Dosen Fakultas Hukum dan Staf Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang
Pemilu 2009 merupakan pesta demokrasi yang kedua dalam kurun waktu 10 tahun masa reformasi berhasil terpilih presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY), banyak janji politik yang di kampanyekan. Namun janji tersebut sepertinya tidak ada yang substantib dalam pelaksanaannya baik yang di tuangkan dalam ide pembangunan nasional jangka panjang maupun dalam program taktis presiden. Dalam pemberitaan salasatu media nasional bahwa pemerintahan SBY pada kali ini hanya memberikan janji seperti manis madu. Pemerintahan dan arah politik belum bisa menentu arah pembangunan masyarakat yang lebih baik, kendati beberapa program yang terbangkalai seperti janji pembangunan rumah rakyat yang murah, memurah meriahkan BBM, menjaga ketertiban nasional dan memberikan kesejahteraan terhadap rakyat kecil. Namun apa yang terjadi justru hal ini di abaikan dengan lebih mengedepankan masalah koalisi dan rusheffel pemerintahan, justru kisruh politik merupakan faktor utama untuk menumbalkan rakyat dalam dagelan politik. Belum lagi persoalan pajak dan bank century yang sangat banyak merugikan Negara dan rakyat itu sendiri. Anggota legislatif (DPR) lebih suka terjebak pada hitung-hitungan kursi dan dagelan politik koalisi dari pada berbicara tentang kebijakan untuk kesejahteraan rakyatnya. Para kader partai lebih suka berebut jabatan politik demi kepentingan pribadi dan kelompoknya sehingga pengarusutamaan kebijakan kesejahteraan rakyat menjadi mandeg dan tidak berjalan.
Dalam pemerintahan dan prilaku pemimpin negeri ini banyak yang harus di upayakan untuk di luruskan, karena rakyat sendiri sudah tergantung pada split personality para pemimpin negeri ini, misalnya pada hasil jejak pendapat kompas (17 januari 2011) bahwa kepuasan terhadap kinerja pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) yakni faktor ekonomi 28,6 %, kesejahteraan sosial hanya 32, 4 %, politik dan keamanan 39,6 % dan hukum 24,5 %. Ini merupakan hanya prestasi yang membanggakan SBY dan sekaligus mematikan faktor kesejahteraan ekonomi rakyat. Maka oleh karena itu, kepercayaan terhadap pemerintahan SBY sudah sangat luntur oleh karena di sebabkan oleh janji politik yang tidak di realisasikan.kepentingan politik koalisi sangat besar dari pada mengedepankan profesionalitas politik dalam memikirkasn kebijakan-kebijakan pro rakyat. Namun hal itu sepertinya berada dalam ruang yang vakum untuk di gerakkan oleh pemerintahan ini.
Berbagai persoalan rakyat yang muncul seperti kerusuhan pembakaran gereja, penyerangan komonitas ahmadiyah di pandeglang cikeusik, ini juga tidak terlepas dari peran negara yang mencoba memprovokasi seluruh komponen untuk membuat kerusuhan, kendati tujuan pemerintah untuk mensterilkan seluruh tokoh-tokoh lintas agama dalam melakukan manuver kritik terhadap pemerintah, karena memang pemerintahan SBY-Boediono di cap berbohong terhadap rakyat dari janji-janji politiknya sewaktu kampanye. Lunturnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintahnya adalah sebuah titik kulminasi dari keresahan rakyat itu sendiri. Kendati pusat saraf kebijakan pemerintah sudah rusak dan banyak di pengaruhi oleh berbagai kepentingan asing sehingga harapan akan tumbuhnya perkembangan kesejahteraan rakyat tak lagi menjadi spirit bersama dalam persemakmuran negara, padahal negara ini masih banyak potensi sumber daya yang bisa di kelola secara nasional untuk di jadikan asset bersama baik untuk peningkatan taraf laju ekonomi maupun kebutuhan pokok rakyatnya.
Para politisi, pemimpin partai, pemerintah maupun pemerhati ekonomi sesungguhnya tidak terkoordinasi dalam satu kesatuan arah demi mencapai kesejahteraan dan perdamaian sebagaimana yang di amanahkan oleh UUD 1945. Dari pemilu ke pemilu lagi, tidak ada pekerjaan yang substantib dan membahagiakan hati rakyat, akan tetapi yang sangat banyak timbul ke permukaan adalah prilaku politik dan cultur pemerintah yang sangat minim reponnya terhadap persoalan yang di hadapi rakyatnya sendiri. Dengan kelunturan trus (kepercayaan) pemerintah, tentu menambah kesedihan rakyatnya dalam memikirkan pemimpin negeri ini yang selalu lebay dalam dan suka ngumbar omongan untuk pencitraan dirinya, sangat wajar sekali apabila rakyat Indonesia menyatakan dalam sebuah naskah pemilu bahwa hanya mengumbar janji-janji politik kebohongan belaka.
Persoalan terus saja terjadi, dari kasus gayus hingga korupsi kecil-kecilan menjadi sentral dinamika politik yang menghabiskan energi yang tidak berguna sama sekali. Padahal rakyatlah yang menanggung semua implikasinya dan sekali lagi rakyat yang di jadikan tumbal politik. Para petinggi kekuasaan di negeri ini di sibukkan oleh fenomena dan wacana rusheffel kabinet yang mengakibatkan pada tersumbatnya aspirasi rakyat yang membutuhkan pertolongan dari pemerintah. Di tengah kesibukan macet kendaraan bermotor, bus, puso pengangkut sembako dan lain sebagainya di pelabuhan merak banten yang bisa mencapai 4 kilo meter panjangnya macet tersebut, kunjungan dari menteri satu ke menteri lainnya tidak ada perubahan signifikan yang bisa mencari solusi kemacetan di pelabuhan merak banten. Kemacetan ini pun menginspirasikan kemacetan pada kabinet untuk memberikan pelayanan terhadap rakyatnya dan tersumbatnya kran kesejahteraan negara terhadap konstituennya juga. Seharusnya kalau pemerintah ini benar-benar ingin memberikan solusi terhadap kemacetan yang ada, maka pemerintah pun harus berani melakukan pembangunan jembatan bakau huni antara selat jawa dan sumatera tersebut, dengan tujuan untuk memaksimalkan peredaran ekonomi rakyat agar semakin baik dan efisien. Sebenarnya hal ini sangat membutuhkan kebijakan yang sangat cepat dan memadai untuk menopang kebutuhan rakyat Indonesia seutuhnya agar negara ini menjadi negara yang kuat dan strategis dalam konteks global, namun terkadang pemimpin kita berani bicara tapi tak mampu menjalankan, itulah karakter kepemimpinan bangsa ini. Maka oleh karena itu, huwallah hualam bissawab namgsa ini belum tau arahnya kemana ?. Sebelum perombakan kabinet haruslah di kaji terlebih dahulu dan di pertimbangkan secara baik dan benar. Karena perombakan kabinet sangat vital dalam suatu Negara, karena kabinet yang di bongkar bisa saja lebih baik dari pada kabinet yang menggantikannya. Kalau saja seperti itu maka akan terjadi miskomonikasi kebijakan yang akhirnya akan menyengsarakan rakyatnya sendiri. Perombakan atau membongkar kabinet bukanlah solusi yang tepat dan tidak akan mencapai sasarannya juga, sebenarnya yang harus di tunjuk oleh presiden semestinya menambahkan koordinator seluruh menteri yang bisa di namakan Perdana Menteri dengan tujuan untuk memaksimalkan kebijakan kesejahteraan terhadap rakyat, ini yang seharusnya di lakukan oleh presiden atau pemerintah kedepannya.
Rusdianto Adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang dan Staf Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang