian hutang. Tapi ada yang dilupakan orang. Sumber persoalan hutang piutang bukan hanya Indonesia. Negara industri maju dengan ilmu dan teknologi bisa menghasilkan produksi tinggi. Nah kemampuan sistem untuk menghasilkan produksi tinggi menciptakan tabungan yang tinggi. Namun ketika tabungan itu tidak mudah diserap oleh negara, malah menciptakan konsumsi masa. Kemampuan orang untuk menikmati konsumsi dibatasi oleh daya beli. Inilah gejala yang oleh kalangan kiri disebut gejala krisis kapitalisme. Ada keterbatasan sistem ekonomi global untuk inenyerap uangnya sendiri. Kalau kita mudah ngutang itu apa artinya? Kalau kita menerima utang kita sedang membantu politik ekonomi global. Saya agak gelisah kalau kepala daerah kampanye selalu menjanjikan investasi. Menjadi sangat penting bagi kita untuk mencermati bahwa banjir hutang itu artinya kita sulit untuk menghadapi kekuatan luar. Kita melihat negara yang berhutang bukan negara yang membutuhkan hutang, namuri yang punya prospek untuk meningkatkan daya beli, dengan kata lain kita hidup di negara yang mensubsidi negara maju. "Nah, di masa lalu pasien Muhammadiyah dan NU adalah individu, tapi sekarang pasiennya adalah negara. Bagai mana mengobati pasien itu, sungguh persoalan penting," tambahnya. Mgr Suharyo, Pr dari Keuskupan Agung Semarang menyatakan hal yang senada dengan yang dikatakan Haidar Nashir. Pertama ada peran liberatif agama dan peran profetik agama. "Saya rasa ini merangkum prinsip yang harus diperjuangkan. Dalarn perspektif gereja Katholik diyakini agama punya peran yang sangat penting dalam kehidupan pribadi atau sosial. Kalau saya membatasi diri dalam istilah penguasa kalau dituntut untuk melaksanakan prinsip, moral dalam agama tidak serta merta dilaksanakan. Agama ya, perintah moral ya pikir-pikir dulu. Seolah modal lebih kuat dibanding moral. Sekarang monotheisme sudah diganti dengan moneytheisme," katanya. Sejauh yang ia baca masalah orang miskin sudah ada sejak manusia ada. Dan menurut dia, globalisasi merupakan fenomena politik yang memungkinkan lembaga supra state mengambil alih peran negara. Masalahnya jadi tidak sederhana, makin lama makin rumit. "Kita boleh berfikir global, namun ketika bertindak harus konkret clan lokal. Ini yang bisa dilakukan," tambahnya. Tahun 1970 gereja Katholik mengadakan aksi puasa pembangunan 40 hari di mana uang yang akan digunakan untuk makan dikum pulkan untuk menjadi dana tidak hanya untuk gereja namun untukpengembangan masyarakat. "Kita dengan latar belakang agama yang berbeda, mungkinkah dalam menghadapi realitas kemiskinan ini kita mampu bekerjasama untuk mengatasi, duduk bersama dan berbuat?" tutumya. Drs Revrisond Baswir, MBA, Direktur Pusat Studi Eknomi Pancasila UGM ketika berbicara menyebutkan, " Kalau kita bicara soal agama, hutang luar negeri dan kemiskinan sebenamya kita sedang bicara tentang tiga tataran yang sangat berbeda. Bicara soal agama seolah moralitas agama ada di tingkat individu, agama itu tatarannya universalitas. Keimanan itu mengatasi segalanya. Ada semangat universalitas. Hutang luar negeri bicara soal hutang luar negeri hubungannya secara internasional dengan negara lain. Ada entitas nation state terikat dalam hubungan hutang piutang dengan negara lain. "Jadi kalau kita sudah mulai menata 3 lapis analisis intemasional, nasional, lokal maka problem berikutnya adalah dalam studi umat beragama. Karena teologi keagamaan yang berkembang lebih memprioritaskan teologi yang lokal individual tadi akibatnya kita sulit mencari landasan fikih yang sifatnya global. Hal-hal yang adil clan zalim, tidak zalim gampang untuk dikomunikasikan. Namun bicara tatanan nasional yang berkeadilan kita sudah mulai gagap. Masalahnya kalau kita bicara dalam konteks hutang selalu saja hutang antar individu, jelas saja fikihnya wajib untuk dibayar. "Pertanyaannya apakah hutang yang dibuat oleh elit negera bisa dianalogkan dengan hutang dalam konteks individu? Apakah ada fikih yang berkaitan dengan hutang dalam konteks negara dalam Islam? Ini harus diperjelas apakah tanggung jawab seluruh warga atau tidak?'Sebab bicara hutang luar negeri yang berhutang kan para presiden. Jangan-jangan umat jadi korban praktek berhutang. Bagaimana dengan rakyat banyak yang jadi korban praktek hutang dari institusi negara? Nah, ketika bicara globalisasi kita akan bicara tentang institusi global, IMF clan lain-lain. Pertanyaannya, IMF itu halal atau haram? Dalam Islam kalau ragu-ragu ya ditinggalkan. Fungsi, govemance-nya kabur. Gimana umat tidak kacau balau kalau gak jelas gambaran aturannya," tutur Revrisond. Baswier.'
UTANG NEGARA YANG MEMISKINKAN RAKYAT
Setiap anak yang lahir di bumi Indonesia secara otomatis langsung dibebani utang -sebesar Rp. 6,8 juta, komentar Cornelis Lay mengawali diskusi sesi kedua dalam Seminar Menyoal Kedou(aton Bongso; Agama, Kemiskinan, dan Penghapusan Utang Luar Negeri tanggal 27 Maret di Gedung PP Muhammadiyah Yogyakarta. Cukup mengejutkan. Sebab Rp. 6,8 juta yang dibebankan kepada setiap warga jauh di atas pendapatan per kapita. Kenyataannya cukup sederhana, namun implikasinya paling serius bagi negara-negara dunia ketiga, khususnya Indonesia. Pasal ini penting karena 1 SM NO. 09 TH. KE-91 // 1 - 15 MEI 2006 M berkaitan dengan masa depan bangsa Indonesia yang berstatus `pengutang.' Sistem yang Kacau Cornelis Lay menganalisis dari perspektif politik, bagaimana keberanian pemerintah mengatasi ketergantungan pada utang. Bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah menghindari `amukan badai utang' yang terus memperpuruk kondisi bangsa. Menurutnya, arti penting memperhatikan utang bukan pada soal skala, di samping besarannya, namun yang lebih fundamental bahwa setiap warga dibebani utang sebesar 6,8 juta per-orang. Ada sebuah persepsi publik yang mengatakan bahwa sumber utang adalah globalisasi. Persisnya bukan ini saja, namun lebih pada kapitalisme. Globalisasi praktis tidak bisa kita hindari. Sebab, ini sangat berkaitan dengan kebutuhan untuk berinteraksi dengan dunia lain yang sangat fundamental. Kemudian mengapa menjadi sebab penting dari utang, karena proses globalisasi didriven oleh kekuatan pasar. Kemudian, ada juga kecenderungan umum yang bicara soal kapitalisme global dikontestasi secara ideologis. Hanya diba yangkan semata sebagai persoalan nasionalisme dan kedaulatan.
"Saya ajak untuk memandang dengan lebih detail. Saya mau lihat implikasi utang dari desain kelembagaan politik Indone sia," paparnya. "Enam tahun ini ada perubahan fundamental seluruh desain kel2mbagaan kita. Ini ditujukan untuk menyebarkan kekuasaan, check balance, akan jalan. Dari 14 lembaga yang baru berbagi komisi negara. Tetapi seluruh desain kelembagaan bermaksud menciptakan kelembagaan yang madzy, kacau." Kekacauan sistem dia lukiskan berdasarkan kasus di Brazil. "Di Brazil ada deadlock democracy, desain kelembagaan tadi dipaksakan melalui kelembagaan utang. Ada korelasi yang sangat kuat antara persoalan demokrasi dan utang luar negeri. Kebutuhan masuknya modal asing lebih banyak ditentukan oleh UU. Sekarang, ditentukan oleh lembaga negara yang kacau-balau," jelasnya.
Comelis Lay kemudian melihat fakta tersebut dalam konteks bangsa Indonesia. Menurutnya, desentralisasi pemerintahan kita melalui pemekaran wilayah, kebutuhan untuk mendesentralisasikan kekuasaan, semuanya adalah benar untuk itu. Namun geologi dalam pemekaran wilayah Papua menjadi 14 kabupaten baru,
seluruh daerah kekuasaan yang dipecah dalam struktur baru bukan karena persoalan politik, namun ekonomi. Yang dipersoalkan sekarang Perda banyak yang menghalangi investasi di bawah. Review Perda ada sekitar 5000-an yang tertahan di Jakarta dan isinya tidak bersahabat dengan investor.
Proses berlangsung melalui perubahan di tingkat nasional. Implikasinya tidak semata-mata melalui perubahan secara fundamental, namun secara kelembagaan. Neo-liberalisme seolah-olah ingin memusnahkan negara, padahal yang ada hanya kewajiban publik negara. Apakah negara sekarang tidak lebih perkasa, struktur monopoli terhadap sumberdaya tidak berubah, budget negara di seluruh dunia naik? Di negara yang sudah dikuasi pasar sekalipun, budget berlipat lipat. Penggunaan instrument kebijaka hanya untuk memangkas kewajiban ne gara. Dayanya bahkan masuk ke wilaya tJtJD. Namun yang harus diperhatikan bt kan hanya pada level kebijakan pert bahan dipaksakan, bahkan pada instn mentasi.
Utang yang Memiskinkan
Salah satu penyebab kemiskinan adE lah tingginya pembayaran Wang. Stru} tur utang yang banyak mensubsidi yan sedikit, kata Chris Wangkay (INFID; Dalam diskusi Sesi II Chris Wangkay merr berikan analisis bahwa kemiskinan c Indonesia akibat pembayaran utang. Dalam APBN 2006, pendapatan negara diharapkan mencapai 625 trilyun, sementara belanja mencapai 647 trilyun. Selisih utang sebesar 35 trilyun. Pemerinta menginginkan utang sebesar 35 trilyu dengan cicilan bunga 76 pokok sebesa 63 trilyun. Totalnya menjadi 139 trilyur Sementara besar subsidi 79 trilyur Prosentase antara utang clan subsic adalah 21 % dan 12%. Pendapatan pajak yang diharapka pemerintah sebesar 164 triliun (64%) dalam hal ini, orang miskin ditingkatkan. pajaknya. Sementara pemerintah hanya rnemberi dana, bantuan sosial sebesar 27 trilyun atau sekitar 4 % dari APBN. Itulah yang kemudian menyebabkan kemiskinan. Selisih pendapatan dan pemasukan 35 trilyun atau i/3 dari pembayaran utang. Pembayaran bunga cicilan sebesar 76 trilyun pada hakekatnya adalah utang swasta dalam negeri paket IMF tahun 1997. Dari sini sudah jelas, ada ketidakadilan dari sisi APBN: "Bicara utang ada 2 program dan proyek. Jogja menikmati DAK dan DAU. Untuk utang proyek, maka menggunakan ahli dari negara saya. Di beberapa parlemen internasional merasakan 70% kembali ke negara pemberi utang," jelasnya.
Chris Wangkay memberikan contoh kasus Tsunami melalui hibah Pentium Aid menjadi persoalan. Dana hibah 70% kembali ke negara penghibah. Dari APBN kita transfer negatif, proyek kita kembali Banyak syarat dalam konteks liberalisasi seperti presure atas nama utang clan penarikan investasi. Melihat kondisi yang demikian, Chris Wangkay berpendapat bahwa jelas akan sulit bagi bangsa Indonesia untuk bicara soal kemandirian selagi masih ada utang. Indonesia harus memanfaatkan kasus Tsunami. Seluruh dunia melihat kasus Aceh secara global dan 3 hari kemudian Sri Mulyani membuat utang batu. Dalam kesempatan tersebut, Haryono, salah seorang peserta diskusi bertanya, apakah negara kita negara berkembang atau negara miskin?
Peserta lain, Buzirman (UIN) memberikan apresiasi terhadap pemaparan Cornelis Lay. "Saya tertarik statement bapak di mana negara masih sangat kuat. Saya belum bisa menerima logika itu. Negara ada pergeseran fungsi di mana negara menjadi pengaman pemodal. Yang dikatakan Pak Cony-sapaan akrab Cornelis Lay-bahwa represifitas negara itu bukti kelemahan negara. Justnz negara tidak punya kekuasaan yang kuat."
Aktivis INFID, Chris Wangkay, melengkapi uraian Corelis Lay "Midle Income Countrie, di atas negara miskin. GNP 1000-an di bawah. Pemerintah beri dana utang untuk KUT 1,9 trilyun. Pada saat yang sama memberi bantuan BLBI beberapa kali lipat. Saya pikir Indonesia tidak kaya, rasio utang terhadap ekspor masih besar."
Aktivis INFID ini memberi contoh dampak penghapusan utang. "Kuba diisolir seluruh penjuru dunia, tetapi ter nyata masih bisa memberi pelayanan gratis. Artinya, kenapa mereka bisa? Investasi dan utang Indonesia punya lapisan, dana pertama tidak cukup untuk menarik investasi. Lapis kedua itu utang, tapi argo jalan terus. WTO menyatakan tidak boleh ada hambatan investasi, akuntabilitas, dll. Itu hanya untuk memuluskan investasi."Secara kritis Chris Wangkay mengritik Sistem Keuangan Nasional. Kita pernah sekali menghadiri rapat di Bappenas untuk mengatasi utang. Forestry ujungujungnya menjadi solusi. Alasannya butuh uang, maka utang lagi sama luar negeri. UU Keuangan menempatkan Depkeu lebih kuat daripada Bappenas. Mulyani melihat utang hanya bagian/ instrumen pembangunan saja. Dia tidak melihat paket kebijakan dari utang. Itu paket yang memiskinkan kita, paket Neolib! Solusi dari pemerintah persoalan hanya di dalam negeri. Padahal kita melihat ada invisible hand. Tuntutannya adalah bagaimana mendelegitimasi peranan voting power dari Amerika. Menurutnya, "Indonesia solusi utang akan selesai 2020, kalau tidak berutang terus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar