Tinuk Dwi Cahyani
Dosen Fakultas Hukum Fakultas Hukum
Konsep multikultural memberikan wawasan yang bebas bagi ruang individu bagi setiap manusia untuk saling bersikap toleran baik dalam dimensi kultural, ekonomi, politik dan sosiologi masyarakat itu sendiri. Multikultural membutuhkan energi dan pemikiran yang mengetengahkan prinsip-prinsip kemanusiaan. Kelahiran manusia sesungguhnya sudah menjadi trend dari perbedaan itu sendiri sehingga sebagai mahluk harus berusaha juga memahami yang lainnya. Perbedaan itu harus di perkaya dengan hal-hal positif untuk menjaga dan meningkatkan keimanan individu semua manusia, karena hal yang demikian adalah sunnah dan wajib untuk di nikmati dan di lihat dalam pancaroba keragaman sejati. Namun banyak diantara manusia yang tidak memahami substansi dari iman multikultural tersebut. Masih banyak masalah kekerasaan terhadap agama, keyakinan, suku, adat, ras dan etnik minoritas sehingga keragaman sejati itu tidak bisa tercapai. Hal tersebut lebih di sebabkan oleh rasa ketidaknyamanan dalam beraktivitas maupun berkeyakinan, maka iman multikultural pun sudah pasti tergantikan dengan sebuah amarah dalam keragaman tersebut.
Nilai-nilai keuniversalan manusia tidak lagi menjadi ikon untuk merubah keadaan kearah sesuatu yang damai dan baik, namun sudah tergadaikan oleh emosi yang termiskinkan oleh kebutuhan ekonomi dan sosiologis, bukan lagi memecahkan persoalan dengan kekuatan nalar pemikiran intelektualnya, justru membumbung tinggi dalam kekerasan yang melangit. Iman multikultural merupakan sebuah ide yang harus di kampanyekan untuk menjadi lokomotif dan suplement pemikiran manusia seutuhnya dalam kerangka mengabadikan sebuah keragaman yang sejati. Iman Multikultur merupakan amanat Tuhan yang tak bisa di bandingkan dan memiliki nilai keuniversalannya. Cermin iman multikultur harus berada dalam ruang yang ade ayem sehingga mampu menjadi energi baru dalam meredam segala kemarahan sosial. Sekali lagi, bukanlah prinsip yang bernilai dan bermanfaat bagi seluruh aktivitas manusia, kalau saja kemarahan sosial mudah di sulut oleh api emosi yang tidak terkontrol oleh iman multikultural, misalnya dengan terjadi berbagai peristiwa berdarah yang mengatasnamakan agama dan keyakinan sehingga menyebabkan kesenjangan yang mengangga sangat luas di depan mata kita sendiri. Hal inilah yang justru membuat agama yang kita pahami dalam konteks iman multikultural menjadi buram, padahal agama merupakan sebuah alat pencerahan tanpa ada pembedaan terhadap keyakinan manusia.
Coba saja, kita teliti kembali bahwa mayoritas sering menjadi super power dalam mempertaruhkan keyakinannya, padahal itu adalah pekerjaan individu terhadap Tuhan-Nya, entah mereka mau menjadi agama penghayat atau agama baru maupun membuat agama sendiri-sendiri apalagi memiliki faham berbeda di dalam agama tertentu juga tidak menjadi persoalan, kendati beribadah dan bertakwa serta hal yang membedakan manusia hanya iman dan ketakwaanya. Hal yang paling penting juga di ketahui adalah bahwa di dunia ini kebebasan merupakan kiblat yang sangat tepat untuk menjadi barometer apakah manusia itu beriman dan bertakwa atau tidak. Kebebasan yang di maksud adalah kebebasan yang berdimensi nilai dan moral, kalaupun ada yang bertindak dalam konteks kekerasan dan melakukan kemungkaran maka tetap diproses dalam hukum tertentu sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada. Kesadaran akan iman multikultural sangatlah penting sebagai ujung tombak dalam memahami dan memaknai keragaman dalam masyarakat dengan tujuan menjamin adanya kebebasan yang tidak terukur. Pemahaman multikultural sebagai suflemen kesadaran dalam bermasyarakat, agar rasa aman dan saling menghargai yang selama ini di inginkan oleh kita semua menjadi sifat konsolidatif yang bermakna dan serta merta menumbuhkan kebahagiaan di antara sesama. Iman multikultural sangatlah penting agar bisa di tempatkan pada setiap sudut-sudut kehidupan dan di kantong-kantong kemiskinan dalam masyarakat sebagai basis kesadaran yang universal dan rem untuk tidak berbuat anarki. Iman multikultural juga harus di masukan dalam prinsip ekonomi, politik dan budaya, karena memang sesungguhnya masyarakat sangat bersentuhan dengan faktor tersebut sehingga iman multikultural di perlukan sekali. Fenomena yang kita lihat hari ini, baik dalam konteks kekerasan terhadap agama, ahmadiyah, pembakaran gereja dan pembunuhan maupun penjarahan dimana-mana serta hukum yang tidak berfungsi sama sekali untuk menghadirkan system keadilan, ini merupakan sala satu kelemahan manusia diantara sesamanya dalam memahami bahwa multikultural itu merupakan tafsir teologis rukun iman yang selayaknya di tempatkan pada hati nurani dan keimanan yang kuat, sehingga keragaman itu dapat terjaga dengan rapi dan baik.
Tinuk Dwi Cahyani Adalah Dosen Fakultas Hukum dan Staf Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang