Gelorakan Pemikiran

Kamis, 28 April 2011

Konsep Negara Hukum Pancasila

Ada dua kalimat penting yang perlu dicatat yang bersumber dari penjelasan undang-undang dasar (UUD 1945). Kalimat itu ialah Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat). Tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (mactsstaat)“. Karena digunakan istilah rechtsstaat, maka timbul pertanyaan rechtsstaat atau Negara Hukum yang bagaimanakah yang di anut oleh Indonesia?. Apakah rechtsstaat di sini identik dengan konsep Negara Hukum Eropa continental atau tidak?. Dengan kata lain apakah rechtsstaat dalam penjelasan UUD 1945 itu merupakan suatu genus begrip sehingga dengan demikian dalam kaitan dengan UUD 11945 adakah suatu pengertian khusus dari istilah rechtsstaat sebagai genus begrip itu?. Diskusi tentang rechtsstaat tersebut sudah sering dilakukan bahkan ada kecenderungan interpretasi yang mengarah kepada konsep rule of law. Untuk memperoleh suatu kesimpulan yang tepat tentang permasalahan tersebut di atas penulis mencoba menyajikan paragraf ini dengan mengamati dan melakukan telaah terhadap pemikiran-pemikiran dari dua orang pakar hukum yang terkenal yaitu Padmo Wahyono dan Oemar Seno Adji. Mereka sangat berjasa dengan pemikiran-pemikiran yang merupakan elaborasi dari segi ilmu hukum tentang Negara Hukum yang bagaimana atau predikat Negara Hukum apa yang tepat dalam konteks Republik Indonesia (Pancasila UUD 1945). Oemar Seno Adji berpendapat bahwa Negara Hukum Indonesia memiliki ciri khas Indonesia. Karena pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka Negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan Negara hukum pancasila. Salah satu ciri pokok dalam Negara hukum pancasila ialah adanya jaminan terhadap Freedom of religion atau kebebasan. Tetapi, kebebasan beragama di Negara pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya tiada tempat bagi atheisme atau propaganda anti agama di bumi Indonesia. Hal ini sangat berbeda dengan misalnya di Amerika Serikat yang memahami konsep freedom of religion baik dalam arti positif maupun dalam arti negatif. Sementara itu di Unisoviet dan Negara komunis lainnya “Freedom of Religion” memberikan pula jaminan konstitusional terhadap propaganda anti agama. Selain itu, Seno Adji mengemukakan pula ciri Negara Hukum Indonesia lainya yaitu tidak adanya pemisahan yang rigid dan mutlak antara agama dan negara. Menurutnya agama dan negara berada dalam hubungan yang harmonis hal demikian sangat berbeda dengan di Amerika serikat yang menganut doktrin pemisahan agama dan gereja secara ketat.
Di pihak lain Padmo Wahyono melihat Negara Hukum Pancasila berdasarkan atas kekeluargaan yang tercantum dalam UUD 1945. Yang diutamakan di dalam asas kekeluargaan adalah rakyat banyak namun harkat dan martabat manusia tetap dihargai hal demikian itu direfleksikan oleh pasal 33 UUD 1945 yang menjelaskan bahwa yang terpenting itu adalah kemakmuran masyarakat, bukan kemakmuran perseorangan. Akan tetapi, perseorangan itu berupaya sejauh tidak mengenai hajat hidup orang banyak. Negara Hukum Pancasila dapat dipahami melalui penelaahan pengertian Negara dan pengertian hukum dilihat dari sudut asas kekeluargaan. Dalam hubungan ini Padmo Wahyono mengemukakan bahwa hukum adalah suatu alat atau wahana untuk menyelenggarakan kehidupan Negara atau ketertiban dan menyelenggarakan kesejahteraan sosial. Berpijak pada dua pendapat pakar hukum di atas disimpulkan bahwa dalam penyelesaian UUD 1945 digunakan istilah rechtsstaat, akan tetapi konsep rechtsstaat yang dianut oleh Negara Indonesia bukan konsep Negara hukum Barat Eropa continental dan bukan pula konsep rule of law dari Anglo Saxon melainkan konsep Negara Hukum Pancasila sendiri yang bercirikan : (1) hubungan erat antara agama dan negara (2) Bertumpu pada KeTuhanan Yang Maha Esa (3) Kebebasan beragama dalam arti positif (4) Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang dan (5) Asas kekeluargaan dan kerukunan. Adapun yang menjadi unsur pokok Negara Hukum RI adalah : (1) Pancasila (2) MPR (3) Sistem konstitusi (4) persamaan dan (5) Peradilan bebas.

Konsep Negara Hukum Madinah
Penelusuran terhadap konsep Negara Hukum Islam selalu berawal dari peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah. Peristiwa politik yang pertama kali dilakukan oleh Nabi Muhammad yang sudah mendapat legitimasi sebagai pemimpin masyarakat Madinah. Adalah pembuatan konstitusi Madinah yang intinya berisi kesepakatan-kesepakatan dari seluruh komponen masyarakat setempat tentang berbagai persoalan ketatanegaraan dan persatuan kesatuan. Konstitusi Madinah yang baru dibuat berfungsi sebagai sebuah konstitusi tertulis yang memberi landasan yuridis bagi kehidupan bernegara Madinah sendiri pada saat itu dilihat dari sistem ketatanegaraan sudah dapat dikategorikan sebagai sebuah Negara, karena mengandung tiga persyaratan, yaitu ada wilayah territorial, ada rakyatnya, dan ada pemerintahanya. Para ahli ilmu pengetahuan khusus ahli sejarah, menyebut naskah politik yang di buat Nabi Muhammad SAW itu dengan nama yang bermacam-macam. W. Montgmemery Watt menamainya “The Constitution of Medina”. R. A Nicholson “cherter”. Zainal Abidin Akhmad “piagam”. ”Al. Shahifah” adalah nama yang disebut di dalam naskah itu sendiri. Kata tertulis delapan kali dalam teks piagam. Selain nama ini, di dalam naskah tertulis sebutan kitab dua kali. Kata treaty dan agreement menunjuk kepada isi naskah. Kata charter dan piagam lebih menunjukan kepada surat resmi yang berisi pernyataan tentang suatu hal. Kata constitution menunjuk kepada kedudukan naskah itu sebagai dokumen resmi yang berisi pokok-pokok kenegaraan. Kata Shahifah semakna dengan charter dan piagam. Dalam naskah itu, kata kitab lebih menunjukkan kepada tulisan (tentang suatu hal) dalam buku ini (dan disertai penulis) dibakukan dengan sebutan Konstitusi Madinah”.
Ditetapkannya piagam politik tersebut merupakan sebuah strategi Rasul pasca hijrah ke Madinah. Tujuannya adalah untuk membina kesatuan hidup masyarakat Madinah. Piagam itu merumuskan beberapa prinsip yaitu; kebebasan beragama, hubungan antara kelompok, kewajiban mempertahankan kesatuan hidup dan lain-lain yang akan diperinci pada bab-bab berikut. Berdasarkan isi konstitusi Madinah itulah warga Madinah yang majemuk, secara politis dibina di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW. Tingginya nilai konstitusi Madinah tersebut sempat dikomentari oleh Nurcholish Madjid, bahwa bunyi naskah konstitusi itu sangat menarik dan mengagumkan dinilai dari sudut tinjauan modern sekalipun. Dalam konstitusi itulah untuk pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern di dunia. Konstitusi Madinah dibuat pada awal masa klasik Islam, pada permulaan dasawarsa ketiga abad ke-7 Masehi, 15 abad yang lalu. Banyak sarjana barat di abad modern yang memberikan perhatian terhadap naskah politik tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa konstitusi Madinah mempunyai kedudukan penting dalam perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW berikut umat Islamnya, khususnya dalam masalah ketatanegaraan dalam Islam, yang kemudian mengalami perkembangan. Ada dua hal penting yang patut dicatat dalam sejarah Islam. Ketika Nabi Muhammad di Madinah, yang pertama kali beliau bangun adalah mendirikan masjid di Quba dan City-states. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW telah melaksanakan dua doktrin Islam yang terpenting, yaitu pertama melaksanakan hablumminallah, membangun hubungan dengan Allah dengan membangun masjid yang merupakan sebuah simbol persatuan kesatuan gotong royong, persamaan di hadapan Allah dan hukum. Bahwa shalat yang dilaksanakan di masjid mengandung tiga hal yaitu : pertama persatuan, banyaknya jamaah dalam pelaksanaan shalat melambangkan persatuan. Kedua gotong royong, bahwa pembangunan Masjid sebagai sebuah simbol kebersamaan sebaiknya tidaklah dilakukan oleh orang kaya saja tetapi dipikul bersama. Ketiga ketaatan dan persamaan, bahwa di dalam masjidlah diwujudkan tentang persamaan di hadapan Tuhan, tidak ada orang yang lebih tinggi pangkatnya, lebih tinggi status sosialnya dihadapan Allah. Seluruhnya duduk bersimpuh dan rukuk.
Kedua, hal yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yaitu membangun Hablumminannas, yakni dengan cara membangun masyarakat Madinah, sebagai implementasi dari tugas kekhalifahan di muka bumi. Perilaku Nabi Muhammad SAW, pada permulaan periode Madinah itu membuktikan bahwa sejak semula Islam mempertautkan secara erat antara agama dan Negara. Sebagai kepala negara, beliau selalu melakukan musyawarah dengan para sahabatnya dalam setiap keputusan politik yang akan ditetapkannya. Beliau menerapkan ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur’an Surat Asy-Syura (42:38), dan Surat Ali Imran (3:159). Beliau selalu berpegang kepada prinsip Syura yang diajarkan al-Qur’an dan mematuhi hasil keputusannya bahkan dalam beberapa kasus. Tidak jarang beliau harus mengikuti pendapat atau usul para sahabatnya. Padahal posisi beliau sebagai kepala negara yang nota bene seorang Rasul sangat berpeluang untuk bertindak otoriter dan bertangan besi. Perang Uhud dan perang Khandaq merupakan kilas balik dari peperangan yang terjadi atas kebijakan Rasulullah yang didasarkan pada pendapat prajuritnya. Salah satu indikator lainnya dari tujuan pembangunan masyarakat Madinah sebagai implementasi dari Hablumminannas adalah menciptakan rasa keadilan dalam kehidupan masyarakat. Kasus Fatimah binti Abi al-Asad berikut ini merupakan bagian dari fragmen sejarah Islam yang menunjukkan keberhasilan Nabi Muhammad SAW dalam menegakkan prinsip keadilan. Yaitu, ketika Fatimah Binti al-Asad melakukan pencurian, mengingat ia puteri seorang pembesar banyak orang yang merasa khawatir jika ia sampai dihukum. Maka, melalui Usamah bin Zaid ia diajukan untuk mendapat dispensasi bebas dari hukum potong tangan. Sambil menegur Usamah, Nabi menolak permohonan tersebut seraya menyatakan: “kalau saja Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti aku akan potong tangannya“. Rekaman peristiwa sejarah di atas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pandang bulu dalam menegakkan keadilan. Siapapun yang bersalah harus dihukum. Mengapa Nabi Muhammad sangat memperhatikan prinsip keadilan?, karena adil (al-‘adalat) merupakan sikap yang paling dekat kepada taqwa.
Kalimat adil erat kaitannya dengan prinsip keadilan dan persamaan. Kasus Fatimah binti al-Asaddi atas, selain di dalamnya terkandung nilai keadilan, juga terkandung nilai persamaan. Pejabat dan rakyat mempunyai hak sama di depan hukum, dan hukum yang dipergunakan Nabi Muhammad (Syaria’at Islam) dalam membangun dan menata kehidupan masyarakat Madinah, adalah hukum yang betul-betul berpihak kepada nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan, bukan hukum yang berpihak kepada orang atau pihak-pihak tertentu. Seseorang tidaklah bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan sekutunya. Demikian salah satu butir dari rumusan Konstitusi Madinah. Rumusan tersebut bukan hanya sekedar mengoreksi, tetapi bahkan merombak total hukum adat praIslam yang menganut prinsip pelimpahan tanggung jawab kepada seluruh anggota untuk kesalahan yang dilakukan seorang anggota. Prinsip lain yang dibangun melalui Konstitusi Madinah adalah prinsip kebebasan. Dalam Islam, prinsip ini merupakan salah satu prinsip sentral Nabi Muhammad SAW telah menerapkan prinsip ini dilegitimasi oleh Al-Qur’an. “Tidak ada paksaan dalam agama”, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Kedua ayat yang kemudian dimasukkan ke dalam konstitusi Madinah tersebut merupakan suatu pengakuan eksistensial agama lain, baik kristen maupun Yahudi. Eksistensi komunitas Yahudi sebagai kelompok minoritas di Negara Madinah tidak hanya diakui, tetapi juga memiliki kedudukan hukum yang sama dengan warga negara lainnya. Mereka diberi kebebasan penuh, apakah akan tetap tinggal di Madinah ataukah akan pindah ketempat lain. Dalam konstitusi Madinah ditegaskan bahwa kelompok minoritas Yahudi adalah bagian dari Negara Madinah dan karena itu mereka adalah penduduk sipil yang wajib dilindungi oleh Negara.
Hubungan komunitas Yahudi dengan Konstitusi Madinah, Said Ramadan mencatat tiga hal yang penting, yaitu.
1) Telah tercipta satu kondisi sosial-politik di Negara Madinah yang terdiri dari orang-orang Islam dan non Muslim, antara lain Yahudi.
2) Kedudukan orang yahudi dengan tegas diatur dalam Konstitusi Madinah.
3) Adanya jaminan persamaan baik perlindungan maupun keamanan bagi orang-orang Islam maupun bagi orang-orang yang bukan Islam seperti yahudi.
Muhammad Hamidullah melukiskan kedudukan minoritas Yahudi pada masa pemerintahan Rasulullah itu, kecuali mereka adalah bagian dari Negara Madinah, mereka juga memiliki otonomi penuh dalam wilayah mereka. Juga dalam bidang pertahanan, seluruh warga termasuk kelompok minoritas dibebani. Kewajiban untuk berperan serta (kecuali bagi pembayar jizyah) setidaknya dalam urun rembuk (musyawarah) maupun dalam pelaksanaan gagasan di bidang tersebut. Sikap dan perlakuan yang sama diberikan juga kepada kelompok minoritas Kristen. Mereka bebas memeluk agamanya, dan berhak untuk mendapatkan perlindungan dari pemerintah Nabi Muhammad SAW. Kepada mereka yang non muslim, Nabi Muhammad menetapkan kebijakan harus membayar pajak perlindungan (protection tax) yang dalam terminologi hukum disebut jizyah. Kewajiban inilah yang kemudian melahirkan hak bagi mereka untuk memperoleh jaminan perlindungan dan keamanan. Thomas Arnold memberikan komentar tentang jizyah sebagai berikut ”This Tax nit imposed on the Cristians, as some would have us think as apenalty for their refusal to accept the muslim fath, but was paid by them in common with the other dimmis or non-muslim subjects of the state whose religion precluted them from serving in the army, in return for the protection secured for them by the arms musulmans. When the people of Hirah contributed the sum agreed upon, they expressly mentioned that they paid this jizyah on condition that the muslims and their leader protect us from those who would opress us, whether they be muslim or other. Selanjutnya Arnold menegaskan “The jizyah was levled on the able-bodies males in lie of the military service they would have been called upon to perform had they been muslumans; and it is very noticeable that when any Christian people served in the Moslem army, they were exempted from paying jizyah”. Posisi pemimpin masyarakat Madinah Nabi Muhammad SAW, Tidak hanya menerapkan prinsip kesejahteraan sosial dalam arti pemenuhan kebuTuhan material, akan tetapi beliau juga telah menerapkan suatu prinsip kesejahteraan untuk dua kepentingan sekaligus, yaitu kepentingan kesejahteraan material dan kepentingan kesejahteraan spiritual. Prinsip keseimbangan inilah yang sesungguhnya diajarkan Islam, sebagaimana terungkap dalam untaian doa berikut : “Wahai Tuhan kami berikanlah kepada kami di dunia kesejahteraan dan kebahagiaan, serta di akhirat kesejahteraan dan kebahagiaan dan lindungilah kami dari siksaan api neraka” (Q.S. Al-Baqarah / 2:201).
Berpijak kepada prinsip keseimbangan itu, maka di situlah sesungguhnya perbedaan antara nomokrasi Islam dengan nomokrasi produk pemikiran Barat yang cenderung mengutamakan kesejahteraan material di satu pihak serta mengabaikan kesejahteraan spiritual di pihak lain, atau setidaknya kurang memperhatikan segi kesejahteraan spiritual bagi rakyatnya. Hal yang cukup menarik dari praktek ketatanegaran pada masa Nabi Muhammad SAW adalah pengangkatan pejabat negara yang dilakukan beliau. Meski pada saat itu belum dikenal teori pemisahan ataupun pembagian kekuasaan, Rasulullah SAW telah mempraktekkannya dengan cara mengangkat orang-orang yang memenuhi syarat, misalnya sebagai wazir (materi), katib (sekretaris), wali (gubernur). Amil (pengelola zakat) dan qadi (hakim). Pada masa Rasulullah, negara Madinah terdiri dari sejumlah propinsi yaitu : Madinah, Tayman, al-Janad, daerah Banu Kindah, Mekkah, Najran, Yaman, Hadramaut, Uman dan Bahrain. Untuk setiap propinsi, Rasulullah mengangkat seorang wali, seorang qadi dan seorang amil. Ketiga pejabat negara tersebut memiliki kewenangan yang mandiri sesuai dengan tugas mereka masing-masing. Seorang qadi misalnya, adalah seorang pejabat yang secara struktural tidak berada di bawah wali. Seorang qadi memiliki kebebasan penuh dalam memutuskan setiap perkara. Untuk dapat diangkat sebagai Qadi, seorang harus memenuhi kualifikasi tertentu, yaitu: ia dikenal sebagai orang yang berilmu luas, menguasai masalah-masalah hukum, saleh, adil, jujur, takwa, cerdas, dan mempunyai kemampuan konsiderasi. Ali bin Abi Thalib dan Muaz bin Jabal adalah dua orang yang diangkat oleh Nabi Muhammad sebagai Qadi, yang bertugas di propinsi yang berbeda.
Keduanya memenuhi kualifikasi yang telah disebutkan tadi. Dari data yang diungkapkan di atas dapat disimpulkan, bahwa jauh sebelum orang mengenal peradilan bebas, Nabi Muhammad SAW pada abad ke-17 telah melaksanakan prinsip itu dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran, sebagaimana diperintahkan Allah SWT. Mengenai hubungan dengan negara-negara lain, Nabi Muhammad SAW Telah menerapkan prinsip perdamaian. Beliau mengajak kepala negara lain untuk menjadi muslim, tetapi tidak memaksa mereka. Sejumlah surat-surat Nabi telah dikirim melalui utusan-utusan beliau kepada sejumlah kepala negara atau penguasa setempat. Surat-surat Nabi Muhammad itu diperkirakan lebih dari 30 buah, antara lain dikirimkan kepada al-Muqauqis, penguasa di Mesir yang ketika itu penduduknya adalah orang-orang Qitbi, juga kepada raja (kisra) persia: Abrawiz Hurmuz Anu Syirwan, Kaisar Heraclius, penguasa tinggi Romawi di Palestina, Al-Mundzir bin SAWa al-‘Abdi, penguasa di Bahrain, Jaifar dan Abdu bin al-Junaidi, penguasa di Oman. Inti pokok surat-surat Nabi itu mengajak mereka beserta rakyatnya supaya menganut agama Islam. Salah satu kalimat yang ditulis Nabi Muhammad dalam suratnya itu, misalnya surat beliau kepada Al-Muqauqis. “Bahwasanya saya mengajak anda menganut Islam. Ikutilah Islam, niscaya anda selamat dan Allah akan melimpahkan pahala kepada anda dua kali, tetapi anda berpaling, maka anda akan menanggung dosa-dosa orang qitbi”. Dari sekian banyak penguasa yang dikirimkan surat seruan kepada islam, hanya Muqaquis dan Heraclius yang secara mentah-mentah menolak ajakan Nabi dengan merobek-robek surat. Tetapi atas tindakan penolakan kasar itu beliau tidak mengadakan reaksi apalagi dengan tindakan militer, karena Nabi memahami benar prinsip perdamaian dengan negara-negara lain harus betul-betul dipegang dan diterapkan. Penguasa-penguasa yang menanggapi secara positif satuan Nabi Muhammad dalam arti menerima ajakan Nabi Muhammad untuk memeluk Islam, antara lain penguasa Bahrain dan Oman. Pelaksanaan prinsip ketaatan rakyat terhadap kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, beliau sebagai kepala negara tidak pernah memaksakan atau melakukan penekanan terhadap rakyat agar rakyat mentaatinya. Tetapi dengan cara selalu memberikan contoh dan suri tauladan yang baik kepada rakyatnya. Seluruh umat Islam dengan tulus menyatakan rasa kesetiaan loyalitas dan ketaatan mereka kepada beliau baik selaku Nabi dan Rasulullah maupun sebagai kepala negara. Penerapan prinsip-prinsip nomokrasi yang diajarkan Al-Qur’an sebagai kepala Negara Madinah, beliau tidak mengalami hambatan yang berarti. Hal ini mengingat adanya beberapa faktor pendukung berikut :
a) Nabi Muhammad SAW sebagai sosok panutan (Uswatun Hasanah) Secara pribadi beliau senantiasa memberikan contoh kepada para pengikutnya tentang setiap hal yang diajarkannya. Beliau tidak hanya sekedar menyampaikan semua gagasan secara lisan, akan tetapi juga semua ajaran islam beliau terapkan dalam kenyataan pada masa pemerintahanya. Prinsip-prinsip demokrasi islam bukan sekedar idealisme, akan tetapi benar-benar diaktualkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Prinsip-prinsip itu menjadi basis dalam mekanis pemerintahan Madinah di bawah kepemimpinannya.
b) Karakter Nabi Muhammad sebagai kepala negara Madinah selalu menampilkan sosok pimpinan yang demokrat dan berwibawa sesuai dengan moral atau akhlak islam dan selalu mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi atau keluarga. Faktor-faktor yang kemudian mendukung proses implementasi yang optimal terhadap semua prinsip nomokrasi Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal ini sangat jauh berbeda dengan gaya kepemimpinan kepala negara lain pada masanya yang feodalistik, keras dan cenderung diktator. Gaya kepemimpinan Nabi tersebut kemudian ditiru oleh khulafaurasyidin.
Kesadaran rakyat yang sangat tinggi baik terhadap hak maupun kewajiban-kewajiban mereka. Dengan kata lain, rakyat Madinah di bawah kepemimpinan Nabi memiliki kesadaran hukum yang sangat tinggi. Salah satu penyebabnya adalah komitmen Nabi dan khulafaurasyidin. Baik Nabi Muhammad maupun Khulafa rasyidin selalu membina hubungan sangat baik dengan rakyat Madinah dan memperlakukan mereka dalam kedudukan yang sama, jauh dari nuansa diskriminatif. Hal ini disebutkan dua alasan yaitu pertama, baik Nabi Muhammad maupun para khalifah penggantinya sangat menyadari bahwa jabatan kepala negara merupakan amanat, bukan hanya dari rakyat yang mengangkatnya atau memilihnya tetapi juga dari Allah SWT. Oleh karena itu, mereka sangat berhati-hati dalam memperlakukan rakyat dan warga negara Madinah. Kedua, adanya sikap kritis rakyat Madinah terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Sikap kritis ini boleh jadi tumbuh dalam pribadi mereka sebagai hasil dari buah pengajaran Nabi Muhammad yang sebetulnya Al-Qur’an sendiri mengajarkan sikap seperti itu. Oleh karena itu, perintah terhadap orang mukmin agar mengikuti pemerintah (ulil amri) yang ditegaskan dalam Al-Qur’an surah An-Nisa (4:59) bukan sesuai yang kaku dan absolut. Tetapi ia merupakan prinsip timbal balik, yakni ketaatan rakyat kepada pemerintahnya itu selama pemerintahnya benar-benar dapat melaksanakan amanat sejalan dengan prinsip-prinsip negara hukum yang digariskan dalam Al-Qur’an dan Sunnaturrasul.